BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK"

Transkripsi

1 BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK A. Sejarah Hubungan Diplomatik Meningkatnya kerja sama antar negara dalam menggalang perdamaian dunia demi kesejahteraan manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial maka tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula. Pengaturan diplomatik khususnya perkembangan kodifikasi hukum diplomatik memang tidak begitu pesat sebelum didirikannya badan Perwakilan Bangsa-Bangsa. 20 Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan hubungan diplomatik berasal dari hukum kebiasaan. Pada Kongres Wina tahun 1815 raja-raja yang ikut dalam konferensi sepakat untuk mengodifikasi hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai dan mereka hanya menghasilkan satu naskah saja yaitu hirarki diplomat yang kemudian dilengkapi dengan protokol Aix-La-Chapelle pada tanggal 21 November Kongres Wina dari segi substansi praktis tidak menambah apa-apa terhadap praktik yang sudah ada sebelumnya selain menjadikannya sebagai hukum tertulis Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Bandung: Bandar Maju, 1992, Halaman: Niam, Sejarah Hubungan Diplomatik Antar Negara,Sumber: Diakses: 28 Januari 2015

2 Kemudian pada tahun 1927 dalam kerangka Liga bangsa-bangsa (LBB) diupayakanlah kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai komisi ahli ditolak oleh dewan LBB tersebut. Alasannya yaitu belum waktunya untuk merumuskan kesepakatan global mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang cukup kompleks. karena itu, memutuskan untuk tidak memasukkan masalah tersebut dalam agenda konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada tahun 1930 untuk kodifikasi hukum internasional. 22 Disamping itu, di Havana pada tahun 1928 konferensi ke-6 organisasi negaranegara amerika (OAS) menerima konvensi dengan nama Convention of Diplomatik Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh 12 negara Amerika, kecuali Amerika Serikat yang mendatangani saja dan tidak meratifikasi karena menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suaka politik. Mengingat sifatnya yang regional implementasi konvensi ini tidak menyeluruh. 23 Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB atas amanat pasal 13 Piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut: majelis umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulanusulan (recoomendations) dengan tujuan: Memajukan kerjasama internasional di bidang politik, dan mendorong peningkatan dan pengembangan hukum internasional secara progresif dan pengodifikasiannya; Memajukan kerjasama internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan, dan membantu meningkatkan pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama. 22 Ibid. 23 Ibid. 24 Ayunika, Peranan Hukum Diplomatik Terhadap Perlindungan Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, Skripsi Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara, 2013, Halaman: 60.

3 Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topik pembahasan yang didalamnya juga termasuk topik hubungan diplomatik, terutama mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun, pembahasan mengenai hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas. 25 Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat perang dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum PBB pada tahun 1953 menerima resolusi yang meminta Komisi Hukum Internasional memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik. Pada tahun 1954, Komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum berakhir 1959 Majelis Umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional guna membahas maslah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. 26 Konferensi tersebut dinamakan The United Nations Conference on Diplomatik Intercourse and Immunities, mengadakan sidangnya di Wina pada 2 Maret April Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut pada Konferensi ini dihadiri oleh delegasi dari 81 negara, 75 diantaranya 25 Ibid. 26 Ibid.

4 adalah anggota-anggota PBB dan enam lagi adalah delegasi dari badan-badan yang berhubungan dengan Mahkamah Internasional. 27 instrumen-instrumen, yaitu: Konferensi menghasilkan 1. Vienna Convention on Diplomatik Relations, 2. Optional Protocol Concerning Aqcuisition of Nationality, dan 3. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes. Di antara ketiga instrumen tersebut Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik (Convention on Diplomatik Relations), 18 april 1961 merupakan yang terpenting. 28 Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu negara abstain. Pada 18 april 1961, wakil dari 75 negara menandatangani Konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun kemudian, pada 24 april 1964, Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku. Kini hampir seluruh negara didunia telah meratifikasi konvensi tersebut,termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU Nomor 1 Tahun 1982 pada 25 Januari Pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina tersebut digarisbawahi oleh Mahkamah Internassional dalam kasus United States Diplomatik and Consular Staff in Teheran melalui ordonansinya tertanggal 15 Desember 1979, dan pendapat hukumnya (Advisory Opinion) tertanggal 27 Edy Suryono. Op.Cit Halaman : T. May Rudi, Teori, Etika Dan Kebijakan Hubungan Internasional, Angkasa, Bandung, Halaman: 3

5 24 Mei Konvensi wina ini merupakan kode diplomatik yang sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi ini tetap berlaku sepertii tersebut dalam alinea terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan: that the rules of customary international law should continue to govern question not expressly regulated by the provisions of the present Convention. 29 B. Fungsi dan Tujuan Pejabat Missi Diplomatik Secara tradisional, fungsi pejabat missi diplomatik, baik duta besar maupun pejabat diplomatiknya adalah untuk mewakili negaranya dan mereka itu bertindak sebagai suara dari pemerintahnya disamping sebagai penghubung antara pemerintah negara penerima dan negara pengirim. Mereka juga bertugas untuk melaporkann mengenai keadaan dan perkembangan di negara dimana mereka di akreditasikan termasuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan negaranya dan warga negaranya di negara penerima. 30 Fungsi pejabat missi diplomatik pada dasarnya hanya berhubungan dengan persoalan politik, tetapi pada saat ini sulit bagi kita untuk memisahkakn antara politik dengan aspek kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itulah fungsi pejabat missi diplomatik lama kelamaan juga berubah, bukan hanya menyelenggarakan hubungan politik saja, tetapi sudah jauh masuk ke bidang 29 Syahmin, Hukum Diplomatik, Rajagrafindo, Jakarta, 2008, Halaman : Sumaryo Suryokusummo, Hukum Diplomatik Dan Konsuler, Jakarta : Tatanusa, 2013, Halaman : 69

6 perdagangan, keuangan, perindustrian dan lain sebagainya, yang sbenarnya merupakan wewenang konsuler. Pejabat missi diplomatik ada yang bersifat tetap (permanent), dan ada pejabat missi diplomatik yang bersifat sementara (ad hoc). Lingkup fungsi pejabat missi diplomatik sementara (ad hoc) sangat terbatas, begitu pula rentang waktu dan urusannya misalnya dalam menghadiri konferensi antarnegara, menandatangani perjanjian, melakukan negoisasi khusus. 31 Fungsi pejabat missi diplomatik tetap (permanent) adalah melaksanakan seluruh tugas yang dibebankan oleh negara pengirim dinegara penerima sesuai dengan kesepakatan kedua negara sepanjang tidak bertentangan dengan Konvensi Wina tahun 1961 dan konvensi lain yang berkaitan dengan hubungan diplomatik. 32 Berikut ini beberapa fungsi pejabat missi diplomatik seperti yang tercantum dalam Konvensi Wina 1961 : Article 3 1. The function of a diplomatik mission consist, inter alia, in: (a) Representing the sending state in the receiving state; (b) Protecting in the receiving state the interests of the sending state and of its national, within the limits permitted by international law; (c) Negotiating with the government of the receiving state; (d) Ascertaining by all lawful means conditions and developments in the receiving state, and reposting thereon to the government of the sending state; (e) Promoting friendly relations between the sending state and the receiving state, and developing their economic cultural and scientific relations. 31 Widodo, Hukum Kekebalan Diplomatik, Aswaja Presindo, Yogyakarta, 2009, Halaman: Ibid.

7 Fungsi pejabat missi diplomatik adalah sebagai berikut: 1. Mewakili negaranya dinegara penerima Perwakilan diplomatik yang dibuka oleh suatu negara ke negara lain merupakan suatu perwakilan yang permanen (permanent mission) dan mempunyai tugas dan fungsi yang cukup beragam (ius representationis omnimodo) yaitu hak keterwakilan sesuatu negara secara keseluruhan. Tugas utama seorang duta besaar adalah untuk mewakili negara pengirim di negara penerima dan untuk bertindak sebagai saluran hubungan yang resmi antara pemerintah dari kedua negara. Disamping itu tujuan pokok dari pembukaan hubungan diplomatik adalah untuk memudahkan hubungan resmi antara negara dan para diplomatnya, dapat melakukan negosiasi dan menyampaikan pandangan dari pemerintahnya mengenai berbagai maslah kepada negara dimana dia diakreditasi. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh para diplomat dalam suatu perwakilan diplomatik di negara penerima pada hakekatnya harus mencerminkan kepentingan dari negara pengirim dan pemerintahnya. Mereka harus menjaga harkat dan martabat serta kehormatan negaranya sebagai negara yang berdaulat Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Dan Konsuler, Tatanusa, Jakarta, 2013, Halamn 70.

8 2. Perlindungan terhadap kepentingan negara pengirim dan warga negaranya Tugas kedua yang juga penting dari pejabat missi diplomatik adalah untuk melindungi kepentingan dari negara pengirim dan kepentingan dari warga negarnya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional. Perlindungan itu harus pula diberikan oleh negara penerima kepada para pejabat diplomatik dinegaranya. Bahkan negara ketiga pun harus memberikan fasilitas dan perlindungan diplomatik kepada para pejabat diplomatik yang sedang in transit di negara ketiga yang bersangkutan (Pasal 46 Konvensi Wina 1961). Walaupun memiliki fungsi proteksi, bukan berarti Duta Besar boleh langsung campur tangan dalam persoalan rumah tangga negara penerima. 34 Hanya saja jika warga negaranya meminta pertolongan, ia wajib memberikannya dalam batas-batas kekuasaannya sejauh diperkenankan hukum internasional. Sebagai contoh, warga negaranya dirugikan oleh suatu badan atau lembaga dari negara penerima maka sang duta boleh memberikan perlindungan diplomatik kepada mereka berupa tuntutan ganti rugi melalu saluran diplomatik atau jika ada warga negaranya terlantar, duta dapat memberikan pertolongan keuangan seandainya memang tersedia anggaran untuk itu atau mengajak warga negaranya yang lain untuk mengulurkan 34 Novi Monalisa Anastasia Tambun, Penerobosan dan Perusakan Gedung konsulat Amerika Serikat Di Benghazi, Libya Ditinjau Dari Hukm Diplomatik, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Halaman: 35-36

9 tangan untuk memulangkan yang bersangkutan dengan biaya yang akan diperhitungkan kemudia secara gotong royong. 3. Melakukan perundingan dengan negara penerima Pejabat missi diplomatik juga mempunyai tugas untuk melakukan perundingan mengenai berbagai masalah yang menjadi kepentingan negaranya di negara penerima yang pada umumnya dilakukan oleh duta besar. Perundingan-perundingan tersebut bukan saja menyangkut berbagai permasalahan termasuk kerja sama bilateral baik dibidang politik, ekonomi, perdagangan, kebudayaan, militer ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Disamping itu fungsi pejabat missi diplomatik juga untuk memberikan penafsiran mengenai pendapat atau sikap negara pengirim serta mencari dukungan mengenai setiap masalah dari negara penerima termasuk untuk mengadakan konsultasi mengenai masalah-masalah internasional. Demikian juga mengenai kekecewaan dan ketidak-puasan yang dialami oleh negara pengirim terhadap sikap pemerintah negara penerima mengenai sesuatu masalah Laporan perwakilan diplomatik kepada pemerintahnya Fungsi perwakilan diplomatik lainnya yang juga penting adalah menyangkut kewajiban untuk memberikan laporan kepada negaranya mengenai keadaan dan perkembangan negara penerima dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum mengenai berbagai aspek baik politik, ekonomi, sosial, budaya 35 Sumaryo Suryokusumo, Op.cit, Halaman: 74

10 dan lain-lain. Dengan demikian perwakilan diplomatik memainkan peranan yang penting bukan saja dalam menyampaikan informasi dari pemerintah negara penerima kepada negaranya tetapi juga sebaliknya. pejabat missi diplomatik tersebut juga harus secara aktif mengambil prakarsa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dinegara penerima dan menganalisanya sebelum menyampaikannya kepada pemerintah negara pengirim. Didalam praktek hal itu bisa juga timbul masalah, karena beberapa negara menurut undang-undangnya melarang adanya azas kebebasan dalam informasi. Oleh karena itu bisa saja terjadi bahwa cara-cara untuk memperoleh informasi itu dianggap biasa dan sah di satu negara, tetapi oleh sesuatu negara lainnya bisa dilihat sebagai suatu tindak kriminal mata-mata Meningkatkan hubungan dan kerjasama di berbagai bidang Fungsi pejabat missi diplomatik juga mencakup hal yang penting seperti kewajiban untuk meningkatkan hubungan persahabatan dengan negara penerima dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. pejabat missi diplomatik juga bertugas untuk meningkatkan hubungan ekonomi perdagangan atas dasar prinsip saling menguntungkan. Duta besar sebagai kepala perwakilan diplomatik bertugas untuk meningkatkan pengertian antara dua negara karena itu melibatkan bukan saja yang berhubungan dengan pemerintah negara penerima tetapi juga dalam rangka menjelaskan kebijakan dan sikap pemerintahnya dan pandangan 36 Ibid, Halaman: 75

11 mereka terhadap rakyat dan negara melalui media dan dalam acara-acara yang layak serta memberikakn pengertian terhadap pemerintah dan rakyat mengenai maksud, harapan dan kehendak dari negaranya. 37 Fungsi pejabat missi diplomatik ini menurut pasal 13 Konvensi Wina 1961 mulai berlaku apabila kepala missi diplomatik dianggap telah memulai tugasnya di negara penerima, baik saat ia menyerahkan surat-surat kepercayaannya maupun ia memberitahukan kedatangannya dan menyerahkan sebuah salinan asli surat kepercayannya kepada menteri luar negeri negara penerima, atau menteri lain yang ditunjuk untuk itu, sesuai denngan praktik yang berlaku di negara penerima yang akan diperlakukan secara seragam Urutan-urutan penyerahan surat-surat kepercayaan atau sebuah salinan asli akan ditentukan oleh hati, tanggal, dan saat kedatangan kepala misi yang bersangkutan. Pada umumunya tugas seorang kepala missi diplomatik akan berakhir karena telah habis masa jabatannya yang diberikan kepadanya. Tugas itu dapat pula berakhir karena ia ditarik kembali recalled oleh pemerintah negaranya. Bisa juga berakhir karena sang diplomat yang bersangkutan tidak disukai lagi persona non-garata. Jika antara negara pengirim dan negara penerima terjadi perang, tugas seorang diplomat juga kan terganggu (terhenti) dan ia biasanya dipanggil pulang. Kemudian, jika kepala pemerintahan (presiden/raja/ratu) wafat, turun tahta, atau terjadi suksesi kepemimpinan nasional, dapat pula menyebabkan berhentinya tugas missi diplomatik seorang pejabat diplomatik, (pada saat sekarang, kematian kepala negara atau kepala 37 Ibid, Halaman: 76

12 pemerintahan, tidak lagi dipergunakan sebagai alasan untuk menarik kembali kepala perwakilannya diluar negeri) 38 Menurut J.G Starke, sebuah pejabat missi diplomatik dapat berakhir dengan cara yang berbeda-beda diantaranya: Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang mengirimnya. Surat penarikan kembali biasanya disampaikan kepada kepala negara atau kepala menteri luar negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang bersangkutan akan menerima pengembalian Lettre de Recreance yang memberitahukan penarikannya. 9. Pemberitahuan oleh negar apengirim kepada negara penerima bahwa tugas perutusan itu telah berakhir (pasal 43 Konvensi Wina). 10. Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled). Negara tuan rumah tidak perlu memberikan penjelasan mengenai permintaan tersebut (lihat Pasal 8 Konvensi Wina), akan tetapi seperti dalam kasus permintaan Australia pada bulan Juni 1986 agar Atase Afrika Selatan kembali negaranya, hal ini secara tegas dapat didasarkan atas suatu klaim tetang tuduhan tindakakn yang tidak dapat diterima, dengan suatu batas waktu tertentu untuk keberangkatanyya (sepuluh hari seperti yang ditanyakan dalam permintaan Australia untuk pemulangan Atase yang dikemukakan di atas) Syahmin, Hukum Diplomatik, Raja grafindo, Jakarta, 2008, Halaman: J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, Halaman 571-

13 Walaupun penyebutan tentang batas waktu itu tidak secara etgas diisyaratkan oleh Konvensi Wina. 11. Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara pengirim dan negara penerima. 12. Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak mengakuinya lagi sebagai anggota misi (pasal 9 dan 43 Konvensi Wina). 13. Tujuan misi tersebut telah terpenuhi. 14. Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya untuk waktu terbatas. Tujuan pejabat missi diplomatik, Menurut ketetapan Konggres Wina 1815 dan Konggres Aux La Chapella 1818 (konggres Achen), pelaksanaan peranan perwakilan diplomatik guna membina hubungan dengan negara lain dilakukan oleh perangkatperangkat berikut : 40 a. Duta Besar Berkuasa Penuh (ambassador), adalah tingkat tertinggi dalam perwakilan diplomatik yang mempunyai kekuasaan penuh dan luar biasa. Ambassador ditempatkan pada negara yang banyak menjalin hubungan timbale balik. 40 Ryeza, Menganalisis Fungsi Perwakilan Diplomatik, Sumber: Diakses: 29 Januari 2015

14 b. Duta (gerzant), adalah wakil diplomatik yang pangkatnya lebih rendah dari duta besar, Dalam menyelesaikn segala persoalan kedua negara dia harus berkonsultasi dengan pemerintah negaranya. c. Menteri Residen, seorang menteri residen dianggap bukan wakil pribadi kepala negara. Dia hanya mengurus urusan negara dan pada dasarnya tidak berhak mengadakan pertemuan dengan kepala negara dimana dia berugas. d. Kuasa Usaha (charge d Affair). Dia tidak ditempatkan oleh kepala negara kepada kepala negara tetapi ditempatkan oleh menteri luar negeri kepada menteri luar negeri. e. Atase-atase, adalah pejabat pembantu dari duta besar berkuasa penuh. Atase terdiri atas dua bagian, yaitu: 1. Atase Pertahanan Atase ini dijabat oleh seorang perwira militer yang diperbantukan departemen Luar negeri dan ditempatkan di kedutaan besar negara bersangkutan, serta diberi kedudukan sebagai seorang diplomat. Tugasnya adalah memberikan nasehat di bidang militer dan pertahanan keamanan kepada duta besar berkuasa penuh. 2. Atase Teknis Atase ini dijabat oleh seorang pegawai negeri sipil tertentu yang tidak berasal dari lingkungan Departemen Luar Negeri dan ditempatkan di salah satu

15 kedutaan besar untuk membantu duta besar. Dia berkuasa penuh dalam melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan tugas pokok dari departemennya sendiri. Misalnya Atase Perdagangan, Perindustrian, Pendidikan Kebudayaan. 41 C. Teori-Teori Kekebalan Diplomatik Kekebalan Diplomatik merupakan hal yang penting bagi wakil dari negaranegara dalam melakukan hubungannya dengan negara lain. Dalam melakukan diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut. Agar wakil-wakil negara tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik dan efisien, maka para wakilwakil negara dalam berdiplomasi tersebut diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan. Sehubungan dengan itu terdapat 3 teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan keisitimewaan diplomatik luar negeri, yaitu sebagai berikut : 1. Teori Ekstrateritorialitas (Exterritotiality Theory) Menurut teori ini, seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negaranya, ia hanya berada diluar wilayah negara penerima, walaupun pada kenyataannya ia sudah jelas berada diluar negeri sedang melaksanakan tugas-tugasnya dinegara dimana ia ditempatkan. Demikian juga halnya gedung perwakilan, jadi pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu disebabkan faktor eksterritorialitas tersebut. Oleh karena itu, 41 Ibid,

16 seorang diplomat itu dianggap tetap berada dinegaranya sendiri, ia tidak tunduk pada hukum negara penerima dan tidak dapat dikuasai oleh negara penerima. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik tersebut adalah dikuasai oleh hukum dari negara pengirim. 42 Dalam praktiknya, teori eksterritorialitas sangat berat untuk diterima karena dianggap tidak realistis. Teori ini hanya didasarkan atas suatu fiksi dan bukan realita yang sebenarnya. 43 Jadi, teori eksterritorialitas dalam arti, seorang wakil diplomatik dianggap tetap berada di wilayah negaranya sendiri 44. Teori ini didalam kehidupan sangat sullit diterapkan, dan mayoritas ahli hukum menyangkal kebenarannya. Kejanggalan teori tersebut dapat disimak dalam ilustrasi berikut : 45 a. Seorang diplomat dalam kesehariannya sulit memaksakan diri untuk melaksanakan ketentuan hukum negara pengirim di negara penerima, misalnya diplomat Indonesia tidak dapat mengendarai mobil pribadi pada jalan raya untuk jalur dua arah di negara Saudi Arabia dengan menerapkan peraturan lalu lintas Indonesia. Apabila diplomat Indonesia mengemudikan kendaraan di jalan lajur sebelah kiri maka pasti 42 Sigit Fahrudin, Hak istimewa Dan Kekebalan Diplomatik, sumber: diakses 29 Januari Edy Suryono, dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Bandung, Angkasa, Halaman: Syahmin, Op.Cit, Halaman: Widodo, Op.Cit,Halaman:

17 bertabrakan dengan pengendara lain, karena di Saudi Arabia pengguna jalan raya harus mengendarai kendaraan pada lajur sebelah kanan. b. Apabila terdapat anggapan bahwa kantor perwakilan diplomatik beserta tempat tinggal diplomat dianggap berada diwilayah negara pengirim, para diplomat setiap bulan atau setiap tahun wajib membayar berbagai pajak dan iuran (misalnya pajak bumi dan bangunan, retribusi pengelolaan sampah), padahal dalam praktik mereka tidak melakukan kewajiban tersebut. Andaikata mereka harus membayar, negara pengirim harus membuka dinas-dinas terkait dinegara diplomat. Meskipun demikian bukan berarti kantor kedutaan terbebas dari pembayaran biaya, karena dalam praktik ada beberapa rekening kantor kedutaan dan rumah kediaman resmi diplomat yang wajib dibayar pihak kedutaan asing kepada negara penerima, misalnya rekening telepon, air, dan listrik. c. Andaikata para diplomat dianggap tinggal dinegara pengirim maka tidak perlu memperoleh kekebalan dan keistimewaan mutlak pada warga negaranya sendiri diwilayahnya. 2. Teori Diplomat sebagai wakil negara berdaulat atau wakil kepala negara (Representative Character) Teori ini mengajarkan bahwa baik pejabat diplomatik maupun perwakilan diplomatik, mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas itulah pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa

18 dan kekebalan kepada pejabat-pejabat diplomatik asing juga berarti bahwa negara penerima menghormati negara pengirim, kebesaran dan kedaulatan serta kepala negaranya. Teori ini berasal dari era kerjaan masa lalu dimana negara penerima memberikan semua hak, kebebasan, dan perlindungan kepada utusan-utusan raja sebagai penghormatan terhadap raja itu sendiri. Namun seperti halnya dengan teori eksterritorialitas, pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik ini tidak mempunyai batas yang jelas dan menimbulkan kebingungan hukum. 46 Teori ini sulit juga diterapkan Karena sampai saat ini orang yang mendapat kekebalan diplomatik bukan hanya diplomat, tetapi termasuk anggota keluarga diplomat yang membentuk rumah tangganya dan tinggal di negara penerima, padahal bukan berstatus diplomat yang mewakili negara pengirim. Dalam praktik juga sulit dibedakan antara perbuatan seorang diplomat dalam kapasitasnya sebagai wakil negara atau wakil kepala negara, dengan perbuatan diplomat dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Padahal menurut hukum diplomatik seluruh perbuatan diplomat baik perbuatan atas nama negara maupun atas nama pribadi memperoleh kekebalan dan keistimewaan Syahmin, Op.Cit, Halaman: Widodo, Op.Cit, Halaman : 119

19 3. Teori kebutuhan fungsional Teori ini mengajarkan bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan diplomatik dan misi diplomatik hanya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnnya dengan baik dan lancar. Dengan memberikan tekanan pada kepentingan fungsi, terbuka jalan bagi pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan sehingga dapat diciptakan keseimbangan antara kebutuhan negara pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori ini kemudian didukung untuk menjadi ketentuan dalam Konvensi Wina Dalam muadimah Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik dirumuskan...that the purpose of such privilages and immunities is not to benefit individuals but to ensure the efficient performance of the function of diplomatik missions as representing states. Artinya, bahwa tujuan pemberian kekebalan dan keistimewaan tersebut bukan untuk meenguntungkan orang perseorangan, tetapi untuk menjamin pelaksanaan yang efisien fungsi-fungsi missi diplomatik sebagai wakil dari negara. Maka dari itu, jelaslah bahwa landasan yuridis pemberian semua kemudahan, hak-hak istimewa dan kekebalan yang diberikan kepada para agen diplomatik asing di suatu negara adalah untuk memperlancar atau memudahkan

20 pelaksanaan kegiatan-kegiatan para pejabat diplomatik dan bukan atas pertimbangan-pertimbangan lain. 48 D. Hak Kekebalan Dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik Dalam abad ke 16- dan 17 pada waktu pertukaran duta-duta besar secara permanen antarnegara-negara di Eropa, sudah mulai menjadi umum, kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-praktik negara dan bahkan telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika terbukti bahwa seorang duta besar telah terlibat dalam komplotan atau penghianatan melawan kedaulatan negara penerima. Seorang duta besar dapat diusir, tetapi tidak dapat ditangkap dan diadili. 49 Kekebalan duta besar dari yurisdiksi pidana di negara penerima telah mulai dilakukan oleh banyak negara dalam abad ke-17 sebagai kebiasaan internasional. Kemudian pada pertengahan abad ke-18 aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan, termasuk harta milik, gedung dan komunikasi para diplomat. A. Kekebalan Bahwa didalam istilah kekebalan terkandung dua pengertian, yaitu kekebalan (immunity), dan tidak dapat diganggugugat atau inviolabilitas (Inviolability) adalah kekebalan diplomat terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan 48 Syahmin, Op.Cit. Halaman: Hans Kelsen, Principles of Internatioonal Law, New York, Halaman: 97

21 terhadap segala gangguan yang merugikan. Sedangkan immunity diartikan sebagai kekebalan terhadap Juridiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun hukum perdata. 1. Kekebalan pribadi Ketentuan-ketentuan yang bermaksud melindungi diri pribadi seorang wakill diplomatik atau kekebalan-kekebalan memngenai diri pribadi seorang wakil diplomatik diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan the Person of a diplomatik agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrest or detention. The receiving state shall terat him with due respect and shall tahe all propriate steps to prevent ant attack on his person, freedom or dignity 50. Berarti bahwa pejabat diplomatik adalah inviolable. Ia tidak dapat ditangkap dan ditahan. Jadi, sesuai dengan pengertian inviolabilitiy sebagai kekebalan terhadap alatalat kekuasaan dari negara penerima, maka pejabat diplomatik atau seorang wakil diplomatik mempunyai hak untuk tidak dapat dikenakan tindakan kekuasaan oleh alat-alat kekuasaan negara penerima yaitu misalnya berupa penahanan dan penangkapan. a. Yurisdiksi pidana Kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan pidana yang dapat dinikmati oleh para pejabat diplomatik ditentukan didalam Konvensi Wina 1961 sebagai berikut: 50 Konvensi Wina 1961

22 seorang pejabat diplomatik kebal dari yurisdiksi pidana negara penerima 51 (Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina 1961) Apabila seorang pejabat diplomatik membuat kesalahan yang dapat mengganggu keamanan atau ketertiban dalam negeri atau turut dalam suatu komplotan yang ditujukan kepada negara penerima, maka untuk menjaga agar tindakan-tindakannya itu tidak akan membawa akibat yang tidak diinginkan, negara penerima untuk sementara dapat menahan, walaupun kemudian ia masih harus dikirim pulang kembali ke negrinya. Dan menurut hukum kebiasaan internasional bahwa negara penerima tidak mempunyai hak, dalam keadaan yang menuntut dan menghukum seorang pejabat diplomatik. 52 b. Yurisdiksi perdata dan adminisrasi Hukum kebiasaan internasional tidak saja memberikan kekebalan dari yurisdiksi pidana dari negara penerima, tetapi juga para pejabat diplomatik kebal dari yurisdiksi perdata dan administrasi. Ketentuan yang mengatur adanya kekebalan seorang pejabat diplomatik dari yurisdiksi perdata atau sipil, terdapat dalam ketentuan pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina 1961, sebagai berikut: he shall also enjoy immunity from its civil and administrative jurisdiction Tuntutan perdata dan administrasi dalam bentuk apapun tidak dapat dilakukan terhadap seorang pejabat diplomatik dan tidak ada tindakan atau eksekusi apapun yang berhubungnan dengan hutang-hutang dan lain-lainnya yang serupa dapat 51 Article 31 Konvensi Wina Edy Suryono, Op.Cit, Halaman : 47-48

23 diajukan terhadap para pejabat diplomatik didepan pengadian perdata atau pengadilan administrasi negara penerima Kekebalan keluarga seorang wakil diplomatik Kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewa yang diberikan pada seorang wakil diplomatik tidaklah berbatas pada diri pribadi saja melainkan juga anggotaanggota keluarganya turut pula menikmati kekebalan dan hak-hak istimewa tersebut. Ketentuan mengenai kekebalan keluarga pejabat diplomatik terdapat dalam Pasal 37 ayat (1) Konvensi Wina 1961 yang menyatakan the members of family of a diplomatik agent forming part of his household shall, if they are not nationals of the receiving state, enjoy the privileges and immunities specifies in article 29 to 36. Yang artinya anggota keluarga dari seorang wakil diplomatik yang merupakan bagian dari rumah tangganya, yang bukan berwarganegara penerima akan meikmati hak-hak istimewa dan kekebalan sebagaimana diatur dalam pasal 29 sampai Dengan demikian agar seorang dapat dianggap sebagai anggota keluarga pejabat diplomatik, maka tidak hanya adanya sesuatu hubungan darah atau perkawinan yang mencantumkan kedudukan anggota keluarganya, tetapi ia harus bertempat tinggal bersama pejabat diplomatik atau merupakan bagian dari rumah tangganya dan bahkan pula bukan berwarganegara Negara penerima. Keluarga pejabat diplomatik yang dapat menerima kekebalan dan keistimewaan diplomatik ini, termasuk pula pelayanan-pelayanan perwakilan dan pelayan rumah tangga. 53 Ibid. Halaman : Ayunika, Op.Cit, Halaman :73

24 3. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi Dalam pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 terdapat suatu ketentuaan yang berbunyi sebagai berikut. a diplomatic agent is not obliged to give as a withness maka seeorang wakil diplomatik tidak boleh diwajibkan untuk menjadi saksi di muka pengadilan negara setempat, baik yang menyangkut perkara perdata maupun menyangkut perkara pidana, dan administasi. 55 Seorang wakil diplomatik tidak dapat dipaksanakan untuk bertindak sebagai seorang saksi dan untuk memberikaan kesaksiannya di depan pengadilan, hal mana termasuk pula anggota keluarga dan pengikut-pengikutnya, juga tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai saksi didepan pengadilan. Kemungkinan yang terjadi dalam hubungannya dengan persolan kekebalan seorang wakil diplomatik dari kewajiban untuk menjadi saksi wakil diplomatik tersebut secara sukarela (voluntarily) memberikan kesaksiannya didepan peradilan atas perintah dan persetujuan dari pemerintahnya 4. Kekebalan korespondensi Kekebalan korespondensi adalah kekebalan dari pihak perwakilan asing sesuatu negara yaitu pejabat diplomatiknya untuk mengadakan komunikasi dengan bebas guna kepentingan tujuan-tujuan resmi atau official purposes dari perwakilan asing tersebut, tanpa mendapat halangan yang berupa tindakan pemeriksaan atau tindakan penggeledahan yang dilakukan oleh negara-negara lainnya. 55 Edy, Suryono, Op.Cit. Halaman : 51

25 Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Dimaksud dengan hak untuk berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk bebas dalam kegiatan surat- menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubunngan komunikasi. Hubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik tersebut dengan pemerintahnya sendiri, dengan pemerintah negara penerima, maupun dengan perwakilan diplomatik asing lainnya. 56 Selanjutnya di dalam pasal 27 ayat 2 Konvensi Wina 1961 ditetapkan bahwa korespondansi didalam arti yang luas atau resmi adalah dinyatakan kebal atau tidak dapat diganggu gugat. Tetapi harus dingat bahwa kebebasan hubungan komunikasi tersebut haruslah dijalankan didalam hubungan yang resmi dan berkaitan dengan misi perwakilan dan fungsinya. 5. Kekebalan kantor perwakilan Asing dan tempat kediaman seorang wakil diplomatik Dalam Konvensi Wina 1961 telah dicantumkan mengenai pengakuan secara universal tentang kekebalan diplomatik yang meliputi tempat kediaman dan tempat kerja atau kantor perwakilan pejabat diplomatik. Secara jelas terdapat di dalam pasal 22 dan 30 Konvensi Wina Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas kantor perwakilan dan tempat kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina Namun, hak kekebalan disini diartikan sebagai suatu hak dari gedung perwakilan atau tempat kerja dan tempat kediaman seorang pejabat diplomatik utnuk 56 Ayunika, Op.cit, Halaman: 78

26 mendapatkan perlindungan special dari negara penerima, gedung perwakilan dan tempat kediaman dari pejabat diplomatik dinyatakan tidak dapat diganggu gugat atau inviolable Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit. Secara substansial kekebalan para pejabat diplomatik in transit biasanya diberikan. Masalah itu sebelumnya tidak diberikan namun beberapa negara seperti Belanda dan Perancis telah meneytujui untuk memasukkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan masing-masing mengenai perlakuan para diplomat yang ditempatkan di negara tersebut. Didalam Konvensi Wina 1961 telah mengambil pendekatan Fungsional secara tegas dalam memberikan hak kekebalan dan keistimewaan bagi pada diplomat yang berpergian melalui negara ketiga baik menuju atau dari posnya. Negara ketiga hanya wajib memberikan hak tidak diganggu gugatnya dan kekebalan-kekebalan lainnya yang diperlukan dalam rangka menjamin perjalanan diplomat itu dalam transit atau kembali. Hak-hak yang sama juga diperlukan dalam hal anggota keluarga diplomat yang menyertainya atau kepergian secara terpisah untuk bergabung dengannya atau dalam perjalanan kembali ke negaranya. Para diplomat beserta anggota keluarganya yang dalam perjalanan transit juga memperoleh perlindungan khusus dan bebas dari penahanan sesuai dengan haknya yang tidak dapat diganggu-gugat, tetapi dapat pula kepada mereka diadakan tuntutan terhadap perkara perdata dengan ketentuan bahwa 57 Widodo, Op.Cit. Halaman: 125

27 tuntutan ini tidak melibatkan penahana mereka dan mereka tidak mempunyai keistimewaan seperti bebas dari pemeriksaan koper milik mereka Perjalanan karena force majeure Seorang diplomat diberikan kekebalan terbatas semacam itu tanpa melihat hubungan antara penerima dan pengirim di satu pihak dan negara ketiga di lain pihak. Kewajiban-kewajiban di dalam ketentuan Konvensi Wina 1961 tersebut dapat diterapkan bahwa dalam hal diplomat itu terpaksa harus transit karena force majeure antara lain adanya pesawat yang dipaksakam harus mendarat dinegara ketiga. Dalam kasus R.v. Governer of Pentoville Prison pada tahun Pengadilan di inggris menolak untuk memberikan kekebalan terhadap proses ekstradisi kepada seorang mata-mata dari Costa Rica yang bernama Dr. Teja, pemegang paspor diplomatik, dimana ia tidak ditempatkan atau tidak menjadi tamu pemerintah sesuatu negara. Penting pula bahwa diplomat harus diangkat oleh pemerintahnya yang pengangkatannya juga diakui oleh negara ketiga. 59 B. Keistimewaan Pengertian keistimewaan adalah berbagai hak istimewa privilege yang melekat pada perwakilan diplomatik (sebagai institusi) dan anggota misi (sebagai individu) di negara penerima Pembebasan pajak-pajak 58 Edy Suryono, Op.Cit, Halaman: Ibid. Halaman: Wasito, Konvensi-Konvensi Wina, Andi Offset, Yogyakarta, 1999, Halaman: 5

28 Keistimewaan pembebasan pajak-pajak ini dapat dinikmati oleh pejabat diplomatik beserta keluarganya, staf administrasi dan teknik, staf pelayanan, pembantu-pembantu rumah tangga berdasarkan daftar yang diserahkan kepada kementerian luar negeri setempat. Pada umumnya keistimewaan dalam perpajakan ini meliputi pembebasan pajak-pajak langsung, pajak penghasilan, pajak atas barang pribadi bergerak seperti kendaraan bermotor, perabot, bagasi dan sebagainya. 61 Dalam Konvensi Wina 1961 dikatakan bahwa, seorang pejabat diplomatik akan dibebaskan dari semua pajak pribadi baik regional, nasional kecuali: a. Pajak tidak langsung, sehingga tak berlaku pada pembelian barang di toko umum yang pajak penjualannya telah diperhitungkan didalamnya. b. Pajak atas barang-barang yang tidak bergerak yang terletak didalam daerah negara penerima, misalnya rumah, tanah, kecuali yang dikuasai oleh pejabatpejabat diplomatik tersebut atas nama negara pengirim untuk keperluan dan maksud yang resmi dari misi perwakilan. c. Pajak untuk jasa-jasa pelayanan yang diberikan. d. Registrasi, pembayaran pengafilan, hipotek, pajak perangko sehubungan dengan barang-barang bergerak. 2. Pembebasan dari bea cukai dan bagasi. Pada umumnya pembebasan bea cukai dan bagasi ini meliputi barang-barang yang diimpor untuk keperluan perwakilan diplomatik dan keperluan rumah tangga 61 Ibid. Halaman: 64

29 para pejabat diplomatik. Dalam hubungan ini pula bagasi-bagasi milik para pejabat diplomatik bebas dari pemeriksaan petugas-petugas doane. Pembebasan bea cukai dan bagasi ini diakui pula dalam Konvensi Wina 1961, yang memberikan pembebasan bea cukai dan bagasi, baik bea masuk maupun bea keluar dari pajak-pajak lainnya yang mempunyai hubungan dnegan itu, tanpa memasukkan biaya penyimpangan atau pajak yang ada hubungannya dengan pelayangan terhadap: 62 a. Barang-barang keperluan dinas perwakilan diplomatik b. Barang-barang untuk keperluan pribadi dari pejabat diplomatik atau anggota keluarganya sebagai barang keperluan rumah tangga, termasuk barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan rumah tangga. 3. Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial dimaksudkan bahwa para pejabat diplomatik bebas daripada ketentuan kewajiban kemanan sosial yang mungkin berlaku di dalam negara penerima, seperti kewajiban siskamling, jaga malam dan lain lain. Pembebasan demikian juga berlaku untuk pelayan-pelayan pribadi yang turut serta didalam melayani kepentingan seorang pejabat diplomatik Pembebasan dri pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer. Pembebasan dari pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer disini dijamin oleh Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa negara penerima harus 62 Ibid. Halaman: Ibid. Halaman: 66

30 memmbebaskan para pejabat diplomatik dari semua pelayanan pribadi, pelayanan umum macam apapun dan dari kewajiban militer seperti yang berhubungan dengan pengambilalihan, sumbangan militer Pembebasan dari kewarganegaraan Dalam protokol opsional Konvensi Wina 1961 mengenai hal memperoleh kewarganegaraan mengatur bahwa anggota-anggota perwakilan diplomatik yang bukan warga negara Negara penerima dan keluarganya tidak akan memperoleh kewarganegaraan Negara penerima tersebut semata-mata karena berlakunya hukum negara penerima tersebut. Dengan demikian terhadap kelahiran anak seorang pejabat diplomatik dinegara penerima maka anak tersebut tidak akan memperoleh kewarganegaraan negara penerima yang semata-mata karena berlakunya negara penerima, anak tersebut tetap mengikuti kewarganegaraann orang tuanya. 65 E. Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik. Pengertian kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah berkembang dari masa ke masa. Pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik dilakukan secara timbal-balik (reciprocity principles) yang memang mutlak diperlukan dalam rangka 64 Ibid. Halaman: Ibid.

31 meningkatkan atau mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara, tidak memandang sistem politik maupun sosial budaya yang berbeda. Kekebalan dan keistimewaan para pejabat diplomatik ini tidak seterusnya dapat diberikan kepada seorang diplomat. Terdapat batas waktu kapan dapat dimulai kekebalan pejabat missi diplomatik dan kapan kekebalan para pejabat missi diplomatik itu berakhir. A. Mulai dinikmatinya kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Kekebalan dan Keistimewaan pejabat missi diplomatik ini mulai berlaku sejak mereka memasuki wilayah negara penerima dalam rangka proses menempati pos kedinasannya untuk melaksanakan fungsi resminya, atau jika sebelum diangkat oleh negara pengirim untuk menduduki jabatan diplomatik tertentu mereka telah berkedudukan di negara penerima maka awal berlakunya kekebalan hukum dan hakhak istimewa diplomatik dianggap telah ada sejak mereka diangkat oleh negara pengirim atau dapat dikatakan pula sejak calon diplomat mendapatkan letter of credentials dari pemerintahnya maka hak kekebalan dan keistimewaan pejabat missi diplomatik sudah dapat diberikan kepada calon diplomat tersebut. Pengangkatan pejabat tersebut harus diberitahukan oleh negara pengirim kepada negara penerima melalui kementrian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang ditunjuk. Hal tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Konvensi Wina 1961 secara jelas berbunyi Setiap orang yang berhak akan kekebalan hukum dan hak-hak istimewa akan mendapatnya sejak saat ia memasuki wilayah Negara penerima dalam proses

32 menempati posnya, atau jika ia sudah di dalam wilayahnya, sejak saat pengangkatannya itu diberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri atau kementerian lainnya yang disetujui. 66 Ketentuan mengenai awal dinikmatinya kekebalan dan keistimewaan diplomatik bagi orang- orang yang berhak menikmati ini sesuai dengan ketentuan Pasal 22 Konvensi Havana tahun 1928 tentang Diplomatic Officer Pasal 14 menyebutkan petugas diplomatik harus terhormat untuk orang-orang mereka, tempat tinggal mereka, swasta atau pejabat, dan harta benda mereka. Diganggu gugat ini meliputi: a. Semua kelas petugas diplomatik; b. Seluruh personil resmi misi diplomatik; c. Para anggota keluarga masing-hidup di bawah atap yang sama; d. Kertas, arsip dan korespondensi misi. Serta pada Pasal 22 tentang kapan hak diplomatic officer dapat dinikmati Petugas diplomatik dapat kenikmatan kekebalan mereka dari saat mereka melewati perbatasan negara di mana mereka akan menjalani misinya dan dimana posisi mereka telah diketahui. Hak kekebalan akan terus ada selama periode misi dan bahkan setelah itu akan dihentikan, untuk waktu yang diperlukan bagi petugas diplomasi dalam misi. Sehingga dapat dikatakan bahwa keistimewaan dan kekebalan diplomatik berlaku sejak diplomat memasuki wilayah negara penerima dalam rangka 66 Murti, Hak Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik, Sumber: diakses: 30 Januari 2015

