BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. 1. Pengertian Subjective Well-Being pada Desainer Grafis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keras untuk meraih kebahagiaaan (Elfida, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU NEGERI DI SMAN I WONOSARI DENGAN GURU SWASTA DI SMA MUHAMMADIYAH I KLATEN. Skripsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Subjektif. Kesejahteraan subjektif menurut Diener, dkk., (2006) yaitu mengacu pada

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kajian Teori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesejahteraan subjektif merupakan suatu hal yang penting dan sangat

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. dan kepuasan dalam hidup dikaitkan dengan subjective well being.

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Hariandja dalam Tunjungsari (2011) stres adalah ketegangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective wellbeing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tersebutlah yang menjadi salah satu masalah bagi suatu kota besar.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. PT. Permata Finance Indonesia (PT. PFI) dan PT. Nusa Surya Ciptadana

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

HUBUNGAN ADVERSITY QUOTIENT DAN KECERDASAN RUHANIAH DENGAN KECENDERUNGAN POST POWER SYNDROME PADA ANGGOTA TNI AU DI LANUD ISWAHJUDI MADIUN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sebutan untuk menghormati kodrat perempuan dan sebagai satu-satunya jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. untuk mencari hubungan antar variabel. Variabel-variabel dalam penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha telah mencapai era globalisasi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian, kreativitas dan produktivitas. Namun, pendidikan di sekolah sampai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

HUBUNGAN ANTARA ADVERSTY INTELLIGENCE DENGAN SCHOOL WELL-BEING (Studi pada Siswa SMA Kesatrian 1 Semarang)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. variabel bebas dengan variabel tergantungnya. selengkapnya dapat dilihat di lampiran D-1.

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. usahanya tersebut. Profesi buruh gendong banyak dikerjakan oleh kaum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Menurut Achour (2011) kesejahteraan pada karyawan adalah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan suatu kondisi apabila individu memiliki tekanan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

PETUNJUK PENGISIAN. #### Selamat Mengerjakan ####

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

LATAR BELAKANG. diekspresikan pada waktu yang salah dapat mengurangi kinerja karyawan. Tetapi ini tidak emosional ke tempat kerja setiap hari.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut adalah adversity

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa bahagia dalam keseharianya. Bagi manusia, hidup yang baik akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

ARIS RAHMAD F

BAB I PENDAHULUAN. Sisten Kredit Semester UKSW, 2009). Menurut Hurlock (1999) mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah subjective well-being

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kontribusi yang sangat besar pada masyarakat (Reni Akbar

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB ll TINJAUAN TEORI. A. Kebahagiaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being pada Desainer Grafis SWB sering dikaitkan dengan kebahagiaan dan kondisi-kondisi yang bersifat positif berdasarkan masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Kejadian masa lalu seperti kesejahteraan, kesenangan, kepuasan. Kejadian masa sekarang seperti kegembiraan, kelegaan, konsentrasi, kesenangan, semangat, dan kerukunan. Kejadian masa depan seperti optimisme, harapan, spiritualitas (Diener, 2009). SWB dianggap sebagai sisi afektif seseorang (emosi) dan evaluasi kognitif kehidupan seseorang yang dapat dipengaruhi oleh budaya atau derajat sosial yang dimilikinya. Hasil evaluasi yang berarti penilaian. yang dilakukan berdasarkan standar hidup seseorang sendiri yang dibandingkan dengan standar kesejahteraan hidup manusia secara umum (Diener, 2009). Eddington dan Shuman (2005) mendefinisikan SWB sebagai penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup dan penilaian afektif mengenai mood (suasana hati) dan emosi seperti perasaan emosional positif dan negatif. Penilaian tersebut terdiri dari kesejahteran, kebahagiaan, ketahanan diri, dan kepuasan hidup. Snyder dan Lopez (2002) menyatakan bahwa SWB merupakan pengalaman emosi yang menyenangkan dan tingginya kepuasan hidup. Kim-Prieto (dalam Wills, 2007) menjelaskan tentang 12

13 konsep dari SWB sebagai evaluasi individu, baik evaluasi positif maupun negatif, dan tentang bagaimana individu menjalani sendi-sendi kehidupannya. Menurut Carr (2004) SWB dan happiness, yakni sebuah keadaan psikologis yang positif yang dikarakteristikan dengan tingginya afek positif, tingginya tingkat kepuasan hidup, dan rendahnya afek negatif. SWB dapat dimiliki siapa saja, salah satunya dapat dimiliki desainer grafis. Supriyono (2010) menyatakan bahwa desain grafis dapat terealisasikan melalui campur tangan dari perancang grafis atau biasa disebut juga sebgai desainer grafis. Lebih lanjut, desainer grafis merupakan seseorang yang merancang sajian informasi agar menarik, sehingga makna pesannya dapat ditangkap dengan mudah oleh setiap orang yang melihat karyanya. Tugas pekerjaan desainer grafis yaitu memahami unsur-unsur desain seperti garis, bidang, warna, gelap terang, tekstur, dan ukuran, sehingga menghasilkan karya suatu karya yang indah. Tugas menjadi desainer grafis membutuhkan kreativitas dan wawasan yang luas untuk menyampaikan karya desainer kepada sasaran yang dituju. Selain itu, desainer grafis harus bekerja dengan berbagai macam rintangan seperti pekerjaan yang diatur oleh batas waktu tertentu untuk menyelesaikan desain, harus cermat memperhatikan setiap elemen desain yang akan dibuat, dan melakukan pekerjaannya sesuai dengan desain yang diinginkan klien. Oleh karena itu, desainer grafis tidak bisa membuat suatu karya sesuai dengan keinginannya sendiri, tetapi harus menyatukan karya yang akan dibuat dengan keinginan kliennya (Sriwitari & Widnyana, 2014). Menurut Eddington dan Shuman (2005) seseorang yang puas dalam menjalan aktivitas atau pekerjaannya, maka

14 seseorang tersebut akan menunjukkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan ketahanan diri yang didapatkannya melalui SWB yang dimilikinya. Lebih lanjut adanya SWB membuat seseorang menunjukkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan ketahanan diri, sehingga seseorang merasakan kepuasan dalam menjalani kehidupannya. Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SWB pada desainer grafis merupakan evaluasi yang dimiliki desainer grafis dalam memandang peristiwa di kehidupannya dengan kesejahteraan, kepuasan hidup, dan kebahagiaan dalam menjalani pekerjaannya. 2. Aspek-aspek Subjective Well-Being Menurut Diener (2009) SWB terbagi dalam dua aspek umum, yaitu: a. Aspek kognitif Aspek kognitif adalah evaluasi dari kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai penilaian dari kehidupan seseorang. Evaluasi ini terbagi menjadi dua yaitu secara global dan domain tertentu. Kepuasaan hidup secara global merupakan evaluasi seseorang terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Selanjutnya, kepuasan hidup domain adalah penilaian dalam mengevaluasi kehidupannya, seperti kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial dan keluarga. Kedua komponen tersebut tidak sepenuhnya terpisah karena saling berkaitan. b. Aspek afektif Aspek afektif merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di dalam hidup seseorang dengan mood dan emosi terhadap peristiwa yang

15 menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Aspek tersebut ditunjukkan dengan tingginya afek positif dan rendahnya afek negatif. Afek positif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti tertarik atau berminat akan sesuatu, gembira, kuat, antusias, waspada atau siap siaga, bangga, bersemangat, penuh tekad, penuh perhatian, dan aktif. Sedangkan afek negatif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti sedih atau susah, kecewa, bersalah, takut, bermusuhan, lekas marah, malu, gelisah, gugup, dan khawatir. Aspek-aspek SWB selanjutnya dikemukakan oleh Ryff dan Keyes (2005) yang menghasilkan suatu model kesejahteraan dalam bentuk multidimensi yang terdiri atas enam fungsi psikologis positif, yaitu: a. Penerimaan diri Penerimaan diri yang dimiliki seseorang bukan berarti bersikap pasif atau pasrah yang ditunjukan oleh seseorang kepada orang lain, akan tetapi pemahaman yang jelas akan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sehingga seseorang dapat memberikan tanggapannya secara efektif agar dapat menerima dirinya sendiri (Lopez & Synder, 2007). b. Hubungan positif dengan sesama Diener dan Seligman (2002) menemukan bahwa hubungan sosial yang baik dengan sesama merupakan sesuatu yang diperlukan, tapi tidak cukup untuk membuat SWB seseorang tinggi. Artinya, hubungan sosial yang baik tidak membuat seseorang mempunyai SWB yang tinggi, namun seseorang dengan SWB yang tinggi mempunyai ciri-ciri berhubungan sosial yang baik.

16 c. Autonomi Ciri utama dari seorang individu yang memiliki autonomi yang baik antara lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self determining) dan mandiri. Seseorang akan mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri dengan standar personal. d. Penguasaan lingkungan Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur kehidupan di setiap lingkungan yang ditinggalinya. Seseorang dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. e. Tujuan dalam hidup Tujuan dalam hidup menjadi sangat berarti bagi proses dan keberlangsungan kehidupan seseorang. Tujuan hidup yang dimiliki membuat seseorang bisa mempunyai komitmen dalam mengejar tujuan hidupnya, seseorang akan dapat memahami makna hidup dan mampu mengatasi setiap permasalahan yang dihadapinya. Hal itu memiliki arti pada masa sekarang dan masa lalu dalam kehidupan seseorang.

17 f. Pertumbuhan pribadi Pertumbuhan pribadi merupakan gambaran dan sikap pribadi yang mampu berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mempunyai locus of control sebagai alat evaluasi, dimana seseorang tidak melihat orang lain untuk mendapatkan persetujuan, tetapi mengevaluasi diri dengan menggunakan standar pribadinya. Evaluasi diri tersebut mampu menciptakan pribadi yang mandiri sehingga dapat menjalani aktivitasnya dengan baik. Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat dua aspek SWB yaitu aspek kognitif merupakan evaluasi dari kepuasan hidup secara menyeluruh serta kepuasan secara domain dan aspek afektif merupakan representasi mood dan emosi positif terhadap peristiwa hidup yang berjalan sesuai keinginkan yang ditandai dengan tingginya afek positif dan rendahnya afek negatif, selain itu SWB juga mencangkup enam aspek lainnya yaitu penerimaan diri merupakan sikap positif yang ditunjukan seseorang untuk menerima dirinya sendiri, hubungan positif dengan sesama merupakan seseorang yang mampu berinteraksi sosial dengan baik, autonomi merupakan kemampuan mengambil keputusan tanpa tekanan, penguasaan lingkungan merupakan kemampuan mengendalikan berbagai aktivitas, tujuan dalam hidup merupakan komitmen dalam mengejar tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi merupakan sikap pribadi seseorang yang mampu berfungsi sepenuhnya dalam menjalani aktivitasnya. Dari beberapa aspek-aspek SWB yang telah dijabarkan, maka peneliti memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan Diener (2009) yaitu kognitif

18 dan afektif. Aspek tersebut dipilih oleh peneliti sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur SWB pada desainer grafis yang bekerja di Yogyakarta. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih aspek tersebut yaitu sejalan dengan variabel penelitian, penjabarannya lebih konkrit, didukung berdasarkan hasil dari wawancara dengan subjek, dilihat dari kodisi tempat akan dijadikan tempat penelitian, dan kedua aspek tersebut mampu mengungkap SWB yang dimiliki oleh subjek. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being Menurut Ariati (2010) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi SWB, antara lain: a. Harga diri positif Menurut Campbell (dalam Compton, 2005) harga diri merupakan prediktor yang menentukan kesejahteraan subjektif. Harga diri menyebabkan mengontrol rasa marah, mempunyai hubungan yang baik dengan orang lain, serta kapasitas produktif dalam pekerjaan. Seseorang juga dapat mengembangkan kemampuan hubungan interpersonal yang baik dan menciptakan kepribadian yang sehat. b. Kontrol diri Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa dirinya akan mampu berperilaku dengan cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku dan aktivitas fisik serta mampu mengatasi konsekuensi dari keputusan yang telah diambil serta mencari pemaknaan atas peristiwa tersebut. Menurut Stoltz (2004) kemampuan menghadapi suatu peristiwa dapat melalui adversity quotient (AQ) yang

19 merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan mampu untuk mengatasinya secara teratur. AQ membantu individu memperkuat ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-sehari, dengan mengamati kesulitan dan mengolanya melalui kecerdasan yang dimilikinya, sehingga seseorang dapat meraih kesuksesan dan merasa sejahtera karena telah menyelesaikan berbagai peristiwa dalam hidupnya. c. Ekstrovert Individu dengan kepribadian ekstrovert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di luar dirinya. Penelitian Diener, dkk. (2005) menunjukan bahwa kepribadian ekstrovert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual karena memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain. d. Optimis Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiliki impian dan harapan yang positif tentang masa depan. e. Relasi sosial yang positif Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Hubungan yang di dalamnya ada dukungan dan keintiman dalam kehidupan pernikahan akan membuat individu mampu mengembangkan harga

20 diri, meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik. f. Memiliki arti dan tujuan dalam hidup Pada beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan konsep religiusitas. Penelitian melaporkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan religi yang besar, memiliki kesejahteraan psikologis yang besar. Faktor faktor yang mempengaruhi SWB selanjutnya dikemukakan oleh Compton (2005), yaitu : a. Harga diri Self-esteem yang positif merupakan variabel yang terpenting dalam SWB karena evaluasi terhadap diri akan mempengaruhi bagaimana seseorang menilai kepuasan dalam hidup dan kebahagiaan yang dirasakan. b. Arti kontrol pribadi Kontrol pribadi merupakan keyakinan individu dalam memaksimalkan hasil yang bagus. Kayakinan ini membuat seseorang dapat mempengaruhi peristiwa yang terjadi dan menginterpretasikan hasil dari pilihannya, sehingga dapat membantu mewujudkan keinginannya yang kemudian dapat membawa kepuasan hidupnya. c. Ekstrovert Individu dengan kepribadian ekstrovert akan tertarik pada hal yang terjadi di luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Kepribadian ekstrovert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang

21 ekstrovert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, memiliki sensitifitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain. d. Optimis Orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiiki impian dan harapan yang positif tentang masa depan. e. Hubungan positif Hubungan yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Adanya dukungan membuat individu mampu mengembangkan harga diri, meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik. f. Makna dan tujuan hidup Memiliki makna dan tujuan dalam hidup merupakan faktor penting dari SWB, karena individu akan merasakan kepuasan maupun kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan adanya makna dan arah dalam hidup akan menimbulkan kepuasan dalam hidup dan kebahagiaan. Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat enam faktor yang mempengaruhi SWB yaitu harga diri positif merupakan perasaan berharga yang dimiliki seseorang dalam memandang dirinya sendiri, kontrol diri merupakan kemampuan seseorang dalam melakukan tindakan yang tepat disetiap situasi, ekstrovert merupakan karakteristik terbuka dan mudah berinteraksi dengan orang lain

22 atau dengan lingkungannya, optimis merupakan keyakinan seseorang bahwa dirinya bisa melakukan segala sesuatunya dengan usahanya, relasi sosial yang positif merupakan hubungan antara seseorang dengan orang lain yang terjalin dengan baik atau harmonis, dan memiliki arti serta tujuan dalam hidup merupakan pandangan seseorang bahwa hidupnya berharga dan memiliki tujuan untuk mencapainya, selain itu terdapat enam faktor lainnya yang dapat mempengaruhi SWB yaitu harga diri merupakan evaluasi seseorang tentang seberapa besar hidupnya berniat, arti kontrol kesadaran merupakan keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat mewujudkan keinginannya, ekstrovert merupakan seseorang yang tertarik terhadap dunia luar dan senang berinteraksi dengan lingkungannya, optimis merupakan sikap positif seseorang dalam menjalani kehidupannya, hubungan positif merupakan dukungan positif antara satu dengan individu lainnya, serta makna dan tujuan hidup merupakan bagaimana seseorang memandang bahwa hidupnya bermakna dan berusaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Dari uraian yang telah dikemukakan, peneliti akan menggunakan faktor yang mempengaruhi SWB dari Ariati (2010), yaitu faktor kontrol diri. Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa dirinya akan mampu berperilaku dengan cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Menurut Stoltz (2004) kemampuan menghadapi suatu peristiwa dapat melalui AQ yang merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan mampu untuk mengatasinya secara teratur melalui kecerdasan yang dimilikinya, sehingga seseorang dapat meraih kesuksesan dan merasa sejahtera karena telah menyelesaikan

23 peristiwa dalam hidupnya. Hal tersebut didukung berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Puspitasari (2015) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara kontrol diri dengan SWB. Menurut Stoltz (2004) kontrol diri merupakan bagian dari aspek AQ, dimana seseorang yang memiliki AQ akan dapat mengontrol dirinya dalam bersikap untuk dapat menghadapi dan menyelesaikan kesulitan di kehidupannya. Hal tersebut juga didukung berdasarkan hasil wawancara yang menunjukan bahwa SWB dapat tumbuh dalam diri subjek karena adanya peran penting dari AQ. Oleh karena itu, AQ akan menjadi satu faktor dominan dan variabel bebas dalam penelitian ini. B. Adversity Quotient 1. Pengertian Adversity Quotient Menurut Stolt (2004) AQ adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menentukan seberapa jauh seseorang mampu bertahan dalam menghadapi dan mengatasi berbagai kesulitan maupun rintangan di dalam kehidupannya. Lebih lanjut, AQ adalah kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan mampu untuk mengatasinya secara teratur. AQ membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-sehari, dengan mengamati kesulitan dan mengolah kesulian tersebut melauli kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk menyelesaikannya. AQ merupakan kemampuan seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan yang dirasakan seseorang dengan kecerdasan yang dimiliki

24 sehingga hal-hal yang menghambatnya menjadi sebuah tantangan untuk menyelesaikannya (Stoltz, 2004). Leman (2007) mendefinisikan AQ secara ringkas, yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi berbagai masalah yang terjadi di dalam kehidupannya. Menurut Agustian (dalam Rachmawati, 2007) AQ merupakan kecerdasan seseorang dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup yang berakar pada bagaimana seseorang merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan, sehingga kesulitan tersebut dapat teratasi. Nashori (2007) menyatakan bahwa AQ merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan kecerdasan yang dimilikinya untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan tindakannya. Seseorang akan dapat menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya dengan tindakan-tindaknya yang dilakukannya. Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa AQ merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi peristiwa yang menyulitkannya, seseorang akan bertahan dan mengelola peristiwa tersebut sehingga dapat memecahkan masalah yang ringan maupun sulit dalam kehidupannya. 2. Aspek-aspek Adversity Quotient Stoltz (2004) bahwa aspek-aspek dari AQ mencakup empat, antara lain: a. Control (kendali) Control atau kendali adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang. Kendali diri ini akan berdampak pada tindakan selanjutnya atau respon yang

25 dilakukan individu bersangkutan, tentang harapan dan idealitas untuk tetap berusaha keras mewujudkan keinginannya walau sesulit apapun keadaannya. b. Origin (asal-usul atau kepemilikan) dan ownership (pengakuan) Origin yaitu kepemilikan atau asal-usul permasalahan tersebut berada dalam diri seseorang. Selanjutnya, ownership atau pengakuan sejauh mana seseorang mempermasalahkan dirinya ketika mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya, sejauh mana mempermasalahkan orang lain, dan lingkungan yang menjadi sumber kegagalan seseorang. Seseorang akan mengakui akibat-akibat kesulitan dan kesediaan seseorang untuk bertanggungjawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut. c. Reach (jangkauan) Reach (jangkauan) merupakan sejauh mana kesulitan ini akan merambah kehidupan seseorang menunjukkan bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. d. Endurance (daya tahan) Endurance adalah aspek ketahanan individu. Sejauh mana kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, pada aspek ini dapat dilihat berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Hal ini berkaitan dengan pandangan individu terhadap kepermanenan dan ketemporeran kesulitan yang berlangsung.

26 Stoltz (2005) menyatakan bahwa seseorang yang dapat bertahan, mengelola, dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya merupakan definisi dari AQ. Menurut Binet dan Simon (dalam Alder, 2001) seseorang dapat mengatasi masalah dalam kehidupannya ketika memiliki tiga komponen dalam dirinya, yaitu : a. Kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan Kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan merupakan kemampuan seseorang dalam menentukan hasil dari pikirannya kemudian melakukan tindakan yang tepat untuk menjalani aktivitasnya. b. Kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan Kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan merupakan kemampuan seseorang dalam mengubah pandangan sebelumnya dengan berbagai strategi yang digunakan, ketika pandangan tersebut dianggapnya dapat merugikan. c. Kemampuan mengkritik diri sendiri Kemampuan mengkritik diri sendiri merupakan kemampuan seseorang dalam mengevaluasi tindakannya, dimana seseorang tersebut akan mengkritisi dirinya kemudian menjadikannya sebuah gambaran untuk menjadi lebih baik. Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat empat aspek AQ yaitu control merupakan kemampuan mengendalikan dan mengelola sebuah peristiwa, origin dan ownership merupakan sejauh mana seseorang menerima dan mengakui kesalahan yang telah diperbuat, reach (jangkauan) merupakan sejauh mana kesulitan seseorang yang mengganggu aktivitas lainnya, endurance merupakan

27 kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah, selain itu kecerdasan juga mencangkup tiga aspek lainnya yaitu kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan merupakan kemampuan dalam menentukan hasil dari pikirannya, kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan merupakan kemampuan mengubah tindakan dalam situasi sulit, dan kemampuan mengkritik diri sendiri merupakan kemampuan mengevaluasi diri. Dari beberapa aspek-aspek AQ yang telah dijabarkan, maka peneliti memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Stoltz (2004) yaitu control (kendali), origin (asal-usul atau kepemilikan) dan ownership (pengakuan), reach (jangkauan), dan endurance (daya tahan). Aspek tersebut dipilih oleh peneliti sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur AQ pada desainer grafis yang bekerja di Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih aspek tersebut yaitu sejalan dengan variabel penelitian, penjabarannya lebih konkrit, dilihat dari kondisi tempat akan dijadikan tempat penelitian, dan didukung berdasarkan hasil wawancara yang menunjukan bahwa aspek tersebut mampu menggungkap AQ yang dimiliki oleh subjek (desainer grafis). C. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Subjective Well-Being pada Desainer Grafis yang bekerja di Yogyakarta Bisnis desain grafis yang semakin ketat membuat perusahaan mengharuskan desainer grafis untuk bekerja secara optimal dan bekerja sesuai target yang ditetapkan (Wibowo, 2013). Terlebih lagi, tugas sebagai desainer grafis dituntut untuk

28 merancang sajian informasi agar menarik dan memiliki unsur keindahan, sehingga makna pesannya harus bisa ditangkap dengan mudah oleh setiap orang yang melihat karyanya (Supriyono, 2010). Tuntutan sebagai desainer grafis dalam memenuhi target yang ditetapkan perusahaan dalam menjalani pekerjaannya, tidak menutup kemungkinan adanya hal-hal tersebut menjadikan pekerjaan sebagai desainer grafis memiliki banyak kesulitan dalam menjalani berbagai tugas pekerjaanya (Wibowo, 2013). Hal tersebut memungkinkan berdampak pada emosi yang tidak menyenangkan dan merefleksikan respon negatif terhadap kehidupannya seperti mengabaikan kesehatan, merasa sedih atau susah, kecewa, bersalah, takut dan gelisah menghadapi aktivitasnya (Diener, 2009).Oleh karena itu, dibutuhkan AQ agar desainer grafis dapat memiliki daya tahan di bisnis yang semakin ketat. Menurut Soltz (2004) seseorang yang memiliki AQ akan dapat mengelola dan mengatasi setiap peristiwa di dalam kehidupannya tanpa adanya rasa khawatir. Stoltz (2004) menyatakan bahwa AQ harus memenuhi aspek tertentu agar dapat berpengaruh baik bagi kehidupan seseorang. Aspek tersebut akan mendorong seseorang untuk memiliki kemampuan dalam mempertahankan dirinya dalam situasi apapun di lingkungannya sebagai usaha dalam memuaskan kebutuhannya, sebaliknya kepuasan atas kebutuhan tidak tercapai akan membuat seseorang kurang memiliki kecakapan mengendalikan dirinya. Empat aspek antara lain control (kendali), origin (asal-usul atau kepemilikan) dan ownership (pengakuan), reach (jangkauan), dan endurance (daya tahan).

29 Control (kendali) merupakan aspek AQ yang meliputi kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang. Semakin besar kendali yang dimiliki, maka semakin besar seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam mencari penyelesaian (Stoltz, 2004). Seseorang yang memiliki kendali akan rajin bekerja, menunjukkan hasil kerja, termotivasi menyelesaikan pekerjaan, dan terpenuhi kebutuhan rasa aman dalam dirinya (Wexley & Yukl, 2003). Terpenuhinya kebutuhan terhadap rasa aman dapat melalui SWB yaitu seseorang akan merasa kelegaan hati, kasih sayang, dan kegembiraan dalam menjalani setiap kehidupannya (Diener, 2009). Sebaliknya, jika semakin rendah kendali akibatnya seseorang menjadi mudah menyerah, merasa bahwa peristiwa buruk berada di luar kendali dan sering menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan (Stoltz, 2004). Menurut Ryff dan Keyes (2005) ketidak berdayaan seseorang dalam menjalani kehidupannya akan berdampak pada SWB yang dimilikinya, dengan demikian pertumbuhan sikap pribadi seseorang tidak akan mampu berfungsi sepenuhnya. Wexley dan Yukl (2003) menyatakan seseorang yang kurang dapat mengambil sikap pribadi maka akan merasa adanya kesenjangan sosial, kurang tanggung jawab, tidak keterampilan, malas bekerja, dan penurunan kinerja secara kuantitas maupun kualitas. Aspek origin dan ownership juga menjadi salah satu yang berperan untuk mengetahui sejauh mana seseorang mempermasalahkan dirinya dan orang lain ketika kesalahan tersebut berasal dari dirinya. Hal tersebut membuat seseorang dapat mengakui akibat dari suatu perbuatan, bertanggungjawab terhadap kesulitan dan

30 mampu belajar dari kesalahan (Stoltz, 2004). Seseorang yang mampu belajar dari kesalahan membuatnya memiliki harapan untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dan memperbaikinya. Menurut Diener (2009) harapan dapat dikaitkan dengan SWB yaitu kebahagiaan dan kondisi-kondisi yang bersifat positif berdasarkan kejadian masa depan seperti optimisme untuk melakukan aktivitasnya, spiritualitas dalam mempererat hubungannya dengan Tuhannya, dan harapan yang akan terjadi pada kehidupan mendatang (Diener, 2009). Di lain sisi, ketika seseorang tidak merasa adanya kepemilikan dan pengakuan maka akan cenderung berfikir bahwa semua kesulitan yang datang berasal dari kesalahan dan kecerobohan dirinya sendiri sehingga merasa khawatir atas apa yang diperbuatnya (Stoltz, 2004). Perasaan khawatir dapat terjadi melalui afek negatif dari SWB. Seseorang yang memiliki khawatiran akan menunjukan emosi dan mood yang tidak menyenangkan dan merefleksikan respon negatif sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan, dan peristiwa yang dialaminya (Diener, 2009). Respon negatif akan berdampak pada ketidakpuasan seseorang, sehingga memberikan hubungan buruk dengan lingkungannya yaitu terjadinya penyimpangan di tempat kerja (tidak sopan dengan rekan kerja maupun konsumen) (Kaswan, 2017). Lingkungan kehidupan seseorang tidak lepas dari seberapa besar aspek reach yaitu sejauh mana kesulitan akan merambah kehidupan seseorang yang menunjukkan bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya. Adanya aspek tersebut membuat seseorang tidak akan terganggu oleh permasalahan di luar aktivitasnya, tetap melaksanakan aktivitasnya dengan baik, dan dapat menghadapi peristiwa

31 tersebut dengan kemampuannya (Stoltz, 2004). Menurut Compton (2005) Seseorang yang mampu menghadapi peristiwa akan menimbulkan kontrol pribadi, di mana seseorang dapat mempengaruhi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, memilih hasil yang diinginkan, menghadapi konsekuensi dari pilihannya, dan memahami serta menginterpretasikan hasil dari pilihannya untuk mewujudkan apa yang diinginkan dan kemudian dapat membawa kepuasan akan hidupnya. Snyder dan Lopez (2002) menyatakan bahwa kepuasan hidup bisa didapatkan seseorang melalui SWB yang dimilikinya, karena SWB merupakan pengalaman emosi yang menyenangkan dan tingginya kepuasan hidup. Lain halnya, peristiwa maupun kesulitan yang tidak bisa dihadapi membuat seseorang bersikap negatif dengan menunjukkan kemampuan dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stres (Stoltz, 2004). Sikap negatif akan mengarah pada ketidakpuasan seseorang dalam menjalani pekerjaannya yaitu dengan menarik diri, penarikan dalam berpikir (pasif), dan menunjukkan ketidakhadiran (Kaswan, 2017). Menurut Diener (2009) sikap negatif erat kaitannya dengan perasaan ketidaksenangan seseorang dalam memandang kehidupannya yang didapatkan melalui SWB. Ketidaksenangan dalam memandang kehidupan membuat seseorang menunjukan emosi-emosi spesifik seperti sedih, kecewa, bersalah, dan takut untuk melangkah menuju harapan yang ingin dicapainya. Seseorang yang ingin mencapai harapan tentunya membutuhkan endurance (daya tahan) yang merupakan aspek ketahanan individu, sejauh mana kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Permasalah yang terpecahkan membuat seseorang menunjukan bakat-bakatnya, semakin besar serta beragam

32 akivitas yang dilaksanaannya dan semakin tidak menjemukan dalam menjalani aktivitasnya (menganggap setiap aktivitasnya berarti) (Stoltz, 2004). Keberartian dalam menjalani aktivitas tidak lepas dari unsur SWB. Menurut Ryff dan Keyes (2005) seberapa besar aktivitas yang dilakukan seseorang berkaitan dengan SWB yang dimilikinya. Seseorang akan dapat mengendalikan berbagai aktivitas yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Sebaliknya, seseorang yang memiliki daya tahan lemah menganggap kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama dan menganggap peristiwa negatif sebagai sesuatu yang sulit berlalu (Stoltz, 2004). Peristiwa negatif erat kaitannya dengan afek negatif dalam SWB. Afek tersebut akan membuat seseorang merasakan ketidaksenangan dengan peristiwa yang dialaminya seperti rasa sedih, kesal, dan khawatir. Hal tersebut menjadikan seseorang tidak puas dalam menjalani kehidupannya. (Diener, 2009). Ketidakpuasan tersebut membuat seseorang dapat dialami di mana saja, salah satunya dialami seseorang dilingkup kerja. Menurut House dan Mitchell (dalam Kaswan, 2017) ketidakpuasan dalam menjalani pekerjaannya akan membuat seseorang memandang pekerjaan sebagai aktivitas yang tidak dapat memuaskan dirinya, kurang menyenangkan, membosankan, terjadinya turnover (keluar masuknya karyawan), dan sulit untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerja.

33 Menurut Stoltz (2004) adanya AQ dalam diri seseorang dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Kemampuan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan secara teratur membuat kehidupan seseorang menjadi bahagia. Diener (2009) menyatakan bahwa kebahagian erat hubungannya dengan SWB. Seseorang yang bahagia akan mengalami efek positif yang menyenangkan seperti merasa kelegaan hati, kasih sayang, dan gembira. Perasaan gembira membuat seseorang lebih produktif, motivasi bekerja tinggi, dan senang menjalani pekerjaannya (As ad, 2004). Stoltz (2004) menyatakan rendahnya AQ membuat seseorang sulit menunjukan kemampuan mengendalikan diri untuk menyelesakan setiap aktivitas atau tugas-tugasnya dengan optimal. Kemampuan tersebut membuat seseorang merasa bahwa pekerjaan secara keseluruhan tidak dapat memuaskan kebutuhanhya (As ad, 2004). Menurut Snyder dan Lopez (2002) ketidakpuasan hidup akan membuat seseorang lekas marah, malu, gelisah (nervous), gugup ketika dihadapkan masalah. Hal tersebut dapat terjadi melalui afek negatif dalam SWB. Menurut Kaswan (2017) ketidakpuasan yang dirasakan akan membuat seseorang kurang berkomitmen, tidak terlibat dalam bekerjaan, dan sulit menurunkan konflik. Hal ini didukung berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Puspitasari (2015) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara kontrol diri dengan SWB. Lebih lanjut, hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi AQ maka semakin tinggi SWB, sebaliknya semakin rendah AQ maka semakin rendah SWB. Menurut Stoltz (2004) kontrol diri merupakan bagian dari aspek AQ,

34 dimana seseorang yang memiliki AQ akan dapat mengontrol dirinya dalam bersikap untuk dapat menghadapi dan menyelesaikan kesulitan di kehidupannya. D. Hipotesis Berdasarkan kajian teoritis sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara AQ dengan SWB pada desainer grafis di Yogyakarta. Semakin tinggi AQ maka semakin tinggi pula SWB pada desainer grafis. Sebaliknya semakin rendah AQ maka semakin rendah pula SWB pada desainer grafis.