BAB II LANDASAN TEORI. A. Kajian Teori

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. A. Kajian Teori"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Adversity Quotient a. Pengertian Adversity Quotient Kemampuan peserta didik dalam merespon menghadapi kesulitan atau keadaan yang tidak diinginkan disebut dengan adversity quotient. Adversity quotient menjadi bagian penting bagi peserta didik dalam kehidupan sehari hari, untuk menghadapi setiap kesulitan yang sedang di hadapi. Nashori (2007: 47) menjelaskan bahwa adversity quotient merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya. Berdasarkan paparan tersebut dapat dimaknai bahwa adversity quotient merupakan suatu kemampuan individu untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala macam kesulitan sampai menemukan jalan keluar, memecahkan berbagai macam permasalahan, mereduksi hambatan dan rintangan dengan mengubah cara berfikir dan sikap terhadap kesulitan tersebut. Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, terdapat hal yang menarik, yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang, baik fisik maupun psikis dalam menghadapi problematika atau permasalahan yang sedang dialami. Stoltz (2000: 9) menjelaskan bahwa adversity quotient sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi. 8

2 9 Stoltz (2004: 9) menyebutkan Adversity Quotient (AQ) mempunyai 3 bentuk, yaitu (1) sebagai kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua jenis kesuksesan, (2) suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan, (3) serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa adversity quotient dapat membantu peserta didik memperkuat respon, kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip, kekuatan dan harapan. Semakin tinggi tingkat adversity quotient maka semakin besar peserta didik untuk bersikap optimis dan inovatif dalam memecahkan masalah. Sebaliknya, semakin rendah tingkat adversity quotient maka semakin mudah peserta didik untuk menyerah. Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa adversity quotient (AQ) adalah kemampuan dan ketahanan seseorang dalam menghadapi kesulitan, kegagalan, hambatan, sekaligus mengubah kesulitan maupun kegagalan tersebut menjadi peluang untuk meraih tujuan atau kesuksesan. b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient Stoltz (2005:40) menyatakan faktor-faktor untuk sukses digambarkan seperti pohon pinus yang perkasanya tumbuh menganjur dari tebing granit, pohon tersebut memiliki daun: kinerja, cabang: bakat dan kemauan, batang: kesehatan dan karakter, akar: genetika, pendidikan dan keyakinan. Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: 1) Daun a) Kinerja Salah satu keberhasilan seseorang dalam menghadapi suatu masalah dan meraih tujuan hidup dapat dilihat dan diukur lewat kinerja. Hal tersebut karena kinerja merupakan salah satu hal yang paling mudah untuk dilihat oleh orang lain.

3 10 Peserta didik yang dapat mengatasi kesulitan dapat dilihat dari kinerjanya yang baik, apa bila kinerja peserta didik tidak baik maka peserta didik belum bisa mengatasi kesulitan yang dihadapi tersebut. 2) Cabang a) Bakat Kemampuan dan kecerdasan seseorang dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya salah satunya dipengaruhi oleh bakat. Bakat adalah gabungan pengetahuan, kompetensi, pengalaman dan keterampilan. Peserta didik yang memiliki bakat pada bidang tertentu akan sangat membantu untuk mencapai kesuksesannya pada bidang tersebut. Bakat peserta didik harus disalurkan sesuai dengan bidangnya supaya bisa berkembang, apa bila bakat peserta didik salah dalam penyaluran maka peserta didik akan terganggu. b) Kemauan Kemauan merupakan tenaga pendorong untuk mencapai suatu kesuksesan dalam hidup. Kemauan menggambarkan motivasi, antusias, gairah, dorongan, ambisi, semangat yang menyala, dan mata yang bersinar. Peserta didik yang memiliki kemauan yang kuat untuk mencapai kesuksesan akan menghantarkan menuju keberhasilan yang akan diraihnya karena kemauan yang kuat tersebut adalah sikap optimis peserta didik dalam menghadapi setiap tantangantantangan dan hambatan-hambatan yang di hadapinya, apabila peserta didik tidak memiliki kemauan yang kuat maka peserta didik akan pesimis menghadapi tantangan-tantangan dan hambatan-hambatan yang sedang dihadapi.

4 11 3) Batang a) Kesehatan Kesehatan emosi dan fisik juga dapat mempengaruhi kemampuan dalam menggapai kesuksesan. Jika sakit, penyakitnya akan mengalihkan perhatian dari masalah yang sedang dihadapi. Kesehatan berpengaruh terhadap peserta didik dalam menghadapi kesulitan, apabila peserta didik sedang sakit maka berpengaruh terhadap kesulitan yang sedang dihadapinya karena peserta didik terganggu dengan kondisi kesehatannya sehingga tidak mampu menghadapi kesulitan tersebut sedangkan apabila peserta didik dalam kondisi yang sehat maka peserta didik tidak terganggu dalam menghadapi setiap kesulitannya. b) Karakter Seseorang yang mempunyai karakter baik, semangat, tangguh dan cerdas akan memiliki kemampuan untuk mencapai sukses. Karakter merupakan bagian yang penting bagi kita untuk meraih kesuksesan dan hidup berdampingan secara damai. Peserta didik yang memiliki karakter yang baik, cerdas, semangat, tangguh dan cerdas akan memiliki adversity quotient yang tinggi sehingga peserta didik akan memiliki kemampuan untuk mencapai sukses. 4) Akar a) Genetika Meskipun warisan genetis tidak akan menentukan nasib seseorang, namun faktor ini pasti memiliki pengaruh terhadap perilaku seseorang. Salah satu penelitian telah mengkaji anak kembar, dimana meskipun anak kembar dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda, kemiripan-kemiripan dalam berperilaku tetap saja ada. Penjelasan Faktor genetika tersebut yaitu faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik yang diwariskan oleh orang tuanya yang

5 12 bersifat bawaan, apabila orang tua nya memiliki adversity quotient yang tinggi maka anaknya memiliki adversity quotient yang tinngi juga. b) Pendidikan Salah satu sarana dalam pembentukan sikap dan perilaku adalah melalui pendidikan. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua, di sekolah maupun masyarakat akan membentuk kemampuan dalam menghadapi situasi dan mempengaruhi kinerja seseorang. Melalui pendidikan karakter peserta didik di bentuk, peserta didik yang semulanya tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan saat mengalami kesulitan melalui pendidikan peserta didik di ajarkan bagaimana harus bertindak saat sedang mengahadapi kesuitan tersebut. c) Keyakinan Orang yang sukses, pasti memiliki tingkat keyakinan yang kuat atas sesuatu. Keyakinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menghadapi suatu masalah serta membantu seseorang dalam mencapai tujuan hidup. Keyakinan peserta didik yang kuat dalam menghadapi setiap tantangan-tantangan dan hambatan-hambatannya merupakan faktor mencapai kesuksesan bagi peserta didik tersebut. Peserta didik yang memiliki keyakin kuat dalam menghadapi kesulitan pasti akan memiliki sikap optimisme daripada peserta didik yang tidak memiliki keyakinan kuat maka akan pesimis dalam menghadapi setiap kesulitan. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang terdiri dari daun: kinerja, cabang: bakat dan kemauan, batang: kesehatan dan karakter, akar: genetika, pendidikan dan keyakinan, merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi adversity quotient atau kemampuan dalam mengatasi kesulitan seseorang.

6 13 Apabila faktor-faktor tersebut dapat terpenuhi pada diri seseorang maka seseorang tersebut memmiliki adversity quotient yang tinggi untuk mencapai sukses, Sebaliknya jika faktor-faktor tersebut tidak terpenuhi maka seseorang tersebut memiliki adversity quotient yang rendah. c. Aspek-aspek Adversity Quotient Stoltz (2005:140) menyaebutkan bahwa adversity quotient terdiri atas empat dimensi CO2RE, dimensi ini menjadi aspek-aspek dari adversity quotient (AQ). CO2RE yaitu control, origin, ownership, reach dan endurance. Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Control (C) atau kendali Kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang. Kendali diri tersebut akan berdampak pada tindakan selanjutnya atau respon yang dilakukan individu bersangkutan, tentang harapan dan idealitas individu untuk tetap berusaha keras mewujudkan keinginannya walau sesulit apapun keadaannya sekarang. 2) Origin (Asal-usul) dan Ownership (pengakuan) (O2) Sejauh mana seseorang mempermasalahkan dirinya ketika mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya, atau sejauh mana seseorang mempermasalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan atau kegagalan seseorang. Rasa bersalah yang tepat akan menggugah seseorang untuk bertindak sedangkan rasa bersalah yang terlampau besar akan menciptakan kelumpuhan. Poin ini merupakan pembukaan dari poin ownership. Ownership mengungkap sejauh mana seseorang mengakui akibatakibat kesulitan dan kesediaan seseorang untuk bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut. 3) Reach (R) atau jangkauan Reach adalah dimensi dari adversity quotient yang mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian dari kehidupan individu yang bersangkutan. Adversity quotient yang rendah pada

7 14 individu akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang. 4) Endurance (E) atau daya tahan Endurance adalah aspek ketahanan individu, yaitu aspek yang mempertanyakan berapa lamakah kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung.hal ini berkaitan dengan pandangan individu terhadap kepermanenan dan ketemporeran kesulitan yang berlangsung. Efek dari aspek tersebut adalah pada harapan tentang baik atau buruknya keadaan masa depan. Makin tinggi daya tahan seseorang, semakin mampu menghadapi berbagai kesukaran yang dihadapinya. Aspek-aspek tersebut akan digunakan sebagai dasar pemubuatan angket, terdapat empat aspek tersebut adalah control (kendali), origin (asal usul) dan Ownership (pengakuan), reach (jangkauan), serta endurance (daya tahan) kemudian di uraikan menjadi beberapa indikator dan selanjutnya direalisasi lagi menjadi bebeapa item angket. 2. Bimbingan Kelompok Teknik Sosiodrama a. Pengertian Bimbingan Kelompok Layanan bimbingan kelompok merupakan kegiatan yang dapat membantu peserta didik memecahkan masalah secara bersama di dalam suatu kelompok. Kegiatan bimbingan kelompok akan terlihat hidup jika di dalamnya terdapat dinamika kelompok. Dinamika kelompok merupakan media efektif bagi anggota kelompok atau peserta didik dalam mengembangkan adversity quotient atau kemampuan menghadapi masalah. Tatik (2001:3) menjelaskan bahwa bimbingan kelompok merupakan salah satu teknik bimbingan yang berusaha membantu individu agar dapat mencapai perkembangannya secara optimal sesuai dengan kemampuan, bakat, minat serta nilai-nilai yang dianutnya dan dilaksankan dalam situasi kelompok. Pejelasan tersebut dapat dimaknai bahwa bimbingan kelompok dilaksanakan sebagai salah satu layanan bimbingan

8 15 yang di berikan kepada peserta didik untuk membantu mencegah timbulnya masalah pada peserta didik dan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya dengan situasi kelompok yang disebut dengan bimbingan kelompok. Prayitno (1995:61) menjelaskan bahwa bimbingan kelompok merupakan suatu upaya bimbingan kepada individu melalui kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan bimbingan dan konseling. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kegiatan bimbingan kelompok dinamika kelompok menjadi sarana untuk mencapai tujuan kegiatan bimbingan dan konseling, karena dinamika kelompok mampu menciptakan interaksi antar individu di dalam kelompok sehingga mampu memahami dirinya di dalam mengadakan penyesuaian diri dan masalah dapat terpecahkan bersama. Sukardi (2003: 48) mengemukakan bahwa Layanan bimbingan kelompok dimaksudkan untuk memungkinkan peserta didik secara bersama-sama memperoleh berbagai bahan dari nara sumber (terutama guru pembimbing) yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari baik sebagai individu maupun sebagai pelajar, anggota keluarga dan masyarakat. Eddy Wibowo (2005: 17) menjelaskan bahwa bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan kelompok untuk membantu anggota-anggota kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Berdasarkan paparan tersebut dapat dijelaskan bahwa bimbingan kelompok bersifat memberikan kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu, dalam arti bahwa bimbingan kelompok tersebut memberi dorongan dan motivasi kepada individu untuk mengubah diri dengan memanfaatkan kemampuan yang di miliki secara optimal, sehingga mempunyai kemampuan dalam mengahadapi setiap permasalahan. Berdasarkan beberapa pengertian bimbingan kelompok di atas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan kelompok yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan memanfaatkan

9 16 dinamika kelompok yaitu adanya interaksi antara angota kelompok saling mengeluarkan pendapat, memberikan tanggapan, dan saran untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh anggota kelompok. b. Pengertian Bimbingan Kelompok Teknik Sosiodrama Sosiodrama merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk memberikan layanan bimbingan kelompok di sekolah dengan cara memerankan perilaku yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Djumhur (1986:109) menjelaskan bahwa sosiodrama dipergunakan sebagai suatu teknik memecahkan masalah-masalah sosial dengan melalui kegatan permainan peran. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa dengan adanya kegiatan sosiodrama peserta didik dapat memecahkan masalah sosial melaului permainan peran dalam kelompok. Romlah (2001:14) menjelaskan bahwa sosiodrama merupakan permainan yang ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia. Penjeasan tersebut dapat diartikan bahwa sosiodrama dapat membantu peserta didik yang mempunyai masalah dalam kaitannya dengan lingkungan atau orang lain yang bersifat sosial. Herman J. Waluyo (2002:54) menjelaskan bahwa sosidrama merupakan bentuk pendramatisan peristiwa-peristiwa kehidupan seharihari yang terjadi dalam masyarakat. Tohirin (2009:293) mengemukakan bahwa sosiodrama merupakan suatu cara membantu memecahkan masalah peserta didik melauli drama. Winkel (1991: 470) menjelaskan bahwa sosiodrama merupakan dramatisasi dari persoalan-persoalan yang dapat timbul dalam pergaulan dengan orang lain termasuk konflik-konflik yang dialami dalam pergaulan sosial. Berdasarkan paparan tersebut dapat dimaknai bahwa teknik sosiodrama merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk memberikan layanan bimbingan kelompok di sekolah dengan cara memerankan perilaku yang berkaitan dengan masalahmasalah sosial.

10 17 Beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa bimbingan kelompok teknik sosiodrama merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok individu dengan cara bermain peran, yang bertujuan untuk membantu individu memecahakan masalah sosial yang dihadapinya melalui dinamika kelompok yang dibangun dari dalam bimbingan kelompok. Anggota kelompok dapat membangun interaksi dengan orang lain, belajar menyesuaikan diri dan menghadapi konflik-konflik yang terjadi dalam kelompok. c. Tujuan Bimbingan Kelompok Teknik Sosiodrama Sosiodrama sebagai teknik dalam bimbingan kelompok merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memecahkan masalah sosial yang terjadi pada anggota kelompok. Romlah (2006:104) menjelaskan bahwa sosiodrama lebih merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mendidik atau mendidik kembali daripada kegiatan penyembuhan. Penjelasan tersebut menyatakan bahwa tujuan sosidrama adalah mendidik peserta didik untuk mengarahkan pserta didik ake arah yang lebih positif dalam menghadapi masalah sosial. Sukmadinata (2012:57) mengemukakan bahwa sosiodrama merupakan kegiatan yang bertujuan mendidik serta penyembuhan individu yang mengalami permaslahan sosial. Mendidik yang dimaksud adalah memberikan pengarahan serta pengetahuan untuk arah yang jelas agar individu mampu mengahdapi permasalahanya. Melihat tujuan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari bimbingan kelompok teknik sosiodrama bertujuan untuk mendidik dan mengarahkan individu pada kemampuan menghadapi masalah yang terjadi pada kehidupan sosial karena rendahnya adversity quotient yang dimiliki peserta didik maka perlu ditingkatkan dengan cara bermain peran dalam anggota kelompok.

11 18 d. Prosedur Pelaksanaan Bimbingan Kelompok Teknik Sosiodrama Setiap kegiatan yang akan dilaksanakan tentu dibutuhkan prosedur atau langkah-langkah yang harus disiapkan terlebih dahulu sebelum pelaksanaan kegiatan. Bimbingan kelompok teknik sosiodrama merupakan sebuah kegiatan, yang menggunakan prosedur atau langkah-langkah yang harus diperhatikan sebelum melaksanakan kegiatan bimbingan kelompok teknik sosiodrama. Romlah (2006:104 ) menyebutkan langkah-langkah pelaksanaan bimbingan kelompok sosiodrama adalah persiapan, menentukan anggota kelompok yang akan memainkan peran, menentukan kelompok penonton, pelaksanaan sosiodrama, evaluasi dan diskusi serta ulangan permainan. Langkah-langkah pelaksanaan sosiodrama yang dijelaskan oleh Romlah dapat diuraikan sebagai berikut: a. Persiapan Kegiatan bimbingan kelompok teknik sosiodrama perlu sebuah persiapan agar dalam pelaksanaannya nanti berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, yaitu fasilitator menjelaskan masalah yang akan djadikan tema serta tujuan dari kegiatan bimbingan kelompok teknik sosiodrama. b. Menentukan anggota kelompok yang akan memainkan peran. Pemilihan peran dalam bimbingan kelompok teknik sosiodrama dilakukan oleh fasilitator secara suka rela kepada anggota kelompok yang sesuai dengan kebutuhan pada skenario. c. Menentukkan kelompok penonton Kelompok penonton adalah anggota dari kelompok lain yang tidak bermain saat itu, kelompok yang bertugas mengamati jalannya sosiodrama seta mengobservasi pelaksanaan sosiodrama dan mendiskusikan hasil pengamatannya setelah pelaksanaan sosiodrama selesai. d. Pelaksanaan sosiodrama Pada pelaksanaan sosiodrama antara anggota yang bermain peran

12 19 dengan anggota sebagai penonton diharapkan terjadi identifikasi dari peran-peran yang dimainkan. Pemeran diharapkan dapat benar-benar memerankan sesuai posisi yang dimainkan sehingga dapat terjadi pemecahan masalah. e. Evaluasi dan diskusi Setelah kegiatan sosiodrama selesai diadakan evalusi dan diskusi dari pelaksanaan sosiodrama berdasarkan hasil pengamatan dan penilaian anggota kelompok penonton dan peneliti. Evaluasi dan diskusi di arahkan pada tanggapan-tanggapan mengenai peran yang sudah dimainkan serta kesan pesan yang bisa di ambil pada permainan sosiodrama yang sudah dilaksanakan. f. Ulangan Permainan Sosiodrama dapat diulang, ulangan sosiodrama dapat dilakukan berbagai cara. Romlah (2006: 105) menjelaskan bahwa beberapa cara mengulang sosiodrama yaitu bertukar peran, peran ganda, teknik cermin, teknik kursi kosong, dan bermain peran sendiri. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa cara mengulang sosiodrama dapat dilakukan dengan bertukar peran antara peran peserta didik yang dengan peserta didik yang lain, peserta didik melakukan peran ganda, peserta didik melakukan peermainan drama dengan teknik cermin dan peserta didik bermain drama sendiri. Ulangan permainan dilakukan supaya peserta didik dapat menghayati permainan yang dilakukan dan peserta didik dapat memperbaiki penampilannya di permainan yang sebelumnya. Herman J. Waluyo (2002: 19) menyebutkan beberapa langkah untuk mengefektifkan sosiodrama: 1) Menetapkan problem 2) Mendiskripsikan situasi konflik 3) Pemilihan pemain 4) Memberika penjelasan dan pemanasan bagi aktor dan pengamat

13 20 5) Memerankan situasi tersebut 6) Memotong adegan 7) Mendiskusikan dan menganalisis stuasi, kelakuan dan gagasan yang diproduksi 8) Menyusun rencana untuk testing lebih lanjut atau inplementasi gagasan baru. Langkah-langkah tersebut dapat diuraikan secara rinci sebagai berikut: 1) Menetapkan problem Menentukan masalah sosial yang akan dipecahkan menggunakan sosiodrama. 2) Mendiskripsikan situasi konflik Mengambarkan konflik-konflik yang muncul pada saat permainan drama yang muncul pada naskah drama supaya peserta didik memahami konflik-konflik yang akan terjadi pada saat permainan peran berlangsung. 3) Pemilihan permainan Memilih pemain dapat dipilihkan oleh pembimbing yaitu anggota kelompok yang mempunyai masalah dan juga dapat dilakukan secara sukarela, peserta didik memilih peran sesuai kehendaknya. 4) Memberikan penjelasan dan pemanasan bagi aktor dan pengamat Sebelum memulai sosiodrama, tugas pembimbing memberikan penjelasan tentang permainan drama yang akan di mainkan kepada peserta didik supaya peserta didik tidak mengalami kesulitan. Peserta didik juga diberikan waktu untuk latihan sebagai pemanasan. 5) Memerankan situasi tersebut Peserta didik memerankan sesuai perannya masing-masing. 6) Memotong adegan Memotong adegan yaitu menghentikan permainan drama pada saat sosiodrama berlangsung ketika terjadi permasalahan dalam permainan seperti peserta didik yang tidak jelas dengan perannya kemudian

