BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Limfoma merupakan keganasan yang berasal dari. sistem limfatik (University of Miami Miller School of

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

Panduan Nasional Penanganan Kanker Limfoma Non-Hodgkin

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

PREPARASI SPESIMEN UNTUK DIAGNOSIS LIMFOMA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Vinkristin adalah senyawa kimia golongan alkaloid vinca yang berasal dari

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

leukemia Kanker darah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

SITOSTATIKA. Adalah: zat-zat yang dapat menghentikan pertumbuhan pesat dari sel-sel ganas.

BAB 1 PENDAHULUAN. mutasi sel normal. Adanya pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai dengan

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher

Patogenesis. Sel MM berinteraksi dengan sel stroma sumsum tulang dan protein matriks ekstraselular. Adhesion-mediated signaling & produksi sitokin

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan

MAKALAH LIMFOMA MALIGNA ELIGIUS TEBAI. Univrsitas Krida wacana. A. Definisi

BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA. jaringan periodonsium yang dapat terlihat secara langsung sehingga mempengaruhi

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

INTRATHECAL CHEMOTHERAPY INDICATION AND PATIENT SELECTION

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yaitu % pada solid tumor dan % pada keganasan hematologi.

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan

Mechanisms of drug resistance: antineoplastic

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

LIMFOMA MALIGNUM DAN KEMOTERAPI

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada

BAB III Efek Radiasi Terhadap Manusia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyebar pada organ tubuh yang lain (Savitri et al, 2015). Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium merupakan keganasan ginekologi yang menempati urutan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. zat-zat asing (xenobiotic). Zat-zat ini dapat berasal dari alam (makanan, dibuang melalui urin atau asam empedu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel-sel di dalam tubuh yang tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini angka kejadian kanker di. masyarakat semakin meningkat.hal ini menuntut kita agar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

Penyakit Leukimia TUGAS 1. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Browsing Informasi Ilmiah. Editor : LUPIYANAH G1C D4 ANALIS KESEHATAN

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi

TERAPI GEN. oleh dr.zulkarnain Edward MS PhD

BAB I PENDAHULUAN. Cyclophosphamide merupakan alkylating agent dari golongan nitrogen

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Limfoma dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu. Non Hodgkin Lymphoma (NHL) dan Hodgkin Lymphoma (HL).

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Pengobatan yang menggunakan bagian tertentu dari sistem imun untuk menyembuhkan penyakit. Sering disebut juga biologic therapy atau biotherapy.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat dunia termasuk Indonesia (global epidemic). World

PENGANTAR FARMAKOLOGI

INTISARI. Kata kunci: Doxorubicin, microrna 451, P-glycoprotein, Resisten, sel Raji.

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

SIROSIS HEPATIS R E J O

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kesehatan bahkan menyebabkan kematian.

Sri Mulatsih RSUP Dr Sardjito,Yogyakarta

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Limfoma Burkitt (LB) merupakan limfoma non-hodgkin

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO), negara negara di Afrika, Asia dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEUKEMIA. - pendesakan kegagalan sumsum tulang - infiltrasi ke jaringan lain

: Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : Departemen : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata

Editor : Yayan Akhyar Israr. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. Files of DrsMed FK UNRI (

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar dari setiap manusia yang ada di bumi ini. Hak untuk hidup sehat bukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Panduan pasien imunosupresan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu dari kanker kulit yang sering dijumpai setelah basalioma. Insidensi diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara disebut juga dengan carsinoma mammae merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Kafein adalah kristal putih, alkaloid pahit, dengan rumus kimia C 8 H 10 N 4 O 2

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan salah satu penyakit yang termasuk. dalam kelompok penyakit tidak menular (Non-communicable

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kranial klavikula, kecuali kanker otak dan sumsum tulang belakang. KKL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium

Transkripsi:

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG Sari Kepustakaan : Obat Kemoterapi Limfoma Maligna Penyaji Pembimbing : Ratika : dr. M. Kautsar Boesoirie, Sp.M(K), MM. Telah diperiksa dan disetujui Oleh Pembimbing unit ROO dr. M. Kautsar Boesoirie, Sp.M(K), MM. Kamis, 28 Juli 2016 Pkl 14.00 WIB

1 Obat Kemoterapi Limfoma Maligna I. Pendahuluan Limfoma maligna merupakan kelainan myeloproliferatif yang dapat bermanifestasi pada mata. Limfoma maligna terdiri dari limfoma Hodgkin dan non Hodgkin. Insidensi hodgkin lymphoma Amerika Serikat adalah 2-3 kasus per 100000 penduduk dan non Hodgkin limfoma 3-4 %. Limfoma yang paling banyak bermanifestasi pada mata adalah non Hodgkin limfoma. Salah satu penanganan limfoma maligna adalah pemberian kemoterapi. 1,2,3 Tujuan dari kemoterapi untuk menghancurkan sel-sel kanker. Obat kemoterapi pertama yang ditemukan adalah sulfur dan mustar nitrogen dengan menekan sumsum tulang. Tahun 1950 ditemukan obat yang bekerja pada DNA (Deoxyribonucleic acid) yaitu metotreksat. Sejak tahun 1970 semakin banyak obat kemoterapi yang bekerja menghambat mitosis. 4 Sari Kepustakaan ini akan membahas mengenai kemoterapi pada limfoma maligna. II. Limfoma maligna Limfoma maligna dibagi menjadi Hodgkin dan non Hodgkin. Limfoma Hodgkin banyak terjadi pada usia 25-30 tahun dan usia lebih dari 50 tahun. Limfoma Non Hodgkin banyak terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Insidensi limfoma Hodgkin tidak dipengaruhi ras tertentu sedangkan limfoma non Hodgkin lebih banyak ditemukan pada ras kulit putih. Stadium limfoma dibagi berdasarkan Stadium Ann Arbor. 5,6,7

2 Tabel 2.1 Stadium Ann Arbor Sumber : Smith 8 Stadium Kelenjar limfe yang terlibat I I : Satu daerah kelenjar limfe IE :satu area ekstralimfatik II II : Dua atau lebih daerah kelenjar limfe pada sisi diafragma yang sama II E : penyebaran ektrsalimfatik lokal ditambah saru atau lebih daerah kelenjar limfe pada sisi diafragma yang sama III III : Daerah kelenjar limfe pada kedua sisi diafragma IIIE : Disertai penyebaran ekstralimfatik III S : keterlibatan limpa IV Keterlibatan difus pada satu atau lebih organ extralimfatik (sumsum tulang / tulang/ paru-paru) A Tidak ada gejala kategori B B Ditemukan 1 atau lebih gejala sebagai berikut : Penurunan berat badan >10% selama 6 bulan sebelum penentuan stadium Fever >38 C berulang Berkeringat malam berulang E Ekstra nodal X Massa besar diameter >10 cm Axilla dan pectoral Epitrochlear dan brachial Inguinal dan femoral Gambar 2.1 Regio anatomi kelenjar limfe pada stadium limfoma Sumber : Connors 5

3 2.1. Limfoma Hodgkin Limfoma Hodgkin merupakan salah satu dari limfoma B sel dan terdiri dari 2 tipe mayor yaitu tipe klasik dengan sel Reed-Sternberg dan limfoma Hodgkin nodular predominan limfosit. Penyebab limfoma Hodgkin belum dapat ditentukan secara pasti. Etiologi diduga berhubungan dengan Ebstein-Barr Virus (EBV) dan genetik pada beberapa kasus. Sel Reed-Sternberg pada 50% kasus limfoma Hodgkin ditemukan EBV-encoded small RNA (EBER). Limfoma Hodgkin lebih banyak ditemukan pada kembar monozigot dibandingkan dengan kembar dizigot. Limfoma Hodgkin tidak dipengaruhi oleh radiasi, kimia, agen biosidal. 3,5 Gambar 2.2 Histologi limfoma Hodgkin tipe nodular sclerosing. Terdapat sel lakunar, sel Reed Sternberg, limfosit, dan eosinofil Sumber : Connors 5 Gambar 2.3 Sel Reed Sternberg Sumber : Eichenauer 3

4 Tabel 2.2 Subtipe Limfoma Hodgkin berdasarkan klasifikasi the Revised European- American Lymphoma classification (REAL) Sumber : Eichenauer 3 Nodular-sclerosing classic Hodgkin lymphoma Mixed-cellularity classic Hodgkin lymphoma Lymphocyte-rich classic Hodgkin lymphoma Lymphocyte-depleted classic Hodgkin lymphoma Unclassifiable classic Hodgkin lymphoma Nodular lymphocyte predominant Hodgkin lymphoma 2.2 Limfoma Non Hodgkin Sejak 100 tahun lalu pembagian limfoma berdasarkan penemuan sel Reed- Sternberg pada Limfoma Hodgkin dan limfoma lainnya adalah limfoma non- Hodgkin. Sistem klasifikasi ini diubah dalam the Revised European-American Lymphoma classification (REAL) / World Health Organization (WHO) berdasarkan morfologi, imunologi, dan klinis. 7 Faktor-faktor yang berhubungan dengan limfoma non Hodgkin kelainan imunitas (X-linked lymphoproliferative disorder, Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) Rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus,sjögren syndrome, Hashimoto thyroiditis), infeksi (Epstein-Barr virus, Human T- lymphotropic virus type 1, Human herpesvirus type 8, Hepatitis C virus, Helicobacter pylori, Borrelia burgdorferi, Chlamydia psittaci, Campylobacter jejuni), dan lingkungan (herbisida, pelarut organik, pewarna rambut, sinar ultraviolet, diet, rokok, dan obat-obatan). Pekerja yang terpapar dengan zat bioaktif bertahun-taun, usia tua dan pasien dengan penyakit autoimun beresiko terkena limfoma non-hodgkin. Saudara kandung dan generasi pertama dari pasien limfoma dan keganasan darah lainnya beresiko tinggi. 7

Tabel 2.3 Klasifikasi Limfoma Non Hodgkin the Revised European-American Lymphoma classification (REAL) Sumber : Bierman 7 PRECURSOR LYMPHOID NEOPLASMS B-lymphoblastic leukemia/lymphoma T-lymphoblastic leukemia/lymphoma MATURE B-CELL NEOPLASMS Chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma B-cell prolymphocytic leukemia Splenic marginal zone lymphoma Hairy cell leukemia Splenic lymphoma/leukemia, unclassifiable Lymphoplasmacytic lymphoma Heavy chain diseases Plasma cell neoplasms Extranodal marginal zone lymphoma of mucosa-associated lymphoid tissue (MALT lymphoma) Nodal marginal zone lymphoma Follicular lymphoma Primary cutaneous follicle center lymphoma Mantle cell lymphoma Diffuse large B-cell lymphoma, NOS Burkitt lymphoma B-cell lymphoma, unclassifiable, with features intermediate between diffuse large B-cell lymphoma and Burkitt lymphoma B-cell lymphoma, unclassifiable, with features intermediate between diffuse large B-cell lymphoma and classical Hodgkin lymphoma MATURE T- AND NK-CELL NEOPLASMS Adult T-cell leukemia/lymphoma Extranodal NK/T-cell lymphoma, nasal type Enteropathy-associated T-cell lymphoma Hepatosplenic T-cell lymphoma Subcutaneous panniculitis-like T-cell lymphoma Mycosis fungoides Sézary syndrome Primary cutaneous CD30+ T-cell lymphoproliferative disorders Peripheral T-cell lymphoma, NOS Angioimmunoblastic T-cell lymphoma Anaplastic large cell lymphoma, ALK positive Anaplastic large cell lymphoma, ALK negative ALK = anaplastic lymphoma kinase; MALT = mucosa-associated lymphoid tissue; NK = natural killer; NOS = not otherwise specified 5

6 Gambar 2.4 Large cell lymphoma, tanda panah menunjukkan sel neoplasma Sumber : AAO 9 Empat tipe limfoma orbita yang paling umum berdasarkan klasifikasi REAL antara lain limfoma Mucosa-associated lymphoid tissue (MALT), Chronic lymphocytic lymphoma (CLL), Follicular center lymphoma, dan high-grade lymphoma. Mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma merupakan 40%-60% dari limfoma orbita. Lesi MALT 50% berasal dari traktus gastrointestinal. Antigen seperti Helicobacter pyloripada limfoma gaster merupakan target terapi. Limfoma MALT memiliki tingkat keganasan yang rendah namun 50% pasien mengalami penyebaran sistemik dalam waktu 10 tahun. Remisi spontan ditemukan pada 5-15% kasus. Transformasi histologi menjadi lesi yang lebih ganas terjadi pada 15-20%. Tipe kedua juga memiliki tingkat keganasan rendah adalah chronic lymphocytic lymphoma (CLL).Tipe ketiga adalah follicular center lymphoma terdiri dari lesi folikular dengan tingkat keganasan rendah. Tipe keempat yaitu high-grade lymphomas termasuk lymphoblastic lymphoma, dan limfoma Burkitt. 2 large cell lymphoma,

7 Gambar 2.5 Limfoma Mucosa-associated lymphoid tissue (MALT)). Terdapat sel-sel plasma pada sisi kiri lapang pandang. Sumber : Syed 10 2.3 Gejala Klinis Gejala klinis dari limfoma maligna adalah massa yang tidak nyeri dan progresif. Limfadenopati terutama pada daerah cervical, axilla, atau area mediastinal. Nodal inferior dari diafragma ditemukan pada 10% pasien. Pembesaran kelenjar limfe tidak nyeri. Gejala konstitusi ditemukan pada 25% pasien. Gejala lain yang dapat timbul adalah penurunan berat badan >10%, keringat malam, demam persisten, batuk yang diakibatkan penekanan masa di mediastinal, dan nyeri tulang jika mengalami metastase, serta anemia atau pansitopenia. Massa sering terdapat pada orbita anterior atau pada konjungtiva yang terlihat sebagai salmon-patch appearance. Limfoma tingkat keganasan rendah dan hiperplasia limfoid dapat membesar dalam jangka waktu bulan sampai tahun. 1,2,3,5

Gambar 2.6 a. Ptosis palpebra superior dan massa yang teraba pada orbital rim; b. Potongan coronal MRI (Magnetic Resonance Imaging) memperlihatkan pembesaran kelenjar lakrimal kanan dengan infiltrasi jaringan orbita anterior; c. Potongan axial MRI menunjukkan massa di sekitar orbita; d. Biopsi insisi memperlihatkan limfoma orbita infiltrasi kelenjar lakrimal. Sumber :AAO 2 8

9 Gambar 2.7 Salmon patch appearance Sumber : Syed 10 2.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi menunjukan massa di orbita. Lesi orbita 50% terdapat pada fossa lakrimal. Lesi orbita bilateral terjadi pada 17% kasus. 2,3,5 Biopsi dan pewarnaan histokimia diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menentukan jenis histologi. Fine-needle aspiration biopsy (FNAB) tidak adekuat untuk menegakkan diagnosis karena tidak dapat menentukan karakteristik morfologi..diagnosis klasik limfoma Hodgkin adalah ditemukannya sel Reed- Sternberg pada pemeriksaan kelenjar limfe atau organ ekstralimfatik. 5 2.5 Terapi Terapi limfoma berupa kemoterapi dan radioterapi. Radioterapi merupakan pilihan terapi pada pasien dengan kelainan okular yang terlokalisir. Dosis radioterapi yang biasa digunakan adalah 2000-3000 cgy. Regimen kemoterapi dibedakan berdasarkan jenis dan stadium. 2,5 III. Kemoterapi pada limfoma maligna Diagnosis dan penentuan jenis serta stadium yang tepat dari limfoma menentukan rencana terapi yang akan dipilih. Prinsip pemilihan kombinasi obat yang tepat berdasarkan efikasi, toksisitas, jadwal pemberian yang tepat, dan interaksi obat. Terapi kombinasi perlu diberikan karena sulit menentukan obat

10 tunggal yang paling efektif, meningkatkan respons awal yang lebih baik, dan dapat menimbulkan efek sinergis serta meningkatkan aktivitas total obat. Terapi kombinasi dapat mengurangi resiko toksisitas obat karena dosis yang diberikan masing-masing obat lebih kecil. 8,11,12 Efek samping kemoterapi dapat diatasi dengan pemberian terapi suportif seperti pemberian medikamentosa dan pemberian growth factor untuk menstimulasi produksi sel darah merah dan neutrofil. Efek samping obat bervariasi seperti neuropati (vincristine), cardiotoksik (doxorubicin), hiperglikemia (prednisone), dan supresi T cell dengan reaktivasi viral (fludarabine). 8 Tabel 3.1 Terapi limfoma Hodgkin berdasarkan stadium Sumber : Connors 5 Stadium Terapi IA atau IIA, tanpa massa diameter 10 cm ABVD 4 siklus (jika setelah siklus ke-2 terjadi perbaikan) atau ABVD 2 + radioterapi IB, IIB, II, IV, atau massa diameter 10 cm pada semua stadium ABVD sampai 2 siklus setelah terjadi perbaikan (minumun 6 siklus, maksimum 8 siklus) atau ditambahkan BEACOPP ABVD (Adriamycin [doxorubicin], bleomycin, vinblastine, and dacarbazine) ; BEACOPP (bleomycin, etoposide, Adriamycin [doxorubicin], cyclophosphamide, vincristine, procarbazine, and prednisone) Tabel 3.2 Regimen ABVD (Siklus 29 hari) Sumber : Eichenauer 3 Obat Dosis (mg/m 2 ) Rute Jadwal Adriamycin (doxorubicin) 25 IV Hari 1 + 15 Bleomycin 10 IV Hari 1 + 15 Vinblastine 6 IV Hari 1 + 15 Dacarbazine 375 IV Hari 1 + 15

11 Tabel 3.3 Regimen BEACOPP (Siklus 22 hari) Sumber : Eichenauer 3 Obat Dosis (mg/m 2 ) Rute Jadwal Bleomycin 10 IV Hari 8 Etoposide 200 IV 1-3 Doxorubicin 35 IV 1 Siklofosfamid 1250 IV 1 Vincristine 1,4 (max 2 mg) IV 8 Procarbazine 100 Per oral 1-7 Prednisone 40 Per oral 1-14 G-CSF (granulocyte-colony Subcutaneous Dari hari ke 8 stimulating factor) Tabel 3.4 Regimen terapi Limfoma Non Hodgkin Sumber : Bierman 7 Regimen Dosis (mg/m 2 ) Rute Jadwal Siklus(hari) R-CHOP 21 Siklofosfamid 750 IV 1 Doxorubicin 50 IV 1 Vincristine 1,4 (max total 2mg) Infus IV 1 Prednisone (dosis tetap) 100 mg Per oral 1-5 Rituximab 375 IV 1 R-EPOCH 21 Etoposide 50 Infus IV 1-4 Doxorubicin 10 Infus IV 1-4 Vincristine 0,4 (max total 2mg) Infus IV 1-4 Siklofosfamid 750 IV 5 Prednisone 60 Bid, Per oral 1-5 Rituximab 375 IV 1 R-CVP 21 Siklofosfamid 1000 IV 1 Vincristine 1,4 (max total 2mg) Infus IV 1 Prednisone (dosis tetap) 100 mg Per oral 1-5 Rituximab 375 IV 1 FCR 28 Fludarabine 25 IV 1-3 Siklofosfamid 250 IV 1-3 Rituximab 375 IV 1 B-R 28 Bendamustine 90 IV 1-2 Rituximab 375 IV 1 Regimen FCR memiliki laju remisi yang cepat dan sering diberikan pada pasien muda. Regimen B-R lebih mudah ditoleransi walaupun wakt respons lebih lamadaripada FCR. 7

12 Inhibisi biosintesis purin via posphoribosil pyrophosphatase aminotransferase (contoh MTX) Sintesis purin Sintesis pirimidin Inhibisi sintesis pirimidine (contoh : PALA, pyrazofurin) Inhibisi adenosine deaminase (contoh pentostatin) Berikatan dengan RNA(contoh 5-azacytidine) Ribonukleotida Inhibisi ribonucleotide reductase (contoh : fludarabin) Pemecahan DNA oleh topoisomerase II (contoh : anthracyclines, dactinomycin) Deoxyribonukleotida Inhibisi DNA polimerase α (contoh : ARA-C) Berikatan dengan DNA (contoh : ARA-C) Berikatan dengan DNA & menghambat produksi DNA & RNA (contoh : dactinomycin) Pemotongan rantai DNA (contoh : Bleomycin) Ikatan silang dengan DNA (contoh : agen alkilating) Protein Vincritine, Vinblastine mikrotubule Nukleus Gambar 3.1 Mekanisme agen kemoterapi Sumber : Gerson 12 3.1 Siklofosfamid Siklofosfamid merupakan golongan agen alkilating mustar nitrogen oxazaphosphorine tersubstitusi (oxazaphosphorine-substituted nitrogen mustard) dan agen proaktif yang membutuhkan bioaktivasi enzimatik oleh enzim sitokrom

13 P-450 (CYP) di hepar. Efek kemoterapi dan sitotoksik dengan alksilasi reaktif amin, oksigen, atau fosfat pada DNA. Atom N7 guanin paling mudah berikatan dengan agen alkilating sehingga menjadi target utama dalam terapi agen alkilating. Atom lain purin dan pirimidin basa DNA seperti N1 dan N3 dari cincin adenin, N3 dari sitosin, dan O6 guanin juga bereaksi dengan agen alkilating. Mekanisme ini mengaktifkan pembentukan basis nukleofilik alkilat yang berfungsi pada proses ikatan silang (cross linking) DNA dengan memutuskan rantai DNA. Pemutusan rantai DNA menyebabkan penurunan sintetis DNA dan apoptosis. Sitotoksisitas agen alkilating dipengaruhi jumlah DNA yang mengalami ikatan silang. 11,12,13 Efek siklofosfamid tidak spesifik terhadaip sel-sel tertentu. Sensitivitas terhadap sel bervariasi. Sel sel progenitor hematopoietik relatif resisten terhadap siklofosfamid walaupun sudah diberikan dosis tinggi. Efek imunosupresi siklofosfamid antara lain menurunkan jumlah limfosit T dan B, meningkatkan proliferasi limfosit, menurunkan produksi antibodi, dan supresi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen baru. 12,13 Siklofosfamid dimetabolisme di hepar menjadi bentuk aktif (4- hidroksisiklofofamid). 4-hidroksisiklofofamid dan aldofosfamid menuju sel tumor kemudian aldofosfamid membelah menjadi mustar fosforamid dan akrolein. Mustar foforamid berfungsi sebagai anti tumor. Akrolein dapat menyebabkan sistitis hemoragik. Efek samping sistitis dapat diatasi dengan pemberian mesna. Pemberian mesna tidak mengurangi aktivitas anti tumor. 12,13 Satu jam setelah konsumsi per oral merupakan puncak konsentrasi plasma. Waktu paruh (t 1 /2) siklofosfamid adalah 5-9 jam. Eliminasi siklofosfamid 30-60 % melalui urin. Waktu paruh siklfofosfamid menjadi 12 jam pada pasien dengan kelainan hepar namun tidak meningkatkan toksisitas sehingga modifikasi dosis tidak diperlukan. Siklofosfamid dapat diberikan secara oral dan intravena. 11,12,13 Efek samping siklofosfamid antara lain gangguan gastrointestinal, myelosupresi reversibel yang bermanifestasi sebagai leukopenia dan neutropenia, meningkatkan resiko infeksi, sistitis hemoragik, amenorrhea, dan alopecia. Pemeriksaan laboratorium dan pengaturan dosis diperlukan untuk meminimalkan toksisitas. Jumlah leukosit tidak boleh kurang dari 3000/mm3 pada pemberian

14 dosis oral harian dan tidak boleh kurang dari <2000/mm3 pada pemberian terapi IV. Pemeriksaan laboratorium dilakukan 1-2 minggu pada awal pemberian terapi kemudian dapat dilakukan setiap 1 bulan pada pemberian dosis yang stabil. 12,13 Urinalisis harus dilakukan setiap bulan. Pasien yang mengalami sistitis hemoragik harus dilakukan pemeriksaan sitologi urin. Sikflosfamid merupakan obat golongan D untuk kehamilan berdasarkan U.S. Food and Drug Administration (FDA) karena bersifat teratogenik terutama pada trimester pertama. 12 Interaksi obat dengan simetidin dapat menghambat beberapa aktivitas enzim hepar sedangkan ranitidin dan antagonis H2-reseptor lainnya tidak meningkatkan toksisitas. Allopurinol meningkatkan waktu paruh dan sering menyebabkan leukopenia. Siklofosfamid dapat meningkatkan aktivitas suksinilkolin. 12 3.2 Bendamustine Bendamustine merupakan golongan agen alkilating. Cara kerja sama dengan silofosfamid yaitu alkilasi rantai DNA. Bendamustine efektif bekerja pada sel yang aktif maupun tidak. Bendamustine diberikan dalam bentuk infus dalam waktu 30 menit. Waktu paruh (t 1 /2) adalah 30-40 menit, metabolisme di hepar, dan diekresikan melalui urin. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah gangguan gastrointestinal, myelosupresi yang reversibel, mukositis, fever, pruritus, dan rash. Medikamendtosa seperti antihistamin, antipiretik, dan kortikosteroid dapat mengurangi efek samping. 12,13 3.3 Dacarbazine Dacarbazine (DTIC) merupakan obat kemoterapi golongan triazene bekerja pada semua fase siklus sel. Dacarbazine diberikan secara infus intravena 15-30 menit. Waktu paruh (t 1 /2) 5 7 jam dan lebih lama pada pasien dengan kelainan hepar atau renal. Eksresi melalui urin. Extravasasi obat dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan nyeri yang hebat. 11,12,13

15 Efek samping dacarbazine yang paling sering adalah gangguan gastrointestinal. Vomitus biasanya muncul 1-3 jam setelah pemberian obat dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping lainnya adalah myelosupresi (leukopenia dan trombositopenia) ringan dan reversibel, flulike syndrome, hepatotoksik, alopecia, kemerahan pada wajah, neurotoksik, gandduan gastrointestinal, dan reaksi dermatologis.. 11,12,13 3.4 Procarbazine Procarbazine merupakan obat golongan metilating DNA yang biasa digunakan sebagai terapi limfoma Hodgkin dan non-hodgkin serta tumor otak. Procarbazine membentuk ion methyldiazonium yang berperan dalam proses metilasi N7 guanine, O6 guanine, O4 dan O2 thymine, serta N3 adenine. Golongan ini tidak membentuk ikatan silang dengan DNA. N7 methylguanine yang tidak stabil menyebabkan terbukanya cincin DNA kemudian terjadi reaksi enzim depurinasi. 9,13 Mekanisme perbaikan dengan memotong gugus basa N7 methylguanine dan N3 methyladenine kemudian mengembalikan menjadi DNA normal. Farmakokinetik procarbazine belum sepenuhnya diketahui. Procarbazine di metabolisme oleh isoenzym CYP yang ditemukan pada plasma dan menghasilkan metabolit alkilating pada sel tumor. 11,11,13 Procarbazine diabsorbsi sempurna dan cepat melalui oral dan dalam 60 menit mencapai waktu puncak. Procarbazine dapat melewati sawar darah otak. Metabolisme di hepar dengan waktu paruh (t 1 /2)T 10 menit. Ekresi melalui urin. 12 Efek samping yang sering adalah gangguan gastrointestinal. Leukopenia, dan trombositopenia dapat muncul pada 2 minggu pertama dan reversibel setelah 2 minggu penghentian terapi. Penggunaan dengan obat-obatan depresan sistem saraf pusat harus dihindari karena procarbazine meningkatkan efek sedatif. Procarbazine merupakan obat Monoamine oxidase (MAO) inhibitor sehingga harus dihindari diet yang mengandung alkohol dan tiramin karena dapat menyebabkan hipertensi. 11,13

16 3.5 Bleomycin Bleomycin merupakan antibiotik antitumor yang berasal dari fermentasi Streptomyces verticillus. Bleomycin bersifat larut dalam air. Mekanisme kerja dengan menyebabkan oksidatif pada deoxyribose nukleotida sehingga terjadi pembelahan pada DNA rantai tunggal dan ganda. Penelitian in vitro menunjukkan bleomycin menyebabkan akumulasi sel yang mengalami kelainan kromosom pada siklus sel fase G2. Proses perbaikan belum diketahui secara pasti namun diduga terjadi apoptosis dari DNA yang telah mengalami kerusakan. 11,13 Bleomycin didegradasi oleh hydrolase spesifik yang ditemukan pada beberapa jaringan normal seperti hepar, paru-paru, dan kulit. Dosis harus dikurangi jika CrCl (creatinine clearance) <60 ml/menit. Waktu paruh (t 1 /2) bleomycin adalah 3 jam. Eksresi obat melalui urin. Dosis yang direkomendasikan adalah 10-20 unit/m 2 diberikan 1-2 kali per minggu secara intravena, intramuskular, atau subkutan. Dosis percobaan 2 unit diberikan sebelum 2 dosis pertama observasi selama 1-6 jam. 11,13,14 Efek myelosupresi yang rendah merupakan kelebihan bleomycin. Efek samping bleomycin antara lain gangguan gastrointestinal, toksisitas pada kulit (hiperpigmentasi, hiperkeratosis, eritema, dan ulkus) dan fibrosis pulmonal. Pasien yang diberikan dosis terapi >250 mg, usia >40 tahun, CrCl <80 ml/menit, dan memiliki kelainan pulmonal lebih beresiko mengalami efek samping pulmonal. 11,13 3.6 Doxorubicin Doxorubicin atau adriamycin adalah golongan anthracyclines yang merupakan derivat jamur Streptomyces peucetius var. caesius. Anthracycline memiliki struktur cincin tetrasiklin yang terikat dengan daunosamine dan memiliki gugus quinone dan hydroquinone yang bersifat sitotoksik. Aksi sitotoksik anthracyclines melalui 4 mekanisme yaitu menghambat topoisomerase II, berikatan dengan DNA sehingga menghambat sintesis DNA dan RNA serta memotong rantai DNA, berinteraksi dengan zat besi menghasilkan radikal bebas semiquinone yang dapat bereaksi dengan O2 menghasilkan hidrogen peroksida and hidroksil untuk merusak basa

17 DNA; dan berikatan dengan membran selular untuk mengganggu aliran cairan dan transport ion. Anthracycline menghasilkan kompleks tripartite menyebabkan apoptosis DNA yang sudah mengalami kerusakan. Superoxide dismutase dan catalase melindungi sel dari toksisitas anthracyclines. Perlindungan sel dari toksisitas dibantu dengan pemberian antioksidan sehingga mengurangi resiko kardiotoksik. 11,13 Doxorubicine secara intravena, mengalami metabolisme di hepar, dan eksresi melalui sistem bilier. Waktu paruh (t 1 /2) doxorubicin 30 jam sedangkan idarubicin 15 jam. Obat-obat tersebut dengan cepat masuk ke jantung, hepar, paru-paru, dan limpa namun tidak melewati sawar darah otak. 11,13 Extravasasi obat dapat menyebabkan nekrosis jaringan. Doxorubicin dapat menyebabkan warna urine menjadi kemerahan. Efek samping lainnya antara lain myelosupresi, cardiotoksik, stomatitis, alopecia, gangguan gastointestinal, dan rash. Gejala cardiotoksik antara lain tachycardia, aritmia, dyspnea, hipotensi, pericardial effusion, dan congestive heart failure yang tidak responsif terhadap pemberian digitalis. 13 3.7 Etoposide Etoposide merupakan derivat podophyllotoxin yang diekstrak dari akar Podophyllum peltatum. Etoposide membentuk kompleks dengan topoisomerase II dan DNA sehingga menghambat ikatan topoisomerase dengan DNA. Enzim yang berikatan dengan rantai DNA yang mengalami kerusakan menyebabkan akumulasi kerusakan DNA dan kematian sel. Sel pada fase S and G2 paling sensitif terhadap etoposide. 11,14 Etoposide yang diberikan secara oral hanya diabsorbsi 50% sehingga dosis oral yang dibutuhkan 2 kali dari dosis intravena. Waktu paruh (t 1 /2) 6-8 jam. Infus diberikan dalam 30-60 menit untuk mencegah hipotensi dan bronkospasme yang diakibatkan zat pengawet etoposide. Etoposide dieksresikan melalui urin. Efek samping etoposide antara lain gangguan gastrointestinal, myelosupresi, hepatotoksik, dan alopecia. 11,12,13

18 3.8 Vinca alkaloids Vinca alkaloid berasal dari tumbuhan Catharanthus roseus atau Vinca rosea. Obat yang termsasuk vinca alkaloid adalah vinblastine dan vincristine. Vinca alkaloid merupakan agen yang spesifik pada siklus sel dan dapat dikombinasi dengan agen lain seperti podophyllotoxin untuk menghentikan mitosis sel. Mekanisme kerjanya dengan menghambat polimerasi tubulin sehingga merusak mikrotubule yang berperan pada proses mitosis metafase. Metabolisme terjadi di hepar oleh sistem P450. Waktu paruh (t 1 /2) vincristine adalah 20 jam dan vinblastine 23 jam. Eksresi melalui feses dan sebagian kecil melalui urin. 11,12,13 Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain myelosupresi, gangguan gastrointestinal, neurotoksik, alopecia, dan syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH). Myelosupresi terjadi 7-10 hari setelah pemberian obat. Dosis harus diturunkan 50% - 75% pada pasien dengan bilirubin plasma >1.5 mg/dl. 11,13 3.9 Rituximab Rituximab merupakan golongan antibodi monoklonal dengan target limfosit CD20. Mekanisme kerja melalui sitotoksik cell-mediated dan complementdependent serta stimulasi apoptosis sel. Penurunan limfosit B menyebabkan inflamasi berkurang dengan mengurangi jumlah antigen yang terpapar ke limfosit T dan menghambat sekresi sitokin proinflamasi. Rituximab secara cepat mengurangi sel B perifer. 11,14 Rituximab diberikan melalui infus intravena. Waktu paruh rituximab bervariasi setiap individu karena CD20 setiap individu berbeda-beda dengan rata-rata waktu paruh adalah 18-22 hari. Deplesi sel B terjadi 2-3 minggu setelah terapi awal dan bertahan selama 6 bulan. Jumlah sel B kembali normal setelah 1 tahun terapi. Rituximab diklasifikasikan sebagai obat golongan C pada kehamilan. Efek samping antara lain rash,hipertensi, mual, infeksi saluran pernafasan atas, pireksia, dan pruritus. 11,15

19 3.10 Prednisone Prednisone merupakan golongan glukokortikoid yaitu komponen sintetik dari hormon kortisol adrenal. Mekanisme kerja dengan berikatan dengan reseptor cytosolic kemudian translokasi ke nukleus dan berikatan dengan DNA spesifik. Glukokortikoid dapat meningkatkan atau menurunkan transkripsi gen serta menghambat ikatan faktor transkripsi AP-1 ke DNA. Limfosit yang terkena glukokortikoid akan mengalami apoptosis. Fase sitostatik awal ditandai dengan inhibisi pertumbuhan dan proliferasi yang disebabkan inhibisi konsumsi glukosa, asam amino, dan nukleosida oleh sel. Fase sitostatik diikuti fase sitolitik yang ditandai kondensasi kromatin dan pemecahan DNA. 12 Prednison dapat diabsorbsi secara baik dengan pemberian per oral dan dimetabolisme di hepar. Waktu paruh (t 1 /2) 3-4jam dan dieksresikan melalui urin. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah euphoria, insomnia, pskosis, hiperglikemia, hipokalemia, peningkatan nafsu makan, alkalosis metabolik, dan retensi cairan terutama jika dikonsumsi lebih dari 14 hari. Efek samping pada penggunaan kronis dapat menyebabkan Cushingoid appearance, peptic ulcer, osteoporosis, katarak subkapsular, dan meningkatkan resiko infeksi karena penururan imunitas selular. 13,12 3.11 Fludarabine Fludarabine merupakan purin analog yang bekerja dengan cara menghambat ribonukleotida reduktase. Fludarabine bekerja pada sel aktif terutama fase S. Fludarabine diberikan secara intravena. Waktu paruh (t 1 /2) selama 10 jam dan dieksresikan melalui urin. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah fever, menggigil, gangguan gastrointestinal, dam myelosupresi. Jika diberikan >40 mg/m 2 /hari selama 5 hari dapat menyebabkan neurotoksik ireversibel, termasuk kebutaan dan kematian. 12

20 3.12 Granulocyte Colony-Stimulating Factor (G-CSF) G-CSF merupakan suatu glikoprotein yang bekerja secara khusus pada neutrofil (leukosit polimorfonuklear) dan prekursor neutrofil sehingga meningkatkan pertumbuhan sel, diferensiasi, dan fungsi sel. Produksi G-CSF terutama oleh monosit, fibroblast, dan sel endotelial. Jumlah neutrofil tertinggi terjadi sekitar 12-48 jam setelah pemberian dosis tunggal subkutan kemudian mulai menurun dalam waktu 3-7 hari. Peningkatan jumlah neutrofil sidebabkan karena peningkatan granulopoiesis dan proses maturasi yang lebih cepat. Rekombinan G-CSF dapat meningkatkan sedikit jumlah monosit dan limfosit. Indikasi pemberian G-CSF adalah pasien yang mendapatkan kemoterapi. 16 IV. Simpulan Klasifikasi limfoma the Revised European-American Lymphoma classification (REAL) / World Health Organization (WHO) berdasarkan morfologi, imunologi, dan klinis. Salah satu terapi limfoma maligna adalah kemoterapi. Regimen kemoterapi limfoma maligna diberikan berdasarkan jenis dan stadium limfoma.

21 Daftar Pustaka 1. Do DV, Dhaliwal RS, dan Schachat AP. Leukemia and Lymphomas. Dalam : Ryan SJ, editor. Retina. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier, 2013. Hlm. 155, 2359-72 2. American Academy of Ophtalmology. Orbit, eyelids, and lacrimal system. Section 7. San Fransisco: American Academy of Ophtalmology;2014. Hlm. 79-83 3. Eichenauer DA, Engert A, dan Dieghl V. Dalam : Hoffman R, Benz EJ, Silberstein LE, Heslop HE, Weitz JI, dan Anastasi J, editor. Hematology: Basic Principles and Practice. Edisi ke-6. Canada; Saunders, 2013. Hlm. 1138-56 4. American Academy of Ophtalmology. Update on general medicine. Section 1. San Fransisco: American Academy of Ophtalmology;2014. Hlm. 235-44 5. Connors JM. Hodgkin Lymphoma. Dalam : Goldman L & Schaefer AI, editor. Goldman-Cecil Medicine. Edisi ke-25. Philadelphia :Elsevier, 2016. Hlm 1268-73 6. Ferri FF. Lymphoma Non-Hodgkin. Dalam : Ferri s Clinical Advisor 2017. Philadelphia : Elsevier, 2016. Hlm748-50 7. Bierman PJ & Armitage JO. Non-Hodgkin Lymphomas. Dalam : Goldman L & Schaefer AI, editor. Goldman-Cecil Medicine. Edisi ke-25. Philadelphia :Elsevier, 2016. Hlm 1257-67 8. Smith S. Non Hodgkin s and Hodgkin s Lymphoma. Dalam : Carey WD, editor. Current Clinical Medicine. Edisi ke-2. Philadelphia : Elsevier, 2016. Hlm 631-6 9. American Academy of Ophtalmology. Ophthalmic Pathology and Intraocular Tumors. Section 4. San Fransisco: American Academy of Ophtalmology;2014. Hlm. 323-5 10. Syed, NA, Albert, DM, Garner A, & White VA. Principles of Pathology. Dalam : Albert DM, Miller JW, Azar DT, Blodi BA, Cohan JE, & Perkins T, editor. Albert & Jakobiec's Principles & Practice of Ophthalmology. Edisi ke-3. Philadelphia : Elsevier, 2008. Hlm 3571-2 11. Chu E & Sartorelli AC. Cancer Chemotherapy. Dalam : Katzung BG, Masters SB, & Trevor AJ, editor. Basic & Clinical Pharmacology. Edisi ke- 12. New York : McGraw-Hill Companies, Inc., 2010. hlm 949-71 12. Gerson Sl, Caimi Pf, Campagnaro E, Bhalla Kn, Grant S, & Creger Rj. Pharmacology and Molecular Mechanisms of Antineoplastic Agents for Hematologic Malignancies. Dalam : Hoffman R. Benz EJ, Silberstein LE, Heslop HE, Weitz JI, & Anastasi J, editor. Hematology: Basic Principles and Practice. Edisi ke-6. Philadelphia : Elsevier, 2013. Hlm. 783-9, 818-20, 830 839-40 13. Chabner BA, Bertino J, Cleary J, Ortiz T, Lane A,Supko JG, Ryan D. Cytotoxic Agents. Dalam : Brunton LL, Chabner BA, & Knollmann BC, editor. Goodman & Gilman s The Pharmacological Basis of THERAPEUTICS. Edisi ke-12. New York : McGraw-Hill Companies, Inc., 2011. Hlm 1489-98, 1512-6, 1522-7, 1552-3

14. Laar JMV. Immunosuppressive Drugs.Dalam : Firestein GS, Budd RC, Gabriel SE, McUnne IB, & O Dell JR, editor. Kelley's Textbook of Rheumatology. Edisi ke-9. Philadelphia : Elsevier, 2013. Hlm. 941-5 15. Leonardi CL, Heffernan MP, & Gill JG. Rituximab and future biological therapies. Dalam : Wolverton SE, editor. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy. Edisi ke-3. Philadelphia : Elsevier, 2013. Hlm. 333-41 16. Page AV & Liles WC. Immunomodulators. Dalam : Bennett JE, Dolin R, & Blase MJ, editor. Mandell, Douglas, and Bennett's Principles and Practice of Infectious Diseases. Edisi ke-8. Philadelphia : Elsevier, 2015. hlm 581-2 22