Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan Derajat Luka

dokumen-dokumen yang mirip
Visum et Repertum pada Korban Hidup

Kualitas Visum et Repertum Perlukaan di RSUD Indrasari Kabupaten Indragiri Hulu Periode 1 Januari Desember 2013

VISUM ET REPERTUM: A MEDICOLEGAL REPORT AS A COMBINATION OF MEDICAL KNOWLEDGE AND SKILL WITH LEGAL JURISDICTION

MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7

KUALITAS VISUM ET REPERTUM PERLUKAAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DUMAI PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

KUALITAS VISUM ET REPERTUM PERLUKAAN DI RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Di rumah sakit Dr. Sardjito, angka kejadian kasus forensik klinik (hidup) yang dilakukan

BAB II LANDASAN TEORI. sedangkan Repertum berarti melapor. Visum et Repertum secara. yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa badan manusia

VISUM ET REPERTUM. 1. Definisi

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

Artikel Penelitian. Abstrak. Abstract. M. Ridho Azhari 1, Rika Susanti 2, Noza Hilbertina 3

KUALITAS VISUM ET REPERTUM PERLUKAAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MANDAU PERIODE 1 JUNI JUNI 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

GAMBARAN VISUM ET REPERTUM PERLUKAAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KUANTAN SINGINGI PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2013

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Total Luas Luka Sebagai Indikator Penentuan Derajat Luka pada Kasus Medikolegal

BAB XX KETENTUAN PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

KUALITAS VISUM ET REPERTUM PERLUKAAN DI RSUD PURI HUSADA TEMBILAHAN PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2013

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hubungan Keberadaan Visum et Repertum dengan Putusan Hakim pada Tindak Pidana Penganiayaan

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

SURAT KETERANGAN MEDIS

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N No : 155 /Pid.B/2013/PN.BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur / Tgl. lahir : 27 tahun/ 25 Mei 1984;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

FORMAT LAPORAN KASUS FORENSIK

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

P U T U S A N Nomor 342/Pid/2013/PT.Bdg.

KUALITAS Visum et Repertum (VeR) KASUS DELIK SUSILA DOKTER UMUM DI RS ABDOEL MOELOEK BANDAR LAMPUNG Handayani Dwi Utami 1, Rodiani 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

ALAT BUKTI SAH SURAT: PENEMUAN, PEMBUKTIAN, DAN KETERTERIMAAN Budi Sampurna 1

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

P U T U S A N. Nomor : 646/PID/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N. No. 39/PID.B/2014/PN.SBG

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

PENGADILAN TINGGI MEDAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN Nomor 10/PID.B/2015/PT. PBR

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Transkripsi:

Tinjauan Pustaka Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan Derajat Luka Dedi Afandi Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau Abstrak: Visum et repertum (VeR) perlukaan korban hidup merupakan jenis bantuan yang paling sering diminta oleh penyidik dibandingkan jenis VeR lainnya. Visum et repertum (VeR) perlukaan pada dasarnya adalah suatu kompilasi akhir pemeriksaan medis forensik tidak terlalu berbeda dengan pemeriksaan fisis dalam praktek kedokteran rutin, namun karena sifatnya sebagai alat bukti dalam proses peradilan, sebuah VeR tidak hanya harus memenuhi standar penulisan rekam medis tetapi juga harus memenuhi beberapa hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan. Tujuan pemeriksaan forensik pada kasus perlukaan adalah untuk mengetahui jenis luka, jenis kekerasan dan derajat luka. Dengan kata lain harus memenuhi formulasi yang sesuai dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Variasi keputusan klinis dapat terjadi dalam menentukan derajat luka akibat penganiayaan yang akan merugikan proses peradilan. Pemahaman aspek medikolegal dan penentuan derajat luka diperlukan untuk meningkatkan kualitas Visum et repertum (VeR) perlukaan yang memenuhi standar. Kata Kunci: Visum et repertum, perlukaan, aspek medikolegal, derajat luka. 188

Visum et Repertum of Injury: Medicolegal Aspect and Determining Degree of Injury Dedi Afandi Department of Forensic Medicine and Medicolegal Faculty of Medicine University of Riau Abstract: Visum et Repertum (VeR) of injury for living victims is the most frequent form of assistance requested by investigating officers compared to other kinds of VeR. A VeR basically is a compilation and interpretation of a forensic medical examination as well as a physical examination on a routine medical examination. A VeR should not only fulfill the writing standard, but must also fulfill several terms and conditions for a court system. The objective of a forensic examination on injury cases is to know the type of wound, type of injuriy and degree of injury. This is meant to fulfill the formulation offence in Indonesian s Penal Code (KUHP). Clinical judgment in defining a wound degree following a crime could be various, which could negatively affect the court sentence. A good Visum et repertum (VeR) of injury could be reached by understanding the medico legal aspect and determining the degree of injury severity. Keyword : Visum et repertum, injury, medico legal aspect, degree of injury. Pendahuluan Visum et Repertum (VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Visum et Repertum (VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya memenuhi standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan. 1 Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus perlukaan dan keracunan yang memerlukan VeR pada unit gawat darurat mencapai 50-70%. 2 Dibandingkan dengan kasus pembunuhan dan perkosaan, kasus penganiayaan yang mengakibatkan luka merupakan jenis yang paling sering terjadi, dan oleh karenanya penyidik perlu meminta VeR kepada dokter sebagai alat bukti di depan pengadilan. 1,3 Dalam praktik sehari-hari seorang dokter tidak hanya melakukan pemeriksaan medis untuk kepentingan diagnostik dan pengobatan penyakit saja, tetapi juga untuk dibuatkan suatu surat keterangan medis. Demikian pula halnya dengan seorang pasien yang datang ke instalasi gawat darurat, tujuan utama yang bersangkutan umumnya adalah untuk mendapatkan pertolongan medis agar penyakitnya sembuh. Namun dalam hal pasien tersebut mengalami cedera, pihak yang berwajib dapat meminta surat keterangan medis atau VeR dari dokter yang memeriksa. Jadi pada satu saat yang sama dokter dapat bertindak sebagai seorang klinisi yang bertugas mengobati penyakit sekaligus sebagai seorang petugas forensik yang bertugas membuat VeR. Sedangkan pasien bertindak sebagai seorang yang diobati sekaligus korban yang diperiksa dan hasilnya dijadikan alat bukti. 4 Sebuah VeR yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang terjadi dengan melibatkan buktibukti forensik yang cukup. Tetapi hasil penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa hanya 15,4% dari VeR perlukaan rumah sakit umum DKI Jakarta berkualitas baik, 3 sementara di Pekanbaru menunjukkan bahwa 97,06 % berkualitas jelek dan tidak satu pun yang memenuhi kriteria VeR yang baik. 5 Dari kedua penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa bagian pemberitaan dan bagian kesimpulan merupakan bagian yang paling kurang diperhatikan oleh dokter. Kualitas bagian pemberitaan berturut-turut untuk Jakarta dan Pekanbaru adalah 36,9% dan 29,9%, yang berarti berkualitas buruk. Nilai kualitas bagian pemberitaan merupakan nilai yang terendah dari ketiga bagian VeR. Unsur yang tidak dicantumkan oleh hampir semua dokter adalah anamnesis, tanda vital, dan pengobatan perawatan. Hal tersebut mungkin disebabkan masih adanya anggapan bahwa anamnesis, tanda vital dan pengobatan tidak penting dituliskan dalam VeR, atau juga dapat disebabkan karena dokter pembuat VeR tidak mengetahui bahwa unsur tersebut perlu dicantumkan dalam pembuatan VeR. 5 Pada penelitian yang sama didapatkan bahwa kualitas untuk bagian kesimpulan 65,94% (kualitas sedang) di Jakarta dan 37,5% (berkualitas buruk) di Pekanbaru. 3,5 Pada bagian kesimpulan, walaupun sebanyak 68,9% dokter dapat menyimpulkan jenis luka dan kekerasan, namun terdapat 62% dokter yang tidak dapat menyimpulkan kualifikasi luka secara 189

