METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian"

Transkripsi

1 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura. Daerah ini dipilih karena mempunyai produktifitas sagu dan pemanfaatannya yang paling baik dibandingkan daerah lainnya di Jayapura dan wilayah ini paling terancam oleh konversi lahan ke penggunaan non pertanian karena berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten Jayapura (Lampiran Gambar 1 dan 2). Penelitian ini (survei lapang) dilaksanakan selama 6 bulan pada bulan September 2010 sampai Februari Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4. Bahan dan Alat Bahan penelitian bersumber dari data primer dan data sekunder berupa data tabular dan data spasial. Data primer berupa data spasial yang diperoleh dari survei dan wawancara yakni sebaran sagu, tegakan, kerapatan dan jenis sagu, produktifitas serta pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Data sekunder berupa data tabular yang diperoleh dari instansi pemerintah dan hasilhasil penelitian terkait berupa data jumlah penduduk dan konsumsi sagu. Selengkapnya data yang diperlukan, cara memperoleh dan keluarannya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Data yang diperlukan dan cara memperolehnya Sumber Jenis Data Cara memperoleh Primer Sekunder Sebaran sagu, penggunaan lahan Tegakan, kerapatan dan jenis tanaman sagu Pemanfaatan tanaman sagu, produksi, jenis sagu Peta RTRW dan batas administrasi Peta tutupan lahan Kabupaten Jayapura Jumlah penduduk, dan konsumsi sagu Digitasi citra GeoEye 2010 dari Google Earth dan hasil survei Petak pengamatan Wawancara dengan penduduk Bapeda Dinas Kehutanan BPS, Dinas Ketahanan Pangan dan laporan hasil-hasil penelitian

2 Gambar 4. Lokasi penelitian 24

3 25 Prosedur Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam 3 tahap yakni 1). persiapan, 2) survei dan (3) analisis data 1. Persiapan Kegiatan tahap persiapan terdiri atas: a) studi literatur dan pengumpulan data sekunder serta b) penyusunan peta lahan bervegetasi sagu a. Studi literatur dan pengumpulan data sekunder Studi literatur atau studi pustaka yang dilakukan berkaitan dengan sagu yakni habitat sagu, fungsi sagu secara ekonomi, ekologi dan budaya, konsep pengelolaan sagu, kajian dilakukan melalui buku terkait, jurnal, artikel, penelusuran melalui internet. Pengumpulan data sekunder berupa data tabular dan spasial. Data tabular dari laporan hasil-hasil penelitian dan laporan dari instansi pemerintah (BPS, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Bappeda) meliputi data produksi sagu, konsumsi sagu, budidaya tanaman sagu, data penduduk sedangkan data spasial berupa peta tutupan lahan, RePPProT dan peta administrasi untuk membatasi areal penelitian. b. Pemetaan sebaran sagu Pemetaan sebaran sagu adalah pemetaan lahan-lahan bervegetasi sagu, diperlukan saat pengamatan (survei) potensi tegakan sagu. Lahan bervegetasi sagu diidentifikasi lebih lanjut dengan pengecekan lapang. Pencarian lahan bervegetasi melalui informasi hasil-hasil penelitian atau laporan serta dari informasi letak areal hutan sagu dari sebagai sumber di dinas-dinas terkait dan masyarakat setempat dan mengambil titik GPSnya. Setelah diperoleh lokasi letak hutan sagu lalu disiapkan citra GeoEye dari Google Earth untuk melihat sebaranya (Gambar 5). Interpretasi citra GeoEye dengan metode on screen yakni mendelineasi pola-pola sebaran sagu yang ada secara visual secara online.

