5. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
VI. ANALISIS BIOEKONOMI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

3. METODE PENELITIAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

C E =... 8 FPI =... 9 P

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

3. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX-

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

3 METODOLOGI PENELITIAN

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

I PENDAHULUAN Latar Belakang

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 KERANGKA PEMIKIRAN

MANAJEMEN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BULUNGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

3. METODE PENELITIAN

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

Transkripsi:

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Produksi Perikanan Analisis data hasil tangkapan ikan di Kabupaten Bengkalis dilakukan terhadap 3 spesies ikan demersal yaitu ikan bawal hitam (Formio niger), bawal putih (Pampus argenteus) dan kurau/senangin (Eleutheronema sp). Deskripsi dari ketiga ikan demersal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis No. Bawal Hitam Produksi (Ton) Bawal Senangin Putih Total 1. 1985 114.27 148.83 316.98 580.09 2. 1986 121.83 185.31 339.46 646.61 3. 1987 127.68 208.06 370.08 705.82 4. 1988 156.13 182.78 394.06 732.97 5. 1989 184.17 193.04 426.62 803.83 6. 1990 181.21 217.60 461.29 860.10 7. 1991 190.53 188.78 405.34 784.64 8. 1992 209.97 220.50 447.52 877.99 9. 1993 223.12 248.53 436.39 908.04 10. 1994 217.12 228.05 565.98 1 011.16 11. 1995 190.41 235.58 582.57 1 008.57 12. 1996 210.66 284.01 495.56 990.23 13. 1997 271.11 292.23 554.28 1 117.62 14. 1998 277.30 298.98 607.35 1 183.63 15. 1999 210.15 301.30 547.49 1 058.94 16. 2000 240.30 333.52 538.32 1 112.14 17. 2001 251.09 318.09 609.66 1 178.84 18. 2002 221.67 343.07 907.52 1 472.25 Rata-rata 199.93 246.01 500.36 915.36 Sumber Data Olahan dari : Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau 1986-2003

Produksi dari ketiga spesies ikan demersal tersebut dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 16. 85 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Produksi (Ton) Bawal Hitam Bawal Putih Senangin Gambar 16. Grafik data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis Produksi rata-rata tertinggi berturut-turut adalah ikan senangin 500.36 ton, bawal putih 246.01 ton dan bawal hitam 199.93 ton. Dari tahun ke tahun hasil tangkapan dari ketiga spesies juga memperlihatkan trend yang meningkat. Kenaikan yang terus menerus ini akan menjadi masalah dalam analisis time series. Untuk menentukan apakah data bersifat trending (non stationary), maka dilakukan analisis stationary dengan uji Dickey Fuller serta handling data yang bersifat trending dengan menggunakan teknik co-integration. Hasil analisis dari data hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan (pukat pantai, jaring insang hanyut dan jermal) dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari hasil analisis tersebut terlihat bagaimana share hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap tersebut terhadap ikan bawal hitam, bawal putih dan kuro/senangin. Untuk lebih jelasnya hasil tangkapan dari masing-masing alat dapat dilihat pada Gambar 17. Dari gambar tersebut terlihat bahwa sepanjang tahun

pengamatan alat tangkap yang memiliki hasil tangkapan tertinggi adalah jaring insang hanyut dan yang terendah adalah pukat pantai. 86 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200-1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Produksi (Ton) Pukat Pantai Jaring Insang hanyut Jermal Gambar 17. Hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan dalam analisis 5.2 Standarisasi Unit Effort Sebelum dilakukan asumsi parameter biologi, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi data dan standardisasi dari unit upaya (effort). Kalibrasi dilakukan mengingat data spesifik mengenai upaya yang ditujukan khusus untuk spesies target yang digunakan dalam penelitian ini tidak tersedia. Dalam perikanan yang multi-species dan multi-gear seperti di perairan Kabupaten Bengkalis, maka problem yang kemudian muncul adalah kesulitan untuk mendapatkan data upaya yang langsung untuk setiap spesies, karena satu alat tangkap dapat menangkap lebih dari satu spesies ikan target. Menurut Smith (1993) dan Fauzi (1998), agregasi upaya merupakan satu-satunya cara pengukuran upaya yang dapat diandalkan pada perikanan multi-spesies.

87 Dalam penentuan standardisasi effort dalam studi ini digunakan unit jumlah trip per tahun dari tiga alat tangkap yaitu pukat pantai, jaring insang hanyut dan jermal. Pemilihan ketiga alat tangkap ini didasarkan pada kondisi bahwa ketiga alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang dominan digunakan di lokasi penelitian. Ketiga alat tangkap tersebut juga secara konstan menangkap ketiga spesies target dari tahun ke tahun. Spesifikasi dan gambar dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Tabel 12. Standardisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis P. Pantai CPUE Indeks Standarisasi J.I. hanyut Jermal P. Pantai Jermal P. Pantai Jermal Total Effort (Trip) 1985 0.00106 0.00859 0.00062 0.12313 0.07171 1 998.45 2 917.70 67 556 1986 0.00104 0.00942 0.00077 0.11040 0.08124 2 213.39 3 450.68 68 665 1987 0.00293 0.00919 0.00066 0.31907 0.07229 2 437.34 4 868.16 76 816 1988 0.00387 0.01059 0.00097 0.36582 0.09200 2 473.69 6 299.60 69 219 1989 0.00353 0.01164 0.00114 0.30359 0.09789 2 001.89 6 686.34 69 049 1990 0.00327 0.01255 0.00105 0.26069 0.08399 1 860.00 5 661.63 68 536 1991 0.00453 0.01099 0.00125 0.41269 0.11411 2 896.71 7 327.80 71 412 1992 0.00402 0.01259 0.00149 0.31905 0.11858 2 295.59 7 850.33 69 726 1993 0.00440 0.01189 0.00162 0.37046 0.13619 2 555.05 8 934.57 76 393 1994 0.00472 0.01363 0.00153 0.34589 0.11188 2 364.19 7 446.15 74 172 1995 0.00422 0.01146 0.00135 0.36830 0.11754 2 579.27 8 020.71 88 018 1996 0.00428 0.01102 0.00134 0.38844 0.12156 3 057.04 8 585.86 89 855 1997 0.00451 0.01279 0.00168 0.35236 0.13139 3 675.83 11 766.42 87 350 1998 0.00438 0.01158 0.00149 0.37807 0.12835 4 267.53 13 217.56 102 246 1999 0.00443 0.00986 0.00132 0.44882 0.13338 4 714.43 13 166.99 107 353 2000 0.00371 0.01040 0.00134 0.35642 0.12837 3 649.42 12 551.76 106 928 2001 0.00360 0.01063 0.00111 0.33917 0.10405 4 064.93 11 534.60 110 920 2002 0.00488 0.01249 0.00123 0.39085 0.09884 5 355.78 11 548.05 117 889 Sumber Data Olahan dari : Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau 1986-2003 Karena ketiga alat tangkap tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangkap ikan, maka diperlukan standardisasi unit fishing effort. Proses standardisasi dilakukan dengan menggunakan formula pada persamaan

88 (3.6) 4, yang meliputi data dari tahun 1985 sampai dengan 2002. Dengan menggunakan jaring insang hanyut sebagai alat standard 5, hasil perhitungan standardisasi effort dapat dilihat pada Tabel 12 5.3 Estimasi Parameter Biologi Beberapa parameter biologi yang diperlukan dalam studi ini menyangkut parameter pertumbuhan (r), carrying capacity (K) dan koefisien daya tangkap (q). Ketiga parameter tersebut diduga dengan menggunakan metode Clarke, Yoshimoto dan Pooley (CYP). Pendugaan parameter dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SHAZAM setelah terlebih dahulu dilakukan uji stationarity dari data dan prosedur Cochran-Orcutt untuk menguji auto correlation dari variabel (Lampiran 5). Hasil uji Dickey Fuller dapat dilihat pada Tabel 13 berikut. Tabel 13. Hasil uji Dickey Fuller No. Varibel Tanpa Trend Dengan Trend 1. LnCPUE -2.6937-2.2552 2. E t + E t+1 1.3169-1.1071 Hasil uji stationarity dengan menggunakan prosedur Dickey-Fuller test mengindikasikan bahwa variabel effort menunjukkan adanya gejala nonstationary (trending). Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai kritis dari Dickey-Fuller test yang lebih kecil dari nilai absolut 2.57 (sedangkan Log CPUE dengan tanpa trend menunjukkan data stationer). Dengan hasil tersebut, maka dilakukan pendekatan teknik co-integration untuk menghadapi masalah nonstationarity dalam pendugaan parameter ini. Setelah dilakukan teknik co- 4 Metode untuk standardisasi fishing effort ada beberapa cara, sebagai contoh Stark (1971), juga Hilborn dan Walters (1992). Namun demikian kedua metode tersebut tidak dapat diimplementasikan dalam penelitian ini karena data yang diperlukan tidak tersedia, serta perhitungan yang cukup kompleks. 5 Dalam studi ini jaring insang hanyut digunakan sebagai standard mengingat proporsi terbesar jumlah hasil tangkapan ikan demersal di perairan Kabupaten Bengkalis diperoleh dari alat tangkap ini.

integration dan melalui iterasi Cochran-Orcutt untuk menghilangkan autokorelasi, maka dihasilkan parameter biologi untuk analisis seperti disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil analisis nilai parameter biologi No. Parameter Nilai 1. r 0.515692 2. K 1154.16157 3. q 0.0009386 4. Durbin-Watson 1.96 89 5.4 Estimasi Parameter Ekonomi 5.4.1 Struktur Biaya Hasil analisis terhadap perhitungan biaya per unit standardized effort dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Total biaya kegiatan penangkapan ikan target dari tahun 1985-2002 No. Biaya Real (Rp Juta/ton) Total Biaya (Rp juta) 1. 1985 1.09 632.457 2. 1986 0.97 630.418 3. 1987 1.18 832.261 4. 1988 1.14 838.342 5. 1989 1.11 895.735 6. 1990 1.10 944.461 7. 1991 1.36 1 067.744 8. 1992 1.25 1 093.647 9. 1993 1.47 1 333.782 10. 1994 1.36 1 373.339 11. 1995 1.85 1 862.170 12. 1996 2.09 2 073.197 13. 1997 1.92 2 148.892 14. 1998 3.53 4 176.528 15. 1999 6.54 6 920.805 16. 2000 6.00 6 677.765 17. 2001 7.29 8 595.967 18. 2002 6.65 9 787.981

Untuk jelasnya perkembangan biaya operasional untuk penangkapan ikan dari alat tangkap yang sudah distandarisasi dapat dilihat pada Gambar 18. 90 12000 10000 Biaya (Rp juta) 8000 6000 4000 2000 0 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 Total Biay a (Rp juta) Gambar 18. Total biaya penangkapan ikan taget dari tahun 1985-2002 Gambar 18 memperlihatkan bahwa biaya operasional menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa seiring dengan pertambahan waktu maka biaya untuk melaut juga semakin meningkat. 5.4.2 Estimasi Discount Rate Dari hasil perhitungan discount rate dengan teknik Kula, akan diperoleh laju pertumbuhan dari PDRB Kabupaten Bengkalis sebagai g=11% (Lampiran 6). Dengan menggunakan standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam dari Brent (1997) sebesar 1, dan ρ diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate) dari Ramsey 6, sebesar 15% maka diperoleh nilai real discount rate (r) sebesar (4%). Nilai ini merupakan nilai yang cukup konservatif untuk sumberdaya alam, dan patut dipertimbangkan penggunaannya dalam eksploitasi sumberdaya alam. Tentu 6 Idealnya perhitungan real interest rate dalam model Kula ini harus memperhitungkan ρ pure time preference, namun nilai ini harus dihitung berdasarkan kemungkinan survival rate-rata (average survival probability). Namun demikian, kenyataan data di lapangan tidak tersedia, sehingga nilai ρ ini disubsitusi oleh nominal discount rate sebagaimana dirumuskan pada persamaan Ramsey.

91 saja, dalam hal ini sumberdaya perikanan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Dalam penelitian ini selanjutnya, perhitungan nilai ekonomi (rente) sumberdaya dilakukan dengan berbasiskan dua macam discount rate tersebut. 5.5 Estimasi Sustainable Yield Setelah parameter biologi ditentukan, maka nilai parameter-parameter tersebut digunakan untuk menduga nilai tangkap lestari serta melakukan perbandingan dengan nilai tangkap aktual. Hal ini diperlukan untuk melihat bagaimana keragaan (performance) dari produksi perikanan selama periode waktu 1985-2002. Hasil perbandingan untuk fungsi Gompertz dan fungsi logistik dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Perbandingan produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan Schaefer) Effort (Trip) Produksi Aktual (Ton) Sust. Yield Gompertz (Ton) Sust. Yield Schaefer (Ton) 1985 67 556 580.09 647.15 641.84 1986 68 665 646.61 656.45 650.87 1987 76 816 705.82 723.55 715.78 1988 69 219 732.97 661.08 655.37 1989 69 049 803.83 659.66 653.99 1990 68 536 860.10 655.36 649.82 1991 71 412 784.64 679.30 673.04 1992 69 726 877.99 665.30 659.47 1993 76 393 908.04 720.12 712.48 1994 74 172 1 011.16 702.02 695.02 1995 88 018 1 008.57 812.34 800.73 1996 89 855 990.23 826.52 814.19 1997 87 350 1 117.62 807.16 795.81 1998 102 246 1 183.63 919.53 901.49 1999 107 353 1 058.94 956.53 935.71 2000 106 928 1 112.14 953.48 932.90 2001 110 920 1 178.84 981.92 959.00 2002 117 889 1 472.25 1 030.45 1 003.05 Sumber data diolah dari: Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau 1986-2003

92 Tabel 16 memperlihatkan bahwa nilai produksi lestari sepanjang tahun untuk fungsi Gompertz relatif lebih tinggi dari fungsi Schaefer, walaupun secara umum hampir tidak menunjukkan perbedaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 19. Produksi (10 Ton) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Produksi Aktual Gompertz Schaefer Gambar 19. Produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan Schaefer) Perbandingan tersebut kemudian diperkuat dengan analisis Copes eye ball method untuk melihat trajektori atau loop kontraksi dan ekspansi dari input (effort). Dari analisis sustainable yield dengan menggunakan parameterparameter biologi, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Gompertz : (-0.00182004 Et) h t = 1.08327226 E t exp Schaefer : 2 h t = 1.08327226 E t - 0.00197160 E t Dengan menggunakan persamaan tersebut, maka kurva sustainable yield-effort akan diperoleh. Analisis Copes eye ball kemudian digunakan untuk melihat trajektori dari kedua fungsi lestari di atas. Selanjutnya dilakukan overlay antara produksi aktual dengan sustainable yield sebagaimana disajikan pada Gambar 20 dan 21.

93 250 200 Produksi 150 100 50 '02 '97 '98 '01 '00 '99 '94 '95 '96 '90 '92 '93 '89 '91 '88 '86 '87 '85 0 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Effort Gambar 20. Copes eye ball sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) 150 '02 Produksi 100 50 '98 '01 '97'00 '99 '94'95 '96 '90 '92 '93 '89 '91 '88 '87 '86 '85 0 0 100 200 300 400 500 600 Effort Gambar 21. Copes eye ball sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Logistik)

94 Gambar 20 dan 21 memperlihatkan bahwa kurva dengan garis hitam solid menunjukkan kurva sustainable yield, sedangkan kurva dengan garis merah untuk fungsi Gompertz dan logistik yang merupakan trajektori produksi aktual. Selanjutnya Gambar 22 dan 23 memperlihatkan bahwa jika produksi aktual diplot terhadap fungsi lestari, maka terlihat adanya pola ekspansi dan kontraksi. Ekspansi yang akan terjadi, bergerak ke arah titik maksimum sustainable yield, pada periode berikutnya akan terjadi kontraksi yang menuju ke pola awal. Yield ekspansi kontraksi Effort Gambar 22. Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) Yield ekspansi kontraksi Effort Gambar 23. Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Logistik)

95 5.6 Degradasi Sumberdaya Perikanan Analisis mengenai degradasi sumberdaya perikanan dalam studi ini merupakan salah satu hal yang penting dilakukan. Hasil perhitungan koefisien degradasi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dapat dilihat pada Lampiran 7. Laju degradasi sumberdaya perikanan untuk produksi aktual dan lestari dapat dilihat pada Gambar 24 dan 25. Gambar 24 dan 25 memperlihatkan bahwa laju degradasi sumberdaya perikanan baik dengan menggunakan data produksi aktual maupun data produksi lestari memiliki pola yang relatif sama, dimana koefisien degradasi yang rendah terjadi di awal-awal periode kemudian mengalami peningkatan pada periode-periode selanjutnya. Hal ini berkaitan dengan makin meningkatnya produksi aktual selama kurun waktu pengamatan. 0.40 Koefisien Degradasi 0.30 0.20 0.10 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 Koefisien Degradasi Lestari 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Gambar 24. Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi lestari

96 0.40 Koefisien Degradasi 0.30 0.20 0.10 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Koefisien Degradasi Aktual Gambar 25. Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi aktual Selanjutnya perbandingan antara laju degradasi dengan produksi aktual dapat dilihat pada Gambar 26. Dari gambar terlihat bahwa laju degradasi memiliki pola yang relatif sama dengan produksi aktual. Laju degradasi mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi aktual, begitu juga sebaliknya, ketika terjadi penurunan produksi aktual maka laju degradasi juga mengalami penurunan. Produksi (10 Ton) 1,600 1,200 800 0.40 0.33 0.25 0.18 Koefisien Degradasi 400 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Produksi Aktual Koefisien Degradasi 0.10 Gambar 26. Perbandingan laju degradasi dengan produksi aktual

97 Perbandingan laju degradasi sumberdaya perikanan dengan upaya aktual dapat dilihat pada Gambar 27. Dari gambar terlihat bahwa secara umum degradasi memiliki pola yang relatif sama dengan upaya aktual, dimana peningkatan dari upaya juga diikuti dengan peningkatan degradasi. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan upaya akan dapat menjadi penyebab terjadinya peningkatan degradasi. Untuk itu diperlukan tindakan pengelolaan terhadap upaya sehingga laju degradasi sumberdaya ikan di pulau-pulau kecil bisa dikurangi atau dapat dikendalikan. Effort (Trip) 120,000 110,000 100,000 90,000 80,000 70,000 0.40 0.33 0.25 0.18 60,000 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 Koefisien Degradasi 1997 1998 1999 2000 2001 2002 0.10 Effort Koefisien Degradasi Gambar 27. Perbandingan laju degradasi dengan effort aktual 5.7 Depresiasi Sumberdaya Perikanan Keseluruhan hasil estimasi parameter biofisik dan ekonomi digunakan untuk menghitung nilai depresiasi sumberdaya. Dengan menggunakan formula perhitungan depresiasi serta menggunakan hasil perhitungan model Gompertz maka nilai depresiasi sumberdaya perikanan dapat dihitung sebagaimana disajikan pada Tabel 17.

98 Tabel 17. Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumberdaya perikanan Sust Rev (Rp jt) TC (Rp jt) Sust Rent (Rp jt) PVSRa (Rp jt) PVSRa (Rp jt) PVSRb (Rp jt) PVSRb (Rp jt) 1985 2 083.18 632.46 1 450.72 9 671.46 9 671.46 36 267.98 36267.98 1986 2 072.27 630.42 1 441.85 9 612.37-59.10 36 046.37-221.61 1987 2 695.47 832.26 1 863.21 12 421.43 2 809.06 46 580.35 10 533.98 1988 2 752.97 838.34 1 914.63 12 764.19 342.76 47 865.70 1 285.35 1989 2 942.35 895.73 2 046.61 13 644.09 879.90 51 165.33 3 299.62 1990 3 105.31 944.46 2 160.85 14 405.65 761.56 54 021.18 2 855.85 1991 3 492.33 1 067.74 2 424.58 16 163.87 1 758.23 60 614.53 6 593.35 1992 3 588.04 1 093.65 2 494.39 16 629.26 465.39 62 359.73 1 745.20 1993 4 323.10 1 333.78 2 989.31 19 928.77 3 299.50 74 732.87 12 373.14 1994 4 469.34 1 373.34 3 096.00 20 639.97 711.21 77 399.90 2 667.03 1995 5 909.36 1 862.17 4 047.19 26 981.26 6 341.29 101 179.73 23 779.83 1996 6 557.07 2 073.20 4 483.87 29 892.48 2 911.22 112 096.79 10 917.06 1997 6 827.53 2 148.89 4 678.64 31 190.91 1 298.43 116 965.91 4 869.12 1998 12 914.88 4 176.53 8 738.35 58 255.69 27 064.78 218 458.84 101 492.93 1999 21 202.86 6 920.81 14 282.05 95 213.67 36 957.98 357 051.27 138 592.42 2000 20 474.11 6 677.76 13 796.34 91 975.61-3 238.06 344 908.55-12 142.72 2001 26 164.53 8 595.97 17 568.56 117 123.76 25 148.14 439 214.08 94 305.53 2002 29 417.33 9 787.98 19 629.35 130 862.33 13 738.58 490 733.75 51 519.67 Keterangan: Sust Rev = Penerimaan Lestari (Sustainable Revenue) TC = Biaya Total Sust Rent = Rente Lestari (Sustainable Rent) PVRa = Present Value Sustainable Rent dengan δ market=15% PVRb = Present Value Sustainable Rent dengan δ Kulla=4% PVRa = Perubahan Present Value Sustainable Rent (depresiasi) dengan δ market=15% PVRb = Perubahan Present value Sustainable Rent (depresiasi) dengan δ Kulla=4% Dari tabel terlihat bahwa dengan market discount rate sebesar 15% sumberdaya perikanan demersal di Bengkalis mengalami depresiasi pada tahun 1986 dan 2000. besaran depresiasi sumberdaya perikanan demersal berkisar Rp 59 juta sampai Rp 3.24 milyar. Sepanjang kurun waktu tersebut, nilai depresiasi

99 diestimasi sebesar Rp 3.3 milyar. Dengan rata-rata nilai present value dari rente sumberdaya sebesar Rp 40.4 milyar sepanjang tahun pengamatan. Besaran depresiasi tersebut cukup signifikan mengurangi nilai rente sumberdaya yang sebenarnya. Penghitungan rente sumberdaya perikanan demersal dengan menggunakan discount rate yang lebih konservatif dari Kula (4%) menghasilkan nilai rata-rata present value yang jauh lebih tinggi dari perhitungan rente dengan market discount rate yakni sebesar Rp 151.5 milyar. Dengan discount rate Kula depresiasi sumberdaya perikanan terjadi pada tahun yang sama seperti pada market discount rate, yakni sebesar Rp 12.4 milyar. Suatu nilai kehilangan yang relatif besar. Depresiasi ini seharusnya diperhitungkan dalam statistik pendapatan sektor perikanan di Kabupaten Bengkalis. Jika tidak, maka nilai PDRB dari sektor perikanan ini akan terlalu rendah pada tahun-tahun dimana stok ikan terapresiasi dan terlalu tinggi pada tahun-tahun dimana stok ikan terdepresiasi. Dengan discount rate Kula yang lebih konservatif, seperti yang dipaparkan di atas, ternyata dihasilkan nilai rente present value dan nilai depresiasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan market discount rate yang notabene tidak merefleksikan pertumbuhan ekonomi di wilayah penelitian. Dalam tahapan ini discount rate tidak dihitung berdasarkan Golden Rule sebagaimana seharusnya. Sehingga dampak dari perubahan discount rate terhadap pengelolaan optimal yang berkaitan dengan stok sumberdaya tidak dapat dibahas. Perubahan discount rate di sini hanya merupakan perubahan numeirare, sehingga tidak dapat dipakai sebagai suatu kesimpulan atau dijadikan suatu basis indikator untuk menentukan penyebab terjadinya perubahan nilai rente sumberdaya dan depresiasi berdasarkan stock assessment, sebagaimana yang dilakukan oleh Clark (1990).

100 Pola depresiasi sumberdaya perikanan mengalami pola yang counter cyclical antara upaya dan produksi aktual. Pada saat tingkat upaya (effort) terjadi penurunan, produksi aktual justru tidak menunjukkan perilaku yang sama, malah sebaliknya. Sebagai contoh ketika upaya menurun dari 76 816 trip ke 69 219 trip dari tahun 1987 ke 1988, maka produksi aktual justru meningkat dari 705.8 ton ke 733.0 ton. Perilaku counter cyclical ini, menyebabkan penurunan pada tangkap lestari (sustainable yield) sehingga mengakibatkan terjadinya depresiasi rente pada sumberdaya perikanan. Dengan demikian, implikasinya terhadap kebijakan adalah bahwa untuk meningkatkan nilai stok sumberdaya ikan, kebijakan untuk menurunkan level input (effort) adalah merupakan pilihan yang tepat. Pola depresiasi rente sumberdaya perikanan terhadap present value dari rente sumberdaya perikanan dapat dilihat pada Gambar 28. 550,000 450,000 Rente (Rp juta) 350,000 250,000 150,000 50,000-50,000 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 PVSR (a) Dep (a) PVSR (b) Dep (b) Gambar 28. Present value rente dan depresiasi Sedangkan keterkaitan antara perkembangan upaya (effort) dengan depresiasi dapat dilihat pada Gambar 29 dan 30.

101 Effort (000 Trip) 140 120 100 80 60 40 20 0 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0-5,000-10,000 Depresiasi (Rp juta) Depresiasi Effort Gambar 29. Effort dan depresiasi (Kula 15%) Effort (000 Trip) 140 120 100 80 60 40 20 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 Depresiasi (Rp juta) 0 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002-20,000 Depresiasi Effort Gambar 30. Effort dan depresiasi (Kula 4%) Gambar 29 dan 30 memperlihatkan bahwa hubungan antara upaya dengan depresiasi yang tidak terjadi secara seketika. Artinya, ketika upaya tinggi depresiasi sumberdaya perikanan tidak terjadi pada saat itu, melainkan terjadi lag, sehingga depresiasi baru akan terjadi pada periode berikutnya.

102 Depresiasi yang terjadi diakibatkan oleh perkembangan effort yang berlebihan pada periode sebelumnya sehingga walaupun effort cenderung menurun pada periode tertentu namun depresiasi sumberdaya perikanan tetap terjadi. 5.8 Pengelolaan Sumberdaya Yang Optimal Sumberdaya perikanan merupakan aset kapital yang dalam pengelolaannya secara optimal juga memerlukan pendekatan kapital, sebagaimana halnya dengan sumberdaya alam lainnya. Dengan demikian dibutuhkan pertimbangan aspek intertemporal dalam analisisnya. Pada pendekatan kapital, biaya korbanan (opportunity cost) untuk mengeksploitasi sumberdaya pada saat ini diperhitungkan melalui perhitungan rente ekonomi optimal (optimal rent) yang seharusnya didapat dari sumberdaya perikanan, jika sumberdaya tersebut dikelola secara optimal. Hasil perhitungan analisis optimal dengan menggunakan real discount rate dari Kula 4% dan market discount rate 15% sepanjang tahun pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 8. Nilai optimal biomass, hasil tangkapan dan effort dengan nilai δ yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 18. Dari tabel di atas diperoleh nilai rata-rata biomass, hasil tangkapan dan input yang optimal pada real discount rate dari Kula 4% berturut-turut yaitu 5l491.27 ton, 2l103.46 ton dan 408l123 trip. Sedangkan nilai rata-rata biomass, hasil tangkapan dan input yang optimal pada market discount rate 15% berturutturut yaitu 5l154.79 ton, 2l142.66 ton dan 442l865 trip. Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa dengan menggunakan nilai discount rate yang lebih kecil (real discount rate) dari Kula maka diperoleh nilai optimal biomass yang relatif lebih tinggi dan input yang relatif lebih rendah daripada perhitungan dengan menggunakan market discount rate.

103 Tabel 18. Nilai optimal biomass, hasil tangkapan dan effort dengan nilai δ yang berbeda Opt Biomass (Ton) Discount Rate 4% Discount Rate 15% Opt Yield (Ton) Opt Effort (Trip) Opt Biomass (Ton) Opt Yield (Ton) Opt Effort (Trip) 1985 5 491.29 2 103.46 408 121 5 154.82 2 142.66 442 863 1986 5 491.27 2 103.46 408 122 5 154.80 2 142.66 442 865 1987 5 491.35 2 103.45 408 115 5 154.89 2 142.65 442 854 1988 5 491.22 2 103.47 408 127 5 154.74 2 142.67 442 871 1989 5 491.24 2 103.47 408 126 5 154.76 2 142.67 442 869 1990 5 491.32 2 103.46 408 118 5 154.86 2 142.66 442 858 1991 5 491.27 2 103.46 408 122 5 154.80 2 142.66 442 865 1992 5 491.28 2 103.46 408 121 5 154.81 2 142.66 442 863 1993 5 491.31 2 103.46 408 119 5 154.84 2 142.66 442 860 1994 5 491.31 2 103.46 408 119 5 154.84 2 142.66 442 860 1995 5 491.30 2 103.46 408 120 5 154.83 2 142.66 442 861 1996 5 491.30 2 103.46 408 120 5 154.83 2 142.66 442 862 1997 5 460.98 2 107.44 411 162 5 117.77 2 146.30 446 826 1998 5 491.28 2 103.46 408 122 5 154.81 2 142.66 442 863 1999 5 491.26 2 103.46 408 123 5 154.79 2 142.66 442 866 2000 5 491.28 2 103.46 408 122 5 154.80 2 142.66 442 864 2001 5 491.28 2 103.46 408 121 5 154.81 2 142.66 442 863 2002 5 491.28 2 103.46 408 122 5 154.80 2 142.66 442 864 Rataan 5 491.27 2 103.46 408 123 5 154.79 2 142.66 442 865 Untuk lebih jelasnya perbedaan nilai biomass dan produksi yang optimal sepanjang tahun pengamatan untuk kedua nilai discount rate dapat dilihat pada Gambar 31.

104 600 500 400 300 200 100 0 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Biomass & Yield Opt_biomas (4% ) Opt_biomas (15% ) Opt_yield (4% ) Opt_yield (15% ) Gambar 31. Nilai optimal biomass dan produksi dengan nilai δ yang berbeda (10 ton) Gambar 31 menunjukkan bahwa sepanjang tahun pengamatan nilai optimal biomass pada real discount rate dari Kula 4% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan optimal biomass pada market discount rate 15%. Namun sebaliknya nilai produksi optimal pada market discount rate relatif lebih tinggi dibandingkan dengan produksi optimal pada real discount rate. Menurut Clark (1971) dalam Hanesson (1987) dan Clark (1990), nilai discount rate yang lebih tinggi akan menyebabkan peningkatan laju optimal dari eksploitasi pada sumberdaya yang terbaharukan, dengan demikian kemungkinan akan terjadi kepunahan akan semakin besar. Lebih jauh lagi Hanesson (1987) menyatakan bahwa seperti juga pada sumberdaya tidak terbaharukan, pada dasarnya dampak discount rate terhadap laju eksploitasi dan standing stock biomass dari sumberdaya terbaharukan tidak pasti (ambiguous), dan ketidakpastian ini tergantung pada peran ganda dari discount rate. Pada sisi lain, discount rate menggambarkan laju nilai dari aset. Untuk sumberdaya terbaharukan seperti perikanan, yang memiliki fungsi pertumbuhan berbentuk cembung (concave), discount rate yang lebih tinggi akan menyebabkan stok

105 biomass menjadi lebih sedikit. Pada sisi lain, discount rate juga mengekspresikan opportunity cost dari kapital untuk diinvestasikan pada peralatan produksi. Semakin tinggi discount rate, akan menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi. Pada akhirnya akan menyebabkan produksi intensif optimal menjadi lebih rendah dari stok yang semakin tinggi. Dari hasil penelitian ini, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, mengindikasikan bahwa terjadi penurunan level biomass pada discount rate yang lebih tinggi. Hal ini dapat dipahami karena penelitian ini menggunakan parameter real cost yang disesuaikan dengan indeks harga konsumen, sehingga price ratio menjadi relatif konstan. Dengan demikian, yang lebih berpengaruh dalam hal ini adalah fungsi produksi itu sendiri yang menyebabkan penurunan biomass pada tingkat discount rate yang lebih tinggi. Dengan mengetahui nilai optimal ketiga variabel tersebut, maka akan dapat dibandingkan kondisi pengelolaan sumberdaya perikanan baik pada kondisi aktual, lestari maupun optimal. Perbandingan dari sisi produksi antara ketiga kondisi tersebut menggunakan real discount rate dan market discount rate dapat dilihat pada Gambar 32 dan Gambar 33. 250 200 Produksi (10 Ton) 150 100 50-1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Prod_Aktual Prod_Lestari Prod_Optimal Gambar 32. Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=4%)

106 Dari gambar terlihat bahwa pada awal-awal periode, produksi aktual masih di bawah kondisi lestari maupun optimal. Namun mulai tahun 1988 sampai akhir tahun pengamatan, produksi aktual sudah melampaui produksi lestari. Namun secara keseluruhan kondisi aktual masih di bawah kondisi optimal, walaupun demikian terlihat bahwa produksi aktual cenderung mengalami peningkatan dan tentu saja jika tidak dikelola dengan baik suatu saat akan dapat melebihi produksi pada kondisi optimal. 250 200 150 100 50-1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Produksi (10 Ton) Prod_Aktual Prod_Lestari Prod_Optimal Gambar 33. Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=15%) Jika sumberdaya perikanan dikelola secara optimal maka produksi harus mengikuti trajektori optimal (garis kuning), yaitu sekitar 2103.46 ton (real discount rate) dan 2142.66 ton (market discount rate). Untuk melihat perbandingan antara input aktual dan optimal pada kedua kondisi discount rate dapat dilihat pada Gambar 34.

107 Effort (1000 Trip) 500 400 300 200 100 0 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Std_Effort Opt_effort (4% ) Opt_effort (15% ) Gambar 34. Perbandingan input aktual dan optimal Gambar 34 menunjukkan bahwa upaya optimal pada kondisi market discount rate 15% relatif lebih tingggi dibandingkan dengan kondisi real discount rate dari Kula 4%. Namun demikian sepanjang tahun pengamatan kondisi tingkat upaya optimal pada kedua discount rate tersebut relatif masih lebih tingggi dibandingkan dengan tingkat upaya aktual (standard effort). Input harus mengikuti trajektori optimal pada level 408l123 trip/tahun (garis pink) untuk real discount rate dan level 442l865 trip/tahun (garis kuning) untuk market discount rate. Selanjutnya akan diperoleh nilai sustainable rent optimal sepanjang tahun pengamatan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 19. Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai optimal rent pada market discount rate 15% relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan real discount rate dari Kula 4%. Namun sebaliknya nilai present value optimal rent pada kondisi real discount rate lebih tinggi dibandingkan pada kondisi market discount rate.

108 Tabel 19. Sustainable rent optimal dengan nilai δ yang berbeda OR 4 (Rp juta) PVOR 4 (Rp juta) OR 15 (Rp juta) PVOR 15 (Rp juta) 1985 6 760.16 169 003.94 6 886.35 45 908.97 1986 6 630.49 165 762.13 6 754.23 45 028.23 1987 7 824.29 195 607.27 7 970.33 53 135.53 1988 8 748.20 218 705.01 8 911.44 59 409.63 1989 9 371.22 234 280.39 9 546.07 63 640.44 1990 9 955.85 248 896.23 10 141.60 67 610.64 1991 10 800.48 270 011.93 11 002.01 73 346.74 1992 11 331.72 283 293.12 11 543.14 76 954.26 1993 12 612.98 315 324.38 12 848.31 85 655.40 1994 13 377.81 334 445.14 13 627.37 90 849.16 1995 15 283.17 382 079.29 15 568.34 103 788.93 1996 16 666.47 416 661.76 16 977.46 113 183.09 1997 17 807.06 445 176.56 18 135.78 120 905.23 1998 29 508.12 737 703.11 30 058.70 200 391.37 1999 46 561.02 1 164 025.50 47 429.96 316 199.72 2000 45 107.81 1 127 695.26 45 949.57 306 330.48 2001 55 976.79 1 399 419.67 57 021.35 380 142.31 2002 59 983.23 1 499 580.74 61 102.33 407 348.88 Keterangan: OR 4 = Optimal rent δ 4 % PVOR 4 = Present value optimal rent δ 4 % OR 15 = Optimal rent δ 15 % PVOR 15 = Present value optimal rent δ 15 % Tabel 19 memperlihatkan bahwa optimal rent pada real discount rate 4% berkisar dari Rp 6.63-59.98 milyar sedangkan pada market discount rate 15% berkisar dari Rp 6.75-40.73 milyar. Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa optimal rent pada real discount rate relatif lebih tinggi dibandingkan pada market discount rate. Untuk lebih jelasnya perbandingan sustainable rent optimal pada kedua kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 35.

109 70,000 60,000 Rente (Rp juta) 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000-1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 OR (4%) OR (15%) Gambar 35. Sustainable rent untuk pengelolaan optimal (Rp juta) Perbandingan rente ekonomi yang diperoleh antara annual sustainable rent dan rente dalam kondisi pengelolaan optimal dapat dilihat pada Tabel 20. Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai present value optimal rent (PVOR) real discount rate dari Kula 4% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan present value optimal rent pada market discount rate 15%. Selanjutnya perbedaan present value rente optimal dan sustainable pada kondisi real discount rate dari Kula 4% menunjukkan trend yang sama yang relatif lebih tinggi dibandingkan pada market discount rate 15%. Tabel 20. Perbedaan present value rente optimal dan sustainable PVSR (Rp juta) (a) PVOR (15%) (Rp juta) (b) PV Rent (Rp juta) (b-a) PVOR (4%) (Rp juta) ( c ) PV Rent (Rp juta) (c-a) 1985 9 671.46 45 908.97 36 237.51 169 003.94 159 332.48 1986 9 612.37 45 028.23 35 415.86 165 762.13 156 149.77 1987 12 421.43 53 135.53 40 714.11 195 607.27 183 185.85 1988 12 764.19 59 409.63 46 645.44 218 705.01 205 940.82 1989 13 644.09 63 640.44 49 996.35 234 280.39 220 636.31 1990 14 405.65 67 610.64 53 205.00 248 896.23 234 490.59

110 PVSR (Rp juta) (a) PVOR (15%) (Rp juta) (b) PV Rent (Rp juta) (b-a) PVOR (4%) (Rp juta) ( c ) PV Rent (Rp juta) (c-a) 1991 16 163.87 73 346.74 57 182.87 270 011.93 253 848.06 1992 16 629.26 76 954.26 60 325.00 283 293.12 266 663.86 1993 19 928.77 85 655.40 65 726.64 315 324.38 295 395.62 1994 20 639.97 90 849.16 70 209.18 334 445.14 313 805.16 1995 26 981.26 103 788.93 76 807.67 382 079.29 355 098.03 1996 29 892.48 113 183.09 83 290.61 416 661.76 386 769.28 1997 31 190.91 120 905.23 89 714.32 445 176.56 413 985.65 1998 58 255.69 200 391.37 142 135.67 737 703.11 679 447.42 1999 95 213.67 316 199.72 220 986.05 1 164 025.50 1 068 811.83 2000 91 975.61 306 330.48 214 354.86 1 127 695.26 1 035 719.65 2001 117 123.76 380 142.31 263 018.56 1 399 419.67 1 282 295.91 2002 130 862.33 407 348.88 276 486.55 1 499 580.74 1 368 718.41 Keterangan: PVSR = Present value sustainable rent PVOR = Present value optimal rent Untuk lebih jelasnya gambaran tentang perbedaan present value rente optimal dan sustainable dapat dilihat pada Gambar 36. 1600000 1400000 Rente (Juta Rupiah) 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 PV Rent (15%) PV Rent (4%) Gambar 36. Perbedaan present value rente optimal dan sustainable (Rp juta)

111 Perbedaan effort aktual dan optimal serta sustainable rent dan optimal dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Perbandingan effort aktual dan optimal serta sustainable rent dan optimal (δ=15%) Std Effort (Trip) Sust Rent (Rp juta) Effort Optimal (Trip) Rente % Perbedaan Optimal (Rp juta) Effort Rente 1985 67 556 1 450.72 442 863 6 886.35 555.55 374.68 1986 68 665 1 441.85 442 865 6 754.23 544.96 368.44 1987 76 816 1 863.21 442 854 7 970.33 476.52 327.77 1988 69 219 1 914.63 442 871 8 911.44 539.81 365.44 1989 69 049 2 046.61 442 869 9 546.07 541.38 366.43 1990 68 536 2 160.85 442 858 10 141.60 546.17 369.33 1991 71 412 2 424.58 442 865 11 002.01 520.16 353.77 1992 69 726 2 494.39 442 863 11 543.14 535.15 362.76 1993 76 393 2 989.31 442 860 12 848.31 479.72 329.81 1994 74 172 3 096.00 442 860 13 627.37 497.07 340.16 1995 88 018 4 047.19 442 861 15 568.34 403.15 284.67 1996 89 855 4 483.87 442 862 16 977.46 392.86 278.63 1997 87 350 4 678.64 446 826 18 135.78 411.53 287.63 1998 102 246 8 738.35 442 863 30 058.70 333.14 243.99 1999 107 353 14 282.05 442 866 47 429.96 312.53 232.09 2000 106 928 13 796.34 442 864 45 949.57 314.17 233.06 2001 110 920 17 568.56 442 863 57 021.35 299.26 224.56 2002 117 889 19 629.35 442 864 61 102.33 275.66 211.28 Dari hasil analisis seperti terlihat pada tabel menunjukkan bahwa jika sumberdaya perikanan dikelola secara optimal maka rente ekonomi yang diperoleh secara keseluruhan lebih besar daripada annual rent. Hal ini ditunjukkan dengan perbedaan rente yang besar, yang akan berimplikasi pada pengendalian input yang baik yang masih dimungkinkan dilakukan. Pengendalian input ini diperlukan, karena selama kurun waktu 1985-2002 terlihat bahwa persentase perbedaan antara effort aktual dan optimal cenderung semakin mengecil (Gambar 37).

112 Perbedaan Effort (%) 700 600 500 400 300 200 100-1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Effort Gambar 37. Persentase perbedaan effort aktual dan optimal Gambar 37 menunjukkan bahwa upaya aktual sudah mendekati ke titik optimal. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan suatu saat akan dapat melampaui titik optimal. Untuk rente sumberdaya ikan, memperlihatkan bahwa persentase perbedaan rente annual (sustainable rent) dengan optimal memiliki nilai positif, hal ini mengindikasikan bahwa rente pada dasarnya masih dapat ditingkatkan (Gambar 38). 400 350 Perbedaan Rente (%) 300 250 200 150 100 50-1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Rente Gambar 38. Persentase perbedaan rente sustainable dan optimal

113 5.9 Analisis Dinamis Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang bersifat dinamis, demikian juga gangguan terhadap keseimbangan sistem yang terjadi pada sumberdaya tersebut baik berupa hubungan langsung antara catch dan effort maupun hubungan tidak langsung antara keduanya merupakan sistem yang bersifat dinamis. Untuk itu perlu dilakukan analisis dinamis untuk melihat interaksi antara komponen-komponen tersebut. Dengan menggunakan parameter biologi dan ekonomi, yaitu nilai r, K, q, harga (p) dan biaya (c) yang telah dihitung sebelumnya, maka dihasilkan trajektori dinamis antara effort dan biomass seperti terlihat pada Gambar 39 berikut. Gambar 39. Trajektori effort dan biomas Gambar 39 memperlihatkan hubungan timbal balik antara effort dan biomass sepanjang waktu, trajektorinya membentuk pola dump occilation. Pada awal periode, ketika tingkat effort masih rendah level biomass relatif tinggi. Ketika kemudian effort mengalami peningkatan biomass mengalami penurunan sampai kemudian mencapai steady state pada t > 90. Tingkat steady state effort

114 akan dicapai pada t yang relatif lebih kecil. Selanjutnya analisis phase plane disajikan pada Gambar 40. Gambar 40. Analisis phase plane effort dan biomass Dari gambar terlihat bahwa phase plan antara upaya dan biomass memiliki keseimbangan stable focus dimana keseimbangan sistem akan dicapai dengan melalui penyesuaian antara upaya dan biomass. Artinya, peningkatan biomass hanya bisa dicapai jika upaya dikurangi. Hal ini menunjukkan bahwa apabila tingkat upaya yang ada melebihi kapasitas optimum mengakibatkan keseimbangan akan dapat dicapai dalam kurun waktu yang relatif lama pada saat biomass sudah mengalami penurunan. 5.10 Rezim Pengelolaan Perbandingan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan pada kondisi maximum economic yield (MEY), maximum sustainable yield (MSY) dan open access untuk biomass, upaya, produksi dan rente ekonomi dapat dilihat pada Gambar 41 dan 42. Proses perhitungan pengelolaan optimal pada ketiga kondisi tersebut, dapat dilihat pada Lampiran 9.

115 800 700 Biomass (10 Ton) 600 500 400 300 200 100 0 MEY MSY Open acces Rezim Pengelolaan Gambar 41. Rezim pengelolaan biomass Produksi (10 Ton) 450 400 350 300 250 200 150 100 50 - MEY MSY Open acces Rezim Pengelolaan 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 - Rente Ekonomi (Rp Juta) Effort Produksi Rente Ekonomi Gambar 42. Rezim pengelolaan effort, produksi dan rente ekonomi Gambar 41 memperlihatkan bahwa biomass tertinggi terdapat pada kondisi maximum economic yield (MEY) (7l320.1 ton) dan terendah pada kondisi open acces (3l098.6 ton). Selanjutnya pada Gambar 42 memperlihatkan bahwa pada kondisi maximum economic yield (MEY) menghasilkan input (effort) yang jauh lebih kecil yaitu 200l960 trip dari solusi open acces (401l930 trip) serta maximum sustainable yield (MSY) (274l720 trip). Di sisi lain solusi

116 MEY juga menghasilkan rente ekonomi yang paling tinggi sebesar Rp 8.1 milyar dibandingkan dua rezim pengelolaan yang lain, rente pada kondisi MSY sebesar Rp 7.0 milyar sedangkan pada kondisi open access nilai rentenya hampir mendekati nol. 5.11 Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Perikanan Hasil analisis interaksi antara ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan memperlihatkan bahwa ekosistem mangrove memberikan kontribusi terhadap produksi sumberdaya perikanan. Interaksi keduanya digambarkan oleh persamaan model Fozal berikut: 2 h t = 1.036915481E 0.0061751043E. Hasil perhitungan model Fozal dan peta sebaran mangrove dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11. Perbedaan produksi antara kondisi baseline dan model Fozal dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Perbedaan antara produksi sumberdaya perikanan baseline dengan Model Fozal Effort (Trip) Produksi Lestari Baseline (Ton) Mangrove (Ha) Produksi Lestari SDP dari Mangrove (Ton) Perbedaan Produksi (Ton) 1985 67 556 641.8 31 001.0 418.7 223.1 34.77 1986 68 665 650.9 33 587.5 420.9 230.0 35.34 1987 76 816 715.8 36 173.9 432.2 283.6 39.62 1988 69 219 655.4 38 760.3 421.9 233.5 35.62 1989 69 049 654.0 41 346.8 421.6 232.4 35.54 1990 68 536 649.8 43 933.2 420.6 229.2 35.27 1991 71 412 673.0 46 519.7 425.6 247.4 36.76 1992 69 726 659.5 49 106.1 422.8 236.7 35.89 1993 76 393 712.5 51 692.5 431.8 280.7 39.40 1994 74 172 695.0 54 279.0 429.4 265.6 38.22 1995 88 018 800.7 56 865.4 434.3 366.4 45.76 1996 89 855 814.2 59 451.9 433.2 381.0 46.80 1997 87 350 795.8 62 038.3 434.6 361.2 45.39 1998 102 246 901.5 64 624.7 414.7 486.8 54.00 1999 107 353 935.7 67 211.2 401.6 534.2 57.09 2000 106 928 932.9 69 797.6 402.8 530.1 56.83 2001 110 920 959.0 48 718.0 390.5 568.5 59.28 2002 117 889 1 003.1 48 567.0 364.3 638.8 63.68 Rata-rata 84 561 769.5 50 204.1 417.9 351.6 44.18 %

117 Selanjutnya trajektori produksi lestari sumberdaya perikanan baseline dan produksi dari kontribusi mangrove (Model Fozal) dapat dilihat pada Gambar 43. 120 100 80 60 40 20 0 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Produksi (10 Ton) Baseline Mangrove (Fozal) Gambar 43. Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal dari tahun 1985-2002 Dari Gambar 43 memperlihatkan bahwa mangrove di Kabupaten Bengkalis memberikan kontribusi sebesar 44.18%. Besar kecilnya kontribusi mangrove terhadap sumberdaya perikanan demersal diduga tergantung dari pola distribusi dan hubungan rantai makanan dengan ekosistem mangrove. Dari data produksi ikan demersal terlihat bahwa ikan senangin merupakan ikan yang dominan yang tertangkap dan alat tangkap yang dominan digunakan adalah jaring insang hanyut. Alat tangkap ini umumnya beroperasi di wilayah laut yang agak jauh ke tengah yang relatif jauh dari kawasan mangrove. Peta sebaran alat tangkap yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 12, sedangkan kurva lestari dari produksi sumberdaya perikanan baseline dan Model Fozal dapat dilihat pada Gambar 44.

118 Baseline Mangrove Gambar 44. Kurva sustainable yield baseline dan Model Fozal Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung kehidupan berbagai organisme akuatik. Disamping sebagai habitat bagi berbagai jenis organisme akuatik yang berasosiasi dengannya, ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai tempat memelihara larva, tempat bertelur dan tempat untuk mencari makan bagi berbagai organisme akuatik. Menurut Ruitenbeek (1992), nilai net benefit tahunan mangrove di Indonesia sekitar US$l235. Dari keseluruhan nilai tersebut kegiatan perikanan (fisheries) memberikan kontribusi terbesar sekitar US$l117 (49.79 %), diikuti oleh kegiatan kehutanan (forestry) sekitar US$l67 (28.51 %), pemanfaatan oleh masyarakat lokal (local uses) sekitar US$l33 (14.04 %), fungsi keanekaragaman hayati (biodiversity) US$ 15 (6.38 %), dan fungsi penahan erosi US$ 3 (1.28%). Selanjutnya Alikodra (1999) menyatakan bahwa nilai penting lain dari ekosistem mangrove adalah dalam bentuk fungsi-fungsi ekologi yang vital, termasuk pengendalian terhadap erosi pantai, stabilisasi sedimen, perlindungan bagi terumbu karang di dekatnya terhadap padatan-padatan tersuspensi, perlindungan bagi tataguna lahan di wilayah pantai dari badai dan tsunami, pencegahan terhadap intrusi garam, pemurnian alami perairan pantai terhadap polusi, suplai detritus organik dan hara untuk perairan patai di dekatnya, serta

119 penyediaan pakan, pemeliharaan larvae dan perkembangbiakan ikan dan kehidupan lainnya. Kawaroe et al. (2001) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam dinamika ekosistem pesisir dan laut, terutama perikanan pantai sehingga pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem mangrove merupakan salah satu alasan untuk tetap mempertahankan keberadaan ekosistem tersebut. Peran ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan laut dapat dihubungkan dengan fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang keberadaan biota menurut beberapa aspek antara lain adalah fungsi fisik, biologi, dan sosial ekonomi. Salah satu alasan yang menjadikan ekosistem mangrove sangat terkait dengan perairan di sekitarnya adalah keunikan ekosistem mangrove yang merupakan batas yang menghubungkan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga dapat mempengaruhi proses kehidupan biota (flora dan fauna) di wilayah tersebut. Berbeda dengan ekosistem darat, mangrove adalah ekosistem terbuka, yang dihubungkan dengan ekosistem laut melalui arus pasang surut. Keterkaitan ekosistem mangrove dengan sumberdaya ikan telah dibuktikan oleh Paw dan Chua (1989) yang melakukan penelitian di Filipina, dan menemukan hubungan positif antara area mangrove dan penangkapan udang penaeid. Di Indonesia, Martosubroto dan Naamin (1977) membuktikan hubungan yang positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Tetapi Chansang (1979), menyatakan hubungan yang ada tidak linear dan terdapat hubungan negatif antara mangrove dan hasil panen udang pada setiap unit area yang merupakan produktivitas mangrove. Mengingat peran penting ekosistem mangrove terhadap sumberdaya perikanan maka perlu dilakukan upaya-upaya pengelolaan terhadap kawasan mangrove. Apa yang terjadi di Easter Island dimana hutan-hutan dieksploitasi untuk dijadikan bahan pembuat kapal-kapal penangkap ikan dan berbagai kebutuhan lainnya tanpa mengindahkan kelestarian sumberdaya tersebut. Akibatnya berdampak negatif terhadap sumberdaya perikanan yang mengalami

120 collaps dan dibutuhkan waktu lebih kurang 200 tahun untuk pemulihan (recovery) sumberdaya perikanan. Menurut Imran et al. (2002), secara umum permasalahan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia, yaitu : (1) Kurangnya intensitas perlindungan (protection), perawatan, dan perbaikan terhadap kondisi hutan mangrove baik itu oleh institusi kehutanan maupun masyarakat di sekitarnya. (2) Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan kawasan ekosistem hutan mangrove sebagai kawasan yang kaya akan natural resources yang apabila digali dan dimanfaatkan secara bijaksana dapat memberikan input bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan pada masyarakat sendiri. (3) Kurangnya pembinaan dan kerja sama antar seluruh stakeholder dalam menjaga dan memperbaiki kondisi ekosistem hutan mangrove. (4) Belum jelasnya penataan wilayah pengelolaan hutan mangrove di setiap daerah, sehingga menyebabkan ketidakjelasan pemanfaatan hutan mangrove bagi masyarakat, baik itu untuk budidaya perikanan berupa daerah pertambakan, maupun untuk keperluan bahan baku. (5) Pemerintah masih kurang melibatkan stakeholder yang berkepentingan terhadap pengelolaan ekosistem hutan mangrove, mulai dari tahap perumusan, perencanaan, pelaksanaan hingga ke tahap evaluasi dan monitoring kegiatan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove. (6) Kebijakan yang dilaksanakan dalam pengelolaan ekosistem mangrove masih bersifat sentralistik. Artinya, kebijakan pengelolaan masih diseragamkan hampir di setiap daerah, tanpa memperhatikan aspek sosial-budaya serta potensi lokal wilayah tersebut. (7) Dikaitkan dengan otonomi, maka pengelolaan ekosistem mangrove masih memperhatikan batas administratif atau wilayah dan tidak berdasarkan aspek ekologi. Hampir setiap daerah membuat kebijaksanaan pengelolaan hutan mangrove secara sendiri-sendiri. Sehingga pengelolan tersebut lebih banyak menghasilkan dampak

121 negatif dari pada dampak positifnya, khususnya bagi masyarakat sekitarnya. (8) Penegakkan dan penerapan hukum masih sangat lemah, sehingga masih jarang orang yang dihukum akibat merusak ekosistem mangrove. Selanjutnya menurut Bengen (2001b), salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka pengupayaan perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menetapkan suatu kawasan hutan mangrove sebagai kawasan hutan konservasi, dan sebagai suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil, contohnya area wilayah P. Rambut dan Pulau Dua (Jawa Barat) yang ditunjuk sebagai suatu kawasan suaka marga satwa, yaitu kawasan habitat burung. Contoh lain adalah penunjukan areal Taman Nasional Tanjung Putting di Kalimantan Tengah, dan kawasan Sali di Bali Barat, dimana sebagian dari kedua kawasan tersebut merupakan kawasan hutan mangrove. Dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor : KB.550/264/Kpts/4/1984 dan Nomor : 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984, dimana di antaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat Keputusan Bersama ini dibuat, selain dengan tujuan utama untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove di antara instansi-instansi yang terkait. Surat Keputusan Bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 507/IV_BPHH/1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu selebar 200 m di sepanjang pantai, dan 50 m di sepanjang tepi sungai. Penentuan lebar sabuk hijau sebagaimana disebutkan di atas lebih dikuatkan lagi dengan Keputusan Presiden No. 32 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai. Kriteria