SELEKSI KETAHANAN BEBERAPA SOMAKLON NILAM TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI DI DAERAH ENDEMIK KECAMATAN PAMEUNGPEUK, KABUPATEN GARUT Amalia, Endang Hadipoentyanti, Nursalam Sirait, dan Sri Suhesti Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Jalan Tentara Pelajar No. 3 Bogor ABSTRAK Nilam (Pogestemon cablin Benth) sebagai komoditas ekspor terpenting di Indonesia, karena merupakan penghasil minyak nilam (patchouli oil ) yang mempunyai prospek baik dalam memenuhi kebutuhan industri parfum dan kosmetik. Usaha budidaya terkendala oleh serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Sampai saat ini belum ada varietas yang tahan terhadap penyakit layu bakteri. Varietas Sidikalang diindikasikan mempunyai sifat agak toleran terhadap penyakit tersebut. Keterbatasan sumber genetik merupakan faktor pembatas dalam pemuliaan tanaman nilam karena tanaman nilam tidak berbunga/berbiji dan selalu diperbanyak secara vegetatif dengan setek. Salah satu upaya yang efektif untuk menambah keragaman genetik adalah dengan cara induksi mutasi, in vitro dan irradiasi dengan memanfaatkan variasi somaklonal. Tujuan dari penelitian ini adalah seleksi ketahanan beberapa somaklon nilam hasil induksi mutasi in vitro dan irradiasi terhadap penyakit layu bakteri di daerah endemik di Kec. Pameungpeuk, Kab. Garut sejak Januari sampai Desember 2010. Perlakuan ada sembilan somaklon (A, B, C, D, E, F, G, H, I) dan satu varietas Sidikalang sebagai pembanding (J). Rancangan yang digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Parameter yang diamati (a) persentase kejadian penyakit (b) karakter pertumbuhan tanaman, terdiri atas batang (tinggi tanaman, diameter batang, panjang ruas, jumlah cabang); daun (jumlah daun, panjang daun, lebar daun, tebal daun dan panjang tangkai daun); (c) produksi tanaman (bobot segar dan bobot kering angin); serta mutu minyak (kadar minyak dan kadar PA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa somaklon B, C, D, G dan I mempunyai persentase kejadian penyakit layu bakteri terendah <60%. Kata kunci: Pogostemon cablin, somaklon, ketahanan, penyakit layu bakteri, R. solanacearum PENDAHULUAN Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan penghasil minyak atsiri (patchouli oil) yang belum ada bahan substitusinya, fungsi utamanya sebagai zat pengikat (fiksatif) untuk bahan pewangi dan industri farmasi. Indonesia sebagai pengekspor minyak nilam terbesar didunia mensuplai hampir 90% dari kebutuhan minyak nilam dunia (Ditjenbun, 2010). Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) adalah salah satu masalah utama pada pertanaman nilam menimbulkan kerugian sebesar 60-95% di Sumatera dan Jawa sebagai daerah sentra produksi. Penyakit ini disebabkan oleh Ralstonia solanacearum (Asman et al., 1998; Supriadi et al., 2000; Nasrun, 2005) yang dapat menyerang nilam secara masal mulai dari benih sampai tanaman dewasa berproduksi. Patogen ini masih sulit dikendalikan, hal ini dikarenakan begitu kompleknya faktor epidemiologi patogen seperti eksistensi strain R. solanacearum yang berbeda, banyaknya tanaman inang, dan kemampuan patogen untuk bertahan hidup lama di dalam tanah meskipun tidak ada tanaman inang. (Suryadi, 2000) Beberapa upaya pengendalian penyakit yang telah dilakukan adalah pemakaian mulsa jerami, ampas nilam, pemakaian antibiotik, pemupukan dan abu sekam tetapi menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (Nasrun, 2005). 477
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 19 Juni 2014 Sampai saat ini belum ada varietas yang toleran atau tahan terhadap penyakit layu bakteri dan belum ada teknologi pengendalian penyakit layu bakteri yang memuaskan. Penggunaan varietas tahan atau toleran adalah cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit tanaman termasuk penyakit layu bakteri nilam dalam upaya meningkatkan produksi nilam. Hasil seleksi ketahanan nilam terhadap R. solanacearum pada tingkat benih di rumah kaca dan tanaman dewasa di lapang menunjukkan bahwa varietas Sidikalang agak toleran terhadap R.solanacearum (Nasrun et al., 2004; Nuryani dan Nasrun, 2005). Oleh sebab itu varietas Sidikalang paling ideal untuk dikembangkan lebih lanjut, karena selain toleran terhadap R. solanacearum juga toleran terhadap tiga species nematoda yaitu Pratylechus brachyurus; Meloidogyne incognita dan Radopholus similis (Mustika dan Nuryani, 2006). Oleh karena itu varietas Sidikalang digunakan sebagai eksplan untuk induksi mutasi in vitro dan irradiasi untuk meningkatkan keragaman genetik, untuk meperoleh somaklon yang mempunyai sifat toleran terhadap R. solanacearum. Hasil keragaman genetik (variasi somaklonal) pada tahun 2007 tersebut, kemudian diseleksi in vitro dengan filtrat atau suspensi bakteri R. solanacearum pada tahun 2008 dan diperoleh 17 somaklon yang tahan ditingkat laboratorium dan selanjutnya diaklimatisasi dan dievaluasi ketahanannya terhadap R. solanacearum di rumah kaca dan diperoleh sembilan somaklon yang tahan terhadap R. solanacearum, yang untuk selanjutnya dievaluasi di tingkat lapang yaitu di daerah endemik. Adanya varietas baru yang tahan/toleran terhadap penyakit layu dapat mengurangi resiko produksi akibat kehilangan hasil di lapang, meminimalisir dampak penggunaan pestisida kimia serta mendukung pertanian organik di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah menyeleksi ketahanan beberapa somaklon nilam terhadap penyakit layu bakteri di daerah endemik Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan sejak Januari sampai Desember 2010 di daerah endemik penyakit layu bakteri di Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawak Barat. Bahan yang digunakan adalah sembilan somaklon dari hasil evaluasi ketahanan terhadap R. solanacearum di tingkat rumah kaca, yaitu somaklon (A, B, C, D, E, F, G, H, I) dan satu varietas Sidikalang sebagai pembanding. Setek somaklon nilam, media (tanah dan pupuk kandang), polybag dan bahan pembantu lain. Alat yang digunakan: gunting setek, ember, embrat, cangkul, sekop kecil, penggaris dan alat pembantu lainnya. Parameter pengamatan meliputi (a) persentase kejadian penyakit, (b) karakter pertumbuhan tanaman, terdiri atas: batang (tinggi tanaman, diameter batang, panjang ruas, jumlah cabang); daun (jumlah daun, panjang daun, lebar daun, tebal daun dan panjang tangkai daun); (c) produksi (bobot segar dan bobot kering angin); serta mutu minyak (kadar minyak dan kadar PA). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan statistik dengan uji lanjut Duncan s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 10 perlakuan (sembilan somaklon + satu varietas pembanding). Masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan sebagai blok. Setiap plot percobaan terdiri atas 50 tanaman. Pengamatan perkembangan penyakit layu pada umur satu MST, dan setiap bulan sekali mulai umur satu BST sampai dengan panen kedua (8-10 BST), dengan penilaian masa inkubasi dan intensitas penyakit dengan skor sebagai berikut: Persentase kejadian penyakit = Jumlah tanaman yang mati Total tanaman yang diuji x 100 478
Amalia et al. : Seleksi Ketahanan Beberapa Somaklon Nilam terhadap Penyakit Layu Bakteri di Daerah Endemik Kecamatan Pameungpeuk... HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap persentase serangan penyakit layu bakteri pada sembilan somaklon nilam + satu varietas Sidikalang sebagai pembanding sampai umur lima bulan setelah tanam (BST) dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa persentase kejadian penyakit layu bakteri paling tinggi terdapat pada somaklon J dan H masing masing sebesar 75,33% dan 60,67% sedangkan somaklon yang mempunyai persentase kejadian penyakit layu bakteri paling rendah adalah somaklon D (31,33%) diikuti oleh somaklon C (35,33%), somaklon I (37,33%), somaklon G (40,67%) dan somaklon B (41,33%). Kelima somaklon tersebut mempunyai tingkat ketahanan terhadap layu bakteri dibawah 60% sehingga dapat dikatagorikan tahan/ toleran terhadap penyakit layu bakteri dan akan digunakan sebagai nomor harapan untuk mendapatkan varietas nilam tahan penyakit layu bakteri. Menurut Machmud (1998) bakteri R. solanacearum mempunyai daya rusak yang besar terhadap tanaman yang diserangnya, hal ini disebabkan karena selain memproduksi EPS, bakteri ini juga memproduksi enzim pektinase dan selulase yang merusak lamela tengah dan memisahkan satu sel dengan sel lainnya serta menyebabkan peningkatan permeabilitas dan kehilangan air yang dapat menyebabkan dekomposisi materi protoplasma yang diikuti kematian sel dan jaringan. Tabel 1. Persentase kejadian penyakit layu bakteri sembilan Somaklon Nilam + satu Varietas Sidikalang sebagai pembanding umur lima bulan setelah tanam (BST). Somaklon Persentase kejadian penyakit (%) A 44,67 bc B 41,33 bc C 35,33 c D 31,33 c E 50,00 bc F 50,67 bc G 40,67 bc H 60,67 ab I 37,33 c J (Sidikalang) 75,33 a CV (%) 23,65 Rerata 46,73 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf kepercayaan 5%. A B Gambar 1. Tanaman sehat (A); Tanaman terserang penyakit layu bakteri (B). 479
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 19 Juni 2014 Pada Tabel 2 karakter pertumbuhan batang nilam umur lima BST (menjelang panen pertama) tertinggi terdapat pada somaklon I (99,13 cm), D (95,00) C (85,60), G (85,53) dan B (85,07), berbeda nyata dibanding dengan varietas Sidikalang (65,33). Ada korelasi semakin tinggi tanaman juga semakin besar diameter batangnya. Panjang ruas batang terpanjang terdapat pada somaklon I (7,87 cm) berbedanyata dengan varietas Sidikalang J (3,88 cm). Begitu pula pada jumlah cabang primer dan sekunder terbanyak pada somaklon I sebesar 21,20 dan 49,87 berbeda nyata dengan varietas Sidikalang J hanya sebesar 14,28 dan 14,31. Tabel 2. Karakter pertumbuhan batang sembilan somaklon nilam + satu varietas Sidikalang sebagai pembanding pada umur lima bulan setelah tanam (BST). Somaklon Tinggi Tanaman Diameter Panjang Ruas Jumlah cabang (cm) Batang (mm) Batang (cm) Primer Sekunder A 77,60 cd 12,45 ab 6,43 ab 17,13 abc 31,73 c B 85,07 bc 12,88 a 6,47 ab 19,74 ab 42,73 abc C 85,60 bc 12,72 a 6,63 ab 20,80 ab 42,20 abc D 95,00 ab 13,08 a 7,43 ab 20,27 ab 47,67 ab E 76,53 cd 11,89 ab 5,67 bc 17,93 abc 37,33 abc F 78,20 c 12,72 a 5,53 bc 17,47 abc 33,40 c G 85,53 bc 12,49 ab 6,10 ab 17,60 abc 36,47 bc H 74,96 cd 10,41 b 6,37 ab 15,87 bc 17,42 d I 99,13 a 13,20 a 7,87 a 21,20 a 49,87 a J (Sidikalang) 65,33 d 12,56 ab 3,88 c 14,28 c 14,31 d CV (%) 8,13 9,39 16,62 14,06 19,77 Rerata 82,30 12,44 6,24 18,23 35,31 Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf kepercayaan 5%. Tabel 3. Karakter pertumbuhan daun sembilan somaklon Nilam + satu varietas Sidikalang sebagai pembanding pada umur lima bulan setelah tanam (BST). Somaklon Jumlah Daun Panjang Daun (cm) Lebar Daun (cm) Tebal daun (mm) Panjang Tangkai Daun (cm) A 352,93 ab 6,57 abc 5,01 bc 0,25 a 2,95 ab B 511,87 a 6,84 ab 6,06 a 0,30 a 3,12 a C 384,93 ab 6,73 ab 5,85 a 0,28 a 3,07 ab D 512,07 a 7,18 a 6,09 a 0,30 a 3,01 ab E 328,40 ab 6,42 bc 5,68 ab 0,24 a 2,86 ab F 356,33 ab 6,07 cd 5,52 ab 0,25 a 2,51 bc G 411,93 ab 6,80 ab 5,90 a 0,27 a 3,23 a H 222,09 bc 5,67 d 5,06 bc 0,27 a 2,12 c I 511,20 a 6,98 ab 6,03 a 0,31 a 2,84 ab J (Sidikalang) 140,03 c 6,09 cd 4,72 c 0,27 a 2,10 c CV (%) 26,68 5,03 6,49 16,42 11,13 Rerata 373,18 6,53 5,59 0,28 2,78 Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf kepercayaan 5%. 480
Amalia et al. : Seleksi Ketahanan Beberapa Somaklon Nilam terhadap Penyakit Layu Bakteri di Daerah Endemik Kecamatan Pameungpeuk... Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah daun yang hampir sama terdapat pada somaklon D, I dan B sebesar 512,07; 511,87 dan 511,20 berbeda nyata dengan jumlah daun pada var pembanding J sebesar 140,03. Daun terpanjang dan terlebar terdapat pada somaklon D masing masing sebesar 7,18 cm dan 6,09 cm dan terendah pada varietas Sidikalang J (6,09 cm) dan (4,72 mm) walaupun tidak berbeda nyata pada semua somaklon yang diseleksi untuk karakter tebal daun. Tangkai daun terpanjang terdapat pada somaklon G (3,23 cm) dan terpendek pada varietas Sidikalang (J) yaitu 2,10 cm. Panen pertama dilakukan pada umur lima bulan setelah tanam karena telah menunjukkan masak fisiologis dengan ciri-ciri daun paling bawah sudah mulai menguning dan panen kedua pada umur tiga bulan setelah panen I. Hasil rata-rata panen bahwa bobot segar dan kering angin tertinggi pada somaklon D masing-masing sebesar 813,33 g/tanaman dan 302,67 g/tanaman sedangkan bobot segar dan kering angin terendah terdapat pada varietas Sidikalang (J) yaitu masing masing sebesar 114,67 g/tanaman dan 60,50 g/tanaman (Tabel 4). Didalam standar mutu minyak nilam menurut SNI 06-2385-2006 mensyaratkan bahwa kadar patchouli alkohol minimal 30%. Kadar minyak dan PA tertinggi pada somaklon B (45,72% dan 2,54%), somaklon G (2,12% dan 44,17%), somaklon D (2,06% dan 44,76%), somaklon C (2,05% dan 42,96%) dan somaklon I (1,97% dan 41,01%). Tabel 4. Rata-rata bobot segar dan kering angin serta mutu minyak pada sembilan somaklon Nilam + satu varietas Sidikalang sebagai pembanding. Somaklon Bobot basah (g/tnm) Rata-rata Panen I dan II Bobot kering (g/tnm) Kadar minyak (%) A 348,67 d 156,00 d 1,89 39,61 B 557,33 bc 236,67 bc 2,54 45,72 C 434,67 cd 190,00 cd 2,05 42,96 D 813,33 a 302,67 a 2,06 44,74 E 326,00 de 150,00 d 1,85 38,62 F 418,67 cd 178,67 d 1,70 38,11 G 632,00 b 260,67 ab 2,12 44,17 H 180,67 ef 100,33 e 1,82 38,14 I 621,67 b 240,00 bc 1,97 41,01 J (var.sidikalang) 114,67 f 60,50 e 1,00 40,53 Rerata 20,63 15,07 1,90 41,36 CV (%) 444,77 187,55 0,74 3,98 Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf kepercayaan 5%. PA (%) KESIMPULAN Hasil analisis persentase kejadian penyakit layu bakteri, karakter pertumbuhan, hasil panen dan mutu minyak maka dapat diketahui bahwa somaklon B, C, D, G dan I yang akan digunakan sebagai nomor harapan nilam tahan penyakit layu bakteri karena mempunyai persentase kejadian penyakit terendah 60% yaitu pada somaklon D (31,33%); somaklon C (35,33%); somaklon I (37,33%) dan somaklon G (40,67%); serta somaklon B (41,33%), rata-rata pertumbuhannya lebih optimal, serta produksi dan mutu minyak yang tinggi dan memenuhi standar SNI. 481
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 19 Juni 2014 DAFTAR PUSTAKA Asman A, MA Esther dan D Sitepu. 1998. Penyakit Layu, Budok dan Penyakit lainnya serta Strategi Pengendaliannya. Monograf Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor. 5, 84-88. Ditjen Bina Produksi Perkebunan. 2004. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia. 23 p. Machmud M. 1998. Menuju Kesamaan Persepsi Terhadap Taksonomi Bakteri Pseudomonas solanacearum (Smith 1986) Smith 1914. Buletin Agro Bio Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor. 2(1): 17-18. Mustika dan Nuryani. 2006. Strategi Pengendalian Nematoda Parasit pada Tanaman Nilam. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 25(1): 7-15. Nasrun, Y Nuryani, Hobir dan Repianyo. 2004. Seleksi ketahanan varian nilam terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) secara in planta Journal stigma. 12(4): 471-473. Nasrun. 2005. Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) Nilam dengan Pseudomonad fluoresen. Disertasi Doktor PascasarjananUniversitas Gadjah Mada Yogyakarta (Tidak Publikasi). Nuryani. 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 11(1): 1-3. Nuryani dan Nasrun. 2005. Tanggapan beberapa Nomor Nilam Tehadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum). Laporan Proyek Penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. (Tidak Publikasi). Supriadi, M Karden, S Djiman. 2000. Strategy for controlling wilt diseases of ginger caused by Pseudomonas solanacearum. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 19(3): 106-111. Suryadi, Y Machmud dan MA Suhendar. 2000. Deteksi bakteri R. solanacearum dengan menggunakan polymerase Chain Reaction. Risalah Biologi. Puslitbang LIPI-Bogor 5(1): 1-2. 482