BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN"

Transkripsi

1 BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi, struktur, dan responnya terhadap proses eksogen yang cenderung destruktif. Hasil analisa kelurusan di daerah penelitian menunjukan 3 pola kelurusan dominan, yaitu pola utara selatan, pola barat - timur, dan pola barat laut tenggara. Dari hasil data lapangan dan interpretasi peta, pola utara selatan menunjukkan pola punggungan dan batas punggungan - lembah di daerah penelitian, punggungan yang ada di daerah penelitian berupa punggungan antiklin, dan punggungan homoklin. Pola barat timur dikontrol oleh sesar sesar mendatar di daerah penelitian, tercermin dari pola kelurusan sungai dan pergeseran puncak punggungan. Sesar sesar mendatar ini diperkirakan merubah sebagian kedudukan lapisan batuan didaerah penelitian. Pola barat laut tenggara adalah hasil ekspresi arah jurus lapisan batuan didaerah penelitian. Pola ini juga tercermin pada perubahan kemiringan punggungan akibat adanya pengaruh sesar sesar mendatar didaerah penelitian (Gambar 4.1). Gambar 4.1. Pola kelurusan daerah penelitian, terdapat tiga pola utama yaitu: Barat laut-tenggara, Utara-selatan, dan barat-timur. 41

2 4.1.1 Pola Aliran Sungai dan Tipe Genetik Sungai Daerah Penelitian 1. Sungai sebagai salah satu agen proses proses geomorfik dapat membantu menetukan keadaan morfologi suatu daerah dan sebagai indikator proses geologi yang bekerja di wilayah tersebut. Sungai dipelajari melalui pola aliran dan tipe genetiknya. Pola aliran sungai sangat dikontrol oleh struktur, litologi, dan kemiringan lereng di suatu wilayah. Beberapa pola aliran sungai yang dikenal antara lain: Dendritik, paralel, rektangular, radial, trellis, annular, dan sebagainya. Pola aliran sungai yang berkembang didaerah penelitian adalah rektangular (Gambar 4.2). Pola aliran rektangular adalah pola sungai yang terbentuk akibat pengaruh rekahan. Pola aliran rektangular yang ada di daerah penelitian menunjukkan kontrol rekahan di daerah ini cukup intensif. Rektangular Rektangular Rektangular Rektangular Gambar 4.2. Pola aliran sungai dan tipe genetik sungai di daerah penelitian. 42

3 2. Tipe genetik sungai menurut klasifikasi Thornbury (1969) dibagi berdasarkan arah aliran sungai terhadap kemiringan lapisan batuan. Daerah penelitian memiliki tipe genetik sungai subsekuen, obsekuen, dan resekuen (Gambar 4.2). Tipe genetik sungai subsekuen adalah sungai yang arah alirannya searah dengan jurus lapisan batuannya, contohnya Sungai Rambatan. Tipe genetik obsekuen adalah sungai yang arah alirannya berlawanan arah kemiringan lapisan dan bermuara ke sungai subsekuen, anak sungai Rambatan di sebelah barat daerah penelitian adalah contoh sungai tipe obsekuen, sedangkan sungai resekuen adalah sungai yang arah alirannya searah kemiringan lapisan batuan dan bermuara ke sungai subsekuen, Sumgai Cikeusal merupakan contoh tipe resekuen di daerah penelitian Pola dan Kerapatan Kontur Pola kontur dan kerapatan kontur daerah penelitian (Gambar 4.3) mengindikasikan respon batuan terhadap proses eksogen yang bekerja padanya. Respon batuan terhadap proses eksogen yang bekerja sangat tergantung terhadap jenis litologi batuan tersebut. Batuan dengan tingkat homogenitas tinggi dan ukuran butir relatif kasar akan cenderung lebih resisten terhadap erosi dan memberikan kenampakan morfologi yang relatif lebih tinggi daripada litologi yang lebih lunak. Litologi dengan tingkat homogenitas beragam seperti perselingan batuan akan memberikan kenampakan relief yang cenderung bergelombang. Ketebalan suatu litologi juga dapat tercermin dari pola dan kerapatan kontur, pola kontur renggang yang luas menunjukkan sebuah tubuh yang tebal dan relatif lunak, sedangkan pola kontur rapat mencirikan tubuh batuan dengan ukuran butir kasar dan relatif tebal atau menunjukkan bahwa tubuh batuan itu sangat resisten terhadap proses proses eksogen seperti pelapukan dan sebagainya (Lampiran A). 43

4 Gambar 4.3. Peta Topografi daerah penelitian Tahap Geomorfik Tahap pembentukan morfologi suatu daerah sangat dikontrol oleh struktur dan litologi. Bentukan morfologi dengan lereng-lereng yang terjal dibentuk oleh batuan yang relatif keras sedangkan bentukan morfologi yang landai dibentuk oleh batuan yang relatif lunak. Ukuran butir endapan aluvial di sungai, bentukan sungai, dan tingkat pelapukan batuan menjadi ciri ciri penentu tahapan geomorfik. Hubungan lereng dan sungai juga dapat digunakan sebagai data analisis tahapan geomorfik. Pada sungai didaerah penelitian, endapan aluvial memiliki ukuran yang variatif, dari sangat besar (> 2 m) sampai ukuran pasir, dengan ketebalan > 3 m (Gambar 4.4). Sungai utama yaitu Sungai Rambatan memiliki lebar yang cukup luas, dengan endapan aluvial yang cukup lebar penyebarannya. Tebing tebing dengan sudut lereng yang curam yang berada di sisi sungai cukup banyak dijumpai di daerah penelitian (Gambar 4.5). Banjir yang datang hampir setiap kali terjadi hujan juga menunjukkan proses transfer air dari daerah 44

5 pegunungan relatif cepat, hal ini dikontrol oleh curamnya kemiringan lereng lereng pegunungan, sehingga transfer fluida ke daerah dataran menjadi sangat cepat. Gambar 4.4 Endapan aluvial berukuran pasir sampai bongkah. Lokasi Sungai Cikeusal. Foto menghadap selatan Gambar 4.5 Tebing sungai dengan kemiringan lereng 30% - 45%. Lokasi Sungai Cikeusal. Foto menghadap timur, 45

6 Proses eksogen seperti erosi masih sangat dominan dibandingkan proses pengendapan. Longsoran dan jatuhan batuan juga cukup banyak di jumpai di daerah penelitian (Gambar 4.6), selain itu pelapukan batuan yang cukup intensif sering ditemui didaerah penelitian. Bentukan morfologi yang dikontrol oleh struktur juga dapat dijadikan sebuah indikator mengenai tahapan geomorfik suatu daerah. Adanya Punggungan antiklin dan lembah Sinklin menunjukkan belum adanya pembalikan bentuk morfologi di daerah penelitian. Data lapangan diatas menunjukkan bahwa daerah penelitian masih berada dalam tahapan geomorfik dewasa. Gambar 4.6. Longsoran pada tebing S. Cikeusal (kiri); Jatuhan dan longsoran batuan pada tebing S. Rambatan (kanan) Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian Daerah penelitian tersusun atas morfologi berupa dataran rendah dan punggungan dengan bentuk relatif memanjang. Struktur geologi diperkirakan sebagai kontrol pembentukan punggungan yang memanjang di daerah penelitian, sedangkan litologi mempengaruhi ketahanan batuan. Analisis pola dan kontur, kelurusan, interpretasi kemiringan lereng, dilakukan untuk membagi satuan morfologi. Hasil analsis di daerah penelitian dan klasifikasi satuan geomorfologi berdasarkan bentuk muka bumi (Brahmantyo dan Bandono, 2006). membagi daerah penelitian menjadi beberapa satuan geomorfologi, yaitu: 46

7 1. Satuan Punggungan Antiklin Leuweungkolot. 2. Satuan Punggungan Homoklin Pasir Pamipiran. 3. Satuan Lembah Perlipatan Pamulihan. 4. Satuan Dataran Aluvial Satuan Punggungan Antiklin Leuweungkolot Satuan ini meliputi ± 28% daerah penelitian, ditandai dengan warna hijau di peta geomorfologi (lampiran B). Satuan ini terletak di bagian tenggara peta memanjang sampai bagian tengah peta bagian timur, meliputi wilayah Gunung Leuweungkolot dan Lebak Cikeusal. Morfologi satuan ini dicirikan oleh daerah yang agak terjal membentuk punggungan yang relatif bergelombang. Satuan ini memiliki relief yang kasar dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang diinterpretasikan memiliki tingkat resistensi yang sedang-tinggi terhadap erosi (Gambar 4.7). Pola morfologi yang bergelombang menandakan satuan ini tersusun atas perselingan litologi yang resisten dan kurang resisten terhadap erosi. Litologi penyusun dari satuan ini adalah perselingan batugamping klastik-batulempung dengan ukuran butir pasir medium- kasar dan kemiringan lapisan 9-79 dan kemiringan lereng 2% - 70%, berdasarkan kemiringan lereng oleh van Zuidam (1985) termasuk landai sampai sangat terjal. Pola umum kelurusan berarah barat laut - tenggara. Pola aliran sungai yang terdapat pada satuan ini adalah pola aliran rektangular yang merupakan ciri dari daerah dengan kontrol rekahan. Tipe genetik sungai di satuan ini adalah sungai resekuen (Gambar 4.2). Proses-proses eksogen yang mempengaruhi satuan ini adalah pelapukan, erosi yang bersifat vertikal, erosi ke hulu, dan pengikisan lereng (Gambar 4.8). 47

8 Gunung Leuweungkolot Gambar 4.7. Satuan punggungan antiklin Leuweungkolot, terlihat morfologi yang relatif lebih tinggi dan agak bergelombang. Foto diambil dari Bukit Pasir Pamipiran menghadap ke timur Gambar 4.8. Proses pelapukan yang cukup intensif pada satuan Punggungan Antiklin Leuweungkolot. Lokasi pengamatan Gunung Leuweungkolot. Foto menghadap ke tenggara 48

9 Satuan Punggungan Homoklin Pasir Pamipiran Satuan ini meliputi ± 10% daerah penelitian, ditandai dengan warna kuning di peta geomorfologi (lampiran B). Satuan ini terletak di bagian barat laut peta, berbentuk memanjang. Meliputi wilayah bukit Pasir Pamipiran desa Cikeusal Kidul (Gambar 4.9). Morfologi satuan ini dicirikan oleh daerah yang agak terjal membentuk punggungan memanjang. Satuan ini memiliki relief yang kasar dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang diinterpretasikan memiliki tingkat resistensi yang cukup tinggi terhadap erosi. Selain itu, dari pola kontur dan morfologinya diinterpretasikan satuan ini disusun oleh satuan batuan yang keras dan tebal. Litologi penyusun dari satuan ini adalah batupasir dengan ukuran butir pasir medium - kasar dan kemiringan lapisan dan pola umum barat laut - tenggara. Pola aliran sungai yang terdapat pada satuan ini adalah pola aliran rektangular yang merupakan ciri dari daerah dengan kontrol rekahan. Tipe genetik sungai pada satuan ini adalah sungai obsekuen (Gambar 4.2). Prosesproses eksogen yang mempengaruhi satuan ini adalah erosi yang bersifat vertikal, pelapukan, dan longsoran, serta jatuhan batuan (Gambar 4.10). Bukit Pasir Pamipiran Gambar 4.9. Satuan punggungan homoklin Pasir Pamipiran, terlihat morfologi yang relatif lebih tinggi dan berbentuk memanjang. Foto diambil dari Gunung Leuweungkolot menghadap ke barat. 49

10 Gambar Longsoran serta jatuhan batu pada Satuan punggungan homoklin. Foto diambil di daerah Pareunca, menghadap ke timur Satuan Lembah Perlipatan Pamulihan Satuan ini meliputi ± 57% daerah penelitian, ditandai dengan warna cyan di peta geomorfologi (lampiran B). Satuan ini terletak di bagian tengah daerah pemetaan. Morfologi satuan ini dicirikan oleh daerah yang relatif landai dan agak bergelombang (Gambar 4.11). Morfologi datar menandakan daerah ini disusun oleh satuan batuan yang sangat responsif terhadap erosi, dan morfologi dataran bergelombang mengindikasikan batuan penyusunnya adalah perselingan litologi agak lunak dan lunak. Satuan ini memiliki relief yang cukup halus dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang diinterpretasikan memiliki tingkat resistensi yang rendah terhadap erosi. Litologi penyusun dari satuan ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir yang memiliki ukuran butir pasir halus medium. Di bagian timur laut dan barat daya disusun oleh litologi batulempung. Kemiringan lapisan 3-82 dan pola umum barat laut - tenggara. Pola aliran sungai yang terdapat pada satuan ini adalah pola aliran rektangular 50

11 yang merupakan ciri dari daerah dengan kontrol rekahan. Tipe genetik sungai pada satuan ini adalah sungai resekuen dan obsekuen. Proses-proses eksogen yang mempengaruhi satuan ini adalah erosi yang bersifat lateral, pelapukan, dan longsoran (Gambar 4.12) Lembah Pamulihan Gambar Satuan Lembah Perlipatan Pamulihan, terlihat morfologi yang relatif lebih rendah dari sekitarnya. Foto diambil dari Bukit Pasir Pamipiran, menghadap ke timur. 51

12 Gambar Proses pelapukan dan longsoran yang intensif pada satuan Lembah Perlipatan Pamulihan. Lokasi pengamatan Sungai Rambatan. Foto menghadap barat Satuan Dataran Aluvial Satuan ini meliputi ± 5% daerah penelitian, ditandai warna abu-abu di peta geomorfologi (lampiran B). Satuan ini terletak di bagian tengah daerah pemetaan memanjang dari utara sampai selatan. Penyebaran satuan berada di daerah sekitar Sungai Rambatan dengan distribusi lateral yang tidak terlalu luas. Satuan ini terdiri dari material material batuan yang masih lepas lepas (unconsolidated), berukuran pasir sampai bongkah. Batuan yang ada di satuan ini antara lain: Batugamping, andesit, batupasir, batulempung, dan breksi (Gambar 4.13). 52

13 Gambar Satuan Dataran Aluvial, memiliki tebal > 3m, dengan lebar > 10m. Foto diambil di Sungai Rambatan menghadap ke barat. 4.2 Tataguna Lahan Perkebunan Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang perkebunan, yang dimaksud dengan Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Kabupaten Brebes dan sekitarnya sudah sejak lama terkenal sebagai sentra penghasil bawang merah dan beberapa jenis jati di Indonesia. Dari pengamatan di lapangan, beberapa wilayah di daerah Kamal dan sekitarnya banyak ditanami pohon jati pada lahan lahannya. Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (1999, dalam Listyanto 2008) jati sangat potensial dikembangkan pada hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, hutan pegunungan, hutan tanaman industri, lahan kering dan basah, lahan pertanian dan perkebunan.. Metode penentuan tataguna lahan perkebunan khususnya jati 53

14 untuk daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan data lapangan berupa data jenis batuan dan persebarannya, data satelit LANDSAT 7 ETM+, dan peta topografi digital Bakosurtanal. Proses pengolahan data dapat dilihat di Gambar PETA GEOLOGI PETA GEOMORFOLOGI PETA DIGITAL CITRA SATELIT DAERAH PENELITIAN DAERAH PENELITIAN BAKOSURTANAL LANDSAT 7 ETM+ SKEMA PENGKELASAN Van. ZUIDAM (1985) PETA KEMIRINGAN LERENG PETA KEBASAHAN LAHAN PETA TUTUPAN LAHAN PROSES HIRARKI ANALITIK DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PETA TATAGUNA LAHAN Gambar Diagram alir pengolahan data peta tataguna lahan Metode Proses Hirarki Analitik (AHP) Metode AHP dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan bobot dan nilai maksimum untuk jumlah semua faktor yang diperoleh dari penilaian perbandingan antara satu faktor dengan faktor lainnya dalam sebuah matriks perbandingan. Penilaian matriks didasarkan oleh tingkat keberpengaruhan suatu nilai dalam penentuan tataguna lahan. Perhitungan metode AHP ini menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. 54

15 Untuk proses yang dilakukan pada daerah penelitian dengan metode AHP ini, dilakukan perhitungan dari beberapa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan lahan, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah matriks perbandingan (Tabel 4.1). Slope Litologi Morfologi Kebasahan Lahan Tutupan Lahan Slope Litologi Morfologi Kebasahan Lahan Tutupan Lahan Total Matriks perbandingan dibuat untuk menentukan bobot prioritas masing-masing faktor yang merupakan inti dari AHP. Dalam penentuan bobot prioritas dilakukan lagi pengolahan data dari suatu matriks baru hasil normalisasi. (Tabel 4.2). Konsistensi perbandingan antar matriks diuji dengan melakukan pengujian rasio konsistensi. Pengujian ini dimulai dengan mengetahui princial eigen value maksimum Bobot prioritas yang telah didapatkan akan diolah didalam metode berikutnya yaitu (Tabel 4.3). Tahap selanjutnya adalah penentuan indeks konsistensi dengan menggunakan rumus λmaks n/n-1. Untuk jumlah parameter yang digunakan 5 buah, maka nilai RI adalah 1,12. Tabel 4.1. Matriks perbandingan faktor yang mempengaruhi tataguna lahan. Indeks Konsistensi = λmaks n/n 1 = 5, /5 1 Rasio Konsistensi = 0, = Indeks Konsistensi/Random Index = 0, /1,12 = 0, hasilnya konsisten. Slope Litologi Morfologi Kebasahan Lahan Tutupan Lahan Slope Litologi Morfologi Kebasahan Lahan Tutupan Lahan Total 1 Tabel 4.2. Normalisasi dari matriks perbandingan dan penentuan bobot prioritas. 55

16 , , , , , ,2 0, , X 0, = 0, ,2 0, , , , , , , , , λmaks = 27, : 5 = 5, Tabel 4.3. Pengujian rasio konsistensi dengan princial eigen value Sistem Informasi Geografis (GIS) Metode ini merupakan bagian dari pengolahan data yang telah disebutkan sebelumnya dan data hasil olahan dengan metode AHP. Data-data yang telah didapat dari dua metode sebelumnya diolah dengan menggunakan perangkat lunak GIS yang sudah sering digunakan dalam dunia pergeologian seperti ArcGIS 9.3, Er Mapper 7.0, dan Global Mapper Pengolahan data Data yang digunakan dan diolah dalam penelitan ini adalah data spasial. Data spasial tersebut berupa peta-peta tematik dan citra satelit. Peta-peta tematik yang digunakan sebagai data adalah peta geologi, peta geomorfologi, peta kemiringan lereng. Peta-peta tematik ini sebelumnya adalah data primer yang harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan peta-peta tematik data yang dibutuhkan dalam penentuan tataguna lahan. Sedangkan citra satelit digunakan untuk membuat peta tutupan lahan dan peta kebasahan lahan melalui proses remote sensing. Proses-proses remote sensing tersebut meliputi metode Normalized Difference Vegetation index (NDVI) dan Tasseled Cap. Keseluruhan data-data mentah ini diperoleh dari berbagai sumber antara lain Bakosurtanal dan Pusat Survei Geologi, USGS dan sebagainya. Data yang didapatkan dari Bakosurtanal adalah peta digital yang berisikan data ketinggian (topografi), dan data tata guna lahan berupa peta rupa bumi. Data citra satelit didapat dari USGS dan Pusat Survei Geologi. Data yang didapatkan dari pemetaan langsung di lapangan adalah data geologi dan geomorfologi. Proses yang dilakukan setelah mendapat peta-peta faktor yang berpengaruh dalam penentuan tataguna lahan adalah memasukkan nilai-nilai hasil pembobotan dari AHP dengan metode weighted overlay yang ada pada perangkat lunak ArcGIS. Nilai paling 56

17 buruk bernilai satu dan paling baik bernilai 9. Setelah itu, akan didapatkan peta tataguna lahan di daerah penelitian, seperti yang ditunjukkan pada diagram alir (Gambar 4.14) Litologi Jenis tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman jati adalah tanah yang memiliki tekstur lempung, lempung berpasir atau liat berpasir, meskipun untuk beberapa jenis tanah tanaman jati masih dapat tumbuh dengan baik (Sumarna, 2001; dalam Listyanto 2008). Tanaman jati tumbuh dengan baik di tanah dengan prorositas yang baik. Jenis tanah untuk tanaman jati dapat didekati dengan data litologi. Data yang digunakan untuk faktor litologi adalah peta geologi yang dipetakan langsung di lapangan (lampiran A). Informasi yang didapat dari peta geologi untuk faktor litologi adalah satuan batuan di daerah penelitian. Pada penilaian kelas litologi, batuan yang lunak seperti batulempung, dan perselingan batupasir batulempung memiliki nilai yang lebih baik karena seperti dijelaskan diatas tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman jati adalah tanah yang memiliki tekstur lempung, lempung berpasir atau liat. Tanaman jati lebih menyukai tanah dengan porositas yang baik, jadi litologi yang bersifat pasiran memiliki bobot yang lebih besar. Daerah aluvial diberi nilai terkecil karena dianggap tidak baik. Material material ini tidak dapat menjadi media yang baik untuk tanaman kayu kayuan (Tabel 4.3) Morfologi Kekasaran morfologi permukaan suatu daerah sangat menentukan pemanfaatannya dalam pengelolaan lahan. Data garis kontur topografi akan memperlihatkan daerah dengan nilai elevasi tertinggi dan terendah, selain itu nampak pula bentukan morfologinya (lampiran B). Bentukan morfologi inilah yang menentukan nilai dalam pengkelasannya. Daerah lembahan dengan kontur yang renggang diberi nilai tertinggi, sedangkan punggungan dengan kontur relatif rapat dan bergelombang diberi bobot lebih kecil, daerah aluvial atau limpah banjir diberikan nilai terkecil (Tabel 4.4) Kemiringan lereng Kemiringan Lereng pada klasifikasi van Zuidam (1985) didefinisikan dengan persen lereng. Persen lereng adalah rasio antara tinggi lereng (vertikal) dan 57

18 panjang lereng (horizontal) di kali 100%. Pembuatan peta kemiringan lereng ini menggunakan peta topografi dan administrasi digital dari Bakosurtanal, yang kemudian diolah dengan perangkat lunak ArcGIS. Fasilitas yang digunakan pada perangkat lunak ini adalah konversi peta digital topografi menjadi peta kemiringan lereng dengan metode Triangulated Irregular Network (TIN). TIN adalah metode penentuan besar dan arah kemiringan lereng dengan menggunakan tiga titik data. Dari tiga titik tersebut dihitung arah dari lereng beserta kemiringannya. Hasil akhirnya adalah sebuah peta kemiringan lereng (Gambar 3.2). Pada peta tersebut telah dikelaskan nilai-nilai kemiringan sesuai dengan skema pengkelasan oleh van Zuidam (1985). Daerah penelitian hanya memiliki nilai persen lereng dari 0% sampai 70%. Sebenarnya tanaman jati tidak memerlukan kondisi tanah dengan topografi yang terlalu menuntut, tetapi akan lebih baik apabila tanah pada kisaran kemiringan lereng dari datar sampai maksimum 20% (Sumarna, 2001; dalam Listyanto 2008). Ini juga dalam kaitan mencegah terjadinya erosi besar-besaran saat tanah diolah untuk penanaman, sehingga tanah yang memiliki kemiringan curam tidak dibenarkan untuk dibuka.(tabel 4.5) Tutupan lahan Peta tutupan lahan ini menggunakan klasifikasi dengan tingkat kerapatan tutupan tumbuhan pada area tertentu. Data yang digunakan untuk menentukan faktor tutupan lahan ini adalah data Citra Satelit Landsat 7 ETM+ 8 band dari USGS (2003) dengan band 3 dan 4 sebagai data olahan. Citra diolah dengan menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Pengolahan data dengan metode NDVI menggunakan perangkat lunak Er Mapper. Metode NDVI memakai data olahan band 4 dari satelit Landsat ETM+ yang memiliki kemampuan mendeteksi survei biomassa dan delineasi tubuh air, sedangkan band 3 memiliki kemampuan aplikasi membedakan tingkat absorbsi klorofil pada vegetasi (Saputra, 2010). Terdapat lima kelas dalam klasifikasi tutupan lahan yang digunakan, yaitu: vegetasi rapat, vegetasi sedang, vegetasi jarang, dan lahan gundul (Gambar 4.15). Pengembangan daerah perkebunan memperhatikan faktor kerapatan vegetasi, karena dalam pembuatan lahan 58

19 perkebunan diperlukan adanya penataan lahan. Daerah dengan vegetasi yang jarang relatif lebih mudah di tata daripada lahan dengan vegetasi yang rapat (Tabel 4.6) Kebasahan Lahan Kebasahan lahan dinilai cukup menentukan dalam menentukan penggunaan lahan. Tingkat kebasahan suatu lahan dikontrol oleh seberapa besar kadar air yang terdapat pada permukaan lahan. Dengan citra satelit ETM+ dapat dilakukan pendekatan untuk mengetahui tingkat kebasahan lahan suatu wilayah. Ada beberapa nilai atribut yang muncul pada citra satelit, antara lain greenes, wetness, dan brightness. Pengolahan data kebasahan lahan,menggunakan atribut wetness. Atribut wetness pada citra satelit yang telah diolah menghasilkan peta kebasahan lahan yang selanjutnya dikelaskan menjadi lima kelas yaitu mengalir, merembes, basah, lembab, dan kering (Gambar 4.16). (Tabel 4.7). Tanaman jati ini sangat menyenangi tanah dengan prorositas dan drainase yang baik, dan sebaliknya akan tumbuh tidak baik pada tanah-tanah yang tergenang (Sumarna, 2001; dalam Listyanto 2008) Gambar Peta kerapatan vegetasi daerah penelitian. 59

20 Gambar Peta kebasahan lahan daerah penelitian. Parameter Bobot (%) Satuan Nilai (1-9) Litologi (satuan batuan) 28% Batupasir-batulempung 7 Batugamping-batulempung 6 Batulempung 5 Aluvial 2 Tabel 4.3. Bobot nilai litologi. Parameter Bobot (%) Satuan Nilai (1-9) Morfologi 9% Lembah 7 Punggungan Antiklin 5 Punggungan Homoklin 3 Aluvial 1 Tabel 4.4. Bobot nilai morfologi. 60

21 Parameter Bobot (%) Satuan Nilai (1-9) Kemiringan Lereng 47% 0%-2% 7 2%-7% 6 7%-15% 5 15%-30% 3 30%-70% 1 Tabel 4.5. Bobot nilai kemiringan lereng. Parameter Bobot (%) Satuan Nilai (1-9) Kerapatan vegetasi 4% Lahan Gundul 5 Jarang 7 Sedang 3 Rapat 1 Tabel 4.6. Bobot nilai kerapatan vegetasi. Parameter Bobot (%) Satuan Nilai (1-9) Kebasahan Lahan 12% Mengalir 3 Merembes 4 Basah 5 Lembab 7 Kering 1 Tabel 4.7. Bobot nilai kebasahan lahan Peta Tataguna Lahan Hasil tumpang tindih dari peta peta diatas yang nilai bobotnya ditentukan dengan metode hirarki analitik menghasilkan sebuah peta tataguna lahan daerah penelitian. Peta tataguna lahan ini memberikan sebuah pandangan mengenai wilayah wilayah tertentu yang baik apabila dimanfaatkan sebagai lahan untuk perkebunan pada umumnya dan jati pada khususnya dilihat dari sisi pandangan geologi dan ilmu yang berkorelasi. Peta rupa bumi (Bakosurtanal, 1999) daerah memberikan gambaran pemanfaatan lahan yang ada sekarang di daerah penelitian (Gambar 4.17). Dengan adanya peta tataguna lahan ini, diharapkan dapat digunakan sebagai 61

22 bahan evaluasi pemanfaatan lahan perkebunan di daerah penelitian dilihat dari sudut pandang geologi. Gambar Peta rupa bumi daerah penelitian (Bakosurtanal, 1999) Analisis Tataguna Lahan Nilai Lahan Peta tataguna lahan (Gambar 4.18) memiliki empat nilai lahan yang dihasilkan dari proses hirarki analitik dan metode tumpang tindih, nilai lahan tersebut antara lain: Sangat baik, baik, kurang baik, tidak baik. a. Lahan sangat baik Berwarna hijau di peta tataguna lahan. Secara umum litologi penyusun lahan ini adalah perselingan batugamping-batulempung dan perselingan batupasir- 62

23 batulempung. Litologi bersifat lempung pasiran sangat sesuai untuk tanaman jati karena relatif lunak dan memiliki porositas yang baik. Di satuan geomorfologi, lahan jenis ini berada di Satuan Lembah Perlipatan Pamulihan. Morfologinya yang relatif landai sampai agak bergelombang dengan kemiringan lereng yang kecil sangat baik untuk dikembangkan sebagai daerah perkebunan jati. b. Lahan baik Berwarna kuning pada peta tataguna lahan. Litologi penyusun berupa batulempung dan perselingan batupasir-batulempung. Litologi bersifat lempungan juga baik untuk pengembangan perkebunan jati. Di satuan geomorfologi, lahan jenis ini berada di Satuan Punggungan Antiklin Leuweungkolot. Morfologi relatif landai dan agak bergelombang, dengan kemiringan lereng yang landai cukup baik untuk dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan jati. Daerah dengan nilai lahan baik memiliki indeks kebasahan lahan lembab sampai basah dan indeks kerapatan vegetasi sedang. Daerah yang lembab dengan keadaan air yang cukup tidak menggenang cocok untuk perkebunan jati. c. Lahan kurang baik Berwarna coklat di peta tataguna lahan. Litologi penyusun adalah batupasir dan material sedimen aluvial yang masih lepas lepas. Litologi pasiran yang kompak dan sedikit porositas kurang baik bagi tanaman jati. Di satuan geomorfologi, lahan jenis ini banyak berada di Satuan Dataran Aluvial. Morfologinya terbagi menjadi dua daerah, pada bagian lahan yang disusun oleh material sedimen morfologinya berupa dataran yang dipengaruhi aktivitas sungai, sedangkan di daerah dengan litologi batupasir, morfologinya berupa punggungan yang memanjang dan memiliki kemiringan lereng yang terjal. d. Lahan tidak baik Berwarna merah di peta tataguna lahan. Litologi penyusunnya adalah batupasir dengan morfologi berupa punggungan yang memanjang dengan kemiringan lereng sangat terjal. Di satuan geomorfologi, lahan jenis ini termasuk satuan punggungan homoklin pasir pamipiran. Kemiringan lereng sangat terjal inilah yang menjadi 63

24 kontrol sehingga lahan tipe ini tidak baik untuk perkebunan jati. Lahan jenis ini sebaiknya dibiarkan sesuai keadaan semula, apabila akan dimanfaatkan diperlukan metode kerekayasaan khusus untuk mengurangi resiko bencananya Akses Jalan Berdasarkan data pemerintah desa Kamal (Februari, 2011) jalan beraspal yang menghubungkan Kamal dan desa desa disekitarnya berjumlah 5 ruas jalan, seedangkan jalan yang menghubungkan daerah di dalam desa Kamal berjumlah 6 ruas jalan makadam atau jalam kerikil berbatu (Gambar 4.19). Keadaan jalan yang sudah dapat dilalui kendaraan roda empat jenis menengah (pick up, kijang,dan sebagainya) cukup membantu untuk pengembangan wilayah desa Kamal dan sekitarnya. Selain itu jarak yang tidak terlalu jauh dari pusat Kabupaten Brebes (±41Km), serta berjarak ±15Km dari pusat Kecamatan Ketanggungan dinilai tidak terlalu menghambat pengembangan desa Kamal untuk menyalurkan hasil perkebunan jatinya Irigasi Data dari pemerintah desa Kamal bulan Februari tahun 2011 menunjukkan bahwa 150Ha dari total luas wilayah Ha adalah irigasi yang digunakan untuk mengairi areal persawahan seluas Ha dan perkebunan seluas Ha. Luas wilayah irigasi ini dinilai masih kurang untuk memenuhi kebutuhan air bagi areal persawahan dan perkebunan desa Kamal dan sekitarnya, perlu adanya pembangunan daerah irigasi untuk membantu pengembangan desa Kamal sebagai desa perkebunan Potensi Bahan Galian Daerah Kamal dan sekitarnya memiliki beberapa potensi bahan galian. Beberapa bahan galian tipe C yang dapat dimanfaatkan adalah batu batu kerikil yang banyak dijumpai di sungai sungainya(gambar 4.20), serta endapan pasir besi (Gambar 4.21). Kedua bahan galian ini sangat umum dijumpai ditepi tepi sungai Rambatan. 64

25 65

26 Gambar Salah satu jalan makadam yang menghubungkan desa Kamal dan desa Jemasih di selatan. Gambar Bongkah bongkah batu disalah satu sisi sungai Rambatan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan galian. 66

27 Gambar Endapan pasir besi di salah satu sudut sungai Rambatan. 67

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN

BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN 4.1. ANALISIS GEOMORFOLOGI 4.1.1 Pola Aliran Sungai dan Tipe Genetik Sungai Interpretasi pola aliran dapat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN

BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN 4.1 Metodologi Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan mengidentifikasi tingkat kerentanan suatu tempat tertentu untuk mengalami kejadian longsoran, dengan mengklasifikasikannya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geomorfologi adalah salah satu hal yang menjadi dasar dalam ilmu geologi, karena geomorfologi dapat dijadikan panduan dalam pemetaan geologi, selain itu pengamatan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Analisa geomorfologi merupakan sebuah tahapan penting dalam penyusunan peta geologi. Hasil dari analisa geomorfologi dapat memudahkan dalam pengerjaan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1. Zonasi Kerawanan Longsoran Proses pengolahan data sampai ke tahap zonasi tingkat kerawanan longsoran dengan menggunakan Metode Anbalagan (1992) sebagai acuan zonasi dan SIG

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN ANALISIS GEOMORFOLOGI DAERAH DESA JEMASIH DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH: APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PEMUKIMAN

GEOLOGI DAN ANALISIS GEOMORFOLOGI DAERAH DESA JEMASIH DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH: APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PEMUKIMAN GEOLOGI DAN ANALISIS GEOMORFOLOGI DAERAH DESA JEMASIH DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH: APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PEMUKIMAN TUGAS AKHIR A Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari proses bentang alam terbentuk secara konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya endogen),

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi daerah penelitian dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa media, yaitu peta kontur, citra satelit, dan citra Digital Elevation Model

Lebih terperinci

ACARA IV POLA PENGALIRAN

ACARA IV POLA PENGALIRAN ACARA IV POLA PENGALIRAN 4.1 Maksud dan Tujuan Maksud acara pola pengaliran adalah: 1. Mengenalkan macam-macam jenis pola pengaliran dasar dan ubahannya. 2. Mengenalkan cara analisis pola pengaliran pada

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah ilmu tentang bentang alam, proses-proses yang terjadi dan pembentukannya, baik dari dalam (endogen) maupun di luar (eksogen). Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang paling sering mengalami kejadian longsoran di Indonesia. Kondisi iklim tropis yang mempengaruhi tingginya curah

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif rapat dan terjal. Ketinggian di daerah penelitian berkisar antara 1125-1711 mdpl. Daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen adalah prosesproses yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi di daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi peta topografi, citra SRTM, citra DEM,

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses eksogen dan endogen yang membentuk

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN. Semarang, 18 April 2014 NIM NIM

LEMBAR PENGESAHAN. Semarang, 18 April 2014 NIM NIM LEMBAR PENGESAHAN Laporan Praktikum Geomorfologi, acara: Bentang Alam Struktural yang disusun oleh M.Taufiqurrahman, yang disahkan pada : hari : Jumat tanggal : 18 April 2014 pukul : sebagai tugas laporan

Lebih terperinci

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRAK Daerah penelitian terletak di daerah Gunung Bahagia, Damai, Sumber Rejo, Kota Balikpapan,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Berikut adalah metode penelitian yang diusulkan : Pengumpulan Data Peta Curah Hujan tahun Peta Hidrologi Peta Kemiringan Lereng Peta Penggunaan Lahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi. sungai; kerapatan pengaliran; dan pola pengaliran.

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi. sungai; kerapatan pengaliran; dan pola pengaliran. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Dalam kegiatan penelitian ini, objek yang diteliti dan dikaji adalah sebagai berikut. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir adalah matakuliah wajib dalam kurikulum pendidikan sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya gravitasi. Tanah longsor sangat rawan terjadi di kawasan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi di daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi peta topografi, citra SRTM, dan pengamatan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pulau Jawa merupakan busur gunungapi memanjang barat-timur yang dihasilkan dari pertemuan lempeng Eurasia dan Hindia-Australia. Kondisi geologi Pulau Jawa ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI 2.. Tinjauan Umum Untuk dapat merencanakan penanganan kelongsoran tebing pada suatu lokasi terlebih dahulu harus diketahui kondisi sebenarnya dari lokasi tersebut. Beberapa

Lebih terperinci

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis morfologi yang dilakukan pada daerah penelitian berdasarkan pengamatan tekstur yang tercermin dalam perbedaan ketinggian,

Lebih terperinci

Zonasi Tingkatan Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis Kemiringan Lereng dan Analisis Kelurusan Sungai di Daerah Salopa, Kabupaten Tasikmalaya

Zonasi Tingkatan Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis Kemiringan Lereng dan Analisis Kelurusan Sungai di Daerah Salopa, Kabupaten Tasikmalaya Zonasi Tingkatan Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis Kemiringan Lereng dan Analisis Kelurusan Sungai di Daerah Salopa, Kabupaten Tasikmalaya Putra Perdana Kendilo 1, Iyan Haryanto 2, Emi Sukiyah 3, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyusunan tugas akhir merupakan hal pokok bagi setiap mahasiswa dalam rangka merampungkan studi sarjana Strata Satu (S1) di Institut Teknologi Bandung. Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG 4.1 Geologi Lokal Daerah Penelitian Berdasarkan pendekatan morfometri maka satuan bentangalam daerah penelitian merupakan satuan bentangalam pedataran. Satuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kawasan Bandung Utara terbentuk oleh proses vulkanik Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Perahu pada kala Plistosen-Holosen. Hal tersebut menyebabkan kawasan ini tersusun

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Geomorfologi pada daerah penelitian diamati dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan yang kemudian diintegrasikan dengan interpretasi

Lebih terperinci

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR

Lebih terperinci

ANALISA BENTANG ALAM

ANALISA BENTANG ALAM ANALISA BENTANG ALAM A. Definisi Bentang Alam Bentang alam merupakam karakteristik dan juga bentuk permukaan bumi yang disebabkan oleh proses perubahan kimia serta fisika. Beberapa contoh yang dihasilkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. SKRIPSI... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. HALAMAN PERSEMBAHAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. SKRIPSI... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. HALAMAN PERSEMBAHAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI SKRIPSI... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv SARI... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR FOTO... xii DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo DATA DEM DALAM ANALISIS MORFOMETRI (Aryadi Nurfalaq, S.Si., M.T) 3.1 Morfometri Morfometri merupakan penilaian kuantitatif terhadap bentuk lahan, sebagai aspek pendukung morfografi dan morfogenetik, sehingga

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian. Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari bagaimana bentang alam terbentuk secara konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya

Lebih terperinci

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tugas akhir merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tingkat sarjana (S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Kancah, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung yang terletak di bagian utara Kota Bandung. Secara

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR Peta topografi adalah peta penyajian unsur-unsur alam asli dan unsur-unsur buatan manusia diatas permukaan bumi. Unsur-unsur alam tersebut diusahakan diperlihatkan pada

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Menurut Lobeck (1939), faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentangan alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Rembang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang terdiri dari endapan Neogen silisiklastik dan karbonat. Stratigrafi daerah

Lebih terperinci