..(20) training area (Gambar 15) yang diperoleh dari pengecekan di lapang.

dokumen-dokumen yang mirip
Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 3 Aliran energi dan massa III METODOLOGI. Variabel neraca energi. Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 )

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMODELAN PENGARUH JARAK JANGKAU RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP SUHU PERMUKAAN DI PERKOTAAN ( Studi Kasus : Kota Bogor ) PUTRI YASMIN NURUL FAJRI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Kelima (SUHU UDARA)

ix

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Peta DAS penelitian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Gambar 2. Profil suhu dan radiasi pada percobaan 1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

Derajat dari reaksi biokimia pada suatu organisme dipengaruhi oleh:

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STAF LAB. ILMU TANAMAN

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

Transkripsi:

bertanda positif, dinyatakan dalam transformasi kuasa dengan persamaan berikut : ( )..(20) { Salah satu metode penaksiran yang dapat digunakan ialah metode maksimum likelihood (Draper & Smith, 1981). Validasi Model Proses validasi model dimaksudkan untuk menguji kelayakan model untuk menduga titik-titik lain di wilayah kajian. Validasi dilakukan dengan menggunakan 20% dari titik amatan. Pada penelitian ini, diambil 229 titik amatan, sehingga data yang digunakan untuk validasi adalah sebanyak 59 data dengan titik tersebar secara acak dan mewakili seluruh wilayah kajian. Bila hasil validasi dianggap baik, maka persamaan dapat diaplikasikan kepada berbagai pihak yang terkait. training area (Gambar 15) yang diperoleh dari pengecekan di lapang. Badan air Vegetasi tinggi Rumput/semak Sawah Lahan terbangun Ladang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Kota Bogor Secara astronomis, Kota Bogor terletak pada 106 o 43 30 BT 106 o 51 00 BT dan 6 o 30 30 LS 6 o 41 00 LS dengan luas wilayah adalah 21.56 Km 2. Dalam penelitian ini, wilayah Bogor yang dikaji terletak pada 106 o 48'40'' BT - 106 o 46'22'' BT dan 6 o 30'53'' LS - 6 o 40'08'' LS. Kota Bogor berada pada ketinggian 190 hingga 300 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini terbilang sejuk dengan suhu udara rata-rata tiap bulannya adalah 26 o C dengan kelembaban nisbi pada tahun 2006 sebesar 81%. Suhu terendah Bogor mencapai 21.8 o C yang sering terjadi pada bulan Desember hingga Januari. 4.2. Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Satelit Landsat Klasifiikasi penutupan lahan di Bogor melalui interpretasi citra satelit Landsat 5 TM+ pada tanggal akuisisi 18 Mei 2006 dilakukan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing (supervised classification) menggunakan teknik maaximum likelyhood. Penutupan lahan (land cover) pada wilayah kajian diklasifikasikan menjadi tujuh kelas, yaitu badan air, lahan terbangun, ladang, rumput/semak, sawah, sawit dan vegetasi tinggi. Masing masing diklasifikasikan berdasarkan kelas spektral melalui beberapa Sawit Gambar 15 Trainning area pada klasifikasi tutupan lahan. Akurasi klasifikasi lahan tersebut diperoleh dengan mecocokkan hasil ground check dengan hasil klasifikasi pada citra. Berdasarkan uji akurasi, didapatkan bahwa klasifikasi lahan pada penelitian di area studi, sebesar 95.65% dan nilai kappa statistik sejumlah 0.9454. Nilai akurasi dan kappa tersebut menunjukkan adanya kesalahan klasifikasi sebesar 4.35% dengan perbedaan hasil klasifikasi terhadap ground truth sebesar 5.46% dari kondisi sebenarnya. Dengan demikian, klasifikasi penutupan pada penelitian ini telah menghampiri kondisi penutupan lahan yang sebenarnya pada wilayah kajian. Hal ini ditandai dengan nilai akurasi dan kappa statistik yang lebih dari 85%. Tabel 6 Klasifikasi penutupan lahan Bogor tahun 2006 Penutupan Luas Lahan (Ha) Luas (%) Badan air 505 4.7 Sawah 2357 22.1 Vegetasi tinggi 1704 15.9 Semak/rumput 2786 26.1 15