benar. 3 Sementara dari hasil penelitian di Pekanbaru, tidak satupun dokter pemeriksa VeR yang mencantumkan kualifikasi luka menurut rumusan pasal 351, 352, dan 90 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Rumusan ketiga pasal tersebut secara implisit membedakan derajat perlukaan yang dialami korban menjadi luka ringan, luka sedang, dan luka berat. Secara hukum, ketiga keadaan luka tersebut menimbulkan konsekuensi pemi- a danaan yang berbeda bagi pelakunya. Dengan demikian kekeliruan penyimpulan kualifikasi luka secara benar dapat menimbulkan ketidakadilan bagi korban maupun pelaku tindak pidana. Hal tersebut dapat mengakibatkan fungsi VeR sebagai alat untuk membantu suatu proses peradilan menjadi berkurang. 3,5,6 Berdasarkan tujuannya, paradigma yang digunakan dalam pemeriksaan medikolegal sangat berbeda dibandingkan dengan pemeriksaan klinis untuk kepentingan b pengobatan. Tujuan pemeriksaan medikolegal pada seorang korban adalah untuk menegakkan hukum pada peristiwa pidana yang dialami korban melalui penyusunan VeR yang baik. Tujuan pemeriksaan klinis pada peristiwa perlukaan adalah untuk memulihkan kesehatan pasien melalui pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan medis lainnya. Apabila seorang dokter yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan medikolegal menggunakan orientasi dan paradigma pemeriksaan klinis, penyusunan VeR dapat tidak mencapai sasaran sebagaimana yang seharusnya. 4 Dari segi medikolegal, orientasi dan paradigma yang digunakan dalam merinci luka dan kecederaan adalah untuk dapat membantu merekonstruksi peristiwa penyebab terjadinya luka dan memperkirakan derajat keparahan luka (severity of injury). Dengan demikian pada pemeriksaan suatu luka, bisa saja ada beberapa hal yang dianggap penting dari segi medikolegal, tidak dianggap perlu untuk tujuan pengobatan, seperti misalnya lokasi luka, tepi luka, dan sebagainya. 4 Berdasarkan uraian di atas, sama-sama disadari bahwa pembuatan VeR memiliki aspek medikolegal yang harus diperhatikan terutama penilaian klinis untuk menentukan derajat luka. Untuk selanjutnya akan dibahas berbagai aspek medikolegal dari VeR dan penilaian klinis sebagai bahan penyegar bagi kita semua. Definisi dan Dasar Pengadaan Visum et Repertum Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. 7 Rumusan yang jelas tentang pengertian VeR telah dikemukakan pada seminar forensik di Medan pada tahun 1981 yaitu laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atau janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, yang memuat pemberitaan tentang segala hal atau fakta yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut. 8 Menurut Budiyanto et al, dasar hukum VeR adalah sebagai berikut: 7 Pasal 133 KUHAP menyebutkan: (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena VeR adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta VeR, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP. 6,7 Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana : 6,7 Pasal 216 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Prosedur pengadaan VeR berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati, prosedur permintaan VeR korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter. Hal tersebut berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan 190

tanggung jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan korban sebagai barang bukti. Hal-hal yang merupakan barang bukti pada tubuh korban hidup adalah perlukaannya beserta akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya maka tidak dapat disegel maupun disita, melainkan menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk VeR. 6,9 KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh petugas kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan diperiksa dengan identitas korban yang dimintakan VeRnya, seperti yang tertulis di dalam surat permintaan VeR. Situasi tersebut membawa dokter turut bertanggung jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan identitas korban yang diperiksa. 6,9 Dalam praktik sehari-hari, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru kemudian dilaporkan ke penyidik. Hal tersebut membawa kemungkinan bahwa surat permintaan visum et repertum korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan tersebut masih cukup beralasan dan dapat diterima maka keterlambatan itu tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan VeR. Sebagai contoh, adanya kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (darurat). 6 Adanya keharusan membuat VeR perlukaan tidak berarti bahwa korban tersebut, dalam hal ini adalah pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Korban hidup adalah pasien juga sehingga mempunyai hak sebagai pasien. Apabila pemeriksaan tersebut sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis. 6 Hal penting yang harus diingat adalah bahwa surat permintaan VeR harus mengacu kepada perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Surat permintaan VeR pada korban hidup bukanlah surat yang meminta pemeriksaan, melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil pemeriksaan medis. 6 Aspek Medikolegal Visum et Repertum Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. 6,7 Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. 6,7 Apabila VeR belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal itu sesuai dengan pasal 180 KUHAP. 6,7 Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VeR berguna untuk mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional (SPO) di suatu Rumah Sakit tentang tatalaksana pengadaan VeR. 6,10 Struktur Visum et Repertum Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai berikut : 1,4,6-8,11,12 1. Pro Justitia Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu bermeterai. 2. Pendahuluan Pendahuluan memuat: identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan. 3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan) Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati, terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut 191

terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari: a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan dan apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang penyakit yang diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga kekerasan. b. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis). c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat/ tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil. d. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan. 4. Kesimpulan Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan VeR adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. 5. Penutup Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VeR. Penentuan Derajat Luka Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah VeR perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka. 9 Dari aspek hukum, VeR dikatakan baik apabila substansi yang terdapat dalam VeR tersebut dapat memenuhi delik rumusan dalam KUHP. 1 Penentuan derajat luka sangat tergantung pada latar belakang individual dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikutsertaan dalam pendidikan kedokteran berkelanjutan dan sebagainya. 13 Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik, psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan. 4,13 Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan. 4,13 Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori tersebut. 4 Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati penyakit akibat kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut. 4 192

Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Luka berat itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP, maka korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut. 4 Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah : jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu panca indera; mendapat cacat berat; menderita sakit lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Contoh VeR perlukaan dapat kita lihat seperti dibawah ini: Pekanbaru, 24 Agustus 2010 PRO JUSTITIA VISUM ET REPERTUM No. /TUM/VER/VIII/2010 Yang bertandatangan di bawah ini, Dedi Afandi, dokter spesialis forensik pada RSUD Arifin Achmad, atas permintaan dari kepolisian sektor Teluk Belanga dengan suratnya nomor B/37/VeR/VIII/Reskrim tertanggal 24 Agustus 2010 maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal dua puluh empat Agustus tahun dua ribu sepuluh pukul Sembilan lewat lima menit Waktu Indonesia Bagian Barat.bertempat di RSUD Arifin Achmad, telah melakukan pemeriksaan korban dengan nomor registrasi 123456 yang menurut surat tersebut adalah: Nama : xxxx Umur : 34 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Warga negara : Indonesia Pekerjaan : xxxx Agama : xxxx Alamat : xxxx HASIL PEMERIKSAAN: 1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit sedang. Korban mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan setelah kejadian pemukulan pada kepala 2. Pada korban ditemukan a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan belakang, empat senti meter diatas batas dasar tulang, terdapat luka terbuka, tepi tidak rata, dinding luka kotor, sudut luka tumpul, berukuran tiga senti meter kali satu senti meter, disekitarnya dikelilingi benjolan berukuran empat sentimeter kali empat senti meter b. Pada dagu, tepat pada garis pertengahan depan terdapat luka terbuka tepi tidak rata, dasar jaringan bawah kulit,dinding kotor, sudut tumpul, berukuran dua senti meter kali setengah sentimeter dasar otot. c. Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba patah pada pertengahan serta nyeri pada penekanan. d. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya cedera kepala ringan. 3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak menunjukkan adanya patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri menunjukkan adanya patah tulang lengan atas pada pertengahan. 4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan pengobatan. 5. Korban dipulangkan dengan anjuran kontrol seminggu lagi. KESIMPULAN : Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan cedera kepala ringan, luka terbuka pada belakang kepala kiri dan dagu serta patah tulang tertutup pada lengan atas kiri akibat kekerasan tumpul. Cedera tersebut telah mengakibatkan penyakit / halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian untuk sementara waktu. Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dokter Pemeriksa 193

Perbedaan dalam membuat keputusan penentuan luka tidak banyak menemukan masalah dalam penentuan luka derajat tiga, namun secara konseptual masih berbeda pendapat untuk penetapan luka derajat satu dan dua. 9,13 Variasi keputusan klinis dalam menentukan kualifikasi luka tidak akan menguntungkan bagi pengambilan keputusan oleh para penegak hukum dalam proses peradilan karena tidak memberikan kepastian pendapat mana yang akan dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. 13 Rumusan delik penganiayaan menyebutkan antara lain bahwa luka derajat dua akan terpenuhi bila pekerjaan atau jabatan korban menjadi terganggu. Walaupun masih terdapat kontroversi dalam penentuan kualifikasi luka dengan mempertimbangkan jenis pekerjaan korban, namun pada umumnya para dokter cenderung sepakat untuk tidak mempertimbangkan hal tersebut di masa mendatang. Mereka lebih cenderung menggunakan rumusan ada atau tidak adanya penyakit dalam menentukan kualifikasi luka karena hal tersebut masih dalam lingkup kompetensi seorang dokter di bidang medis. 13 Hal-hal yang mempengaruhi penentuan kualifikasi luka adalah regio anatomis yang terkena trauma. Sebagai contoh, apabila regio leher terkena trauma, walaupunpun kecil akibat yang nampak, namun terdapat kecenderungan untuk memberikan kualifikasi luka yang lebih berat. Hal itu disebabkan karena pada daerah leher terdapat organ-organ yang vital bagi kehidupan, seperti arteri karotis, vena jugularis, serta saluran pernafasan. Kekerasan pada daerah wajah dan daerah kepala lainnya juga dipertimbangkan sebagai faktor yang ikut meningkatkan kualifikasi luka. Walaupun beberapa responden memperhatikan nilai laboratorium termasuk peningkatan leukosit pada salah satu kasus, namun pada umumnya faktor-faktor fisiologis yang terjadi akibat trauma seperti reaksi inflamasi sistemik (systemic inflamatory response syndrome), respons neurologik, fisiologik, dan metabolik belum mendapatkan perhatian khusus dalam menentukan kualifikasi luka. 13 Penganiayaan ringan tidak mengakibatkan luka atau hanya mengakibatkan luka ringan yang tidak termasuk kategori penyakit dan halangan sebagaimana disyaratkan dalam pasal 352 KUHP. Contoh luka ringan atatu luka derajat satu adalah luka lecet yang superfisial dan berukuran kecil atau memar yang berukuran kecil. Lokasi lecet atau memar tersebut perlu diperhatikan oleh karena lecet atau memar pada beberapa lokasi tertentu mungkin menunjukkan cedera bagian dalam tubuh yang lebih hebat dari yang terlihat pada kulit. Luka lecet atau memar yang luas dan derajatnya cukup parah dapat saja diartikan sebagai bukan sekedar luka ringan. Luka atau keadaan cedera yang terletak di antara luka ringan dan luka berat dapat dianggap sebagai luka sedang. 9 Dari kesimpulan dapat kita perhatikan hal-hal berikut: identitas korban adalah laki-laki berusia 34 tahun, jenis cedera adalah cedera kepala, vulnus laceratum dan fraktur tulang. Sedangkan jenis kekerasan adalah kekerasan tumpul. Untuk jenis kekerasan, hindari penggunaan kata benda tumpul atau benda tajam. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa penggunaan kekerasan benda tajam atau kekerasan benda tumpul, dalam pemikiran penegak hukum harus selalu ada benda yang berbentuk fisik seperti kayu, batu dan sebagainya (untuk benda tumpul) atau pisau, silet dan sebagainya (untuk benda tajam). Padahal tidak selalu sebuah luka diakibatkan oleh suatu benda, contohnya memar bisa diakibatkan oleh pukulan tangan. Kasus di atas dikualifikasikan sebagai luka derajat dua (sedang) karena luka tersebut memerlukan perawatan, terdapat patah tulang dan mengenai organ vital yaitu kepala. Di dalam kesimpulan sebaiknya kita tidak menuliskan derajat dua sebagai kualifikasi luka, melainkan menuliskan sesuai dengan kalimat dalam KUHP sehingga akan memudahkan aparat penegak hukum dalam membuat dakwaan. Berbeda halnya dengan kasus korban mati, pada kasus korban hidup dokter diharapkan memahami kecederaan berdasarkan patofisiologi dan biomekanika trauma. Gabungan pengukuran kecederaan secara anatomis dan fisiologis merupakan pengukuran yang paling ideal dalam menetapkan kualifikasi luka. 4,13 Kesimpulan Visum et repertum merupakan salah satu bentuk bantuan dokter dalam penegakan hukum dan proses peradilan. Visum et repertum merupakan alat bukti yang sah dalam proses peradilan sehingga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan. Sebuah VeR yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup. Penentuan derajat atau kualifikasi luka memegang peranan penting bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan. Bagi praktisi kesehatan diharapkan agar dapat mengupayakan prosedur pembuatan VeR khususnya VeR perlukaan yang memenuhi standar karena memiliki dampak yuridis yang luas dan dapat menentukan nasib seseorang. Daftar Pustaka 1. Herkutanto. Peningkatan kualitas pembuatan visum et repertum (VeR) kecederaan di rumah sakit melalui pelatihan dokter unit gawat darurat (UGD). JPMK. 2005;8(3):163-9. 2. Atmadja DS. Aspek medikolegal pemeriksaan korban perlukaan dan keracunan di rumah sakit. Prosiding ilmiah Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan dan Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Rabu 23 Juni 2004. 3. Herkutanto. Kualitas visum et repertum perlukaan di Jakarta dan faktor yang mempengaruhinya. Maj Kedokt Indon. 2004;54 (9):355-60. 4. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Indonesia. Pedoman teknik pemeriksaan dan interpretasi luka dengan orientasi medikolegal atas kecederaan. Jakarta, 2005. 5. Afandi D, Mukhyarjon, Roy J. The Quality of visum et repertum of the living victims In Arifin Achmad General Hopital during 194

January 2004-September 2007. Jurnal Ilmu Kedokteran. 2008;2(1):19-22. 6. Afandi D. Visum et repertum pada korban hidup. Jurnal Ilmu Kedokteran. 2009;3(2):79-84. 7. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997. 8. Amir A. Rangkaian ilmu kedokteran forensik, edisi 2. Jakarta: Ramadhan, 2005. 9. Sampurna B, Samsu Z. Peranan ilmu forensik dalam penegakan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar, 2003. 10. Siswadja TD. Tata laksana pembuatan VeR perlukaan dan keracunan. Simposium Tatalaksana visum et repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan & Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Rabu 23 Juni 2004. 11. Soekanto S, Herkutanto, Sampurna B. Visum et repertum teknik penyusunan dan pemerian. Jakarta: IND-HILL-CO, 1987. 12. Dahlan S. Pembuatan visum et repertum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1999. 13. Herkutanto, Pusponegoro AD, Sudarmo S. Aplikasi trauma-related injury severity score (TRISS) untuk penetapan derajat luka dalam konteks mediklegal. J I Bedah Indones. 2005;33(2):37-43. FS 195