4 26 Studi literatur Pengecekan lapang / penentuan lokasi Informasi masyarakat/dinas Interpretasi dari Citra GeoEye Sebaran sagu Gambar 5. Alur pemetaan sebaran sagu Peta lahan sebaran sagu menjadi peta lapang tentang sebaran tanaman sagu untuk rencanakan lokasi petak pengamatan saat survei tegakan tanaman sagu dilakukan. 2. Survei Survei terdiri dari: a) pengamatan keragaman tanaman sagu, dan b) wawancara responden. a) Pengamatan keragaman tanaman sagu Pengamatan keragaman tanaman sagu dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan dan kerapatan tanaman sagu berdasarkan peta lahan sebaran sagu (yang dibuat pada tahap persiapan). Setiap sebaran sagu dibuat 4 petak pengamatan berukuran 15 m x 15 m. Penempatan petak pengamatan mewakili keragaman sagu yang ada dengan pertimbangan kemudahan dijangkau. Data yang dikumpulkan meliputi tipe sagu (dusun sagu, atau dusun sagu campuran), potensi tegakan (tegakan siap panen), kerapatan (rumpun), jenis sagu dan deskripsi kondisi lingkungan tumbuh. b) Wawancara responden Wawancara dilakukan untuk mengetahui sebaran jenis sagu dan pemanfaatan hutan sagu oleh masyarakat sekitar lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi jenis pemanfaatan dan intensitas pemanfaatannya. Untuk memudahkan dalam menentukan intensitas pemanfaatan dibuat kelas pemanfaatan (Tabel 6). Pemilihan responden berasal dari kampung yang berada di kawasan tanaman sagu. Data tersebut diperoleh melalui wawancara terhadap responden yang ditemui di kampung maupun di lahan sagu.

5 27 Wawancara juga dilakukan untuk memastikan penyebaran tipe sagu yang ada di lapang sesuai pengetahuan masyarakat dengan bantuan peta lahan sebaran sagu. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mendelineasi sebaran tipe sagu selain dari pengamatan lapang (titik GPS) dan analisis visual citra. Tabel 6. Kelas intensitas pemanfaatan hutan sagu Kelas Kriteria Sangat Tinggi : Jika lebih dari 75 % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Tinggi : Jika sebesar % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Menengah : Jika sebesar % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Rendah : Jika sebesar 1-25 % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Sangat Rendah : Jika tidak terdapat penduduk yang memanfaatkan hutan sagu Sumber: Modifikasi dari Genting Oil Kasuri (2009) 3. Analisis Data Analisis data meliputi: a) pemetaan kawasan sagu; b) proyeksi kebutuhan lahan sagu; c) pemetaan arahan pengembangan pertanian pangan sagu; dan d) identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk LP2B, LCP2B dan KP2B a. Pemetaan kawasan sagu Pemetaan kawasan sagu diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang lahan-lahan sagu khususnya yang telah berproduksi (dimanfaatkan) untuk menghasilkan pangan sagu. Dilakukan dengan mendetailkan peta sebaran sagu yang dibuat pada tahapan sebelumnya (tahap persiapan) dengan data hasil survei dengan memasukkan data atribut tentang tipe sebaran sagu, rumpun, tegakan siap panen dan pemanfaatan (Gambar 6). Pemetaan tipe sebaran sagu mengacu klasifikasi tipe sebaran sagu oleh Matanubun et al. (2008), yakni dusun sagu, dusun sagu campuran, hutan sagu, hutan sagu campuran dan rawa sagu. Dusun sagu merupakan hutan sagu yang telah dimanfaatkan atau dikelola oleh masyarakat. Rawa sagu adalah rawa permanen yang ditumbuhi sagu. Hutan sagu adalah hamparan hutan yang ditumbuhi sagu (sagu %) dan diselingi pohon hutan lainnya. Hutan sagu

6 28 campuran merupakan hutan sagu (sagu %) yang diantaranya terdapat beberapa jenis-jenis pohon lainnya menyebar dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Dari tipe sebaran sagu diinput data atribut jumlah tegakan siap panen dan jumlah rumpun. Untuk informasi pemanfaatan dibuat dengan menumpangsusunkan peta tipe sebaran sagu dengan peta administrasi kampung. Dari hasil tumpangsusun tersebut menjadi dasar untuk mengisi data atribut pemanfaatan setiap kampung yang memiliki lahan sagu. Sebaran sagu Hasil survei dan Informasi masyarakat Interpretasi dari Citra GeoEye Input data tegakan dan rumpun Tipe sebaran sagu Peta administrasi Input data Intensitas pemanfaatan Pemanfaatan sagu Kawasan sagu Gambar 6. Alur pembuatan peta kawasan sagu b. Proyeksi kebutuhan lahan sagu Proyeksi kebutuhan lahan sagu digunakan untuk mengetahui kebutuhan lahan sagu dalam wilayah tertentu dan dalam jangka waktu pula. Analisis ini akan digunakan sebagai dasar dalam menyusun LP2B. Jangka waktu yang digunakan adalah tahunan hingga 20 tahun akan datang sesuai dengan penyusunan RTRW. Untuk menentukan luasan lahan sagu disusun skenario luasan berdasarkan asumsi jumlah penduduk, tingkat konsumsi dan produktifitas sagu untuk tingkat lokasi penelitian dan kontribusi di tingkat lebih tinggi yakni Kabupaten dan Propinsi Papua (Gambar 7).

7 29 Proyeksi pertumbuhan penduduk Proyeksi kebutuhan pangan sagu aktual Proyeksi kebutuhan pangan sagu PPH Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu Asumsi Produktifitas sagu Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu Gambar 7. Alur Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu Jumlah penduduk (Y) Perhitungan proyeksi jumlah penduduk menggunakan persamaan regresi dengan mencari model terbaik (nilai R tertinggi). Persamaan regresi menggunakan trend penduduk masa yang lalu untuk memperkirakan jumlah penduduk masa yang akan datang. Model yang digunakan adalah model linear dikarenakan berdasarkan data BPS ( ) pertambahan penduduk akan bertambah sebesar jumlah absolut yang sama/tetap (β) atau rata-rata pertambahan penduduk sama. P t =α + βt Dimana : Pt = penduduk pada tahun proyeksi t α = intercept (penduduk pada tahun dasar) β = koefisien ( rata-rata pertambahan penduduk) T = periode waktu proyeksi Kebutuhan konsumsi sagu (KKS) Kebutuhan konsumsi sagu adalah perkalian dari konsumsi sagu (tepung sagu) perkapita dengan jumlah penduduk pada tahun tertentu

8 30 KS= KS * Yt Dimana : KKS = Kebutuhan konsumsi sagu (Kg) KS = Konsumsi sagu (kg/kapita/tahun) Yt = Jumlah penduduk tahun ke-t (jiwa) KS atau konsumsi sagu perkapita menggunakan data persediaan pangan dalam bentuk jumlah pangan perkapita pertahun dihitung dengan membagi jumlah pangan yang tersedia dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan. Perhitungan KS mengunakan 2 (dua) asumsi yakni konsumsi aktual dan konsumsi ideal/harapan. Estimasi kebutuhan konsumsi sagu aktual berdasarkan permintaan waktu yang lalu bertujuan untuk menyediakan sesuai kecenderungan permintaan berdasarkan selera konsumen. Data untuk proyeksi konsumsi aktual digunakan dari Neraca Bahan Makanan (NBM) Kabupaten Jayapura 4 tahun terakhir ( ) berdasarkan yang naik rata-rata 0,06 %. Konsumsi ideal/harapan adalah pemenuhan kebutuhan pangan yang dikonsumsi seimbang diantara jenis pangan yang dikonsumsi. Data yang gunakan berdasarkan skor dari penetapan pola pangan harapan (PPH) yakni 15,11 kg/kap/tahun. Kebutuhan Luas lahan Sagu (KLS) Kebutuhan luas lahan sagu adalah jumlah penduduk dikali kebutuhan konsumsi sagu terhadap produktifitas sagu. KLS = KKS/ PS Dimana : KLS = Kebutuhan Luas lahan Sagu (ha) KKS = Kebutuhan konsumsi sagu (Kg/tahun) PS = Produktifitas Sagu (kg/ha/tahun) Produktifitas sagu diperoleh asumsi hasil pati sagu yang dipanen penduduk tiap tegakan siap panen (hasil wawancara) dikalikan dengan jumlah tegakan siap panen per hektar (hasil survei tegakan).

9 31 c. Pemetaan ketersediaan lahan sagu (arahan pengembangan pertanian pangan sagu) Penyusunan peta ketersediaan lahan sagu untuk mengetahui dimana lokasi yang sesuai berdasarkan aspek fisik dan spasial untuk pengembangan pertanian pangan termasuk lahan yang bervegetasi sagu maupun yang tidak bervegetasi sagu. Pembuatan peta tersebut menggunakan software ArcGIS 9.3 dilakukan dengan mengoverlay peta kesesuaian lahan, peta RTRW dan peta penggunaan lahan (Gambar 8 dan Tabel 7). Identifikasi kesesuaian lahan sagu (termasuk lahan bervegetasi sagu) dilakukan dengan proses tumpangtindih (overlay) terhadap peta-peta tematik yang ada yaitu: peta kemiringan lereng, peta kedalam air tanah tanah dan peta ketinggian tempat (Gambar 6) untuk mendapatkan lahan yang sesuai untuk sagu. Langkah-langkah penyusunan data spasial lahan sagu potensial berdasarkan studi literatur melalui pendekatan dari berbagai sumber karena belum tersedianya kriteria baku penilaian kesesuaian lahan sagu. Kriteria tempat tumbuh sagu menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) yakni ketinggian idealnya <400 m dpl walaupun dapat tumbuh hingga 700 m dpl. Sagu tumbuh di antara tanah-tanah mineral dan gambut yang berada di dataran rawa, pasang surut, dataran banjir, cekungan dan lembah sungai. Hampir semua jenis tanah ditumbuhi sagu dengan syarat kedalaman air tanah < 100 cm atau tidak tergenang permanen. Oleh karena itu, tempat tumbuh sagu sangat ditentukan oleh kedalaman air tanah bukan jenis tanah. Kedalaman air tanah diperoleh dari peta landsystem. Terkait dengan kedalaman air tanah tersebut maka tempat tumbuh sagu diasumsikan pada kemiringan lereng < 2 %. Berdasarkan hal di atas dibuat kelas kesesuaian dengan tumpangtindih peta kemiringan lereng, ketinggian tempat, kedalaman air tanah yang klasifikasikan menjadi sesuai dan tidak sesuai. - Peta kemiringan lereng diperoleh dari Citra Aster Gdem diklasifikasikan menjadi dua yakni sesuai: 0-2 % dan tidak sesuai >2 % - Peta ketinggian tempat dari Citra Aster Gdem diklasifikasikan menjadi 2 ketinggian tempat yakni sesuai: m dpl dan tidak sesuai > 400 m dpl.

10 32 - Dari peta landsystem diekstrak kedalaman air tanah dan diklasifikasikan menjadi 2 yakni sesuai: < 100 cm dan tidak sesuai > 100 cm. Ketinggian tempat Kemiringan lereng Kedalaman air tanah Kesesuaian lahan sagu RTRW Arahan pengembangan Penggunaan lahan Ketersediaan lahan Gambar 8. Alur pemetaan ketersediaan lahan Tabel 7. Penentuan arahan pengembangan Kesesuaian lahan RTRW Penggunaan lahan Kategori Sesuai Kawasan budidaya pertanian (campuran dan budidaya) Hutan, semak, lahan pertanian, lahan terbuka Lahan tersedia Sesuai Kawasan budidaya pertanian (campuran dan budidaya) Areal terbangun (pemukiman, bandara) Tidak tersedia Sesuai dan tidak sesuai Kawasan budidaya non pertanian (pemukiman, industri, pertambangan) dan kawasan lindung (hutan lindung dan sempadan danau) Hutan, semak, lahan pertanian, lahan terbuka, areal terbangun (pemukiman, bandara) Bukan arahan

11 33 Peta kesesuaian lahan dioverlay dengan peta RTRW untuk mendapatkan peta arahan pengunaan lahan. Peta arahan penggunaan lahan menginformasikan tentang keberadaan lahan-lahan sesuai yang di kawasan lindung dan budidaya. Setelah itu, peta arahan pengembangan dioverlay lagi peta penggunaan lahan untuk mendapatkan peta ketersediaan lahan. Peta penggunaan lahan dibuat dengan mendelineasi penggunaan/tutupan lahan di lokasi penelitian secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Peta ketersediaan lahan menginformasikan penggunaannya lahan-lahan arahan pengembangan saat ini. d. Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk LP2B, LCP2B dan KP2B Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam PP No 1 tahun Pasal 2 huruf a meliputi: Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B). LCP2B adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. LCP2B ditetapkan dari peta ketersediaan lahan dari lahan sagu yang belum memproduksi pangan sagu. LP2B adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan yang akan menjadi LP2B ditetapkan dari lahan pertanian pangan yang telah ada (aktual) dan berproduksi. Konsep pemetaan LCP2B dan LP2B dilakukan dengan pengoverlay peta kawasan sagu dan peta arahan pengembangan dengan teknik Union (Gambar 9) lalu dipisahkan sesuai kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B (Tabel 8).

12 34 Peta kawasan sagu Peta ketersediaan lahan Union Lahan produksi Lahan belum produksi Proyeksi kebutuhan lahan LP2B LCP2B Gambar 9. Konsep pemetaan LP2B dan LCP2B Tabel 8. Kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B Peta Arahan pengembangan Peta Tipe Sagu Status Ketersediaan lahan Dusun sagu dusun sagu campuran, hutan sagu, hutan sagu campuran LP2B LCP2B Jika lahan produksi yang tersedia lebih luas dibandingkan kebutuhan lahan pangan sagu hasil proyeksi untuk jadi LP2B perlu dibuat urutan prioritas pemilihan lebih lanjut. Metode identifikasi urutan prioritas dibuat dengan indeks terbobot dihitung dengan teknik indeks overlay. Indeks terbobot dibangun berdasarkan pada tiap layer memiliki bobot (weight) dan tiap kelas di layer memiliki nilai (skor) sesuai dengan hasil pengamatan lapang. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun seperti ditampilkan Tabel 9.

13 35 Tabel 9. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun No Kriteria Skor setelah Faktor Keterangan standarisasi Bobot 1 Rumpun 0,15 Total skor telah Harapan 0,33 distandarisasi Kehiran 0,60 dan bobot Sosiri 0,48 berkisar 0-1 Maribu 1,00 2 Pohon siap tebang 0,30 Harapan 0,83 Kehiran 1,00 Sosiri 0,83 Maribu 0,92 3 jenis sagu 0,05 Harapan 0,30 Kehiran 1,00 Sosiri 0,52 Maribu 0,70 4 Pemanfaatan 0,50 Sangat Tinggi 1,00 Tinggi 0,80 Menengah 0,60 Rendah 0,40 Sangat Rendah 0,20 Tahap pertama yakni penetapan layer-layer yang akan di overlay lalu layer-layer tersebut distandarisasi. Standarisasi dilakukan untuk mendapatkan nilai bersama antar layer karena nilai dari masing-masing layer berbeda-beda. Dalam hal ini standar dinilai dari perbedaan nilai maksimum dan minimum, sehingga nilainya berkisar dari 0 1 atau dengan persamaan: max X ij = (xij)/x j Dimana : X ij = Nilai yang distandarisasi (xij) = Nilai ke I kriteria ke j x j max = Nilai tertinggi kriteria ke j Setelah standarisasi, dilakukan penetapan bobot untuk setiap layer. Pembobotan ini dibangun secara logika karena belum ada data mengenai pengaruh antar kriteria tersebut. Pemanfaatan mempunyai bobot lebih tinggi dibandingkan kriteria lain karena lahan sagu yang tidak dimanfaatkan tidak punya arti dibandingkan dimanfaatkan. Setelah itu, bobot tegakan siap panen lebih tinggi dibandingkan rumpun dan jenis karena tanpa tegakan

14 36 siap panen tidak dapat menghasilkan pati sagu. Bobot rumpun lebih tinggi dibandingkan jenis karena tiap rumpun akan menghasilkan tegakan siap panen. Setelah pembobotan dilakukan overlay. Hasil overlay ini diurutkan dari nilai tertinggi hingga nilai terendah. Urutan pemilihan lebih lanjut LP2B dimulai dari urutan terbaik dari hasil overlay layer-layer tersebut hingga sesuai dengan kebutuhan lahan hasil proyeksi. KP2B adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Pemetaan KP2B dilakukan berdasarkan hasil pemetaan LP2B dan LCP2B ditambah dengan unsur penunjang. Unsur penunjang yang dimaksud adalah sarana prasarana untuk menunjang aktivitas produksi pangan sagu yang telah ada dilokasi LP2B dan LCP2B. Peta sarana prasarana dibuat dengan mendelineasi sarana prasarana secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Konsep pemetaan KP2B seperti tersaji pada Gambar 10. Peta saran prasarana LP2B LCP2B Union KP2B Gambar 10. Konsep pemetaan KP2B

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari lahan fungsi budidaya. Keberadaanya sangat penting dalam menyokong kedaulatan pangan baik untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Pemetaan Sagu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Pemetaan Sagu 45 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Pemetaan Sagu Sebaran Sagu Tanaman sagu di Kabupaten Jayapura berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Papua (2006) seluas 25.488 ha atau 4,97 persen

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan padi sawah dengan lokasi penelitian mencakup Provinsi Jawa Barat. Provinsi ini terletak pada koordinat 104 48 00 BT

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, menghadapi tantangan yang berat dan sangat kompleks. Program dan kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian

Gambar 2. Lokasi Penelitian 20 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan padi sawah berlokasi di Kabupaten Pasaman Barat (Gambar 2). Kabupaten ini mempunyai wilayah seluas 3.887,77 km 2 dengan

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN Potensi Sagu Indonesia BESAR Data Potensi Kurang Latar Belakang Sagu untuk Diversifikasi Pangan Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi penyebaran sagu di Pulau Seram Menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dikaruniai Tuhan dengan keanekaragaman hayati, ekosistem, budaya yang sangat tinggi, satu lokasi berbeda dari lokasi-lokasi lainnya. Kemampuan dan keberadaan biodiversitas

Lebih terperinci

repository.unisba.ac.id BAB III METODOLOGI

repository.unisba.ac.id BAB III METODOLOGI BAB III METODOLOGI Metode dilakukan diantaranya untuk pengetahuan pelaksanaan penelitian, dan menyusun penelitian sesuai dengan metode ilmiah yang ada,dalam klasifikasinya metode terbagi menjadi tiga diantaranya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Juni hingga September 2011.

Lebih terperinci

METODE. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan b. Data NBM tahun (sekunder)

METODE. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan b. Data NBM tahun (sekunder) 31 METODE Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah restrospektif. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan (Lampiran 1). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan utama dalam pemenuhan kebutuhan bangan pangan adalah berkurangnya luas lahan karena adanya alih fungsi lahan sawah ke non sawah. Konversi lahan pertanian

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Kabupaten Majalengka (Sumber : PKSKL IPB 2012)

Gambar 6. Peta Lokasi Kabupaten Majalengka (Sumber : PKSKL IPB 2012) 21 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 5 Juli 2013, meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan pengamatan lapangan (ground

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan dan pengembangan wilayah di setiap daerah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di wilayah

Lebih terperinci

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan Kajian Hasil Inventarisasi LP2B Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan Sub Direktorat Basis Data Lahan Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian 2014

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam pada sektor pertanian terutama subsektor tanaman pangan.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng wiwifadly@gmail.com ABSTRAK Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah enganalisis dan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September sampai Desember

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar untuk Provinsi Jawa Timur setelah Bojonegoro, Lamongan, dan Banyuwangi. Kontribusi beras

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2014 Pusat Litbang Sumber Daya Air i KATA PENGANTAR Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA

BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA OLEH : DR. M LUTHFUL HAKIM PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional Indonesia

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA. Letak dan Luas

KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA. Letak dan Luas 37 KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA Letak dan Luas Kabupaten Jayapura secara yuridis sudah dimekarkan sesuai Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2002 menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Jayapura dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=74226&lokasi=lokal

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

METODOLOGI. dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan, propinsi Sumatera Utara. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

METODOLOGI. dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan, propinsi Sumatera Utara. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian dan penelitian lapangan dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tambang timah rakyat dilakukan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. lahan sawah diketahui bahwa kebutuhan lahan sawah domestik dan

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. lahan sawah diketahui bahwa kebutuhan lahan sawah domestik dan 219 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan data ketersediaan sawah dari BPS dan hasil analisis kebutuhan lahan sawah diketahui bahwa kebutuhan lahan sawah domestik dan kebutuhan total

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pokok merupakan kebutuhan minimal manusia yang mutlak harus dipenuhi untuk menjamin kelangsungan hidup. Kebutuhan pokok manusia terdiri atas, kebutuhan pangan,

Lebih terperinci

Gambar 1 Lokasi penelitian.

Gambar 1 Lokasi penelitian. 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Perencanaan tapak ini dilaksanakan di KHDTK Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012. Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Studi

Gambar 2. Lokasi Studi 17 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi Studi Studi ini berlokasi di Kawasan Sungai Kelayan di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan. Sungai Kelayan terletak di Kecamatan Banjarmasin Selatan (Gambar 2).

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di Kecamatan

BAB IV METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di Kecamatan BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penentuan lokasi

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (1988), metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Data yang dikumpulkan bisa berupa

Lebih terperinci

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a bahwa

Lebih terperinci

No. Penutupan / Penggunaaan Lahan Luas (ha)

No. Penutupan / Penggunaaan Lahan Luas (ha) 49 HASIL DAN PEMBAHASAN Penutupan/Penggunaan Lahan Aktual Informasi penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Pasaman Barat. Peta penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata

BAB III METODE PENELITIAN. Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wana Wisata Kawah Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata Kawah Putih

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

Statistik Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang Tahun Halaman 34 VI. PERPETAAN HUTAN

Statistik Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang Tahun Halaman 34 VI. PERPETAAN HUTAN VI. PERPETAAN HUTAN Perpetaan Kehutanan adalah pengurusan segala sesuatu yang berkaitan dengan peta kehutanan yang mempunyai tujuan menyediakan data dan informasi kehutanan terutama dalam bentuk peta,

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian 20 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu 4 bulan, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012. Persiapan dilakukan sejak bulan Maret 2011

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab III Pelaksanaan Penelitian 24 Bab III Pelaksanaan Penelitian Secara garis besar, bab ini akan menjelaskan uraian pelaksanaan penelitian. Tahap kegiatan pada pelaksanaan penelitian ini meliputi empat tahap utama antara lain persiapan,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN SAGU DAN POTENSI PEMANFAATANNYA SECARA BERKELANJUTAN DI KABUPATEN JAYAPURA

IDENTIFIKASI LAHAN SAGU DAN POTENSI PEMANFAATANNYA SECARA BERKELANJUTAN DI KABUPATEN JAYAPURA i IDENTIFIKASI LAHAN SAGU DAN POTENSI PEMANFAATANNYA SECARA BERKELANJUTAN DI KABUPATEN JAYAPURA SAMSUL BACHRI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah 25 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P.

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Perumusan Indikator Wilayah yang Layak Dicadangkan untuk Kawasan Produksi Beras

METODE PENELITIAN. Perumusan Indikator Wilayah yang Layak Dicadangkan untuk Kawasan Produksi Beras METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat yang meliputi 15 kecamatan dengan 73 nagari. Pelaksanaaan penelitian lapangan dilaksanakan bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Lokasi yang menjadi objek penelitian adalah Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) sapi perah Kabupaten Bogor seluas 94,41 hektar, berada dalam dua wilayah yang berdekatan

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdesaan (rural) didefenisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai

Lebih terperinci

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah Kajian Hasil Inventarisasi LP2B Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah Sub Direktorat Basis Data Lahan Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian 2014

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Tingkat Bahaya Banjir Analisis tingkat bahaya banjir pada penelitian ini berpedoman pada Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2016, No menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelan

2016, No menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelan No.727, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Lahan Pertanian. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Juni sampai dengan bulan September 2009. Lokasi Penelitian adalah di Kawasan Agropolitan Cendawasari, Desa Karacak,

Lebih terperinci