BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain."

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan hidup di dunia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang memberikan pengertian bahwa manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia yang lain. 1 Walaupun manusia sebenarnya dilahirkan seorang diri tetapi dalam kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain. Bermula dari konsep manusia sebagai makhluk sosial maka terjadilah hubungan antar negara. Tidak ada satu negara di dunia ini yang dapat membebaskan diri dari keterlibatannya dengan negara lain. Karena suatu negara memiliki kepentingan di wilayah negara lain maka diciptakanlah suatu hubungan. Dalam rangka menjalin hubungan antar bangsa untuk merintis kerjasama dan persahabatan perlu dilakukan pertukaran missi diplomatik. Hampir semua negara pada saat ini diwakili di wilayah negara-negara asing oleh perutusan-perutusan diplomatik dan stafnya. Missi-missi diplomatik tersebut sifatnya permanen, meskipun dalam kenyataan pejabat-pejabat yang berdinas dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu. Sejalan dengan perkembangan yang terjadi 1 Galang Dea Alfarisi, Manusia Sebagai Makhluk Sosial, Sumber : diakses: 25 Januari 2015.

2 selama ratusan tahun, lembaga perwakilan diplomatik telah menjadi sarana utama dengan mana melakukan hubungan antar negara-negara. 2 Perwakilan diplomatik merupakan wakil resmi untuk mewakili negara asalnya dalam melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara penerima atau suatu organisasi internasional. Perwakilan diplomatik di suatu negara ini di kepalai oleh seorang duta dari suatu negara yang diangkat melalui surat pengangkatan atau surat kepercayaan (letter of credentials). Dimulai sejak abad ke-16 dan 17 dimana negaranegara di Eropa sudah mulai melakukan pertukaran duta-duta besarnya secara permanen dan hal ini sudah dianggap umum pada saat itu, hal mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik sudah dapat diterima dalam praktik negara-negara. Dan pada abad ke-17 sudah dianggap sebagai suatu kebiasan internasional. Selanjutnya pada pertengahan abad ke-18 aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan termasuk harta milik, gedung perwakilan, dan komunikasi diplomat. 3 Tugas perwakilan diplomatik secara umum adalah untuk mewakili kepentingan negara pengirim di negara penerima dan menjadi penghubung antar pemerintahan kedua negara. Berdasarkan pada Pasal 3 Konvensi Wina 1961, tugas seorang perwakilan diplomatik meliputi: 4 2 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, 2000, Halaman : Febi Hidayat, Pertanggungjawaban Negara Atas Pelanggatan Hak Kekebalan Diplomatik Ditinjau Dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan KBRI di Myanmar Tahun 2004), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas 2011, Halaman: 5 4 Roy Sanjaya, Tugas Perwakilan Diplomatik, sumber : diakses : 25 Januari 2015.

3 1. Mewakili negara pengirim dinegara penerima (representasi). 2. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperkenankakn oleh hokum internasional (proteksi). 3. Melakukan perudingan dengan pemerintah negara penerima (negoisasi). 4. Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada negara pengirim. 5. Meningkatkan hubungan persahabatan antara dua negara serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, perwakilan diplomatik memerlukan hak kekebalan dan keistimewaan demi kelancaran sang diplomat melaksanakan tugasnya di negara penerima. Pada mulanya pelaksanaan pemberian kekebalan diplomatik bagi para diplomat pada hakekatnya merupakan hasil sejarah diplomasi yang sudah lama sekali dimana pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan internasionanl. Sesuai dengan aturan-aturan kebiasaan dalam hukum internasional, para diplomat yang mewakili negara-negara sering memilliki kekebalan yang kuat dari yurisdiksi negara pengirim. Kekebalan-kekeban ini sering diberikan secara jelas dalam undang-undang maupun peraturan negara pengirim, dan kadang-kadang diberikan juga lebih banyak dari yang sudah ditentukan dalam hukum internasional. 5 Halaman : Edi Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Penerbit Mandar Jaya Solo,1992.

4 Alasan-alasan untuk memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan kepada para diplomat di negara penerima adalah: 6 1. Para diplomat adalah wakil-wakil negara; 2. Mereka tidak dapat menjalankan tugas secara bebas kecuali mereka diberikan kekebalan-kekebalan tertentu. Jelas bahwa jika mereka tetap bergantung kepada good-will pemerintah mereka mungkin terpengaruholeh pertimbangan-pertimbangan keselamatan perorangam; 3. Jelaslah pula bahwa jika terjadi gangguan pada komunikasi mereka dengan negaranya, tugas mereka tidak dapat berhasil. Kekebalan dibedakan dengan keistimewaan. Disatu pihak kekebalan yang diberikan baik kepada gedung perwakilan Diplomatik maupun para pejabat diplomatik beserta keluarganya membuat mereka tidak bisa diganggu gugat oleh aparat keamanan negara penerima serta harus dilindungi dan dicegah dari semua ganguan. Lain pihak keistimewaan yang juga dinikmati oleh perwakilan diplomatik dan para diplomat dan keluarganya tersebut menyangkut pembebasan mereka dari semua beaya masuk, pungutan dan pajak-pajak baik untuk barang bergerak maupun barang tidak bergerak, biaya-biaya lainnya, termasuk bea masuk untuk pembelian barang-barang yang diimport. 7 6 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Penerbit Alumni Bandung, 2005, Halaman Konvensi Wina 1961 pasal 34 dan 36.

5 Kekebalan diplomatik yang melekat pada pejabat diplomatik berdasarkan pada Konvensi Wina Tahun 1961 secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu: 1. Kekebalan terhadap yurisdiksi pidana; 2. Kekebalan terhadap yurisdiksi perdata; 3. Kekebalan terhadap perintah pengadilan setempat; 4. Kekebalan dalam mengadakan komunikasi; 5. Kekebalan gedung dan tempat kediaman perwakilan diplomatik. Seiring daengan perkembangannya di dalam dinamika hubungan diplomatik kejadian yang tidak dapat dihindari yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan perlindungan pejabat diplomatik. 8 Salah satu pelanggaran yang tidak jarang terjadi berkaitan dengan kekebalan diplomatik adakah perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan. 9 Meningkatnya sejumlah kejahatan serius yang dilakukan terhadap perutusan dan misi-misi diplomatik seperti pembunuhan dan penculikan para perutusan serta serangan-serangan yang diajukan terhadap gedung-gedung kedutaan, menyebabkan dilakukkannya pengesahan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 8 Mohammad Firdaus kurnia, Tanggung Jawab Pemerintah Libya Terhadap Seranngan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Benghazi Libya Tahun 2012, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2013, Halaman : 9 9 Ibid.

6 tanggal 14 Desember 1973, atas Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan-kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi secara Internasional, termasuk wakil-wakil Diplomatik (Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatik Agents). Meskipun telah ada konvensi tersebut, serangan-serangan terhadap gedung-gedung kedutaan dan kejahatan-kejahatan kekerasan dan lain-lain yang dilakukan terhadap personil diplomatik masih terus terjadi sampai saat ini, masih banyak pula tindakantindakan kekerasan yang mengancam keselamatan para diplomat didalam menjalankan tugas diplomatiknya. walaupun memang agak berkurang. 10 Banyak kasus mengenai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik oleh negara penerima. Salah satunya yaitu dilakukannya penangkapan oleh kepolisian Amerika Serikat terhadap diplomat India Devyani Khobragade. Kasus ini bermulai dari Khobragade melakukan pemalsuan infomasi pengajuan izin tinggal (visa) pembantunya yaitu Sangeeta Richard. Khobragade dituduh telah memperkerjakan Sangeeta Richard dan membayar upah dibawah upah minimal yang ditetapkan oleh hukum Amerika Serikat. Upah minimal yang telah ditetapkan oleh Amerika Serikat sebesar US$ 9,75 per jamnya sementara Khobragade memasukkan angka manipulasi ke dalam visa sebesar US$ 10 per jam agar Sangeeta menmperoleh visa A-3. Atas hal tersebutlah pada tanggal 11 Desember 2013 Khobragade didakwa dengan penipuan visa. Pada tanggal 12 Desember 2013 Devyani Khobragade ditangkap oleh US Marshall Halaman : J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, 2000,

7 Amerika Serikat, Khobragade ditangkap setelah mengantar anaknya di sekolah. Perlakuan polisi federal saat penangkapan itu memicu kemarahan di India. Khobragade mengaku ia mendapat perlakuan seperti penjahat brutal meski sudah berulang kali menyatakan bahwa dirinya adalah diplomat yang dilindungi kekebalan diplomatik. 11 B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari penjelasan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang dapat dipaparkan antara lain : 1. Bagaimana praktek negara penerima dalam penerapan kekebalan diplomatik terhadap anggota missi diplomatik? 2. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran atas kekebalan diplomatik oleh negara penerima terhadap staf missi diplomatik? 3. Bagaimana penyelesaian kasus penangkapan staf diplomat India oleh kepolisian Amerika Serikat? C. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui praktek negara penerima dalam penerapan kekebalan diplomatik terhadap anggota missi diplomatik. 11 Politik Indonesia, AS Usir Diplomat India Devyani Khobragade, sumber: diakses : 25 Januari 2015.

8 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran atas kekebalan diplomatik oleh negara penerima terhadap staf missi diplomatik. 3. Untuk mengetahui penyelesaian kasus penangkapan staf diplomat India oleh kepolisian Amerika Serikat. Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penuliisan skripsi ini adalah: 1. Secara teoritis Memberikan pemahaman akan adanya prinsip-prinsip yang harus diaati dalam hubungan diplomatik yang dilaksanakan antar negara sesuai dengan Konvensi Wina 1961 dan 1963 dan menambah pengetahuan kita bersama dalam mendalami dan mempelajari hukum internasional secara umum dan hukum diplomatik secara khusus tentang pelanggaran kekebalan diplomatik. 2. Secara praktis Agar skripsi ini dapat menjadi kajian bagi praktisi hukum internasional terutama dalam bidang hukum diplomatik karena dalam hubungan diplomatikyang dilaksanakan oleh negara-negara harus mematuhi prinsipprinsip hubungan diplomatik yang telah ada dan diakui secara internasional sehingga kita menjadi lebih kritis terhadap pelanggarana-pelanggaran yang dilakukan terhadap prinsip-prinsip hubungan diplomatik. D. Keaslian Penulisan

9 Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum bahwa penulisan tentang Pelanggaran Hak Atas Kekebalan Diplomatik Pejabat Missi Diplomatik Oleh Negara Penerima belum pernah ada ditulis sebelumnya. Khusus yang terdapat di Fakultas Hukum, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak administrator bagian atau jurusan hukum internasional. E. Tinjauan Kepustakaan Meningkatnya kerja sama antarnegara dalam menggalang perdamaian dunia demi kesejahteraan manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial maka tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula. Pengaturan diplomatik kodifikasi hukum diplomatik memang tidak begitu pesat sebelum didirikannya badan PBB. Hampir semua negara pada saat ini diwakili di wilayah negara-negara asing oleh perutusan-perutusan diplomatik dan stafnya. Langkah-langkah utama dalam membangun misi diplomatik permanen adalah mengangkat kepala misi, memperoleh tempat untuk misi dan tempat tinggal untuk kepala, mengangkat staf dan menempatkan staf tersebut di tempat sarana praktis dari operasi, seperti komunikasi dan transportasi. Karena signifikansi represantional dan fungsional dari kepala misi,

10 prosedur yang lebih rumit diperlukan untuk penunjukkan daripada untuk diplomat lainnya. 12 Dewasa ini sebagi landasan yuridis untuk membuka hubungan diplomatik antarnegara dapat kita pergunakan ketentuan pasal 2 Konvensi Wina 1961 yang menggariskan : the establishment of diplomatik relations between states, and of permanent diplomatik missions, take place by mutual consent. Pasal 2 konvensi ini hanya menyatakan syarat syarat terbentuknya suatu hubungan diplomatik itu sendiri, Berdasarkan pasal tersebut, dapat kita lihat bahwa kesepakatan bersama (mutual consent) merupakan syarat mutlak berdirinya suatu hubungan diplomatik, baik oleh antar negara maupun oleh suatu misi diplomatik yang permanen. Hubungan diplomatik antarnegara dapat diadakan dengan perhubungan persahabatan antarpemerintah mereka dalam bentuk apapun, tetapi hubungan diplomatik tetap dianggap ada, hanya dengan didirikannya misi diplomatik, atau lebih baik dengan pertukaran misi diplomatik. Sebelum kita memahami tugas dan fungsi perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961, maka ada baiknya pula kita melihat dan memahami beberapa pendapat sebagaimana yang dikemukakan dibawah ini: Halaman: Richard K.Gardiner, International Law, (Harlow: Pearson Education Limitedd, 2003),

11 Menurut Oppenheim-Lauterpacht, pada pokoknya hanya terdapat tiga tugas yang wajib dilakukan oleh perwakilan diplomatik yaitu: negotiation, observation, dan protection. 13 Dalam hal negosiasi, Ia harus mengemukakan pandangan dan kepentingan negaranya terhadap situasi ataupun perkembangan dunia pad saat itu kepada negara penerima. Dalam observation, Ia harus mampu mengemukakn secara seksama atas segala kejadian di negara penerima yang mungkin dapat mempengaruhi kepentingan nasional negaranya. Bahkan jika dianggap perlu melapporkan tentang hal-hal tersebut kepada pemerintah negaranya. Dalam hal proteksi, Ia harus mampu memberi perlindungan kepada diri dan badan hukum maupun harta benda warga negaranya dan termasuk pula dengan kepentinan negaranya dengan memperhatikan dan mengindahkan pengaturanprngaturan hukum internasional dalam tersebut. Fungsi-fungsi atau tugas-tugas yang akan dilakukan oleh misi sudah diakui secara umum diabad-abad lampau, dan telah dirumuskan di dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yang terdiri atas: Oppenheim-Lauterpacht, International Law, Vo1 8 th edition, (London-New York:Longmans Green & