KEKEBALAN DIPLOMATIK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEKEBALAN DIPLOMATIK"

Transkripsi

1 TUGAS HUKUM DIPLOMATIK & HUBUNGAN INTERNASIONAL KEKEBALAN DIPLOMATIK Dalam Hukum Internasional Oleh MUHAMMAD SANTIAGO PAWE B

2 Kata Pengantar Puji syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunianyalah sehingga diberikan kesehatan dan kemampuan untuk menyelesaikan makalah Hak Kekebalan Diplomatik dan Konsuler sebagai suatu bentuk tugas pada mata kuliah Hukum Diplomtih dan Hubungan Internasional pada semester genap kali ini. Semoga dengan terselesikannya makalah ini dapat memenuhi penilaian terhadap mata kuliah dan semoga dapat menjadi sarana berbagi ilmu kepada para pembaca dari makalah ini. Kritik dan saran akan membangun demi kemajuan makalah ini sangat diharapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembangunan ilmu pengetahuan. Makassar, 26 Maret 2016 Penulis 2

3 Daftar Isi Kata Pengantar 2 BAB I Pendahuluan 4 BAB II Landasan Teori 7 BAB III Metode Penelitian 11 BAB IV Pembahasan 13 BAB V Penutup 23 Daftar Pustaka 3

4 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak lahirnya Negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsip-prinsip hubungan internasional, hukum internasional dan diplomasi. Dalam hubungannya satu sama lain Negara-negara mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan Negara lain dalam rangka memperjuangkan dan mengamankan kepentingannya masing-masing di samping mengupayakan terwujudnya kepentingan bersama. Cara-cara dan bentuk yang dilakukan dalam pendekatan dan berunding dengan Negara lain untuk mengembangkan hubungan tersebut dinamakan diplomasi yang dilaksanakan oleh para diplomat. Sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, Negara-negara saling mengirim wakilnya ke ibu kota Negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan kepentinga bersama, mengembangkan hubungan, mencegah kesalah pahaman ataupun menghindari terjadinya sengketa. Sampai denga tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan hubungan diplomatik berasal dari hukum kebiasaan. Pada kongres Wina tahun 1815 raja-raja yang ikut dalam konferensi sepakat untuk mengodifikasi hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Pada tahun 1954 komisi hukum internasional yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatic da sebelum akhir 1959 Majelis Umum melalui Resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi internasional untuk membahas masalah-masalah dan kekebalan-kekebalan diplomatik. Konferensi tersebut dengan nama The United Nations Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities yang melahirkan konvensi wina tentang hubungan diplomatik (Convention on Diplomatic Relations) pada tanggal 18 April Diplomat sebagai perwakilan dari negara pengirim (sending state) di negara penerima (receiving state) mempunyai tugas dan misi yang sangatlah berat, bahkan sering disebut mengemban misi yang suci (sancti habentur legati). Untuk menunjang kelancaran dan efisiensi dalam menjalankan misinya, para agent diplomat secara keseluruhan diberikan hak 1 Boer Mauna ; 2013 ; Hukum Internasional Pengertian PEranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global ; Alumni ; Bandung; Hlm 513 4

5 kekebalan dan keisitimewaan. Kekebalan dan keistimewaan tidak hanya diberikan kepada Kepala-kepala perwakilan seperti Duta Besar (Ambassadors), Duta (Envoys) atau Kuasa Usaha (Charge D affaires), tetapi juga oleh anggota keluarganya yang tinggal bersama dia, termasuk para diplomat lainnya yang menjadi anggota perwakilan (seperti Counsellor, para Sekretaris, Atase dan sebagainya) dan (kadang-kadang dalam keadaan yang jarang sekali) oleh para staff administrasi dari perwakilan dan staff pembantu lainnya (juru masak, sopir, pelayan, penjaga, dan lainnya yang serupa). 2 Latar belakang timbulnya hak kekebalan dan keisitimewaan diplomatik tidak terlepas dari sejarah perkembangan perwakilan diplomatik itu sendiri, perlu diketahui bahwa status dari perwakilan diplomatik telah mendapat pengakuan dari bangsa-bangsa pada zaman kuno. Hal ini dapat kita lihat dalam pembukaan Konvensi Wina 1961 tentang hubungan-hubungan diplomatik (Diplomatic Relations) bahwa :.. peoples of all nations from ancient time have recognized the status of diplomatic agents. 3 Pada masa Yunani kuno, gangguan terhadap seorang Duta Besar dianggap merupakan pelanggaran yang paling berat. Demikian pula di zaman Romawi, para penulis telah sepakat mengenai anggapan bahwa terjadinya cidera terhadap seorang wakil dari negara pada hakikatnya merupakan pelanggaran secara sengaja terhadap jus gentium. 4 Dalam abad ke-16 dan 17, pada waktu pertukaran Duta-duta besar secara permanen antar negara-negara di Eropa sudah mulai menjadi umum, kekebalan dan keisitimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-praktik negara dan bahkan telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika terbukti bahwa seorang duta besar telah terlibat dalam komplotan atau pengkhianatan melawan kedaulatan negara penerima. Seorang Duta Besar dapat diusir namun tidak dapat ditangkap dan diadili. 5 Sebelum tahun 1960-an hamper tidak ada permasalahan mengenai perlindungan terhadap para diplomat. Namun sesudah itu keadaan berubah secara dramatis. Hubungan diplomatik anta Negara selanjutnya sering ditandai oleh tindakan-tindakan penculikan, pembunuhan, serangna terhadap pejabat-pejabat diplomatic seperti juga gangguan terhadap misi-misi diplomatic. Dalam beberapa hal diplomat juga dijadikan sasaran karena statusnya sebagai wakil dari Negara-negara dengan kebijakan-kebijakan tertentu atau sebagai tekanan terhadap 2 Lihat Gutteridge dalam Sumaryo Suryokusumo, 1995, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Penerbit Alumni, Bandung, hal Pembukaan, Vienna convention on diplomatic, Lihat Phillipson dalam Sumaryo Suryokusumo, Loc.Cit. 5 Sumaryo Suryokusumo, Ibid. hal

6 pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan politk tertentu ataupun juga untuk merusak kredibilitas pemerintah yang sah. 1.2 Rumusan Masalah a. Bagaimanakah kekebalan diplomatik dalam hukum nternasional? b. Bagaimanakah contoh kasus pelanggaran kekebalan diplomatik? 1.3 Tujuan Penulisan a. Untuk mengetahui kekebalan diplomatik dalam hukum internasional b. Untuk mengetahui contoh kasus pelanggaran kekebalan diplomatic 1.4 Manfaat Penulisan a. Menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum internasional. b. Menjadi sumber referensi bagi penulis dalam memeperluas wawasan dan pengetahuan serta melatih diri untuk aktif dalam kegiatan menulis. 6

7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Landasan Teori Teori Ekstrateritorialitas Menurut teori ini seorang pejabat diplomatic dianggap seolah-olah tidak meniggalkan negaranya, berada di luar wilayah Negara akreditasi, walaupun sebenarnya ia berada di luar negeri dan melaksanakan tugas-tugasnya di sana. Demikian juga halnya gedung perwakilan, jadi pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan itu disebabkan faktor ekstrateritorialitas tersebut. Oleh kerana seorang diplomat itu dianggap tetap berada di negerinya maka ketentuanketentuan Negara penerima tidak berlaku padanya. Memang benar peraturan perundangundangan suatu Negara tidak berlaku terhadap warga negara asing yang tinggal I negaranaya masing-masing. 6 Pada abad ke-16 dan 17 teori exterritoriality ini sangat menonjol dipergunakan bagi pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik, di mana wakil diplomatik dianggap bukan sebagai subyek hukum negara penerima. 7 Sebagai konsekuensi daripada prinsip ini adalah sangat berat untuk dapat diterima karena sukar untuk menyesuaikan diri dengan teori exterritorialty ini. Terbukti dalam hal peraturan lalu lintas jalan raya misalnya, dalam praktiknya sudah diterima secara umum bahwa seorang pejabat diplomatik itu harus tunduk pada peraturan lalu lintas negara setempat. Walaupun dalam negara penerima seseorang mesti berjalan di sebelah kanan, dan peraturan lalu lintas di negara si diplomat mengaharuskan berjalan di sebelah kiri, maka diplomat itu pun harus mengikuti aturan lalu lintas negara setempat, jika tidak ia sendiri akan merasakan akibatnya, misalnya mengalami tabrakan Teori Repersentatif Menurut teori ini baik pejabat diplomatic maupun perwakilan diplomatic mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasistas itulah pejabat negara dan perwakilan diplomatic asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan di negara 6 Ibid Hlm Castel J.G., International Law, dalam Syahmin AK, Op.Cit. hal Syahmin AK, Ibid. hal. 70 7

8 penerima. Memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan kepada pejabat-pejabat diplomatic asing juga berarti bahwa negara penerima menghormati negara pengirim, kebesaran, kedaulatan serta kepala negaranya. Teori ini berasal dari era kerajaan masa lalu dimana negara penerima memberikan semua hak, kebebasan dan perlindungan kepada utusan-utusan raja sebagai penghormatan terhadap raja itu sendiri. 9 Dalam hukum internasional dikenal suatu adagium yang berbunyi Par im parem habet imperium 10, maksudnya suatu negara berdaulat tidak dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap negara berdaulat lainnya. Berkaitan dengan adagium ini, jika seorang agen diplomatik dianggap sebagai perwakilan negara yang mengirimnya (sending state), maka ia kebal atau tidak dapat diberlakukan hukum dan jurisdiksi dari negara yang menerimanya (receiving state). Sehingga dalam teori sifat seorang diplomat sebagai simbol negara, pada hakekatnya pejabat diplomatik dipersamakan dengan kedudukan seorang kepala negara atau negara pengirim yang bersangkutan Teori Kebutuhan Fungional Menurut teori ini hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik dan misi diplomatik hanya didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatic tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar. Dengan memberikan tekanan pada kepentingan fungsi terbuka jalan bagi pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan sehingga daoat diciptakan eseimbangan antara kebutuan negara pengiri dan hak-hak negara penerima. Teori ini kemudian didukung oleh konvensi wina Pembukaan konvensi tersebut dengan jelas menyatakan tujuan hak-hak itimewa dan kekebalan-kekebalan terebut bukan untuk menguntungkan orang perorangan tetapi untuk membantu pelaksanaan yang efisiesn fungsi-fungsi misi diplomatic sebagai wakil negara. 11 Sir Gerald Fitzmaurice, reporter khusus yang ditunjuk oleh Komisi Hukum Internasional untuk merumuskan rancangan Konvensi wina 1961 menyadari bahwa functional theory tidak saja teori yang benar, sebaliknya ia beranggapan bahwa exterritoriality theory tidak akan mendekatkan penyelidikan., demikian pula tanggapan dari anggota-anggota lainnya yang bahkan mengkritik yang cukup tajam. Sehubungan dengan tanggapan-tanggapan tersebut, Komisi 9 Ibid 10 F Ijswara, 1972, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung, dalam Syahmin AK, Ibid. hal Ibid 8

9 Hukum Internasional kemudian membatasi diri memberikan tanggapan terhadap rancangan pasal-pasal mengenai kekebalan dan keistimewaan tanpa adanya ikatan-ikatan: a. Di antara teori-teori yang telah dikemukakan dalam memberikan pertimbangan bagi pengembangan kekebalan dan keistimewaan diplomatik, Komisi Hukum Internasional akan menyinggung exterritoriality theory sesuai anggapan bahwa gedung perwakilan merupakan semacam perluasan dari wilayah negara pengirim, dan representative character theory yang melandasi kekebalan dan keistimewaan diartikan bahwa perwakilan diplomatik melambangkan negara pengirim b. Kini terdapat teori ketiga yang muncul sebagai landasan yang kecenderungannya didukung di dalam masa sekarang yaitu functional necessity theory yang membenarkan bahwa kekebalan dan keistimewaan merupakan keperluan agar perwakilan dapat menunaikan tugas-tugasnya. c. Komisi Hukum Internasional telah menganut teori ketiga ini dalam menyelesaikan masalah-masalah di dalam praktik tidak dapat memberikan keterangan secara jelas, di samping memperhatikan juga sifat perwakilan dari kepala perwakilan dan dari perwakilannya sendiri Landasan Yuridis Didalam perkembangan pergaulan internasional dirasakan perlu dibuat konvensi internasional, yang merupakan dasar hukum tertulis yang umumnya dapat digunakan oleh semua negara secara timbale balik.kecenderungan ini akhirnya menghasilkan Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik.dengan demikian masalah hubungan diplomatik tersebut tidak hanya menurut hukum kebiasaan namun terdapat hukum secara tertulis. Ketentuanketentuan mengenai kekebalan dan keistimewaan pun tidak terlepas masuk dalam hasil 12 Yearbook of the International Law Commision (I.L.C.), 1958, Vol. II, dalam Sumaryo Suryokusumo Ibid. hal

10 konvensi Wina 1961, dimana dapat kita jumpai dalam pasal 22 sampai pasal 31, hal mana dapat dapat diklasifikasi dalam : 1. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan gedung-gedung perwakilan beserta arsip-arsip, kita jumpai dalam pasal 22,24, dan Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pekerjaan atau pelaksanaan tugas wakil diplomatik, kita jumpai dalam pasal-pasal 25, 26, dan Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pribadi wakil diplomatik, kita jumpai dalam pasal-pasal 29 dan31. Selain dari pada Konvensi Wina 1961 juga telah dilakukan pembagian tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik oleh Law Commision, dalam 3 hal yang pokok : 1. Immunities relating to the premises of the mission and to its archives 2. Those concerning the work of the mission 3. Personal immunities and privileges of the envoy6 Mengenai hak-hak diplomatik itu sendiri bukanlah dari hukum internasional itu sendiri melainkan dari hukum kebiasaan internasional.seperti pendapat dari Oppenheim: The privileges which according to International Law, once preserved by envoy are not rights given to them by International La, but rights given by Municipal law of receiving states in compliance with an international right belonging to their home states. However, as right are accorded to the by Municipal Law, the distinctions is without substantial significance Oppenheim, L. MA, International Law, A Treaties, vol. I, peace eight edition, Longmans, green and co Itd, 1958, hal

11 BAB III METODE PENULISAN 3.1 Jenis Metode Penulisan Jenis penulisan ini adalah yuridis normative, yakni didefinisikan sebagai suatu procedural penulisan ilmiah demi menemukan fakta atas logika keilmuan hukum yaitu berdasarkan norma-norma. Dalam penelitian ini penulis menelaah bahan hukum atau data baik primer maupun sekunder untuk menjawab permasalahan yang menjadi fokus penulisan. 3.2 Jenis Bahan Hukum Jenis bahan hukum yang digunakan dlaam penelitian ini adalah data sekunder sebagai data utama, yang terdiri dari : 1. Bahan hukum primer yakni norma-norma hukum meliputi : a. Konvensi Wina tahun 1961 tentang hubunga diplomatic b. Konvensi Wina tahun 1963 tentang hubungan konsuler 2. Bahan hukum sekunder yakni literatur-literatur yang terkait dengan permasalahan yang dikaji yang berasal dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel dan makalah, pendapat ahli dari segi kepustakaan, serta internet. 3. Bahan hukum tersier berupa kamus, yang terdiri dari kamus bahasa Indonesia dan berbagai kamus lain yang dibutuhkan. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data melalui metode literature research, undang-undang, bukubuku, makalah, artiker dalam editorial, media massa, serta situs internet yang sesuai dengan masalah yang dibahas. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumen dan studi pustaka. Studi dokumen mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permalasahan dan studi pustaka adalah cara pengumpulan data melalui identifikasi buku referensi dan media massa seperti Koran, internet serta bahan lain yang relevan denga permasalahan yang diteliti, serta peratauran perundang-undangan, buku, dan arsip lainnya sebagaimana yang berhubungan dengan permasalahan yang ditelaah. Data kemudian diolah hingga menghasilkan suatu analisis deskriptif. 3.4 Teknik Analisis Bahan Hukum 11

12 Seluruh data yang berhasil dikumpulkan, selanjutnya diinveritarisasai, diklasifikasi, dan dianalisis dengan menggunakan yuridis kualitatif, dengan langkah-langkah kategorisasi dan interpretasi. Analisis yuridis kulaitatif tersebut dilakukan melalui penalaran berdasarka logika untuk dapat menarik kesimpulan yang logis, sebelum disusun dalam bentuk karya ilmiah. 12

13 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Kekebalan Diplomatik dalam Hukum Internasional Pejabat diplomatic dan misi-misi diplomatic di suatu negara berada dalam suatu situasi yang khusus. Misi diplomatic tersebut merupakan sarana negara pengirim dalam melakukan tugas-tugas resmi di negara penerima. Keadaan khusus ini berakibat diberikannya kepada pejabat ataupun perwakilan tetap jaminan-jaminan yang memungkinkan atau mempermudah pelaksanaan tugas-tugas perwakilan tersebut. Kemudahan-kemudahan ini diberikan dalam bentuk hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan. Berikut beberapa penjelasan terkait hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik tersebut Kekebalan Pribadi Para pejabat diplomatik tidak boleh diganggu guat dan harus mendapat perlindungan sepenuhnya dari negara penerima. Perlindungan terhadap para pejabat diplomatic terutama kepala perwakilan adalah praktek yang telah berlaku semenjak zaman dahulu. Negara-nega selalu melindungi utusan-utusan asing dari serangan atau gangguan terhadap duta besar yang dapat merusak hubungan kedua negara dan bahkan dapat berakibat perang. Dalam pasal 29 Konvensi Wina : Pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. Mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan dari martabatnya. Perlindungan ini juga dilengkapi dengan jaminan kebebasan bergerak dan bepergian di wilayah negara penerima seperti yang disebutkan dalam pasal 26 Komvensi adalah kewajiban pemerintah di negara akreditasi mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi pejabat diplomatik dari tindakan kekerasan. 14 Seperti juga halnya dengan kantor-kantor perwakilan, terdapat dua aspek kekebalan yaitu kewajiban negara penerima untuk tidak melakukan hak-hak berdaulat terutama hak-hak penegakan hukum dan kewajiban memperlakukan pejabat diplomatic dengan hormat dan 14 Satow s Guide to Diplomatic Practice, Edited by Lord Gore-Booth, Logman, London and New York, 5th Edision 1979, hlm

14 melindungi mereka dari gangguan orang-orang lain serta gangguan terhadap kebebasan dan martabat mereka. 15 Walaupun para diplomat asing disuatu negara dilindungi oleh norma-norma internasional yang terjadi biasanya bukan dari para penguasa tuan rumah tetapi dari tindakantindakan teroris atau kelompok radikal yang menimbulkan suasana ketidaktentraman bagi para diplomat asing yang berada di negara tersebut. Maraknya masalah terorisme ini, serangan, penculikan atau pembunuhan terhadap para diplomat mengakibatkan timbulnya upaya-upaya pembuatan pengaturan-pengaturan konvensional mengingat sifat internasionalnya tindakan-tindakan terorisme tersebut. Atas upaya tersebut ditandatangani Konvensi Washington DC 2 Februari Konvensi tersebut berlaku bagi negara negara benua amerikan (OAS) yang berisikan ketentuan-ketentuan untuk mencegah dan menghukum tindakan terorisme. Atas desakan Sekretaris Jenderal PBB, Majelis Umum menerima satu konvensi dengan jangkauan universal pada tanggal 14 desember 1973, yaitu UN Convention on the prevention and punishment if crimes against internationally protected persons, including diplomatic agents. Sesuai konvensi ini negara tempat pelarian teroris mempunyai kewajiba untuk mengekstradisi teroris tersebut atau menjatuhkan hukuman kepada mereka Kekebalan Yuridiksional Diplomat bebas dari yurisdiksi negara penerima sehubungan dengan masalah kriminal, namun Pasal 32 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bila seorang diplomat melakukan tindakan kriminal di negara akreditasi tentunya tergantung negara pengirim atau kepala perwakilannya untuk menanggalkan kekebalan diplomatik seorang diplomatik. Bila kekebalan itu ditanggalkan maka tidak ada halangan bagi peradilan negara penerima untuk mengadilinya. Penanggalan kekebalan tersebut harus dinyatakan dengan jelas Akibat paling penting dari tidak boleh diganggu gugatnya seorang diplomat adalah haknya bebas dari yurisdiksi negara penerima sehubungan dengan masalah-masalah criminal. Dapatlah dikatakan bahwa kekebalan para diplomat bersifat mutlak dan dalam keadaan apapun mereka tidak boleh diadili ataupu dihukum. Bila seorang diplomat melakukan 15 Boer Mauna.,Ibid hlm Ibid. hlm

15 tindakan criminal di negara akreditasi tentunya tergantung dari pemerintah atau kepala perwakilannya untuk menanggalkan kekebalan diplomatic seorang diplomat. 17 Kalau kekebalan tersebut ditanggalkan tentunya tidak ada halangan bagi peradilan negara oenerima untuk mengadilinya. Bila tidak diadili oleh negara penerima bukan berarti bahwa diplomat tersebut sama sekali bebas dari tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi hukuman oleh peradilan negaranya apalagi hukum pidana kebanyakan negara memberikan wewenang kepada peradilan-peradilannya untuk mengadili dan menghukum kejahatankejahatan yang dilakukan warga negaranya di luar negeri. Bila perbuatan criminal dilakukan seorang diplomat, negara penerima dapat melaporkan peristiwanya kepada pemerintah negara pengirim dan dalam kasus-kasus yang serius dapat memintanya kembali pulang dan diadili sesuai peraturan perundang-undangan negerinya sendiri. Terhadap pelanggaran yang sangat serius misalnya ikut serta berkomplot untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Namun sudah merupakan prinsip yang berlaku secara umum bahwa pejabat diplomatic sama sekali tidak dapat dihukum di negara akreditasi untuk perbuatan criminal yang mungkin dilakukannya. Di samping itu haruslah selalu diingat bahwa kendatipun kebal dari tuntutan hukum, seorang diplomat untuk kepentingannya sendiri dan untuk nama baik negerinya harus mematuhi undang-undang dan peraturan setempat dan tidak terdorong dalam kegiatan-kegiatan yang menjurus pada pelanggaran peraturan-peraturan setempat Pembebesan Pajak Pejabat diplomat bebas dari pungutan pajak yang dilakukan oleh negara penerima, perkecualian untuk pungutan-pungutan lokal seperti penggunaan listrik air dll. Harta benda tak bergerak milik pribadi di negara penerima tetap dikenai pajak. Para pejabat diplomatik tidak membayar pajak di negara akreditasi karena dari segi prinsip, pembayaran pajak merupakan kepatuhan dan keterikatan kepada negara. Pajak-pajak hanya dipungut oleh negara terhadap warga - negaranya dan orang-orang asing bukan diplomat yang berdiam di negara tersebut atas dasar prinsip kedaulatan teritorial. Oleh karena itu, pajak-pajak tidak dapat dikenakan baik terhadap personil diplomatik maupun terhadap gedung perwakilan, kecuali pajak-pajak lokal atau pembayaran jasa-jasa yang diberikan kepada perwakilan. 17 Lihat pasal 32 konvensi wina

16 Dalam pasal 34 konvnsi wina memang berisikan ketentuan mengenai pembebasan pajak seperti pajak barang bergerak atau tidak bergerak, pajak pusat, daerah dan kotapraja, tetapi ketentuan bebas pajak tersebut ditandai dengan banyaknya pengecualian seperti pajak tidak langsug, harta milik pribadi tidak bergerak yang terletak di negara penerima, pajakpajak tanah milik, pajak atas penghasilan pribadi yang bersumber di negara penerima, biaya yang dioungut atas jasa khusus dan biaya pendaftaran, oengadilan atau pencatatan. 18 Masalah bebas pajak ini termasuk hal peka dalam hubungan diplomatic antar negara dan bahkan sering dijadikan pertikaian diplomatic dengan negara tuan rumah menyangkut soal pajak ini Hak Istimewa Anggota Pejabat Diplomatik Hak istimewa dan kekebalan anggota keluarga pejabat diplomatik: Pasal 37 Konvensi Wina 1961 menegaskan bahwa anggota-anggota keluarga dari seorang pejabat diplomatik yang merupakan bagian dari rumah tangga memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan. Hak dan kekebalan tersebut dibatasi kepada anggota keluarga yang berdiam dengan pejabat diplomatik yang bersangkutan. 19 Demikianlah pasal 37 konvensi wina dengan jelas menegaskan bahwa anggotaanggota keluarga dari seorang pejabat diplomatic yang merupakan bagian rumah tangga, memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan. Tentunya dengan pengertian bahwa bagian dari rumah tangga tersebut bukan warga negara penerima. Adalah suatu hal yang normal bila hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan yang dimiliki oleh para pejabat diplomatic berlaku juga kepada istri dan anggot-anggota keluarga mereka. Disepakati bahwa naggota-anggota suatu keluarga dari seorang pejabat diplomatik juga dapat memliki kekebalan-kekebalan tersebut. Tapi perlu diingat bahwa kekebalankekebalan tersebut harus dibatasi kepada anggota-anggota keluarga yang berdiam dengan pejabat diplomatic yang bersangkutan Hak Istimewa dan Kekebalan Anggota Perwakilan lainnya dan Pembantu Rumah Tangga Untuk staf administrasi dan pembantu rumah tangga, selain warga negara penerima juga mendapat hak istimewa dan kekebalan. Status kelompok orang-orang tersebut diatur pada pasal 37 konvensi wina 1961 sebagaimana disebutkan bahwa naggota keluarga pejabat 18 Boer Mauna, Ibid hlm Lihat Konvensi Wina 1961 pasal 37 16

17 diplomatic yang merupakan bagian dari rumah tangga memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan. Selanjutnya anggota-anggota staf administrasi dan teknik dari perwakilan bersama anggota-anggota keluarga mereka memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan-kekbalan kecuali bila kebebasan dari hukum perdata dan tata usaha negara penerima tidak meliputi tindakan-tindakan yang dilakukan di luar tugas mereka. Anggota-anggota staf pemantu perwakilan yang bukan warga neg a setempat memperoleh kekebalan-kekebalan sehuungan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka tugasnya dan juga bebas dari pungutan dalam pajak-pajak atas pendapatan yang mereka terima. Mengenai pembantu rumah tangga anggota-anggota perwakilan dibebaskan dari pungutan pajak juga dapat memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan sejauh diperbolehkan negara penerima. Jelas bahwa anggota-anggota staf administrasi dan teknik bersama keluarga mereka apalagi pembantu-pembantu rumah tangga para staf diplomatic tidak mempunyai hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan penuh seperti yg dimiliki oleh anggota-anggota staf diplomatic beserta keluarga Kekebalan Korespondensi Kekebalan korespondensi adalah kekebalan dari pihak perwakilan asing sesuatu negara yaitu pejabat diplomatiknya untuk mengadakan komunikasi dengan bebas guna kepentingan tujuan-tujuan resmi atau official purposes dari perwakilan asing tersebut, tanpa mendapat halangan yang berupa tindakan pemeriksaan atau tindakan penggeledahan yang dilakukan oleh negara-negara lainnya. Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Dimaksud dengan hak untuk berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk bebas dalam kegiatan surat- menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubunngan komunikasi. Hubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik tersebut dengan pemerintahnya sendiri, dengan pemerintah negara penerima, maupun dengan perwakilan diplomatik asing lainnya. 20 Selanjutnya di dalam pasal 27 ayat 2 Konvensi Wina 1961 ditetapkan bahwa korespondansi didalam arti yang luas atau resmi adalah dinyatakan kebal atau tidak dapat 20 Edy Suryono, dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Bandung, Angkasa, Halaman: 31 17

18 diganggu gugat. Tetapi harus dingat bahwa kebebasan hubungan komunikasi tersebut haruslah dijalankan didalam hubungan yang resmi dan berkaitan dengan misi perwakilan dan fungsinya Kekebalan kantor perwakilan Asing dan tempat kediaman seorang wakil diplomatik Dalam Konvensi Wina 1961 telah dicantumkan mengenai pengakuan secara universal tentang kekebalan diplomatik yang meliputi tempat kediaman dan tempat kerja atau kantor perwakilan pejabat diplomatik. Secara jelas terdapat di dalam pasal 22 dan 30 Konvensi Wina Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas kantor perwakilan dan tempat kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina Namun, hak kekebalan disini diartikan sebagai suatu hak dari gedung perwakilan atau tempat kerja dan tempat kediaman seorang pejabat diplomatik utnuk mendapatkan perlindungan special dari negara penerima, gedung perwakilan dan tempat kediaman dari pejabat diplomatik dinyatakan tidak dapat diganggu gugat atau inviolable Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit. Secara substansial kekebalan para pejabat diplomatik in transit biasanya diberikan. Masalah itu sebelumnya tidak diberikan namun beberapa negara seperti Belanda dan Perancis telah meneytujui untuk memasukkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan masing-masing mengenai perlakuan para diplomat yang ditempatkan di negara tersebut. Didalam Konvensi Wina 1961 telah mengambil pendekatan Fungsional secara tegas dalam memberikan hak kekebalan dan keistimewaan bagi pada diplomat yang berpergian melalui negara ketiga baik menuju atau dari posnya. Negara ketiga hanya wajib memberikan hak tidak diganggu gugatnya dan kekebalan-kekebalan lainnya yang diperlukan dalam rangka menjamin perjalanan diplomat itu dalam transit atau kembali. Hak-hak yang sama juga diperlukan dalam hal anggota keluarga diplomat yang menyertainya atau kepergian secara terpisah untuk bergabung dengannya atau dalam perjalanan kembali ke negaranya. Para diplomat beserta anggota keluarganya yang dalam perjalanan transit juga memperoleh perlindungan khusus dan bebas dari penahanan sesuai dengan haknya yang tidak dapat diganggu-gugat, tetapi dapat pula kepada mereka diadakan tuntutan terhadap perkara perdata 18

19 dengan ketentuan bahwa tuntutan ini tidak melibatkan penahana mereka dan mereka tidak mempunyai keistimewaan seperti bebas dari pemeriksaan koper milik mereka Perjalanan karena force majeure Seorang diplomat diberikan kekebalan terbatas semacam itu tanpa melihat hubungan antara penerima dan pengirim di satu pihak dan negara ketiga di lain pihak. Kewajibankewajiban di dalam ketentuan Konvensi Wina 1961 tersebut dapat diterapkan bahwa dalam hal diplomat itu terpaksa harus transit karena force majeure antara lain adanya pesawat yang dipaksakam harus mendarat dinegara ketiga. Dalam kasus R.v. Governer of Pentoville Prison pada tahun Pengadilan di inggris menolak untuk memberikan kekebalan terhadap proses ekstradisi kepada seorang mata-mata dari Costa Rica yang bernama Dr. Teja, pemegang paspor diplomatik, dimana ia tidak ditempatkan atau tidak menjadi tamu pemerintah sesuatu negara. Penting pula bahwa diplomat harus diangkat oleh pemerintahnya yang pengangkatannya juga diakui oleh negara ketiga Kasus Pelanggaran Kekebalan Diplomatik Kasus Posisi Kasus penahanaan duta besar di Italia bermula dengan terjadinya tuduhan penembakan yang dilakukan marinir Italia yang bernama Salvatore girone dan Missimiliano Latorre terhadap dua orang nelayan India yang bernama, Ajesh Binki dan Valentine alias Gelastine, masing-masing warga tamil nadu dan kerala, yang menyebabkan kematian kedua nelayan India tersebut yang terjadi pada tanggal 25 Februari Kematian kedua nelayan yang dilakukan mariner Italia yang merupakan bagian dari detasemen Perlindungan Kapal Angkatan Laut Italia di atas kapal tanker minyak MV Enrica Lexie, di Zona Tambahan di lepas pantai negara bagian Kerala, selatan India. Melihat kedua nelayannya mati akibat penembakan dari marinir Italia, Pihak India langsung menangkap kedua marinir di kepolisian setempat.penembakan dan penangkapan ini memicu perdebatan antara kedua pemerintahan mengenai tempat persidangan kasus ini Edy Suryono, Op.Cit, Halaman: Ibid. Halaman: selasa, 26 Maret 2016 hal 17 19

20 Mahkamah Agung (MA) India menegaskan bahwa pengadilan negara mereka memiliki yuridiksi untuk mengadili kedua tersangka, hal sama serupa yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) Italia yang juga bersikukuh bahwa kedua warganegaranya itu harus diadili di negaranya sendiri dengan alasan insiden terjadi di wilayah perairan internasional. Sebelum kedua pemerintah Italia dan India menemukan kesepakatan dimana kedua tersangka akan diadili, Duta Besar (DUBES) Italia untuk India, Daniele Mancini meminta kepada India untuk memperbolehkan pulang kedua marinirnya tersebut selama empat pekan untuk melakukan pemilihan umum. Pihak India pun menyepakati permohonan tersebut. Dan sebelumnya India juga memperbolehkan kedua tersangka marinir tersebut untuk menghabiskan natalnya bersama keluarganya dikampung halamannya. 24 Setelah marinir Italia dipulangkan ke negaranya Italia untuk melakukan pemilihan umum, Italia mengumumkan kedua marinir mereka tidak dapat diserahkan kembali ke India sesuai yang sudah dijadwalkan. Hal ini menimbulkan perenggangan hubungan diplomatik antara pemerintah Italia dan India.Italia menuding India telah melanggar kasus perairan, dimana insiden terjadi di wilayah perairan internasional.italia meminta penyelesaian kasus ini melalui jalur internasional.namun pihak India membantah dan meminta kepada pihak Italia untuk menghormati kesepakatan yang telah dilakukan dan mengembalikan kedua tersangka ke India seperti yang telah dijanjikan. Mahkamah Agung India pun mengangkat tentang penghinaan pengadilan kepada Duta Besar Italia yang melanggar janjinya terhadap India, yang membuat India melakukan tindakan pelarang bepergian bagi Duta Besar Italia tanpa persetujuan pihak India. Keputusan yang dibuat pihak India menurut pihak Italia telah melanggar Hukum Internasional terkait kekebalan diplomatic Analisis Kasus Hubungan diplomatik antarnegara-negara didunia harus dijaga, sebab dengan melakukan hubungan diplomatik mendapatkan keuntungan, seperti mempermudah melakukan kerjasama dengan negara lain, meningkatkan persahabatan dengan negara lain, dan lain-lain. 1. Penyebab Merenggangnya Hubungan Diplomatik antara Italia dengan India Mengenai tentang kasus penahanan Duta Besar Italia di India, melihat kasusnya terdapat beberapa aspek, yaitu: 24 diakses 26 maret 2016 pukul 20:13 WIB 25 10http://m.pikiran-rakyat.com/node/ diakses 25 maret 2016 pukul

21 a. Adanya kasus penembakan yang dilakukan kedua marinir Italia yaitu pada saat melakukan tugasnya menjaga kapal tanker milik Italia yang menembak mati kedua nelayan India. Hal yang menambah renggangnya hubungan antarnegara ini adalah ketidaksepakatan tentang dimana akan diadilinya penanganan kasus ini. Para pihak menyatakan alasannya, Italia menyatakan bahwa kedua marinir tersebut melakukan penembakan sebagai perlindungan diri dan mengatakan bahwa nelayan India tersebut bertindak agresif bahkan sudah melakukan tembakan peringatan, namun pihak India membantah dengan menyatakan bahwa nelayan India tersebut tidak memiliki senjata dan menyatakan kejadian masih berada di yuridiksi India sehingga kasus ini harus diadili oleh pengadilan India, India juga menyatakan pernyataan marinir Italia hanya merupakan dalih untuk membenarkan diri mereka. b. Hubungan Diplomatik kedua negara semakin diperburuk dengan adanya pelanggaran perjanjian yang dilakukan Duta Besar Italia terhadap Mahkamah Agung India. Kejadian ini terjadi ketika Duta Besar Italia menjamin dirinya dan melakukan perjanjian kepada pihak India untuk memulangkan sementara waktu kedua marinir tersebut kembali ke Italia untuk melakukan haknya sebagai warga Italia dalam melaksanakan pemilihan umum. India memperbolehkan kedua marinir tersebut pulang kembali ke Italia selama empat pekan dan pemulangan marinir ini juga pernah dilakukan dimana India memperbolehkan kedua marinir ini menghabiskan masa-masa natalnya bersama keluarganya di Italia. Namun ketika waktu dikembalikannya kedua mariner tersebut ke India, Italia menyatakan tidak akan memulangkan kedua marinirnya dengan alasan kejadian tersebut terjadi di perairan Internasional sehingga India tidak memiliki yuridiksi dalam mengadili marinirnya. c. Pelanggaran perjanjian antara Italia dan India membuat ketegangan terjadi antarnegara tersebut. Pihak India pun merespon atas pelanggaran perjanjian yang dilakukan duta besar Italia, India melakukan penahanan terhadap Duta besar Italia dengan tidak boleh meninggalkan India tanpa persetujuan India sampai kedua marinir tersebut dikembalikan ke India. India juga melarang Duta Besarnya Basant Kumar Gupta untuk kembali ke Italia. Tindakan yang dilakukan India mendapat protes dari Italia yang menyatakan India telah melakukan pelanggaran Konvensi Wina 1961 pasal 29, yaitu: The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall no beliable to any form of arrest or detention. The receiving 21

22 State shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity. (agen diplomatik tidak dapat diganggu gugat (inviolabel). Ia tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk apapun dari penahanan atau penangkapan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan hormat dan harus mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap badannya, kebebasannya atau martabatnya.) India berpendapat bahwa Duta Besar Italia telah menanggalkan kekebalan dan keistimewaan Diplomatiknya ketika melakukan perjanjian dengan - India. 2. Aturan Konvensi Wina 1961 yang dilanggar - Konvensi Wina 1961 pasal 29, yaitu The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall no beliable to any form of arrest or detention. The receiving State shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity. (agen diplomatik tidak dapat diganggu gugat (inviolabel). Ia tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk apapun dari penahanan atau penangkapan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan hormat dan harus mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap badannya, kebebasannya atau martabatnya.) - Konvensi Wina 1961 pasal 31 ayat 1, yaitu: seorang pejabat diplomatik kebal dari yuridiksi pidana negara penerima. - Konvensi Wina 1961 pasal 31 ayat 1, yaitu: He shall also enjoy immunity from its civil and administrative jurisdiction - Konvensi Wina 1961 pasal 32 ayat 1dan 2, yaitu: 1. The immunity from jurisdiction of diplomatic agents and of persons enjoying immunity under article 37 maybe waived by the sending state Waiver must always be express. - Konvensi Wina 1961 pasal 41, yaitu tanpa mengurangi kekebalan dan keistimewaan diplomatik mereka, merupakan kewajiban bagi semua orang yang menikmati kekebalan dan keistimewaan untuk menghormati peraturan-peraturan perundangundangan negara penerima. Bahkan mereka juga berkewajiban untuk tidak mencampuri masalah-masalah dalam negeri tuan rumah. 22

23 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Pejabat diplomatic dan misi-misi diplomatic di suatu negara berada dalam suatu situasi yang khusus. Misi diplomatic tersebut merupakan sarana negara pengirim dalam melakukan tugas-tugas resmi di negara penerima. Keadaan khusus ini berakibat diberikannya kepada pejabat ataupun perwakilan tetap jaminan-jaminan yang memungkinkan atau mempermudah pelaksanaan tugas-tugas perwakilan tersebut. Kemudahan-kemudahan ini diberikan dalam bentuk hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan. Berikut beberapa penjelasan terkait hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik tersebut Hubungan diplomatik antarnegara-negara didunia harus dijaga, sebab dengan melakukan hubungan diplomatik mendapatkan keuntungan, seperti mempermudah melakukan kerjasama dengan negara lain, meningkatkan persahabatan dengan negara lain, dan lain-lain 23

24 Daftar Pustaka Boer Mauna ; 2013 ; Hukum Internasional Pengertian PEranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global ; Alumni ; Bandung; F Ijswara, 1972, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung. Satow s Guide to Diplomatic Practice, Edited by Lord Gore-Booth, Logman, London and New York, 5th Edision 1979 Sumaryo Suryokusumo, 1995, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Penerbit Alumni, Bandung, Oppenheim, L. MA, International Law, A Treaties, vol. I, peace eight edition, Longmans, green and co Itd, 1958 Edy Suryono, dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Bandung, Angkasa, 1991 Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik 24

PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DUTA BESAR ITALIA YANG DITAHAN DI INDIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASONAL JURNAL

PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DUTA BESAR ITALIA YANG DITAHAN DI INDIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASONAL JURNAL PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DUTA BESAR ITALIA YANG DITAHAN DI INDIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASONAL JURNAL Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan diplomatik merupakan hal yang penting untuk dijalin oleh sebuah negara dengan negara lain dalam rangka menjalankan peran antar negara dalam pergaulan internasional.

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang lingkupnya, hukum dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu negara tidak pernah dapat berdiri sendiri dan menjadi mandiri secara penuh tanpa sama sekali berhubungan dengan negara lain. Negaranegara di dunia perlu melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama, sebab negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana PENGUJIAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DAN KONSULER AMERIKA SERIKAT BERDASARKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 673K/PDT.SUS/2012) Oleh Luh Putu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen menempati wilayah tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. Keadulatan ini berupa kekuasaan yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa mengadakan hubungan internasional dengan negara maupun subyek hukum internasional lainnya yang bukan negara.

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER A. Sejarah Hukum Diplomatik Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus tenggelamnya kapal penangkap ikan Oryong 501 milik Korea Selatan pada Desember tahun 2014 lalu, menambah tragedi terjadinya musibah buruk yang menimpa

Lebih terperinci

Pada waktu sekarang hampir setiap negara. perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini. perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan

Pada waktu sekarang hampir setiap negara. perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini. perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan 1 A. URAIAN FAKTA Pada waktu sekarang hampir setiap negara perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini mempunyai dikarenakan perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan efektif dalam mengadakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingankepentingan. negara-negara. Biasanya ketentuan-ketentuan hukum

BAB I PENDAHULUAN. berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingankepentingan. negara-negara. Biasanya ketentuan-ketentuan hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teori yang menyatakan negara adalah subyek hukum internasional karena hanya negara yang punya hak dan kewajiban yang diatur hukum internasional kata Kelsen.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia untuk melakukan hubungan internasional.

BAB I PENDAHULUAN. dunia untuk melakukan hubungan internasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan Perkembangan hubungan antara satu negara dengan negara yang lain dewasa ini sudah semakin pesat. Hubungan tersebut disebut dengan hubungan internasional.

Lebih terperinci

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2 PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA 1961 1 Oleh : Windy Lasut 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana terjadinya pelanggaran yang

Lebih terperinci

BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA

BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA A. Macam-macam perwakilan negara Dewasa ini hampir setiap negara yang berdaulat selalu mengadakan hubungan dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga apabila kita substitusikan kepada

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga apabila kita substitusikan kepada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adalah suatu menjadi pendapat umum bahwa hakekat manusia itu adalah sebagai kepribadian dan masyarakat.dua unsur eksistensi ini merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan Organisasi Internasional itu sendiri, yang sudah lama timbul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penjelasan umum Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang pengesahan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai hubungan Diplomatik beserta protokol

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan 30.

BAB III PENUTUP. Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan 30. 39 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun 1961 mengatur secara umum tentang perlindungan Misi Diplomatik baik dalam wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

IMPLIKASI TERHADAP HUBUNGAN DIPLOMATIK NEGARA PENGIRIM DAN NEGARA PENERIMA ATAS TINDAKAN PENANGGALAN KEKEBALAN (IMMUNITY WAIVER)

IMPLIKASI TERHADAP HUBUNGAN DIPLOMATIK NEGARA PENGIRIM DAN NEGARA PENERIMA ATAS TINDAKAN PENANGGALAN KEKEBALAN (IMMUNITY WAIVER) SKRIPSI IMPLIKASI TERHADAP HUBUNGAN DIPLOMATIK NEGARA PENGIRIM DAN NEGARA PENERIMA ATAS TINDAKAN PENANGGALAN KEKEBALAN (IMMUNITY WAIVER) KEPADA PEJABAT DIPLOMATIK SUATU NEGARA (Study Kasus Penanggalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan Diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara negara satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing negara, hal ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA Oleh I. Gst Ngr Hady Purnama Putera Ida Bagus Putu Sutama

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG Oleh : Airlangga Wisnu Darma Putra Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada

BAB I PENDAHULUAN. Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia untuk mengadakan berbagai penelitian mengenai penyakit menular. Program

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015. PERLINDUNGAN TERHADAP DIPLOMAT DARI SERANGAN TERORIS 1 Oleh: Lidya Rosaline Kaligis 2

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015. PERLINDUNGAN TERHADAP DIPLOMAT DARI SERANGAN TERORIS 1 Oleh: Lidya Rosaline Kaligis 2 PERLINDUNGAN TERHADAP DIPLOMAT DARI SERANGAN TERORIS 1 Oleh: Lidya Rosaline Kaligis 2 ABSTRAK Setiap negara memiliki berbagai kebutuhan dan kepentingan sehingga diperlukan suatu hubungan antarnegara yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DUTA BESAR ITALIA YANG DITAHAN DI INDIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI

PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DUTA BESAR ITALIA YANG DITAHAN DI INDIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DUTA BESAR ITALIA YANG DITAHAN DI INDIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor I Februari 2016.

JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor I Februari 2016. ANALISIS YURIDIS PROSES HUKUM TERHADAP PEJABAT DIPLOMATIK YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DI NEGARA PENERIMA (STUDI KASUS ASUSILA PEJABAT DIPLOMAT MALAYSIA DI WELLINGTON, SELANDIA BARU) Nama: Ruth

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. rangka berinteraksi dengan negara-negara lain. Pola interaksi hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. rangka berinteraksi dengan negara-negara lain. Pola interaksi hubungan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan Internasional sangat diperlukan oleh suatu negara dalam rangka berinteraksi dengan negara-negara lain. Pola interaksi hubungan internasional tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

SUAKA DIPLOMATIK DALAM KAJIAN HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Lucia Ch. O. Tahamata

SUAKA DIPLOMATIK DALAM KAJIAN HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Lucia Ch. O. Tahamata 1 SUAKA DIPLOMATIK DALAM KAJIAN HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Lucia Ch. O. Tahamata ABSTRACT Asylum problem is oftentimes assumed to represent the political problem, though represent the law problem special

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, pembentukan dan implementasi kebijakan luar negeri. Diplomasi adalah instrumen negara melalui

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan subjek utama hukum internasional, hukum internasional mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum internasional

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: State, Diplomatic Relation, Vienna Convention 1961, United Nation

ABSTRACT. Keywords: State, Diplomatic Relation, Vienna Convention 1961, United Nation TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KERUSAKAN GEDUNG PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH KONFLIK (STUDI KASUS KERUSAKAN GEDUNG DIPLOMATIK REPUBLIK INDONESIA DI YAMAN) Oleh: I Gusti Ngurah Artayadi Putu Tuni Cakabawa

Lebih terperinci

SATU AN AC AR A PERKULIAH AN A. IDENTITAS MAT A KULIAH

SATU AN AC AR A PERKULIAH AN A. IDENTITAS MAT A KULIAH SATU AN AC AR A PERKULIAH AN A. IDENTITAS MAT A KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM DIPLOMATIK & KONSULER STATUS MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KODE MATA KULIAH : HKI 4014 JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : HUKUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan hidup di dunia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang memberikan pengertian bahwa manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan

Lebih terperinci

BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK

BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK A. Sejarah Hubungan Diplomatik Meningkatnya kerja sama antar negara dalam menggalang perdamaian dunia

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. I/No. 5/September/2013. Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2005, Hal 513

Lex et Societatis, Vol. I/No. 5/September/2013. Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2005, Hal 513 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WILAYAH KEDUTAAN NEGARA ASING SEBAGAI IMPLEMENTASI HAK KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN DIPLOMATIK 1 Oleh : Adhitya Apris Setyawan 2 ABSTRAK Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional adalah hukum atau peraturan yang berlaku diluar dari wilayah suatu negara. Secara umum, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883-188) tentang

Lebih terperinci

: Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si. Memahami Diplomasi

: Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si. Memahami Diplomasi Mata Kuliah Dosen : Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si Memahami Diplomasi Pada masa kini dengan berkembang luasnya isu internasional menyebabkan hubungan internasional tidak lagi dipandang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA

Lebih terperinci

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992 ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992 (Sebagaimana Telah Diratifikasi dengan UU No.8 Th 1994, 2 Nopember 1994) A. PENGERTIAN EKSTRADISI Perjanjian Ekstradisi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian-pengertian 2.1.1 Pengertian Peranan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang dilakukan dalam suatu peristiwa. Peranan

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, Memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumen-instrumen

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi istilah diplomat, diplomasi, dan diplomatik. 1 Pada jaman Romawi

BAB I PENDAHULUAN. menjadi istilah diplomat, diplomasi, dan diplomatik. 1 Pada jaman Romawi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah diploma berasal dari bahasa Latin dan Yunani yang dapat diartikan sebagai surat kepercayaan. Perkataan diplomasi kemudian menjelma menjadi istilah diplomat,

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, pelaksanaan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59 REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA: Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP WARGA NEGARA ASING (KASUS TKW KARTINI DI UNI EMIRAT ARAB DAN RUYATI DI ARAB SAUDI)

KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP WARGA NEGARA ASING (KASUS TKW KARTINI DI UNI EMIRAT ARAB DAN RUYATI DI ARAB SAUDI) KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP WARGA NEGARA ASING (KASUS TKW KARTINI DI UNI EMIRAT ARAB DAN RUYATI DI ARAB SAUDI) Dian Purwaningrum Soemitro Latar Belakang Status Warga Negara

Lebih terperinci

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA Menurut Konvensi Montevideo tahun 1933, yang merupakan Konvensi Hukum Internasional, Negara harus mempunyai empat unsur konsititutif, yaitu : a. Harus ada penghuni (rakyat,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja sama dalam berbagai bidang. 1. hubungan luar negeri melalui pelaksanaan politik luar negeri. 4

BAB I PENDAHULUAN. kerja sama dalam berbagai bidang. 1. hubungan luar negeri melalui pelaksanaan politik luar negeri. 4 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia yang makin lama makin maju sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara global, serta meningkatnya interaksi dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci