VI. PERUBAHAN STRUKTUR OUTPUT DAN TENAGA KERJA, DAN KERAGAAN PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

8.1. Keuangan Daerah APBD

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi kemiskinan (Madris, 2010). Indikator ekonomi makro (PDRB)

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

I. PENDAHULUAN. untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan suatu bangsa. Dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah untuk pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi memiliki

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (KU-APBD) TAHUN ANGGARAN 2016

BAB II KAJIAN PUSTAKA. materi tersebut disampaikan secara berurutan, sebagai berikut.

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi

PEREKONOMIAN INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

Katalog BPS :

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan nasional suatu negara yakni melalui jumlah dan

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. haruslah ditekankan pada pembangunan produksi dan infrastruktur untuk memacu

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

V. METODE PENELITIAN. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada Provinsi Jawa Barat, merupakan salah satu

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

KINERJA PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN II 2014

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

Profile Daerah Kabupaten Sumedang Tahun

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

ANALISIS KONTRIBUSI SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PDRB KOTA MEDAN

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

Transkripsi:

VI. PERUBAHAN STRUKTUR OUTPUT DAN TENAGA KERJA, DAN KERAGAAN PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA BARAT 6.1. Perubahan Struktur Output dan Tenaga Kerja di Provinsi Jawa Barat Perubahan struktur output di Provinsi Jawa Barat ditandai dengan perubahan kontribusi output dan transformasi tenaga kerja ditandai dengan perubahan kontribusi tenaga kerja. Perubahan kontribusi output menunjukkan perubahan peranan sektor dalam perekonomian. Sementara perubahan kontribusi tenaga kerja menunjukkan perubahan kesempatan kerja pada masing-masing sektor. Sektor dengan pertumbuhan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sektor yang lain akan memberikan kesempatan kerja yang lebih besar dibandingkan sektor lainnya. Perubahan kontribusi ini sejalan dengan pendapat Bayhaqi (2006) pada kasus Indonesia, dimana selama proses pembangunan di Indonesia terjadi transformasi baik ekonomi (output) maupun tenaga kerja. Pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Barat melaju dengan sangat cepat sejak PELITA 1 seperti ditunjukkan pada Gambar 12. Kemajuan pembangunan ekonomi tersebut diikuti dengan pergeseran struktur perekonomian makro dari suatu struktur yang didominasi oleh sektor pertanian menjadi struktur yang didominasi oleh sektor industri. Perubahan struktur ini tidak lepas dari arah kebijakan nasional yang lebih mendorong pertumbuhan sektor industri daripada sektor pertanian, dengan anggapan bahwa pertumbuhan sektor industri akan lebih cepat mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Budiharsono (1996), yang mengemukakan bahwa dalam proses pembangunan terjadi perubahan struktur ekonomi yang ditandai dengan semakin menurunnya peranan sektor primer dan meningkatnya peranan sektor sekunder.

172 DISTRIBUSI OUTPUT % 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 Tahun 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 PERTANIAN INDUSTRI PENGOLAHAN SEKTOR LAIN Gambar 12. Perubahan Kontribusi Output pada Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Tahun 1973-2007

173 Jika dilihat dari besarnya sumbangan pada masing-masing sektor terhadap total output Provinsi Jawa Barat, maka sumbangan sektor pertanian yang terdiri dari sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan mengalami penurunan. Sektor pertanian mengalami penurunan dari 26.80 % pada tahun1980 menjadi 12.63 % pada tahun 2005. Sementara, sektor lain juga mengalami penurunan yakni dari 63.54 % pada tahun 1980 menjadi 45.97 % pada tahun 2005. Sebaliknya, sektor industri pengolahan terus mengalami peningkatan dari 9.66 % pada tahun 1980 menjadi 41.18 % pada tahun 2005. Hal ini sejalan dengan pendapat Chenery dan Syrquin (1988) yang menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan yang ditandai dengan peningkatan GNP per kapita diikuti dengan penurunan pangsa sektor pertanian dan peningkatan pangsa sektor manufaktur dan jasa. Perubahan kontribusi output pada sektor pertanian, sektor industri pengolahan dan sektor lainnya merupakan hasil dari dinamika pembangunan. Peningkatan output sektor industri sangat didukung oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan sebagian tenaga kerja sektor pertanian diserap di sektor industri, dan sebagian lahan pertanian berubah fungsi menjadi lokasi perumahan dan industri. Perpindahan sebagian tenaga kerja dan alih fungsi lahan pertanian mengakibatkan kontribusi output sektor pertanian menurun. Hal ini sejalan dengan pemikiran Kuznet (1966) yang menyatakan bahwa dengan meningkatnya pendapatan per kapita maka terjadi penurunan permintaan terhadap komoditi sektor pertanian. Pada saat krisis terjadi tahun 1998, kondisi ini menjadi terbalik. Sektor pertanian yang terdiri dari sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan,

174 perikanan, dan kehutanan serta sektor lain justru mengalami peningkatan sedangkan sektor lainnya menjadi turun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi krisis tetapi sektor pertanian masih tetap bertahan. Hal ini disebabkan sektor pertanian tidak banyak memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor. Selain itu kenaikan harga juga ikut mendorong meningkatnya output sektor pertanian dan sektor lain. Kondisi ini tidak berlangsung lama, karena pada tahun berikutnya setelah tertimpa krisis, kegiatan ekonomi sudah mulai pulih kembali. Pada saat diberlakukan kebijakan desentralisasi fiskal, dimana Pemerintah Daerah lebih menekankan pertumbuhan di sektor non pertanian, maka kontribusi sektor pertanian mengalami penurunan kembali. Sementara kontribusi output sektor industri terus mengalami peningkatan. Sedangkan kontribusi output sektor lain berubah tetapi relatif kecil. Pada tahun 2005 pemerintah membuat program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Namun demikian, program pemerintah tersebut tidak berdampak pada peningkatan kontribusi sektor pertanian. Hal ini dapat terjadi karena peningkatan output di sektor industri dan sektor jasa lebih tinggi dari peningkatan output di sektor pertanian. Hasil regresi antara kontribusi output sektor pertanian terhadap waktu dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil regresi menunjukkan bahwa kontribusi output sektor pertanian terhadap perekonomian di Provinsi Jawa Barat rata-rata berkurang 0.72 persen per tahun. Hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan di sektor non pertanian lebih tinggi dari pertumbuhan sektor pertanian.

175 Tabel 3. Hasil Regresi Kontribusi Output Sektor Pertanian terhadap Waktu di Propinsi Jawa Barat Tahun 1973-2007 Parameter Nilai Dugaan Pr > t Intersep 1471.343 <.0001 Tahun -0.72862 <.0001 Pr > F: <.0001 R-Square: 0.9605 Adj R-Sq: 0.8944 Hasil regresi antara kontribusi output sektor industri pengolahan terhadap waktu dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil regresi menunjukkan bahwa kontribusi output sektor industri pengolahan terhadap perekonomian di Provinsi Jawa Barat rata-rata meningkat 1.21 persen per tahun. Hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan di sektor industri pengolahan lebih tinggi dari pertumbuhan baik di sektor pertanian maupun di sektor jasa. Di samping itu, output dari sektor industri sebagian bersifat komoditi yang bisa diperdagangkan terutama untuk ekspor. Tabel 4. Hasil Regresi Kontribusi Output Sektor Industri Pengolahan terhadap Waktu di Provinsi Jawa Barat Tahun 1973-2007 Parameter Nilai Dugaan Pr > t Intersep -2383.55 <.0001 Tahun 1.20976 <.0001 Pr > F: <.0001 R-Square: 0.9332 Adj R-Sq: 0.9312 Hasil regresi antara kontribusi output sektor lainnya terhadap waktu dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil regresi menunjukkan bahwa kontribusi output sektor lainnya terhadap perekonomian rata-rata berkurang 0.44 persen per tahun. Hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan di sektor ini lebih rendah dari pertumbuhan di sektor industri pengolahan. Pertumbuhan yang rendah dapat terjadi antara lain disebabkan oleh: (1) output dari sektor ini sebagian besar dipasarkan di pasar domestik, dan (2) sebagian output berasal dari sektor informal.

176 Tabel 5. Hasil Regresi Kontribusi Output Sektor Lainnya terhadap Waktu di Provinsi Jawa Barat Tahun 1973-2007. Parameter Nilai Dugaan Pr > t Intersep 930.1374 <.0001 Tahun -0.43969 <.0001 Pr > F: <.0001 R-Square: 0.5102 Adj R-Sq: 0.4954 Perubahan kontribusi tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat tahun 1973 2007 dapat dilihat pada Gambar 13. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa secara umum kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian menurun, sementara kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan dan sektor lainnya selalu tumbuh positif. Kontribusi penyerapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan relatif stabil pada periode 1977-1989. Pada periode tersebut tenaga kerja yang pindah dari sektor pertanian relatif sulit untuk masuk ke sektor industri pengolahan. Konsekuensinya tenaga kerja yang pindah dari sektor pertanian diserap di sektor lain, seperti di sektor jasa dan informal. Kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan mulai meningkat pada tahun 1990 dan sedikit mengalami penurunan ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998. Pada Gambar 13 dapat dilihat juga bahwa hanya sektor pertanian yang mengalami sedikit peningkatan kontribusi penyerapan tenaga kerja pada masa krisis ekonomi tahun 1998. Penurunan kontribusi penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian ini dapat terjadi antara lain karena ada perubahan perekonomian di wilayah pedesaan. Hal

177 KONTRIBUSI TENAGA KERJA Persen 70 60 50 40 30 20 10 0 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 Tahun 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 PERTANIAN INDUSTRI PENGOLAHAN SEKTOR LAIN Gambar 13. Perubahan Kontribusi Tenaga Kerja di Provinsi Jawa Barat Tahun 1973-2007

178 ini sejalan dengan hasil penelitian Rachmat (1992) yang menyatakan bahwa perkembangan ekonomi pedesaan telah merubah struktur ketenagakerjaan di pedesaan, berkembangnya kegiatan non pertanian telah mengakibatkan peralihan tenaga kerja pertanian ke non pertanian. Pada masa krisis ekonomi tahun 1998, kondisi ini agak sedikit berbeda, yaitu sektor pertanian justru mengalami peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja, sedangkan pada masa recovery perekonomian, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian kembali mengalami pertumbuhan yang negatif. Penurunan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, sebagian diserap di sektor industri dan sebagian lagi diserap di sektor lainnya. Hasil regresi antara kontribusi tenaga kerja sektor pertanian terhadap waktu dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil regresi menunjukkan bahwa kontribusi tenaga kerja sektor pertanian terhadap perekonomian di Provinsi Jawa Barat ratarata berkurang 1.10 persen per tahun. Penurunan kontribusi tenaga kerja di sektor pertanian lebih besar dari penurunan kontribusi output di sektor pertanian. Penurunan kontribusi ini dapat terjadi antara lain karena penerapan mekanisasi di sektor pertanian dan terjadi alih fungsi lahan. Tabel 6. Hasil Regresi Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian terhadap Waktu di Provinsi Jawa Barat Tahun 1973-2007 Parameter Nilai Dugaan Pr > t Intersep 2222.222 <.0001 Tahun -1.09509 <.0001 Pr > F: <.0001 R-Square: 0.9605 Adj R-Sq: 0.9593

179 Hasil regresi antara kontribusi tenaga kerja sektor industri pengolahan terhadap waktu dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil regresi menunjukkan bahwa kontribusi tenaga kerja sektor industri pengolahan terhadap perekonomian di Provinsi Jawa Barat rata-rata meningkat 0.38 persen per tahun. Peningkatan kontribusi tenaga kerja di sektor industri pengolahan lebih kecil dari penurunan kontribusi tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian tidak seluruhnya diserap di sektor industri. Kesiapan tenaga kerja dan syarat pendidikan dan keahlian tertentu menjadi kendala bagi tenaga kerja dari sektor pertanian untuk bekerja di sektor industri pengolahan. Tabel 7. Hasil Regresi Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan terhadap Waktu di Provinsi Jawa Barat Tahun 1973-2007 Parameter Nilai Dugaan Pr > t Intersep -746.335 <.0001 Tahun 0.3816 <.0001 Pr > F: <.0001 R-Square: 0.8985 Adj R-Sq: 0.8954 Hasil regresi antara kontribusi tenaga kerja sektor lainnya terhadap waktu dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil regresi menunjukkan bahwa kontribusi tenaga kerja sektor lainnya terhadap perekonomian di Provinsi Jawa Barat rata-rata meningkat 0.74 persen per tahun. Peningkatan kontribusi tenaga kerja di sektor ini lebih tinggi dari sektor industri pengolahan. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas penyerapan tenaga kerja di sektor lainnya lebih tinggi dari sektor industri. Kapasitas penyerapan tenaga kerja yang besar pada sektor lainnya dimungkinkan karena pada sektor ini terdapat sektor informal, dimana tenaga kerja yang baru masuk pada pasar kerja, tenaga kerja yang ke luar dari sektor

180 pertanian, maupun tenaga kerja dari pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat masuk pada sektor informal ini. Tabel 8. Hasil Regresi Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Lainnya terhadap Waktu di Provinsi Jawa Barat Tahun 1973-2007 Parameter Nilai Dugaan Pr > t Intersep -1419.41 <.0001 Tahun 0.73531 <.0001 Pr > F: <.0001 R-Square: 0.9445 Adj R-Sq: 0.9429 Setelah diberlakukan kebijakan desentralisasi fiskal, kontribusi penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian terus mengalami penurunan. Sementara kontribusi tenaga kerja sektor industri pengolahan dan sektor lain terus mengalami peningkatan. Kebijakan pemerintah pada tahun 2005 adalah membuat program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Tetapi, program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan tersebut tidak berdampak pada peningkatan kontribusi tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini dapat terjadi karena peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor industri dan sektor jasa lebih tinggi dari peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Pemerintah Daerah cenderung untuk memacu sektor industri dan jasa dalam upaya untuk menghasilkan pajak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lewis (2005), yang menyatakan bahwa setelah desentralisasi fiskal Pemerintah Daerah lebih agresif untuk mengbangkitkan penghasilan dari sumber sendiri, dalam hal ini pengumpulan pajak. Dengan meningkatnya sektor industri dan jasa diharapkan tejadi peningkatan penerimaan dari pajak. Perubahan kontribusi output dan tenaga kerja sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 14. Dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa

181 pada sektor pertanian, penurunan kontribusi tenaga kerja diikuti dengan penurunan kontribusi output. Hal ini menunjukkan bahwa output pada sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh faktor tenaga kerja. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Haryono (2008) pada kasus nasional yang membuktikan bahwa penyerapan tenaga kerja berbanding lurus dengan jumlah output yang dihasilkan. Penurunan kontribusi tenaga kerja sektor pertanian menurut Rachmat (1992) dapat terjadi antara lain karena perubahan sikap mental tenaga kerja terhadap modernisasi, sehingga aktivitas usahatani menjadi kurang menarik. Penurunan kontribusi output pertanian, selain disebabkan oleh penurunan kontribusi tenaga kerja juga disebabkan oleh alih fungsi lahan pertanian untuk sektor non pertanian. Hal ini sependapat dengan hasil pemikiran Sigit (1989) yang mengemukakan bahwa terjadinya pengurangan kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian antara lain disebabkan oleh (1) adanya peluang untuk bekerja atau berusaha di luar sektor pertanian, (2) sempitnya pemilikan lahan dan meluasnya penggunaan teknologi pertanian, dan (3) upah riil pertanian yang relatif rendah. Faktor lain yang mendorong perpindahan tangga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian adalah pendidikan petani. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Dirgantoro (2001) yang mengungkapkan bahwa semakin lama petani menjalani pendidikan maka semakin sedikit alokasi waktu untuk bekerja di usahatani dan semakin banyak alokasi waktu yang digunakan untuk kegiatan di luar usahatani.

182 Perubahan Share Output dan TK Pertanian % 70 60 50 40 30 20 10 0 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 Tahun Output Pertanian 1989 1991 1993 1995 1997 TK Pertanian 1999 2001 2003 2005 2007 Gambar 14. Perubahan Kontribusi Output dan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Provinsi Jawa Barat Tahun 1973-2007

183 Perubahan kontribusi output dan tenaga kerja sektor industri pengolahan dapat dilihat pada Gambar 15. Pada sektor industri pengolahan, peningkatan kontribusi tenaga kerja diikuti dengan peningkatan kontribusi output. Tetapi peningkatan kontribusi output tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan kontribusi tenaga kerja. Peningkatan kontribusi output yang lebih tinggi ini disebabkan antara lain oleh pertumbuhan produksi yang pesat di sektor industri pengolahan. Peningkatan produksi tersebut dapat disebabkan oleh penggunaan mesin-mesin canggih dan modern di sektor industri, sehingga proses produksi menjadi lebih efisien. Hal ini sejalan dengan penjelasan Kuznet (1966) yang mengemukakan bahwa dalam proses pembangunan terjadi perluasan pasar akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan, dan menimbulkan perubahan skala industri, sehingga tenaga kerja digantikan dengan mesin-mesin canggih. Di samping penggunaan kapital intensif, peningkatan produksi juga dapat disebabkan oleh efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja, dan manajemen yang lebih baik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Haryono (2008) yang menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan produktivitas pada industri, maka pihak industri akan mengoptimalkan tenaga kerja yang ada sehingga menghasilkan output yang lebih besar. Peningkatan kontribusi tenaga kerja di sektor industri pengolahan antara lain disebabkan oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan. Peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan dapat disebabkan oleh peningkatan permintaan tenaga kerja. Sementara peningkatan permintaan tenaga kerja tersebut dapat disebabkan oleh adanya industri-industri yang baru dibangun maupun perluasan industri yang sudah ada.

184 Perubahan Share Output dan TK Industri Pengolahan % 50 40 30 20 10 0 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 Tahun Output Industri Pengolahan 1991 1993 1995 1997 TK Industri Pengolahan 1999 2001 2003 2005 2007 Gambar 15. Perubahan Kontribusi Output dan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Provinsi Jawa Barat Tahun 1973-2007

185 Perubahan kontribusi output dan tenaga kerja sektor lainnya dapat dilihat pada Gambar 16. Pada sektor lainnya ini, kontribusi output relatif menurun, tetapi kontribusi tenaga kerja meningkat. Pada tahap awal, kontribusi output lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi awal sektor ini didominasi oleh sektor yang lebih intensif kapital seperti sektor pertambangan dan galian dibandingkan dengan sektor yang intensif tenaga kerja seperti sektor perdagangan dan jasa. Pada tahap lanjutan, ketika mulai terjadi krisis ekonomi tahun 1998 hingga implementasi kebijakan desentralisasi fiskal, kontribusi tenaga kerja sektor lain lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi output. Peningkatan kontribusi tenaga kerja antara lain disebabkan oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor lain, seperti di sektor perdagangan, angkutan, bangunan, dan jasa. Peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor ini, dapat terjadi karena adanya perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian, perpindahan tenaga kerja dari industri pengolahan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), tenaga kerja pendatang (migran) maupun dari penduduk angkatan kerja yang baru mulai memasuki pasar kerja. Banyaknya tenaga kerja baru yang masuk pada sektor ini, karena sektor ini selain terdapat sektor yang formal yang relatif sulit dimasuki oleh tenaga kerja, juga terdapat sektor informal yang relatif mudah dimasuki oleh tenaga kerja. Sektor informal mengalami beban yang berat karena meningkatnya jumlah tenaga kerja di sektor ini. Akibat dari peningkatan jumlah tenaga kerja di sektor informal adalah terjadinya penurunan produktivitas.

186 Perubahan Share Output dan TK Sektor Lainnya % 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 Tahun Output Sektor Lainnya 1989 1991 1993 1995 1997 TK Sektor Lainnya 1999 2001 2003 2005 2007 Gambar 16. Perubahan Kontribusi Output dan Tenaga Kerja Sektor Lainnya di Provinsi Jawa Barat Tahun 1973-2007

187 Perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lainnya dapat terjadi karena adanya perbedaan produktivitas tenaga kerja, dimana produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian lebih rendah dari produktivitas di sektor lainnya. Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan Clark (1940) yang mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara perubahan struktur produksi dengan struktur kesempatan kerja yang dapat dilihat dari bergesernya tenaga kerja dari sektor dengan produktivitas lebih rendah ke sektor dengan produktivitas lebih tinggi. 6.2. Keragaan Pertumbuhan Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Pertumbuhan PDRB dapat dilihat pada Tabel 9. Pertumbuhan sektor non pertanian lebih besar dari sektor pertanian. Dari tabel tersebut dapat juga dilihat bahwa pertumbuhan PDRB di Provinsi Jawa Barat lebih disebabkan oleh pertumbuhan PDRB di sektor non pertanian. Tabel 9. Pertumbuhan PDRB di Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2007 (%) No Perincian Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 Pertanian -0.40 9.94-13.25 5.81 2.34 1.06 5.13 2 Non Pertanian 1.64 7.32-3.25 8.39 14.46 9.41 13.84 3 PDRB 1.34 7.70-4.72 8.04 12.87 8.41 12.88 Sumber: BPS berbagai tahun Pertumbuhan PDRB sektor non pertanian cenderung positif. Demikian juga pertumbuhan PDRB sektor pertanian kecuali pada tahun 2001 dan 2003. Tetapi pertumbuhan sektor non pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian. Pertumbuhan output sektor non pertanian yang lebih tinggi tersebut dapat disebabkan antara lain oleh peningkatan kapital dan teknologi, dan output sektor non pertanian lebih bersifat tradable di pasar internasional.

188 Perkembangan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dan sektor non pertanian berfluktuasi seperti ditunjukkan pada Tabel 10. Ketika pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian positif, pertumbuhan tenaga kerja sektor non pertanian menurun. Sebaliknya ketika pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian negatif, pertumbuhan tenaga kerja sektor non pertanian positif. Dari data Tabel 10 dapat ditunjukkan bahwa pada interval waktu tersebut tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat dapat berpindah dari sektor pertanian ke sektor non pertanian, maupun sebaliknya dari sektor non pertanian ke sektor pertanian. Pergeseran tanaga kerja ini bergantung dari pergeseran permintaan tenaga kerja sektoral. Tabel 10. Pertumbuhan Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2007 (%) No Perincian Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 Pertanian 5.41-10.31 12.14 1.84 1.84-2.95-2.95 2 Non Pertanian -0.03 3.25-1.98-0.60-0.60 4.42 3.80 Total 1.81-1.50 2.52 0.07 0.07 2.37 2.02 Sumber: BPS berbagai tahun Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian dan non pertanian cenderung positif, terutama setelah tahun 2005 seperti ditunjukkan pada Tabel 11. Peningkatan output dan penurunan penggunaan tenaga kerja di sektor pertanian menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Di lain pihak, peningkatan output di sektor non pertanian mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas tenaga kerja di sektor non pertanian. Peningkatan produktivitas di sektor pertanian dapat terjadi antara lain oleh peningkatan nilai output maupun oleh penurunan tenaga kerja di sektor pertanian. Peningkatan nilai output tersebut disebabkan oleh kenaikan harga komoditi pertanian di pasar internasional.

189 Tabel 11. Pertumbuhan Produktivitas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2007 (%) No Perincian Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 Pertanian -5.51 22.58-22.65 36.61 0.49 4.13 8.33 2 Non Pertanian 1.67 3.94-1.29-1.68 15.15 4.78 9.68 Total -0.46 9.34-7.07 9.34 12.79 5.90 10.64 Sumber: BPS berbagai tahun Pertumbuhan PDRB sektor di Provinsi Jawa Barat tahun 2001-2007 disajikan pada Tabel 12. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan di sektor pertanian cenderung positif kecuali perikanan. Pertumbuhan output tanaman pangan relatif stabil. Pertumbuhan output di sektor pertanian relatif lebih rendah dari pertumbuhan output sektor perkebunan dan peternakan. Pertumbuhan di sektor perkebunan dan peternakan tersebut menggambarkan adanya peningkatan permintaan hasil komoditi sektor perkebunan dan peternakan oleh masyarakat. Pertumbuhan di sektor non pertanian cenderung positif kecuali pertambangan. Peningkatan di sektor non pertanian terutama terjadi pada sektor industri, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, serta angkutan dan telekomunikasi. Dari Tabel 12 tersebut dapat dijelaskan keterkaitan yang menggambarkan bahwa pertumbuhan yang terjadi di sektor pertanian dapat menggerakkan pertumbuhan di sektor non pertanian. Pertumbuhan tenaga kerja sektor di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 13. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian cenderung negatif. Pertumbuhan tenaga kerja sektor non pertanian bervariasi namun cenderung positif kecuali sektor pertambangan dan galian serta keuangan dan jasa perusahaan.

190 Tabel 12. Pertumbuhan PDRB Sektor di Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2007 (%) No Perincian Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 Tanaman Pangan 1.44 7.21-16.16 2.38 2.24 1.67 5.60 2 Perkebunan 6.25 13.57-9.40 18.49 15.52 2.63 6.59 3 Peternakan -13.13 15.09-7.10 12.39-5.54 3.08 7.05 4 Perikanan -3.59 40.70 4.45 14.05 2.28-11.58-8.17 5 Kehutanan 19.47-11.83-7.25 23.10 27.66 15.57 20.03 6 Pertambangan dan Galian -10.55-16.01-8.71 24.26-48.93-4.22-0.52 7 Industri Pengolahan 1.00 7.42-0.07 2.61 24.08 10.32 14.58 8 Listrik, Gas dan Air 15.71 10.10-4.63 21.37 25.39 0.44 4.32 9 Bangunan 1.29 8.75-7.32 13.87 19.56 11.65 15.96 10 Perdagangan, Hotel dan Restoran -0.75 11.98-10.81 10.04 22.09 10.24 14.49 11 Angkutan dan Komunikasi 7.68 19.92 7.12 14.82 13.70 19.75 24.37 12 Keuangan dan Jasa Perusahaan 6.96 9.90-3.60 3.57 19.70-3.59 0.14 13 Jasa-jasa 20.21 11.42-1.39 16.19-2.83 7.95 12.12 Total Sumber: BPS berbagai tahun Tabel 13. Pertumbuhan Tenaga Kerja Sektor di Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2007 (%) No Perincian Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 Pertanian 5.41-10.31 12.14-22.54 1.84-2.95-2.95 2 Pertambangan dan Galian -37.93 15.90 64.68-38.66-19.36 85.58-19.36 3 Industri Pengolahan -12.28-5.13 0.10 8.24 2.30-0.52 2.30 4 Listrik, Gas dan Air -39.66 19.75 37.38-22.51-68.71 234.85 6.45 5 Bangunan 0.43 0.80-9.35 18.82 0.06-3.05 0.06 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran -18.19-0.60 0.38 11.21 0.50 2.71 2.71 7 Angkutan dan Komunikasi -21.85 10.24-3.38 26.81-1.50-5.30 0.40 8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 111.27 1.32-14.07-2.04-22.38 87.78-14.07 9 Jasa-jasa 477.82 20.91-6.50 3.08-2.00 14.84 14.84 Sumber: BPS berbagai tahun Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sektor di Provinsi Jawa Barat tahun 2001-2007 disajikan pada Tabel 14. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa

191 pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian cenderung positif setelah tahun 2004. Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sektor non pertanian cenderung berfluktuasi. Fenomena yang tampak pada tabel tersebut adalah ketika satu sektor mengalami pertumbuhan produktivitas yang negatif namun menjadi positif pada tahun berikutnya. Hal ini dapat terjadi karena ketika satu sektor mengalami pertumbuhan produktivitas tenaga kerja negatif maka para tenaga kerja bermigrasi mencari sektor yang produktivitasnya positif, sehingga pada tahun berikutnya jumlah tenaga kerja di sektor tersebut menjadi berkurang, sehingga produktivitas tenaga kerja menjadi meningkat. Tabel 14. Pertumbuhan Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2007 (%) No Perincian Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 Pertanian -5.51 22.58-22.65 36.61 0.49 4.13 8.33 2 Pertambangan dan Galian 44.12-27.53-44.56 102.56-36.67-48.39 23.36 3 Industri Pengolahan 15.15 13.22-0.17-5.20 21.28 10.89 12.00 4 Listrik, Gas dan Air 91.76-8.06-30.58 56.63 300.69-70.00-2.01 5 Bangunan 0.86 7.88 2.24-4.17 19.49 15.17 15.89 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 21.31 12.67-11.15-1.05 21.49 7.33 11.47 7 Angkutan dan Komunikasi 37.79 8.78 10.86-9.45 15.44 26.45 23.88 8 Keuangan dan Jasa Perusahaan -49.37 8.47 12.18 5.73 54.22-48.66 16.53 9 Jasa-jasa -79.20-7.85 5.47 12.72-0.84-5.99-2.37 Sumber: BPS berbagai tahun Pertumbuhan penerimaan asli daerah (PAD) di Provinsi Jawa Barat tahun 2001-2003 disajikan pada Tabel 15. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 2002 semua jenis penerimaan asli daerah meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal terjadi keberhasilan dalam hal peningkatan komponen penerimaan daerah. Pada tahun 2003

192 penerimaan dari pajak daerah dan PAD lain berkurang. Dengan berkurangnya pajak daerah dan PAD lain mengakibatkan PAD menjadi berkurang. Tetapi penurunan penerimaan dari pajak daerah biasanya bersifat sementara, karena ada wajib pajak yang menunda pembayaran pajak. Tabel 15. Pertumbuhan Penerimaan Asli Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2003 (%) No Perincian Tahun 2001 2002 2003 1 Pajak Daerah 54.73 24.52-7.34 2 Retribusi Daerah -10.36 8.86 12.03 3 Badan Usaha Daerah 160.32 75.40 25.82 4 PAD Lain 162.99 22.10-12.88 PAD 57.84 25.24-6.57 Sumber: BPS berbagai tahun Pertumbuhan penerimaan daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2001-2003 disajikan pada Tabel 16. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa penerimaan daerah tumbuh secara positif. Namun demikian, pertumbuhan penerimaan daerah cenderung semakin kecil. Pada tahun 2001, ketika dimulainya desentralisasi fiskal, penerimaan daerah tumbuh 52.88 persen, tetapi pada tahun 2003 pertumbuhan penerimaan daerah hanya sebesar 1.97 persen. Penurunan pada tahun 2003 disebabkan oleh penurunan PAD, hal ini biasanya tidak berlangsung lama. Pertumbuhan penerimaan daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2007 ditunjukkan pada Tabel 17. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan PAD positif, yang berarti Pemerintah Daerah berhasil meningkatkan kemampuan mengumpulkan dana untuk membiayai pelaksanaan pembangunan. Namun demikian, total penerimaan daerah yang meningkat tersebut karena DAU yang

193 terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan daerah terhadap pusat masih tetap tinggi. Tabel 16. Pertumbuhan Penerimaan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2003 No Perincian Tahun 2001 2002 2003 1 Pendapatan Asli Daerah 57.84 25.24-6.57 2 Dana Bagi Hasil Sbrdaya & Pajak 188.24 9.57-1.60 3 Dana Alokasi Umum 0.58-26.10 24.01 4 Dana Alokasi Khusus 0 0 0 5 Penerimaan Lain - 399.28-100.00 6 Pinjaman Daerah 0 0 0 7 Sisa Anggaran Tahun Lalu 63.54-25.87 105.41 Total 52.88 10.56 1.97 Sumber: BPS berbagai tahun (%) Tabel 17. Pertumbuhan Penerimaan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2007 Tahun No Perincian 2005 2006 2007 1 Pajak Daerah -1.46-4.37 6.74 2 Retribusi Daerah 9.11-1.35 4.38 3 Badan Usaha Daerah 1.69-1.32 27.51 4 Pendalatan Asli Daerah Lain -2.44 22.15-21.08 5 Pendapatan Asli Daerah 2.84 0.74 2.87 6 Dana Bagi Hasil Sbrdaya & Pajak 8.20-6.94-16.96 7 Dana Alokasi Umum -6.85 13.02 20.97 8 Dana Alokasi Kkusus 16.41 147.08 34.86 9 Bagi Hasil Perpajakan -1.86-3.22 30.11 10 Dana Perimbangan -4.07 10.07 18.51 11 Penerimaan Lain -13.45-30.90-54.97 12 Penerimaan Daerah 20.63 14.92 14.06 13 Total Penerimaan Daerah -1.88 8.27 15.98 Sumber: BPS berbagai tahun (%) Perkembangan pengeluaran daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2001-2003 disajikan pada Tabel 18. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa perkembangan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan cenderung

194 positif, kecuali untuk pengeluaran rutin pada tahun 2002. Total pengeluaran daerah tahun 2006 sampai tahun 2007 mengalami peningkatan seperti ditunjukkan pada Tabel 19. Peningkatan pengeluaran daerah ini perlu dilakukan dengan tujuan selain untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat juga untuk mendorong perekonomian masyarakat. Tabel 18. Pertumbuhan Pengeluaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2003 No Perincian Tahun 2001 2002 2003 1 Pengeluaran Rutin 83.90-4.71 20.30 2 Pengeluaran Pembangunan 54.17 24.12 15.99 Total Pengeluaran Daerah 73.58 4.18 18.72 Sumber: BPS berbagai tahun (%) Tabel 19. Pertumbuhan Pengeluaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2007 Tahun Perincian 2005 2006 2007 Total Pengeluaran Daerah -1.88 8.27 19.02 Sumber: BPS berbagai tahun Perkembangan pengeluaran rutin daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2001-2003 disajikan pada Tabel 20. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa perkembangan pengeluaran rutin cenderung positif, kecuali untuk pengeluaran rutin pada tahun 2002. Walaupun pengeluaran untuk belanja barang meningkat 79.68 persen dan belanja pemeliharaan meningkat 61.02 persen, tetapi belanja pegawai turun 23.56 persen sehingga berdampak pada penurunan pengeluaran rutin sebesar 4.71 persen. Dari data tersebut dapat ditunjukkan bahwa komponen belanja pegawai mempunyai peranan besar pada pengeluaran rutin daerah. Perkembangan pengeluaran pembangunan daerah Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 21. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa perkembangan (%)

195 pengeluaran pembangunan cenderung positif. Namun demikian, pertumbuhan pengeluaran pembangunan cenderung semakin kecil. Pada tahun 2001 pada saat dimulainya desentralisasi fiskal pengeluaran pembangunan tumbuh 54.17 persen, tetapi pada tahun 2003 pertumbuhan penerimaan daerah hanya sebesar 15.99 persen. Penurunan pengeluaran pembangunan ini sebagai dampak dari penurunan penerimaan daerah. Dari data tersebut dapat ditunjukkan bahwa walaupun pengeluaran pembangunan memiliki peranan dalam memacu pertumbuhan ekonomi daerah tetapi masih tetap memperhitungkan penerimaan daerah. Tabel 20. Pertumbuhan Pengeluaran Rutin Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2003 (%) No Perincian Tahun 2001 2002 2003 1 Belanja Pegawai 30.59-23.56 9.09 2 Belanja Barang 6.67 79.68-4.75 3 Bel Pemeliharaan 32.50 61.02 1.58 4 Perjalanan Dinas 13.32 38.65 26.34 5 Angsuran -13.69-6.47 32.86 6 Bantuan Keuangan 629.59-12.00 9.09 7 Pengeluaran lain 8.84-4.19-16.33 Pengel. Rutin 83.90-4.71 20.30 Sumber: BPS berbagai tahun Tabel 21. Pertumbuhan Pengeluaran Pembangunan Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2003 No Perincian Tahun 2001 2002 2003 1 Industri 47.61 117.73 2.20 2 Infrastruktur 126.09 6.92 22.79 3 Pelayanan Umum 102.10 41.37 11.97 4 Pertanian dan Irigasi 54.31 38.07 14.80 5 Kesejahteraan Rakyat -42.52 37.28 15.10 6 Sumberdaya Manusia 43.43 48.07 13.92 7 Sektor Lain - -100.00 - Pengeluaran Pembangunan 54.17 24.12 15.99 Sumber: BPS berbagai tahun (%)

196 Pengeluaran daerah Provinsi Jawa Barat untuk tahun 2004-2005 dapat dilihat pada Tabel 22. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa total pengeluaran daerah turun. Walaupun sebagian besar komponen pengeluaran mengalami penurunan, tetapi komponen pengeluaran belanja modal meningkat. Pengeluaran untuk belanja modal ini diharapkan dapat menggerakkan perekonomian masyarakat. Tabel 22. Pengeluaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2005 Tahun No Perincian 2004 2005 Δ% 1 Belanja Pegawai 1924069.83 1556191.76-19.12 2 Belanja Baranga dan Jasa 542598.25 500410.55-7.78 3 Belanja Perjalanan Dinas 79723.67 81990.02 2.84 4 Biaya Pemeliharaan 150329.87 166815.74 10.97 5 Belanja Lain-lain 51810.07 452.00-99.13 6 Belanja Modal 257317.68 302230.71 17.45 7 Belanja Aparatur Daerah 3005849.38 2608090.77-13.23 8 Belanja Pegawai 3502003.86 3384487.13-3.36 9 Belanja Barang dan Jasa 516653.33 534127.07 3.38 10 Belanja Perjalanan Dinas 43778.12 34873.67-20.34 11 Belanja Pemeliharaan 335634.39 303089.95-9.70 12 Belanja Lain-lain 22038.96 0.00-100.00 13 Belanja Modal 990170.08 1130655.00 14.19 14 Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan 765171.76 748944.60-2.12 15 Pengeluaran Tidak Terduga 90360.96 69798.40-22.76 16 Belanja Pelayanan Publik 6265811.47 6205975.82-0.95 17 Pembiayaan Daerah 1032690.64 1296725.69 25.57 18 Total Pengeluaran Daerah 10304351.49 10110792.28-1.88 Sumber: BPS berbagai tahun Pengeluaran daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2006-2007 dapat dilihat pada Tabel 23. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa total pengeluaran daerah meningkat. Komponen-komponen pengeluaran daerah baik belanja langsung maupun belanja tidak langsung mengalami peningkatan, kecuali komponen pengeluaran daerah bawahan yang menurun. Pengeluaran daerah ini diharapkan dapat menggerakkan perekonomian masyarakat.

197 Tabel 23. Pengeluaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2006-2007 Tahun No Perincian 2006 2007 Δ% 1 Belanja Pegawai 4552233.95 5386115.61 18.32 2 Belanja Bunga 2471.61 3476.76 40.67 3 Belanja Subsidi 0.00 24656.47-4 Belanja Hibah 59535.11 158521.04 166.26 5 Belanja Bantuan Sosial 491020.62 651979.80 32.78 6 Belanja Bagi Hasil 75753.80 117900.30 55.64 7 Belanja Bantuan Keuangan 216926.19 385468.79 77.70 8 Pengeluaran Tidak Terduga 63898.53 78424.78 22.73 9 Belanja Tidak Langsung 5461839.81 6806543.55 24.62 10 Belanja Pegawai 410628.64 945112.40 130.16 11 Belanja Barang dan Jasa 1401340.30 2114027.43 50.86 12 Belanja Modal 2255135.21 2820106.06 25.05 13 Belanja Langsung 4067104.15 5879245.88 44.56 14 Pembiayaan Daerah 1418106.05 343449.22-75.78 15 Total Pegeluaran Daerah 10947050.00 13029238.65 19.02 Sumber: BPS berbagai tahun Pertumbuhan defisit fiskal daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2001-2003 disajikan pada Tabel 24 dan tahun 2005-2007 pada Tabel 25. Pada tabel-tabel tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan defisit fiskal cenderung positif, kecuali pada tahun 2002 dan 2005. Tabel 24. Pertumbuhan Defisit Fiskal Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2003 (%) No Perincian Tahun 2001 2002 2003 1 Kapasitas Fiskal 77.40 21.42-5.48 2 Pengeluaran Daerah 73.58 4.18 18.72 3 Defisit Fiskal 64.44-40.27 145.55 Sumber: BPS berbagai tahun Pada tahun 2002 kapasitas fiskal meningkat 21.42 persen, sementara pengeluaran daerah meningkat hanya 4.18 persen. Hal ini berdampak pada pengurangan defisit fiskal, yang berarti ketergantungan daerah terhadap pusat menjadi berkurang. Dari tabel-tabel tersebut juga dapat ditunjukkan bahwa

198 pertumbuhan kapasitas fiskal yang lebih rendah dari pertumbuhan pengeluaran daerah mengakibatkan defisit fiskal meningkat. Pada Tabel 25 juga dapat dilihat bahwa defisit fiskal meningkat. Hal ini terjadi karena kapasitas fiskal menurun yang disebabkan oleh penurunan dari bagi hasil. Tabel 25. Pertumbuhan Defisit Fiskal Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2007 No Perincian Tahun 2005 2006 2007 1 Kapasitas Fiskal 5.82-3.63-6.63 2 Pengeluaran Daerah -1.88 8.27 19.02 3 Defisit Fiskal -4.18 12.19 26.28 Sumber: BPS berbagai tahun (%) 6.3. Keragaan Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Keragaan perekonomian Provinsi Jawa Barat tahun 2000-2003 dapat dikaji baik secara keseluruhan maupun diperinci secara sektoral. Perekonomian secara keseluruhan dibagi menjadi dua sektor, yakni sektor pertanian dan sektor non pertanian. Kajian secara sektoral dirinci menjadi sektor-sektor: tanaman pangan; perkebunan; peternakan; perikanan; kehutanan; pertambangan dan galian; industri pengolahan; listrik, gas dan air; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; angkutan dan komunikasi; keuangan dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa. Kontibusi PDRB dan tenaga kerja rata-rata per tahun Provinsi Jawa Barat tahun 2000-2003 dapat dilihat pada Tabel 26 dan tahun 2007 pada Tabel 27. Pada tahun 2000-2003 maupun tahun 2007 perekonomian Provinsi Jawa Barat didominasi oleh sektor non pertanian. Berdasarkan komposisi perekonomian maka perekonomian di Provinsi Jawa Barat sudah termasuk perekonomian

199 modern. Kondisi tersebut merupakan dampak dari proses pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Tabel 26. Kontribusi PDRB dan Tenaga Kerja Rata-Rata per Tahun Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2003 No Perincian PDRB Tenaga Kerja Rp juta % Orang % 1 Pertanian 1364307.01 14.88 225376.67 33.77 2 Non Pertanian 7801702.58 85.12 441981.85 66.23 Total 9166009.59 100.00 667358.52 100.00 Sumber: BPS 2004 Tabel 27. Kontribusi PDRB dan Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 No Perincian PDRB Tenaga Kerja Rp juta % Orang % 1 Pertanian 1497980.57 10.36 182513.57 25.09 2 Non Pertanian 12966956.18 89.64 545023.57 74.91 Total 14464936.75 100.00 727537.14 100.00 Sumber: BPS 2009 Pada tahun 2000-2003 maupun tahun 2007 tenaga kerja Provinsi Jawa Barat didominasi oleh sektor non pertanian. Dari Tabel 26 dan 27 dapat dilihat bahwa terjadi ketidakselarasan antara kontribusi PDRB dan tenaga kerja sektor pertanian terhadap sektor non pertanian. Ketidakselarasan ini menurut Soekartawi (1991) dapat terjadi karena tenaga kerja sektor pertanian tidak dapat diserap oleh sektor industri atau sektor lainnya dalam waktu yang relatif singkat. Perbedaan kontribusi pada PDRB dengan tenaga kerja juga akan berdampak pada produktivitas tenaga kerja yang dihitung dari PDRB sektor dengan tenaga kerja sektor. Produktivitas tenaga kerja rata-rata per tahun Provinsi Jawa Barat tahun 2000-2003 disajikan pada Tabel 28 dan untuk tahun 2007 pada Tabel 29. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata produktivitas tenaga kerja sektor non

200 pertanian lebih besar dibandingkan dengan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas di sektor pertanian sangat rendah, yang disebabkan antara lain oleh nilai produk pertanian yang rendah dan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak. Produktivitas di sektor pertanian dapat ditingkatkan dengan membuka kesempatan kerja di sektor non pertanian. Pemecahan yang sama juga dikemukakan oleh hasil penelitian Sawit (1986) yang mengemukakan bahwa kenaikan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian dapat dipercepat dengan cara memberi kesempatan kerja yang lebih besar di sektor non pertanian, baik yang ada di desa maupun di kota dan sektor yang dikembangkan tersebut harus dikembangkan ke arah yang saling menunjang antar sektor. Tabel 28. Produktivitas Tenaga Kerja Rata-Rata per Tahun Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2003 (Rp juta/pekerja) No Perincian Produktivitas 1 Pertanian 6.05 2 Non Pertanian 17.65 Rata-rata 13.73 Sumber: BPS 2004 Tabel 29. Produktivitas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 (Rp juta/pekerja) No Perincian Produktivitas 1 Pertanian 8.21 2 Non Pertanian 23.79 Rata-rata 19.88 Sumber: BPS 2008 Secara keseluruhan rata-rata produktivitas tenaga kerja sektor non pertanian di Provinsi Jawa Barat lebih besar dari rata-rata produktivitas tenaga kerja sektor pertanian. Produktivitas tenaga kerja sektor non pertanian yang sedemikian besar tersebut antara lain disebabkan oleh: (1) nilai output yang

201 dihasilkan sektor non pertanian jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai output sektor pertanian, dan (2) sektor non pertanian pada umumnya lebih banyak menggunakan teknologi padat modal dan mesin produksi untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja, sehingga sektor ini menghasilkan output yang lebih banyak dan menggunakan tenaga kerja yang lebih sedikit. Jika terdapat perbedaan produktivitas tenaga kerja maka menurut Clark (1940) akan terjadi pergeseran penyerapan tenaga kerja dari sektor yang produktivitasnya rendah ke sektor yang produktivitasnya tinggi. Produk domestik regional bruto (PDRB) sektor rata-rata per tahun Provinsi Jawa Barat tahun 2000-2003 disajikan pada Tabel 30. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa PDRB sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat didominasi oleh sektor tanaman pangan sebesar 10.64 persen, selanjutnya diikuti sektor peternakan, perkebunan, perikanan, dan sektor pertanian yang kontribusi PDRB paling sedikit adalah sektor kehutanan yakni sebesar 0.16 persen. Tabel 30. Kontribusi PDRB Sektor Rata-Rata per Tahun Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2003 No Sektor Rp juta % 1 Tanaman Pangan 975070.97 10.64 2 Perkebunan 100586.02 1.10 3 Peternakan 181000.12 1.97 4 Perikanan 93333.37 1.02 5 Kehutanan 14316.53 0.16 6 Pertambangan dan Galian 822727.69 8.98 7 Industri Pengolahan 3621121.75 39.51 8 Listrik, Gas dan Air Bersih 161578.12 1.76 9 Bangunan 255568.89 2.79 10 Perdagangan, Hotel dan Restoran 1693949.11 18.48 11 Angkutan dan Komunikasi 422540.10 4.61 12 Keuangan dan Jasa Perusahaan 259994.60 2.84 13 Jasa-jasa 259994.60 2.84 Total 9166009.59 100.00 Sumber: BPS 2004

202 Produk domestik regional bruto (PDRB) sektor non pertanian didominasi oleh sektor industri pengolahan sebesar 39.51 persen, selanjutnya diikuti oleh: sektor perdagangan, hotel dan retoran; pertambangan dan galian; angkutan dan komunikasi; jasa; keuangan dan jasa perusahaan; bangunan; dan sektor non pertanian yang kontribusi PDRB paling sedikit adalah sektor listrik, gas dan air yaitu sebesar 1.76 persen. Dari tabel tersebut dapat ditunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat sebagai penyedia bahan pangan dan juga sebagai daerah industri. Kontribusi PDRB sektor rata-rata per tahun di Provinsi Jawa Barat tahun 2007 disajikan pada Tabel 31. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kontribusi PDRB sektor industri pengolahan diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang mendominasi perekonomian di Provinsi Jawa Barat. Hal ini menggambarkan bahwa Provinsi Jawa Barat sebagai tempat untuk investasi bagi investor. Tabel 31. Kontribusi PDRB Sektor Rata-Rata per Tahun Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 No Sektor Rp juta % 1 Tanaman Pangan 1050081.96 7.26 2 Perkebunan 121921.20 0.84 3 Peternakan 206768.19 1.43 4 Perikanan 92199.96 0.64 5 Kehutanan 27009.26 0.19 6 Pertambangan dan Galian 346599.37 2.40 7 Industri Pengolahan 6642725.45 45.92 8 Listrik, Gas dan Air 358202.47 2.48 9 Bangunan 450269.21 3.11 10 Perdagangan, Hotel dan Restoran 2846843.21 19.68 11 Angkutan dan Komunikasi 936679.22 6.48 12 Keuangan dan Jasa Perusahaan 345629.54 2.39 13 Jasa-jasa 1040007.72 7.19 Total 14464936.75 100.00 Sumber: BPS 2008

203 Sektor industri memberikan kontribusi terbesar bagi PDRB Provinsi Jawa Barat. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor industri dapat berkembang di Provinsi Jawa Barat. Perkembangan sektor industri tersebut didukung oleh faktor-faktor yang mendorong masuknya investasi di sektor industri, seperti ketersedian tenaga kerja dan sarana infrastruktur. Tenaga kerja sektor rata-rata per tahun Provinsi Jawa Barat tahun 2000-2003 disajikan pada Tabel 32 dan tahun 2007 pada Tabel 33. Dari tabel-tabel Tabel 32. Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Rata-Rata per Tahun Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2003 No Sektor Orang % 1 Pertanian 225376.67 33.77 2 Pertambangan dan Galian 3138.11 0.47 3 Industri Pengolahan 110753.87 16.60 4 Listrik, Gas dan Air 1809.24 0.27 5 Bangunan 34256.10 5.13 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 156271.76 23.42 7 Angkutan dan Komunikasi 48658.60 7.29 8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 7556.01 1.13 9 Jasa-jasa 79246.21 11.87 10 Lainnya 291.95 0.04 Total 667358.52 100.00 Sumber: BPS 2004 Tabel 33. Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 No Sektor Orang % 1 Pertanian 182513.57 25.09 2 Pertambangan dan Galian 4009.05 0.55 3 Industri Pengolahan 126753.76 17.42 4 Listrik, Gas dan Air 2101.43 0.29 5 Bangunan 39724.95 5.46 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 187473.38 25.77 7 Angkutan dan Komunikasi 60365.90 8.30 8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 11544.29 1.59 9 Jasa-jasa 113050.81 15.54 Total 727537.14 100.00 Sumber: BPS 2008

204 tersebut dapat dilihat bahwa kontribusi tenaga kerja sektor non pertanian di Provinsi Jawa Barat didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 23.42 persen tahun 2000-2003 dan 25.77 persen pada tahun 2007, selanjutnya diikuti oleh: sektor industri, jasa, angkutan dan komunikasi, bangunan, keuangan dan jasa perusahaan, sektor pertambangan dan galian, sektor listrik, gas dan air, dan sektor lainnya. Berdasarkan Tabel 32 dan 33 dapat dilihat bahwa terdapat tiga sektor non pertanian yang relatif lebih banyak menyerap tenaga kerja yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor jasa. Ketiga sektor ini (sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan, dan sektor jasa) dapat menampung tenaga kerja, baik tenaga kerja yang ke luar dari sektor pertanian dan tenaga kerja yang datang dari luar Provinsi Jawa Barat, maupun tenaga kerja terdidik yang baru memasuki pasar tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja sektor rata-rata per tahun Provinsi Jawa Barat tahun 2000-2003 disajikan pada Tabel 34 dan tahun 2007 pada Tabel 35. Pada Tabel 34 dapat dilihat bahwa produktivitas tenaga kerja paling tinggi terdapat pada sektor pertambangan dan galian sebesar Rp 262.17 juta per pekerja, selanjutnya diikuti oleh: sektor listrik, gas dan air; industri pengolahan; keuangan dan jasa perusahaan; perdagangan, hotel dan restoran; angkutan dan komunikasi; bangunan; dan sektor jasa, sedangkan produktivitas tenaga kerja paling rendah terdapat pada sektor pertanian yakni sebesar Rp 6.05 juta per pekerja. Nilai produktivitas ini sangat berhubungan dengan besarnya nilai PDRB sektor dan jumlah penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan Tabel 34 dan 35 dapat dilihat bahwa sektor yang relatif sedikit menyerap tenaga kerja seperti sektor

205 pertambangan dan sektor listrik, gas dan air bersih mempunyai produktivitas tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sektor yang relatif lebih banyak menyerap tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja yang relatif sedikit di sektor pertambangan dan sektor listrik, gas dan air menunjukkan bahwa tidak mudah bagi tenaga kerja untuk masuk ke sektor tersebut karena tenaga kerja yang bersangkutan harus memiliki keterampilan dan keahlian. Tabel 34. Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Rata-Rata per Tahun Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2003 No Perincian Produktivitas (Rp juta/pekerja) 1 Pertanian 6.05 2 Pertambangan dan Galian 262.17 3 Industri Pengolahan 32.70 4 Listrik, Gas dan Air 89.31 5 Bangunan 7.46 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 10.84 7 Angkutan dan Komunikasi 8.68 8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 34.41 9 Jasa-jasa 3.28 Sumber: BPS 2004 Pada Tabel 35 dapat dilihat bahwa produktivitas tenaga kerja sektor pertanian relatif paling kecil dibandingkan sektor-sektor lainnya. Untuk tahap selanjutnya ada kemungkinan tenaga kerja yang semula bekerja di sektor pertanian akan pindah ke sektor-sektor lain yang memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Keragaman produktivitas tenaga kerja sektor ini menurut Mangkuprawira (2000) antara lain dipengaruhi oleh konsumsi kalori. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan tingkat gizi (kalori) sangat menentukan produktivitas di semua sektor. Selain itu, tingkat pendidikan juga memiliki peranan cukup penting terhadap

206 Tabel 35. Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 No Perincian Produktivitas (Rp juta/pekerja) 1 Pertanian 8.21 2 Pertambangan dan Galian 86.45 3 Industri Pengolahan 52.41 4 Listrik, Gas dan Air 170.46 5 Bangunan 11.33 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 15.19 7 Angkutan dan Komunikasi 15.52 8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 29.94 9 Jasa-jasa 9.20 Sumber: BPS 2008 produktivitas pekerja. Hal ini mengindikasikan bahwa para pekerja perlu diberikan dan dikembangkan pendidikan supaya mereka mampu meningkatkan kinerjanya. Penerimaan dan pengeluaran daerah rata-rata per tahun Provinsi Jawa Barat tahun 2000-2003 disajikan pada Tabel 36 dan tahun 2007 pada Tabel 37. Pada Tabel 36 dapat dilihat bahwa penerimaan Pemerintah Daerah sebesar Rp 330 071.33 juta. Penerimaan pemerintah daerah tersebut antara lain diperoleh dari pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Pengeluaran Pemerintah Daerah terdiri dari pengeluaran rutin sebesar Rp 238 985.85 juta dan pengeluaran pembangunan sebesar Rp 75 327.87 juta. Pengeluaran Pemerintah Daerah lebih banyak digunakan untuk pengeluaran rutin dibandingkan untuk pengeluaran pembangunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa penerimaan Pemerintah Daerah yang sebagian diperoleh dari masyarakat lebih banyak dipergunakan untuk belanja rutin, seperti pengeluaran untuk gaji pegawai. Hasil ini sejalan dengan penelitian Pakasi (2006) yang menyatakan bahwa sebagian besar pengeluaran Pemerintah Daerah adalah untuk pengeluaran rutin. Sementara, pengeluaran untuk