33 melaksanakan fungsi resminya. Dengan diberlakukan pemberitahuan terlebih dahulu terhadap negara penerima. 67 B. Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik Pada Pasal 39 ayat (2) menegaskan, jika fungsi- fungsi dari orang- orang yang memperoleh kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu berakhir maka kekebalan dan keistimewaan yang melekat padanya secara normal akan berakhir, yaitu pada saat ia meninggalkan negara penerima, atau pada saat berakhirnya suatu periode yang layak, akan tetapi kekebalan dan keistimewaan akan terus ada sampai saat berakhirnya periode yang dimaksud tersebut, bahkan dalam hal terjadinya konflik bersenjata antara negara penerima dengan negara pengirim pun kekebalan dan keistimewaan tetap ada. Namun, atas perbuatan- perbuatan yang dilakukan oleh orang orang tersebut dalam rangka pelaksanaan fungsinya sebagai seorang anggota misi, kekebalan dan keistimewaannya akan terus disandang. Untuk menentukan berapa lama rentang waktu yang dianggap sebagai suatu periode yang layak sangat sulit karena Konvensi Wina sendiri tidak menjelaskan kuantitasnya, karena itu untuk menentukan lamanya waktu berdasarkan kesepakatan negara terkait, dan pemberian waktu tersebut didasarkan pada kebiasaan serta sopan santun internasional. Lalu berakhirnya hak tersebut dapat juga diakibatkan atas penanggalan hak kekebalan dan keistimewaan oleh negara pengirim. 67 Ibid.

34 Menurut Pasal 32 ayat (1), kekebalan dan keistimewaan harus ditanggalkan oleh negara penerima. Penanggalan atas hak tersebut harus dilakukan secara tegas (Pasal 32 ayat (2) ). Kekebalan dan keistimewaan diplomatik bersumber pada hukum internasional sehingga yang mempunyai hak untuk memberi dan menanggalkannya adalah subjek hukum internasional, sehingga dalam konteks ini subjek hukum internasional adalah negara, bukan diplomat karena posisi diplomat dalam hal ini sebagai alat negara, bukan individu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kekebalan dan hak- hak istimewa kepala perwakilan, penanggalan dapat dilakukan oleh kepala negara pengirim melalui menteri luar negeri, karena untuk pengurusan perwakilan diplomatik ini kepala negara telah mempercayakan pada menteri luar negeri. Sedangkan yang memutuskan apakah penanggalan kekebalan dan keistimewaan diplomatik atas kepala perwakilan tersebut, tetap berada pada kewenangan kepala negara berdasar pada kewenangan kepala negara berdasar pada pengaduan negara penerima dan pertimbanganpertimbangan yang diberikan oleh menteri luar negeri negara pengirim dan mungkin berdasarkan saran dan pendapat anggota parlemen negara terkait. 68 F. Praktek Negara Penerima Dalam Penerapan kekebalan Diplomatik Terhadap Anggota Missi Diplomatik Seperti telah disebutkan di atas bahwa gedung perwakilan asing tidak dapat diganggu-gugat, bahkan petugas maupun alat negara setempat tidak dapat 68 Ibid.

35 memasukinya tanpa izin perwakilan. Maka negara penerima tidak akan sanggup berbuat apa-apa jika fungsi gedung diplomat disinyalir atau dicurigai melakukan praktik pelanggaran pidana seperti penyelundupan senjata,obat obatan terlarang dan lain-lain karena untuk membuktikannya harus masuk langsung ke gedung diplomatik hal semacam itu pernah terjadi di dalam kasus Kedutaan Besar Irak di Islamabad. 69 Kasus tersebut terjadi di dalam bulan Februari Kejadian ini bermula ketika sebuah peti kemas yang dialamatkan kepada Kedutaan Besar Irak di Islamabad secara tidak sengaja mengalami kerusakan sehingga terungkap oleh pejabat Bea Cukai Pakistan bahwa sebenarnya peti kemas tersebut berisi senjata yang jumlahnya cukup banyak. Atas terjadinya peristiwa tersebut Kementerian Luar Negeri Pakistan meminta kepada Duta Besar Irak untuk mengizinkan polisi setempat memeriksanya di gedung Kedutaan Besar Irak di Islamabad. Permintaan tersebut ditolak oleh Duta Besar Irak, kemudian polisi setempat memeriksanya di gedung Kedutaan Besar Irak dengan paksa, dan ternyata benar telah menemukan 59 peti yang berisi senjata, bahan peledak dan amunisi yang harus diserahkan kepada pemberontak Belouchistan Hal ini dapat dibenarkan secara hukum internasional, karena apabila terjadi dakwaan atau adanya bukti-bukti yang memperkuat bahwa fungsi perwakilan asing tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 69 Nizar Fikri, Tinjauan Yuridis Terhadap Kekebalan Gedung Diplomatik (Studi Terhadap Kasus Kedutaan Besar Irak di Islamabad Februari 1973), Sumber : Diakses: 30 Januari 2015

36 1961, maka pemerintah negara penerima dapat memasuki gedung tersebut dan disaksikan oleh Duta Besar dari negara pengirim. Oleh karena itu dinyatakan oleh Brierly bahwa dalam hal-hal yang luar biasa, meskipun tidak dinyatakan dalam konvensinya sendiri. Kedua, prinsip tidak diganggu gugat itu menurut pendapat Komisi Hukum Internasional tidak menutup adanya kemungkinan bagi negara penerima untuk mengambil tindakan terhadap diplomat atau perwakilan asing di negara tersebut dalam rangka bela diri atau menghindarkan adanya tindak pidana Jadi pada dasarnya negara penerima dapat memasuki gedung diplomatik yang tidak menjalankan fungsinya sesuai dengan sebagaimana yang sudah diatur dalam Konvensi Wina 1961 khususnya pasal 41 ayat 3 selain itu negara penerima dapat memasuki secara paksa gedung diplomatik yang disinyalir atau diduga kuat digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan suatu tindak pidana dengan dasar hak bela diri dari suatu negara penerima untuk menghindarkan adanya tindak pidana di negara penerima. 70 Kasus lainnya, berawal dari gugatan yang diajukan oleh seorang warga negara Filipina bernama Corazon Tabion, yang merupakan pembantu rumah tangga bagi pasangan suami istri Yordania, Faris dan Lana Mufti. Faris Mufti adalah seorang pejabat konsuler Yordania untuk Distrik TS Ellis Amerika Serikat. Gugatan diajukan Tabion pada bulan Februari tahun 1996 ke Pengadilan Distrik TS Ellis Amerika Serikat. Tabion melaporkan bahwa selama dua tahun ia bekerja bagi keluarga Mufti dengan hanya dibayar sekitar $ 50 per minggu selama lebih dari 60 jam kerja. Mufti 70 Ibid.

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang lingkupnya, hukum dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER A. Sejarah Hukum Diplomatik Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip hubungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2 PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA 1961 1 Oleh : Windy Lasut 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana terjadinya pelanggaran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen menempati wilayah tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. Keadulatan ini berupa kekuasaan yang dimiliki

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1982 TENTANG MENGENAI HUBUNGAN DIPLOMATIK BESERTA PROTOKOL OPSIONALNYA MENGENAI HAL MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN (VIENNA CONVENTION ON DIPLOMATIC RELATIONS ON DIPLOMATIC RELATIONS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan hidup di dunia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang memberikan pengertian bahwa manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1982 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI WINA MENGENAI HUBUNGAN DIPLOMATIK BESERTA PROTOKOL OPSIONALNYA MENGENAI HAL MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN (VIENNA CONVENTION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu negara tidak pernah dapat berdiri sendiri dan menjadi mandiri secara penuh tanpa sama sekali berhubungan dengan negara lain. Negaranegara di dunia perlu melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan diplomatik merupakan hal yang penting untuk dijalin oleh sebuah negara dengan negara lain dalam rangka menjalankan peran antar negara dalam pergaulan internasional.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

IMPLIKASI TERHADAP HUBUNGAN DIPLOMATIK NEGARA PENGIRIM DAN NEGARA PENERIMA ATAS TINDAKAN PENANGGALAN KEKEBALAN (IMMUNITY WAIVER)

IMPLIKASI TERHADAP HUBUNGAN DIPLOMATIK NEGARA PENGIRIM DAN NEGARA PENERIMA ATAS TINDAKAN PENANGGALAN KEKEBALAN (IMMUNITY WAIVER) SKRIPSI IMPLIKASI TERHADAP HUBUNGAN DIPLOMATIK NEGARA PENGIRIM DAN NEGARA PENERIMA ATAS TINDAKAN PENANGGALAN KEKEBALAN (IMMUNITY WAIVER) KEPADA PEJABAT DIPLOMATIK SUATU NEGARA (Study Kasus Penanggalan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 60/1994, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa mengadakan hubungan internasional dengan negara maupun subyek hukum internasional lainnya yang bukan negara.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA

BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA A. Macam-macam perwakilan negara Dewasa ini hampir setiap negara yang berdaulat selalu mengadakan hubungan dengan

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan Diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara negara satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing negara, hal ini

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA Oleh I. Gst Ngr Hady Purnama Putera Ida Bagus Putu Sutama

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama, sebab negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

Tugas Pkn: Perwakilan Diplomatik dan Konsuler

Tugas Pkn: Perwakilan Diplomatik dan Konsuler Tugas Pkn: Perwakilan Diplomatik dan Konsuler Anggota Kelompok: Arjuna Rahmat Dion Anggie Liliana Dwi Nanda Pramudya Ernita Elisabet Ryo Malvin Syarifa Azzahira Urwatil Wusqo Kelas XI IPA 5 SMAN 5 Pekanbaru

Lebih terperinci

Pada waktu sekarang hampir setiap negara. perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini. perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan

Pada waktu sekarang hampir setiap negara. perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini. perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan 1 A. URAIAN FAKTA Pada waktu sekarang hampir setiap negara perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini mempunyai dikarenakan perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan efektif dalam mengadakan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK. Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang. : suatu persetujuan yang diberikan oleh negara

ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK. Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang. : suatu persetujuan yang diberikan oleh negara LAMPIRAN ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang merupakan jurisdiksi diplomatik bagi Perwakilan diplomatik sesuatu negara pengirim yang ditetapkan menurut prinsip-prinsip

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingankepentingan. negara-negara. Biasanya ketentuan-ketentuan hukum

BAB I PENDAHULUAN. berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingankepentingan. negara-negara. Biasanya ketentuan-ketentuan hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teori yang menyatakan negara adalah subyek hukum internasional karena hanya negara yang punya hak dan kewajiban yang diatur hukum internasional kata Kelsen.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penjelasan umum Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang pengesahan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai hubungan Diplomatik beserta protokol

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59 REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA: Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Malaysia Selasa, 27 Juli :42

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Malaysia Selasa, 27 Juli :42 PEMERINTAH MALAYSIA DAN REPUBLIK INDONESIA: Berhasrat untuk memperkuat ikatan persahabatan yang telah terjalin lama antara kedua negara. Mengingat bahwa kerja sama yang efektif antara kedua negara dalam

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan subjek utama hukum internasional, hukum internasional mengatur hak-hak dan kewajiban negara karena hal utama yang diurus hukum internasional

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana PENGUJIAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DAN KONSULER AMERIKA SERIKAT BERDASARKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 673K/PDT.SUS/2012) Oleh Luh Putu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI

NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian-pengertian 2.1.1 Pengertian Peranan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Peranan mempunyai arti yaitu tindakan yang dilakukan dalam suatu peristiwa. Peranan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia Makna kata Perwakilan Diplomatik secara Umum Istilah diplomatik berasal

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 83, 2004 () KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga apabila kita substitusikan kepada

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga apabila kita substitusikan kepada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adalah suatu menjadi pendapat umum bahwa hakekat manusia itu adalah sebagai kepribadian dan masyarakat.dua unsur eksistensi ini merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan,

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. I/No. 5/September/2013. Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2005, Hal 513

Lex et Societatis, Vol. I/No. 5/September/2013. Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2005, Hal 513 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WILAYAH KEDUTAAN NEGARA ASING SEBAGAI IMPLEMENTASI HAK KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN DIPLOMATIK 1 Oleh : Adhitya Apris Setyawan 2 ABSTRAK Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui

Lebih terperinci

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA 1 K 29 - Kerja Paksa atau Wajib Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia

KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia Disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan persetujuan oleh Resolusi Majelis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEMENTERIAN LUAR NEGERI. Dalam sejarah perkembangan Kementerian luar negeri dapat dijelaskan bahwa: 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEMENTERIAN LUAR NEGERI. Dalam sejarah perkembangan Kementerian luar negeri dapat dijelaskan bahwa: 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEMENTERIAN LUAR NEGERI A. Sejarah Perkembangan Kementerian Luar Negeri Dalam sejarah perkembangan Kementerian luar negeri dapat dijelaskan bahwa: 16 Tahun 1945-1950 Tugas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL Republik Indonesia dan Republik Federal Jerman (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, pembentukan dan implementasi kebijakan luar negeri. Diplomasi adalah instrumen negara melalui

Lebih terperinci

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1 Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT Pasal 1 Maksud dari Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata adalah meneliti cara cara untuk melakukan harmonisasi dan koordinasi hukum perdata pada Negara

Lebih terperinci

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU No.547, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DPR-RI. Kode Etik. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DENGAN

Lebih terperinci

JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor I Februari 2016.

JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor I Februari 2016. ANALISIS YURIDIS PROSES HUKUM TERHADAP PEJABAT DIPLOMATIK YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DI NEGARA PENERIMA (STUDI KASUS ASUSILA PEJABAT DIPLOMAT MALAYSIA DI WELLINGTON, SELANDIA BARU) Nama: Ruth

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 78/2004, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL *51771 KEPUTUSAN

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci