V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk"

Transkripsi

1 V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan perekonomian daerah berdasarkan karakteristik daerahnya. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu daerah merupakan alat indikator makro yang menggambarkan derajat kesejahteraan masyarakat dan memperlihatkan kondisi perekonomian masyarakat. PDRB Kota Magelang tercermin pada gambar di bawah ini : Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.1. Produk Domestik Regional Bruto Kota Magelang Tahun Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa PDRB Kota Magelang berdasarkan harga konstan tahun 2, sepanjang tahun 1995 hingga 211 mengalami peningkatan. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal yaitu tahun 1995, PDRB Kota Magelang berkisar antara juta rupiah hingga ,23 juta rupiah pada tahun 2. Sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 21 terlihat bahwa terjadi peningkatan mencapai dua kali lipat dan berlangsung seterusnya hingga tahun 211. Peningkatan pada tahun 22 terjadi

2 54 dua kali lipat yaitu sebesar ,46 juta rupiah dari tahun 21 sebesar ,5 juta rupiah. Setelah tahun 22 hanya terjadi sedikit peningkatan setiap tahun dan tergolong stabil. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Magelang sepanjang tahun 1995 hingga 211 mengalami fluktuasi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada tahun 22 yaitu sebesar 1,38 persen dan laju pertumbuhan ekonomi terendah terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1998 sebesar -,7 persen. Sepanjang tahun 23 hingga tahun 211 laju pertumbuhan ekonomi Kota Magelang relatif stabil dan mengalami sedikit peningkatan setiap tahunnya, yaitu berkisar antara,4 persen hingga,11 persen. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebelum desentralisasi fiskal sebesar,26 persen sedangkan selama desentralisasi fiskal rata-rata laju pertumbuhan ekonominya sebesar,17 persen. Untuk melihat sejauh mana desentralisasi fiskal dan faktor lainnya mempengaruhi kinerja perekonomian Kota Magelang, maka dapat dilihat dari dampaknya terhadap komponen-komponen PDRB berdasarkan pengeluaran konsumsi rumah tangga, investasi dan pengeluaran pemerintah Konsumsi Rumah Tangga Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan komponen yang paling dominan nilainya dalam PDRB dan output ekonomi yang dibelanjakan oleh rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung. Konsumsi rumah tangga berdasarkan harga konstan tahun 2, sepanjang tahun 1995 hingga 211 relatif mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sejak tahun 21, konsumsi rumah tangga mengalami peningkatan mencapai dua kali lipat yaitu pada tahun

3 55 22 sebesar ,9 juta rupiah. Konsumsi rumah tangga Kota Magelang setelah tahun 22 terus mengalami peningkatan hingga tahun 211 sebesar ,38 juta rupiah. Pada tahun 25, konsumsi rumah tangga sempat mengalami sedikit penurunan tetapi cenderung rata-rata naik hingga tahun 211 (lihat Gambar 5.2) Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.2. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga Kota Magelang Tahun Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 1995 hingga 211 mengalami fluktuasi. Pada masa sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 1995, pertumbuhan konsumsi relatif stabil, yaitu berkisar antara 2,94 persen hingga 4,98 persen pada tahun 2. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tertinggi terjadi pada tahun 26, yaitu sebesar 9,28 persen dan mengalami pertumbuhan terendah sebesar -4,24 persen pada tahun 25. Sepanjang tahun 21 hingga 211 pertumbuhan konsumsi rumah tangga cenderung rata-rata naik meskipuan mengalami penurunan. Rata-rata pertumbuhan konsumsi ruamh tangga sebelum desentralisasi fiskal sebesar 3,48 persen sedangkan selama desentralisasi fiskal relatif lebih besar, yaitu sebesar 4,11 persen.

4 56 Pendugaan model konsumsi rumah tangga didasarkan pada hipotesis bahwa tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh PDRB, jumlah populasi, tingkat inflasi dan dummy desentralisasi fiskal. Variabel PDRB, jumlah populasi dan dummy desentralisasi berpengaruh positif sedangkan variabel inflasi berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumah tangga. Tabel 5.1. Persamaan Dugaan Konsumsi Rumah Tangga Kota Magelang Variable Parameter Standard Estimate Error t Value Pr > t Intercept -5,671 11, ,43,6774 LN PDRB,987, ,51 <,1* LN Populasi, ,134819,31,7585 Inflasi,475,2334 2,3,646** Dummy desentralisasi Fiskal,66841,84958,79,4467 R-Square =.9763 Adj R-Sq =.9684 Durbin-Watson = 1,9125 Keterangan : *) nyata pada taraf 5 persen **) nyata pada taraf 1 persen Berdasarkan hasil pengolahan pada Tabel 5.1, nilai R 2 dari model dugaan konsumsi rumah tangga ini sebesar,98. Artinya, model dugaan konsumsi rumah tangga ini dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya dengan baik. Variabel PDRB berpengaruh nyata pada taraf 5 persen secara positif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga Kota Magelang. Hal ini berarti bahwa peningkatan PDRB sebesar 1 persen akan meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar,99 persen (ceteris paribus). Semakin bertambahnya PDRB maka konsumsi rumah tangga Kota Magelang semakin meningkat hubungan ini cenderung positif. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan konsumsi rumah tangga dengan PDRB yang cenderung positif pada scatter plot pada Gambar 5.3.

5 57 Scatterplot of PDRBT vs CT 3 25 PDRBT Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.3. Pola Hubungan Konsumsi Rumah Tangga (CT) dengan PDRB (PDRBT) Variabel jumlah populasi diduga berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen. Berdasarkan hasil pengolahan jumlah populasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap konsumsi rumah tangga dan cenderung berhubungan positif. Jumlah populasi tidak berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga dikarenakan keputusan konsumsi lebih dipengaruhi oleh jumlah uang sehingga semakin banyaknya jumlah populasi tidak berhubungan dengan konsumsi rumah tangga. Pola hubungan antara konsumsi rumah tangga dengan jumlah populasi, seperti CT 8 ditampilkan dalam gambar scatter plot berikut ini : Scatterplot of POPT vs CT 125 POPT Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.4. Pola Hubungan Konsumsi Rumah Tangga (CT) dengan Populasi (POPT). CT

6 58 Selain itu, inflai berpengaruh secara positif dan nyata pada taraf 5 persen. Hal ini berarti peningkatan inflasi 1 persen maka konsumsi rumah tangga akan meningkat sebesar,4 persen. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara konsumsi rumah tangga dengan inflasi cenderung memiliki hubungan yang positif tampak pada gambar scatter plot sebagai berikut : 2 Scatterplot of INFT vs CT 1 INFT CT Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.5. Pola Hubungan Konsumsi Rumah Tangga (CT) dengan Inflasi (INFT). 12 Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal yang ditunjukkan oleh variabel dummy desentralisasi fiskal diduga berpengaruh secara signifikan dan nyata terhadap konsumsi rumah tangga. Berdasarkan hasil pengolahan terlihat bahwa kebijakan desentralisasi fiskal tidak terlalu berpengaruh secara nyata terhadap konsumsi rumah tangga. Peningkatan konsumsi rumah tangga pada masa desentralisasi fiskal lebih dipengaruhi oleh peningkatan jumlah PDRB dan inflasi Investasi Daerah Investasi daerah merupakan salah satu instrumen yang dapat mempengaruhi kinerja ekonomi daerah. Perkembangan investasi Kota Magelang berdasarkan harga konstan tahun 2, sepanjang tahun 1995 hingga 211 mengalami fluktuasi.

7 59 Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.6. Perkembangan Investasi Daerah Kota Magelang Tahun Berdasarkan Gambar 5.6, pada tahun 1996 hingga 1997, investasi daerah sempat mengalami penurunan, namun sepanjang tahun 1998 hingga 211 investasi daerah relatif meningkat terus setiap tahunnya. Sejak penerapan desentralisasi fiskal yaitu tahun 21, investasi daerah Kota Magelang terlihat langsung mengalami peningkatan bahkan mencapai dua kali lipat. Pada tahun 22 terjadi peningkatan hingga dua kali lipat sebesar ,26 juta rupiah dari tahun sebelumnya yaitu tahun 21 sebesar ,5 juta rupiah. Laju pertumbuhan investasi daerah sepanjang tahun 1995 hingga 211 fluktuatif. Laju pertumbuhan investasi daerah Kota Magelang tertinggi pada tahun 22 sebesar 186,79 persen dan pertumbuhan investasi terendah sebesar -45,8 persen pada tahun Rata-rata pertumbuhan investasi daerah selama desentralisasi fiskal sebesar 21,98 persen sedangkan sebelum desentralisasi fiskal hanya sebesar 1,61 persen. Berdasarkan hipotesis, pendugaan persamaan investasi dipengaruhi oleh PDRB dan dummy desentralisasi fiskal yang berhubungan positif, dan variabel suku bunga yang berpengaruh negatif. Dalam pendugaan ini digunakan suku bunga riil (suku bunga dikurangi inflasi) untuk mendapatkan persamaan yang

8 6 lebih baik. Tabel dibawah ini menyajikan hasil persamaan dugaan investasi daerah Kota Magelang sebagai berikut : Tabel 5.2. Persamaan Dugaan Investasi Daerah Kota Magelang Variable Parameter Standard Estimate Error t Value Pr > t Intercept 1, ,882419,98,3428 LN PDRB,822634, ,3 <,1* IR -,535,678 -,88,3951 Dummy desentralisasi Fiskal -,37398, ,3,14* R-Square =,8152 Adj R-Sq =,75572 Durbin-Watson = 2,31161 Keterangan : *) nyata pada taraf 5 persen Berdasarkan Tabel 5.2, terlihat bahwa variabel PDRB berpengaruh nyata pada taraf 5 persen secara positif mempengaruhi investasi daerah. Jika PDRB meningkat satu persen, maka investasi daerah akan meningkat sebesar,82 persen. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara investasi dan PDRB yang cenderung positif dan juga didukung oleh scatter plot berikut ini: Scatterplot of PDRBT vs IT 3 25 PDRBT IT 8 9 Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.7. Pola Hubungan Investasi Daerah (IT) dengan PDRB (PDRBT) Suku bunga riil memberikan efek negatif yang tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa keputusan untuk berinvestasi di Kota Magelang tidak terlalu dipengaruhi oleh suku bunga riil, tetapi lebih memperhatikan kondisi infrastruktur dan biaya perizinan, keamanan, kurangnya

9 61 promosi serta faktor lainnya. Pola hubungan antara investasi dan suku bunga riil yang cenderung negatif ini juga terlihat pada scatter plot berikut : 35 Scatterplot of IRT vs IT 3 25 IRT Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.8. Pola Hubungan Investasi Daerah (IT) dengan Suku Bunga Riil (IRT) Variabel dummy desentralisasi fiskal menunjukkan pengaruh yang negatif. Artinya, investasi daerah menurun selama desentralisasi fiskal. Kondisi ini terjadi diduga disebabkan oleh pajak daerah yang tinggi. Selain itu juga bisa disebabkan karena infrastruktur yang kurang memadai, biaya perizinan yang mahal dan sulit sehingga investor menjadi tidak tertarik untuk melakukan investasi di Kota Magelang IT Pengeluaran Pemerintah Komponen ketiga dalam analisis kerja ekonomi Kota Magelang adalah pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah ini mencakup semua pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah sepanjang tahun mengalami peningkatan setiap tahunnya. Gambar 5.9 menyajikan perkembangan pengeluaran pemerintah Kota Magelang. Sejak tahun 21, pengeluaran pemerintah Kota Magelang terlihat langsung peningkatan bahkan sampai dua kali lipat yaitu pada tahun 21 sebesar ,57 juta rupiah hingga sebesar ,79 juta rupiah pada tahun 22.

10 62 Juta Rupiah G Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.9. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Kota Magelang Tahun Berdasarkan Gambar 5.6, peningkatan pengeluaran pemerintah ini sangat terkait dengan besarnya biaya penyelenggaraan pemerintahan daerah pada masa desentralisasi fiskal. Laju pertumbuhan pengeluaran pemerintah sepanjang tahun 1995 hingga 211 relatif berfluktuasi. Pada tahun 21, pertumbuhan pengeluaran pemerintah meningkat pesat hingga sebesar 17,7 persen. Pertumbuhan pengeluaran pemerintah sepanjang tahun 25 hingga 211 meningkat setiap tahunnya. Rata-rata pertumbuhan pengeluaran pemerintah sebelum desentralisasi fiskal relatif lebih tinggi yaitu sebesar 6,4 persen, sedangkan selama desentralisasi fiskal hanya sebesar 6,18 persen. Dugaan persamaan pengeluaran pemerintah dalam penelitian ini didasarkan pada hipotesis dimana tingkat pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh PDRB, total penerimaan pemerintah daerah, inflasi, dan dummy desentralisasi fiskal. Tabel 5.3 menyajikan hasil dugaan untuk persamaan pengeluaran pemerintah :

11 63 Tabel 5.3. Persamaan Dugaan Pengeluaran Pemerintah Kota Magelang Variable Parameter Standard Estimate Error t Value Pr > t Intercept -2,75846, ,79,163 LN PDRB 1,96956, ,5 <,1* Inflasi,5682,238 2,39,343* LN Total Penerimaan Pemerintah,1558,9182,2,9867 Dummy desentralisasi Fiskal,1348, ,7,1144 R-Square = Adj R-Sq = Durbin-Watson = 1, Keterangan : *) nyata pada taraf 5 persen Berdasarkan Tabel 5.3, menunjukkan bahwa variabel PDRB berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen terhadap pengeluaran pemerintah dengan nilai dugaan parameter sebesar 1,9. Artinya, jika PDRB meningkat satu persen maka pengeluaran pemerintah meningkat sebesar 1,9 persen (ceteris paribus). Semakin besar PDRB, maka bagian untuk pengeluaran pemerintah akan semakin besar. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan yang cenderung positif seperti ditunjukkan oleh gambar scatter plot berikut : Scatterplot of PDRBT vs GT 3 25 PDRBT Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.1. Pola Hubungan Pengeluaran Pemerintah (GT) dengan PDRB (PDRBT) GT

12 64 Variabel inflasi diduga memiliki hubungan yang negatif terhadap pengeluaran konsumsi pemerintah. Hasil persamaan dugaan di atas, tampak bahwa inflasi berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen. Hal ini artinya jika inflasi meningkat sebesar satu persen maka pengeluaran pemerintah akan meningkat sebesar,1 persen. Pola hubungan kedua variabel tersebut cenderung positif seperti digambarkan dalam scatter plot berikut ini : 2 Scatterplot of INFT vs GT 1 INFT GT Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Pengeluaran Pemerintah (GT) dengan Inflasi (INFT) Total penerimaan daerah tidak berpengaruh nyata terhadap pengeluaran pemerintah. Peningkatan total penerimaan daerah tidak berpengaruh terhadap pengeluaran pengeluaran pemerintah. Hal ini diduga terjadi karena keputusan pengeluaran pemerintah lebih dipengaruhi oleh kebutuhan daerah. Semakin meningkat kondisi perekonomian daerah maka kebutuhan daerah pun akan semakin meningkat. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah secara nyata dipengaruhi oleh PDRB Kota Magelang. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan total penerimaan daerah yang yang digambarkan oleh scatter plot pada Gambar 5.12.

13 65 5 Scatterplot of LTRT vs GT 4 LTRT Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Pengeluaran Pemerintah (GT) dengan Total Penerimaan Pemerintah (LTRT) Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal diduga mempengaruhi total pengeluaran konsumsi pemerintah pada taraf nyata 5 persen. Berdasarkan parameter dugaan, tampak bahwa dummy desentralisasi fiskal tidak berpengaruh secara nyata terhadap pengeluaran konsumsi pemerintah. Hal ini diduga karena pengeluaran pemerintah secara nyata dipengaruhi oleh PDRB dan inflasi sehingga pelaksanaan desentralisasi fiskal menjadi tidak berpengaruh terhadap pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah terus meningkat setiap tahunnya sehingga cenderung positif terhadap pelaksanaan desentralisasi fiskal. GT Pendapatan Daerah Kota Magelang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan cerminan dari program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah selama periode waktu tertentu. APBD dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan. Pada masa desentralisasi fiskal, terjadi pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

14 66 Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dbiayai atas beban APBD. 5 4 Juta Rupiah Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Total Pendapatan Daerah Kota Magelang Tahun Berdasarkan Gambar 5.13 dapat dilihat bahwa total pendapatan daerah Kota Magelang sepanjang tahun 1995 hingga 211 berfluktuasi. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal sepanjang tahun 1995 hingga 2, total pendapatan Kota Magelang berkisar antara juta rupiah hingga juta rupiah. Total pendapatan daerah Kota Magelang mengalami penurunan sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu dari tahun 1995 hingga 1998 akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat itu. Pelaksanaan desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan bagi daerah untuk dapat membangun dan memajukan masyarakat atas kemampuannya sendiri dan berusaha mengatasi hambatan dan kelemahan yang dihadapi dalam menangkap dan memanfaatkan peluang yang tersedia. Berdasarkan prinsip tersebut, maka pemerintah daerah berusaha untuk mengoptimalkan pendapatan daerahnya berdasarkan potensi yang ada di daerah. Sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal, total pendapatan daerah mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pada tahun 2, total pendapatan daerah hanya

15 67 sebesar juta rupiah dan mengalami peningkatan sebesar juta rupiah pada tahun 21 yang merupakan awal pelaksanaan desentralisasi fiskal. Pada tahun 21, pendapatan daerah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, yaitu sebesar 35,1 persen. Sejak tahun 21, total pendapatan daerah Kota Magelang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Total pendapatan daerah yang diperoleh Kota Magelang pada tahun 22 sebesar juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar juta rupiah pada tahun Perkembangan Komponen Pendapatan Daerah Kota Magelang Struktur APBD Kota Magelang terdiri atas dua bagian, yaitu : pendapatan daerah dan pengeluaran daerah. Berbagai sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tercantum dalam pendapatan daerah, antara lain : sisa lebih APBD tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan pendapatan lainnya yang sah. PAD merupakan pendapatan yang diperoleh daerah berdasarkan sumber-sumber yang terdapat di wilayahnya. Komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan laba usaha daerah. Dana perimbangan adalah pendapatan daerah yang berasal dari APBN, terdiri dari dana bagi hasil dan dana transfer. Dana bagi hasil tersebut terdiri dari dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. Sedangkan dana transfer terdiri dari dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Berdasarkan Gambar 5.14, komponen pendapatan daerah yang terdiri dari PAD dan dana bagi hasil selama tahun 1995 hingga 211 rata-rata mengalami peningkatan setiap tahunnya, terutama sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal telah mendorong pendapatan daerah Kota Magelang.

16 Juta Rupiah PAD SHR Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Perkembangan Komponen Pendapatan Daerah Kota Magelang Tahun Salah satu sumber pendapatan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah PAD. Jumlah PAD sepanjang tahun 1995 hingga 211 mengalami fluktuasi. Pada tahun 1995, PAD Kota Magelang sebesar juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar juta rupiah pada tahun Sejak tahun 21, jumlah PAD Kota Magelang mengalami peningkatan yaitu sebesar juta rupiah. Sepanjang tahun 26 hingga 28 PAD Kota Magelang mengalami penurunan, yaitu sebesar juta rupiah pada tahun 26 hingga sebesar juta rupiah pada tahun 28 tetapi rata-rata cenderung meningkat hingga tahun 211 yaitu sebesar juta rupiah. Komponen PAD, baik sebelum atau selama penetapan desentralisasi fiskal, tidak mengalami banyak perubahan. PAD terdiri dari empat komponen, yaitu : pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lain-lain PAD yang sah (hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, penjualan kendaraan bermotor, penjualan milik daerah lainnya dan jasa giro). Sepanjang tahun 1995 hingga 211, pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari pajak

17 69 mengalami peningkatan setiap tahunnya, sedangkan retribusi daerah dan bagian laba usaha daerah mengalami fluktuasi (Gambar 5.15). Juta Rupiah Pajak Retribusi Laba BUMD Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Perkembangan Komponen Pendapatan Asli Daerah Kota Magelang Tahun Pelaksanaan desentralisasi fiskal mendorong pemerintah daerah memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya untuk menggali potensi daerah dalam bentuk pajak dan retribusi daerah. Pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam menentukan jenis dan besarnya pungutan pajak dan retribusi daerah serta mengelola perusahaan daerah. Kewenangan dalam menentukan jenis dan besarnya pungutan pajak dan retribusi daerah ini diharapkan tidak menimbulkan biaya ekonomi tinggi yang berdampak pada perekonomian daerah. Pemerintah Kota Magelang sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal melaksanakan pemungutan terhadap (enam) jenis pajak, yaitu pajak penerangan jalan, pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame, pajak parkir dan pajak hiburan. Di sisi lain, pungutan retribusi daerah dilakukan terhadap 3 (tiga puluh) jenis retribusi. Di sisi lain, kontribusi bagian laba usaha daerah memberikan kontribusi paling rendah terhadap PAD. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah pada masa desentralisasi fiskal telah

18 7 mendorong peningkatan PAD yang bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah dan lain-lain PAD yang sah akan tetapi pemerintah Kota Magelang masih belum berhasil meningkatkan pendapatannya yang bersumber dari laba usaha daerah. Rendahnya pendapatan yang bersumber dari laba bersih usaha daerah disebabkan oleh skala usaha dari perusahaan daerah yang relatif kecil, pengelolaan perusahaan daerah yang dinilai kurang efektif dan efisien serta prioritas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat sehingga kontribusinya terhadap PAD relatif rendah. Komponen kedua dari total pendapatan daerah menurut APBD adalah dana perimbangan. Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk pelaksanaan pemerintahan daerah yang terdiri dari dana bagi hasil dan dana transfer. Dana bagi hasil merupakan alokasi yang berdasarkan potensi daerah penghasil sedangkan dana transfer merupakan dana yang ditansfer oleh pemerintah pusat yang bertujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah. Faktor yang mempengaruhi besarnya dana transfer yang diperoleh suatu daerah adalah potensi daerah yang rendah serta kebutuhan daerah yang besar. Perkembangan dana bagi hasil dan dana transfer yang diperoleh Kota Magelang pada masa sebelum dan selama desentralisasi fiskal mengalami fluktuasi sepanjang tahun 1995 hingga 211. Pendapatan dana bagi hasil tahun 1995 sebesar juta rupiah dan meningkat sebesar juta rupiah pada tahun 211. Dana transfer yang diperoleh Kota Magelang pada tahun 1995 sebesar juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar juta rupiah pada tahun 211.

19 71 Pelaksanaan desentralisasi fiskal menyebabkan beban pengeluaran pemerintah daerah semakin meningkat. Hal ini terjadi karena adanya pelimpahan pegawai dari Departemen dan kantor wilayah yang beralih status menjadi pegawai Pemerintah Kota Magelang akibat adanya kebijakan pemerintah pusat dan pemberlakuan desentralisasi fiskal serta adanya kebijakan kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) melalui Keppres Nomor 64 Tahun 21 tentang gaji pokok PNS. Pelimpahan pegawai ini menyebabkan pengeluaran pemerintah daerah meningkat pesat, oleh karena itu pemerintah pusat meningkatkan alokasi dana perimbangan (dana alokasi umum) kepada pemerintah daerah. Peningkatan dana transfer ini yang menyebabkan total pendapatan daerah pada masa desentralisasi fiskal meningkat Tingkat Kemampuan Keuangan Derah Kota Magelang Pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah merupakan parameter utama untuk menentukan derajat desentralisasi fiskal. Pendapatan tersebut mencakup pendapatan yang diterima yang berasal dari sumber-sumber yang dikelola oleh pemerintah daerah itu sendiri. Tingkat kemampuan daerah tercermin dari kontribusi pendapatan daerah sendiri (PAD dan dana bagi hasil) terhadap total pendapatan daerah. Besarnya nilai rasio pendapatan daerah sendiri menunjukkan tingkat kemandirian keuangan daerah. Sepanjang tahun 1995 hingga tahun 211, kontribusi pendapatan daerah sendiri terhadap total pendapatan daerah berkisar 9,1 persen hingga 21,29 persen terlihat pada Gambar 5.16.

20 72 Persen LOSHR TSRSF Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Tingkat Kemampuan Daerah Kota Magelang Pendapatan daerah Kota Magelang sebagian besar berasal dari dana transfer. Sejak tahun 1998, kontribusi dana transfer terhadap total pendapatan daerah relatif lebih besar dan meningkat setiap tahunnya, yaitu berkisar antara 2,6 persen hingga 75,11 persen. Peningkatan rasio dana transfer ini tertinggi terjadi pada tahun 26. Sepanjang tahun 26 hingga 211, kontribusi dana transfer terhadap pendapatan daerah mengalami penurunan. Sedangkan peningkatan rasio pendapatan daerah sendiri terhadap total pendapatan daerah semakin meningkat sepanjang tahun 26 hingga 211. Hal ini berarti bahwa pada masa desentralisasi fiskal, tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Magelang cenderung meningkat Potensi Keuangan Daerah Pelaksanaan desentralisasi fiskal memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dimanfaatkan untuk membuat kebijakan dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah, seperti kebijakan peningkatan PAD dan dana

21 73 bagi hasil. Potensi keuangan daerah merupakan ukuran seberapa besar penerimaan keuangan yang didapatkan oleh pemerintah daerah baik itu berupa pendapatan dari daerah sendiri ataupun dana sumbangan dari pemerintah pusat. Potensi keuangan yang dianalisis dalam model dugaan terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba usaha daerah dan dana bagi hasil Pajak Daerah Pajak merupakan salah satu komponen PAD Kota Magelang. Pendugaan persamaan pajak daerah didasarkan pada hipotesis bahwa pajak daerah dipengaruhi oleh pendapatan perkapita, jumlah populasi, basis pajak daerah, inflasi dan dummy desentralisasi fiskal. Variabel pendapatan perkapita, jumlah populasi, basis pajak daerah, inflasi dan dummy desentralisasi fiskal diduga berpengaruh positif terhadap pajak daerah Kota Magelang. Tabel 5.4 menyajikan hasil dugaan persamaan pajak daerah Kota Magelang. Tabel 5.4. Persamaan Dugaan Pajak Daerah Kota Magelang Variable Parameter Standard t Estimate Error Value Pr > t Intercept 154, ,199 1,16,2728 LN PDRBC 1, ,564486,87,431 LN Jumlah Kamar Hotel -6, , ,51,168 Inflasi -,67, ,14,8929 LN Jumlah Perusahaan 1,3747, ,86,924* LN Jumlah Populasi -9, , ,87,458 Dummy desentralisasi Fiskal -,54791,8811 -,62,5475 R-Square =.8231 Adj R-Sq = Durbin-Watson =2,83157 Keterangan : *) nyata pada taraf 5 persen **) nyata pada taraf 1 persen Variabel jumlah perusahaan merupakan proxy dari pajak reklame. Berdasarkan hasil pengolahan data, maka jumlah perusahaan mempengaruhi

22 74 pendapatan pajak secara positif dan nyata pada taraf 1 persen. Elastisitasnya sebesar 1,37 yang berarti apabila terjadi kenaikan jumlah perusahaan sebesar satu persen maka akan meningkatkan penerimaan pajak daerah sebesar 1,37 persen (ceteris paribus). Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara kedua variabel tersebut yang cenderung positif, seperti digambarkan dalam scatter plot berikut: 6 Scatterplot of PRST vs TAXT 5 4 PRST TAXT 5 Sumber : Dispenda dan Dinas Perindustrian Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Pajak Daerah (TAXT) dengan Jumlah Perusahaan (PRST) Variabel pendapatan perkapita tidak berpengaruh nyata terhadap pajak daerah pada taraf 5 persen. Hal ini diduga terjadi karena peningkatan pendapatan perkapita tidak serta-merta mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsinya atas jasa publik, namun cenderung berperilaku hemat dengan membuat prioritas alokasi pendapatannya untuk kebutuhan pokok. Peningkatan pendapatan perkapita tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan pajak seperti juga didalam penelitian Yuliyati (22). Pernyataan ini didukung dengan pola hubungan antara pajak daerah dengan pendapatan perkapita yang cenderung positif seperti digambarkan dalam scatter plot berikut: 6 7

23 75 28 Scatterplot of PDRBCT vs TAXT PDRBCT Sumber : BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Pajak Daerah (TAXT) dengan Pendapatan perkapita (PDRBCT) Jumlah kamar hotel diduga berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen. Akan tetapi berdasarkan hasil pengolahan diatas tidak sesuai dengan hipotesis, yaitu bahwa jumlah kamar hotel tidak berpengaruh nyata dan cenderung berhubungan negatif terhadap pajak daerah. Hal ini menandakan bahwa tingkah laku dari pajak yang dihasilkan dari jumlah kamar hotel tidak berpengaruh terhadap pajak hotel dan cenderung berhubungan negatif dikarenakan pelaku pajak hotel tidak menginap di hotel sehingga cenderung negatif. Selain itu juga jumlah perusahaan yang merupakan proxy dari pajak reklame lebih berpengaruh terhadap pajak daerah. Pola hubungan kedua variabel tersebut dapa juga digambarkan dalam scatter plot berikut ini : 3 4 TAXT Scatterplot of HTLT vs TAXT 8 75 HTLT TAXT 5 6 Sumber : Dispenda dan Dinas Pariwisata Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Pajak Daerah (TAXT) dengan Jumlah Kamar Hotel(HTLT) 7

24 76 Variabel inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pajak daerah. Inflasi daerah tidak berpengaruh nyata dan cenderung negatif terhadap pajak daerah. Hal ini diduga terjadi karena pajak merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh badan atau pribadi kepada daerah. Oleh karena itu walaupun tingkat inflasi daerah mengalami peningkatan atau penurunan, para wajib pajak tetap harus membayar pajak daerah kepada pemerintah daerah. Selain itu juga dikarenakan harga sudah diriilkan sehingga inflasi tidak berpengaruh. Pernyataan ini didukung dengan pola hubungan antara pajak daerah dengan inflasi yang cenderung positif seperti digambarkan dalam scatter plot berikut ini : 2 Scatterplot of INFT vs TAXT 1 INFT TAXT 5 6 Sumber : Dispenda dan BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.2. Pola Hubungan Pajak Daerah (TAXT) dengan Inflasi (INFT) Jumlah populasi tidak berpengaruh nyata dan cenderung negatif terhadap pajak daerah. Hal ini diduga terjadi karena semakin bertambahnya jumlah populasi tidak terjadi peningkatan pajak daerah. Banyaknya populasi yang tidak membayar iuran wajib pajak (pajak penghasilan) sehingga semakin bertambahnya populasi tidak sebanding dengan peningkatan penerimaan pajak serta banyak penduduk yang sudah tidak produktif. Pola hubungan antara variabel pajak daerah dengan jumlah populasi yang digambarkan dalam scatter plot berikut ini : 7

25 Scatterplot of POPT vs TAXT POPT TAXT Sumber : Dispenda dan BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Pajak Daerah (TAXT) dengan Populasi (POPT) Pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal yang diwakili oleh variabel dummy desentralisasi fiskal dihipotesiskan memberikan pengaruh yang positif terhadap penerimaan pajak daerah. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang negatif namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Ketidaknyataan itu bisa mengartikan bahwa penerapan desentralisasi fiskal tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah. Gambar 5.22 menyajikan perubahan penerimaan pajak daerah sebelum maupun selama desentralisasi fiskal Juta Rupiah Pajak Daerah (Juta Rupiah) Sumber : Dispenda Kota Magelang, (diolah) Gambar Perkembangan Pajak Daerah Kota Magelang Tahun Berdasarkan Gambar 5.22, menunjukkan bahwa pajak daerah mengalami fluktuasi yang bervariasi selama periode tersebut. Sejak tahun 21 yaitu awal pelaksanaan desentralisasi fiskal, pajak daerah mengalami peningkatan hingga

26 78 tahun 211 meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 26 dan 28 tetapi rata-rata cenderung meningkat. Pada tahun 21 pajak daerah sebesar juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar juta rupiah. Tabel 5.5. Komposisi Penerimaan Pajak Daerah (jutaan rupiah) No Jenis Pajak Pajak Hotel 37.31, , , , ,33 2 Pajak Restoran , , , , ,57 3 Pajak Hiburan , , , , ,9 4 Pajak Reklame , , , , ,29 5 Pajak Penerangan Jalan , , , , ,3 6 Pajak Bahan Galian GOL C 7 Pajak Parkir , , , , 8 Pajak Sarang Burung , 12.35, 12.5, Sumber : Dispenda Kota Magelang, (diolah) Peningkatan yang terjadi setelah penerapan desentralisasi fiskal tampaknya bukan disebabkan oleh kebijakan tersebut namun oleh peningkatan komponenkomponen pajak daerah. Berdasarkan Tabel 5.6 menunjukkan bahwa komposisi penerimaan pajak daerah selama periode 27 hingga 211 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Menurut Realisasi APBD Tahun Anggaran 27 hingga 211, pajak yang memberikan kontribusi terbesar adalah pajak penerangan jalan dan pajak restoran. Pada tahun 27, pajak penerangan jalan berkontribusi sebesar ,4 juta rupiah sedangkan pajak restoran berkontribusi sebesar ,49 juta rupiah. Kedua komponen utama tersebut setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan hingga tahun 211. Selain itu, komponen pajak lainnya seperti pajak hotel, pajak hiburan, pajak reklame, pajak parkir, pajak bahan galian golongan C dan pajak sarang burung juga mengalami peningkatan setiap tahunnya.

27 Retribusi Daerah Retribusi daerah merupakan komponen kedua yang memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan asli daerah Kota Magelang. Pendapatan retribusi daerah Kota Magelang pada masa sebelum desentralisasi fiskal mengalami penurunan, yaitu berkisar antara juta rupiah hingga juta rupiah. Adanya penerapan desentralisasi fiskal pendapatan retribusi daerah Kota Magelang mengalami peningkatan sepanjang tahun 21 sebesar juta rupiah hingga tahun 28 sebesar juta rupiah. Pada tahun 29, retribusi daerah mengalami penurunan yaitu sebesar juta rupiah dengan pertumbuhan sebesar -79,52 persen tetapi, tahun berikutnya mengalami peningkatan dan pertumbuhannya rata-rata cenderung meningkat. Gambar 5.23 menyajikan perkembangan retribusi daerah Kota Magelang. 5 4 Juta Rupiah Sumber : Dispenda Kota Magelang, (diolah). Gambar Perkembangan Retribusi Daerah Kota Magelang Tahun Untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi retribusi daerah, maka dirumuskan model dugaan retribusi daerah. Dugaan persamaan retribusi daerah didasarkan pada hipotesis bahwa penerimaan retribusi daerah diduga dipengaruhi oleh pendapatan perkapita, konsumsi jasa publik (rekreasi), inflasi dan dummy

28 8 desentralisasi fiskal yang memberikan pengaruh positif. Dalam hal ini, pendapatan perkapita menggambarkan kemampuan membayar masyarakat. Tabel 5.6. Persamaan Dugaan Retribusi Daerah Kota Magelang Variable Parameter Estimate Standard Error Intercept 13,517 4,8871 2,81,158 LN PDRBC -3,3423 1, ,7,192* Inflasi -,83, ,26,819 LN Jumlah Wisatawan,79149,4291 1,97,726** Dummy desentralisasi Fiskal,6368 1,212483,52,6124 R-Square = Adj R-Sq =.3674 Durbin-Watson = 1, Keterangan : *) nyata pada taraf 5 persen **) nyata pada taraf 1 persen Potensi retribusi yang cukup besar di Kota Magelang adalah dari jasa pelayanan kesehatan (baik oleh Rumah Sakit Umum maupun Puskesmas). Karena adanya keterbatasan data maka basis retribusi daerah yang dipakai dalam permodelan ini adalah jumlah pengunjung tempat rekreasi. Inflasi merupakan proxy faktor ekonomi eksternal sedangkan peubah dummy digunakan untuk membedakan kondisi sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal yang mungkin dapat mempengaruhi penerimaan retribusi daerah. t Value Pendapatan perkapita memberikan pengaruh yang negatif dan nyata pada taraf 5 persen terhadap pendapatan retribusi daerah Kota Magelang. Nilai elastisitasnya sebesar -3,3 persen. Artinya apabila terjadi peningkatan pendapatan perkapita masyarakat sebesar satu persen maka penerimaan retribusi daerah akan menurun sebesar 3,3 persen (ceteris paribus). Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara pendapatan perkapita dengan retribusi daerah yang cenderung negatif seperti digambarkan pada scatter plot berikut ini: Pr > t

29 81 28 Scatterplot of PDRBCT vs NTAXT PDRBCT NTAXT Sumber : Dispenda dan BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Retribusi Daerah (NTAXT) dengan Pendapatan perkapita (PDRBCT) Berdasarkan Gambar 5.24 menunjukkan pola hubungan antara retribusi daerah dan pendapatan perkapita yang cenderung ke arah negatif Pendapatan perkapita ini menggambarkan tingkat kemampuan masyarakat, sehingga apabila pendapatan perkapita semakin kecil maka kemampuan konsumsi jasa publik akan semakin kecil dan retribusi daerah akan mengalami penurunan. Inflasi diduga memberikan pengaruh yang negatif dan nyata pada taraf 5 persen. Hal ini berarti bahwa inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap retribusi daerah. Inflasi menyebabkan daya beli masyarakat menurun sehingga retribusi daerah menurun secara riilnya karena adanya inflasi. Pola hubungan antara retribusi daerah dan inflasi yang cenderung negatif dan nyata secara statistik juga digambarkan dalam scatter plot berikut ini : Scatterplot of INFT vs NTAXT 1 INFT NTAXT 4 5 Sumber : Dispenda dan BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Retribusi Daerah (NTAXT) dengan Inflasi (INFT)

30 82 Variabel jumlah wisatawan berpengaruh positif terhadap retribusi daerah dengan nilai dugaan parameter sebesar,79. Artinya jika terjadi peningkatan jumlah wisatawan sebanyak satu persen (ceteris paribus), maka pendapatan retribusi daerah Kota Magelang akan meningkat sebesar,79 persen. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara jumlah wisatawan dengan retribusi daerah yang cenderung positif (Gambar 5.26). Selain itu, pelaksanaan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif terhadap retribusi daerah. Penerapan desentralisasi fiskal tidak serta merta meningkatkan retribusi daerah. Peningkatan retribusi daerah pada masa desentralisasi fiskal lebih didorong oleh faktor-faktor lain seperti pendapatan perkapita, jumlah wisatawan dan lain sebagainya. 12 Scatterplot of RECT vs NTAXT 1 8 RECT Sumber : Dispenda dan Dinas Pariwisata Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Retribusi Daerah (NTAXT) dengan jumlah wisatawan (RECT) Jika dikaitkan dengan kinerja perekonomian yang semakin baik setelah desentralisasi fiskal, tampaknya juga didukung oleh peningkatan retribusi. Peningkatan retribusi juga meningkatkan konsumsi rumah tangga terhadap jasa publik. Jadi pada akhirnya peningkatan retribusi daerah berkontribusi pada kinerja perekonomian Kota Magelang. 2 3 NTAXT 4 5

31 Laba Perusahaan Daerah Kota Magelang memiliki dua perusahaan daerah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat pada umumnya. Perusahaan daerah yang dimiliki Kota Magelang antara lain : Peursahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan Perusahaan Daerah Bank Pasar. Pengelolaan perusahaan daerah tersebut harus dilakukan secara efisien dan efektif untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang baik. Juta Rupiah Sumber : Dispenda Kota Magelang, (diolah) Gambar Perkembangan Laba Perusahaan Kota Magelang Tahun Laba perusahaan daerah merupakan komponen PAD yang mengalami fluktuasi sepanjang tahun 1995 hingga 211. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, laba perusahaan daerah mengalami penurunan yaitu sebesar juta rupiah hingga juta rupiah pada tahun 2. Sedangkan pada masa desentralisasi fiskal laba perusahaan daerah mengalami peningkatan setiap tahunnya sepanjang tahun 21 hingga 211, yaitu berkisar antara juta rupiah hingga juta rupiah. Pada tahun 25 terjadi peningkatan laba perusahaan daerah yang sangat pesat dan bahkan tiga kali lipat sebesar juta rupiah dengan pertumbuhannya sebesar 258,82 persen.

32 84 Dugaan persamaan laba bersih perusahaan daerah Kota Magelang dipengaruhi oleh pendapatan perkapita, konsumsi jasa publik perusahaan daerah, populasi dan tingkat suku bunga secara positif. Variabel pendapatan perkapita mencerminkan kemampuan membayar, penjualan (konsumsi) air minum sebagai proxy konsumsi jasa publik. Persamaan dugaan laba perusahaan daerah berdasarkan Tabel 5.1 menunjukkan bahwa laba perusahaan daerah secara signifikan dipengaruhi oleh dummy desentralisasi fiskal pada taraf nyata 1 persen. Tabel 5.7. Persamaan Dugaan Laba Perusahaan Deerah Variable Parameter Standard Estimate Error t Value Pr > t Intercept -356, ,457-2,14,552 LN PDRBC -, , ,2,8435 LN Jumlah Konsumsi Air Minum 9,382 6, ,5,163 Suku Bunga -,4144, ,41,6922 LN Jumlah Populasi 18, , ,77,138 Dummy desentralisasi Fiskal 3, ,547 2,2,548* R-Square =,68293 Adj R-Sq =,5388 Durbin-Watson = 1, Keterangan : *) nyata pada taraf 1 persen Pendapatan perkapita diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan laba perusahaan daerah namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal tersebut bisa disebabkan belum memanfaatkan semua pelayanan dan jasa yang disediakan oleh perusahaan daerah. Sebagai contoh, perusahaan daerah air minum (PDAM) hingga saat ini hanya mampu memberikan pelayanan kepada 47 persen masyarakat Kota Magelang. Hal ini berarti bahwa tingkah laku tidak berpengaruh sehingga pendapatan perkapita tidak berpengaruh terhadap laba perusahaan daerah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara laba perusahaan

33 85 daerah dan pendapatan perkapita seperti digambarkan pada scatter plot dibawah ini: 28 Scatterplot of PDRBCT vs PRFTT PDRBCT Sumber : Dispenda dan BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Laba Perusahaan Daerah (PRFT) dengan Pendapatan Perkapita (PDRBC) Jumlah konsumsi air minum diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan laba perusahaan daerah namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal ini diduga terjadi karena pelayanan air bersih yang dilakukan oleh PDAM di Kota Magelang belum maksimal untuk melayani kepentingan publik. Pola hubungan antara kedua varaiabel ini cenderung negatif yang tergambarkan pada scatter plot berikut ini : PRFTT Scatterplot of WTRT vs PRFTT WTRT PRFTT Sumber : Dispenda dan BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Laba Perusahaan Daerah (PRFT) dengan Jumlah Konsumis Air Minum (WTRT)

34 86 Variabel suku bunga dan jumlah populasi tidak berpengaruh terhadap laba perusahaan daerah. Hal ini diduga terjadi peningkatan jumlah populasi dan menurunnya suku bunga tidak mampu meningkatkan laba perusahaan daerah, sehingga skala usaha perusahaan daerah menjadi kurang efektif dan efisien karena biaya pengelolaan perusahaan daerah yang relatif lebih besar. Sedangkan variabel dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan nyata pada taraf 1 persen. Artinya, penerapan desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan laba perusahaan daerah. Hal ini berarti pelaksanaan desentralisasi fiskal bisa memperbaiki dan pengelolaan perusahaan daerah untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dan berkontribusi besar pada pendapatan asli daerah Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. Dana bagi hasil yang diperoleh Kota Magelang sepanjang tahun 1995 hingga 211 berfluktuasi. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal mengalami penurunan, yaitu berkisar antara juta rupiah pada tahun 1995 hingga juta rupiah pada tahun 2. Pada masa desentralisasi fiskal penerimaan dana bagi hasil mengalami peningkatan. Sejak tahun 21 dana bagi hasil terlihat langsung peningkatan dan bahkan sampai dua kali lipat yaitu sebesar juta rupiah dan meningkat menjadi juta rupiah pada tahun 22 dengan pertumbuhan 121,35 persen. Pada tahun berikutnya hingga tahun 211 dana bagi hasil meningkat terus setiap tahunnya.

35 87 Gambar 5.3 menyajikan perkembangan dana bagi hasil Kota Magelang sebagai berikut : Juta Rupiah Sumber : Dispenda Kota Magelang, (diolah) Gambar 5.3. Perkembangan Dana Bagi Hasil Kota Magelang Tahun Sumber bagi hasil pajak daerah kabupaten dan kota adalah PBB dan pajak kendaran bermotor atau bea balik nama kendaraan bermotor,bea perolehan hak atas tanah dan bangunan serta pajak bahan bakar. Berikut ini adalah komposisi penerimaan dana bagi hasil pada tahun anggaran 211. Tabel 5.8. Komposisi Dana Bagi Hasil Anggaran Tahun 211 (Juta Rupiah) Bagi Hasil Pajak ,64 PBB ,3 Pajak Penghasilan OPDN dan PPH Pasal ,17 Penerimaan Insentif PBB ,27 DAK dari Cukai Hasil Tembakau ,48 Bagi Hasil Bukan Pajak /SDA ,72 Iuran Tetap ,53 Pertambangan Umum ,8 Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan ,24 Pertambangan Gas Bumi 5.89,54 Pertambangan Minyak Bumi 71.69,33 Sumber : Dispenda Kota Magelang (diolah).

36 88 Berdasarkan Tabel 5.8, penerimaan bagi hasil pajak lebih besar daripada penerimaan bagi hasil non pajak yaitu bagai hasil sumber daya alam. Komposisi bagi hasil pajak yang berkontribusi besar pada tahun 211 adalah komponen pajak bumi dan bangunan (PBB). Variabel yang dapat menjadi proxy dari PBB sulit didapatkan. Dalam penelitian ini digunakan pendapatan perkapita sebagai ukuran kemampuan membayar pajak. Inflasi dan pertumbuhan populasi digunakan sebagai proxy faktor eksternal, serta peubah dummy digunakan untuk membedakan kondisi sejauh mana kebijakan desnetralisasi fiskal mempengaruhi penerimaan bagi hasil pajak bukan pajak. Tabel 5.9. Persamaan Dugaan Dana Bagi Hasil Variable Parameter Standard Estimate Error t Value Pr > t Intercept 12,62611, ,33 <,1 LN PDRBC 1,5327, ,43,8* LN Jumlah Kendaraan Bermotor -,3659, ,49,6339 Inflasi -,1482,856-1,74,171 Dummy desentralisasi Fiskal -,1575, ,39,75 R-Square =,6868 Adj R-Sq =,58143 Durbin-Watson =2, Keterangan : *) nyata pada taraf 5 persen Pendapatan perkapita memberikan pengaruh yang positif dan nyata pada taraf 5 persen kepada pendapatan bagi hasi Kota Magelang. Nilai elastisitasnya sebesar 1,53 yang berarti apabila terjadi peningkatan pendapatan perkapita masyarakat sebesar satu persen maka penerimaan bagi hasil akan meningkat sebesar 1,53 persen (ceteris paribus). Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara dana bagi hasil dan pendapatan perkapita cenderung positif seperti terlihat pada scatter plot pada Gambar 5.31.

37 89 28 Scatterplot of PDRBCT vs SHRT PDRBCT SHRT 2 25 Sumber : Dispenda dan BPS Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Dan Bagi Hasil (SHRT) dengan Pendapatan Perkapita (PDBRCT) Jumlah kendaraan bermotor diduga berpengaruh positif terhadap dana bagi hasil namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal tersebut bisa disebabkan karena kontribusi dari jumlah kendaraan bermotor yang merupakan pajak kendaraan bermotor kecil. Selain itu juga menurut Irdhania (29), potensi bagi hasil yang besar bersumber dari PBB dan bea perolehan hak atas tanah bangunan (BPHTB) dimana persentase bagi hasilnya 9 persen, sehingga jumlah kendaraan bermotor tampaknya tidak terlalu mempengaruhi penerimaan bagi hasil. Pola hubungan antara kedua variabel tersebut tergambarkan pada scatter plot berikut ini : 1 Scatterplot of VEHT vs SHRT 8 6 VEHT SHRT 2 25 Sumber : Dispenda dan Kantor Samsat Kota Magelang, (diolah) Gambar Pola Hubungan Dan Bagi Hasil (SHRT) dengan Jumlah Kendaraan Bermotor (VEHT)

38 9 Tidak hanya variabel jumlah kendaraan bermotor, variabel inflasi dan dummy desentralisasi fiskal juga tidak berpengaruh nyata terhadap dana bagi hasil. Variabel inflasi diduga berpengaruh positif namun tidak berpengaruh terhadap dana bagi hasil. Hal ini berarti bahwa inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap dana bagi hasil. Selain itu, dummy desentralisasi fiskal diduga berpengaruh positif dan nyata terhadap dana bagi hasil. Berdasarkan hasil pengolahan bahwa penerapan desentralisasi fiskal tidak memberikan pengaruh terhadap penerimaan dana bagi hasil. Hal itu disebabkan karena pendapatan perkapita yang lebih berpengaruh terhadap penerimaan dana bagi hasil.

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan dampak reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series merupakan data

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan pembangunan yang dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh karena itu hasil pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H

ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H14053127 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), variabel-variabel yang diteliti serta penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya.

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerah yang menentukan

Lebih terperinci

ANALISIS PADA CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN KABUPATEN KUDUS DAN KABUPATEN JEPARA TAHUN ANGGARAN Oleh : Yusshinta Polita Gabrielle Pariury

ANALISIS PADA CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN KABUPATEN KUDUS DAN KABUPATEN JEPARA TAHUN ANGGARAN Oleh : Yusshinta Polita Gabrielle Pariury ANALISIS PADA CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN KABUPATEN KUDUS DAN KABUPATEN JEPARA TAHUN ANGGARAN 2007 Oleh : Yusshinta Polita Gabrielle Pariury 1. Kebijakan Ekonomi Makro Berdasarkan SAP No.4, CaLK harus

Lebih terperinci

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat 1 Desentralisasi Politik dan Administrasi Publik harus diikuti dengan desentralisasi Keuangan. Hal ini sering disebut dengan follow money function. Hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa melalui otonomi daerah, pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 butir 5, yang dimaksud dengan otonomi

Lebih terperinci

APBD KABUPATEN GARUT TAHUN ANGGARAN ) Target dan Realisasi Pendapatan

APBD KABUPATEN GARUT TAHUN ANGGARAN ) Target dan Realisasi Pendapatan APBD KABUPATEN GARUT TAHUN ANGGARAN 2006 1) dan Pendapatan Dalam tahun anggaran 2006, Pendapatan Daerah ditargetkan sebesar Rp.1.028.046.460.462,34 dan dapat direalisasikan sebesar Rp.1.049.104.846.377,00

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990).

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, baik di sektor publik maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990). Pembangunan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI A. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi ekonomi makro yang baik, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup segala bidang yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Rusyadi, 2005).

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara, dimana kawasan daerahnya terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Pelaksanaan Otonomi Daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab yang diletakkan pada Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang. Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang. Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian kewenangan otonomi daerah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana pemerintah daerah

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB VIII EKONOMI DAN KEUANGAN

BAB VIII EKONOMI DAN KEUANGAN BAB VIII EKONOMI DAN KEUANGAN Tujuan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 adalah memberikan otonomi yang luas kepada setiap daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan menumbuhkembangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Akhir pemerintahan orde baru merupakan langkah awal bagi Bangsa Indonesia untuk berpindah kebijakan yang semula kebijakan sentralisasi menjadi kebijakan desentralisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kesatuan, Indonesia mempunyai fungsi dalam membangun masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana. mandiri menghidupi dan menyediakan dana guna membiayai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana. mandiri menghidupi dan menyediakan dana guna membiayai kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 diperlukan ketersediaan dana yang besar. Pemerintah sebagai pengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era reformasi saat ini, Pemerintah Indonesia telah mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi yang berarti pemerintah daerah dapat mengurus keuangannya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Tulungagung Berdasarkan ringkasan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Tulungagung, setiap tahunnya

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI Oleh: Muhammad Alfa Niam Dosen Akuntansi, Universitas Islam Kadiri,Kediri Email: alfa_niam69@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan permasalahan jangka panjang yang menjadi tolak ukur dalam mengukur

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan pemerintahan sendiri sedangkan daerah adalah suatu wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Otonomi Daerah a. Pengertian Otonomi Daerah Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah"

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KABUPATEN BOGOR. Oleh : ANNISA IRDHANIA H

ANALISIS DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KABUPATEN BOGOR. Oleh : ANNISA IRDHANIA H ANALISIS DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KABUPATEN BOGOR Oleh : ANNISA IRDHANIA H14050761 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam upaya pelaksanaan pembangunan nasional, hal yang paling penting adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan pengeluaran pemerintah

Lebih terperinci

1. Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun Anggaran Anggaran Setelah

1. Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun Anggaran Anggaran Setelah ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH KABUPATEN GARUT TAHUN 2005 A. PENDAPATAN 1. dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2005 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1 Pajak Daerah 5.998.105.680,00 6.354.552.060,00

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keuangan Daerah. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keuangan Daerah. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori Adapun tinjauan teori dalam penelitian ini meliputi: (i) Otonomi Daerah, (ii) Keuangan Daerah, (iii) Analisis Kinerja dan Kemampuan Keuangan Daerah. Penjelasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya merupakan peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kota Bogor Salah satu indikator perkembangan ekonomi suatu daerah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Barat.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Barat. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Barat. 5.1.1. Perkembangan Pajak Daerah (PD). Untuk melihat atau memprediksi perkembangan pajak daerah pada masa yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan daerah pemekaran yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan dalam pembangunan nasional sangat didukung oleh pembiayaan yang berasal dari masyarakat, yaitu penerimaan pajak. Segala bentuk fasilitas umum seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Belanja Daerah Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun bantuan dari pemerintah pusat akan digunakan untuk membiayai seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2008:96) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok PAD dipisahkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 13 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Anggaran Daerah Perencanaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkkan dari proses manajemen organisasi. Demikian juga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah

Lebih terperinci

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat. Kesejahteraan kehidupan masyarakat dapat dicapai jika pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN 2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1 Stewardship Theory Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship Theory, Teori Stewardship menjelaskan mengenai situasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kinerja Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Timur

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kinerja Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Timur IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kinerja Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Timur Pada bab ini dikemukakan deskripsi dan analisis hasil penelitian yang diperoleh melalui pengukuran dan pengujian

Lebih terperinci

DATA ISIAN SIPD TAHUN 2017 BPPKAD KABUPATEN BANJARNEGARA PERIODE 1 JANUARI SAMPAI DENGAN 8 JUNI 2017

DATA ISIAN SIPD TAHUN 2017 BPPKAD KABUPATEN BANJARNEGARA PERIODE 1 JANUARI SAMPAI DENGAN 8 JUNI 2017 DATA ISIAN SIPD TAHUN 2017 BPPKAD KABUPATEN BANJARNEGARA PERIODE 1 JANUARI SAMPAI DENGAN 8 JUNI 2017 JENIS DATA 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Satuan Data XIX. RINGKASAN APBD I. Pendapatan Daerah - 584244829879

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mengakibatkan banyak dampak bagi daerah, terutama terhadap kabupaten dan kota. Salah satu dampak otonomi daerah dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan juga jumlah kendaraan bermotor Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang memberikan hak kepada setiap warganya untuk ikut berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu landasan yuridis bagi pengembangan Otonomi Daerah di Indonesia adalah lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pengganti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemandirian pembangunan diperlukan baik tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

MASALAH UMUM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH

MASALAH UMUM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH MASALAH UMUM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH 1. Kebutuhan anggaran (fiscal need) dan kapasitas anggaran (fiscal capacity) tidak seimbang 2. Tanggapan negatif atas layanan publik. Rendahnya ketaatan membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional, Indonesia menganut pada asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat yaitu melalui pembangunan yang dilaksanakan secara merata. Pembangunan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam penerimaan negara non migas. Berdasarkan sudut pandang fiskal, pajak adalah penerimaan negara yang digunakan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci