POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL KAUM TRANSGENDER DALAM KELUARGA. (studi kasus pada laki-laki dan wanita dewasa yang belum menikah) SKRIPSI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Pertama yaitu, Communication Privacy Management Gay dalam Menjaga Hubungan Antarpribadi dengan teman.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini keragaman fenomena sosial yang muncul di kota-kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB II KAJIAN TEORITIS. (interpersonal communication). Diambil dari terjemahan kata interpersonal, yang

LAMPIRAN I PEDOMAN WAWANCARA

Komunikasi Interpersonal. Dwi Kurnia Basuki

BAB I PENDAHULUAN. muka atau melalui media lain (tulisan, oral dan visual). akan terselenggara dengan baik melalui komunikasi interpersonal.

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

BAB 1 PENDAHULUAN. komunikasi bahkan hampir seluruh waktu yang kita habiskan adalah untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI BAGI PENGEMBANGAN DIRI MAHASISWA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB II KAJIAN TEORI. yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi (Sugiyo, 2005). Komunikasi antar

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu hal terpenting bagi kehidupan

POLA KOMUNIKASI ANTARA SUAMI ISTRI YANG MENIKAH SIRI SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. Komunikasi merupakan salah satu hal yang sangat vital dalam kehidupan

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam komunikasi. Komunikasi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. PERILAKU KELOMPOK DAN INTERPERSONAL

BAB II STUDI PUSTAKA. oleh Gunter K. Stahl, L. A. (2010 : ) berjudul Quality of Communication

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB I PENDAHULUAN. ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang

BAB III METODE PENELITIAN. pengajar muda dan peserta didik di desa tertinggal dalam meningkatkan motivasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Struktur Pertukaran Sosial Antara Atasan dan Bawahan di PT. Sirkulasi Kompas Gramedia Yogyakarta. Edwin Djaja / Ninik Sri Rejeki

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

Bernadheta Damaris Mutiara Isya Riska Ardila P Ukhtiani Putri S

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan mahluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam menjalani suatu

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

Oleh: Anggelia Dea Manukily Julia Pantow Lingkan E. Tulung

BAB I PENDAHULUAN. kelompok yang lain, bahkan memecahkan suatu permasalahan. 1 Kelompok adalah

PROSES KOMUNIKASI ANTARPRIBADI PADA WARGA BINA SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB V POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PARTISIPAN INDONESIA DALAM PERSEKUTUAN DOA SOLAFIDE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Pengantar Ilmu Komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. sosial tertentu. Proses komunikasi antar pribadilah yang dapat menumbuhkan

BAB I PENDAHULUAN. canggih ini membutuhkan sarana atau media untuk menyampaikan informasi.

BAB I PENDAHULUAN. manusia baik individu maupun kelompok. Setiap saat manusia berpikir, bertindak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai individu yang kompleks memiliki orientasi

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. hubungan sosial yaitu hubungan berpacaran atau hubungan romantis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbandingan dan memudahkan dalam melakukan penelitian. Berikut ini adalah. tabel penelitian terdahulu yang penulis gunakan:

BAB II LANDASAN TEORI. terjadi antara dua orang atau diantara kelompok kecil orang-orang, dimana terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya sering dipertemukan satu sama lainnya dalam

BAB I PENDAHULUAN. memaksa manusia perlu berkomunikasi (Cangara, 1998). yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat.

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat

KOMUNIKASI ADAPTASI KELUARGA DALAM REMARRIAGE SUMMARY SKRIPSI. Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1.

BAB 2 STUDI PUSTAKA. 2.1 Teori teori umum Definisi Komunikasi. Definisi komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini,

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI SUAMI ISTRI DENGAN KECENDERUNGAN BERSELINGKUH PADA ISTRI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

PENDAMPINGAN ORANGTUA DENGAN AKTIVITAS ANAK MENONTON TELEVISI

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

PSIKOLOGI KOMUNIKASI. oleh : Drs. Riswandi, M.Si. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, dengan WNA dari budaya barat (Sabon, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengalaman hidup sebagai

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

Disusun Oleh : EVA NADIA KUSUMA NINGRUM Telah disetujui unuk mengikuti Ujian Skripsi. Menyetujui, Pembimbing Utama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya.

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan maka. kesimpulan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut :

INVENTORI TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SD. Berikut ini 50 rumpun pernyataan, setiap rumpun terdiri atas 4 pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

2016 PENGARUH KOMUNIKASI HIPERPERSONAL TERHADAP PEMELIHARAAN HUBUNGAN JARAK JAUH (LONG DISTANCE RELATIONSHIP) MAHASISWA DI KOTA BANDUNG

tersisih ", mengandung pengertian bahwa kaum gay pada akhirnya tetap

KOMUNIKASI EFEKTIF EFEK KOGNISI EFEK KONASI UMPAN BALIK

ABSTRAK. Kata kunci: stakeholder, pelanggan, proses komunikasi interpersonal, tahapan penetrasi sosial

BAB I PENDAHULUAN. Waria adalah laki-laki yang menunjukan sikap dan perilaku di dalam diri yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa, pada masa tersebut mahasiswa memiliki tanggung jawab terhadap masa

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB I PENDAHULUAN. di tempat bekerja, di pasar, dan sebagainya. Sejalan hal tersebut komunikasi

BAB IV ANALISIS DATA. umumnya para remaja, tak terkecuali para remaja Broken Home, baik pada saat

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

Transkripsi:

POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL KAUM TRANSGENDER DALAM KELUARGA (studi kasus pada laki-laki dan wanita dewasa yang belum menikah) SKRIPSI Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya Almamater Wartawan Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Ilmu Komunikasi Disusun Oleh : MORIS MANGKE NPM : 16.01.0125 SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI ALMAMATER WARTAWAN SURABAYA 2017

ii

iii

MOTTO Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan. (Amsal 1:17) iv

v

KATA PENGANTAR Salam Sejahtera dan Bahagia, Puji Syukur yang tak terhingga saya panjatkan kepada Tuhan Yesus, sebagai Tuhan yang maha segalanya, yang selalu menjawab doa saya tepat waktu. Salam dan pujian saya haturkan padamu karena selalu menuntunku untuk selalu berbuat baik, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL KAUM TRANSGENDER DALAM KELUARGA sebagai salah satu syarat menyelesaikan program sarjana. Seiring dengan itu saya sampaikan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya dan hormat setinggi-tingginya kepada kedua orang tua saya yang telah mengajarkan banyak hal. Salah satu ajaran yang saya ingat yakni, sebagai mahluk hidup harus multitalenta serta jujur dalam segala hal dan dapat bersosialisasi dengan baik. Juga kepada keluarga kecilku, yakni istri dan anak-anakku karena saat proses pengerjaan skripsi saya mendapat banyak hambatan dan rintangan. Namun atas doa, dukungan dan bantuan dari segala pihak. Puji Tuhan pada akhirnya saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, saya menyampaikan banyak terima kasih kepada: 1. Ibu Prida Ariani Ambar Astuti, Ph.D. Selaku Ketua Stikosa AWS 2. Dosen Pembimbing saya yang sangat sabar dan pengertian dalam membimbing pengerjaan skripsi saya, Dra Puasini Apriliyantini, M.Si 3. Kepada seluruh Dosen Stikosa AWS 4. Seluruh karyawan dan karyawati Stikosa AWS. vi

5. Untuk Istriku, dr. Thabita Eka Putri Solossa, karena selalu mendampingiku dalam suka dan duka, sehingga skripsi ini berhasil kuserahkan sebagai tanda tanggung jawabku padamu. 6. Untuk anak-anakku El-Givent Thimoty Dolaztho Mangke dan El-Crystaline Thalia Delistha Mangke yang luar biasa memotivasi dalam segala hal, kalian adalah semangat berpenjar dari Tuhan Yesus. 7. Dan semua yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Akhirnya, semoga doa, dukungan, dan bantuan yang telah diberikan dengan ikhlas kepada saya semoga diberkahi Tuhan Yesus. Amin. Sidoarjo, 9 Januari 2017 Moris Mangke vii

ABSTRAK Keluarga terdiri dari beberapa pribadi yakni ayah, ibu dan anak. Masingmasing pribadi mengetahui peranannya di dalam keluarga, sehingga dapat menciptakan suasana keluarga yang cukup hangat. Komunikasi interpersonal merupakan hal yang penting dalam keluarga karena jika terjadi kesalahpahaman menimbulkan masalah tertentu. Apalagi jika menyangkut keluarga yang di dalamnya terdapat eksistensi transgender. Seperti yang diketahui bersama, bahwa keberadaan transgender di Indonesia merupakan isu sensitif yang dapat menciderai hubungan individu satu dan lainnya. Karena lingkungan pertemanan peneliti sebagian besar adalah pelaku transgender, maka dari itu, peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan ini menjadi suatu penelitian, yakni Pola Komunikasi Interpersonal Kaum Transgender Dalam Keluarga. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang dikerjakan dengan metode analisis deskriptif dan bersumber data dari wawancara mendalam untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang. Selain itu, peneliti juga melakukan observasi terhadap keseharian keluarga dan aktivitas informan. Informan pada penelitian ini ditetapkan sebanyak 2 orang yakni seorang pelaku transgender laki-laki dan wanita yang berasal dari kota Malang. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa narasumber satu yakni pelaku transgender yang berasal dari kota Surabaya mengalami Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern) dan tipe keluarganya adalah tipe keluarga konsensual, yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan namun juga memiliki kepatuhan yang tinggi. Sementara pada informan kedua, keluarganya memiliki Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern),dimana setiap anggota keluarga memiliki persamaan dalam mengemukakan pendapatnya. Dan tipe keluarga yang dimilikinya adalah tipe keluarga Pluralis, yakni tipe keluarga yang sangat sering melakukan percakapan tapi memiliki kepatuhan yang rendah. Sehingga dari pola komunikasi yang berbeda dalam keluarga juga menghasilkan sikap yang berbeda dalam tindakan kesehariannya. Kata kunci : transgender, komunikasi interpersonal. viii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO... iv KATA PENGANTAR... v ABSTRAKSI... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 6 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6 1.3.1 Tujuan Penelitian... 6 1.3.2 Manfaat Penelitian... 7 1.4 Kajian Pustaka... 7 1.4.1 Komunikasi... 7 1.4.2 Teori Psikologi Komunikasi... 8 1.4.3 Pola Komunikasi... 10 1.4.4 Komunikasi Interpersonal... 13 1.4.5 Transgender... 18 1.4.6 Komunikasi Keluarga... 23 1.5 Kerangka Berpikir... 26 1.6 Metodologi Penelitian... 27 1.6.1 Metode Riset... 27 1.6.2 Jenis dan Sumber Data... 27 1.6.3 Teknik Pengumpulan dan Pencatatan Data... 28 1.6.4 Teknik Analisis dan Interpretasi Data... 31 ix

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN... 33 2.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian... 33 2.2 Keseharian Informan... 35 BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA... 39 3.1 Penyajian Data... 39 3.1.1 Teknik Penyajian Data... 39 3.1.2 Penyajian dan Pembahasan Data Hasil Wawancara... 39 3.2 Analisis Data... 57 3.2.1 Informan 1... 58 3.2.2 Informan 2... 59 3.2.3 Ditinjau dari komunikasi interpersonal dari sikap positif dan tahap hubungan interpersonal... 60 3.2.4 Ditinjau dari tipe keluarga pada informan:... 60 3.2.5 Ditinjau dari pola komunikasi keluarga pada informan:... 60 3.2.6 Ditinjau dari komunikasi interpersonal dari sikap positif dan tahap hubungan interpersonal... 61 3.2.7 Ditinjau dari tipe keluarga pada informan... 61 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 62 4.1 Kesimpulan... 62 4.2 Saran... 62 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Kerangka Berpikir... 26 xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring berkembangnya zaman, ada banyak hal yang berubah dari cara berpikir seseorang, cara berpakaian, cara berkomunikasi dan cara bersosialisasi dengan sekitarnya. Fenomena kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) memang sudah tidak asing berada di lingkungan sekitar kita. Mereka bergaul dan juga bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada yang salah dalam fenomena ini, karena setiap individu memiliki hak untuk merepresentasikan dirinya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Tentunya dalam cara berkomunikasi kaum transgender berbeda dengan masyarakat pada umumnya, transgender masih dianggap tabu karena melanggar norma agama dan norma sosial. Agama mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan manusia berpasangpasangan laki-laki dan perempuan. Secara pribadi, peneliti tidak asing dengan fenomena ini karena di lingkungan kehidupan sehari-harinya, peneliti kerap menjumpai kaum LGBT. Bahkan, salah satu kawan peneliti dari kecil adalah seorang transgender. Kaum transgender seringkali mendapat penolakan di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam keluarganya sendiri. Tidak sedikit penolakan tersebut dilampiaskan dengan kekerasan secara fisik maupun psikis. Bahkan terkadang penolakan itu dilakukan oleh keluarga pelaku transgender itu sendiri. Untuk itu peneliti tertarik melakukan penelitian lebih jauh terhadap transgender. Bagaimana pola komunikasi interpersonal sesungguhnya para kaum 1

2 transgender ini. Apa yang menyebabkan mereka tidak diterima dan diterima dalam lingkungan keluarganya. Meski mendapati lingkungan peneliti yang tidak jauh dari kaum LGBT, namun peneliti tidak pernah mengorek lebih dalam mengenai keseharian mereka dengan keluarga. Inilah salah satu alasan mengapa peneliti ingin melakukan penelitian ini. Peneliti juga mengalami beberapa kendala dalam mendapatkan informan dan buku-buku yang menunjang penelitian transgender, sehingga membuat peneliti merasa tertantang untuk melakukan penelitian lebih dalam. Transgender terjadi apabila seorang wanita atau pria merasa bahwa dia merasa ada ketidaksesuaian antara identitas gendernya dengan jenis kelamin yang ada pada dirinya. Seseorang transgender selalu merasa bahwa ia sedang terjebak dalam raga yang salah, dan tidak mengetahui kapan itu mulai terjadi. Kebanyakan orang menganggap bahwa transgender adalah orang-orang yang telah mengubah alat kelaminnya (operasi kelamin dari pria menjadi wanita atau sebaliknya). Padahal tidak semua kaum transgender telah mengubah alat kelaminnya, dengan berbagai alasan. Kaum transgender sering juga disamakan dengan transseksual. Transgender bukan merupakan orientasi seksual, Seseorang yang transgender dapat mengidentifikasi dirinya sebagai seorang heteroseksual, homoseksual, biseksual, maupun aseksual. Beberapa menilai penamaan orientasi seksual yang umum tidak cukup atau tidak dapat diterapkan terhadap kondisi transgender. Individu transgender dapat memiliki karakteristik yang biasanya dikaitkan dengan gender tertentu dan dapat pula mengidentifikasi gender mereka di luar dari definisi umum yaitu seperti agender, gender netral, genqueer, non-binner atau

3 gender ketiga. Seseorang yang transgender dapat pula mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang yang bigender, pangender, atau mencakup bagian-bagian dari beberapa rangkaian kesatuan transgender yang umum atau juga mencakup bagian lainnya yang berkembang dengan adanya studi-studi terkini yang lebih rinci. Lebih lanjut lagi, banyak orang transgender mengalami masa perkembangan identitas termasuk pemahaman yang lebih baik terhadap citra, refleksi, serta ekspresi diri mereka. Secara lebih spesifik, keadaan seseorang merasa lebih asli, autentik, serta nyaman terhadap penampilan luar mereka dan menerima identitas asli mereka disebut sebagai keselarasan transgender. Di sisi lain, kaum transgender belum dapat menempatkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat. Tak jauh dari masyarakat, dalam lingkungan terkecil yaitu keluarga, mereka belum tentu mau terbuka dengan kondisi yang dimilikinya. Tentunya butuh dukungan untuk mereka agar lebih percaya diri Menghadapi situasi tersebut, diperlukan adanya komunikasi interpersonal yang baik dalam keluarga. Dengan melakukan komunikasi interpersonal yang baik, maka dapat menghasilkan umpan yang baik pula. Komunikasi interpersonal sangat penting bagi setiap manusia untuk menciptakan kebahagiaan hidup. Karena jika tidak terlaksana dengan baik, komunikasi interpersonal dapat menciderai hubungan seorang transgender dengan individu lainnya dan menciptakan konflik. Perkembangan fisik, intelektual dan sosial pada manusia sejak ia dilahirkan hingga dewasa, sangat tergantung kepada komunikasi interpersonal yang tercipta dengan lingkungan sekitarnya. Penting adanya komunikasi interpersonal di dalam kehidupan sehari- hari sehingga dapat membentuk identitas, jati diri serta dapat memahami realitas yang ada di sekitar terutama pada keluarga.

4 Keluarga terdiri dari beberapa pribadi yakni ayah, ibu dan anak. Masingmasing pribadi mengetahui peranannya di dalam keluarga, sehingga dapat menciptakan suasana keluarga yang cukup kuat. Keluarga merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan dan berinteraksi. Komunikasi melalui interaksi yang dilakukan di dalam keluarga, masing-masing memiliki pola komunikasi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Komunikasi adalah suatu kegiatan yang pasti terjadi dalam kehidupan berkeluarga. Tanpa adanya komunikasi, tidak akan terjadinya interaksi dalam kehidupan keluarga di antaranya kegiatan berbicara, berdialog, bertukar pikiran dan sebagainya. Akibatnya kerawanan hubungan antara anggota keluarga pun sukar untuk dihindari. Oleh karena itu, komunikasi antara suami dan istri, komunikasi antara ayah, ibu dan anak, komunikasi antara ayah dan anak, komunikasi antara ibu dan anak, komunikasi antara anak dan anak, perlu dibangun secara harmonis dalam rangka membangun pendidikan yang baik dalam keluarga. Persoalannya adalah pola komunikasi bagaimana yang sering terjadi dalam kehidupan keluarga? 1 Komunikasi dalam keluarga jika dilihat dari segi fungsinya tidak jauh berbeda dengan fungsi komunikasi pada umumnya. Paling tidak, ada fungsi komunikasi dalam keluarga, yakni fungsi komunikasi sosial yang setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, untuk menghindarkan diri dari tekanan dan ketegangan 2. 1 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam Keluarga 2 Ibid, hlm 37

5 Komunikasi interpersonal dalam keluarga sangat penting, karena adanya komunikasi interpersonal antar sesama anggota keluarga akan tercipta hubungan yang harmonis, serta dapat diketahui apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh salah satu anggota keluarga. Yang dimaksud dengan komunikasi interpersonal dalam keluarga yaitu hubungan timbal balik antara anggota keluarga untuk berbagi berbagai hal dan makna dalam keluarga. Tujuan dari komunikasi interpersonal dalam keluarga yaitu untuk mengetahui dunia luar, untuk mengubah sikap dan prilaku. Oleh karena itu, dengan melakukan komunikasi interpersonal yang baik, diharapkan perkembangan pemahaman moral akan berjalan baik pada seorang. (Widjaya, 2000) 3. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan dua informan yang dapat dijadikan sebagai subjek penelitian. Untuk itu peneliti menetapkan syarat dalam mencari informan untuk penelitian ini untuk memudahkan menjalani wawancara mendalam nantinya. Adapun syarat sebagai informan adalah: 1. Sudah Dewasa kisaran usia : 25-35 tahun. 2. Pelaku transgender. 3. Berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Pada syarat nomor satu, usia tersebut dikategorikan sebagai usia dewasa karena seharusnya dalam usia tersebut sudah menikah (usia antara 25-35 Tahun), sehingga peneliti menganggap keduanya sudah dapat mengambil keputusan untuk menentukan jalan kehidupannya. Kemudian dari syarat yang sudah ditetapkan itu didapatkanlah dua informan. Keduanya laki-laki dan perempuan yang mengklaim 3 Sri Ayu Rejeki, Jurnal Psikologi - Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dalam keluarga dengan Pemahaman Moral Remaja, (Universitas Gunadarma: http://www.gunadarma. ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/artikel_10503179.pdf, diakses 20 Maret 2016)

6 bahwa diri mereka adalah kaum transgender. Informan pertama, seorang laki-laki yang merasa memiliki jiwa perempuan. Ia suka melakukan hal-hal yang menjadi kegiatan perempuan dan berpakaian dengan tampilan laki-laki namun mencerminkan laki-laki yang feminim. Informan kedua adalah seorang perempuan yang merasa memiliki jiwa laki-laki di dalam dirinya. Ia sering mengaplikasikan jiwa laki-laki nya dengan cara menjadi leader di lingkungannya. Ia juga mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang disukai laki-laki, mulai dari balap motor, merokok, dan bermain bola. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti kemudian tertarik untuk mengungkap lebih jauh bagaimana pola komunikasi interpersonal transgender dalam keluarga. Komunikasi menjadi salah satu unsur penentu keharmonisan dalam keluarga. Melalui komunikasi setiap anggota keluarga dapat menyampaikan apa yang diinginkan dan tidak diinginkan. Keluarga dalam konteks penelitian ini merupakan definisi secara umum dari sebuah hubungan sosial yang terdiri dari peran ayah, ibu, dan anak-anak. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan konteks penelitian tersebut, maka perumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana pola komunikasi interpersonal kaum transgender dalam keluarga? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui bagaimana pola komunikasi interpersonal kaum transgender dalam keluarga.

7 1.3.2 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1.3.2.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini dapat memperkaya kajian dalam studi penelitian deskriptif di bidang ilmu komunikasi khususnya pola komunikasi interpersonal dan psikologi komunikasi. 1.3.2.2 Manfaat Praktis Dapat memberikan manfaat kepada para pelaku transgender ataupun pembaca penelitian ini yang mempunyai kenalan seorang transgender dalam membina hubungan interpersonal dalam keluarga; memberikan gambaran kepada pembaca tentang pola komunikasi yang baik dalam keluarga, khususnya bagi seseorang transgender; sebagai edukasi bagaimana cara berkomunikasi yang baik bagi orang tua yang memiliki anak transgender. 1.4 Kajian Pustaka 1.4.1 Komunikasi Komunikasi merupakan hal yang sering diperbincangkan, tidak hanya pada kalangan ilmuwan komunikasi, melainkan di kalangan awam, sehingga komunikasi memiliki banyak arti yang berlainan. Oleh karena itu, kita perlu memahami definisi komunikasi: Para ahli mendefinisikan komunikasi menurut sudut pandang mereka masing-masing, di antaranya 4 : 4 Ibid, hlm 68-69

8 1. Bernard Berelson dan Gary A. Steiner: Komunikasi: transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi. 2. Carl I. Hovland: Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate). 3. Everett M. Rogers: Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. 4. Harold Laswell: (Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi dengan menjawab pertanyaan-pertayaan berikut) Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Atau siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana? 1.4.2 Teori Psikologi Komunikasi Psikologi pun telah menghasilkan banyak teori yang berkaitan dengan ilmu komunikasi, di antaranya adalah: 1. Teori Psikoanalisis, yaitu manusia dikendalikan oleh keinginan terpendam di dalam dirinya (homo valens)

9 2. Teori Behaviorisme, yaitu manusia sangat dipengaruhi oleh informasi dari media massa. Hal tersebut dilandasi konsep behaviorisme, yaitu manusia dianggap sangat dikendalikan oleh alam (homo mechanicus). 3. Teori Psikologi Kognitif, yaitu konsep yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah informasi yang diterima (homo sapiens). 4. Teori Psikologi Humanistis, yaitu konsep yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya (homo ludens). Proses komunikasi bisa terjadi dalam diri seorang individu, dengan orang lain, dan kumpulan-kumpulan manusia dalam proses sosial. Berdasarkan pendapat tersebut, Burgon & Huffner (2002) membuat klasifikasi tiga jenis komunikasi, yaitu: 1. Komunikasi Intrapersonal, yaitu proses komunikasi yang terjadi di dalam diri individu (internal). Contohnya adalah kegiatan merenung, berpikir, berdialog dengan diri sendiri, baik dalam keadaan sadar maupun tidak. 2. Komunikasi Interpersonal, yaitu proses komunikasi yang terjadi antara satu individu dan individu lain sehingga memerlukan tanggapan (feedback) dari orang lain. Contohnya, perbincangan dengan keluarga, pasangan, teman, rekan kerja, tetangga, dan sebagainya. 3. Komunikasi Massa, yaitu proses komunikasi yang dilakukan kepada sekumpulan manusia di mana di dalamnya terdapat proses sosial, baik melalui media massa atau langsung, dan bersifat

10 1.4.3 Pola Komunikasi Pola adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Deteksi pola dasar disebut pengenalan pola. Pola yang paling sederhana didasarkan pada repetisi (suku kata): beberapa tiruan satu kerangka digabungkan tanpa modifikasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pola diartikan sebagai bentuk (struktur) yang tetap 5. Sedangkan pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Menurut Joseph A.Devito mengungkapkan empat komunikasi pada umumnya, di antaranya: a. Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern) Dalam pola ini, tiap individu membagi kesempatan komunikasi secara merata dan seimbang, peran yang dimainkan tiap orang dalam keluarga adalah sama. Tiap orang dianggap sederajat dan setara kemampuannya, bebas mengemukakan ide-ide, opini, dan kepercayaan. Komunikasi yang terjadi berjalan dengan jujur, terbuka, langsung, dan bebas dari pemisahan kekuasaan yang terjadi pada hubungan interpersona lainnya. Dalam pola ini tidak ada pemimpin dan pengikut, pemberi 5 Definisi Pola, http://kbbi.web.id/pola, diakses pada 21 Maret 2016, pukul 10.40

11 pendapat dan pencari pendapat, tiap orang memainkan peran yang sama. Komunikasi memperdalam pengenalan satu sama lain, melalui intensitas, kedalaman dan frekuensi pengenalan diri masing-masing, serta tingkah laku nonverbal seperti sentuhan dan kontak mata yang seimbang jumlahnya. Tiap orang memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman. Masalah diamati dan dianalisis. Perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai salah satu kurang dari yang lain tetapi sebagai benturan yang tak terhindarkan dari ide-ide atau perbedaan nilai dan persepsi yang merupakan bagian dari hubungan jangka panjang. Bila model komunikasi dari pola ini digambarkan, anak panah yang menandakan pesan individual akan sama jumlahnya, yang berarti komunikasi berjalan secara timbal balik dan seimbang. b. Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern) Dalam pola ini, persamaan hubungan tetap terjaga, namun dalam pola ini tiap orang memegang kontrol atau kekuasaan dalam bidangnya masing-masing. Tiap orang dianggap sebagai ahli dalam wilayah yang berbeda. Sebagai contoh, dalam keluarga biasa, suami dipercaya untuk bekerja/mencari nafkah untuk keluarga dan istri mengurus anak dan memasak. Dalam pola ini, bisa jadi semua anggotanya memiliki pengetahuan yang sama mengenai agama, kesehatan, seni, dan satu pihak tidak dianggap lebih dari yang lain. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman karena tiap orang memiliki wilayah sendiri-sendiri. Sehingga sebelum konflik terjadi, sudah ditentukan siapa yang menang

12 atau kalah. Sebagai contoh, bila konflik terjadi dalam hal bisnis, suami lah yang menang, dan bila konflik terjadi dalam hal urusan anak, istri lah yang menang. Namun tidak ada pihak yang dirugikan oleh konflik tersebut karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. c. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern) Dalam pola ini satu orang mendominasi, satu orang dianggap sebagai ahli lebih dari setengah wilayah komunikasi timbal balik. Satu orang yang mendominasi ini sering memegang kontrol. Dalam beberapa kasus, orang yang mendominasi ini lebih cerdas atau berpengetahuan lebih, namun dalam kasus lain orang itu secara fisik lebih menarik atau berpenghasilan lebih besar. Pihak yang kurang menarik atau berpenghasilan lebih rendah berkompensasi dengan cara membiarkan pihak yang lebih itu memenangkan tiap perdebatan dan mengambil keputusan sendiri. Pihak yang mendominasi mengeluarkan pernyataan tegas, memberi tahu pihak lain apa yang harus dikerjakan, memberi opini dengan bebas, memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol, dan jarang meminta pendapat yang lain kecuali untuk mendapatkan rasa aman bagi egonya sendiri atau sekedar meyakinkan pihak lain akan kehebatan argumennya. Sebaliknya, pihak yang lain bertanya, meminta pendapat dan berpegang pada pihak yang mendominasi dalam mengambil keputusan. d. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern) Satu orang dipandang sebagai kekuasaan. Orang ini lebih bersifat memerintah daripada berkomunikasi, memberi wejangan daripada mendengarkan umpan balik orang lain. Pemegang kekuasaan tidak pernah

13 meminta pendapat, dan ia berhak atas keputusan akhir. Maka jarang terjadi perdebatan karena semua sudah mengetahui siapa yang akan menang. Dengan jarang terjadi perdebatan itulah maka bila ada konflik masingmasing tidak tahu bagaimana mencari solusi bersama secara baik-baik. Mereka tidak tahu bagaimana mengeluarkan pendapat atau mengungkapkan ketidaksetujuan secara benar, maka perdebatan akan menyakiti pihak yang dimonopoli. Pihak yang dimonopoli meminta ijin dan pendapat dari pemegang kuasa untuk mengambil keputusan, seperti halnya hubungan orang tua ke anak. Pemegang kekuasaan mendapat kepuasan dengan perannya tersebut dengan cara menyuruh, membimbing, dan menjaga pihak lain, sedangkan pihak lain itu mendapatkan kepuasan lewat pemenuhan kebutuhannya dan dengan tidak membuat keputusan sendiri sehingga ia tidak akan menanggung konsekuensi dari keputusan itu sama sekali. 1.4.4 Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal (Interpersonal Communication) adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka, seperti yang dinyatakan R. Wayne Pace (1979) dalam (Hafied Cangara, 2010: 32) bahwa interpersonal communication is comunication involving two or more people in a face to face setting 6. Komunikasi interpersonal juga merupakan interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat menyampaikan pesan secara hlm 32 6 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010),

14 langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula 7. 1.4.4.1 Karakteristik Komunikasi Interpersonal Menurut pendapat Judy C. Pearson dalam (S. Djuarsa Senjaja, 2002: 2.1) menyebutkan enam karakteristik komunikasi interpersonal, yaitu 8 : 1. Komunikasi interpersonal dimulai dengan diri pribadi (self), bahwa segala bentuk proses penafsiran pesan maupun penilaian mengenai orang lain, berangkat dari diri sendiri. 2. Komunikasi interpersonal bersifat transaksional, merupakan pertukaran pesan secara timbal balik dan berkelanjutan. 3. Komunikasi interpersonal menyangkut aspek isi pesan dan hubungan antarpribadi, bahwa efektivitas komunikasi interpersonal tidak hanya ditentukan oleh kualitas pesan, melainkan juga ditentukan kadar hubungan antarindividu. 4. Komunikasi interpersonal mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara pihak-pihak yang berkomunikasi, dengan kata lain komunikasi lebih efektif antara pihak-pihak yang berkomunikasi itu saling tatap muka. 5. Komunikasi interpersonal menempatkan kedua belah pihak yang berkomunikasi saling tergantung satu dengan lainnya 2003), hlm 85 7 Agus M. Hardjana, Komunikasi Intrapersonal & Interpersonal (Yogyakarta: Kanisius, 8 Suranto Aw Komunikasi Interpersonal (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm 16

15 (interdependensi) yang melibatkan ranah emosi, sehingga terdapat saling ketergantungan emosional di antara pihak-pihak yang berkomunikasi. 6. Komunikasi interpersonal tidak dapat diubah maupun diulang. Artinya ketika seseorang sudah terlanjur mengucapkan sesuatu kepada orang lain, maka ucapan itu sudah tidak dapat diubah maupun diulang karena sudah terlanjur diterima oleh komunikan. 1.4.4.2 Sikap Positif yang Mendukung Komunikasi Interpersonal Sedangkan ada lima sikap positif yang mendukung komunikasi interpersonal menurut Devito (1997: 259-264) dalam (Suranto AW, 2011:82) 9 : 1. Keterbukaan (openness) Keterbukaan adalah sikap dapat menerima masukan dari orang lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain. 2. Empati (empathy) Kemampuan seseorang untuk merasakan kalau seandainya menjadi orang lain, dapat memahami sesuatu yang sedang dialami orang lain, dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan dapat memahami sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain, melalui kacamata orang lain. 9 Ibid, hlm 82

16 3. Sikap Mendukung (supportiveness) Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan di mana terdapat sikap mendukung, artinya masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka. 4. Sikap positif (positiveness) Sikap positif ditunjukkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Dalam bentuk sikap, maksudnya bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi interpersonal harus memiliki perasaan dan pikiran positif. Sedangkan bentuk perilaku, artinya bahwa tindakan yang dipilih adalah yang relevan dengan tujuan komunikasi interpersonal, yaitu secara nyata melakukan aktivitas untuk terjalinnya kerjasama. 5. Kesetaraan (equality) Kesetaraan adalah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan saling memerlukan. 1.4.4.3 Tahap Hubungan Interpersonal Di dalam komunikasi interpersonal terdapat suatu interaksi yang dimulai dengan pengembangan tahap hubungan. Hubungan interpersonal berlangsung dalam beberapa tahap, mulai tahap interaksi awal sampai tahap pemutusan (dissolution). Terdapat empat tahapan yang dikemukakan DeVito

17 (1986b) di mana tahapan ini dapat menjadi dasar dalam menjalin hubungan 10 : 1. Kontak. Tahap pertama kita membuat kontak, ada beberapa macam persepsi alat indra diantaranya melihat, mendengar dan membaui seseorang. Pada tahap ini penampilan fisik begitu penting, karena dimensi fisik begitu terbuka untuk diamati secara mudah. Jika menyukai orang tersebut maka akan berlanjut ketahap kedua. 2. Keterlibatan Pada tahap ini untuk mengikatkan diri kita lebih jauh. Tujuannya mengikatkan diri untuk lebih mengenal orang lain. Komitmen ini dapat menjadi berbagai bentuk, perkawinan, membantu orang itu atau mengungkapkan rahasia besar. 3. Perusakan Dalam tahap berikutnya merupakan penurunan hubungan, ketika ikatan di antara kedua pihak melemah. Pada tahap perusakan ini, mulai merasa bahwa hubungan ini mungkin seperti yang dipikirkan sebelumnya. Hubungan sebelumnya selalu berdua menjadi semakin menjauh, makin sedikit waktu senggang yang dilalui bersama dan apabila berdua bertemu maka saling berdiam diri tidak lagi banyak mengungkapkan diri. Jika tahap perusakan ini berlanjut selanjutnya memasuki tahap pemutusan. 10 Johar Permana, (http://file.upi.edu/direktori/fip/jur.administrasi_ PENDIDI KAN/195908141985031-JOHAR_PERMANA/Tek_Kom_Inter_Pers_Modul.pdf, diakses 21 Maret 2016, pukul 12.30)

18 4. Pemutusan Tahap pemutusan adalah pemutusan ikatan yang mempertalikan kedua pihak. Jika bentuk ikatan itu adalah perkawinan pemutusan hubungan dilambangkan dengan perceraian, walaupun pemutusan hubungan aktual dapat berupa hidup terpisah. Dalam bentuk materi inilah tahap ketika harta kekayaan dibagi dan pasangan suami istri saling berebut hak pemeliharaan anak. 1.4.5 Transgender Definisi dari transgender adalah istilah yang digunakan untuk orang yang berperilaku seperti gender lainnya, dalam berpakaian, gerak gerik, dan lain-lain. Transgender menjalani kehidupan yang benar-benar beda, dan sampai batas tertentu, diakui dan kadang diterima oleh (Dermatoto,2010:3). Transgender merupakan ketidaksamaan antara identitas gender seseorang dengan jenis kelamin yang dimilikinya. Transgender bukan merupakan orientasi seksual. Seseorang yang transgender dapat mengidentifikasi dirinya sebagai seorang heteroseksual, homoseksual, biseksual, maupun aseksual. Beberapa menilai penamaan orientasi seksual yang umum tidak cukup atau tidak dapat diterapkan terhadap kondisi transgender. Beberapa definisi dari "transgender" adalah sebagai berikut. : "Seseorang yang ditunjuk sebagai seks tertentu, umumnya setelah kelahiran berdasarkan kondisi kelamin, namun merasa bahwa hal tersebut adalah salah dan tidak mendeskripsikan diri mereka secara sempurna. "Tidak mengidentifikasi (diri mereka) atau tidak berpenampilan sebagai seks (serta gender yang diasumsikan) yang ditunjuk saat lahir."

19 Individu transgender dapat memiliki karakteristik yang biasanya dikaitkan dengan gender tertentu dan dapat pula mengidentifikasi gender mereka di luar dari definisi umum yaitu seperti agender, gender netral, genderqueer, non-biner, atau gender ketiga. Seseorang yang transgender dapat pula mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang yang bigender, pangender, atau mencakup bagian-bagian dari beberapa rangkaian kesatuan transgender yang umum atau juga mencakup bagian lainnya yang berkembang dengan adanya studi-studi terkini yang lebih rinci. Lebih lanjut lagi, banyak orang transgender mengalami masa perkembangan identitas termasuk pemahaman yang lebih baik terhadap citra, refleksi, serta ekspresi diri mereka. Secara lebih spesifik, keadaan seseorang merasa lebih asli, autentik, serta nyaman terhadap penampilan luar mereka dan menerima identitas asli mereka disebut sebagai keselarasan transgender. Transgender yang secara fisik merupakan laki-laki akan melakukan sesuatu untuk merepresentasikan kewanitaan dalam tubuh mereka yang lakilaki. Bagaimana mereka berdandan, memakai baju seperti layaknya wanita adalah salah satu hal yang bisa digambarkan dalam penampilan mereka. Tidak hanya itu saja, cara berjalan pun juga dipraktekkan seperti menggoyang panggul dan berbicara dengan nad suara agak manja kewanita-wanitaan. Lipstick, bedak, dan segala macam aksesoris yang bisa dikenakan permpuan adalah barang-barang yang sangat penting untuk menunjang penampilan mereka karena keindahan tubuh menjadi penting dalam penampilan mereka sehari-hari. (Koeswinarno, 2004:54).

20 1.4.5.1 Kehidupan Sosial dan Permasalahan Transgender Kehidupan sosial transgender tentu berbeda dengan kebanyakan orang, selain dipandang bahwa transgender merupakan sesuatu yang tidak normal, masyarakat menganggap bahwa transgender adalah bentuk rasa ketidakpercayaan dan ketidakbersyukuran seseorang dalam melihat segala aspek biologis yang diberikan oleh Tuhan terhadap dirinya, untuk mengubah gender yang dimiliki sesuai dengan gender yang diinginkannya. Kelompok transgender juga menjadi kelompok yang seringkali mendapat pandangan negatif dari masyarakat. Perlakuan tidak adil yang diterima kaum transgender dalam bentuk diskriminasi dan marjinalisasi dapat terjadi dari lingkungan manapun, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Hal ini merupakan dampak dari adanya anggapan-anggapan yang selama ini berkembang dan menyatakan bahwa transgender merupakan kondisi yang abnormal dan menyimpang, sehingga pada akhirnya masyarakat cenderung menyisihkan mereka dalam pergaulan, dan bahkan memperlakukan mereka dengan tidak menyenangkan. Hal ini menjadi salah satu penyebab timbulnya kecemasan dan perasaan tertekan bagi kelompok transgender, karena baik diri mereka sendiri juga menginginkan hal yang sama seperti yang dirasakan masyarakat pada umumnya, yaitu memiliki jiwa yang sesuai dengan bentuk tubuhnya (Ayudhia,2010:6).

21 Disebabkan bagian terbesar individu transgender tetap menggantungkan diri pada kehidupan malam, maka hal ini menimbulkan suatu anggapan bahwa dunia mereka diidentikkan dengan pelacuran. Stigma ini tentunya akan menimbulkan suatu pandangan bahwa berbicara mengenai manusia transgender, akan dengan sendirinya berbicara mengenai kehidupan malam pelacur, yang sudah pasti akan mempengaruhi status kesehatan reproduksi dan kesehatan seksualnya (Parendrawati,2011:3). 1.4.5.2 Permasalahan Transgender di Indonesia Di Indonesia para kaum transgender, homoseksual, biseksual dan lesbian tidak mendapatkan tempat untuk menunjukkan jati diri mereka. Kebanyakan masyarakat Indonesia memandang sebelah mata mengenai keyakinan ini. Selain itu, masyarakat Indonesia banyak yang tidak bisa membedakan antara kaum transgender dan lainnya. Biasanya, yang susah dibedakan oleh masyarakat adalah kaum transgender dan waria. Seringkali, transgender dianggap sebagai waria. Padahal tidak semua transgender adalah waria, karena setiap individu transgender mempunyai keyakinannya sendiri mengenai ketertarikan seksual mereka. Juga setiap individu transgender memiliki hak untuk berpenampilan seperti apa. Waria adalah transgender dari kaum lakilaki yang memutuskan untuk berpenampilan menyerupai wanita. Bila dibandingkan dengan kaum homoseksual, ternyata waria mempunyai permasalahan yang lebih banyak, salah satunya adalah yang berkaitan dengan identitas dirinya. Mereka mengalami krisis

22 sehingga mereka sangat sulit untuk bisa diterima didalam sebuah masyarakat, seperti lingkungan kerja. Salah satu faktor ini, yang kadangkala membuat kaum mereka tersisihkan dalam masyarakat. Hidup sebagai waria dalam konteks kebudayaan dengan sendirinya dapat dilihat dalam tiga aspek, yaitu aspek eksternalisasi, aspek objektivasi, dan aspek internalisasi. Aspek eksternalisasi cukup penting karena mewakilkan transgender melakukan penyesuaian dengan lingkungannya ketika mendapat tekanan dari berbagai pihak di lapisan masyarakat. Hal ini juga dapat melihat bagaimana sebuah kultur menduduki posisi penting dalam pembagian peran secara seksual. Aspek objektivasi bisa dilihat dari interaksi sosial yang dilakukan mereka untuk merespon tekanan-tekanan itu, sehingga mereka dapat bertahan hidup dengan status sebagai waria. Aspek internalisasi adalah ketika seseorang melakukan identifikasi diri dengan lingkungan sosial sehingga memperoleh makna dan pemahaman hidup sebagai waria dalam suatu ruang sosial (Koeswinarno, 2004:29). Sebutan banci, bencong, waria merupakan sebutan untuk mereka yang berjenis kelamin pria, berdandan dan berpenampilan wanita, serta secara psikologis mereka merasa dirinya sebagai wanita. Hampir semua waria di Indonesia pernah menjalankan praktik Homoseksual. Pembedanya dengan kaum gay (karena dalam masyarakat awam masih menganggap kaum mereka berciri-ciri sama)

23 mereka tidak perlu berpenampilan memakai make up, dan apapun penampilan seperti layaknya wanita. Sunahara (2004) menjelaskan bahwa permasalahan transgender antara lain menyangkut moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar, karena secara normatif tidak ada jenis kelamin ketiga diantara laki-laki dan perempuan. Terlihat dari bagaimana masyarakat menilai dan menerima terhadap pria transgender yang sebatas formalitas, sehingga transgender harus bertahan di tengah diskriminasi sosial terhadap transgender (Ruhghea, 2014: 12). 1.4.6 Komunikasi Keluarga Konsep keluarga tergantung dari konteks masyarakat di mana teori atau konsep tentang keluarga dilahirkan. Masyarakat di Barat, keluarga terbentuk dengan baik atau tanpa ikatan perkawinan yang sah. Masyarakat di Timur, keluarga adalah mereka yang terikat dalam ikatan perkawinan yang sah. Jumlah anggota keluarga di masyarakat Barat biasanya terdiri dari anggota keluarga inti yaitu ayah, ibu dan anak. Sedangkan di masyarakat Timur, konsep anggota keluarga bukan hanya terdiri dari keluarga inti, namun termasuk anggota keluarga yang lainnya seperti nenek, kakek, adik, keponakan dan sebagainya yang tinggal dalam satu rumah (Sumarwan, 2004:229). Keluarga menentukan bagaimana bentuk komunikasi yang disepakati dan akhirnya membentuk suatu pola tertentu yang membedakan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Pola komunikasi keluarga menentukan tingkat kepuasan anggota keluarga di dalamnya. Keluarga adalah termasuk

24 kelompok primer, di mana seseorang biasanya berada. Sebagai kelompok primer, komunikasi yang dilakukan para anggotanya berbeda dengan kelompok sekunder. Untuk memahami pola komunikasi keluarga, ada beberapa aspek yang terkait dengan keluarga seperti tipe keluarga dan pada tingkatan mana keluarga sebagai suatu kelompok masyarakat. Menurut Cooley, yang dikutip oleh Rohim (2009:95), sebagai kelompok primer, keluarga memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1. Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas, dalam arti menembus kepribadian yang paling dalam dan tersembunyi, menyingkap unsur-unsur backstage. Sedangkan meluas artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rintangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok primer, diungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi dengan menggunakan berbagai lambang verbal maupun nonverbal. 2. Komunikasi yang berlangsung bersifat personal. Dalam komunikasi primer, yang penting buat seseorang adalah siapa dia, bukan apakah dia. Hubungan dengan kelompok primer sangat unik dan tidak dapat digantikan. Misalnya hubungan antara ibu dan anak. 3. Komunikasi lebih menekankan pada aspek hubungan daripada aspek isi. Komunikasi dilakukan untuk memelihara hubungan baik, dan isi komunikasi bukan sesuatu yang amat penting. Berbeda dengan kelompok sekunder yang lebih dipentingkan adalah aspek isinya bukan pada aspek hubungan. Ketiga, pada kelompok primer pesan yang disampaikan cenderung lebih bersifat ekspresif dan berlangsung secara informal.

25 Konsep lain terkait dengan komunikasi keluarga dikemukakan oleh peneliti Olson, Sprenkle and Russel dalam Galvin and Brommel (1986:13), memfokuskan pada penyatuan beberapa konsep yang berkaitan dengan perkawinan dan interaksi dalam sistem keluarga. Komunikasi keluarga sangat terpola berdasarkan atas skema-skema tertentu yang menentukan bagaimana anggota keluarga berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Skema ini terdiri atas pengetahuan mengenai seberapa intim suatu keluarga, derajat individualitas dalam keluarga dan faktor eksternal keluarga seperti teman, jarak geografis dan hal-hal lainnya (Fitzpark dalam Morissan &Wardhany, 2009:184) 11. Fitzpark mengidentifikasi empat tipe keluarga yang ditentukan dari cara bagaimana mereka menggunakan uang, waktu dan energi serta derajat anggota keluarga dalam mengungkapkan perasaan. Empat tipe diantaranya: 1. Konsensual. Pada tipe konsensual keluarga sangat sering melakukan percakapan, namun memiliki kepatuhan yang tinggi. 2. Pluralistis. Tipe keluarga pluralistis adalah keluarga yang sangat sering melakukan percakapan namun memiliki kepatuhan yang rendah. Anggota keluarga sering berbicara secara terbuka, tetapi setiap orang mengambil keputusan masing-masing. 3. Protektif. Tipe keluarga protektif jarang melakukan percakapan namun memilliki kepatuhan yang tinggi, banyak sifat patuh namun jarang berkomunikasi. 11 Damayanti Wardyaningrum, Jurnal Ilmu Komunikasi. Pola Komunikasi Keluarga dalam Menentukan Konsumsi Nutrisi bagi Anggota Keluarga. Vol 8 No.3, Yogyakarta 2010, hlm 291-292

26 4. Laissez-Faire. Tipe laissez-faire anggota keluarga jarang saling berkomunikasi dan tidak saling peduli dengan apa yang dilakukan anggota keluarga lainnya (Fitzpark dalam Morissan dan Wardhany, 2009:186) 12. 1.5 Kerangka Berpikir Pola Komunikasi Interpersonal Kaum Transgender dalam Keluarganya Pola Komunikasi: Kajian Pustaka Metode Penelitian: Kualitatif Deskriptif 1. Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern) 2. Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern) 3. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalance Split Pattern) 4. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern) Indepth Interview Informan: 1. Ricky (belum menikah) 2. Maria (belum menikah) Analisis Pola Komunikasi Transgender dalam Keluarga Kesimpulan Gambar 1.1 Kerangka Berpikir 12 Ibid, hlm 292-293

27 1.6 Metodologi Penelitian 1.6.1 Metode Riset Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang 13. Pada penelitian kualitatif ini peneliti menguraikan dan memfokuskan pada pola komunikasi kaum transgender di dalam keluarganya. 1.6.2 Jenis dan Sumber Data Berdasarkan sumbernya, data dibedakan atas data primer dan sekunder: 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data pertama di lapangan 14. Sumber data yang dicari sebagai sumber data primer yaitu data kedua informan yang berupa hasil wawancara mendalam (depth interview) dengan subjek utama penelitian. Untuk memperdalam informasi yang didapat dari proses wawancara, peneliti juga melakukan observasi terhadap keseharian kedua informan dan mengikuti jadwal kegiatan para informan selama dua hari berturut-turut. 13 Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011) hlm 5 14 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm 41

28 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diproleh dari sumber kedua, selain subjek utama penelitian atau sumber sekunder. Untuk pengumpulan data sekunder, peneliti mendapatkan data dari informasi orang lain yang berhubungan dengan penelitian ini yakni para sahabat dan teman dekat kedua informan. Juga melakukan observasi kepada anggota keluarga kedua informan dengan cara menginap di rumah kedua informan dan mengamati keseharian keluarga. 1.6.3 Teknik Pengumpulan dan Pencatatan Data 1.6.3.1 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini akan dilakukan beberapa teknik pengumpulan data. Tujuannya yaitu untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang aktivitas pola komunikasi yang dilakukan kaum biseksual terhadap keluarganya yang merupakan fokus penelitian ini. Maka teknik pengumpulan data yang akan dilakukan peneliti sebagai berikut: 1. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu untuk mendapatkan data yang diperlukan. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara dan subjek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam. Wawancara mendalam (indepth interview) adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapatkan data

29 lengkap dan mendalam. Dalam proses wawancara peneliti fokus pada bagaimana pola komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh kaum transgender di dalam keluarganya. Kemudian ingin mengetahui tentang kondisi statusnya menjadi kaum biseksual dalam menjalani hubungan interpersonal dengan keluarganya. Untuk informan ada dua yang dapat diwawancarai yaitu a. Informan pertama yaitu Andrew dalam kondisi berjenis kelamin pria tampilan fisik seperti pria pada umumnya, bahkan terlihat sebagai pria maco, namun merasa diri sebagai wanita. Untuk batasan pada penelitian ini, dalam keluarga Andrew meliputi kehidupan yang ada di dalam keluarganya bersama dengan ayah, ibu, dan saudara perempuan (kakak perempuan dengan status lesbian). b. Informan kedua yaitu Maria dalam kondisi berjenis kelamin wanita dengan gaya berbusana serta penampilan fisik wanita namun merasa mempunyai jiwa laki-laki. Untuk batasan pada penelitian ini, dalam lingkungan keluarga Maria yang hidup ditengah keluarga dengan 3 orang adik aki-laki yang sudah berkeluarga. c. Anggota keluarga informan yang bersedia diwawancarai. Untuk hal ini, peneliti tidak melakukan wawancara terlalu dalam karena dikhawatirkan anggota keluarga mencurigai informan yang telah berganti keyakinan menjadi seorang transgender.

30 2. Observasi Observasi ini dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan gambaran sebelum peneliti melakukan wawancara dengan informan. Observasi merupakan kegiatan yang setiap saat kita lakukan, dengan perlengkapan pancaindera yang kita miliki, kita sering mengamati objek-objek di sekitar kita 15. Dalam observasi ini menggunakan observasi berperan serta (participant observation) yaitu peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Dengan observasi partisipan ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak 16. Pada saat melakukan observasi, peneliti datang ke tempat kegiatan yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh informan. Hal ini dilakukan, agar peneliti mendapatkan gambaran apa adanya dan alami mengenai kegiatan dan interaksi keseharian pada kaum transgender. Observasi juga dilakukan terhadap teman-teman dan anggota keluarga para informan. 3. Buku dan Internet Selain dari wawancara dan observasi, untuk menunjang kelengkapan data, peneliti juga akan mencari informasi baik 2011) hlm 145 15 Kriyantono, Op.Cit, hlm 110 16 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,

31 dengan menggunakan data kepustakaan dan media online (browsing) di internet serta sumber lain yang terkait. 1.6.3.2 Teknik Pencatatan Data Sebagai pedoman dalam melakukan pencatatan hasil wawancara, peneliti menggunakan teknik pencatatan data wawancara sebagai berikut 17 : 1. Pada saat wawancara, peneliti menggunakan perekaman data melalui tape recorder melalui handphone dengan memperoleh persetujuan terwawancara terlebih dahulu. Di samping itu, sebaiknya pewawancara juga membuat catatan dimaksudkan untuk membantu pewawancara agar dapat merencanakan pertanyaan baru berikutnya, membantu pewawancara untuk mencari pokok-pokok penting sehingga mempermudah analisis. 2. Setelah atau selama wawancara dilakukan, pewawancara cukup mencatat frasa-frasa pokok saja sehingga akhirnya menjadi sebuah daftar butir pokok yang berupa kata-kata kunci dari yang dikemukakan oleh terwawancara. 1.6.4 Teknik Analisis dan Interpretasi Data Analisis data kualitatif digunakan bila data-data yang terkumpul dalam penelitian adalah data kualitatif. Data kualitatif dapat berupa kata-kata, kalimat-kalimat, atau narasi-narasi, baik yang diperoleh dari wawancara 17 Moleong, Op.Cit, hlm 206

32 maupun observasi 18. Data yang akan diperoleh peneliti dari hasil wawancara akan ditranskrip ke dalam catatan terlebih dahulu. Kemudian data yang diperoleh dari literasi akan dikumpulkan. Dari sumber data penelitian, akan diklarifikasi berdasarkan tema dan subtema untuk mempermudah proses analisa. Teknik analisis data yang akan dilakukan secara kualitatif dalam menguraikan secara mendalam tentang pola komunikasi interpersonal kaum transgender dalam keluarganya. Melalui teknik ini, akan memberikan gambaran proses komunikasi seperti apa yang dilakukan oleh kaum transgender, dan pola komunikasi apa yang cenderung dilakukan oleh mereka kemudian diinterpretasikan. 18 Kriyantono, Op.Cit, hlm 196