BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan dan Distribusi Sagu (Metroxylon Spp.) di Pulau Seram, Maluku Penutupan lahan dan penggunaan lahan di Pulau Seram sesuai dengan hasil analisis dari peneliti sebelumnya, berdasarkan Citra Landsat TM5 path/row 107/062 tanggal 6 Juli 2007, 107/063 tanggal 17 Juli 2007, 108/062 tanggal 15 Agustus 2007 dan 109/062 tanggal 29 Juli Citra tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi 9 kategori, yaitu unclassified(di luar Pulau Seram, hutan, mangrove, kebun campuran, lahan terbangun, badan air, dan tidak ada data (awan dan bayangan awan), dengan nilai overall classification accuracy yaitu 76%. Tipe penutupan dan penggunaan lahan tersebut disajikan pada Tabel 2: Tabel 2 Penutupan lahan di Pulau Seram, Maluku No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) Presentase Luas (%) 1. Hutan ,06 68,72 2. Mangrove ,27 0,78 3. Kebun Campuran ,07 1,74 4. Lahan Terbangun 6.125,94 0,35 5. Sagu ,76 1,05 6. Tanah Terbuka ,91 6,39 7. Air ,92 2,14 8. Tidak Ada Data ,23 18,83 Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa hutan memiliki luasan areal tertinggi dari tipe tutupan lahan yang lainnya yaitu 68,72% atau sebesar ,06 Ha. Lahan terbangun memiliki areal yang terendah yaitu 0,35% atau sebesar 6.125,94 Ha. Sedangkan untuk luasan areal sagu yang ditemukan yaitu ,76 Ha atau 1,05%. Luasan ditemukannya tumbuhan sagu tersebut terdistribusi pada wilayah pesisir di dataran rendah pada tanah-tanah endapan, di tempat-tempat yang berdekatan dengan sungai, dan lembah-lembah bukit. Untuk lebih jelasnya, penutupan lahan di Pulau Seram tersaji pada Gambar 4.

2 20 Gambar 4 Peta penutupan lahan Pulau Seram Maluku.

3 21 Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, disertasi oleh Botanri (2010), didapatkan peta distribusi spasial tumbuhan sagu di Pulau Seram, Maluku. Peta distribusi Metroxylon spp. di Pulau Seram Maluku dapat dilihat pada Gambar 4. Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di Pulau Seram, Maluku. Menurut Botanri (2010) peta distribusi sagu tersebut jika dikaitkan dengan sifat-sifat lahan, maka dapat dikatakan bahwa tumbuhan sagu menyukai kondisi lahan dengan ciri-ciri yaitu: 1) lahan datar-curam, 2) dekat pesisir, 3) dekat sungai, 4) pada tanah-tanah aluvial (Entisol dan Inceptisol), dan 5) pada ketinggian m dpl. Sifat-sifat tersebut kemudian dijadikan indikator untuk menentukan lahan yang sesuai sebagai habitat tumbuhan sagu di Pulau Seram, Maluku. Berikut disajikan beberapa foto sagu yang menjadi contoh pengambilan titik distribusi sagu, yaitu sagu yang tumbuh pada dataran dan di pinggir sungai. a b Gambar 5 Tegakan Metroxylon spp. : a) Tegakan sagu di dataran dan b) Tegakan sagu di pinggir sungai. Sumber : Prasetyo (2009), dokumen pribadi. 5.2 Faktor Penentu Kesesuaian Habitat Metroxylon spp. Faktor-faktor penyusun dalam habitat atau faktor yang mempengaruhi habitat satu spesies dapat dipetakan dan dianalisis hubungan antara spesies dengan faktor-faktor habitatnya (Miller 1996). Sehingga faktor-faktor habitat yang mempengaruhi kesesuaian habitat suatu spesies dalat juga dipetakan dan dianalisis hubungan antara faktor-faktornya kemudian dibuat suatu model kesesuaian habitat

4 22 dari spesies tersebut. Berlaku juga untuk spesies Metroxylon spp. yang terdapat di Pulau Seram, Maluku. Faktor penentu kesesuaian habitat Metroxylon spp. yang digunakan dalam penelitian ini ada lima faktor antara lain ketinggian tempat, kemiringan lereng, jenis tanah, jarak dari sungai dan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Ketinggian tempat Faktor topografi yang berpengaruh terhadap distribusi dan bentuk tumbuhan yang hidup di daerah bergunung adalah ketinggian, kemiringan lereng dan aspect atau sudut arah datang sinar matahari (Titshal et al diacu dalam Putri 2010). Dalam penelitian ini, faktor topografi yang digunakan adalah ketinggian dan kemiringan lereng. Ketinggian Pulau Seram dapat diamati dari peta DEM (Digital Elevation Model), kemudian peta tersebut diklasifikasikan ketinggiannya menjadi beberapa kelas ketinggian. Peta ketinggian menunjukkan bahwa Pulau Seram memiliki 51,39% wilayah dengan ketinggian m dpl, 23,33% wilayah dengan ketinggian m dpl, dan sisanya 25,28% adalah wilayah dengan ketinggan > 500 m dpl (Tabel 3). Tabel 3 Luas tiap kelas ketinggian N0. Kelas Ketinggian (m dpl) Luas (Ha) % Luas m dpl m dpl > 500 m dpl Ketinggian suatu wilayah berpengaruh terhadap spesies yang dapat tumbuh di wilayah tersebut. Tumbuhan Metroxylon spp. dapat ditemui hingga pada ketinggian 500 m dpl (Flach 1983). Meskipun pada kenyataan di alam, masih ditemukan Metroxylon spp. hingga ketinggian mencapai 1000 m dpl, namun hal tersebut relatif jarang. Karena pada ketinggan >400 m dpl pertumbuhannya akan lambat (Bintoro 2008). Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa berdasarkan faktor ketinggian tempat pulau Seram memiliki potensi yang tinggi sebagai tempat tumbuh sagu. Berdasarkan data titik lokasi Metroxylon spp. yang diperoleh, kemudian dioverlay dengan peta ketinggian sehingga didapatkan sebaran titik Metroxylon spp. pada tiap kelas ketinggian (gambar 8). Titik Metroxylon spp. sebanyak 84

5 23 atau 80,77 % ditemukan pada kelas ketinggian m dpl, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat Gambar m dpl (%) m dpl (%) > 500 m dpl (%) Gambar 6 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai ketinggian Kemiringan lereng Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kemiringan lereng termasuk salah satu dari faktor utama dari topografi yang digunakan dalam penyusunan model kesesuaian habitat sagu pada penelitian ini. Peta kemiringan lereng Pulau Seram didapatkan dari peta DEM, kemudian dilakukan pengolahan peta kemiringan lereng dan pengklasifikasian menjadi 5 kelas lereng. Kelas tersebut adalah kemiringan 0-8 % (datar), kemiringan 8-15 % (landai), kemiringan % (agak curam), kemiringan % (curam), kemiringan > 40 % (sangat curam). Lebih lanjut untuk kelas kemiringan beserta luasannya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Luas tiap kelas kemiringan lereng No. Kemiringan Lereng Luas (Ha) % Luas % ,49 36, % ,60 29, % ,71 24, % ,03 8,42 5 > 40% ,32 1,30 Tabel 4 menunjukkan bahwa kemiringan 0-8 %, memiliki luasan terbesar yaitu ,49 Ha atau sekitar 36,07% dari luas keseluruhan Pulau Seram.

6 24 Secara umum untuk kemiringan 0-40% di Pulau Seram yaitu seluas ,83 Ha atau 98,70% dari luas total dari Pulau Seram. Luasan terendah yaitu 1,30 % atau ,32 Ha untuk kemiringan > 40%. Botanri (2010) menyatakan bahwa kondisi kemiringan yang sesuai untuk tempat tumbuh Metroxylon spp. adalah 0-40%, pada kemiringan lereng yang lebih dari 40% tidak sesuai bagi pertumbuhan Metroxylon spp.. Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Seram yang memiliki 98,70 % luas dengan kemiringan lereng 0-40%, merupakan tempat tumbuh yang baik bagi Metroxylon spp. Gambar 7 merupakan grafik yang memuat jumlah Metroxylon spp. pada berbagai kemiringan lereng di Pulau Seram, Maluku. Titik Metroxylon spp. yang didapatkan menunjukkan bahwa sebanyak 92 titik atau 88,46 % ditemukan berada pada kemiringan lereng 0-8%, 9 titik pada kemiringan lereng 8-15% dan 1 titik pada kemiringan lereng 15-25% dan 25-40%, sedangkan pada kemiringan >40% tidak ditemukan tumbuhan sagu. % % 8-15% 15-25% 25-40% >40% Kelas kemiringan lereng Gambar 7 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai kemiringan lereng. Titik Metroxylon spp. yang didapatkan, kemudian dioverlaykan dengan peta kemiringan lereng. Sehingga dapat ditunjukkan distribusi Metroxylon spp. pada berbagai kemiringan lereng di Pulau Seram, Maluku. Overlay titik-titik lokasi sagu dengan peta kemiringan lereng disajikan pada Gambar 10.

7 Gambar 8 Peta sebaran titik Metroxylon spp. pada berbagai ketinggian di Pulau Seram, Maluku. 25

8 Gambar 9 Peta sebaran titik Metroxylon spp. pada berbagai kelerengan di Pulau Seram Maluku. 26

9 Jenis tanah Arsyad (2006) mendefinisikan tanah sebagai suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat, cair dan gas yang mempunyai sifat dan perilaku dinamik. Tanah terbentuk secara alami oleh hasil kerja interaksi antara iklim, dan jasad hidup terhadap bahan induk yang dipengaruhi oleh relief tempatnya terbentuk dan waktu. Pulau Seram pada umumnya terdiri dari jenis tanah Alluvial, Phylite, Sandstone, Limestone. Jenis-jenis tanah yang terdapat di Pulau Seram beserta luasannya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis tanah di Pulau Seram beserta luasannya No. Jenis Tanah Luas (Ha) % Luas 1 Alluvial ,98 17,33 2 Basalt ,76 3,13 3 Clay ,52 14,97 4 Coral 6.012,48 0,35 5 Granite 2.490,67 0,14 6 Limestone ,81 16,47 7 Marl ,92 6,27 8 Phylite ,43 19,81 9 Sandstone ,45 17,14 10 Schist ,81 4,11 11 Serpentinite 4.821,48 0,28 Jenis tanah aluvial memiliki luasan ,98 Ha atau 17,33% dari seluruh luas Pulau Seram. Luasan tertinggi yaitu jenis tanah Phylite dengan luas sebesar ,43 Ha atau 19,81% dari luas keseluruhan Pulau Seram. Kemudian luasan terendah yaitu jenis tanah granite dengan luas 2.490,67 Ha atau sebesar 0,14% dari luas Pulau Seram. Metroxylon spp. dominan tumbuh pada tanah alluvial (96,09%) dibandingkan pada tanah jenis lainnya yaitu sebesar 3,91% (Gambar 10).

10 28 % Aluvial (%) Phyllite; schist; gneiss; sandstone (%) Jenis tanah Gambar 10 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai jenis tanah. Hampir keseluruhan titik Metroxylon spp. yang ditemukan terdapat pada jenis tanah alluvial. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bintoro (1999), jenis tanah yang memungkinkan sagu untuk tumbuh dengan baik adalah pada tanah vulkanik, podzolik merah kuning, alluvial dan hidromofik. Wiranegara (2000) menjelaskan bahwa tanah alluvial merupakan jenis tanah muda, belum mengalami perkembangan, berasal dari bahan induk alluvium, dengan tekstur beraneka ragam, struktur belum terbentuk, konsistensi dalam keadaan basah lekat dan memiliki tingkat kesuburan sedang hingga tinggi. Limestone; alluvium, recent riverine (%) Ciri-ciri tanah aluvial tersebut dapat dikatakan sepadan dengan jenis tanah Entisol dan Inceptisol pada sistem klsifikasi tanah menurut USDA. Foth (1988) mendeskripsikan jenis tanah Entisol sebagai tanah baru (recent soil) yang dicirikan oleh kenampakan kurang muda dan tanpa horizon genetik alamiah atau hanya memiliki horizon permulaan, bahan penyusunnya berasal dari bahan endapan baru yang terbawa olah aliran permukaan dari daerah yang lebih tinggi. Pada Inceptisol, tanah permulaan (inceptum soil) yang dicirikan dengan sudah mulai berkembangnya horizon genetik, bahan penyusunnya dari endapan baru yang berlapis-lapis. Ciri-ciri jenis tanah tersebut cukup mendukung untuk ketersediaan kebutuhan nutrisi pertumbuhan sagu. Sebagaimana dikatakan Bintoro (2010) bahwa lingkungan yang tumbuh yang baik untuk sagu adalah daerah yang agak berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak masam.

11 29 Gambar 11 Peta sebaran Metroxylon spp pada berbagai jenis tanah di Pulau Seram Maluku.

12 Jarak dari Sungai Air merupakan kebutuhan yang vital bagi makhluk hidup. Salah satu sumber air permukaan di alam adalah sungai. Pada umumnya banyak ditemukan tumbuhan yang tumbuh berada di sekitar sungai. Hal ini terkait dengan kebutuhan hidupnya terhadap air. Tidak terkecuali bagi Metroxylon spp., air merupakan kebutuhan vital. Haryanto dan Pangloli (1992) diacu dalam Bintoro (2010) menyatakan Metroxylon spp. tumbuh di daerah rawa yang berair tawar, rawa bergambut, sepanjang aliran sungai, sekitar air dan hutan-hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi. Berdasarkan data luasan daerah yang berada pada jarak tertentu dari sungai yang terdapat di Pulau Seram. Jarak m memiliki luasan sebesar ,36 Ha atau sebesar 27,03% luas Pulau Seram. Luasan terbesar yaitu pada jarak m dengan ,33 Ha atau 52% luas Pulau Seram (Tabel 6). Tabel 6 Jarak dari sungai berikut luasannya No. Jarak Sungai Luas % Luas m ,36 27, m , > 600 m ,93 20,98 Hasil analisis peta sungai Pulau Seram dengan titik Metroxylon spp. menggunakan Euclidean distance dalam ArcGIS, didapatkan sebaran Metroxylon spp. terhadap sungai seperti tersaji pada Gambar13. Sedangkan untuk jumlah titik Metroxylon spp. sample terhadap sungai tersaji pada Gambar 12 titik % m m > 600 m Jarak dari sungai Gambar 12 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai jarak dari sungai.

13 31

14 32 Gambar 12 menunjukkan bahwa titik Metroxylon spp. banyak ditemukan pada jarak m dari sungai yaitu sebanyak 60,94 %, kemudian pada jarak m sebanyak 28,13 % dan terakhir pada jarak lebuh dari 600 m sebanyak 10,93 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa Metroxylon spp. memiliki kecenderungan menyukai habitat yang tidak terlalu jauh dari sungai. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Metroxylon spp. membutuhkan cukup air bahkan lebih menyukai tempat berair seperti rawa air tawar, daerah berlumpur namun tidak sampai merendam akar napasnya. Jika akar napas terendam maka dapat menganggu pertumbuhan Metroxylon spp. sebagaimana dikatakan oleh Sitaniapessy (1996) bahwa bila akar napas Metroxylon spp. terendam terus menerus akan menghambat pertumbuhan dan pembentukan karbohidrat Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) digunakan untuk mengetahui tutupan vegetasi suatu kawasan. NDVI merupakan indeks yang dapat menunjukkan tutupan vegetasi dengan metode standar yaitu membandingkan tingkat kehijauan pada image (Boone 2000). Ditambahkan oleh USGS (2000), bahwa NDVI telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengukur dan memantau pertumbuhan tanaman (vigor), tutupan vegetasi, dan produksi biomassa berdasarkan citra multispektral. Image yang digunakan dalam pembangunan NDVI ini adalah citra landsat TM5 Pulau Seram, sebanyak 4 scene yaitu path 107/row 062; path 107/row 063; path 108/row 062; path 109/row 062. NDVI Pulau Seram memiliki kisaran nilai pada -0, hingga 0, (Gambar 14). NDVI sendiri dihitung berdasarkan besarnya pantulan sinar tampak dan sinar infra merah dekat yang terpantul dari tumbuhan hijau. Berdasarkan data sebaran titik Metroxylon spp. dapat diketahui bahwa pada umumnya Metroxylon spp. menyukai dareah dengan nilai NDVI pada kisaran hingga 0,25. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7 yang menunjukkan jumlah sebaran Metroxylon spp. pada berbagai nilai NDVI.

15 Gambar 14 Peta sebaran titik Metroxylon spp pada berbagai nilai NDVI di Pulau Seram Maluku. 33

16 34 % (-1) - (-0,5) (-0,5) - (-0,25) (-0,25) - 0,25 0,25-0,5 0,5-1 (%) Nilai NDVI Gambar 15 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai nilai NDVI. 5.3 Analisis Data Penelitian ini menggunakan dua analisis data yaitu Analisis Komponen Utama (Priciple Component Analysis/PCA) dan Analisis Regresi Logistik (Logistic Regression Analysis). Pengolahan data menggunakan software SPSS 19. Kemudian kelayakan metode analisis yang digunakan diuji dengan beberapa uji kelayakan model. Kedua metode analisis tersebut telah sering digunakan untuk mengetahui kesesuaian habitat suatu spesies Analisis komponen utama (Principle Component Analysis/PCA) Model kesesuaian habitat Metroxylon spp. Principle Component Analysis (PCA) menurut Gasperz (1992) adalah struktur varian-kovarian (kombinasi data multivariat yang beragam) melalui kombinasi linier dari variable-variabel tertentu. Tujuan dari PCA yaitu mereduksi data dan kemudian menginterpretasikannya. Berdasarkan hasil PCA diperoleh 3 dari 4 komponen utama dengan keragaman total disajikan pada Tabel 7. Komponen utama yang dapat digunakan dan mewakili yaitu komponen utama ketiga dengan nilai keragaman kumulatif 85, 658%. Nilai kumulatif keragaman tersebut termasuk tinggi mengingat bahwa nilai keragaman kumulatif yang dianggap mewakili total keragaman data jika keragaman kumulatif mencapai 70%-80% (Timm 1987 diacu dalam Sekolah Tinggi Ilmu Statistik 2006).

17 35 Tabel 7 Keragaman total komponen utama Komponen Akar Ciri (Initial Eigen Values) Total % Keragaman %Kumulatif Keragaman 1 1,325 33,137 33, ,072 26,805 59, ,029 25,717 85, ,574 14, ,00 Hasil analisis tersebut (nilai total dari akar ciri) kemudian digunakan untuk menentukan bobot masing-masing variable. Keeratan hubungan antara keempat variable kesesuaian habitat Metroxylon spp. dengan kompponen utama seperti disajikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8 Vektor ciri PCA Variabel Komponen Utama Sungai 0,545-0,709-0,235 Slope 0,866 0,037 0,003 Elevasi 0,403 0,734-0,434 NDVI 0,340 0,172 0,886 Bobot masing-masing variabel untuk mendapatkan model kesesuian habitat Metroxylon spp. diperoleh dari nilai vektor ciri PCA masing-masing variabel yang mempunyai nilai positif tertinggi terhadap komponen utama yang dihasilkan. Hasil di atas menunjukan bahwa variabel NVDI dan curah hujan mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama pertama. Sedangkan variabel ketinggian dan kelompok tanah mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen kedua, dan terakhir variabel nilai Jarak dari sungai dan kemiringan lereng mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama ketiga. Dengan demikian besarnya bobot masing-masing variabel sajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Koefisien tiap variable kesesuaian habitat Metroxylon spp. No. variabel Nilai Bobot 1. Sungai (js) 1, Slope (slp) 1, Elevasi (elv) 1, Tutupan Vegetasi (ndvi) 1,029 Bobot dari tiap variabel kemudian digunakan untuk menentukan indeks kesesuaian habitat Metroxylon spp. Sebelum dilakukan perhitungan kesesuaian habitat terlebih dahulu dilakukan klasifikasi pada tiap variabel guna menentukan

18 36 skor tiap kelas dari variabel tersebut. Skor dari masing-masing kelas variabel ditentukan oleh banyaknya terdapat titik-titik keberadaan dari habitat Metroxylon spp. Skor dari kelas variabel disajikan pada Tabel 11. Tabel 10 Skor variabel/faktor kesesuaian habitat No. Variabel Kelas Skor 1 Ketinggian m dpl m dpl 2 > 500 m dpl 1 2 kemiringan lereng 0-8% % % % 2 > 40% 1 3 Jarak sungai m m 2 > 600 m 1 4 Tutupan Vegetasi (NDVI) (-1) - (-0,5) 1 (-0,5) - (-0,25) 3 (-0,25) - 0,25 5 0,25-0,5 4 0,5 1 2 Berdasarkan hasil penghitungan dari masing-masing variabel yang digunakan dengan menggunakan SPSS 19, maka dapat disusun persamaan untuk model kesesuaian habitat Metroxylon spp. sebagai berikut: Persamaan diatas menunjukkan bahwa jarak dari sungai dan kemiringan lereng mempunyai koefisien (bobot) yang paling tinggi diantara variabel yang lain, kemudian disusul oleh variabel ketinggian (elv), dan bobot terkecil adalah variabel tutupan vegetasi (ndvi) Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. Berdasarkan persamaan atau model kesesuaian yang telah didapatkan, dihitung nilai maksimum dan nilai minimum kesesuaian. Hasil penghitungan menunjukkan nilai maksimum sebesar 18,96. Sedangkan nilai minimum sebesar 4,75. Kemudian dilakukan penghitungan selang kelas kesesuian yaitu dengan membagi tiga selisih nilai indeks kesesuaian habitat yang tertinggi dan terendah,

19 37 Kesesuaian Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas kesesuaian yang disajikan pada Tabel 11, sedangkan peta kesesuaian habitat Metroxylon spp. disajikan pada Gambar 17. Tabel 11 Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. beserta luas areal No. Kelas Kesesuaian Habitat Selang Luas (Ha) 1 Kesesuaian rendah 1,029 6, ,32 2 Kesesuaian sedang 6,123 11, ,45 3 Kesesuaian tinggi 11,217 16, ,31

20 Gambar 16 Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp. di Pulau Seram Maluku berdasarkan Analisis Komponen Utama. 38

21 Analisis regresi logistik (Logistic Regression Analysis) Model kesesuaian habitat Metroxylon spp. Logistic Regression Analysis didefinisikan oleh Gotelli dan Ellison (2004) sebagai satu bentuk khusus dari persamaan regresi dengan variable respon bersifat kategoris, dan variabel masukan bersifat kuntinyu. Variabel masukan yaitu variabel kesesuaian yang digunakan dalam membangun model regresi logistik yaitu enam data spasial antara lain jenis tanah, jarak sungai, ketinggian, kemiringan lereng, dan nilai tutupan vegetasi (NDVI). Titik obyek Metroxylon spp. pada lampiran 3, digunakan untuk mngetahui kedudukan Metroxylon spp. pada setiap variabel data spasial. Kemudian nilai digital number dari kedudukan titik Metroxylon spp. pada tiap variabel data spasial diolah dengan menggunakan analisis regresi logistik biner pada SPSS 19. Hasil perhitungan dengan SPSS 19 dengan taraf kepercayaan 95%, kelima variable kesesuaian yang digunakan memiliki taraf signifikansi kurang dari 0,05 (lampiran 4). Konstanta persamaan regresi yang didapatkan (β 0 ) sebesar -10,182, dengan koefisian pada setiap variabelnya dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Koefisien regresi dan taraf signifikansi variable kesesuaian habitat Metroxylon spp. No. Variabel kesesuaian Koefisien regresi Signifikansi 1. Jenis tanah (tn) 2,537 0, Kemiringan lereng (slp) 0,463 0, Ketinggian (elv) -0,008 0, Jarak sungai (js) -0,005 0, Tutupan vegetasi (ndvi) ,000 Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka didapatkan bentuk persamaan regresi logistic biner seperti dibawah ini: Z= -10,182+(2,537*tn)+( 0,463*slp)+( -0,008*elv)+( -0,005*js)+( 5.836*ndvi) Z= -10,182+(2,537*tn)+( 0,463*slp)-( 0,008*elv)-(0,005*js)+( 5.836*ndvi) Kemudian persamaan P= [e z /(1+e z )] Semua variabel memberikan nilai yang signifikan terhadap model kesesuaian habitat yaitu kurang dari 0,05. Dapat diartikan bahwa semua variable berpengaruh nyata terhadap model kesesuaian habitat. Pada variabel jenis

22 40 tanah(tn), kemiringan lereng (slp), dan tutupan vegetasi (ndvi) mempunyai korelasi positif terhadap model, sedangkan untuk variabel ketinggian (elv) dan variabel jarak sungai (js) mempunyai korelasi negative dengan model kesesuaian. Bobot dari tiap variabel kemudian digunakan untuk menentukan indeks kesesuaian habitat Metroxylon spp, sebelum dilakukan perhitungan kesesuaian habitat terlebih dahulu dilakukan klasifikasi pada tiap variabel guna menentukan skor tiap kelas dari variabel tersebut. Skor dari masing-masing kelas variabel ditentukan oleh banyaknya ditemukan titik-titik keberadaan dari habitat Metroxylon spp pada kelas-kelas yang telah ditentukan. Skor dari kelas variabel disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Skor variabel/faktor kesesuaian habitat No. Variabel Kelas Skor 1 Ketinggian m dpl m dpl 2 > 500 m dpl 1 2 kemiringan lereng 0-8% % % % 2 > 40% 1 3 Jarak sungai m m 2 > 600 m 1 4 Tutupan Vegetasi (NDVI) (-1) - (-0,5) 1 (-0,5) - (-0,25) 3 (-0,25) - 0,25 5 0,25-0,5 4 0, Jenis Tanah Aluvial 3 Phyllite 2 Limestone Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. Berdasarkan persamaan atau model kesesuaian yang telah didapatkan, dihitung nilai maksimum dan nilai minimum kesesuaian. Hasil penghitungan menunjukkan nilai maksimum P = 1. Sedangkan nilai minimum P = 0,21. Kemudian dilakukan penghitungan selang kelas kesesuian yaitu dengan membagi tiga selisih nilai indeks kesesuaian habitat yang tertinggi dan terendah.

23 41 Kesesuaian Metroxylon sp. di Pulau Seram dikelompokkan menjadi tiga kelas kesesuaian yang tersaji pada Tabel 14 berikut luasan arealnya. Tabel 14 Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. beserta luas areal No. Kelas Kesesuaian Habitat Selang Luas (Ha) 1 Kesesuaian rendah 0 0, ,61 2 Kesesuaian sedang 0,33 0,67 114,75 3 Kesesuaian tinggi 0, , Pengujian kelayakan model kesesuaian habitat Metroxylon spp. Pengujian kelayakan model kesesuaian habitat dengan analisis regresi logistik dapat dilakukan dengan menurunkan nilai -2 Log-likelihood serta uji Hosmer and Lemeshow hasil pengolahan data menggunakan SPSS 19.0 berdasarkan penurunan nilai -2 Log-likelihood, model diterima jika signifikansi penurunan nilai -2 Log-Likelihood kurang dari 0,05. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik yang terlampir pada lampiran 4, dapat dilihat bahwa nilai -2 Loglikelihood adalah 70,177 dengan signifikansi 0,000 atau kurang dari 0,05. Berdasarkan Uyanto (2006), jika taraf signifikansi (P-value) <0,05 maka hasil uji signifikan dan model layak untuk digunakan. Uji Hosmer and Lemeshow digunakan untuk mengetahui kesesuaian variabel masukan yang digunakan untuk membangun model kesesuaian dengan model yang dihasilkan. Nilai uji Hosmer and Lemeshow adalah 8,704 dengan taraf signifikansi uji adalah 0,368. Hal ini berarti bahwa variabel masukan (jenis tanah, ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai dan NDVI) dinyatakan sesuai dengan model, karena taraf signifikansi lebih besar dari 0,05. Kemudian kemampuan variabel untuk menjelaskan kesesuaian habitat Metroxylon sp. dalam penyusunan model dapat ditunjukkan dengan nilai Negelkerke R 2. Hasil penghitungan nilai Negelkerke R 2 sebesar 0, 563 (56,3%). Hal ini menunjukkan bahwa kesesuaian habitat Metroxylon spp. dapat dijelaskan oleh variable yang dipergunakan dalam penyusunan model Validasi Validasi model dilakukan dengan menguji model menggunakan data validasi. Data validasi yang digunakan sebanyak 128 titik terdiri dari titik 64 titik

24 42 ditemukan sagu dan 64 titik tidak ditemukan sagu (Lampiran 5). Validasi dilakukan dengan mengoverlaykan data titik validasi Metroxylon spp. dengan peta kesesuaian yang telah dibuat. Baik peta kesesuaian berdasarkan hasil analisis komponen utama ataupun analisis regresi logistik. Nilai validasi diperoleh dengan membagi banyaknya titik Metroxylon spp. pada suatu kelas kesesuaian terhadap jumlah total titik Metroxylon spp. yg ditemukan. Hasil validasi tiap kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil validasi model kesesuaian habitat Metroxylon spp. No. Kelas Kesesuaian Model Berdasarkan Analisis Komponen Utama Model Berdasarkan Analisis Regresi Logistik Jumlah Titik Metroxylon spp. Persentase (%) Jumlah Titik Metroxylon spp. Persentase (%) 1. Tinggi 42 65, ,81 2. Sedang 19 29, Rendah 3 4, ,06

25 Gambar 17 Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp. di Pulau Seram Maluku berdasarkan Analisis Regresi Logistik. 43

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN Potensi Sagu Indonesia BESAR Data Potensi Kurang Latar Belakang Sagu untuk Diversifikasi Pangan Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi penyebaran sagu di Pulau Seram Menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (us indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT Dieta Arbaranny Koeswara / E34050831 1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penilaian Titik Kehadiran dan Ketidakhadiran Titik objek kehadiran dan ketidakhadiran kirinyuh yang berhasil dikumpulkan di seluruh plot pengamatan adalah sebanyak 255 titik

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH Tanah adalah salah satu bagian bumi yang terdapat pada permukaan bumi dan terdiri dari massa padat, cair, dan gas. Tanah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Intepretasi Variabel BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Langkah paling awal dalam penelitian ini adalah penentuan lokasi penelitian. Lokasi penelitian ini ditentukan dengan membuat peta daerah aliran

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4 Peta area studi Resort Cibodas TNGGP

METODOLOGI. Gambar 4 Peta area studi Resort Cibodas TNGGP IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan selama 1 (satu) bulan yaitu pada bulan Mei 2012 di kawasan Resort Pengelolaan Taman Nasional Model Mandalawangi pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Tabalong merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Tanjung yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis DEM Pembuatan DEM (Digital Elevation Model) dilakukan dari dua data yang berbeda yaitu dari Peta Rupa Bumi (topografi) dan data SRTM. Hal ini perlu dilakukan karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia memiliki keunggulan komparatif potensi tumbuhan sagu terluas di dunia dibandingkan dengan negara-negara penghasil sagu yang lain, seperti Papua New Guinea (PNG),

