27 III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2009 sampai dengan Desember 2009 di Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri Escherichia coli BL21(DE3)pLysS yang membawa gen NS3 RNA helikase HCV dalam plasmid pet 21b (koleksi A. Utama, Puslit Bioteknologi-LIPI), isolat penghasil inhibitor S. chartreusis 5-095 (koleksi P. Lisdiyanti, Puslit Bioteknologi-LIPI), dan bahan kimia yang terkait. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan kultur bakteri E. coli BL21(DE3)pLysS dan S. chartreusis 5-095, pemurnian RNA helikase HCV, analisa protein SDS PAGE, uji aktivitas enzim dan inhibitor, pemurnian inhibitor dan NMR. 3.3 Metode 3.3.1 Ekspresi dan Pemurnian RNA Helikase HCV Ekspresi RNA Helikase HCV Ekspresi RNA helikase protein NS3 HCV dilakukan berdasarkan metode Utama, et al. (2000). Ekspresi dilakukan pada skala 400 ml. Sebanyak 10 L stock gliserol bakteri E. coli BL21(DE3)pLysS yang membawa vektor ekspresi pet-21b/hcv NS3 Helikase diinokulasi ke dalam 10 ml medium LB cair yang mengandung 100 µg/ml ampisilin, kemudian dikultur selama satu malam dalam inkubator berpenggoyang pada suhu 37 o C dengan kecepatan 200 rpm. Hasil kultur diinokulasikan ke dalam 400 ml medium LB yang mengandung ampisilin, selanjutnya dikultur dalam inkubator berpenggoyang pada suhu 37 o C dengan kecepatan 200 rpm, selama 30 menit sampai dengan 1 jam hingga OD 600 mencapai ± 0,3. Apabila OD 600 telah mencapai ± 0,3 maka ditambahkan 410 µl 0,3 M IPTG.
28 Kultur E. coli BL21(DE3)pLysS kemudian diinkubasi selama 3 jam dalam inkubator berpenggoyang pada suhu 37 o C dengan kecepatan 200 rpm selama 3 jam atau hingga OD 600 mencapai ± 1. Selanjutnya, kultur disentrifugasi pada suhu 4 o C dengan kecepatan 6000 g, selama 10 menit. Pelet diresuspensi dengan 5 ml medium LB cair, kemudian disentrifugasi kembali. Pelet yang diperoleh disimpan pada suhu -70 o C. Pemurnian RNA Helikase HCV Pemurnian RNA helikase HCV dilakukan berdasarkan metode Utama et al. (2000). Pelet E. coli BL21(DE3)pLysS dilisis dengan metode freeze & thaw sebanyak 3 kali ulangan yaitu dengan membekukan pelet pada suhu -70 o C selama 30 menit, lalu dicairkan pada suhu ruang (25 o C) selama 30 menit. Pelet kemudian diresuspensi dengan 20 ml larutan bufer B (10 mm Tris HCL ph 8,5; 100 mm NaCl; 0,25% Tween 20). Tahap kedua pelisisan sel dilakukan dengan metode sonikasi (Amp 40; cycle 0,5; waktu 3x15 detik; interval waktu 1 menit). Suspensi sel disentrifugasi pada suhu 6 o C dengan kecepatan 14.000 g selama 20 menit. Supernatan diambil untuk tahapan selanjutnya sedangkan pelet disimpan untuk analisis SDS PAGE. RNA helikase yang berada dalam supernatan dipurifikasi menggunakan metode kromatografi afinitas. Supernatan ditambahkan dengan 300 µl resin Ni- NTA yang sebelumnya telah diequilibrasi dengan larutan bufer B, kemudian diinkubasi dengan menggunakan rotator selama 2-3 jam dalam ruang pendingin (4 o C). Sampel selanjutnya disentrifugasi pada suhu 4 o C dengan kecepatan 6000 g selama 10 menit. Supernatan (inner volume) disimpan pada suhu 4 o C untuk analisis SDS PAGE. Pelet (resin binding) diresuspensi dengan 10 ml larutan bufer B dan disentrifugasi pada suhu 4 o C dengan kecepatan 6000 g selama 7 menit. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali sehingga diperoleh 2 larutan supernatan (washing 1 & washing 2) yang disimpan pada suhu 4 o C dan digunakan untuk analisis SDS PAGE. Pelet dari hasil washing 2 kemudian dielusi untuk melepaskan enzim yang terikat pada resin. Elusi dilakukan dengan menambahkan 400 µl larutan bufer
29 elusi (400 mm imidazol dalam bufer B), kemudian diinkubasi menggunakan rotator dalam ruangan pendingin (4 o C) selama satu malam. Sampel disentrifugasi pada suhu 4 o C dengan kecepatan 6000 g selama 1 menit. Supernatan yang mengandung enzim dipindahkan dalam eppendorf yang baru (E1), sedangkan pelet ditambahkan kembali dengan 200 µl larutan bufer elusi, kemudian diinkubasi dengan menggunakan rotator selama 20-30 menit. Sampel kembali disentrifugasi sehingga diperoleh supernatan (E2) dan pelet (RE) Supernatan E1 dan E2 digabungkan dan didialisis dengan bufer dialisis (100 mm NaCL; 10% glycerol; 10 mm Tris HCL ph 8,5). 3.3.2 Uji Aktivitas ATPase RNA Helikase HCV Pengujian aktivitas RNA Helikase HCV dilakukan dengan uji ATPase secara kolorimetrik (Chan et al. 1986; Utama et al. 2000), yaitu dengan mengukur jumlah fosfat yang dilepaskan dari hidrolisis senyawa ATP menjadi ADP. Konsentrasi akhir reaksi sebesar 50 µl/sumur mengandung 38,5 µl H 2 O; 5,0 µl 0,1 M MOPS; 0,5 µl 0,1 M MgCl; 1,0 µl 0,1 M ATP dan 5 µl RNA helikase HCV. Campuran reaksi diinkubasi dalam microtiter plate 96-well, pada suhu ruang selama 45 menit. Hasil reaksi divisualisasi dengan penambahan 100 µl/sumur larutan pewarna (H 2 O : 0,081% malachite green : 5,7% ammonium molybdate dalam 6 M HCl : 2,3% polyvinylalcohol = 2:2:1:1). Reaksi diinkubasi selama 5 menit, kemudian ditambahkan sodium sitrat untuk menghentikan reaksi warna. Reaksi diukur pada panjang gelombang 620 nm dengan referensi 405 nm, pada kondisi sebelum dan sesudah penambahan sodium sitrat. Satu unit aktivitas RNA helikase HCV adalah jumlah mol fosfat (Pi) yang terhidrolisis dari ATP per menit per mg protein. Pengukuran aktivitas inhibisi senyawa inhibitor dari S. chartreusis 5-095 dilakukan dengan penambahan 5 µl/sumur supernatan S. chartreusis 5-095 dalam campuran reaksi. Konsentrasi akhir reaksi 50 µl/sumur dengan komposisi 45 µl campuran reaksi (38,5 µl H 2 O; 5 µl 0,1 M MOPS; 0,5 µl 0,1 M MgCl; 1 µl 0,1 M ATP dan 5 µl RNA Helikase HCV) dan 5 µl inhibitor.
30 Penentuan laju inhibisi dilakukan dengan persamaan: A I % Inhibisi 100% A dengan A : aktivitas RNA helikase HCV tanpa adanya inhibitor I : aktivitas RNA helikase HCV dengan adanya inhibitor 3.3.3 Produksi Protein Inhibitor dari S. chartreusis 5-095 Produksi protein inhibitor dari S. chartreusis 5-095 dilakukan dengan metode Lisdiyanti et al. (2006). Isolat S. chartreusis 5-095 diinokulasi sebanyak 3 ose ke dalam erlenmeyer 100 ml yang berisi 10 ml medium cair ISP2, selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (29 o C) selama 4 hari dengan pengocokan. Prekultur ini selanjutnya diinokulasikan ke dalam erlenmeyer 2 L yang berisi 400 ml medium cair ISP2, selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (29 o C) selama 10 hari dengan pengocokan. Kultur selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 g selama 20 menit. Supernatan yang diperoleh dipisahkan dari endapan (miselia) dan digunakan sebagai sumber inhibitor (ekstrak kasar). 3.3.4 Pengaruh Pertumbuhan S. chartreusis 5-095 dengan Aktivitas Inhibitor terhadap RNA Helikase HCV Isolat S. chartreusis 5-095 diinokulasi sebanyak 3 ose ke dalam erlenmeyer 1000 ml yang berisi 200 ml medium cair ISP2, selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (29 o C) selama 14 hari dengan pengocokan. Biakan selanjutnya disampling setiap hari selama 8 hari dan berikutnya setiap 2 hari. Sampling dilakukan sebanyak 5 ml, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 g selama 20 menit. Supernatan yang diperoleh dipisahkan dari endapan. Supernatan digunakan sebagai sumber inhibitor dan diuji aktivitas inhibisinya terhadap aktivitas ATPase RNA helikase HCV. Endapan ditimbang dan digunakan sebagai profil pertumbuhan isolat S. chartreusis 5-095. 3.3.5 Pemurnian Protein Inhibitor 3.3.5.1 Pengendapan protein inhibitor menggunakan amonium sulfat Fraksinasi protein dengan menggunakan amonium sulfat atau aseton didasarkan pada metode Scope (1987). Supernatan kultur S. chartreusis 5-095
31 ditambahkan sedikit demi sedikit dengan amonium sulfat melalui saturasi bertingkat 50-85% (w/v) (Ratnakomala 2009), menggunakan pengaduk magnetic stirrer dengan kecepatan 20 rpm pada suhu 4 o C. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 g selama 20 menit pada suhu 4 o C. Endapan yang diperoleh, kemudian dipisahkan dari supernatan dan dilarutkan ke dalam 5 ml bufer Tris-HCl ph 7,4. Larutan ini selanjutnya didialisis dengan 1 L ddh 2 O selama 60 menit pada suhu 4 o C. Fraksi hasil amonium sulfat dalam berbagai saturasi, diuji aktivitas inhibisinya terhadap RNA helikase HCV dengan uji ATPase, ditentukan kadar protein, dan analisis SDS PAGE. Protein inhibitor kemudian dimurnikan menggunakan kromatografi kolom. 3.3.5.2 Pemurnian protein inhibitor menggunakan kromatografi gel filtrasi Protein inhibitor hasil pengendapan amonium sulfat selanjutnya dimurnikan dengan menggunakan kromatografi gel filtrasi (Hatsu et al. 2002; Ratnakomala 2009). Fasa diam yang digunakan adalah Sephadex G-50 yang diberi perlakuan dengan melarutkannya dalam ddh 2 O dan diautoklaf, diekuiliberasi dalam larutan 20 mm bufer Tris-HCl ph 7,4. Kolom kromatografi dicuci dengan etanol 95% sebanyak 1 kali volum kolom (120 ml) dengan laju alir 0,5 ml/menit. Selanjutnya dicuci dengan ddh 2 O sebanyak 1,5 kali volum kolom (180 ml) dengan laju alir 0,5 ml/menit. Sebanyak 1 ml sampel protein inhibitor diinjeksikan ke dalam kolom kromatografi dan dielusi dengan larutan H 2 O:MeOH=3:2 dengan laju alir sebesar 0,2 ml/menit. Hasil elusi ditampung dalam tabung reaksi dengan volum 1 ml tiap tabung. Keseluruhan proses ini dilakukan di suhu 4 o C. Masing-masing fraksi diuji aktivitas penghambatannya dengan uji ATPase, penentuan kadar protein dan analisis SDS PAGE. 3.3.6 Karakterisasi Protein Inhibitor 3.3.6.1 Analisis bobot molekul protein inhibitor dengan SDS PAGE Analisis bobot molekul protein inhibitor dari berbagai tahap dilakukan dengan SDS-PAGE (Sodium Dedocyl Sulfate Poly Acrilamide Gel Electrophoresis) berdasarkan metode Laemmli (1970). Komposisi gel
32 poliakrilamid terdiri atas 2 konsentrasi akrilamid yaitu konsentrasi akrilamid 3,9% untuk stacking gel dan 8% untuk separating gel. SDS-PAGE juga dilakukan dengan gradien konsentrasi separating gel 10-20% untuk menganalisis protein yang memiliki berat molekul 10-200 kda (Coligan et al. 1995). Elektroforesis di-running pada 30 ma selama 60 menit dalam bufer elektroforesis (24% glycerol, 8% SDS, 100 mm Tris). Setelah elektroforesis, gel kemudian diwarnai dengan Commassie Brilliant Blue R-250 atau pewarnaan perak. 3.3.6.2 Pengukuran kadar protein Kadar protein diukur dengan BCA Protein Assay Kit (Pierce). Sebanyak 0,1 ml sampel ditambahkan 2,0 ml working reagent, kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 2 jam. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 562 nm. 3.3.6.3 Pengujian pengaruh suhu terhadap stabilitas penyimpanan protein inhibitor Pengujian pengaruh suhu terhadap stabilitas protein inhibitor dilakukan dengan menginkubasi protein inhibitor yang telah dimurnikan pada berbagai suhu penyimpanan (-20 o C, 4 o C, dan suhu ruang) selama 30 hari. Setiap 10 hari, diambil untuk diukur aktivitasnya menggunakan uji ATPase. 3.3.6.4 Pengujian pengaruh ph terhadap stabilitas protein inhibitor Pengujian pengaruh ph terhadap stabilitas protein inhibitor dilakukan dengan melarutkan protein inhibitor yang telah dimurnikan dalam bufer yang sesuai pada berbagai ph (1,5, 4, 5, 7, 8, dan 9) dan diinkubasi pada suhu 4 o C selama 60 menit, selanjutnya diukur aktivitasnya menggunakan uji ATPase. 3.3.6.5 Pengujian stabilitas panas terhadap aktivitas protein inhibitor Pengujian stabilitas panas terhadap aktivitas protein inhibitor dilakukan dengan menginkubasikan larutan protein inhibitor yang telah dimurnikan dalam berbagai suhu (40, 60, 80, dan 100 o C) selama 60 menit. Tiap 10 menit larutan diambil dan diukur aktivitasnya menggunakan uji ATPase.
33 3.3.6.6 Penentuan konsentrasi 50% penghambatan (IC 50 ) Penentuan konsentrasi 50% penghambatan (IC 50 ) dilakukan dengan menentukan aktivitas inhibisi protein inhibitor melalui uji ATPase terhadap variasi konsentrasi dan waktu. Gambar 11. Bagan alir proses pemurnian dan karakterisasi protein inhibitor RNA helikase HCV dari S. chartreusis 5-095