KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
Deskripsi dan Analisis

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN TRIWULAN III

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

Grafik 5.1. Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Kaltara Tahun Anggaran Sumber: Hasil Olahan, 2016

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

Monitoring Realisasi APBD Triwulan I

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (Realisasi dan Proyeksi)

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

Lampiran 1 STRUKTUR ORGANISASI DPPKAD KABUPATEN GRESIK

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

local accountability pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III PENGELOLAAN KEUNGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Bab-3 Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

5.1 ARAH PENGELOLAAN APBD

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

Daftar Isi. DAFTAR ISI...iii. EXECUTIVE SUMMARY... v. KATA PENGANTAR... ix

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

Transkripsi:

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

RINGKASAN EKSEKUTIF Belanja dalam APBD dialokasikan untuk melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan kemampuan pendapatannya, serta didukung oleh pembiayaan yang sehat sehingga diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang berkualitas diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan publik, selalu terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang tercermin dari banyaknya kebutuhan yang dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu, prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, secara nasional kiranya perlu dilakukan analisis tentang kesehatan keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam memotret kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Di sisi pendapatan, analisis kesehatan keuangan APBD dilakukan dengan melihat beberapa hal, yaitu: rasio pajak (tax ratio), ruang fiskal (fiscal space), serta rasio kemandirian daerah. Rasio pajak mencerminkan hubungan pajak daerah dengan pendapatan domestic regional bruto (PDRB) daerah. Secara kewilayahan, daerah-daerah di wilayah Jawa- menunjukkan rasio pajak yang tertinggi, namun untuk perbandingan antar-pemerintah provinsi, Provinsi menduduki posisi tertinggi. Ada tiga kemungkinan penyebab tingginya rasio tersebut, yaitu tingginya penerimaan pajak daerah, rendahnya PDRB, atau gabungan keduanya. Tingginya rasio pajak di Jawa- disebabkan oleh faktor pertama yang mana potensi pajak daerah (yang memang bias kekotaan) di Jawa- memang lebih besar, sedangkan untuk Pemerintah, faktor kedua membuat nilai rasio pajaknya tinggi. Ruang Fiskal merupakan rasio yang menggambarkan besarnya pendapatan yang masih bebas digunakan oleh daerah untuk mendanai program/kegiatan sesuai kebutuhannya. Penghitungan Ruang Fiskal diperoleh dengan mengurangkan seluruh pendapatan dengan pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) dan belanja wajib seperti belanja pegawai dan bunga. Hasil analisis menunjukkan bahwa ruang fiskal tertinggi baik untuk total pemda perprovinsi, kabupaten/kota perprovinsi, pemerintah provinsi, maupun per wilayah DJPK KEMENKEU RI iii

adalah di wilayah Kalimantan, utamanya di Kalimantan Timur. Posisi terendah untuk kabupaten/kota adalah daerah-daerah di provinsi Jawa Tengah, sementara untuk pemerintah provinsi yang terendah adalah, serta untuk per wilayah adalah wilayah Sulawesi. Tinggi rendah angka tersebut dapat disebabkan oleh 4 (empat) faktor, yaitu: tinggi-rendahnya pendapatan umum, tinggi-rendahnya pendapatan yang bersifat terikat, tinggi-rendahnya belanja wajib, serta gabungan beberapa faktor di atas. Rasio kemandirian daerah dicerminkan oleh rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap total pendapatan, serta rasio transfer terhadap total pendapatan. Dua rasio tersebut memiliki sifat berlawanan, yaitu semakin tinggi rasio PAD semakin tinggi kemandirian daerah dan sebaliknya untuk rasio transfer. Untuk rasio PAD, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi secara nasional, Provinsi untuk kabupaten/kota per provinsi, Jawa Timur untuk per pemerintah provinsi dan Jawa- untuk kewilayahan. Sementara itu, yang terendah secara nasional, kabupaten/kota per provinsi, serta per pemerintah provinsi adalah adalah Provinsi Barat, sedangkan untuk per wilayah adalah Nusa Tenggara--. Posisi tertinggi dan terendah rasio transfer umumnya berkebalikan dengan posisi provinsi yang bersangkutan pada rasio PAD. Artinya, provinsi yang tertinggi untuk rasio PAD merupakan rasio terendah untuk rasio transfer dan demikian pula sebaliknya. Di sisi belanja daerah, analisis meliputi rasio belanja pegawai terhadap total belanja, rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja, rasio belanja modal per total belanja, rasio belanja per jumlah penduduk, serta rasio belanja modal per jumlah penduduk. Semua rasio tersebut menunjukkan kecenderungan pola belanja daerah, apakah suatu daerah cenderung mengalokasikan dananya untuk belanja yang terkait erat dengan upaya peningkatan ekonomi, seperti belanja modal, atau untuk belanja yang sifatnya untuk pendanaan aparatur, seperti belanja pegawai tidak langsung. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk belanja pegawai, Provinsi memiliki rasio tertinggi untuk total pemda per provinsi dan kabupaten/kota per provinsi. Sementara itu, rasio belanja pegawai terendah untuk seluruh pemda per provinsi dan pemerintah provinsi adalah Provinsi Barat, sedangkan untuk daerah kabupaten/kota per provinsi yang terendah adalah Kalimantan Timur. Hal yang hampir serupa terjadi untuk rasio belanja pegawai tidak langsung. Hal ini wajar, karena secara rata-rata porsi belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja pegawai total relatif hampir seragam di seluruh daerah. Sebagaimana patut diduga, kondisi berkebalikan terjadi untuk rasio belanja modal. memiliki rasio terendah untuk rasio belanja modal, sedangkan Kalimantan Timur merupakan yang tertinggi. Untuk rasio belanja per kapita, Barat dan Jawa Barat merupakan yang memiliki rasio tertinggi dan terendah dalam agregat per provinsi. Sementara berdasarkan pembagian wilayah, rasio di Kalimantan merupakan yang tertinggi, dan Jawa- (tidak termasuk DKI) adalah yang terendah. DJPK KEMENKEU RI iv

Analisis APBD juga meliputi analisis atas defisit/surplus dan pembiayaan yang meliputi analisis defisit/surplus, Selisih Lebih atas Perhitungan Anggaran (SiLPA), penerimaan pembiayaan melalui pinjaman, serta rasio keseimbangan primer. Dari analisis di sisi bellow the line ini ternyata terdapat beberapa hal yang perlu dicermati. Salah satunya adalah adanya beberapa daerah yang menganggarkan defisit namun anggaran pembiayaannya tidak mencukupi untuk menutup defisit tersebut. Paling tidak terdapat 20 kabupaten/kota yang mengalami kejadian ini. Hal ini menunjukkan tidak sehatnya APBD mereka, karena dengan demikian belanja menjadi tidak jelas sumber pendanaannya. Sebaliknya, kondisi yang berlawanan juga terjadi dimana terdapat beberapa daerah yang menganggarkan surplus penerimaan (yang berarti terjadi selisih positif antara defisit/surplus dengan netto pembiayaan). Hal ini menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memang mentargetkan SiLPA mereka. Terlepas dari apapun tujuan target SiLPA, namun hal ini tidak layak dilakukan dalam pola pengelolaan keuangan yang sehat, karena akan menimbulkan tidak efisiennya penggunaan budget untuk membiayai peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong munculnya dana yang off budget. Di samping itu, hal ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh ketidakmampuan SDM pengelola keuangan daerah dalam melakukan perencanaan anggaran. DJPK KEMENKEU RI v

KATA PENGANTAR Penyelenggaraan pemerintahan, baik oleh Pusat maupun Daerah mempunyai fungsi untuk mendorong dan memfasilitasi Pembangunan guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang memadai bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan fungsi dan peran sebagai motivator dan fasilitator pembangunan tersebut, pemerintah telah mengambil suatu pilihan kebijakan untuk lebih mengedepankan peran pemerintah daerah sebagai penggerak pembangunan. Melalui kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, diharapkan agar pemerintahan di level yang paling dekat dengan masyarakat mampu menyerap aspirasi dan partisipasi masyarakat lokal sehingga arah pembangunan akan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat setempat. Guna mendukung peran dan fungsi pemerintah daerah dalam pembangunan, Pemerintah telah dan akan terus mendukung pendanaan melalui mekanisme transfer ataupun pola pendanaan lainnya. Dukungan pendanaan tersebut telah dibuktikan dengan besarnya dana APBN yang disalurkan ke daerah, baik melalui skema desentralisasi maupun skema lainnya, seperti dekonsentrasi, tugas pembantuan, subsidi, maupun bantuan langsung ke masyarakat. Dana yang besar yang telah dan akan digulirkan melalui skema desentralisasi serta dana yang memang bersumber dari daerah sendiri (seperti pajak daerah dan retribusi daerah), selanjutnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah daerah dalam APBD dan pertanggungjawabannya sepenuhnya berada di daerah. Pada dasarnya tidak ada lagi mekanisme pertanggungjawaban APBD kepada Pemerintah Pusat, namun hanya berupa penyampaian data APBD kepada Pusat untuk keperluan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD). Dari data yang disampaikan melalui SIKD inilah kemudian disusun informasi dan analisis atas APBD seluruh Indonesia. Analisis APBD yang kami sampaikan dengan mempergunakan rasio-rasio dari komponen APBD ini diharapkan akan dapat berguna untuk memberikan gambaran yang menyeluruh namun ringkas mengenai situasi dan kondisi keuangan daerah saat ini. Potret APBD yang informatif dan akurat selanjutnya dapat digunakan oleh pihak yang berkepentingan, baik di pusat maupun di daerah, sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. DJPK KEMENKEU RI vi

Kami mengharapkan agar buku Deskripsi dan Analisis APBD Tahun 2011 ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Besar harapan kami, agar buku ini dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam pengambilan kebijakan sehingga tujuan dan citacita otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat terwujud. Jakarta, Juni 2011 DirekturJenderal Perimbangan Keuangan, Dr. Marwanto Harjowiryono, MA DJPK KEMENKEU RI vii

DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL... ii RINGKASAN EKSEKUTIF... iiii KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GRAFIK... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Gambaran Umum APBD 2011... 2 1. Pendapatan Daerah... 5 2. Belanja Daerah... 7 3. Surplus, Defisit dan Pembiayaan Daerah... 8 BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH... 9 A. Rasio Pajak (Tax Ratio)... 9 1. Nasional... 10 2. Kabupaten/Kota... 11 3. Pemerintah Provinsi... 12 4. Per Wilayah... 13 B. Ruang Fiskal (Fiscal Space)... 13 1. Definisi... 13 2. Nasional... 14 3. Kabupaten/Kota... 15 4. Pemerintah Provinsi... 16 5. Per Wilayah... 17 C. Rasio Kemandirian Daerah... 18 1. Pendahuluan... 18 2. Nasional... 18 3. Kabupaten/Kota... 19 4. Pemerintah Provinsi... 20 5. Per Wilayah... 20 DJPK KEMENKEU RI viii

BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH... 23 A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah... 23 1. Nasional... 23 2. Kabupaten/Kota... 24 3. Pemerintah Provinsi... 25 4. Per Wilayah... 25 B. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah... 26 1. Nasional... 26 2. Kabupaten/Kota... 27 3. Pemerintah Provinsi... 28 4. Per Wilayah... 28 C. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah... 29 1. Nasional... 29 2. Kabupaten/Kota... 30 3. Pemerintah Provinsi... 31 4. Per Wilayah... 31 D. Rasio Belanja Daerah terhadap Jumlah Penduduk... 32 1. Nasional... 32 2. Kabupaten/Kota... 33 3. Pemerintah Provinsi... 34 4. Per Wilayah... 35 E. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk... 35 1. Nasional... 35 2. Kabupaten/Kota... 36 3. Pemerintah Provinsi... 37 4. Per Wilayah... 38 BAB IV ANALISIS DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH... 39 A. Defisit... 39 1. Nasional... 39 2. Kabupaten/Kota... 40 3. Pemerintah Provinsi... 41 4. Per Wilayah... 41 5. Daerah dengan defisit yang belum ter cover oleh pembiayaan... 43 B. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran... 44 1. Nasional... 44 DJPK KEMENKEU RI ix

2. Kabupaten/Kota... 45 3. Pemerintah Provinsi... 45 4. Per Wilayah... 46 C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman... 46 1. Nasional... 46 2. Kabupaten/Kota... 47 3. Pemerintah Provinsi... 47 4. Per Wilayah... 48 5. Daerah yang melampaui batas maksimal defisit yang dibiayai pinjaman... 49 6. Daerah yang menganggarkan pinjaman dengan APBD surplus... 50 D. Rasio Keseimbangan Primer... 51 1. Nasional... 52 2. Kabupaten/Kota... 53 3. Pemerintah Provinsi... 54 4. Per Wilayah... 54 DAFTAR PUSTAKA... 56 UCAPAN TERIMA KASIH... 57 DJPK KEMENKEU RI x

DAFTAR TABEL Hal Tabel 1.1 Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah)... 3 Tabel 2.1 Provinsi yang memiliki Rasio Pajak diatas rata-rata Nasional ()... 11 Tabel 2.2 Provinsi yang memiliki Ruang Fiskal diatas rata-rata Nasional ()... 15 Tabel 4.1 Daerah dengan APBD minus... 43 Tabel 4.2 Daerah dengan Pinjaman diatas ketentuan yag ditetapkan di PMK... 49 Tabel 4.3 Daerah yang menganggarkan pinjaman dengan APBD Surplus... 51 DJPK KEMENKEU RI xi

DAFTAR GRAFIK Hal Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah... 2 Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah... 2 Grafik 1.3 Trend APBD (dalam juta rupiah)... 3 Grafik 1.4 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2007 2011()... 4 Grafik 1.5 Trend Belanja Daerah... 5 Grafik 1.6 Rasio Pendapatan Daerah per Wilayah... 6 Grafik 1.7 Rasio Belanja Daerah per Wilayah... 7 Grafik 1.8 Pembiayaan per Wilayah... 8 Grafik 2.1 Rasio Pajak Nasional... 10 Grafik 2.2 Rasio Pajak Kabupaten/Kota... 12 Grafik 2.3 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi... 12 Grafik 2.4 Rasio Pajak per Wilayah... 13 Grafik 2.5 Ruang Fiskal Nasional... 14 Grafik 2.6 Ruang Fiskal Kabupaten/Kota... 15 Grafik 2.7 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi... 16 Grafik 2.8 Ruang Fiskal per Wilayah... 17 Grafik 2.9 Rasio Kemandirian Nasional... 18 Grafik 2.10 Rasio Kemandirian Kabupaten/Kota... 19 Grafik 2.11 Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi... 19 Grafik 2.12 Rasio Kemandirian per Wilayah... 20 Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Nasional... 21 Grafik 3.2 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota... 24 Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Pemerintah Provinsi... 24 Grafik 3.4 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah per Wilayah... 25 Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah Nasional27 Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota... 27 Grafik 3.7 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah Pemerintah Provinsi... 28 Grafik 3.8 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah per Wilayah... 29 DJPK KEMENKEU RI xii

Grafik 3.9 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Nasional... 30 Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota... 30 Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi... 31 Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah per Wilayah... 32 Grafik 3.13 Rasio Belanja Daerah per Kapita Nasional... 33 Grafik 3.14 Rasio Belanja Daerah per Kapita Kabupaten/Kota... 34 Grafik 3.15 Rasio Belanja Daerah per Kapita Pemerintah Provinsi... 34 Grafik 3.16 Rasio Belanja Daerah per Kapita per Wilayah... 35 Grafik 3.17 Rasio Belanja Modal per Kapita Nasional... 36 Grafik 3.18 Rasio Belanja Modal per Kapita Kabupaten/Kota... 37 Grafik 3.19 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi... 37 Grafik 3.20 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah... 38 Grafik 4.1 Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan Nasional... 39 Grafik 4.2 Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan Kab/Kota... 40 Grafik 4.3 Kab/Kota berdasarkan Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan ()... 40 Grafik 4.4 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Provinsi... 41 Grafik 4.5 Rasio Defisit/Pendapatan per wilayah... 42 Grafik 4.6 Penyebaran Rasio Defisit/Pendapatan per wilayah... 42 Grafik 4.7 Rasio SiLPA terhadap Belanja Nasional... 44 Grafik 4.8 Rasio SiLPA terhadap Belanja Kabupaten/Kota... 45 Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Provinsi... 45 Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah... 46 Grafik 4.11 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Nasional... 46 Grafik 4.12 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Kabupaten/Kota... 47 Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi... 48 Grafik 4.14 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah... 48 Grafik 4.15 Penyebaran Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah... 49 Grafik 4.16 Rasio Primary Balance Nasional... 52 Grafik 4.17 Rasio Primary Balance Kabupaten/Kota... 53 Grafik 4.18 Rasio Primary Balance Pemerintah Provinsi... 54 Grafik 4.19 Rasio Primary Balance per wilayah... 54 DJPK KEMENKEU RI xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka mewujudkan pelayanan publik kepada masyarakat maka seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia setiap tahunnya harus merencanakan, menyusun dan melaksanakan seluruh kegiatan dan pendanaan yang sudah terangkum dalam rencana keuangan tahunan berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD yang disahkan dan diundangkan dengan Peraturan Daerah sebelumnya harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). APBD menunjukkan alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan dan sumbersumber pendapatan, serta pembiayaan yang digunakan untuk mendanainya. Program/kegiatan dimaksud dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang berkualitas diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan publik, selalu terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang mana banyaknya kebutuhan selalu dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu, prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, secara nasional kiranya perlu dilakukan analisis tentang kesehatan keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam memotret kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang analisis rasio keuangan APBD 2011. Berdasarkan rasio keuangan APBD tersebut maka dapat disimpulkan tentang kualitas dan tingkat kesehatan APBD. Analisis ini didasarkan pada data sekunder berupa data ringkasan APBD 2011 sebanyak 524 daerah. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa-, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara--). DJPK KEMENKEU RI 1

B. Gambaran Umum APBD 2011 Berdasarkan data APBD yang telah dikumpulkan oleh Direktorat EPIKD yang terdiri dari 33 Provinsi 398 Kabupaten dan 93 Kota, maka bisa kita lakukan analisis untuk mengetahui kondisi keuangan daerah yang tercermin dari beberapa komponen dalam APBD Tahun Anggaran 2011. Data yang dianalisis menggunakan data APBD yang telah dikonsolidasikan untuk menghilangkan penghitungan ganda atas beberapa reciprocal account. Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah 13,0 19,0 PAD 68,0 Dana Perimbangan Lain-lain pend yang sah Komposisi Pendapatan Daerah pada APBD TA 2011 secara nasional dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian utama yaitu PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang sah. Grafik 1.1, menunjukkan dana perimbangan merupakan komposisi yang paling mendominasi yaitu sebesar 68,0 atau Rp327,361 triliun dalam komposisi pendapatan daerah, sedangkan PAD hanya sebesar 19,0 atau sebesar Rp90,393 triliun dan Lain-lain Pendapatan yang sah sebesar 13,0 atau sebesar Rp61,343 triliun. Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah 45 20 13 22 Belanja Pegawai Belanja Barang dan jasa Belanja Modal Lain-lain DJPK KEMENKEU RI 2

Belanja daerah secara nasional pada TA 2011 mencapai Rp514,467 triliun. Belanja pegawai porsinya masih dominan yaitu mencapai 45,0 atau sebesar Rp229,077 triliun. Belanja Modal mencapai Rp113,622 triliun atau sebesar 22,0. Belanja Barang dan Jasa mencapai Rp104,193 triliun atau 20,0. Tabel 1.1 Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah) Pembiayaan 36.090.622 Penerimaan Pembiayaan 44.497.235 Pengeluaran Pembiayaan 8.406.574 Defisit pada APBD secara nasional yang mencapai Rp35,369 triliun. Total pembiayaan daerah secara nasional mencapai Rp36,090 triliun dengan penerimaan pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dll) mencapai Rp44,497 triliun serta pengeluaran pembiayaan dianggarkan sebesar Rp8,406 triliun. Trend APBD (2007 2011) Berdasarkan data Realisasi APBD tahun 2007 2009 dan APBD 2010 hingga 2011 yang telah dikonsolidasikan maka diperoleh gambaran sebagai berikut: 500,000 400,000 Grafik 1.3 Trend APBD Miliar Rupiah 300,000 200,000 100,000-100,000 2007 2008 2009 2010 2011 Pendapatan 310,173 363,211 379,862 386,338 459,857 Belanja 304,034 353,739 390,077 426,857 495,226 Surplus/Defisit 6,138 9,472-10,215-40,519-35,369 Pembiayaan 55,152 59,184 63,883 40,818 36,119 Sumber: Realisasi APBD 2007 2009 dan APBD 2010-2011 (Diolah) DJPK KEMENKEU RI 3

Dari grafik tersebut di atas dapat kita ketahui secara nasional bahwa setiap tahun sejak 2007 hingga 2011 terjadi peningkatan pendapatan daerah rata-rata sebesar 11,4 dan yang tertinggi peningkatannya adalah pada tahun 2011 sebesar 18, dimana pendapatan daerah pada tahun 2011 sebesar Rp459,856 triliun dan pada tahun 2010 hanya sebesar Rp386,338 triliun. Secara nasional trend belanja daerah mengalami rata-rata peningkatan dari tahun 2007 hingga 2011 sebesar 11,8. Pada tahun 2011 belanja daerah dianggarkan sebesar Rp495,225 triliun atau meningkat 17 dari tahun 2010 yang hanya dianggarkan sebesar Rp426,857 triliun. Trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif, tapi sejak tahun 2009 terus mengalami penurunan. Rata-rata defisit yang dianggarkan dari tahun 2007 hingga 2009 hanya sebesar -0,4. Defisit daerah secara nasional yang tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar sebesar Rp40,519 triliun atau 3,6. Sedangkan pada tahun 2011 defisit daerah secara nasional adalah sebesar Rp35,369 triliun atau sebesar 1,1. Pembiayaan daerah netto juga menunjukkan trend yang fluktuatif selaras dengan trend defisit daerah. Walau rata-rata trend pembiayaan daerah netto dari tahun 2007 hingga 2011 sebesar 0,2, dan cenderung mengalami penurunan cukup besar pada tahun 2010 dan 2011. Pembiayaan daerah netto pada tahun 2011 sebesar Rp36,118 triliun bila dibandingkan dengan tahun 2010 yang menganggarkan pembiayaan netto sebesar Rp40,818 triliun. Grafik 1.4 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2007 2011 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2007 2008 2009 2010 2011 PAD 16.82 17.83 17.79 18.6 19.66 DAPER 78.62 76.02 74.4 75.65 71.18 Lain2 Pend yg Sah 4.57 6.16 7.82 5.75 9.16 Sumber: Realisasi APBD 2007 2009 dan APBD 2010-2011 (Diolah) DJPK KEMENKEU RI 4

Secara nasional ketergantungan seluruh pemerintah daerah terhadap dana perimbangan masih tinggi. Hal ini terlihat pada porsi PAD walaupun mengalami peningkatan setiap tahunnya tetapi pada tahun 2011 anggarannya hanya sebesar 19,66. Sedangkan trend dana perimbangan setiap tahun mengalami penurunan hingga mencapai 71,18 pada tahun 2011. Trend kontribusi lain-lain pendapatan yang sah sangat fluktuatif, tetapi pada tahun 2011 menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar 9,16. Grafik 1.5 Trend Belanja Daerah TA 2007 2011 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2007 2008 2009 2010 2011 B_Pegawai 39.91 41.98 43.11 46.52 46.25 B_Barang&Jasa 18.9 18.82 19.32 19.21 21.04 B_Modal 29.98 27.67 26.28 22.53 22.92 B_Lain-lain 11.2 11.53 11.28 11.74 9.78 Sumber: Realisasi APBD 2007 2009 dan APBD 2010-2011 (Diolah) Bila dicermati komposisi belanja daerah secara nasional dari tahun 2007 hingga 2011 maka dapat diketahui bahwa porsi belanja pegawai tetap dominan bila dibandingkan dengan jenis belanja yang lainnya. Belanja Pegawai mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2010 yaitu sebesar 46,5 tetapi pada tahun 2011 turun sedikit menjadi 46,2. Besarnya belanja barang dan jasa juga meningkat menjadi 21,0 pada tahun 2011. Sedangkan porsi belanja modal terus mengalami penurunan, yang cukup tajam terjadi pada tahun 2010 hanya sebesar 22,5, tetapi pada tahun 2011 porsinya menjadi 22,1. Sedangkan belanja lainnya cenderung turun hingga hanya dianggarkan sebesar 9,78 pada tahun 2011. 1. Pendapatan Daerah Komposisi APBD Tahun Anggaran 2011 pada kabupaten, kota, dan provinsi secara aggregat menunjukkan fakta sebagai berikut: DJPK KEMENKEU RI 5

Grafik 1.6 Rasio Pendapatan Daerah Per Wilayah 100 80 60 40 20 00 PAD /Tot Daper/Tot Transf/ Tot NT 6.310 76.870 92.370 Sulawesi 12.470 80.210 86.710 Sumatera 14.350 75.330 83.980 Kalimantan 14.680 80.860 83.620 Jawa 32.940 59.240 65.610 Terlihat dari grafik tersebut beberapa rasio yang terkait dengan pendapatan daerah. Rasio PAD dibandingkan total pendapatan daerah yang tertinggi adalah di wilayah Jawa dan yaitu sebesar 32,9 sedangkan yang terendah di wilayah Nusa Tenggara,, yang hanya sebesar 6,3. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Fakta tersebut diperkuat juga dengan rendahnya rasio dana perimbangan dan transfer ke daerah dibandingkan total pendapatan. Berdasarkan dua rasio tersebut Jawa dan hanya memiliki ketergantungan terhadap dana perimbangan dan transfer ke daerah masing-masing sebesar 59,2 dan 65,6. Wilayah yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap dana perimbangan adalah di wilayah Kalimantan dimana rasio dana perimbangan terhadap total pendapatannya mencapai 80,9 persen. Sedangkan untuk rasio transfer ke daerah terhadap total pendapatan maka wilayah Nusa Tenggara, dan menjadi wilayah yang tertinggi hingga mencapai 92,3. Besarnya rasio tersebut ditengarai berasal dari adanya pengalokasian dana otonomi khusus dan dana penyesuaian yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. DJPK KEMENKEU RI 6

2. Belanja Daerah Grafik 1.7 Rasio Belanja Daerah Per Wilayah 6 5 4 3 2 50.6 52.51 45.53 38.39 37.52 18.25 22.24 24.18 26.62 32.28 22.02 18.06 21.07 21.47 21.12 1 BP/Total BM/Tot BBJ/Tot Jawa Sulawesi Sumatera NT Kalimantan Bila dilihat besaran belanja daerah yang dianggarkan pada APBD TA 2011 antar wilayah maka dapat diketahui bahwa belanja pegawai tetap merupakan porsi terbesar yang harus dibelanjakan oleh daerah, selanjutnya baru diikuti oleh belanja modal serta belanja barang dan jasa. Belanja pegawai di wilayah Sulawesi mencapai 52,5 sedangkan wilayah Kalimantan belanja pegawainya hanya sekitar 37,5. Fakta tersebut juga didukung oleh rasio pegawai terhadap jumlah total penduduk yang mencapai 1,38 di wilayah Sulawesi. Tetapi rasio pegawai di wilayah Kalimantan (1,26) bukanlah yang terendah karena rasio pegawai per total penduduk di wilayah Jawa hanya mencapai 0,6. Bisa diartikan bahwa jumlah pegawai di wilayah Jawa sangat rendah karena total penduduk di wilayah tersebut sangat banyak sehingga rasio belanja pegawai terhadap total belanja juga besar yaitu sekitar 50,6. Ironisnya berbagai pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam akun belanja modal di wilayah Jawa sangat kecil yaitu hanya sekitar 18,3. Hal ini bisa berarti bahwa di satu sisi kebutuhan infrastruktur di Jawa dan relatif rendah sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak perlu menganggarkan terlalu banyak belanja modal atau memang karena APBD di semua daerah di Jawa dan sudah terlalu berat untuk memberikan pelayanan publik yang tercermin dari besarnya jumlah pegawai dan rasio belanja pegawai per total belanjanya. DJPK KEMENKEU RI 7

Wilayah Kalimantan menunjukkan geliat pembangunan infrastruktur yang paling signifikan tercermin dari rasio belanja modalnya yang mencapai sekitar 32,3 dan belanja barang dan jasanya juga relatif tinggi yaitu sekitar 21,1. 3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah Grafik 1.8 Pembiayaan Per Wilayah Sulawesi Jawa Sumatera NT Kalimantan -15-10 -5 5 10 15 Kalimantan NT Sumatera Jawa Sulawesi Defisit/Pend -12.190-3.430-7.350-8.280-3.420 SiLPA /Bel 12.400 4.800 8.360 8.570 3.780 Pinj /pend 1.260.500.340 1.630 Besarnya defisit APBD TA 2011 yang paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan yang mencapai -12,2. Sedangkan untuk menutup defisit tersebut seluruh daerah di wilayah Kalimantan mengandalkan SiLPA yang bisa langsung digunakan untuk mendanai kebutuhan belanja yang belum tersedia dananya, rasio SiLPA terhadap total belanja daerah adalah sebesar 12,4. Tetapi untuk mengantisipasi tidak tercapainya pendapatan daerah yang dianggarkan maka seluruh daerah di wilayah Kalimantan berencana mengajukan pinjaman yang rasionya mencapai 1,0 dari total pendapatan. Wilayah Sulawesi menganggarkan defisit sebesar -3,4 dengan rasio SiLPA sebesar 3,8. Rasio pinjaman terhadap total pendapatan Sulawesi sebesar 1,6 menunjukkan adanya kecenderungan bahwa dalam melakukan proyeksi pendapatan daerah-daerah di Sulawesi tidak terlalu yakin akan tingkat ketercapaian pendapatan yang berasal dari PAD maupun dana transfer ke daerah. Besarnya ketergantungan atas dana transfer ke daerah serta risiko fiskal yang harus ditanggung oleh APBN menyebabkan seluruh daerah sebaiknya juga harus mulai melakukan perhitungan risiko fiskal yang harus ditanggung. Porsi belanja pegawai yang tinggi menyebabkan berkurangnya alternatif efisiensi belanja daerah. Sehingga daerah harus mulai lebih inovatif dan kreatif untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan ekstensifikasi DJPK KEMENKEU RI 8

dan intensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah agar alternatif pendanaan untuk menutup defisit tidak semata tergantung pada SiLPA dan pinjaman daerah. DJPK KEMENKEU RI 9

BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH A. Rasio Pajak (Tax Ratio) Perbandingan pajak terhadap pendapatan suatu perekonomian (economy), selanjutnya dalam analisis ini disebut rasio pajak (tax ratio), merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dengan pendapatan suatu perekonomian. Dalam konteks keuangan negara, rasio pajak merupakan perbandingan antara pajak suatu negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), sedangkan di tingkat daerah rasio pajak merupakan rasio antara pajak daerah wilayah perekonomian daerah tersebut dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Angka rasio pajak suatu daerah dipengaruhi oleh PDRB. PDRB dapat dilihat dari tiga sisi: produksi, pengeluaran, serta pendapatan. Di sisi produksi, PDRB mengindikasikan kegiatan ekonomi suatu daerah yang secara umum dapat digambarkan melalui kemampuan daerah tersebut menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan bagi kebutuhan hidup masyarakat pada periode tertentu. Dari sisi pengeluaran, PDRB menggambarkan keseluruhan pengeluaran yang dilakukan oleh sektor-sektor ekonomi yang ada di suatu wilayah pada periode tertentu yaitu sektor rumah tangga (berupa konsumsi rumah tangga), sektor swasta (pembentukan barang modal/investasi), sektor pemerintah (konsumsi pemerintah di luar pembayaran non jasa /transfer non payment), serta sektor luar negeri (ekspor dan impor). Sementara itu, di sisi pendapatan, PDRB menggambarkan jumlah pendapatan yang diterima penduduk wilayah tersebut pada suatu periode berupa gaji dan sejenisnya, sewa modal, bunga dan sejenisnya, serta laba yang dihasilkan oleh pengusaha. Dari sisi mana pun PDRB diukur akan dihasilkan angka yang sama (setelah dilakukan penyesuaian dan koreksi). Terkait dengan rasio pajak, PDRB menggambarkan jumlah pendapatan potensial yang dapat dikenai pajak. PDRB juga menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang jika berkembang dengan baik merupakan potensi yang baik bagi pengenaan pajak di wilayah tersebut. Oleh karena itu, mengetahui angka-angka rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia akan membantu kita dalam menganalisis secara sederhana hubungan antara pajak daerah wilayah tersebut dengan PDRB-nya, mengetahui jenis-jenis pajak apa saja yang potensial serta sektor ekonomi yang terkait, dan menilai kondisi suatu daerah dengan membandingkannya dengan daerah lain. DJPK KEMENKEU RI 10

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 2.1 menunjukkan rasio pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota pada 33 Provinsi seluruh Indonesia. Dari grafik dapat dilihat bahwa Provinsi yang mempunyai rasio pajak tertinggi adalah provinsi yaitu sebesar 8,8. Tingginya rasio pajak ini karena pajak daerah Provinsi sangat tinggi. Pajak daerah ini terutama berasal dari pajak yang disumbangkan oleh sektor industri pariwisata. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Barat, yaitu sebesar 1,2. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pajak daerah Provinsi Barat sangat rendah. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 Grafik 2.1 Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 1.2 1.4 1.5 1.9 2.1 2.2 2.3 2.3 2.4 2.4 2.5 2.5 2.5 2.6 2.6 2.7 2.8 2.9 2.9 3.1 3.3 3.3 3.3 3.5 3.6 3.8 3.9 4.1 4.4 4.4 4.6 Goronta DKI Sumsel 5.2 8.8 2.9 Terkait dengan perekonomian daerah, daerah yang memiliki rasio pajak yang tinggi akan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang dicerminkan oleh berkembangnya sektor-sektor produksi penyumbang pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut telah berperan secara optimal dalam memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pajak daerah. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan yang menunjang tercapainya peningkatan pajak daerah juga sangat menentukan. Sebagai contoh adalah Provinsi. Selain mempunyai potensi pajak daerah yang sangat tinggi dari sektor pariwisata, provinsi ini juga didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah daerah untuk memaksimalkan potensi tersebut. Kondisi berbeda ditunjukkan oleh Provinsi Barat yang merupakan provinsi hasil pemekaran Provinsi. Potensi Sumber Daya Alam yang melimpah, seperti pemandangan alam yang sangat indah yang dapat dikembangkan pada sektor pariwisata (contoh: pemandangan bawah laut di Raja Ampat), air bawah tanah, dan bahan galian golongan C yang dapat menjadi sumber penerimaan pajak daerah belum bisa DJPK KEMENKEU RI 11

dioptimalkan untuk menunjang pendapatan pajak Daerah. Kekayaan alam lain seperti hasil hutan, hasil tambang selain bahan galian golongan C dan minyak bumi merupakan sumber pendapatan nasional yang selanjutnya dikembalikan ke provinsi tersebut berupa pendapatan bagi hasil yang tidak dimasukkan dalam analisis ini. Dari data rasio pajak 33 provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak (daerah) secara nasional adalah sebesar 3,1, serta terdapat 13 provinsi yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional yaitu: Tabel 2.1 Provinsi yang memiliki Rasio Pajak diatas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota () No Nama Daerah Rasio No Nama Daerah Rasio 1 Provinsi 8,8 8 Provinsi 3,8 2 Provinsi 5,2 9 Provinsi Nusa Tenggara Barat 3,6 3 Provinsi Gorontalo 4,6 10 Provinsi DKI Jakarta 3,5 4 Provinsi 4,4 11 Provinsi Sumatera Utara 3,3 5 Provinsi DI Yogyakarta 4,1 12 Provinsi 3,3 6 Provinsi Kalimantan Selatan 3,9 13 Provinsi Bangka Belitung 3,3 7 Provinsi Sulawesi Selatan 3,9 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Grafik 2.2 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi. Rasio pajak pemkab dan pemkot se-provinsi menunjukkan angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 4,9. Penyebab tingginya rasio tersebut adalah tingginya pajak daerah pemkab dan pemkot se-provinsi tersebut yang berasal dari sektor pariwisata. Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi, yaitu sebesar 0,3. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan pajak daerah. Potensi penerimaan pajak yang tinggi di adalah dari sektor pertambangan yang merupakan sumber penerimaan Negara yang selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang dalam rasio ini tidak dihitung. DJPK KEMENKEU RI 12

6 Grafik 2.2 Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *) 5 4.9 4 3 2 1 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.7 0.8 0.8 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9 1.2 1.2 1.2 1.4 Gorontalo Sumsel 0.6 *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi Sebagaimana terlihat pada Grafik 2.3, untuk seluruh pemerintah provinsi, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Pemerintah Provinsi, yaitu sebesar 4. Tingginya angka tersebut disebabkan angka pembaginya, yaitu PDRB-nya rendah. Sementara itu, rasio pajak terendah dari ke-33 pemprov di Indonesia adalah Pemerintah Provinsi (0,9). Rendahnya rasio tersebut disebabkan karena penerimaan pajak daerah yang sangat rendah. 4.500 4 3.500 3 2.500 2 1.500 1.500 0.9 0.9 1.2 1.2 Grafik 2.3 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi 1.5 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.9 1.9 2.1 2.2 2.3 2.3 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.7 2.7 2.9 3.0 3.5 3.7 3.8 3.8 3.9 4.0 Goront DKI Sumsel 2.3 DJPK KEMENKEU RI 13

4. Per Wilayah 4 3.500 Grafik 2.4 Rasio Pajak per Wilayah*) 3.4 3.2 3 2.500 2 2.7 2.3 2.6 3.1 1.500 1.500 Kalimantan NT Sumatera Jawa Sulawesi *) Tidak termasuk DKI Jakarta Grafik 2.4 menunjukkan bahwa berdasarkan pada pembagian 5 wilayah yang terdiri atas Nusa Tenggara--, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa-, rasio pajak untuk wilayah Jawa- merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya. yang menempati peringkat pertama berdasarkan agregat pemerintah kabupaten dan kota seprovinsi, setelah digabungkan dengan seluruh daerah di Pulau Jawa tetap berada pada peringkat 1 berdasarkan pembagian wilayah ini. B. Tax perkapita Tax perkapita adalah perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Tax perkapita menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada Pendapatan suatu daerah (PAD). 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Tax perkapita secara aggregate yang dapat dilihat pada Grafik 2.5 menunjukkan bahwa Prov. DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki tax perkapita tertinggi, yaitu sebesar Rp5.201.223 yang berarti setiap penduduk yang ada di Prov. DKI Jakarta memiliki kontribusi sebesar Rp5.201.223 dalam membentuk penerimaan daerah berupa Pajak Daerah. Pada grafik ini juga dapat dilihat ketimpangan tax perkapita yg sangat signifikan antara Prov. DKI Jakarta dengan provinsi yang lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kegiatan perekonomian di DKI Jakarta sangat besar sehingga menimbulkan basis pajak yang sangat besar. Provinsi lain DJPK KEMENKEU RI 14

yang memiliki tax perkapita tertinggi adalah Prov. Kalimantan Timur sebesar Rp1.058.038 dan Prov. sebesar Rp632.155. 6,000,000 Grafik 2.5 Rasio Tax perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 - Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Timur Utara Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Gorontalo Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Barat Kalimantan Barat Jawa Barat Sulawesi Utara Sumatera Selatan Sumatera Barat Jawa Timur DI Yogyakarta Kalimantan Tengah Sulawesi Selatan Bangka Belitung Sumatera Utara Kalimantan Selatan Kepulauan Kalimantan Timur DKI Jakarta 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Tax perkapita pada kabupaten kota yang ada di setiap Provinsi, dapat dilihat pada Grafik 2.6. Pada grafik tersebut Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan, dapat dilihat bahwa ketimpangan tax perkapita pada daerah kabupaten dan kota dalam setiap provinsi juga terjadi tetapi tidak sebesar ketimpangan yang terjadi pada daerah agregat provinsi, kabupaten dan kota. Tiga daerah yang memiliki tax perkapita yang tertinggi adalah (Rp348.952), Kepulauan (Rp335.478) dan Kalimantan Timur (Rp180.515). Daerah Kabupaten kota memiliki tax perkapita yang rendah hal ini dapat disebabkan oleh karena basis pajak dan potensi pajak yang rendah diwilayah kabupaten kota. DJPK KEMENKEU RI 15

Grafik 2.6 Rasio Tax perkapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-provinsi *) 400,000 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 - Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Timur Sulawesi Barat Utara Gorontalo Jawa Tengah Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tenggara Sumatera Selatan Kalimantan Tengah Barat Kalimantan Barat Sumatera Barat Kalimantan Selatan Jawa Barat Sulawesi Utara Bangka Belitung Sulawesi Selatan Jawa Timur DI Yogyakarta Sumatera Utara Kalimantan Timur Kepulauan *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi Tax perkapita pada seluruh pemerintah provinsi dapat dilihat bahwa Pemprov. DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki tax perkapita terbesar dengan jumlah sama dengan tax perkapita pada aggregat provinsi, kabupaten dan kota. Sedangkan sebaran berdasarkan pemerintah provinsi terdapat perbedaan dimana 3 Provinsi terbesar yaitu DKI Jakarta (Rp5.201.223), Kalimantan Timur (Rp877.523) dan Kalimantan Selatan (Rp331.597) 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 - Grafik 2.7 Rasio Tax perkapita Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Timur Utara Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Barat Barat Jawa Tengah Gorontalo Kalimantan Barat Jawa Barat Sulawesi Utara Jawa Timur DI Yogyakarta Sumatera Selatan Sumatera Barat Sulawesi Selatan Kalimantan Tengah Sumatera Utara Bangka Belitung Kepulauan Kalimantan Selatan Kalimantan Timur DKI Jakarta DJPK KEMENKEU RI 16

4. Per Wilayah Tax perkapita per wilayah dibagi menjadi 5 wilayah yang terdiri atas Nusa Tenggara- -, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa-. Dapat dilihat pada grafik dibawah ini ketimpangan tax perkapita terlihat lebih rendah. Secara wilayah tax perkapita terbesar ada di wilayah Jawa, hal ini dapat disebabkan oleh karena tingkat perekonomian di wilayah tersebut lebih besar dibandingkan daerah yang lainnya. Grafik 2.8 Rasio Tax perkapita Per Wilayah*) 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 - Nusa Tenggara,, Sulawesi Sumatera Kalimantan Jawa *) Tidak termasuk DKI Jakarta C. Ruang Fiskal (Fiscal Space) Mengacu kepada laporan Fiscal Policy for Growth and Development (World Bank, 2006) dinyatakan bahwa ruang fiskal (fiscal space) tersedia, jika pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya tanpa mengancam solvabilitas fiskal (fiscal solvency). Stephen S. Heller (IMF Policy Discussion Paper, 2005) mengemukakan bahwa ruang fiskal dapat didefinisikan sebagai ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi keuangan pemerintah. Ruang fiskal diperoleh dari pendapatan umum setelah dikurang pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) serta belanja yang sifatnya mengikat seperti belanja pegawai dan belanja bunga. Ruang fiskal bisa juga muncul dari peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan penurunan kewajiban pembayaran utang. Selain itu, efektivitas penggunaan anggaran di suatu daerah juga menunjang terciptanya ruang fiskal yang cukup memberi ruang dalam pembangunan suatu daerah. Dalam hal ini, perencanaan dan penganggaran yang dituangkan dalam APBD suatu daerah memegang peranan sangat penting. Pemerintah daerah diharapkan memiliki terobosan untuk memanfaatkan ruang fiskal yang ada guna memacu pertumbuhan ekonomi. DJPK KEMENKEU RI 17

Stimulus berupa kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif sangatlah diharapkan. Sektor riil seperti perdagangan dan perkembangan usaha kecil dan menengah yang selama ini masih belum optimal, harus diberi dukungan kebijakan dari pemerintah. Terkait dengan iklim investasi di suatu daerah, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah kelompok kebijakan pemerintah yang memengaruhi biaya seperti pajak, beban regulasi dan pungli, korupsi, infrastruktur, biaya operasi, dan investasi perusahaan, dan yang kedua, kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas makroekonomi, prediktibilitas kebijakan, hak properti, kepastian kontrak, dan hak untuk mentransfer keuntungan. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 90 Grafik 2.9 Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 80 70 60 50 40 38.1 40.6 41.1 43.4 46.5 48.2 48.6 49.1 49.6 49.8 50.4 50.4 50.7 51.7 52.0 52.0 52.6 53.7 54.9 56.4 56.6 58.0 59.7 59.8 60.7 62.6 62.8 64.6 65.0 67.8 73.0 74.7 76.7 55.2 30 20 10 Gorontalo Sumsel DKI Ruang fiskal per provinsi menunjukkan persentase ruang fiskal seluruh pemda pada suatu provinsi. Caranya adalah dengan mengurangi pendapatan dengan pendapatan hibah dan belanja wajib yang berasal dari akumulasi APBD 2011 seluruh pemda di suatu provinsi dan dibagi dengan total pendapatannya. Dari perhitungan tersebut, sebagaimana digambarkan pada Grafik 2.9, terlihat besaran 33 ruang fiskal per Provinsi tahun 2011. Dari keseluruhan provinsi yang ada di Indonesia, Provinsi Barat mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 76,7. Hal ini dapat disebabkan oleh besarnya penerimaan Provinsi Barat yang terutama diperoleh dari dana transfer. Oleh karena itu, Provinsi Barat mempunyai DJPK KEMENKEU RI 18

ruang yang cukup luas dalam memenuhi kebutuhan daerahnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Sebaliknya, Provinsi merupakan daerah yang memiliki ruang fiskal terendah yaitu sebesar 38,1. Dengan demikian, Provinsi harus pandai memilih belanja yang tepat dalam memanfaatkan ruang fiskal yang ada untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari keseluruhan ruang fiskal provinsi di seluruh Indonesia, rata-rata nasionalnya adalah sebesar 55,2. Terdapat 14 provinsi yang berada diatas rata-rata nasional dengan rincian sebagai berikut: Tabel 2.2 Provinsi yang memiliki Ruang Fiskal diatas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota () Provinsi Barat 76.70 Provinsi Sumatera Selatan 62.59 Provinsi 74.72 Provinsi 60.67 Provinsi Kalimantan Timur 72.97 Provinsi Bangka Belitung 59.76 Provinsi Kepulauan 67.75 Provinsi Kalimantan Tengah 59.65 Provinsi DKI Jakarta 65.03 Provinsi Kalimantan Barat 58.01 Provinsi 64.62 Provinsi 56.55 Provinsi Utara 62.76 Provinsi 56.36 2. Pemerintah Kabupaten/ Kota Se-Provinsi 80 70 60 50 40 30 20 10 Grafik 2.10 Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *) 34.3 35.2 38.0 39.5 42.3 42.9 45.3 45.5 46.3 46.9 46.9 47.0 47.5 47.6 47.9 48.1 48.6 49.3 50.5 51.0 51.0 54.1 55.9 56.1 56.1 58.4 60.6 60.9 62.4 67.8 70.8 70.9 Gorontalo Sumsel 50.1 *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK KEMENKEU RI 19

Ruang fiskal seluruh pemkab dan pemkot pada suatu provinsi dapat digambarkan pada grafik 2.10. Dari hasil analisis ini, ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar 70,9. Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaanya yang didominasi oleh sektor pertambangan dan migas serta sektor kehutanan. Ada pun ruang fiskal terendah terdapat pada kabupaten dan kota yang berada di Provinsi, yaitu sebesar 34,3. Rendahnya angka ini disebabkan tingginya pendapatan yang bersifat earmarked serta belanja wajib, khususnya belanja pegawai. 3. Pemerintah Provinsi Ruang lingkup analisis ini adalah ruang fiskal pada masing-masing Pemrov. Sebagaimana berdasarkan aggregate provinsi, kabupaten dan kota, Pemprov. Barat juga memiliki ruang fiskal yang tertinggi yaitu sebesar 93,7 hal ini dapat disebabkan dana transfer yang besar yang dialokasikan oleh pemerintah pusat, sedangkan Pemprov. mempunyai ruang fiskal yang terendah yaitu sebesar 64,4. Hal ini dapat disebabkan karena pendapatan daerah yang rendah, disisi lain pendapatan DAU sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai. Gambaran selengkapnya tentang ruang fiskal masing-masing Pemerintah provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Grafik 2.11. 100 90 80 70 60 Grafik 2.11 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi 64.4 64.9 65.0 65.2 66.6 68.0 68.4 68.9 69.0 7 70.9 71.5 72.4 72.8 74.2 75.9 76.4 78.1 78.9 79.5 79.9 80.4 80.7 82.7 84.5 84.6 85.0 87.1 87.8 87.9 88.0 88.6 93.7 77.5 50 40 30 20 10 DKI Gorontalo Sumsel DJPK KEMENKEU RI 20

4. Per Wilayah Untuk menghitung ruang fiskal berdasarkan pada pembagian 5 wilayah, maka wilayah Indonesia dibagi menjadi 5 yang terdiri atas Nusa Tenggara--, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, serta Jawa-. Selanjutnya, seluruh pendapatan dikurangi pendapatan hibah yang sudah ditentukan penggunaannya serta belanja wajib dari APBD seluruh pemda suatu wilayah dan kemudian dibagi total pendapatan dimaksud. Dari penghitungan tersebut, secara berurutan dari ruang fiskal yang paling besar adalah Nusa Tenggara--, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, serta Jawa- sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik 2.12. Besarnya ruang fiskal pada wilayah Nusa Tenggara--, yaitu sebesar 65,0, disebabkan oleh pendapatan transfer yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di wilayah Nusa Tenggara-- mempunyai ruang fiskal yang cukup melakukan belanja pemerintah (government spending) untuk pembangunan di daerahnya. Kebutuhan dasar daerah untuk belanja pegawai/gaji PNSD telah terpenuhi dan masih tersisa cukup memadai untuk mendanai pembangunan di daerah. Ruang Fiskal yang tinggi sangat menunjang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula dengan semakin meningkatnya percepatan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Sementara itu, wilayah yang memiliki ruang fiskal terendah adalah Jawa yaitu sebesar 49,5. Hal ini disebabkan oleh sumber pendapatan dari dana tranfer pusat relatif kecil dibandingkan dengan 4 wilayah yang lainnya. 70 Grafik 2.12 Ruang Fiskal Per Wilayah*) 64.0 65.0 60 50 49.5 50.5 56.6 55.9 40 30 20 10 Jawa Sulawesi Sumatera Kalimantan NT *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK KEMENKEU RI 21

D. Rasio Kemandirian Daerah Rasio kemandirian ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan serta rasio transfer ke daerah (termasuk di dalamnya dana perimbangan) terhadap total pendapatan. Dua rasio yang mewakili tersebut, meskipun menunjukkan kemandirian daerah, namun memiliki makna yang berbeda atas angka-angkanya. Rasio PAD terhadap totalnya memiliki makna yang berkebalikan dengan rasio transfer terhadap total pendapatan. Semakin besar angka rasio PAD maka kemandirian daerah semakin besar. Sebaliknya, makin besar angka rasio transfer, maka akan semakin kecil tingkat kemandirian daerah dalam mendanai belanja daerah. Oleh karena itu, daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Ruang lingkup analisis ini adalah rasio kemandirian daerah seluruh pemda di suatu provinsi. Penghitungannya dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada satu provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan untuk wilayah yang sama. Hal yang sama juga berlaku untuk rasio transfer. Dari perhitungan tersebut diperoleh potret rasio PAD dan Transfer terhadap pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan per provinsi sebagaimana yang ditunjukkan pada Grafik 2.13. Dari grafik tersebut juga terlihat bahwa DKI Jakarta memiliki rasio PAD yang paling tinggi, yaitu sebesar 61,4, sekaligus rasio transfer terendah yaitu sebesar 36,3. Sebaliknya, Provinsi Barat memiliki rasio PAD terendah serta rasio transfer tertinggi yang masing-masing menunjukkan angka 3,5 dan 95,8. Hal ini menunjukkan bahwa, DKI Jaya memiliki kemandirian daerah yang paling baik dibandingkan provinsi-provinsi yang lain, dan sebaliknya, Provinsi Barat menunjukkan tingkat kemandirian yang paling rendah. Tingginya tingkat kemandirian di Provinsi DKI tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah, sedangkan rendahnya tingkat kemandirian di Provinsi Barat disebabkan oleh rendahnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut. Tingkat kemandirian daerah seluruh provinsi di Indonesia ditunjukkan oleh Grafik 2.13 berikut ini. DJPK KEMENKEU RI 22

120 Grafik 2.13 Rasio Kemandirian Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 100 80 60 40 20 91.0 7.9 77.3 83.1 85.4 87.8 84.3 84.9 84.0 21.3 15.2 13.8 11.5 13.8 10.9 12.3 61.4 36.3 73.1 78.8 75.0 71.8 26.6 20.2 24.3 27.7 86.9 87.8 77.0 83.5 89.3 91.2 81.8 86.4 11.3 11.0 18.2 16.0 9.9 8.4 17.6 11.6 59.6 35.7 81.7 15.5 91.8 89.8 95.8 91.5 8.0 6.5 3.5 7.7 65.0 32.4 84.1 90.8 79.6 95.8 93.4 14.6 8.7 18.9 79.0 2.7 6.3 Gorontalo DKI Sumsel PAD /Pend Transf/ Pend Series3 Series4 19.6 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi 120 Grafik 2.14 Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *) 100 80 90.3 84.6 88.3 88.2 91.3 89.0 89.5 88.5 78.3 82.5 78.3 79.3 89.4 91.7 82.7 83.0 92.3 93.1 85.6 89.3 63.5 85.6 93.6 91.0 95.5 91.4 69.9 86.3 91.8 79.0 94.6 95.1 85.0 60 40 20 5.6 9.2 6.8 7.0 5.0 5.4 4.0 3.7 12.8 9.9 14.2 13.4 4.8 4.6 6.1 6.3 4.4 4.5 7.8 6.7 26.1 8.2 5.3 3.6 2.8 7.0 16.5 7.9 5.9 14.9 2.6 3.5 Gorontalo Sumsel PAD /Pend Transf/ Pend Series3 Series4 8.6 *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK KEMENKEU RI 23

Pada Grafik 2.14 nampak bahwa rasio kemandirian tertinggi terdapat pada seluruh pemkab dan pemkot di Provinsi yaitu sebesar 26,1 sedangkan yang terendah adalah di pemkab dan pemkot di Provinsi Barat sebesar 2,6. Sedangkan rasio dana transfer terhadap total pendapatan tertinggi adalah pemkab dan pemkot di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 95,1 dan terendah di pemkab dan pemkot di Provinsi yaitu 63,5. 3. Pemerintah Provinsi PAD tertinggi dicapai oleh Pemprov Jawa timur sebesar 76,9 dan terendah dimiliki oleh pemda provinsi papua barat 2,9. Sebaliknya, transfer tertinggi terhadap total pendapatan adalah provinsi papua barat sebesar 97,5 dan terendah adalah provinsi Jawa Timur sebesar 22,9. Data tersebut ditunjukkan pada grafik 2.15. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 11.3 71.0 24.6 28.4 45.0 35.1 62.8 40.8 59.2 45.5 54.1 36.8 60.6 50.2 45.7 34.2 61.4 54.7 Grafik 2.15 Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi 75.0 71.2 24.9 28.8 76.9 49.3 50.3 22.9 57.6 6 56.8 42.2 39.0 58.9 55.9 41.4 41.0 35.9 71.8 27.9 62.0 38.0 34.5 65.5 58.3 32.9 54.9 44.4 71.5 74.0 28.5 20.1 29.2 88.6 5.7 11.1 71.1 62.1 28.8 32.8 Gorontalo DKI Sumsel PAD /Pend Transf/ Pend Avg PAD/pend Avg Transf/pend 80.7 19.3 71.3 28.7 39.4 2.9 74.0 15.9 50.1 49.0 4. Per Wilayah Analisis rasio kemandirian daerah yang terbagi menjadi lima wilayah yaitu Sumatera, Jawa-, Kalimantan, Sulawesi, serta --Nusatenggara.dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar kemandirian daerah pada lima kelompok wilayah yang berbeda. Berikut analisis terkait rasio kemandirian daerah untuk ke-5 wilayah dimaksud sebagaimana nampak pada Grafik 2.16. DJPK KEMENKEU RI 24

Grafik 2.16 Rasio Kemandirian Per Wilayah*) 100 90 80 70 83.6 92.4 84.0 65.6 86.7 79.6 60 50 40 30 20 10 14.7 6.3 14.4 32.9 12.5 19.0 Kalimantan NT Sumatera Jawa Sulawesi PAD /Pend Transf/ Pend Series3 Series4 *) Tidak termasuk DKI Jakarta Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan Berdasarkan pembagian 5 wilayah, Ratio PAD terhadap total pendapatan wilayah Jawa- mempunyai rasio yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya yaitu sebesar 32,9. Hal ini membuktikan bahwa ketergantungan daerah-daerah di wilayah Jawa- terhadap Dana Perimbangan dan Dana Transfer lainnya relatif tidak terlalu tinggi. Daerahdaerah di Jawa- relatif lebih mampu menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah untuk menutup belanjanya. Hal ini berbeda dengan wilayah Nusa Tenggara, dan yang mana rationya sangat rendah yaitu sebesar 6,3. Namun demikian, secara umum ke-5 wilayah tersebut masih memiliki rasio PAD terhadap total pendapatan di bawah 50 yang artinya masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pusat atau memiliki rasio kemandirian daerah yang rendah. Rasio Transfer terhadap Total Pendapatan Makna rasio transfer terhadap total pendapatan adalah sama dengan makna rasio dana perimbangan, yaitu bahwa semakin besar rasio transfer maka semakin rendah kemandirian daerah. Sebaliknya, semakin rendah angkanya akan semakin tinggi tingkat kemandirian daerah atau semakin rendah tingkat ketergantungan daerah terhadap dana pusat. Berdasarkan rasio ini, sebagaimana ditunjukkan Grafik 2.16, wilayah Jawa- memiliki angka yang paling rendah yaitu 65,6, sama dengan rasio dana perimbangan. Dengan demikian, berdasarkan kedua rasio tersebut, wilayah Jawa- memiliki tingkat kemandirian yang paling tinggi atau tingkat ketergantungan dengan dana pusat yang paling rendah. DJPK KEMENKEU RI 25

Perbedaan terjadi antara wilayah yang memiliki rasio dana perimbangan per total pendapatan dengan rasio transfer ke daerah per total pendapatan. Rasio dana perimbangan tertinggi terdapat di wilayah Sulawesi, sedangkan rasio transfer tertinggi adalah wilayah Nusa Tenggara- - (92,4). Dalam hal ini, daerah yang memiliki rasio kemandirian daerah terendah adalah Nusa Tenggara-- dan bukan Sulawesi. Perbedaan utamanya adalah komponen dana transfer dari pusat selain dana perimbangan yang diterima wilayah Nusa Tenggara-- lebih besar dibandingkan Sulawesi. Mengingat dana otonomi khusus yang diterima dan Barat relatif signifikan serta adanya dana penyesuaian lain yang juga diterima oleh seluruh pemda di wilayah Nusa Tenggara-- menunjukkan adanya kesenjangan infrastuktur di wilayah tersebut dengan wilayah-wilayah lain di negara ini. DJPK KEMENKEU RI 26

BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Rasio ini memperlihatkan rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai dan begitu sebaliknya semakin kecil angka rasio belanja pegawai maka semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai APBD. Belanja pegawai yang dihitung dalam rasio ini melipui belanja pegawai langsung dan belanja pegawai tidak langsung. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio belanja pegawai terhadap total belanja daerah adalah 46,2. Rasio belanja pegawai agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 13 provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 20 provinsi yang lain memiliki rasio belanja pegawai yang lebih diatas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Prov. Barat, yaitu sebesar 26,8, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Prov. DI. Yogyakarta dengan rasio sebesar 61.0. Selain itu, Grafik 3.1 menunjukkan bahwa terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai lebih dari 50,0. Hal ini berarti bahwa pada daerah-daerah tersebut, belanja daerahnya masih didominasi oleh belanja pegawai. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBDnya untuk jenis-jenis belanja selain belanja pegawainya.. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar belanja pegawai yang bisa didanai, khususnya yang mendukung pertumbuhan ekonomi. DJPK KEMENKEU RI 27

70 60 50 40 30 Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 26.8 29.8 30.1 34.9 35.0 38.1 39.7 41.5 41.8 41.8 43.5 44.7 45.7 46.2 46.4 48.0 48.7 48.9 49.4 50.2 50.4 52.0 52.2 52.7 52.7 52.9 53.8 54.3 54.4 54.6 54.6 58.9 61.0 46.2 20 10 Gorontalo Sumsel DKI 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Grafik 3.2 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota seprovinsi terhadap total belanjanya. Dari grafik tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja pegawai pemkab dan pemkot se-provinsi di atas 30,0, dengan rata-rata sebesar 51,1. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi mengalokasikan lebih dari setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari angka ratarata tersebut, sebanyak 14 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih rendah dan 18 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar. Pemerintah kabupaten dan kota se- Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar yaitu sebesar 66,9, sedangkan yang memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil adalah pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi Kalimantan Timur dengan rasio sebesar 31,9. DJPK KEMENKEU RI 28

80 Grafik 3.2 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi *) 70 60 50 40 30 31.9 33.8 36.5 38.7 41.2 41.4 44.2 45.8 46.7 47.9 48.0 49.4 49.8 50.6 52.7 53.2 53.8 54.3 54.7 54.9 55.4 55.7 56.2 56.3 56.7 56.8 57.7 58.7 58.7 59.9 61.5 66.9 51.1 20 10 Gorontalo Sumsel *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi Rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 24,7. Sebanyak 13 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut dan sedangkan 20 provinsi lainnya di atas rata-rata. Grafik 3.3 memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar adalah Pemprov Nusa Tenggara Timur dengan rasio sebesar 38,2, sedangkan pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemprov Barat yang sebesar 9,1. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja pegawai pemerintah provinsi relatif lebih rendah daripada rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota seprovinsi. DJPK KEMENKEU RI 29

45 40 35 30 25 20 15 10 5 9.1 Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 13.7 14.8 14.9 15.9 17.4 18.7 19.3 20.8 21.5 21.9 22.4 22.9 25.0 25.9 26.3 26.5 27.1 27.2 28.6 29.4 29.8 29.8 29.8 30.7 33.5 33.8 34.9 34.9 35.7 36.7 37.6 38.2 Gorontalo DKI Sumsel 24.7 4. Per Wilayah Grafik 3.4 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerahnya. Terlihat bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 52,5 sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah dengan angka sebesar 37,5. Selain wilayah Sulawesi, wilayah Jawa- juga memiliki angka rasio di atas 50,0, yaitu tepatnya 50,6, sedangkan wilayah lainnya di bawah angka tersebut. Dengan demikian, Jawa- dan Sulawesi mengalokasikan lebih dari setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai. 60 50 40 30 Grafik 3.4 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*) 37.5 38.4 45.5 50.6 52.5 45.8 20 10 Kalimantan NT Sumatera Jawa Sulawesi *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK KEMENKEU RI 30

B. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja Daerah Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah terhadap pembayaran gaji pegawai PNSD. Semakin besar rasionya maka semakin besar belanja daerah yang dibelanjakan untuk membayar gaji pegawai daerah dan sebaliknya, semakin kecil angka rasionya maka semakin kecil belanja daerah yang dipergunakan untuk membayar gaji pegawai daerah. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Secara Agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata pengeluaran daerah untuk membayar gaji pegawai daerah adalah 41,0. Dari 33 provinsi di Indonesia yang memiliki angka rasio dibawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota ada 13 provinsi dan selebihnya angka rasionya melebihi angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Ini menandakan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia anggaran belanja daerahnya banyak yang terkuras untuk membayar gaji pegawai daerah. Sama halnya dengan rasio belanja pegawai terhadap total belanja daerah, maka rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah yang terkecil juga terdapat pada Prov. Barat dengan nilai sebesar 22,2, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah terbesar adalah Prov. Jawa Tengah, yaitu sebesar 55,1. 60 50 40 30 20 Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 22.2 22.5 24.5 25.8 30.6 30.8 34.2 36.2 36.4 37.0 37.5 38.7 39.9 41.1 41.4 42.6 43.6 44.2 45.2 45.3 45.3 46.3 46.9 46.9 47.8 48.3 48.8 49.1 50.4 51.0 52.5 54.7 55.1 41.0 10 Gorontalo Sumsel DKI DJPK KEMENKEU RI 31

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Rasio belanja pegawai tidak langsung pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi terhadap belanja daerahnya memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung adalah 46,0 dari belanja daerah. Sebanyak 15 provinsi memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang lebih kecil dari rata-rata dan 17 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari rata-rata. Dari Grafik 3.6 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan kota di Prov. DI Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang tertinggi yaitu 60,7, sedangkan pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Kalimantan Timur memiliki rasio terendah dengan angka sebesar 24,2. Grafik tersebut juga memperlihatkan sebanyak 25 provinsi memiliki rasio di atas 40,0, dan sisanya sebanyak 7 provinsi di bawah angka tersebut. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian karena itu berarti mayoritas daerah membelanjakan lebih dari 40,0 untuk belanja pegawai tidak langsung dan sisanya baru dibagi oleh bermacam jenis belanja lainnya. 70 60 50 40 30 20 10 Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi *) 24.2 27.8 29.6 31.1 33.6 35.5 39.8 40.3 41.6 41.9 43.3 44.2 45.1 45.2 45.4 48.8 48.9 49.0 49.8 50.1 50.1 50.2 51.5 51.5 52.1 52.2 52.5 53.7 55.2 57.7 57.9 60.7 Gorontalo Sumsel 46.0 *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap belanja daerah pemerintah provinsi memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung adalah 20,2 belanja daerah. Berdasarkan angka rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung tersebut, sebanyak 15 provinsi memiliki rasio yang lebih kecil dari angka tersebut, dan 18 provinsi memiliki rasio yang lebih besar. Selanjutnya, Grafik 3.7 memperlihatkan bahwa Pemprov DJPK KEMENKEU RI 32

Sulawesi Utara memiliki rasio tertinggi Pemprov Barat, memiliki rasio sebesar 6,0. 35 30 25 20 15 10 5 sebesar 32,4, sedangkan yang terendah, adalah Grafik 3.7 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 6.0 9.9 10.7 10.7 11.4 11.8 13.8 14.1 14.6 16.6 17.5 18.9 19.2 19.5 19.5 21.1 21.6 22.3 23.3 25.3 25.4 26.0 26.7 26.9 27.3 27.9 28.1 30.4 30.5 30.6 32.0 32.3 32.4 20.2 DKI Gorontalo Sumsel 4. Per Wilayah Grafik 3.8 memperlihatkan rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah per wilayah di Indonesia. Sebagaimana rasio belanja pegawai terhadap total belanja, wilayah Sulawesi masih memiliki rasio tertinggi (46,2) diikuti oleh Jawa- (43,6), sedangkan wilayah yang memiliki rasio belanja tidak langsung terendah adalah Kalimantan (30,0). 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 Grafik 3.8 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *) 3 33.2 38.8 Kalimantan NT Sumatera Jawa Sulawesi 43.6 46.2 *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK KEMENKEU RI 33