untuk Melaksanakan REDD+ di INDONESIA 1

dokumen-dokumen yang mirip
pembayaran atas jasa lingkungan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Isebagai satu negara dengan luasan hutan terbesar ketiga dunia,

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN

Usulan mengenai mekanisme distribusi insentif telah diajukan oleh

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

Mempersiapkan Program Pengurangan Emisi dalam Kerangka Skema Carbon Fund

STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK

Muhammad Zahrul Muttaqin Badan Litbang Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TRAINING UPDATING DAN VERIFIKASI DATA PSP UNTUK MRV KARBON HUTAN

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

REDD+: Selayang Pandang

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

Kebijakan Pelaksanaan REDD

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program

Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan

RENCANA KERJA 2015 DAN PENELITIAN INTEGRATIF

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI

KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

Oleh : Pusat Sosial Ekonomi Kebijakan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP. Proyek Persiapan Kesiapan Indonesia (Indonesia Readiness Preparation Project) Kawasan Regional EAP Sektor

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi REDD+ Indonesia

LOKAKARYA MONITORING DAN PELAPORAN PERMANEN SAMPEL PLOT DI PROPINSI NTB

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.

PENYIAPAN REGULASI: DISTRIBUSI TANGGUNGJAWAB DAN INSENTIF REDD+

GROUP E Pendanaan dan Distribusi Manfaat. No Pertanyaan Indikatif Scope of Discussion 1. Bagaimana status skema-skema pendanaan dan distribusi manfaat

INISIATIF PROVINSI RIAU DALAM REDD+

Ketidakpastian Pasar Karbon

Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa

BAB I PENDAHULUAN. Forest People Program (FPP) menemukan bahwa di negara dunia ketiga,

KITA, HUTAN DAN PERUBAHAN IKLIM

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga

Pertemuan Koordinasi GCF Bali, Juni 2014

ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012

Strategi Nasional REDD+

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

Prespektif CBFM Sebagai Salah Satu Skema Utama Penerima Manfaat Pendanaan Karbon Untuk Penurunan Kemiskinan Dan Resolosi Konflik

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan.

REDDI : FCPF-Readiness Plan/Readiness Preparation

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Terjemahan Tanggapan Surat dari AusAID, diterima pada tanggal 24 April 2011

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

MEKANISME DISTRIBUSI PEMBAYARAN REDD : Studi Kasus Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan PUSLITSOSEK 2009

MENCIPTAKAN HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

Bogor, November 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Dr. Ir Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc

PEMBAGIAN MANFAAT REDD+ DI KAWASAN HUTAN

2 Mengingat : 1. c. bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 39 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008, penugasan sebagian urusan pemerintahan dari

Mendorong Kesiapan Implementasi REDD+ di Indonesia

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

MEKANISME DISTRIBUSI INSENTIF REDD+

Rekomendasi Kebijakan Penggunaan Toolkit untuk Optimalisasi Berbagai Manfaat REDD+

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 19/Dik-2/2012 KURIKULUM DIKLAT FIELD SURVEY (PENGUKURAN KARBON)

Mungkinkah Dilakukan? Sulistya Ekawati, Lukas Rumboko, Yanto Rochmayanto, Kushartati, Fenti Salaka, Zahrul Muttaqin

Perlindungan Hutan Tropis Berbasis Kearifan Lokal. Inisiatif Hutan Desa di Kabupaten Merangin

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN DI SUMATERA BARAT

Mengarusutamakan Masyarakat Adat dalam Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERAN STRATEGIS KPH. Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014

Panggilan untuk Usulan Badan Pelaksana Nasional Mekanisme Hibah Khusus untuk Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal Indonesia November 2014

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEDOMAN DAN APLIKASI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN

2016, No Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

Policy Brief Tata Kelola Kehutanan

Transkripsi:

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Volume 6 No. 7 Tahun 2012 Rancangan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) untuk Melaksanakan REDD+ di INDONESIA 1 Indonesia merupakan salah satu negara pendukung skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation and Improving Carbon Stock in Developing Countries (REDD+) yang saat ini tengah dinegosiasikan untuk menjadi skema internasional yang mengikat negara-negara yang menyetujuinya. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh pemerintah untuk dapat melaksanakan REDD+ seperti penerbitan strategi nasional REDD+, pembentukan satuan tugas REDD+ yang bertugas mempersiapkan kelembagaan REDD+, dan persiapan-persiapan teknis seperti penyusunan pedoman MRV, REL dan safeguards. Namun demikian, hingga saat ini mekanisme pembiayaan dan distribusi manfaat REDD+ masih belum dapat ditetapkan. Policy Brief ini memberikan satu alternatif dalam mekanisme distribusi manfaat REDD+ di tingkat masyarakat melalui Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Latar belakang Pengelolaan kehutanan masyarakat 1 dipercaya merupakan salah satu sarana yang efektif untuk mengimplementasikan REDD+ di tingkat masyarakat lokal (Agrawal and Angelsen, 2009). Lebih jauh Agrawal and Angelsen (2009) menyatakan bahwa kesuksesan pengelolaan kehutanan masyarakat, atau Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) luas dan tata batas kawasan hutan; (2) aliran manfaat yang mudah diprediksi; (3) kelembagaan tenur; dan (4) tingkat otonomi pengelolaan. Kelembagaan lokal merupakan 1 Pengelolaan kehutanan masyarakat dapat berupa Participatory Forest Management (PFM), Joint Forest Management (JFM), Forest Co-Management, dan Community-Based Forest Management (CBFM). Policy brief ini menggunakan istilah CBFM sebagai padanan istilah PHBM. faktor utama dalam membangun dan melaksanaan PHBM (Ostrom, 1990). Namun demikian, jika kelembagaan lokal tidak sepenuhnya menadapatkan pengakuan formal, maka perlu adanya reformasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan kehutanan tingkat nasional untuk memadukan REDD dengan PHBM (Agrawal, 2007). Dengan demikian, analisis klaim hak atas sumberdaya hutan, terutama jika terjadi konflik antarpihak, merupakan hal yang paling penting untuk dilakukan sebelum merancang mekanisme distribusi manfaat REDD+ melalui pembayaran jasa lingkungan (PJL). Faktor penting lainnya dalam merancang PJL adalah tingkat otonomi lokal dalam membangun kelembaagan dimana posisi masyarakat lokal dalam jejaring relasi kekuasaan dengan pihakpihak lain perlu diketahui. 1 Disusun oleh Zahrul Muttaqin (zahrul-m@indo.net.id), peneliti Puspijak, Badan Litbang Kehutanan. Policy Brief ini disarikan dari disertasi penyusun yang merupaksan salah satu butir tujuan dalam proyek kerjasama antara Badan Litbang Kehutanan dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) melalui proyek FST/2007/052 Improving Governance, Policy and Institutional Arrangements to Reduce Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) Latar belakang 1

Opsi-opsi Pelaksanaan REDD+ dalam Kerangka PJL Menurut Tacconi (2012) PJL suatu mekanisme pembayaran dapat disebut PJL jika memenuhi kriteria: (1) bersyarat; (2) transparan; (3) sukarela; dan (4) memiliki nilai tambah. Lebih lanjut Tacconi (2012) menyatakan bahwa dalam merancang PJL, aspek hak atas lahan (property rights) dan efektivitas biaya (cost effectiveness) merupakan penentu efisiensi dan keadilan dalam PJL yang harus dipertimbangkan. Kriteria dan pertimbangan rancangan PJL ini dapat digunakan untuk menilai opsi-opsi dalam memberikan kompensasi atau pembayaran kepada masyarakat untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan. PJL untuk REDD+ dapat didasarkan pada: (1) luasan hutan; (2) perubahan volume karbon; dan (3) biaya korbanan. Sementara itu, hak atas sumberdaya hutan yang akan dijadikan obyek REDD+ dapat digolongkan atas: (1) hak milik; dan (2) hak pemanfaatan. Dengan memadukan dua kategori, yaitu basis pembayaran dan tipe hak atas lahan hutan, maka dapat disusun matriks desain pelaksanaan REDD+ di tingkat masyarakat. Sebagai tambahan, untuk masyarakat yang tidak memiliki akses sama sekali ke sumberdaya hutan, karena tidak memiliki hak milik maupun hak pemanfaatan sumberdaya hutan, tetap dapat dilibatkan ke dalam skema REDD+ melalui upaya pengupahan untuk aktivitas pemantauan karbon berbasis masyarakat, serta aktivitas-aktivitas lain yang ditujukan untuk menjaga sumberdaya hutan dari aktivitas illegal yang dapat mengganggu stabilitas karbon hutan. Studi yang dilakukan di Provinsi Papua dan Riau menghasilakn enam opsi pelibatan masyarakat lokal dalam program PJL untuk REDD+ di Indonesia. Tabel 1 memaparkan keenam opsi pelibatan masyarakat lokal dalam REDD+ melalui PJL. Keenam opsi tersebut dirancang dengan asumsi bahwa di tingkat masyarakat terlebih dahulu dibangun PHBM, untuk menjamin hakhak masyarakat atas sumberdaya hutan di daerahnya. Masyarakat adat di Provinsi Papua dapat dikategorikan sebagai pemilik atas sumberdaya hutan melalui hak ulayat, sehingga keterlibatan mereka dalam skema REDD+ dapat dilaksanakan melalui opsi 1 3. Masyarakat lokal di Provinsi Riau dikategorikan sebagai pengelola kawasan hutan dan dapat diberikan hak akses dan pengelolaan atas sumberdaya hutan, sehingga opsi 4 6 merupakan opsi yang cocok untuk mereka. 2 Rancangan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) untuk Melaksanakan REDD+ di INDONESIA

Tabel 1. Opsi-opsi pengembangan PJL untuk REDD+ Basis Pembayaran Luasan Hutan Perubahan Volume Karbon Biaya Korbanan Kepemilikan Opsi 1: Masyarakat adat memperoleh pembayaran berdasarkan luasan hutan adat Opsi 2: Masyarakat adat mendapatkan pembayaran atas perubahan volume karbon di hutan adat Opsi 3: Masyarakat adat menadapatkan pembayaran atas pendapatan yang hilang akibat konservasi tegakan hutan Kategori Hak Pemanfaatan Opsi 4: Masyarakat lokal diberi hak pengelolaan hutan melalui PHBM dan mendapatkan pembayaran berdasarkan luasan kawasan hutan Opsi 5: Masyarakat lokal diberi hak pengelolaan hutan melalui PHBM dan mendapatkan pembayaran berdasarkan perubahan volume karbon di kawasan hutan Opsi 6: Masyarakat lokal diberi hak pengelolaan hutan melalui PHBM dan mendapatkan pembayaran berdasarkan biaya korbanan kawasan hutan Untuk mengurangi biaya transaksi, PJL untuk REDD+ harus dirancang dalam bentuk PJL pendanaan pemerintah (government-financed PES). Dalam hal ini, pemerintah mengkoordinasikan semua dana REDD+ internasional, atau menggunakan dana dari APBN, untuk bertindak sebagai pembeli jasa lingkungan berupa pengurangan emisi karbon yang disediakan oleh masyarakat lokal. Gambar 1 menunjukkan rancangan umum PJL untuk REDD+ di Provinsi Papua dan Riau, pada khususnya, dan seluruh Indonesia pada umumya. Rancangan tersebut terdiri atas dua mekanisme: pendanaan dan pembayaran. Dalam hal mekanisme pendanaan, pemerintah berfungsi sebagai monopsonis dan mengelola dana REDD+ melalui mekanisme fiskal nasional, terutama melalui kebijakan dana perimbangan pusat dan daerah. Irawan et al. (2011) telah meneliti kemungkinan penggunaan mekanisme transfer fiskal pusat dan daerah untuk menyalurkan dana REDD+. Sementara itu, mekanisme pembayaran memerlukan keterlibatan lembaga keuangan lokal dan lembagalembaga lain sebagai pendukung masyarakat. Bank yang sudah mapan dan memiliki kantor cabang hingga ke daerah seperti Bank BRI dapat menjadi mitra dalam pelaksanaan PJL untuk REDD+, sementara kelembagaan lokal pendukung kegiatan REDD+ perlu dibentuk untuk memberikan bantuan teknis pemantauan dan pengamanan karbon hutan serta membantu mendistribusikan manfaat REDD+ kepada seluruh anggota masyarakat yang terlibat. Untuk Papua, kelembagaan pendukung lokal harus dirancang untuk melibatkan pemerintahan adat seperti Dewan Adat Papua. Opsi-opsi Pelaksanaan REDD+ dalam Kerangka PJL 3

4 Rancangan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) untuk Melaksanakan REDD+ di INDONESIA Gambar 1. Rancangan PJL untuk REDD+ di Tingkat Masyarakat

Merealisasikan PJL untuk REDD+ Untuk merealisasikan rancangan PJL untuk REDD+ sebagaimana dipaparkan pada Gambar 1, tahap awal yang perlu ditempuh adalah membangun sistem hak atas sumberdaya hutan melalui PHBM. Dalam hal ini, biaya pembangunan PHBM perlu dimasukkan sebagai bagian dari biaya pelaksanaan REDD+. Dalam pembangunan PHBM, biaya-biaya yang dibutuhkan adalah biaya untuk: (1) pemetaan hutan; dan (2) bantuan teknis dan perbaikan kelembagaan. Pada kasus pembangunan Hutan Desa, komponen biaya pemetaan terdiri atas: (1) pertemuan dengan masyarakat; (2) pertemuan tim; (3) pengambilan data di lapangan; dan (4) analisis dan produksi peta, sementara komponen biaya bantuan teknis dan perbaikan kelembagaan terdiri atas: (1) fasilitasi pemuatan proposal; dan (2) penguatan kelembagaan lokal (Hidayat et al., 2005). Studi yang dilaksanakan oleh KKI Warsi 2 menyebutkan bahwa biaya pembangunan hutan desa di Provinsi Jambi berkisar antara Rp500.000 Rp600.000 per hektar. Biaya ini termasuk penyusunan proposal, pemetaan partisipatif, hingga penetapan kawasan hutan desa. 2 Komunikasi personal dengan Rakhmat Hidayat, Direktur Eksekutif KKI Warsi, 6 Juni 2012. Merealisasikan PJL untuk REDD+ 5

Berkaitan dengan biaya korbanan, masyarakat adat di Provinsi Papua berpotensi kehilangan pendapatan mereka dari dana kompensasi pemanenan kayu yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK-HA yang besarnya sekitar Rp50.000 Rp75.000 per meter kubik. Biaya inilah yang harus dikompensasi oleh pembeli jasa penurunan emisi karbon jika kegiatan pemanenan kayu dihentikan. Di lain pihak, masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan di Provinsi Riau, tidak memiliki hak akses dan pemanfaatan hasil hutan, sehingga secara resmi mereka tidak menanggung biaya korbanan atas upaya konservasi hasil hutan kayu di kawasan hutan di sekitar mereka tinggal. Dengan kata lain, tidak ada biaya korbanan dalam pembangunan PJL untuk REDD+ di tingkat masyarakat di Provinsi Riau. Dalam hal ini, peyediaan akses ke sumberdaya hutan bagi masyarakat lokal yang selama ini tidak memperoleh kesempatan memanfaatkan sumberdaya hutan secara komersial, merupakan insentif bagi masyarakat untuk mengikuti program PJL untuk REDD+. Agar PJL untuk REDD+ lebih menarik untuk masyarakat lokal, sebagian kegiatan MRV (Measurement, Reporting and Verification) seperti pemantauan karbon hutan, dapat dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat tersebut. Hal ini akan memberikan tambahan pendapatan bagi masyrarakat loka, sementara aspek tenurial pegelolaan kawasan hutan di sekitar tempat tinggal mereka diperkuat. Hasil studi Skutcsh (2005) di lima Negara berkembang menunjukkan bahwa masyarakat lokal yang bahkan memiliki tingkat pendidikan minimal pun dapat dilibatkan dalam proses pengukuran dan pemantauan karbon hutan. Gambar 2 menunjukkan bagaimana PJL untuk REDD+ dapat dikembangkan di Indonesia dalam dua tahap: tahap inisiasi dan tahap PJL murni. Pada tahap inisiasi, kegiatan difokuskan pada pembangunan PHBM. Namun demikian, pembangunan PHBM ini tidak boleh melewati lamanya tahap inisiasi. Sebagai contoh, jika periode REDD+ ditentukan selama 20 tahun, maka periode tersebut dapat dibagi menjadi 10 tahun periode inisiasi dan 10 tahun periode PJL murni. Pembangunan PHBM harus diselesaikan sebelum periode inisiasi berakhir untuk menguji apakah PHBM dapat dijalankan sebagaimana mestinya hingga akhir periode inisiasi.

Selama periode inisiasi, masyarakat selain mendapatkan kompensasi sebesar biaya korbanan pendapatan mereka dari kayu, juga dapat dilibatkan dalam pengukuran dan pemantauan karbon hutan. Ketika PHBM sudah dapat dijalankan dengan baik, maka tahap selanjutnya adalah tahap PJL murni selama 10 tahun dimana masyarakat pemegang hak/izin PHBM dapat secara sukarela menentukan untuk ikut program REDD+ atau tidak. Selama periode PJL murni, pembayaran didasarkan pada volume perubahan karbon yang dapat diserap/disimpan dalam hutan. Pembangunan PJL untuk REDD+ dalam dua tahap ini diharapkan dapat mengatasi persoalan ketidakjelasan hak atas sumberdaya hutan dan konflik terkait pemanfaatan sumberdaya hutan tersebut, meskipun berpotensi meningkatkan biaya transaksi dan implementasi REDD+. Namun demikian kejelasan hak atas sumberdaya hutan memiliki manfaat berganda yang lebih luas dibandingkan dengan biaya transaksi dan implementasi. Menurut Tacconi et al. (2010) PJL yang didukung oleh kejelasan tenurial dapat memeberikan kontribusi yang nyata bagi pendapatan rumah tangga, peningkatan kapasitas, pemantapan kelembagaan lokal, dan perbaikan infrastruktur yang pada gilirannya dapat memperbaiki dan menjaga kelestarian sumberdaya alam. Gambar 2. Tahapan Pengembangan PJL untuk REDD+ di Indonesia Merealisasikan PJL untuk REDD+ 7

Rekomendasi Kebijakan 1. Implementasi kebijakan REDD+ di Indonesia pada tingkat masyarakat lokal dapat dilaksanakan menggunakan dua tahap PJL untuk REDD+. Tahap pertama adalah pembangunan PHBM, tahap kedua adalah pelaksanaan PJL murni dimana kriteria persyaratan, transparansi, nilai tambah, dan kesukarelaan benarbenar diterapkan dan aspek tenurial dan efektivitas biaya benar-benar dipertimbangkan. 2. Kementerian Kehutanan perlu melakukan percepatan pembangunan PHBM dengan membenahi peraturan perundang-undangan berkaitan dengan hak masyarakat atas sumberdaya hutan, menghilangkan ketidakpercayaan antar pihak dalam pengelolaan sumberdaya hutan, dan mengefisienkan birokrasi pengelolaan hutan. 3. Terkait dengan aspek ekonomi politik REDD+, finalisasi kelembagaan REDD+ perlu dipercepat dan pelaksanaan program kerjasama bilateral seperti LoI dengan pemerintah Norwegia perlu diperjelas agendanya. Percepatan pelaksanaan REDD+ di Indonesia juga memerlukan dukungan mekanisme pendanaan REDD+ tingkat nasional yang sesuai dengan kebijakan fiskal nasional. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email: publikasipuspijak@yahoo.co.id; Website: www.puspijak.org 8 Rancangan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) untuk Melaksanakan REDD+ di INDONESIA