14 21 dijelaskan lalu dilanjutkan lagi. 7) Mendiskusikan dan menganalisis stuasi, kelakuan dan gagasan yang diproduksi Tugas kelompok pengamat tugasnya berdiskusi dan menganalisis tentang sosiodrama yang dimainkan kelompok pemain. 8) Menyusun rencana untuk testing lebih lanjut atau inplementasi gagasan baru. Pembimbing menyusun rencana tindak lanjut atas hasil yang diperoleh dari pengamatannya. Berdasarkan paparan dari beberapa ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa prosedur atau langkah pelaksanaan bimbingan kelompok teknik sosiodrama adalah persiapan, membuat skenario, menentukan kelompok pemain dan kelompok penonton, melaksanakan sosiodrama, melakukan evaluasi dan refleksi serta rencana tindak lanjut. Dalam penelitian ini menggunakan prosedur atau atau langkah pelaksanaan bimbingan kelompok teknik sosiodrama menurut Herman J Waluyo. 3. Karakteristik Peserta Didik Sekolah Menengah Pertama Fase remaja adalah masa kehidupan individu menjelang dewasa. Pada jenjang tersebut kebutuhan remaja semakin kompleks, interaksi sosial dan pergaulan remaja cukup luas. Pada akhirnya remaja perlu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan yang berbeda dengan norma yang berlaku sebelumnya di dalam keluarganya. Remaja menghadapi berbagai lingkungan dalam pergaulannya dengan sesama remaja. Remaja memiliki karakteristik yang berbeda-beda, hal tersebut dapat dilihat dari perilaku yang ditunjukan oleh remaja dalam merespon peristiwa yang ada di sekitarnya. M. Ali dan M. Asrori (2004: 16) menyebutkan perilaku yang ditunjukan oleh remaja yaitu 1) kegelisahan, 2) pertentangan, 3)

15 22 mengkhayal, 4) Aktivitas berkelompok, dan 5) Keinginan mencoba segala sesuatu. Perilaku remaja tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut : 1) Kegelisahan Remaja memiliki keinginan yang banyak, namun remaja belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mencapai semua keinginannya tersebut. Hal tersebut menyebabkan timbulnya perasaan gelisah pada diri remaja. 2) Pertentangan Remaja merupakan peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, terkadang remaja mengagap dirinya sudah dewasa sehingga memiliki keinginan untuk mandiri dan lepas dari orang tua, tetapi remaja tidak berani mengambil resikonya sendiri dan masih bergantung pada orang tua. Hal tersebut menimbulkan pertentangan dalam diri remaja. 3) Mengkhayal Remaja memiliki banyak harapan dan impian yang ingin dicapai, tetap remaja belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mencapai semua harapan dan impiannya tersebut. Hal tersebut menyebabkan remaja mengkhayalkan harapan-harapan dan impian-impiannya. 4) Aktivitas berkelompok Aktivtas kelompok pada dasarnya dapat merupakan kegiatan yang positif untuk saling berinteraksi antar teman dalam kelompok untuk bertukar pikiran, tetapi aktivitas kelompok dapat disalah gunakan menjadi kegiatan yang negaitif seperti perkumpulan remaja bersifat anarkis atau gank. 5) Keinginan mencoba segala sesuatu Remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga remaja mudah tertarik untuk mencoba hal yang baru yang bersifat positif seperti belajar dari buku yang baru dan bersifat negatif seperti merokok. Peserta Didik SMP termasuk pada fase remaja awal, merupakan masa perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang meliputi perubahan fisik, psikis, dan perubahan sosial. Peserta didik sekolah menengah pertama pada umumnya berkisar tahun, peserta didik tergolong remaja awal pubertas. yang sering disebut sebagai masa yang penuh gejolak. Masa

16 23 remaja merupakan salah satu periode yang penting dalam rentang kehidupan individu. Hurlock (2003:207) menjelaskan bahwa Semua periode yang terjadi dikehidupan adalah penting, periode remaja memberikan akibat yang langsung terhadap sikap dan perilaku untuk jangka panjang. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa akibat yang ditimbulkan dari perkembangan fisik dan psikologis pada remaja adalah perkembangan fisik berlangsung cepat yang disertai dengan perkembangan mental. Perkembangan tersebut memerlukan perlunya penyesuian diri dengan orang lain dan lingkungan yang akan membentuk sikap positif remaja. Setiap manusia tak terlepas dari suatu kesulitan atau permasalahan di dalam hidupnya tak terkecuali peserta didik SMP. Berbagai tantangantantangan yang dapat menimbulkan kesulitan di sekelilingnya dapat menimbulkan masalah bagi peserta didik, baik secara pribadi maupun secara sosial. Apabila peserta didik memiliki kemampuan untuk menghadapi setiap kesulitan tersebut maka peserta didik dapat terhindar dari pengaruh-pengaruh pergaulan negatif, begitu juga sebaliknya. Kemampuan tersebut merupakan kecerdasan dan daya tahan dalam mengahadapi kesulitan (adversity quotient) diperlukan oleh peserta didik karena sangat menentukan pencapaian keberhasilan belajar. 4. Bimbingan Kelompok Teknik Sosiodrama untuk Meningkatkan Adversity Quotient Stoltz (2005: 26) menjelaskan bahwa cara mengembangkan dan menerapkan AQ dapat diringkas dalam kata LEAD, yaitu : Listened (dengar), explored (gali), analized (analisa), do (lakukan). Cara mengembangkan dan menerapkan AQ dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: 1) Listened (dengar) Mendengarkan respon terhadap kesulitan merupakan langkah yang penting dalam mengubah AQ individu.individu berusaha menyadari

17 24 dan menemukan jika terjadi kesulitan, kemudian menanyakan pada diri sendiri apakah itu respon AQ yang tinggi atau rendah. Melalui sosiodrama peserta didik akan mendengarkan permasalahan yang disampaikan antar anggota kelompok, karena pada sosiodrama terjadi interakasi antar individu untuk mengatasi konflik yang terjadi dalam drama. 2) Explored (gali) Pada tahap ini, individu didorong untuk mencari penyebab masalah. Setelah itu menemukan mana yang merupakan kesalahannya, lalu menggali alternatif tindakan yang tepat. Pada saat sosiodrama peserta didik belajar mengatasi konflik yang terjadi, peserta didik menggali informasi-informasi berkaitan dengan konflik yang terjadi untuk menemukan cara yang sesuai untuk mengatasi konflik yang sedang terjadi pada saat bermain peran. 3) Analized (analisa) Individu diharapkan mampu menganalisa bukti apa yang menyebabkan individu tidak dapat mengendalikan masalah. Setelah peserta didik menggali informasi-informasi berkaitan konflik yang terjadi pada saat bermain peran, peserta didik akan menganalisis informasi-informasi tersebut supaya dapat meberikan alternatif pemecahan masalah yang sesuai dengan konflik yang terjadi pada saat bermain peran. 4) Do (lakukan) Individu diharapkan dapat mengambil tindakan nyata setelah melewati tahapan-tahapan sebelumnya yaitu listened (dengar), explored (gali), analized (analisa). Peserta didik melakukan tindakan nyata setelah pada saat sosiodrama peserta didik saling berinteraksi, mendengarkan kemudian menggali informasi-informasi yang berkaitan tentang penyebab konflik dan melakukan analisa terhadap informasi-informasi tersebut untuk menentukan alternatif yang sesuai dalam mengatasi konflik yang terjadi pada saat bermain peran,

18 25 kemudian langkah terakhir yaitu maelakukan tindakan nyata untuk menghadapi konflik tersebut. Setiap manusia tak terlepas dari suatu kesulitan atau permasalahan di dalam hidupnya tak terkecuali peserta didik SMP, permasalahan yang timbul pada peserta didik bisa terjadi dalam kehidupan sosial di lingkungan sekolah, salah satunya permasalhan yang terjadi di kehidupan sosial adalah permasalahan sosial yaitu ketidakmampuan peserta didik dalam menghadapi kesulitan (adversity quotient) yang terjadi di dalam kelompok. Adversity Quotient menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial peserta didik. Adversity quotient merupakan salah satu faktor mencapai kesuksesan. Leman (2007: 115) menjelaskan bahwa adversity quotient merupakan kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa kemampuan seseorang untuk menghadapi konflikkonflik yang terjadi di sekelilingnya merupakan adversity quotient. Adversity quotient merupakan kemampuan merespon, berpikir, mengelola, dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola-pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan dan kesulitan yang dihadapi, yang dapat ditafsirkan dalam bentuk adversity quotient. Uraian tersebut memberikan arti bahwa peserta didik dengan memiliki Adversity Quotient dapat merespon menghadapi kesulitan atau keadaan yang tidak diinginkan, tetapi tidak semua peserta didik memmpunyai kemampuan menghadapi kesulitan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan masing- masing peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam mengahadapi permasalhannya. Untuk mengatasi peserta didik yang memiliki adversity quotient rendah pembimbing dapat menggunakan layanan bimbingan kelompok. Bimbingan kelompok merupakan kegiatan yang dilakukan secara berkelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok, yang menghasilkan terjadinya interaksi antar anggota kelompok.

19 26 Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa bimbingan kelompok dapat menciptakan sebuah interaksi untuk meningkatkan kemampuan adversity quotient. Di dalam layanan bimbingan kelompok terdapat beberapa teknik, salah satu teknik yang diharapkan tepat untuk meningkatkan adversity quotient adalah teknik sosiodrama, teknik tersebut tepat untuk mengatasi permasalahan sosial, karena bimbingan kelompok teknik sosiodrama bertujuan untuk membantu individu menghadapi dan memecahakan masalah sosial peserta didik. B. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah: Tri Yuniati (2013) skripsi berjudul Teknik Sosiodrama Untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri Di Sekolah Siswa Kelas VIII Di SMP Negeri 2 Matesih Tahun Pelajaran 2013/2014. Hasil analisis menunjukkan t hitung -4,974 dengan signifikansi sebesar 0,000 < 0,05, maka Ho ditolak Ha diterima. Demikian dapat disimpulkan bahwa teknik sosiodrama efektif untuk meningkatkan penyesuaian diri di sekolah peserta didik kelas VIII SMP Negeri 2 Matesih tahun pelajaran 2013/2014. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Bimbingan Kelompok Teknik Sosiodrama direkomendasikan sebagai salah satu kerangka kerja dalam rangka pengembangan program bimbingan dan konseling di sekolah. C. Kerangka Berpikir Penelitian ini mengkaji tentang peserta didik kelas VIII SMP N 1 Kebakkramat yang masuk dalam kategori remaja. Remaja merupakan masa penyesuaian dan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Setiap manusia tak terlepas dari suatu kesulitan atau permasalahan di dalam hidupnya tak terkecuali peserta didik SMP. Berbagai tantangan-tantangan yang dapat menimbulkan kesulitan di sekelilingnya dapat menimbulkan masalah bagi peserta didik, baik secara pribadi maupun secara sosial. Sangat dimungkinkan terjadi ketidakmampuan dalam menghadapi kesulitan oleh peserta didik SMP kelas VIII.

20 27 Salah satu upaya untuk meningkatkan adversity quotient atau kemampuan menghadapi kesulitan dengan pemberian layanan bimbingan kelompok teknik sosiodrama. Peserta didik dapat bermain peran bersama anggota kelompok dengan tema mengelola kempampuan peserta didik dalam mengatasi kesulitan yang sedang di hadapi. Kerangka berpikir pada penelitian teknik sosiodrama efektif untuk meningkatkan adversity quotient pada peserta didik kelas VIII SMP N 1 Kebakkramat tahun ajaran 2015/ 2016 dapat dilihat sebagai berikut: Peserta Didik Adversity Quotient Rendah Penyebab Adversity Quotient rendah: 1. Sering menunda-nunda dalam menyelesaikan masalah. 2. Kurang percaya diri dengan kemampuannya sendiri dan memilih bergantung pada teman. 3. Daya tahan yang rendah dalam menghadapi kesulitan 4. Respon yeng negatif terhadap masalah yang sedang dihadapi. Akibat Adversity Quotient rendah: 1. Peserta didik tidak bisa bertahan pada tekanan dan bagaimana mengatasi tekanan tersebut. 2. Prestasi belajar peserta didik terganggu 3. Peserta didik mengalami kegagalan dalam mengatasi setiap permasalahan. 4. Peserta didik mudah menyerah dalam mengatasi kesulitan. Sosiodrama Teknik bermain peran dengan tema pengelolaan adversity quotient atau kemampuan mengatasi kesulitan. Adversity Quotient Meningkat Gambar 2.1 Kerangka Berpikir.

21 28 D. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban atau kesimpulan sementara atas suatu permasalahan. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka diperoleh hipotesis sebagai berikut: Teknik sosiodrama efektif untuk meningkatkan Adversity Quotient pada peserta didik Kelas VIII SMP N 1 Kebakkramat Tahun Ajaran 2015/2016

22 29

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk karakteristik seseorang agar menjadi lebih baik. Melalui jalur pendidikan formal, warga negara juga diharapkan

Lebih terperinci

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sehingga persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh: Laksmi Fivyan Warapsari F100110088 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan maupun perusahaan, baik di Indonesia maupun diluar negeri. Definisi asuransi menurut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Proses Berpikir Analogi Matematis Menurut Gilmer (Kuswana, 2011), berpikir merupakan suatu pemecahan masalah dan proses penggunaan gagasan atau lambang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Proses Berpikir Berpikir selalu dihubungkan dengan permasalahan, baik masalah yang timbul saat ini, masa lampau dan mungkin masalah yang belum terjadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami banyak perubahan. Salah satu penyebab dari perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kontribusi yang sangat besar pada masyarakat (Reni Akbar

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kontribusi yang sangat besar pada masyarakat (Reni Akbar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menghadapi tantangan di era globalisasi, keberadaan anak berbakat menjadi penting dan bernilai. Kecerdasan yang dimiliki anak, memudahkan anak memahami sebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam barang serta jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini, kita sedang memasuki suatu abad baru yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini, kita sedang memasuki suatu abad baru yang banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi ini, kita sedang memasuki suatu abad baru yang banyak menimbulkan perubahan dan perkembangan, sekaligus menjadi tantangan. Tantangan akibat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. satu. Dari kedua kata itu terbentuk kata benda communion yang dalam. persekutuan, gabungan, pergaulan, hubungan.

BAB II LANDASAN TEORI. satu. Dari kedua kata itu terbentuk kata benda communion yang dalam. persekutuan, gabungan, pergaulan, hubungan. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Komunikasi Interpersonal 2.1.1 Pengertian Komunikasi Kata komunikasi berasal dari kata latin cum yang kata depan yang berarti dengan, bersama dengan, dan unus yaitu kata bilangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, hampir setiap hari manusia menemui kesulitankesulitan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, hampir setiap hari manusia menemui kesulitankesulitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah Dalam kehidupan, hampir setiap hari manusia menemui kesulitankesulitan yang berbeda-beda. Kesulitan itu sudah menjadi bagian dari diri individu dan tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba membekali diri dengan berbagai keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan yang terjadi pada era globalisasi saat ini menuntut adanya persaingan yang semakin ketat dalam dunia kerja. Hal ini mengakibatkan adanya tuntutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah pembelajar sejati, yang terus belajar dari ia lahir sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu keharusan bagi manusia dan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ADVERSITY QUOTIENT 1. PengertianAdversity Quotient Adversity atau kesulitan adalah bagian kehidupan kita yang hadir dan ada karena sebuah alasan dan kita sebagai manusia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang mau tidak mau dituntut untuk giat membangun dalam segala bidang kehidupan. Terutama dengan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai Adversity Quotient pada siswa/i SMP X kelas I di Bandung (Suatu Penelitian Survei yang dilakukan pada Siswa/i SMP Yayasan Badan Pendidikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja dalam bahasa latin adolescence berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Rentang waktu usia remaja dibedakan menjadi tiga, yaitu : 12-15

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal 2.1 Kecerdasan Interpersonal BAB II KAJIAN TEORI 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan interpersonal bisa dikatakan juga sebagai kecerdasan sosial, diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran matematika, idealnya siswa dibiasakan memperoleh pemahaman melalui pengalaman dan pengetahuan yang dikembangkan oleh siswa sesuai perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA. Arni Murnita SMK Negeri 1 Batang, Jawa Tengah

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA. Arni Murnita SMK Negeri 1 Batang, Jawa Tengah Jurnal Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling Vol. 2, No. 1, Januari 2016 ISSN 2442-9775 UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA Arni Murnita

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kematangan Emosional. hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 1999).

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kematangan Emosional. hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 1999). BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kematangan Emosional 2.1.1. Pengertian Kematangan Emosional Kematangan emosional dapat dikatakan sebagai suatu kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sisten Kredit Semester UKSW, 2009). Menurut Hurlock (1999) mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. Sisten Kredit Semester UKSW, 2009). Menurut Hurlock (1999) mahasiswa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak pihak sekarang ini yang mengritik tajam sistem pendidikan di Indonesia. Ada yang merasa bahwa sekolah-sekolah di negeri ini hanya menghasilkan manusia-manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya,

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya, menantang bangsa ini untuk mengatasi krisis yang dialami agar tidak tertinggal kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk memproduksi barang atau jasa, serta bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Tujuan organisasi

Lebih terperinci

ADVERSITY QUOTIENT DAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA PENDIDIKAN MIPA FKIP UNIVERSITAS TADULAKO TAHUN AKADEMIK 2015/2016

ADVERSITY QUOTIENT DAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA PENDIDIKAN MIPA FKIP UNIVERSITAS TADULAKO TAHUN AKADEMIK 2015/2016 ADVERSITY QUOTIENT DAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA PENDIDIKAN MIPA FKIP UNIVERSITAS TADULAKO TAHUN AKADEMIK 215/216 Bakri M * ) E-mail: bakrim6@yahoo.co.id Sudarman Bennu * ) E-mail: sudarmanbennu@untad.ac.id

Lebih terperinci

TINGKAT ADVERSITY QUOTIENT ATLET DIY M. Yunus Sb, BM Wara K. dkk

TINGKAT ADVERSITY QUOTIENT ATLET DIY M. Yunus Sb, BM Wara K. dkk TINGKAT ADVERSITY QUOTIENT ATLET DIY ----------------------------------------------------------------- M. Yunus Sb, BM Wara K. dkk 1. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Di lapangan sering kita lihat, seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu komponen yang dapat membantu perkembangan diri individu adalah pendidikan. Melalui pendidikan individu diharapkan bisa mengarahkan dirinya dalam

Lebih terperinci

Nur Asyah Harahap 1) dan Ria Jumaina 2) Dosen FKIP UMN Al Washliyah dan 2) Mahasiswa FKIP UMN Al Washliyah. Abstrak

Nur Asyah Harahap 1) dan Ria Jumaina 2) Dosen FKIP UMN Al Washliyah dan 2) Mahasiswa FKIP UMN Al Washliyah. Abstrak PENGARUH LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK DISKUSI TERHADAP PENGEMBANGAN KECERDASAN MENGATASI KESULITAN (ADVERSITY QOUTIENT) SISWA KELAS XI SMA NEGERI 6 BINJAI TAHUN AJARAN 2016/2017 Nur Asyah Harahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Majunya ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia untuk berusaha menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mempercepat modernisasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian anak, baik di luar dan di dalam sekolah yang berlangsung seumur hidup. Proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Akademik 1. Pengertian prestasi akademik Menurut pendapat Djamarah (2002) tentang pengertian prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP ) berada dalam masa

I. PENDAHULUAN. Peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP ) berada dalam masa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Begitu juga dengan siswa di sekolah, siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai interaksi antara dirinya dan lingkungannya. Keseluruhan proses

BAB I PENDAHULUAN. sebagai interaksi antara dirinya dan lingkungannya. Keseluruhan proses 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran merupakan proses perubahan dalam perilaku sebagai interaksi antara dirinya dan lingkungannya. Keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. sistem pendidikan nasional No.20 tahun 2003 yang menyatakan tegas

1. PENDAHULUAN. sistem pendidikan nasional No.20 tahun 2003 yang menyatakan tegas 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Sekolah adalah wadah pendidikan formal mempunyai tanggung jawab besar untuk mewujudkan cita-cita bangsa, sebagaimana yang diamanahkan dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan model pembelajaran problem based learning. Hasil penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan model pembelajaran problem based learning. Hasil penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian pembelajaran menggunakan model pembelajaran problem based learning. Hasil penelitian tersebut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. kelompok dan kelompok, ataukah individu dengan kelompok. Menurut Walgito (2000)

BAB II LANDASAN TEORI. kelompok dan kelompok, ataukah individu dengan kelompok. Menurut Walgito (2000) BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Interaksi Sosial 2.1.1 Pengertian Interaksi Sosial Menurut Mead (dalam Partowisastro, 1983) interaksi sosial adalah relasi sosial yang berfungsi sebagai relasi sosial dinamis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah Menengah Atas adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Usia sekolah menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia per 31 Desember 2010 (KPK, 2010). Sumber lain menyebutkan jika

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia per 31 Desember 2010 (KPK, 2010). Sumber lain menyebutkan jika BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Krisis moral yang saat ini dialami bangsa Indonesi menjadi isu yang tengah hangat diperbincangkan. KPK dalam laporan tahunan tahun 2010 mencatat adanya 6.265 laporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sekolah pada dasarnya merupakan lingkungan sosial yang berfungsi sebagai tempat bertemunya individu satu dengan yang lainnya dengan tujuan dan maksud yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Zaman modern yang penuh dengan pengaruh globalisasi ini, kita dituntut

BAB 1 PENDAHULUAN. Zaman modern yang penuh dengan pengaruh globalisasi ini, kita dituntut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zaman modern yang penuh dengan pengaruh globalisasi ini, kita dituntut untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Pernyataan ini bukan tanpa sebab,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang

Lebih terperinci

Sosiodrama pada Pembelajaran IPS sebagai Upaya Peningkatan Kepercayaan Diri Siswa

Sosiodrama pada Pembelajaran IPS sebagai Upaya Peningkatan Kepercayaan Diri Siswa Sosiodrama pada Pembelajaran IPS sebagai Upaya Peningkatan Kepercayaan Diri Siswa Pendahuluan Oleh Dinar dan Ahmad Juanda: Latifa Mahasiswa Prodi Pendidikan IPS 2010 FIS UNY Sejatinya pendidikan merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya menyiapkan manusia

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya menyiapkan manusia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya menyiapkan manusia agar mampu mandiri, menjadi anggota masyarakat yang berdaya guna dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam psikologi sosial disebut konformitas (Sarwono, 2006).

BAB II LANDASAN TEORI. dalam psikologi sosial disebut konformitas (Sarwono, 2006). BAB II LANDASAN TEORI 1.1. Konformitas 2.1.1.Pengertian Konformitas Manusia mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat bertahan hidup. Cara yang termudah adalah melakukan tindakan sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ataupun kesuksesan. Keberhasilan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ataupun kesuksesan. Keberhasilan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia yang ada di dunia ini pasti menginginkan adanya keberhasilan ataupun kesuksesan. Keberhasilan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk melewati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. membuat manusia dituntut untuk mengikuti segala perubahan yang terjadi dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. membuat manusia dituntut untuk mengikuti segala perubahan yang terjadi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman melalui globalisasi, perubahan teknologi dan informasi membuat manusia dituntut untuk mengikuti segala perubahan yang terjadi dengan harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai sektor bidang kehidupan mengalami peningkatan yang cukup pesat. Untuk dapat memajukan bidang kehidupan, manusia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Syaiful Bahri Djamarah, 2010:105. Pengertian hasil belajar adalah suatu proses

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Syaiful Bahri Djamarah, 2010:105. Pengertian hasil belajar adalah suatu proses BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Hasil Belajar Menurut Syaiful Bahri Djamarah, 2010:105. Pengertian hasil belajar adalah suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGISIAN. #### Selamat Mengerjakan ####

PETUNJUK PENGISIAN. #### Selamat Mengerjakan #### Identitas Responden Jenis Kelamin : Kuliah di : Angkatan : Asal daerah : Tempat tinggal di Semarang : Lama tinggal di Jawa Tengah : Tidak pernah tinggal di Jawa Tengah sebelumnya: (Ya/ Tidak) PETUNJUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak menjadi masa dewasa. Remaja mengalami perubahan fisik dan psikis. Terjadinya perubahan kejiwaan menimbulkan

Lebih terperinci

Sartika, namun dengan kuatnya iklim yang terdapat di lingkungan SD Dewi Sartika,

Sartika, namun dengan kuatnya iklim yang terdapat di lingkungan SD Dewi Sartika, merupakan guru yang terhitung baru berjalan sepuluh tahun mengajar di SD Dewi Sartika, namun dengan kuatnya iklim yang terdapat di lingkungan SD Dewi Sartika, maka rasa pengabdian yang guru-guru rasakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial. Ia hanya dapat hidup berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial. Ia hanya dapat hidup berkembang dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Ia hanya dapat hidup berkembang dan berperan sebagai manusia dengan berhubungan dan bekerja sama dengan manusia lain. Dimanapun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan dengan hakikat manusia, yaitu sebagai makhluk berketuhanan, makhluk individual,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian 3.1.1. Pendekatan penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Penelitian ini terdiri atas tiga variabel, yaitu dua variabel bebas dan satu

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Penelitian ini terdiri atas tiga variabel, yaitu dua variabel bebas dan satu BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian Penelitian ini terdiri atas tiga variabel, yaitu dua variabel bebas dan satu variabel tergantung. Variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. sebut tariqah artinya jalan, sistem atau ketertiban dalam mengerjakan

BAB II KAJIAN TEORI. sebut tariqah artinya jalan, sistem atau ketertiban dalam mengerjakan BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Teori 1. Metode Sosiodrama Metode berasal dari bahasa latin meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan ke atau cara ke. Dalam bahasa arab, metode di sebut tariqah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Populasi/ Sampel Penelitian Penelitian ini dilakukan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang asuransi jiwa, yaitu PT. Prudential Life Assurance (Prudential

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu kebutuhan manusia adalah menyangkut kebutuhan ekonomi. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia karena sangat berpengaruh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan gabungan dari prestasi belajar dan pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi. Prestasi dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau perusahaan dapat melakukan berbagai kegiatan bisnis, operasi fungsi-fungsi

BAB I PENDAHULUAN. atau perusahaan dapat melakukan berbagai kegiatan bisnis, operasi fungsi-fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teknologi internet semakin banyak dimanfaatkan oleh berbagai organisasi terutama organisasi bisnis, kegiatan dunia usaha yang menggunakan teknologi internet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak hal-hal yang tidak terduga seperti kecelakaan, bencana alam, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. banyak hal-hal yang tidak terduga seperti kecelakaan, bencana alam, bahkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani siklus kehidupan, setiap individu akan menghadapi banyak hal-hal yang tidak terduga seperti kecelakaan, bencana alam, bahkan kematian mendadak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dunia pendidikan yang terus berkembang membuat banyak teori-teori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dunia pendidikan yang terus berkembang membuat banyak teori-teori BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pendidikan yang terus berkembang membuat banyak teori-teori baru bermunculan, termasuk teori mengenai kecerdasan. Apabila dulu kecerdasan hanya diukur dengan prestasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut adalah adversity

BAB I PENDAHULUAN. untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut adalah adversity BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang hidup pasti pernah menemui permasalahan. Kemampuan yang harus dimiliki agar setiap individu dapat bertahan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan

Lebih terperinci

ARTIKEL SKRIPSI. Oleh Anis Ludiyani PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

ARTIKEL SKRIPSI. Oleh Anis Ludiyani PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PENINGKATAN EMOTIONAL QUOTIENT MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SOSIODRAMA PADA SISWA KELAS VIIIC SMP ISLAM SUDIRMAN AMPEL TAHUN AJARAN 2015/2016 ARTIKEL SKRIPSI Oleh Anis Ludiyani 132012006

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Belajar Menurut Hakim (2000: 14), belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan diharapkan mampu. mewujudkan cita-cita bangsa. Pendidikan bertujuan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan diharapkan mampu. mewujudkan cita-cita bangsa. Pendidikan bertujuan untuk membantu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan diharapkan mampu mewujudkan cita-cita bangsa. Pendidikan bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. untuk mencari hubungan antar variabel. Variabel-variabel dalam penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. untuk mencari hubungan antar variabel. Variabel-variabel dalam penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mencari hubungan antar variabel. Variabel-variabel dalam penelitian

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung 1 Olla Tiyana, 2 Eni Nuraeni Nugrahawati 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini

BAB II LANDASAN TEORI. berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Adversitas 1. Pengertian Kecerdasan Adversitas Kecerdasan adversitas pertama kali diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz yang disusun berdasarkan hasil riset lebih dari 500

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses untuk mendapatkan pengetahuan atau wawasan, mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju kesuksesan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Metode kuantitatif yaitu menekankan analisisnya pada data data numerical (angka) yang diolah dengan metode

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. A. Pendekatan, Metode, dan Desain Penelitian. teknik sosiodrama untuk meningkatkan percaya diri siswa.

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. A. Pendekatan, Metode, dan Desain Penelitian. teknik sosiodrama untuk meningkatkan percaya diri siswa. 58 BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Pendekatan, Metode, dan Desain Penelitian kuantitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mengenai kualitas pribadi yang dimiliki seseorang untuk menghadapi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mengenai kualitas pribadi yang dimiliki seseorang untuk menghadapi BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kecerdasan Adversitas 1. Definisi Kecerdasan Adversitas Kecerdasan Adversitas (Adversity Intelligence) adalah suatu konsep mengenai kualitas pribadi yang dimiliki seseorang untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Motivasi Belajar Pengertian Motivasi Belajar. Motivasi berasal dari kata motif yang diartikan sebagai

BAB II KAJIAN TEORI Motivasi Belajar Pengertian Motivasi Belajar. Motivasi berasal dari kata motif yang diartikan sebagai BAB II KAJIAN TEORI 1.1. Motivasi Belajar 1.1.1. Pengertian Motivasi Belajar Motivasi berasal dari kata motif yang diartikan sebagai sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif (Sardiman, 2001). Motivasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2006: ) No. 22 tahun 2006 tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2006: ) No. 22 tahun 2006 tujuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu proses belajar mengajar antara guru dan siswa yang berlangsung secara efektif dan efesien. Pendidikan sains khususnya fisika memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri baik, dan juga sebaliknya, kurang baik. sebagai individu yang sedang berkembang mencapai taraf perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri baik, dan juga sebaliknya, kurang baik. sebagai individu yang sedang berkembang mencapai taraf perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Usia remaja merupakan saat pengenalan/ pertemuan identitas diri dan pengembangan diri. Pandangan tentang diri sendiri yang sudah berkembang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha telah mencapai era globalisasi, dimana

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha telah mencapai era globalisasi, dimana BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dunia usaha telah mencapai era globalisasi, dimana persaingan semakin ketat dan perubahan yang terjadipun semakin cepat sehingga para pengusaha harus dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Adversity Quotient

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Adversity Quotient BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Adversity Quotient menurut Paul G. Stoltz (2004). Teori ini digunakan karena adanya kesesuaian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di SMP Langlangbuana 2 Bandung yang berlokasi di Jl. Rusbandi, SH (Aspol) Sukamiskin. Alasan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY INTELLIGENCE DENGAN MOTIVASI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY INTELLIGENCE DENGAN MOTIVASI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA. Skripsi HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY INTELLIGENCE DENGAN MOTIVASI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Oleh : DIANITA WAHYU S. F100 040 259 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan BAB II LANDASAN TEORI A. Intensi Berwirausaha 1. Pengertian Intensi Pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan intensi perilaku dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi dan ilmu pengetahuan ini, dituntut orang-orang yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. teknologi dan ilmu pengetahuan ini, dituntut orang-orang yang berkualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi yang sudah sangat canggih dengan berbagai teknologi dan ilmu pengetahuan ini, dituntut orang-orang yang berkualitas dan berkompetisi tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia global yang saat ini begitu pesat menuntut kita untuk bisa bersaing sesuai tuntutan yang ada disekitar kita. Hal yang pasti terjadi dalam

Lebih terperinci

MENINGKATKAN KETERAMPILAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL SISWA MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK SOSIODRAMA KELAS VIII MTSN 2 MEDAN

MENINGKATKAN KETERAMPILAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL SISWA MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK SOSIODRAMA KELAS VIII MTSN 2 MEDAN MENINGKATKAN KETERAMPILAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL SISWA MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK SOSIODRAMA KELAS VIII MTSN 2 MEDAN Sya adatul Munawaroh, M. Rajab Lubis PPB-BK FIP Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Peran pendidikan matematika sangat penting bagi upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai modal bagi proses pembangunan. Siswa sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena di masyarakat khususnya bagi warga yang tinggal di perkotaan, aksiaksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Peranan bimbingan dan konseling dalam dunia pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN. 79 Universitas Indonesia. Materi dan metode..., Muhammad Yakob, FIB UI, 2009

BAB 4 KESIMPULAN. 79 Universitas Indonesia. Materi dan metode..., Muhammad Yakob, FIB UI, 2009 BAB 4 KESIMPULAN Dari hasil pembahasan karya akhir ini dapat disimpulkan bahwa materi ajar cerpen adalah subtansi dasar yang akan disampaikan kepada siswa dalam proses pembelajaran sastra tingkat MTs.

Lebih terperinci

PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK. Kustanti Prasetyaningtyas SMP Negeri 1 Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur

PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK. Kustanti Prasetyaningtyas SMP Negeri 1 Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur Dinamika Vol. 5, No. 3, Januari 215 ISSN 854-2172 PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK SMP Negeri 1 Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:43) analisis merupakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:43) analisis merupakan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Analisis Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:43) analisis merupakan penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 58 BAB 6 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bagian ini peneliti memaparkan mengenai kesimpulan yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian berdasarkan analisis data yang telah dilakukan; diskusi

Lebih terperinci

TINGKAT ADVERSITAS SISWA KMS (KARTU MENUJU SEJAHTERA) DI SMA NEGERI SE-KOTA YOGYAKARTA SKRIPSI

TINGKAT ADVERSITAS SISWA KMS (KARTU MENUJU SEJAHTERA) DI SMA NEGERI SE-KOTA YOGYAKARTA SKRIPSI TINGKAT ADVERSITAS SISWA KMS (KARTU MENUJU SEJAHTERA) DI SMA NEGERI SE-KOTA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. mesin gasoline tersebut, kalau bahan bakarnya tidak ada. Sama halnya dengan

BAB II KAJIAN TEORI. mesin gasoline tersebut, kalau bahan bakarnya tidak ada. Sama halnya dengan BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Motivasi Belajar 2.1.1 Pengertian Motivasi Belajar Mark dan Tombouch (dalam Bachtiar 2005), mengumpamakan motivasi sebagai bahan bakar dalam beroperasinya mesin gasoline. Tidaklah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing orang selalu menginginkan harga diri yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing orang selalu menginginkan harga diri yang tinggi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam dunia dan kehidupan kita sering mendengar tentang kepemilikan harga diri. Tiap manusia yang ada di dunia ini pasti memiliki harga diri dan tentunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lembaga pendidikan terdiri dari lembaga pendidikan formal (sekolah), non formal (kursus atau bimbingan belajar), dan lembaga informal (keluarga). Biasanya

Lebih terperinci