Sawit 118 1.1 Ladang 7434 69.6 Lahan terbangun 6616 62 Total 10674 100 Hasil klasifikasi penutupan lahan pada daerah studi menunjukkan bahwa wilayah Bogor didominasi oleh lahan pertanian sebesar 65.95% dari keseluruhan penutupan lahan di Bogor. Penutupan lahan berupa vegetasi tinggi hanya menempati 11,65% dari total luas di Bogor pada daerah kajian. Hal ini disebabkan oleh adanya konversi lahan dari vegetasi menjadi lahan terbangun maupun lahan pertanian seiring dengan meningkatnya jumah penduduk, pembangunan infrastruktur dan berbagai perkembangan kegiatan pembangunan di Bogor. Badan air sebagian besar terletak terdapat di Sungai Ciliwung, sungai Cisadane dan sumber badan air lainnya. Tabel 7 Klasifikasi penutupan lahan Kota Bogor tahun 2006 Penutupan lahan Luas Ha % Badan air 318 2.9 Sawah 1124 10.5 Vegetasi tinggi 808 7.6 Lahan terbangun 4799 45 Semak/rumput 1335 12.5 Ladang 2289 21.4 Total 10674 100 Untuk wilayah di Kota Bogor, penutupan lahan didominasi oleh lahan terbangun terbangun dengan persentase penutupan lahan sebesar 45% dari keseluruhan penutupan lahan di Kota Bogor. Luas area terbuka hijau semakin terdesak dengan maraknya pembangunan yang dilakukan di area Kota Bogor. Dengan terkonsentrasinya lahan terbangun di wilayah perkotaan seperti Kota Bogor dibandingkan wilayah sekitar kota (rural), mengindikasikan akan adanya fenomena urban heat island di mana secara wilayah perkotaan akan cenderung lebiih panas dibandingkan wilayah di pinggir kota sehingga membentuk seperti kubah di pusat kota. Luasan pada masing masing penutupan lahan tidak sepenuhnya menunjukkan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hasil luasan pada masing-masing penutupan lahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa kesalahan seperti faktor galat secara spasial ketika klasifikasi penutupan lahan. 4.3. Pendugaan Komponen Neraca Energi Pada Beberapa Penutupan Lahan 4.3.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan nisbah antara radiasi pantul dengan radiasi datang. Dalam penelitian ini, nilai albedo diperoleh dari data citra Landsat 5 TM+ dengan memanfaatkan fungsi kanal 1, 2 dan 3. Pada wilayah kajian ini, diperoleh bahwa lahan terbuka memiliki nilai albedo yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan berupa vegetasi dan badan air. Hasil pengolahan citra Landsat diperoleh banwa nilai rata-rata albedo pada badan air, lahan bervegetasi (sawah, ladang, vegetasi tinggi, sawit dan semak/rumput) dan lahan terbangun bernilai 0.04843, 0.0526378 dan 0.063163. Nilai tersebut menunjukkan bahwa lahan terbangun memiliki nilai radiasi pantul yang lebih besar dibandingkan dengan lahan bervegetasi maupun badan air. Badan air memiliki nilai albedo terendah. Kondisi ini disebabkan oleh karakteristik air yang memiliki nilai kapasitas kalor yang paling besar yaitu 4.18x10-6 m -3o C -1 dibandingkan dengan vegetasi (2.51x10-6 m -3o C -1 ) dan lahan terbangun (2.17x10-6 m -3o C -1 ). Dengan kapasitas kalor yang besar, maka badan air mampu menampung energi radiasi yang lebih besar. Hal ini menyebabkan radiasi yang dipantulkan juga akan cenderung lebih kecil dibandingkan penutupan lahan yang lain. Pada lahan bervegetasi baik berupa tutupan rendah seperti semak/rumput dan ladang maupun vegetasi dan juga vegetasi terendam seperti sawah, memiliki radiasi pantul yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun. Hal ini disebabkan energi yang diterima oleh tumbuhan sebagian besar digunakan untuk metabolisme tumbuhan dan hanya beberapa bagian yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Kondisi ini berbeda dengan karakteristik penutupan lahan pada lahan terbuka. Untuk lahan terbuka, sebagian besar energi yang diterima digunakan untuk memanaskan udara sehingga banyak dari radiasinya digunakan untuk memanaskan atmosfer. 16

4.3.2. Pendugaan Radiasi Netto Radiasi netto merupakan nilai yang menunjukkan selisih radiasi yang diterima permukaan bumi terhadap radiasi yang meninggalkan permukaan bumi. Pada siang hari, radiasi netto bernilai positif, sedangkan pada malam hari radiasi netto bernilai negative. Radiasi netto yang bernilai positif ini yang digunakan untuk memanaskan udara, lautan dan permukaan bumi. Berdasarkan data citra Landsat 5 TM+ dengan tanggal akuisisi 18 Mei 2006, diperoleh bahwa terdapat perbedaan radiasi netto yang serap oleh permukaan tiap penutupan lahan. Radiasi netto pada badan air, vegetasi dan lahan terbangun dapat dilihat pada Tabel 8. Nilai radiasi gelombang panjang pada penelitian ini hanya diambil dari nilai radiasi gelombang panjang yang dipancarkan oleh bumi, karena radiasi gelombang panjang yang dating dari radiasi matahari nilainya sangat kecil. Nilai radiasi netto diperoleh dari selisih antara radiasi radiasi gelombang pendek yang diperoleh melalui nilai albedo dan radiasi gelombang panjang yang diperoleh dari suhu permukaan. Pada penelitian ini, dilakukan penghitungan radiasi netto yang merupakan penjumlahan radiasi gelombang pendek yang dating dan yang dipantulkan serta radiasi gelombang panjang yang dipantulkan dariobyek. Dalam penelitian ini,r adiasi gelombang panjng yang beradal dari obyek di bumi tidak dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan memiliki nilai yang menghampiri nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan. Berdasarkan Tabel 8 terlihat adanya perbedaan penerimaan radiasi netto untuk setiap penutupan lahan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik penutupan lahan baik dari nilai albedo, radiasi gelombang pendek maupun radiasi gelombang panjang. Secara umum, nilai radiasi gelombang pendek yang dipantulkan memiliki nilai yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipantulkan. Hal ini dikarenakan pada siang hari, radiasi yang dating dari matahari lebih dominan dibandingkan dengan radiasi yang yang berasal dari bumi. Penerimaan radiasi netto pada lahan terbangun menempati nilai terendah dibandingkan dengan enam penutupan lainnya pada Tabel 8. Kondisi ini disebabkan albedo yang tinggi pada lahan terbangun sehingga radiasi gelombang pendek yang diterimanya akan lebih dominan untuk dipantulkan dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan. Selain itu, proses ini juga berkaitan dengan kapasitas kalor pada perkerasan (man made) yang cenderung lebih rendah, sehingga kemampuan obyek dalam menyimpan energi yang diterimanya menjadi rendah dibandingkan energi yang dipantulkan. Hal ini pula yang menyebabkan lahan terbangun akan memiliki suhu permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya bila dilihat melalui penginderaan jauh. Penutupan lahan berupa sawah, memiliki nilai radiasi netto yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan terbangun, tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan dengan badan air dan jenis tumbuhan lainnya. Pada dasarnya, penggunaan radiasi netto pada sawah cenderung variatif tergantung pada umur tanaman padi. Tabel 8 Kisaran nilai komponen radiasi netto (Wm -2 ) tiap penutupan lahan Penutupan lahan R s R s R l R n Lahan terbangun 56 833 487 289 Sawah 48 833 472 312 Badan air 50 834 468 316 Semak/rumput 47 839 473 319 Lading 43 841 467 330 Vegetasi tinggi 43 842 463 336 Sawit 44 833 450 339 Pada awal penanaman, sawah akan tergenangi oleh air di mana kanopi sawah pada saat tersebut masih relatif kecil sehingga energi yang diterimanya sebagian digunakan untuk pertumbuhan dan penyerapan oleh air, sedangkan sisanya dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk panas. Penerimaan radiasi netto akan terus meningkat seiring dengan fase pertumbuhan tanaman padi dan akan menurun kembali pada saat menjelang panen karena daun dan bulir padi akan gugur. Kondisi yang beragam ini menyebabkan pada saat pemotretan citra satelit Landsat 5 pada pukul 10.00 waktu setempat akan cenderung merekam kondisi terkini pada waktu tersebut. Berdasarkan analisa menggunakan pengindraan jauh, sebagian lahan yang 17

teridentifikasi sebagai persawahan masih tergenangi oleh air. Sehingga nilai radiasi netto akan lebih rendah dibandingkan dengan radiasi netto pada badan air. Berbeda dengan sawah, badan air memiliki kapasitas kalor yang lebih besar sehingga dapat menampung energi yang lebih besar dibandingkan dengan sawah. Akan tetapi, penggunaan radiasi netto oleh badan air pada umumnya digunakan untuk merubah air menjadi uap air pada suhu tetap dan menghidupi organisme-organisme didalamnya. Pada lahan bervegetasi tinggi, nilai radiasi netto yang diterimanya lebih besar dibandingkan dengan radiasi netto pada keempat penutupan lahan lainnya selain penutupan lahan berupa perkebunan sawit. Hal ini disebabkan oleh karakteristik vegetasi yang memanfaatkan sebagian besar energi yang diterimanya untuk proses metabolisme dan proses fisiologis tumbuhan. Berdasarkan Tabel 8, radiasi yang diserap oleh vegetasi tinggi sebesar 39.83% terhadap radiasi yang datang. Dari 39.83% radiasi tersebut,70% akan diubah menjadi lengas dan energi untuk respirasi, serta untuk pertukaran panas dengan lingkungannya. Selanjutnya, 28% dari energi tersebut akan digunakan untuk fotosintesis dan disimpan dalam bentuk energi kimia dan sisanya akan digunakan untuk fotomorfogenetik. Pada hasil pengecekan di lapangan, diketahui bahwa pohon beringin, mahoni dan kenari mendominasi penutupan lahan berupa vegetasi tinggi di daerah Kota Bogor. Ketiga vegetasi tersebut merupakan vegetasi daerah tropis, sehingga dalam penggunaan radiasi tidak sebesar tanaman kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tanaman daerah kering sehingga membutuhkan energi yang besar baik pemanfaatannya untuk merubah radiasi netto menjadi lengas maupun fungsiologis lainnya. Selain itu, tanaman kelapa sawit yang termasuk ke dalam wilayah kajian penelitian merupakan tanaman perkebunan sehingga penerimaan radiasi netto cenderung seragam dan marupakan penutupan lahan yang paling besar dalam menggunakan radiasi netto. Semak/rumput pada dasarnya menghampiri kenampakan pada ladang. Akan tetapi, secara ekofisiologi, kedua penutupan lahan ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal penangkapan radiasi yang diterimanya. Rumput/semak memiliki morfologi daun dengan tekstur kasar dan meruncing sehingga akan cenderung membaurkan radiasi yang diterimanya dan hanya sebagian kecil radiasi yang diserapnya bila dibandingkan dengan tanaman ladang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai radiasi netto rumput yang lebih rendah bila dibandingkan dengan radiasi netto pada ladang. Sebaliknya, pada tanaman ladang, radiasi netto diserap dan digunakan untuk proses fisiologis tumbuhan sebagaimana yang dilakukan pada vegetasi tinggi. Akan tetapi, karena tinggi tanaman ladang yang terbatas, maka penggunaan tanaman ladang tidak akan sebesar vegetasi tinggi. Tekstur daun pada tanaman ladang juga mempengaruhi responnya terhadap radiasi yang diterimanya. Pada umumnya, tanaman ladang memiliki tekstur daun yang halus sehingga akan menyerap radiasi lebih besar dibandingkan dengan radiasi yang dipancarkan maupun dipantulkan. Hal ini tampak jelas pada warna yang terlihat pada pengindraan jauh bila dibandingkan dengan spectrum yang dipancarkan oleh rumput. 4.3.3. Pendugaan Soil Heat Flux (G), Sensible Heat Flux (H) dan Latent Heat Flux (LE) Pada dasarnya, Soil Heat Flux (G) merupakan bagian dari radiasi netto yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk proses fisik dan biologi tanah. Fluks panas tanah ini dipengaruhi oleh perbedaan suhu permukaan dengan suhu tanah.dalam penelitian ini, nilai G diperoleh dari hubungan suhu permukaan, radiasi netto, albedo dan NDVI. Tabel 9 Rata-rata komponen Soil Heat Flux (H) Bogor tahun 2006 (Wm -2 ) Penutupan G/Rn G Rn lahan (%) Sawit 31.9 316.2 10 Ladang 35.5 312.5 11 Vegetasi tinggi 35.9 335.5 10.7 Semak/rumput 36 319.1 11 Badan air 37 330.2 11 Sawah 37.1 339 11 Lahan terbangun 38 289.5 13 Berdasarkan pengolahan citra Landsat 5 dengan tanggal akuisisi 18 Mei 2006, diketahui bahwa pada pukul 10.00 waktu setempat, terdapat perbedaan penggunaan energi pada tiap penutupan lahan di mana 18

variabilitasnya didasarkan karakteristik tiap penutupan lahan. Dalam penelitian ini penggunaan radiasi netto untuk fotosintesis diabaikan karena nilainya sangat kecil. Tabel 10. Rata-rata komponen Sensible Heat Flux (H) Bogor tahun 2006 (Wm -2 ) Penutupan H/Rn H Rn lahan (%) badan air 25.4 316 8 Sawah 91.8 312.5 29 semak/rumput 94.4 335.5 28 Ladang 98.2 319.1 31 vegetasi tinggi 99.9 330.1 30 Sawit 102.3 339.0 30 lahan terbangun 201.2 289.5 69.5 4.3.3.1. Lahan terbangun Lahan terbangun merupakan penutupan lahan yang paling dominan di Kota Bogor dan menyebabkan timbulnya fenomena urban heat island yang ditunjukkan oleh tingginya nilai panas pada penutupan ini ( Lampiran 3). Pada penutupan lahan berupa lahan terbangun. Proporsi penggunaan radiasi netto menjadi soil heat flux (G) menempati nilai tertinggi (13.13%) bila dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya. Hal ini disebabkan lahan terbangun memanfaatkan sebagian besar radiasi netto untuk memanaskan tanah dan permukaan dibandingkan dengan jenis penutupan lahan lainnya. Faktor lain yang turut mempengaruhi nilai G pada lahan terbangun adalah tingginya nilai konduktivitas thermal pada lahan tersebut. Karena sebagian besar radiasi netto pada lahan terbangun digunakan untuk memanaskan tanah dan permukaan, maka sensible heat flux akan tinggi sebanding dengan soil heat flux. Berdasarkan Gambar 16, diketahui bahwa sensible heat flux merupakan prioritas utama pada lahan terbangun dalam penggunaan radiasi netto yang diterimanya. Hal ini ditunjukkan dengan perbandingan sensible heat flux : soil heat flux :latent heat flux, yaitu 10 : 2 : 3. Kondisi tersebut menyebabkan tingginya suhu permukaan dan suhu udara pada lahan terbangun. Gambar 16 Proporsi penggunaan neraca energi pada berbagai penutupan lahan di Bogor. 19

Bila dilihat pada perbandingan penggunaan radiasi netto pada lahan terbangun di daerah Bogor, terlihat bahwa penggunaan radiasi netto untuk fluks panas laten lebih besar bila dibandingkan dengan fluks panas tanah (3:2). Kondisi ini menggambarkan bahwa pada daerah Bogor memiliki kandungan uap air yang cukup besar. sehingga alokasi pemanfaatan radiasi netto lebih banyak digunakan untuk mengubah air menjadi uap air pada suhu konstan dibandingkan untuk memanaskan permukaan tanah. Dengan kandungan uap air yang cukup besar, maka nilai suhu permukaan pada lahan terbangun memiliki selisih nilai yang tidak terpaut jauh dengan penutupan lahan terbangun pada lokasi penelitian. 4.3.3.2. Badan air Badan air merupakan satu-satunya penutupan lahan dimana air secara permanen mendominasi suatu lahan. Selain karakteristik air seperti yang telah disebutkan pada pembahasan mengenai albedo dan radiasi netto, diketahui pula bahwa fluks panas laten merupakan prioritas utama dalam penggunaan radiasi netto oleh badan air di mana pengubahan energi menjadi panas laten sebesar 80.24% (Tabel 11). Pengubahan energi yang diserap oleh badan air yang digunakan sebagai sensible heat fluxdan soil heat flux hanya sebesar 8.02% dan 11.21%. Tabel 11 Rata-rata suhu permukaan Bogor tahun 2006 Penutupan Lahan T s ( o C) Badan air 28 Sawah 29 Vegetasi tinggi 28 Semak/rumput 29 Ladang 28 Sawit 25 Lahan terbangun 31 Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa penggunaan radiasi netto yang diterima oleh badan air didominasi untuk merubah air menjadi uap air pada suhu konstan dibandingkan untuk merubah energi kedalam panas baik panas tanah maupun panas terasa. Hal ini mengakibatkan suhu permukaan pada badan air pada siang hari akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan suhu lingkungan. 4.3.3.3. Sawah Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa karakter sawah menghampiri karakter badan air dalam hal pemanfaatan radiasi netto. Hanya saja, sawah menggunakan energi dari radiasi netto untuk sensible heat flux lebih besar dibandingkan dengan badan air. Pemanfaatan radiasi netto oleh sawah untuk sensile heat adalah empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pemanfaatan sensile heat oleh badan air. Hal ini disebabkan tanaman padi sawah memiliki karakteristik tertentu dalam merespon radiasi matahari seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan mengenai radiasi netto (subbab 4.3.2). Penutupan lahan berupa sawah memiliki alokasi pemanfaatan radiasi netto sebagai lengas terasa (sensile heat) dan latent heat dengan perbandingan 2:1. Pada kondisi tersebut, menyebabkan suhu permukaan pada sawah akan cenderung tinggi dan stabil (simpangan baku suhu permukaan sawah hanya berkisar ± 1.3 o C). Variabilitas suhu permukaan di sawah cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan badan air yang memiliki simpangan baku sebesar ± 2 o C. 4.3.3.4. Vegetasi tinggi dan sawit Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa perbandingan pemanfaatan radiasi netto pada vegetasi tinggi menyerupai penggunaan radiasi netto pada sawit. Perbandingan pemanfaataan radiasi netto pada kedua penutupan ini adalah 3:6:1 (H:LE:G). Kedua penutupan lahan ini memprioritaskan penggunaan radiasi netto yang diterimanya untuk panas laten dibandingkan untuk memanaskan udara maupun untuk memanaskan tanah. hal ini disebabkan oleh karakteristik Bogor yang memiliki kandungan air yang cukup besar di atmosfer pada lapisan pembatas. Akan tetapi, kedua penutupan lahan ini memiliki respon yang berbeda dalam merepresentasikan suhu permukaannya Vegetasi tinggi memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa sawit dan memiliki ragam suhu permukaan yang cukup besar (ragam suhu permukaaan vegetasi tinggi = 4 o C). Sebaliknya, perkebunan kelapa sawit memiliki suhu permukaan terendah (25 o C) diantara keenam penutupan lahan lainnya. Selain itu, perkebunan sawit memiliki ragam suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan vegetasi tinggi (0.25 o C). Hal ini disebabkan terdapat perbedaan kondisi lingkungan untuk kedua penutupan lahan 20

ini. Pada wilayah studi penelitian ini, lahan bervegetasi tinggi yang paling dominan terdapat di pusat Kota Bogor dan hutan penelitian Cifor. Gambar 17 Kondisi lingkungan sekitar lahan bervegetasi tinggi. (i) (ii) Gambar 18 (i) dan (ii) Kondisi lingkungan sekitar Lahan perkebunan sawit. Pada lokasi ini, terjadi aliran panas secara konveksi dari penutupan lahan disekitarnya terhadap penutupan lahan bervegetasi tinggi. Aliran panas ini disebabkan oleh adanya gradien panas antara vegetasi tinggi dengan penutupan lainnya. Dengan berpindahnya panas tersebut menuju gradien panas yang lebih rendah (vegetasi tinggi), maka suhu udara pada vegetasi tinggi akan tergantikan. Dengan besarnya perbedaan gradient suhu antara permukaan dengan suhu pada vegetasi tinggi, maka tahanan aerodinamik akan semakin kecil. Hal inilah yang menyebabkan tingginya suhu permukaan pada vegetasi tinggi dibandingkan dengan perkebunan sawit. Sebaliknya, perkebunan sawit yang terletak di Bantar Kambing, Bogor memiliki penutupan lahan yang seragam dan terpusat pada lokasi tertentu. Selain itu, perkebunan sawit memiliki lingkungan yang didominasi oleh tumbuhan sejenis dan terdapat badan air disekitarnya. Dengan kondisi lingkungan ini, gradient panas antara lingkungan dengan perkebunan tidak berbeda nyata sehingga suhu permukaan akan rendah. Tabel 12 Rata-rata komponen Latent Heat Flux (LE) Bogor tahun 2006 Penutupan lahan LE (Wm -2 ) Rn (Wm -2 ) LE/Rn (%) Lahan terbangun 50.3 289.5 17.4 Sawah 183.6 312.5 58.7 Semak/rumput 188.7 319.1 59.1 Ladang 196.5 330.1 59.5 Vegetasi tinggi 199.6 335.5 59.5 Sawit 204.9 339 60.4 Badan air 253.8 316 80.24 4.3.3.5. Ladang dan Rumput/Semak Ladang memanfaatkan sebagian besar energi radiasi yang diserapnya untuk dirubah menjadi energi panas yang terdistribusikan 11.37% untuk soil heat flux, 30.78% untuk sensible heat fluxdan59.52% untuk latent heat flux. Pemanfaatan radiasi netto sebagai soil heat flux pada ladang lebih besar dibandingkan dengan rumput/semak yang hanya 11.29%. Kondisi ini disebabkan pada ladang, terdapat tanah yang tidak tertutup kanopi tanaman, sehingga penerimaan radiasi oleh tanah menjadi besar. Sebaliknya, pada lahan yang berumput/semak, hampir keseluruhan tanah tertutup rumput/semak secara merata, sehingga pemanasan tanah menjadi tertahan oleh vegetasi. Dengan adanya perbedaan kuantitas G pada ladang dan rumput/semak, maka distribusi LE dan H juga akan berbeda. Alokasi pemanfaatan Rn sebagai G yang 21

besar mengakibatkan nilai LE dan H ladang lebih rendah dibandingkan dengan rumput/semak. Seperti halnya pemanfaatan radiasi netto pada vegetasi tinggi, sawitsawah dan badan air, kedua penutupan lahan ini juga memprioritaskan pengubahan radiasi netto menjadi panas laten sebagai prioritas utamanya karena tersedianya air pada bagian-bagian tubuh penutupan lahan ini. 4.3.4. Perbandingan nilai indeks vegetasi (NDVI) dengan komponen neraca energi Nilai indeks vegetasi yang digambarkan melalui nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan indeks yang menggambarkan proporsi reflektan infra merah dekat dengan infra merah. Secara teoritis, pada lahan yang bukan vegetasi akan lebih banyak memantulkan infra merah dekat dibandingkan dengan infra merah. Selain itu, nilai NDVI juga menggambarkan tingkat kesuburan dan kerapatan tanaman di mana semakin tinggi nilai NDVI, maka tingkat kerapatan dan kesuburan tanaman tersebut semakin tinggi. Sebaliknya, lahan dengan nilai NDVI yang rendah menggambarkan lahan yang kurang subur dan telah terjadi pembukaan lahan pada daerah tersebut. Untuk mempermudah melihat pengaruh NDVI terhadap neraca energi, maka dilakukan penggabungan pada beberapa klasifikasi lahan yang didasarkan pada nilai NDVI yang serupa. Lahan terbangun Badan air Sawah Vegetasi rapat Vegetasi rendah Gambar 19 Diagram hubungan radiasi netto terhadap NDVI. Klasifikasi penutupan lahan dibedakan ke dalam lima kelas di mana terdiri dari lahan terbangun, badan air, sawah, vegetasi rapat (sawit dan vegetasi tinggi) dan vegetasi rendah (rumput/semak dan ladang). Dengan menghubungkan antara radiasi netto terhadap NDVI, maka dapat diketahui karakter neraca energi pada indeks vegetasi pada penutupan lahan tertentu. Merujuk pada Gambar 16 dan Tabel 12, terlihat bahwa pada lahan bervegetasi, penggunaan radiasi netto sebagian besar digunakan untuk fluks pemanasan laten (LE) pada lahan bervegetasi. Nilai LE berbanding lurus dengan nilai NDVI. di mana semakin banyak vegetasi di daerah tersebut, maka nilai LE akan semakin besar dan H serta G akan semkin rendah. Akan tetapi, pada penutupan lahan berupa badan air, berlaku sifat yang berbeda. Badan air memiliki nilai NDVI yang rendah tetapi nilai LE akan tinggi. Kondisi ini disebabkan pemanfaatan radiasi netto yang diterima lebih banyak digunakan untuk evaporasi. Berdasarkan Tabel 6, penutupan lahan di Bogor yang didominasi oleh vegetasi (ladang, vegetasi tinggi, rumput/semak, sawah dan sawit), maka dapat dipastikan bahwa pemanfaatan energi radiasi netto di wilayah Bogor sebagian besar digunakan untuk panas laten. dengan demikian, kandungan uap air di Bogor cenderung besar. 22

Gambar 20 Peta sebaran Normalized Difference Vegetation Index pada lokasi penelitian 2006. 4.4. Penentuan Pengaruh Neraca Energi dan Suhu Permukaan Hasil analisis hubungan neraca energi terhadap suhu permukaan pada tahun 2006 didapatkan bahwa galat dari neraca energi (Rn, G, H dan LE) menyebar normal dan memiliki ragam yang homogen. Namun, bila ditinjau dari pola hubungan antar peubah penjelas, terlihat adanya multikolinierasi antar parameter-parameter neraca energi. Bentuk hubungan multikolinierasi ini terdapat pada hubungan antara radiasi netto dengan soil heat flux dan sensible heat. Peubah penjelas berupa soil heat flux dan sensible heat juga saling bermultikolinierasi dengan erat. Akan tetapi, baik soil heat flux, sensible heat dan radiasi netto tidak bermultikolinierasi terhadap albedo. Kondisi ini disebabkan adanya pola hubungan yang erat antara radiasi netto, soil heat flux dan sensible heat flux. Soil Heat flux dan sensible heat flux merupakan komponen dari radiasi netto melalui persamaan neraca energi di mana Rn = G + H + LE, sehingga kedua peubah ini. Oleh karena itu, dalam menentukan suhu permukaan, fluks panas 23

dapat diwakili oleh dua peubah saja yaitu radiasi dan albedo. Albedo tidak bermultikolinierasi terhadap ketiga peubah penjelas tersebut karena albedo merupakan nilai nisbah antara radiasi pantul dengan radiasi datang. Oleh karena itu, walaupun dalam persamaan 4 disebutkan bahwa nilai G sebanding dengan nilai albedo, tetapi kedua peubah ini tidak memiliki korelasi yang nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai galat yang mendekati 0.000. 4.5. Penentuan Pengaruh Jarak Jangkau Tiap Jenis Vegetasi dan Suhu Permukaan Sebelum menentukan pengaruh secara keseluruhan antara ruang terbuka hijau (sawah, ladang, rumput/semak, vegetasi tinggi dan sawit) terhadap suhu permukaan, perlu adanya peninjauan pengaruh tunggal diantara peubah-peubah penjelas tersebut terhadap peubah responnya. 4.5.1. Vegetasi Tinggi Untuk menganalisa pengaruh tunggal vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan terutama diperkotaan, perlu adanya perhatian khusus terhadap lingkungan disekitarnya. Dalam kasus pengaruh vegetasi tinggi terhadap suhu di perkotaan, sangatlah penting melakukan tracking dengan menggunakan titik-titik sampling pada penutupan terbangun dengan jarak yang semakin menjauh dari vegetasi tinggi. Pada penelitian ini dilakukan tracking pada Kebun Raya Bogor seperti tampak pada Gambar 21. Hal ini disebabkan lingkungan yang mempengaruhi perpindahan panas pada vegetasi hanya terdapat dua kondisi yaitu vegetasi tinggi yang berada di pusat Kota Bogor (Kebun Raya Bogor dan jalur hijau yang diantaranya berada di Jalan Pajajaran, Doktor Semeru, Cimanggu Pahlawan dan Jend. Sudirman, Haji Juanda dan sebagainya) dan vegetasi tinggi yang berada di daerah sub-urban (Cifor dan Cijeruk). Gambar 21 Peta titik sampel pengaruh vegetasi terhadap suhu permukaan di perkotaan. Gambar 21 menunjukkan bahwa suhu di dalam Kebun Raya Bogor dengan penutupan lahan berupa vegetasi tinggi, memiliki suhu rata-rata 28 o C. Titik-titik di Kebun Raya Bogor ini dijadikan sebagai titik referensi pengaruh vegetasi terhadap suhu permukaan di perkotaan. Selanjutnya, terlihat bahwa suhu permukaan akan meningkat seiring dengan bertambahnya 24

jarak terhadap vegetasi tinggi. Hal ini seperti terlihat pada Tabel 13. Tabel 13. Suhu titik amatan dan jarak terhadap vegetasi tinggi di Kota Bogor Keterangan suhu ( o C) Ratarata Jarak (meter) maksimum Titik Referensi 28 0 0 Lapisan ke: 1 34 115 152 2 35 182 253 3 35 235 307 4 35 280 417 5 35 299 515 6 37 633 707 Hubungan pengaruh eksistensi vegetasi terhadap suhu permukaaan di Perkotaan berbentuk non-linier dengan persamaan T s = 28.6 + 1.17Ln(Dv) di mana T s merupakan suhu permukaan di perkotaan dan Dv adalah jarak titik amatan terhadapvegetasi tinggi. Pada plot pengaruh vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan, memiliki residual yang menyebar normal dengan P value lebih dari 0.05. Vegetasi tinggi berpengaruh tunggal terhadap suhu permukaan di perkotaan karena vegetasi tinggi dapat menyebabkan adanya gradien suhu antara lingkungan berupa lahan terbangun terhadap suhu di penutupan lahan bervegetasi tinggi di mana dengan adanya perbedaan gradien suhu tersebut, aliran panas akan mengalir secara konveksi dan konduksi seperti yang telah dijalaskan pada sub-bab 4.3.3.4. Gambar 22 Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan. Bila keseluruhan vegetasi tinggi di wilayah penelitian dibuat hubungan pengaruh vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan, vegetasi tinggi hanya berkontribusi sebesar 8.6% dalam menjelaskan persamaan T s =26.2 + 1.13 Ln(Dv). Residual persamaan pengaruh jarak vegetasi tiggi ini menyebar normal dengan P value lebih dari 0.150. 4.5.2. Ladang dan Rumput/Semak Berbeda dengan vegetasi tinggi, dalam analisa pengaruh ladang dan rumput/semak terhadap suhu permukaan hanya menggunakan analisis regresi linier dan tidak menggunakan metode tracking. Hal ini dilakukan karena sebaran ladang mendominasi penutupan lahan di daerah kajian secara keseluruhan, sehingga faktor lain (di luar faktor pengaruh ladang dan rumput/semak) dapat diminimumkan. Berdasarkan hasil analisis, ladang dan suhu permukaan memiliki hubungan sebesar 45.8% dengan kontribusi pengaruh ladang terhadap suhu permukaan sebesar 32.4% dalam persamaan T s =24.6 + 1.47 Ln (DLadang). Persamaan ini memiliki P value sebesar 0.089 di mana nilai ini berarti terima hipotesis bahwa residual menyebar normal. 25

Gambar 23 Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan. Penutupan lahan berupa rumput/semak memiliki hubungan sebesar 42.8% terhadap suhu permukaan di perkotaan. Konstribusi semak terhadap suhu permukaan secara liner hanya 17.8% dalam persamaan T s = 30.7 + 0.00849 (Dsemak) di mana Dsemak adalah jarak titik amatan terhadap semak. Pada penelitian ini, sangat sulit mencari hubungan pengaruh semak terhadap suhu permukaan karena plot residual persamaan yang menghubungkan suhu permukaan dan semak memiliki sebaran yang tidak normal yaitu dengan P value yang kurang dari 0.05. Kondisi ini berbeda dengan pengaruh ladang terhadap suhu permukaan. Adanya perbedaan pengaruh antara ladang dan rumput/semak disebabkan oleh tekstur daun pada rumput/semak dan ladang seperti yang dijelaskan pada sub bahasan 4.3.2. 4.5.3. Sawah Sawah memiliki hubungan sebesar 46.4% terhadap suhu permukaan dan berkonstribusi secara linier dalam menjelaskan persamaan T s = 31.3 + 0.00471 (Dsawah) sebesar 21.5% di mana Dsawah adalah jarak titik amatan terhadap sawah. Residual pada pengaruh sawah terhadap suhu permukaan menyebar normal dengan P value sebesar 0.134. Gambar 24 Uji kenormalan residual sawah terhadap suhu permukaan. Pengaruh sawah terhadap suhu permukaan disebabkan pada pengambilan citra, sebagian besar sawah sedang dalam kondisi tergenang air dan sawah memiliki respon khusus terhadap penerimaan radiasi netto seperti yang dijelaskan pada sub bahasan 4.3.2 dan 4.3.3.3. 4.5.4. Sawit Di wilayah kajian penelitian, jarak terdekat perkebunan sawit dari pusat kota Bogor ± 11.544 kilometer. Dengan jarak yang cukup jauh dan penutupan lahan sawit yang hanya 118.44 hektar dengan luas total daerah penelitian adalah 106,739.307 kilometer -2 maka akan sangat sulit bagi 26

penutupan lahan berupa perkebunan sawit untuk mempengaruhi suhu permukaan di Kota Bogor. 4.6. Penentuan Pengaruh Neraca Energi, Jarak Jangkau RTH Dan Suhu Permukaan Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan ruang terbuka hijau adalah wilayah dengan penutupan lahan yang mengandung vegetasi didalamnya dan bukan merupakan badan air atau lahan terbangun. Selanjutnya, dengan pengertian tersebut akan ditentukan pengaruh dari keempat penutupan lahan berupa vegetasi tinggi, rumput/semak, sawah dan vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan di perkotaan. Berdasarkan sub bahasan 4.4.1, perkebunan sawit tidak dimasukkan sebagai prediktor. Dengan merujuk pada Gambar 25, dapat diketahui bahwa suhu akan meningkat seiring dengan bertambahnya radiasi netto. Akan tetapi, pada komponen albedo, nilainya beragam sesuai dan hampir seragam dengan memusat pada selang nilai 0.06 hingga 0.07. Pola hubungan penutupan lahan bervegetasi terhadap suhu permukaan mengikuti sebaran asimtot y di mana semakin dekat jarak suatu titik terhadap lahan bervegetasi, semakin rendah suhu permukaannya. Namun, semakin menjauh suatu titik terhadap lahan bervegetasi, maka suhu permukaannya akan konstan dan mendekati batas maksimum suhu di suatu daerah. Berdasarkan prediktor prediktor tersebut, dilakukan analisis regresi linier mengenai pengaruh dari masing-masing prediktor terhadap suhu permukaan. Hasil analisis bentuk hubungan antara masingmasing lahan bervegetasi dan neraca energi terhadap suhu permukaan didapatkan bahwa prediktor radiasi netto, albedo, sawah dan ladang berpengaruh terhadap suhu permukaan di perkotaan, tetapi vegetasi tinggi dan rumput/semak tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan di perkotaan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai P value pada rumput/semak dan vegetasi tinggi yaitu 0.206 dan 0.495. Oleh karena itu, kedua prediktor tersebut tidak digunakan sebagai penduga suhu permukaan di wilyah kajian. 27

Gambar 25 Scatter plot suhu permukaan (peubah respon) terhadap RTH dan komponen neraca energi. Pemodelan selanjutnya hanya menggunakan empat prediktor yaitu radiasi netto, albedo, sawah dan ladang. Model dibangun dengan mentransformasikan nilai suhu permukaan dengan menggunakan Box Cox transformation agar residual suhu permukaan dapat menyebar normal sehingga dapat memenuhi asumsi analisis regresi. Karena sebaran pada sawah dan ladang menghampiri fungsi asimtot y, maka agar memenuhi asumsi residual yang menyebar normal dilakukan transformasi berupa logaritmik natural untuk nilai Rn, sawah dan ladang. Untuk peubah penjelas berupa albedo tidak dilakukan transformasi karena nilainya menyebar secara merata (Gambar 22). Dari hasil regresi tersebut, dihasilkan model : = - 0.0280 + 0.0198 albedo + 0.00538 Ln(Rn) - 0.000038 Ln(Dsawah- 0.000053 Ln(Ladang).(21) di mana albedo merupakan nisbah radiasi pantul terhadap radiasi datang, Rn adalah radiasi netto, D sawah adalah jarak titik amatan terhadap sawah dan D ladang adalah jarak titik amatan terhadap ladang dimana titik amatan adalah titik-titik yang tersebar di lahan terbangun di pusat kota yang akan diekstraksi sebagai pembangkit model. Gambar 26 Tranformasi Box Cox terhadap suhu permukaan. Persamaan 21 memiliki koefisien determinasi sebesar 88.0%. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model tersebut cukup menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan di Bogor. Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, diperoleh bahwa residual dari persamaan tersebut menyebar normal dengan nilai kemungkinan lebih dari 0.150. Pada uji autokorelasi dengan menggunakan metode Durbin-Watson, diperoleh nilai uji D-W adalah 1.65. Nilai 28

tersebut mendekati nilai 2, sehingga dapat dikatakan bahwa galat model tersebut tidak saling berautokorelasi. Selanjutnya, untuk menilai kualitas persamaan 21, maka dilakukan validasi dengan menggunakan 20% dari data titik amatan yang terdiri dari berbagai tipe land cover. Berdasarkan hasil validasi, diperoleh bahwa suhu permukaan hasil dugaan memiliki nilai korelasi sebesar 93.3%. nilai korelasi ini terbilang besar dalam menduga suhu permukaan berdasarkan keempat prediktor tersebut. Gambar 27 Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan. 4.7. Pengaruh RTH Di Bogor Pengaruh vegetasi tinggi di Bogor tidak nyata pada daerah perkotaan karena kondisi Bogor memiliki iklim yang basah dan memiliki nilai LE yang besar. Selain itu, tersebarnya berbagai vegetasi di Bogor mengakibatkan dampak eksistensi vegetasi tinggi tidak terlihat dengan nyata karena denga LE yang besar, panas akan digunakan untuk merubah air menjadi uap air dari pada untuk menaikkan suhu. Bila ditinjau dari sebaran vegetasi tinggi di Bogor, dengan pengambilan titik amatan yang ditujukan di atas penutupan lahan berupa lahan terbangun, pengambilan sampel akan terpusat pada daerah di Kota Bogor. Kondisi ini disebabkan pada penutupan lahan bervegetasi tinggi di daerah sub-urban dengan lingkungan yang sedikit lahan terbangun, titik sampel yang diambil tidak sebanding dengan daerah kota. Dengan melihat kecenderungan analisis regresi yang akan mengambil nilai dominan dari data yang ada, maka pengaruh vegetasi tinggi yang akan diambil adalah pada daerah kota yang sangat dipengaruhi oleh fenomena pulau panas. Di samping itu, berdasarkan nilai indeks vegetasi pada Gambar 19 dan Gambar 20, didapatkan bahwa hampir seluruh Bogor memiliki nilai indeks vegetasi yang lebih dari 0.1, sehingga pengaruh vegetasi tinggi akan terredam oleh pengaruh vegetasi-vegetasi lainnya. Selain pengaruh vegetasi tinggi yang tidak nyata, pengaruh rumut/semak juga tidak terlihat pada wilayah daerah kajian. Kondisi ini diakibatkan radiasi netto yang ada di daerah penelitian lebih ditujukan untuk panas laten dibandingkan untuk pemanasan tanah maupun pemanasan udara, sehingga suhu permukaan tidak akan terlalu bervariasi. Jika ditinjau pada sub-bahasan 4.4.1, nilai hubungan vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan cukup besar sementara berdasarkan sub-bahasan 4.5.1, hubungan ini kemudian menghilang. Kondisi ini mengindikasikan bahwa luasan Kebun Raya Bogor dan jalur hijau sebagai penyedia lahan bervegetasi tinggi belum cukup memenuhi kebutuhan Kota Bogor dalam meredam suhu permukaan. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu permukaan menghasilkan persamaan terpilih non-linier yaitu = - 0.0280 + 0.0198 albedo + 0.00538 Ln(Rn) - 0.000038 Ln(Dsawah- 0.000053 Ln(Ladang). Model persamaan RTH dan suhu permukaan terpilih memiliki pola sebanding di mana 29