BAB I PENDAHULUAN. Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia untuk mengadakan berbagai penelitian mengenai penyakit menular. Program Namru-2 melakukan pengembangan penyakit-penyakit tropis untuk kepentingan kesehatan dan keamanan anggota angkatan laut dan marinir AS. Program Namru-2 adalah percobaan vaksin malaria, demam berdarah dan Hepatitis E termasuk juga mengembangkan breeding colony nyamuk malaria dan demam berdarah. Namru-2 juga mendirikan laboratorium lapangan di Jayapura yang memfokuskan pengembangan nyamuk malaria. 1 Laboratorium Namru-2 sudah berada di Indonesia sejak 1975 berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan AS 16 Januari 1970.yang ditandatangani oleh Menteri Kesehatan RI saat itu, GA Siwabessy dengan Duta Besar Amerika Serikat saat itu, Francis Galbraith. Kemudian pejanjian itulah yang dijadikan landasan hukum bagi NAMRU 2 tetap berada di Indonesia sekalipun tidak ada lagi wabah penyakit menular ataupun Indonesia tidak lagi membutuhkan bantuannya. Kedudukan Namru-2 awalnya di Taipei pada tahun 1955 sedangkan Namru-1 berada di Brooklyn, AS, dan Namru-3 berada di Kairo, Mesir. Keberadaan 1. tanggal akses 1 November 2008, pukul

2 Namru-2 di Indonesia sebagai akibat terjadinya wabah penyakit pes di Boyolali 1968 dan karena pemerintah Indonesia belum mampu menanggulangi wabah tersebut maka pemerintah Indonesia meminta bantuan AS. 2 Unit riset Namru-2 di Jakarta adalah detasemen di bawah Komando Namru-2 yang berada di Taipei dan secara administrasi merupakan bagian dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Pada 1979 akibat konflik RRC dengan Taiwan sehingga terjadi perubahan hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dengan Taiwan maka pusat Namru-2 dipindahkan ke Filipina. Pada 1992 dengan berakhirnya pangkalan militer AS di Filipina, pusat Namru-2 dipindahkan ke Jakarta dan unit riset berubah dari bentuk detasemen menjadi komando dan menangani penelitian di kawasan Asia seperti di Kamboja,Vietnam, Filipina,Laos,Singapura,Malaysia,Jepang dan Korea yang dipimpin oleh seorang Kolonel Angkatan Laut Amerika Serikat. 3 Dalam Konvensi Wina 1961 pasal 3 angka 1 disebutkan Tugas-tugas suatu perwakilan diplomatik antara lain adalah : a). Mewakili Negara pengirim di Negara penerima ; b). Melindungi kepentingan Negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di Negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional ; c). Melakukan perundingan dengan Pemerintah Negara penerima ; 2 Ibid 3. Ibid 2

3 d). Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan di Negara penerima dan melaporkannya kepada Pemerintah Negara pengirim ; e). Meningkatkan hubungan persahabatan antara Negara pengirim dan Negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. 4 Selain itu dalam Konvensi Wina 1961 juga mengatur tentang pemberian hak imunitas dan hak-hak istimewa yang lain bagi para pejabat diplomatik, hal tersebut diatur dalam pasal 29, yang berbunyi : 5 Pejabat diplomatik harus tidak boleh diganggu gugat. Ia tidak boleh ditangkap dan dikenakan penahanan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan penuh hormat dan harus mengambil langkahlangkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kemerdekaan dan martabatnya. Dalam Konvensi Wina 1961 pasal 30 juga mengatur tentang 6 : 1. Kediaman pribadi pejabat diplomatik tidak boleh diganggu-gugat dan harus memperoleh perlindungan seperti halnya dengan wisma perwakilan ; 2. Surat-surat, surat-menyurat dan terkecuali sebagaimana yang dicantumkan 4 Konvensi Wina 1961, pasal 3 angka 1 5 Ibid, pasal 29 6 Ibid, pasal 30 3

4 dalam ayat 3, pasal 31, harta miliknya juga tidak boleh diganggu-gugat. Sedangkan pasal 31 Konvensi Wina 1961 mengatur tentang 7 : 1. Pejabat Diplomatik harus kebal dari kekuasaan hukum pidana Negara penerima. Ia juga kebal dari kekuasaan hukum perdata dan acara, kecuali dalam hal : a). Suatu tindakan nyata yang berhubungan dengan harta milik pribadi tidak bergerak yang terletak di wilayah Negara penerima, kecuali harta milik tersebut ia kuasai atas nama Negara pengirim untuk keperluan perwakilan ; b). Suatu tindakan yang berhubungan dengan suksesi, dimana pejabat diplomatik tersebut terlibat sebagai penyita, pewaris atau ahli waris sebagai perorangan dan tidak atas nama Negara pengirim ; c). Suatu tindakan yang berhubungan dengan setiap kegiatan profesi dan niaga yang dilakukan oleh pejabat diplomatik di Negara penerima di luar kedudukan resminya. 2. Seorang pejabat diplomatik tidak diwajibkan untuk memberikan keterangan sebagai saksi ; 3. Tidak ada pelaksanaan hukuman yang dapat diambil terhadap seorang pejabat diplomatik kecuali dalam kasus sebagaimana tersebut dalam sub-sub 7 Ibid, pasal 31 4

5 ayat a), b) dan c) dari angka 1 pasal ini dan dengan syarat bahwa tindakan tersebut dapat dilaksanakan tanpa mengganggu-gugat baik diri maupun kediamannya ; 4. Kekebalan seorang pejabat diplomatik dari kekuasaan hukum Negara penerima tidak membebaskannya dari kekuasaan hukum Negara pengirim. Selain itu Pemerintah Indonesia juga memiliki peraturan perundanga-undangan yang mengatur tentang pemberian kekebalan dari kekuasaan hukum dan hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri terutama pasal yang berkaitan dengan pemberian kekebalan kepada orang asing yaitu pasal 16 Undang-Undang No 37 Tahun 1999 yang berbunyi 8 : Pemberian kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan dari kewajiban tertentu kepada perwakilan diplomatik dan konsuler, misi khusus, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, perwakilan badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Internasional lainnya, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional. Sedangkan pasal 17, Undang-undang No.37 Tahun 1999 mengatur tentang 9 : 8 Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, pasal 16 9 Ibid, pasal 17 5

6 1. Berdasarkan pertimbangan tertentu, Pemerintah Republik Indonesia dapat memberikan pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihakpihak yang tidak ditentukan dalam pasal 16 ; 2. Pemberian pembebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan berdasar pada peraturan perundang-undangan nasional. Setelah kita mengetahui,tentang siapa saja yang berhak mendapatkan hak imunitas dalam Konvensi Wina 1961 serta berdasarkan fungsi Diplomatik menurut Konvensi Wina 1961 menarik kiranya untuk dikaji lebih mendalam tentang pemberian hak imunitas kepada staf Namru-2 dalam perspektif Konvensi Wina B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. siapa saja yang berhak mendapatkan hak imunitas menurut Hukum Internasional? 2. Apakah pemberian imunitas kepada staf NAMRU- 2 sudah tepat menurut Hukum Internasional? C. MAKSUD DAN TUJUAN Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan rumusan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui dan memahami siapa saja yang berhak mendapatkan imunitas menurut Hukum Internasional. 6

7 2. Mengetahui dan memahami apakah pemberian imunitas staf NAMRU-2 sudah tepat menurut Hukum Internasional. D. TINJAUAN PUSTAKA Dalam Hukum Internasional, hubungan antar bangsa terbukti sudah ada sejak zaman purbakala. Hal ini dapat ditelusuri lewat peninggalan sejarah, baik berupa tulisan, bangunan, petilasan, baik yang tersimpan dalam museum maupun yang terhampar di beberapa bagian dunia. Hubungan antar bangsa tersebut, dilihat dari perspektif kesejarahan, sudah cukup tua. Hubungan tersebut terkait antar bangsa, kelompok, suku, individu, yang bersifat kesepakatan longgar dan kebanyakan non formal. 10 Sejak abad pertengahan, kecenderungan hubungan yang bersifat internasional semakin nyata, benih dan asas hukum internasional semakin berkembang, terutama di bidang perdagangan dan maritim. 11 Hubungan antar kelompok, suku maupun negara, waktu itu, sering menggunakan cara kekuatan maupun penekanan dari satu suku kepada suku yang lain, satu negara ke negara yang lainnya. Hal ini masih merupakan bagian dari proses historik, yang berlangsung cukup lama. Masuknya pemikiran di bidang sosial kemasyarakatan serta penemuan-penemuan baru, menyebabkan tata nilai/susunan dan hubungan 10 A.Masyhur Effendi,SH.MS., Hukum Diplomatik Internasional ( Hubungan Politik Bebas Aktif Asas Hukum Diplomatik Dalam Era Ketergantungan Antar Bangsa ), Usaha Nasional,Surabaya, 1992, hlm A. Masyhur Effendi. SH.MS, Op.cit, hlm 12 7

8 kemasyarakatan, sikap maupun pemikiran mengalami perkembangan, perubahan serta kemajuan. Dalam proses yang cukup panjang pula, ketentuan ketentuan yang ada kaitannya dengan hubungan antar negara mengalami banyak kemajuan dan perbaikan. Dalam proses menuju hubungan antar bangsa yang lebih berkeadilan/bersamaan, sering terjadi konflik/ perang besar antar negara-negara yang ada. 12 Sedangkan proses perkembangan hukum internasional khusus bidang diplomatik, embrio pembentukan perwakilan konsuler/diplomatik sejak berakhirnya perang salib, pada waktu itu banyak sekali orang-orang Eropa berada di Timur Tengah. Dalam melakukan hubungan dengan bangsa-bangsa lain, diangkatlah seorang pemimpin/ketua. Semakin banyak orang-orang Eropa berada di Timur Tengah dalam wilayah yang dikuasai Kesultanan Turki dengan sistem hukum dan budaya yang berbeda pula, peranan seorang atau beberapa orang sebagai perantara atau pemimpin, semakin penting, banyak perjanjian-perjanjian yang dihasilkan terutama di bidang perdagangan. Dalam abad ke 17, selain konsul, perkembangan bidang diplomatik semaikin pesat, terutama sesudah perdamaian West Phalia. 13 Proses hubungan antar negara nasional di Eropa semakin berkembang, sehingga hukum internasional semakin penting. Hal ini merupakan salah satu indikasi awal tumbuhnya abad modern, terutama setelah penemuan Amerika pada tahun 1492 dan reformasi, khususnya dalam tata hubungan dan aturan di gereja. Dalam banyak hal, 12 A.Masyhur Effendi. SH.MS, Op.cit, hlm A.Masyhur Effendi. SH.MS, Op.cit,hlm 14 8

9 dalam hubungan internasional, hukum gereja menjadi semakin lemah dan hukum internasional semakin kuat. Proses sekularisasi hukum internasional dan hubungan antar negara tersebut tampak pula pada beberapa pemikir di bidang hukum internasional pada abad pertengahan, antara lain : 1. Fransisco Suarez ( ), menekankan, hukum internasional adalah hukum yang berlaku adalah hukum yang berlaku untuk seluruh manusia atas dasar hukum manusia demi kesejahteraan bersama. Lewat pandangan tersebut akan tercipta hubungan antar negara yang harmonis. Hal ini dapat tercapai hanya lewat kesepakatan bersama antar negara dan sekaligus merupakan dasar hukum internasional itu sendiri. 2. Alberico Gentili ( ), membahas tentang peranan dan tugas seorang duta. Duta dalam porsinya sebagai wakil resmi negara pengirim harus ditempatkan secara benar sebagai wakil dan tidak usah sebagai mata-mata. Karenanya seorang duta perlu mempunyai hak kekebalan dan istimewa. Hakhak tersebut merupakan alat atau sarana untuk memperlancar tugas-tugasnya dan memperbesar rasa tanggung jawabnya. 14 Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak mempunyai dampak terhadap peri-hubungan antar negara dan perkembangan anggota masyarakat internasional dengan laju pertumbuhan negara-negara yang baru merdeka maka dirasakan adanya tantangan untuk mengembangkan lagi kodifikasi Hukum 14 A. Masyhur Effendi. SH.MS, Op.cit, hlm 15 9

10 Diplomatik secara luas. Pengembangan itu bukan saja ditujukan untuk memperbaharui tetapi juga dalam rangka melengkapi prinsip-prinsip dan ketentuan Hukum Diplomatik yang ada. Memang sebelum didirikannya Perserikatan Bangsa- Bangsa perkembangan kodifikasi hukum diplomatik tidak begitu pesat. 15 Pada abad ke-16 dan 17 dalam pergaulan masyarakat, negara sudah dikenal semacam misi-misi konsuler dan diplomatik dalam arti yang sangat umum seperti yang dikenal sekarang. Praktik dan kebiasaan itu kemudian oleh para pakar hukum seperti Grentilis,Grotius sampai kepada Bynkershoek dan Vattel telah dirumuskan dalam sejumlah peraturan yang lambat laun menjadi norma-norma dalam hukum diplomatik dan konsuler. Bahkan beberapa peraturan diantaranya sudah mulai diundangkan sebagai hukum nasional seperti halnya yang terjadi di Inggris dimana telah ditetapkan Undang-Undang tentang Kekebalan dan Keistimewaan melalui Queen Ann tahun Beberapa peraturan lainnya juga telah dimasukan dalam perjanjian internasional, khususnya peraturan-peraturan yang berhubungan dengan konsuler yang sudah dilakukan sejak akhir abad ke-18. Sejak Kongres Wina 1815, para anggota diplomatik telah diberikan penggolongan dan beberapa tata cara sementara telah pula dibicarakan, namun tidak ada suatu usaha untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum diplomatik dalam suatu kodifikasi yang dapat diterima secara luas oleh masyarakat internasional. Peraturan yang telah disetujui oleh Kongres 15.Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 1992, hlm 6 10

11 hanyalah didasarkan atas hukum kebiasaan internasional dan juga diambil dari prakrik-praktik yang kemudian diberlakukan dikalangan negara-negara. 16 Sampai dengan tahun 1815, peraturan-peraturan yang mengatur tentang pergaulan diplomatik terutama didasarkan hukum kebiasaan internasional dengan didukung oleh praktik-praktik yang ditemukan dalam hubungan antarnegara. Penggolongan pangkat diplomatik yang telah disetujui dalam Kongres Wina 1815 yang kemudian mengalami perubahan dengan disetujuinya suatu protokol Aix-la- Chapelle tahun 1818 kenyataannya tidaklah menambah aturan-aturan yang sudah ada. 17 Kongres Wina 1815 telah dapat meletakan dasar dalam diplomasi modern seperti penggolongan Kepala Perwakilan Diplomatik serta aturan-aturan lainnya yang telah dianut secara umum oleh negara-negara dengan sedikit perubahan. Penggolongan tersebut telah ditetapkan menurut kedudukan dan fungsinya. Dalam Kongres Wina 1815 penggolongan Kepala Perwakilan Diplomatik tersebut telah ditetapkan sebagai berikut : (i) Duta-duta Besar dan para Utusan ( Ambassadors and Legates ) (ii) Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Luar Biasa ( Minister Plenipotentiary and Envoys Extraordinary ) 16 G.VG. Krishnamurty, Modern Diplomacy, Dialectic and Dimensions, First Edition, Bhupender Sagar, New Delhi ( 1980 ), hlm Gerhard von Glahn, Law Among Nations, An Introduction to Public International Law, Second Edition, Mac Millan Publishing Co, Inc, New York, 1970, hlm

12 (iii) Kuasa Usaha ( Charge d affaires ) 18 Dalam Kongres Aix-la-Chapelle 1818, penggolongan itu telah ditambahkan lagi dengan Minister Resident sebagai golongan ketiga. Dengan demikian, telah disusun suatu penggolongan baru sebagai berikut : (i) Ambassadors and Legates ; golongan pertama ini merupakan penggolongan pertama dalam wakil-wakil diplomatik dan mereka ini adalah para wakil dari negara-negara yang sepenuhnya berdaulat. Mereka diangkat sebagai Duta Besar dari negara masing-masing, sedangkan wakil yang diangkat oleh Pope disebut Legates. (ii) Minister Plenipotentiary and Envoys Extraordinary ; keduanya merupakan wakil diplomatik tingkat dua dan jika dibandingkan dengan golongan pertama, mereka menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang agak berkurang. (iii) Minister Residents ; golongan ketiga ini yang ditambahkan dalam Kongres Aix-la-Chapelle 1818 dan dalam Konvensi Wina 1961 golongan ini tidak dimasukan lagi. (iv) Charge d affaires ; wakil dalam golongan ini tidaklah diangkat oleh Kepala Negara melainkan oleh Menteri Luar Negeri dari negaranya. 19 Untuk mengadakan kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik selanjutnya dilakukan pada tahun 1927 tatkala Liga Bangsa-Bangsa membentuk suatu komite ahli 18 Kongres Wina 1815, Peraturan Mengenai Penggolongan Wakil-wakil Diplomatik 19 S.K. Kapoor, International Law, Fifth Edition Central Law Agency, India, 1982,hlm

13 yang bertugas untuk membahas kodifikasi kemajuan hukum internasional termasuk hukum diplomatik. Kemudian komite ahli melaporkan kepada Dewan Liga Bangsa- Bangsa tentang perlunya masalah yang berkaitan dengan hukum diplomatik yang meliputi berbagai aspek dalam pergaulan diplomatik antarnegara diatur secara internasional. Namun kemudian, Dewan tidak dapat menerima rekomendasi yang diajukan oleh komite ahli tersebut dan karena itu diputuskan untuk tidak memasukkan masalah yang sama dalam agenda Konferensi Den Haag yang diadakan pada tahun 1930 untuk membahas kodifikasi hukum internasional. Di lain pihak, Konferensi Keenam Negara-negara Amerika yang diadakan di Havana tahun 1928 justru telah membahas masalah yang berkaitan dengan hukum diplomatik sebagai masalah penting. Konferensi Havana kemudian menyetujui dua konvensi, pertama ; Convention on Diplomatic Officers, dan yang kedua Convention on Consular Agents. Konvensi pertama kemudian diratifikasi oleh 14 negara Amerika, sedangkan Amerika Serikat walaupun telah menandatangani tetapi tidak meratifikasinya, karena tidak setuju dengan diamsukannya ketentuan-ketentuan tentang pemberian suaka diplomatik. Dengan demikian Konferensi Havana itu dianggap bukan hanya sebagai perintis tetapi juga telah berhasil dalam mengadakan usaha-usaha pendahuluan yang sangat penting dalam rangka kodifikasi hukum diplomatik. 20 Pada tahun 1932 telah pula dikeluarkan Harvard Research Draft Convention on Diplomatic Privileges and Immunities. Walaupun dokumen Harvard ini mempunyai 20 G.V.G Krishnamurty, Op.Cit, hlm

14 pengaruh yang besar dan cukup menyakinkan, tetapi kurang mendorong Negaranegara untuk menyesuaikan ketentuan dalam perundang-undangan nasional masingmasing karena masih terdapat beberapa perbedaan. 21 Setelah PBB didirikan dalam tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk Komisi Hukum Internasional. Dari tahun 1949 hingga 1979 Komisi telah menangani 27 topik dan subtopik hokum internasional, 7 diantaranya menyangkut hokum diplomatik, yaitu : (i) (ii) (iii) Pergaulan dan Kekebalan Diplomatik; Pergaulan dan Kekebalan Konsuler; Misi-misi Khusus; (iv) Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional ( Bagian I ); (v) Masalah Perlindungan dan diganggu gugatnya para Pejabat Diplomatik dan orang-orang lainnya yang berhak memperoleh Perlindungan Khusus menurut Hukum Internasional; (vi) Status Kurir Diplomatik dan Kantong Diplomatik yang tidak diikutsertakan pada Kurir Diplomatik; (vii) Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional. 22 Dan untuk pertama kalinya, pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan 21. Sumaryo Suryokusumo, Op.cit, hlm Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit, hlm 12 14

15 dan pergaulan diplomatik telah digariskan secara rinci. Akhirnya setelah melalui perjalanan panjang selama 12 tahun, Konferensi berkuasa penuh (Plenipotentiary Conference) yang diadakan di Wina, Austria pada tanggal 2 Maret-14 April 1961 telah mengesahkan suatu konvensi dengan judul Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik pada tanggal 18 April E. DEFINISI OPERASIONAL Guna memberikan arah pada penelitian ini terdapat beberapa definisi operasional lain sebagai berikut: 1. Imunitas adalah kekebalan dari kekuasaan hukum Negara dimana Duta Besar atau seorang Diplomat tersebut ditugaskan hal tersebut ditegaskan dalam Konvensi Wina 1961 pasal 29 yaitu : Pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat. Ia tidak boleh ditangkap dan dikenakan penahanan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan penuh hormat dan harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kemerdekaan dan martabatnya. 24 Dengan kata lain para pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat dan harus mendapat perlindungan sepenuhnya dari Negara penerima. Perlindungan terhadap para pejabat diplomatik terutama kepala perwakilan adalah praktek yang telah berlaku semenjak dulu. Negara- negara selalu melindungi utusan-utusan asing dari serangan atau gangguan terhadap seorang duta besar yang dapat merusak hubungan 23. Sumaryo Suryokusumo, Op.cit,hlm Konvensi Wina 1961, pasal 29 15

16 kedua Negara dan bahkan dapat berakibat perang. Duta besar beserta stafnya bukan merupakan orang-orang asing biasa, tetapi mewakili Negara mereka dan oleh karena itu Negara penerima berkewajiban memberikan segala macam kemudahan dan perlindungan fisik kepada mereka. Negara penerima mempunyai kewajiban membuat peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan untuk melindungi para diplomat asing Namru-2 atau Naval Medical Research Unit (NAMRU) 2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia untuk mengadakan berbagai penelitian mengenai penyakit menular. Program Namru-2 melakukan pengembangan penyakit-penyakit tropis untuk kepentingan kesehatan dan keamanan anggota angkatan Laut dan Marinir Amerika Serikat. Program Namru-2 adalah percobaan vaksin malaria, demam berdarah dan hepatitis E termasuk juga mengembangkan breeding colony nyamuk malaria dan demam berdarah. Namru-2 juga mendirikan laboratorium lapangan di Jayapura yang memfokuskan pada pengembangan nyamuk malaria. Laboratorium Namru-2 sudah berada di Indonesia 1975 berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat 16 Januari Salah satu klausul perjanjian tersebut dijelaskan, kerjasama tersebut bertujuan 25. Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. PT. Alumni, Bandung.2003 hlm tanggal akses 1 November 2008, pukul

17 untuk mencegah, mengawasi dan diagnosis berbagai penyakit menular di Indonesia. Dalam menjalankan perannya ini, Namru-2 diberikan banyak kelonggaran,salah satunya kekebalan diplomatic untuk stafnya dan dapat digunakan untuk memasuki seluruh wilayah Indonesia Konvensi Wina 1961 adalah Konvensi tentang Hubungan Diplomatik yang disahkan pada tanggal 18 April Konvensi Wina 1961 terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanent antarnegara. F. METODE PENELITIAN 1. Fokus penelitian Pemberian kekebalan diplomatik kepada staf Namru-2 menurut Konvensi Wina Bahan Hukum a). Bahan hukum primer Untuk bahan hukum primer diperoleh dari peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum primer yang diambil berasal dari; konvensi wina 1961 dan undang-undang yang berkaitan dengan penelitian ini. b). Bahan hukum sekunder 27 tanggal akses 1 November 2008, pukul Official Records, U.N. Conference on Diplomatic Interecourse anda Immunities, Vienna, 2 Maret- 14 April 1961, Vol. 1, U.N. Publication,

18 Untuk bahan hukum sekunder diperoleh dari bahan-bahan pendukung yang menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku,jurnal, dan hasil penelitian dari sarjana hukum terdahulu yang berkaitan dengan perjanjian internasional dan hukum diplomatik dan konsuler, berita-berita yang didapatkan dari surat kabar, jurnal hukum dan internet. c) Bahan hukum tersier Untuk bahan hukum tersier diperoleh dari bahan-bahan pendukung yang menjelaskan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier diperoleh dari ensiklopedia dan kamus. Pengumpulan bahan hukum Teknik pengambilan bahan hukum didalam penelitian ini dilakukan dengan library research atau penelitian-penelitian terhadap bahan kepustakaan dan study dokumen. 3. Metode pendekatan Untuk menganalisa permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini metode pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan pemahaman terhadap kasus-kasus merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini.dilakukan dengan jalan mengkaji pemberian kekebalan diplomatik bagi staf Namru-2 dalam kaitannya dengan konvensi wina

19 4. Analisa Analisa adalah sebagai suatu proses penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap gejala tertentu. Bertitik tolak dari pengertian yang demikian,maka erat kaitannya antara metode analisa dengan pendekatan masalah dalam penelitian ini. Penguraian secara sistematis terhadap bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif analitis, yaitu menggali asas atau prinsip dan norma atau kaidah dalam hukum internasional dan dijelaskan secara sistematis melalui fakta yang diangkat dalam penelitian ini 19

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen menempati wilayah tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. Keadulatan ini berupa kekuasaan yang dimiliki

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa mengadakan hubungan internasional dengan negara maupun subyek hukum internasional lainnya yang bukan negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan Organisasi Internasional itu sendiri, yang sudah lama timbul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama, sebab negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1982 TENTANG MENGENAI HUBUNGAN DIPLOMATIK BESERTA PROTOKOL OPSIONALNYA MENGENAI HAL MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN (VIENNA CONVENTION ON DIPLOMATIC RELATIONS ON DIPLOMATIC RELATIONS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1982 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI WINA MENGENAI HUBUNGAN DIPLOMATIK BESERTA PROTOKOL OPSIONALNYA MENGENAI HAL MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN (VIENNA CONVENTION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan Diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara negara satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing negara, hal ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana PENGUJIAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DAN KONSULER AMERIKA SERIKAT BERDASARKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 673K/PDT.SUS/2012) Oleh Luh Putu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan subjek utama hukum internasional, hukum internasional mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER A. Sejarah Hukum Diplomatik Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian-pengertian 2.1.1 Pengertian Peranan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang dilakukan dalam suatu peristiwa. Peranan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, pelaksanaan

Lebih terperinci

NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI

NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu negara tidak pernah dapat berdiri sendiri dan menjadi mandiri secara penuh tanpa sama sekali berhubungan dengan negara lain. Negaranegara di dunia perlu melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang lingkupnya, hukum dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan diplomatik merupakan hal yang penting untuk dijalin oleh sebuah negara dengan negara lain dalam rangka menjalankan peran antar negara dalam pergaulan internasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip hubungan internasional, hukum internasional dan diplomasi. Sebagai entitas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penjelasan umum Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang pengesahan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai hubungan Diplomatik beserta protokol

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA

BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA A. Macam-macam perwakilan negara Dewasa ini hampir setiap negara yang berdaulat selalu mengadakan hubungan dengan

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.995, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN LUAR NEGERI. Perwakilan RI. Luar Negeri. Organisasi. Tata Kerja. Perubahan. PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus tenggelamnya kapal penangkap ikan Oryong 501 milik Korea Selatan pada Desember tahun 2014 lalu, menambah tragedi terjadinya musibah buruk yang menimpa

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

: Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si. Memahami Diplomasi

: Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si. Memahami Diplomasi Mata Kuliah Dosen : Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si Memahami Diplomasi Pada masa kini dengan berkembang luasnya isu internasional menyebabkan hubungan internasional tidak lagi dipandang

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan 30.

BAB III PENUTUP. Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan 30. 39 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun 1961 mengatur secara umum tentang perlindungan Misi Diplomatik baik dalam wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan

Lebih terperinci

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN LUAR NEGERI

PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN LUAR NEGERI PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. negara kepulauan yang beriklim tropis, dan bukan suatu yang aneh jika. pun dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia.

PENDAHULUAN. negara kepulauan yang beriklim tropis, dan bukan suatu yang aneh jika. pun dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang beriklim tropis, dan bukan suatu yang aneh jika pelbagai penyakit, baik

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Pada waktu sekarang hampir setiap negara. perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini. perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan

Pada waktu sekarang hampir setiap negara. perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini. perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan 1 A. URAIAN FAKTA Pada waktu sekarang hampir setiap negara perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini mempunyai dikarenakan perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan efektif dalam mengadakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewan keamanan PBB bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan antar negara dan dalam melaksanakan tugasnya bertindak atas nama negaranegara anggota PBB.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga apabila kita substitusikan kepada

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga apabila kita substitusikan kepada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adalah suatu menjadi pendapat umum bahwa hakekat manusia itu adalah sebagai kepribadian dan masyarakat.dua unsur eksistensi ini merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Unviversitas Andalas. Oleh. Irna Rahmana Putri

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Unviversitas Andalas. Oleh. Irna Rahmana Putri TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA KONSUL MALAYSIA DI PEKANBARU BERDASARKAN KONVENSI WINA TAHUN 1963 TENTANG HUBUNGAN KONSULER SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, pembentukan dan implementasi kebijakan luar negeri. Diplomasi adalah instrumen negara melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi istilah diplomat, diplomasi, dan diplomatik. 1 Pada jaman Romawi

BAB I PENDAHULUAN. menjadi istilah diplomat, diplomasi, dan diplomatik. 1 Pada jaman Romawi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah diploma berasal dari bahasa Latin dan Yunani yang dapat diartikan sebagai surat kepercayaan. Perkataan diplomasi kemudian menjelma menjadi istilah diplomat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perubahan dan perkembangan yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION ON COUNTER TERRORISM (KONVENSI ASEAN MENGENAI PEMBERANTASAN TERORISME) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS (PERJANJIAN TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA) Menimbang :

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.10, 2016 AGREEMENT. Pengesahan. Republik Indonesia. Republik Polandia. Bidang Pertahanan. Kerja Sama. Persetujuan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi terhadap penyelesaian sengketa internasional secara damai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA TENTANG KEGIATAN KERJASAMA DI BIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi Hukum Internasional Kl Kelautan Riza Rahman Hakim, S.Pi Hukum laut mulai dikenal semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION AGAINST TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN (KONVENSI ASEAN MENENTANG PERDAGANGAN ORANG, TERUTAMA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Setiap manusia berhak atas penghidupan yang layak 1 dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat erat hubungannya dengan membentuk

Lebih terperinci

MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2008

MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2008 MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG PELAYANAN WARGA PADA PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan dan perkembangan yang

Lebih terperinci

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2 PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA 1961 1 Oleh : Windy Lasut 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana terjadinya pelanggaran yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK (AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi segenap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA Oleh I. Gst Ngr Hady Purnama Putera Ida Bagus Putu Sutama

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 185, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL Oleh Vici Fitriati SLP. Dawisni Manik Pinatih Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penulisan ini berjudul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM DIPLOMATIK Sejarah Perkembangan Hukum Diplomatik

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM DIPLOMATIK Sejarah Perkembangan Hukum Diplomatik BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM DIPLOMATIK 2.1. Sejarah Perkembangan Hukum Diplomatik Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak mempunyai dampak terhadap hubungan antar Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara

Lebih terperinci

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA 1 K 29 - Kerja Paksa atau Wajib Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur

Lebih terperinci

KEPPRES 108/2003, ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI

KEPPRES 108/2003, ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 108/2003, ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI *51380 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 108 TAHUN 2003 (108/2003) TENTANG ORGANISASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan panjang garis pantai yang mencapai 95.181 km 2, yang menempatkan Indonesia berada diurutan keempat setelah Rusia,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak Asia Tenggara yang sangat strategis serta memiliki kekayaan alam yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk menguasai wilayah di Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang. dalam mendukung pembangunan nasional. Berhasilnya perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang. dalam mendukung pembangunan nasional. Berhasilnya perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, baik material maupun

Lebih terperinci