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

RIZKY ANDIANTO NRP

RIZKY ANDIANTO NRP ANALISA INDEKS VEGETASI UNTUK IDENTIFIKASI TINGKAT KERAPATAN VEGETASI HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN CITRA AIRBORNE HYPERSPECTRAL HYMAP ( Studi kasus : Daerah Hutan Gambut Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pulang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG M. YULIANTO F. SITI HARDIYANTI PURWADHI EKO KUSRATMOKO I. PENDAHULUAN Makin sempitnya perairan laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya LEMBAR KERJA SISWA KELOMPOK :. Nama Anggota / No. Abs 1. ALFINA ROSYIDA (01\8.6) 2.. 3. 4. 1. Diskusikan tabel berikut dengan anggota kelompok masing-masing! Petunjuk : a. Isilah kolom dibawah ini dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

(CoLUPSIA) Usulan revisi peta RTRW / Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram. Yves Laumonier, Danan P.

(CoLUPSIA) Usulan revisi peta RTRW / Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram. Yves Laumonier, Danan P. PROYEK Terima RENCANA Kasih TATA GUNA LAHAN KOLABORATIF (CoLUPSIA) Usulan revisi peta RTRW / Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram Yves Laumonier, Danan P. Hadi Tiga komponen

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan Areal konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera merupakan areal bekas tebangan dari PT. Tjirebon Agung yang berdasarkan SK IUPHHK Nomor

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SRI GOSLEANA

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SRI GOSLEANA PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SRI GOSLEANA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 PEMODELAN

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

METODOLOGI. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian identifikasi dan penentuan faktor-faktor utama penyebab tanah

METODOLOGI. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian identifikasi dan penentuan faktor-faktor utama penyebab tanah METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian identifikasi dan penentuan faktor-faktor utama penyebab tanah longsor merupakan suatu studi kasus terhadap berbagai kasus longsor yang terjadi di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78 Identifikasi Daerah Rawan Tanah Longsor Menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis) Dr. Ir. M. Taufik, Akbar Kurniawan, Alfi Rohmah Putri Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super Solusi Quipper F. JENIS TANAH DI INDONESIA KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami jenis tanah dan sifat fisik tanah di Indonesia. F. JENIS TANAH

Lebih terperinci

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kenampakan Secara Spasial Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia selain Malaysia. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak kelapa yang dimana

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data Data yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir ini merupakan data sekunder. Data-data yang diperlukan antara lain, data hujan, peta daerah tangkapan air, peta

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat yaitu di kawasan Cikaniki dan Koridor TNGHS. Waktu pelaksanaan rangkaian kegiatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Berikut adalah metode penelitian yang diusulkan : Pengumpulan Data Peta Curah Hujan tahun Peta Hidrologi Peta Kemiringan Lereng Peta Penggunaan Lahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujet ESTIMASI PRODUKTIVITAS PADI MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

Gambar 3 Peta lokasi penelitian terhadap Sub-DAS Cisangkuy

Gambar 3 Peta lokasi penelitian terhadap Sub-DAS Cisangkuy 19 BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas Lokasi penelitian berada di wilayah Desa Mangun Jaya Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Desa ini terletak kurang lebih 20 km dari Ibukota Provinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf Bagian luar bumi tertutupi oleh daratan dan lautan dimana bagian dari lautan lebih besar daripada bagian daratan. Akan tetapi karena daratan adalah bagian dari kulit bumi yang dapat kita amati langsung

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Oleh : Linda Ardi Oktareni Pembimbing : Prof. DR. Ir Bangun M.S. DEA,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PERUSAHAAN

KONDISI UMUM PERUSAHAAN KONDISI UMUM PERUSAHAAN Sejarah Kebun PT. National Sago Prima dahulu merupakan salah satu bagian dari kelompok usaha Siak Raya Group dengan nama PT. National Timber and Forest Product yang didirikan pada

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN

BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN 4.1. ANALISIS GEOMORFOLOGI 4.1.1 Pola Aliran Sungai dan Tipe Genetik Sungai Interpretasi pola aliran dapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN DEM (Digital Elevation Model) Wilayah Penelitian Proses interpolasi beberapa data titik tinggi yang diekstraksi dari berbagai sumber dengan menggunakan metode semivariogram tipe ordinary

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku 58 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Hasil analisis tutupan lahan (land cover) menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir

Lebih terperinci

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci