xv
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Resin komposit merupakan bahan restorasi gigi yang banyak digunakan saat ini untuk menggantikan struktur gigi yang hilang, memodifikasi warna dan kontur gigi dengan tujuan estetik (Craig dan Powers, 2002). Resin komposit yang digunakan dalam klinik kedokteran gigi tersusun dari 4 komponen, yaitu matriks polimer, partikel bahan pengisi, bahan pengikat, dan sistem inisiator aktivator. Resin komposit yang banyak digunakan berbahan dasar bisphenol A-glycidyl methacrylate (Bis-GMA) dan urethane dimethacrylate (UDMA) (Powers dan Sakaguchi, 2006). Resin komposit memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yaitu biokompatibilitas yang baik, sifat fisik yang baik, manipulasi yang mudah, estetis, biaya yang rendah, kestabilan kimia dalam mulut, serta bebas dari logam dan merkuri (Anusavice, 2003). Selain itu, resin komposit juga menghasilkan kekuatan mekanis yang cukup tinggi, koefisien termal ekspansi yang rendah, dan perubahan dimensi yang rendah sehingga dapat meningkatkan penampilan klinis (Craig,1993). Kekurangan resin komposit yaitu tidak mampu melekat dengan baik pada email dan dentin, memiliki sifat pengerutan polimerisasi yang tinggi, mudah menyerap air, dan memiliki tingkat keausan yang lebih tinggi dibandingkan keramik dan amalgam (Wayne dkk., 2004). Peningkatan kualitas resin komposit untuk mengatasi kekurangan tersebut telah banyak dilakukan, salah satunya dengan meningkatkan teknologi bahan pengisi (Lu dkk., 2006). Perkembangan nanoteknologi selama 10 tahun terakhir telah 1
secara luas digunakan untuk bahan restorasi gigi dan diindikasikan akan terus berkembang di masa depan. Nanokomposit memiliki sifat bahan yang sangat baik yaitu mudah digunakan, kemampuan poles yang baik, kekuatan fleksural yang tinggi, pengerutan polimerisasi yang lebih rendah, dan ketahan terhadap keausan yang lebih tinggi. Saat ini, banyak resin komposit nanofil dan nanohibrid yang diperkenalkan di pasaran (Jandt dan Sigusch, 2009). Resin komposit nanofil memiliki komposisi dan ukuran yang berbeda dengan resin komposit nanohibrid. Resin komposit nanofil memiliki partikel bahan pengisi berukuran nano disebut nanomer yang berukuran 20-75 nm dari silika atau zirkonia dan nanoklaster yang merupakan penggabungan ikatan-ikatan longgar dari nanomer. (Hamouda dan Elkader, 2012), sedangkan resin komposit nanohibrid memiliki bahan pengisi berupa kaca yang digiling dan partikel nano yang berukuran 40-50 nm (Mitra dkk., 2003). Keausan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam penggunaan klinis. Keausan yang tinggi dapat meningkatkan hilangnya bentuk anatomis tumpatan, khususnya pada tumpatan yang besar, serta mengakibatkan terbatasnya penggunaan pada tumpatan di gigi-geligi belakang (Han dkk.,2012). Terdapat 3 jenis keausan yaitu keausan adhesi, keausan erosi, dan keausan abrasif (Hamzah dan Iqbal, 2008). Keausan adhesi terjadi karena gesekan yang dihasilkan oleh dua permukaan yang bergerak dan menyebabkan penyatuan dua partikel sehingga menyebabkan hilangnya partikel bahan tersebut, hal yang sama terjadi pada resin komposit pada permukaan proksimal gigi dengan gigi di sebelahnya, sedangkan keausan erosi terjadi karena adanya asam yang yang menyebabkan hilangnya partikel bahan pengisi (Zhou dan Zheng, 2008). Menurut 2
Bhushand dkk. (2014), keausan abrasif yang sering terjadi pada resin komposit ketika partikel dari bolus makanan bergesekan dengan bahan restorasi dan pada saat menyikat gigi. Ciri keausan abrasif yaitu hilangnya matriks resin yang mengakibatkan lepasnya partikel di permukaan bahan restorasi lalu diikuti dengan lepasnya bahan pengisi. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan keausan abrasif resin komposit yaitu kekasaran permukaan, polimerisasi yang rendah, komposisi dan ukuran bahan pengisi yang lebih besar, perubahan suhu yang tiba-tiba, dan degradasi hidrolitik (Garg, 2013). Bahan restorasi gigi berada dalam lingkungan rongga mulut yang terdapat saliva (Ferracane dkk.,2010). Komposisi saliva terdiri dari 99% air, ion natrium, kalsium, kalium, bikarbonat, dan enzim-enzim pencernaan (Khurana, 2008). Saliva pada setiap individu memiliki derajat keasaman (ph) yang berbeda, yaitu asam, netral, dan basa. Pada keadaan netral, ph saliva berkisar antara 6,4-7. Kondisi biologis dan kimiawi di rongga mulut dapat mempercepat proses degradasi hidrolitik. Hal ini berhubungan dengan sifat resin komposit yang mudah menyerap air sehingga dapat memutus ikatan matriks dan bahan pengisi (Kelly, 1989). Dua penyebab utama putusnya ikatan tersebut adalah degradasi bahan pengikat silane dan larutnya permukaan bahan pengisi dalam cairan saliva khususnya pada lingkungan yang asam akibat makanan atau aktivitas biologis (Soderholm, 1983). Asam diproduksi oleh metabolisme bakteri di lingkungan rongga mulut, beberapa diantaranya yaitu asam asetat, asam propionat dan asam laktat (Geddes, 1975). Proses hidrolisis ikatan ester akan terjadi pada lingkungan yang asam dan akhirnya membentuk asam karboksilat bebas yang dapat menurunkan ph di 3
matriks resin (Sarkar, 2000). Silva (2007) menyatakan bahwa ph kritis saliva untuk melindungi email adalah 5,5, maka dampaknya pada restorasi resin komposit diduga akan lebih besar. Manusia banyak mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung asam dan karbohidrat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa jenis karbohidrat seperti sukrosa dan glukosa dapat diragikan oleh bakteri Streptococcus mutans menjadi asam laktat. Asam laktat tersebut dapat menurunkan ph saliva pada nilai ph sekitar 5 (Roeslan, 2002). Sumber asam lainnya yaitu pada minuman ringan (soft drink) yang saat ini sering dikonsumsi. Minuman ringan mengandung beberapa jenis asam seperti asam fosfat, asam sitrat, asam malat, dan asam tartarat yang dapat menyebabkan ph saliva di rongga mulut menurun (Armand, 2010). Menurut Dawes (2003) minuman ringan sebagian besar memiliki ph 3 atau lebih rendah. Beberapa kondisi dapat menyebabkan ph saliva menurun yaitu kebersihan rongga mulut yang buruk, stress, konsumsi obat-obatan, merokok, dan individu dengan kondisi sistemik yang buruk seperti individu dengan gastroesophageal reflux disease mempunyai ph saliva yang rendah yang dapat mencapai ph saliva 3 karena cairan asam dari lambung dapat naik ke rongga mulut (Ranjitkar, dkk. 2012). Terdapat banyak kontroversi dalam beberapa penelitian berkaitan dengan keausan abrasif resin komposit nanofil dan nanohibrid (Han dkk., 2012). Turssi dkk. (2005) dan Suzuki (2004) menyatakan resin komposit nanofil dan nanohibrid dapat menurunkan keausan abrasif. Namun penelitian lainnya oleh Stober dkk. (2006) dan Stober dkk. (2010) menyatakan hal sebaliknya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. 4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, timbul permasalahan apakah terdapat perbedaan keausan abrasif antara resin komposit nanofil dan nanohibrid pasca perendaman saliva ph 3 dan 5. C. Keaslian Penelitian Penelitian terdahulu yang dilakukan Rahmanda (2011) membandingkan kekasaran permukaan antara resin komposit nanofil dan nanohibrid setelah perendaman dalam saliva ph rendah sedangkan pada penelitian ini membandingkan keausan abrasif antara resin komposit nanofil dan nanohibrid pasca perendaman dalam saliva ph 3 dan 5. Menurut pengetahuan penulis, sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai perbedaan keausan abrasif antara resin komposit nanofil dan nanohibrid pasca perendaman dalam saliva ph 3 dan 5. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keausan abrasif antara resin komposit nanofil dan nanohibrid pasca perendaman dalam saliva ph 3 dan 5. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberi referensi penggunaan jenis resin komposit yang lebih tahan lama terutama pada pasien dengan kecenderungan mempunyai ph saliva yang rendah, sehingga diperoleh hasil perawatan yang lebih baik. 5
6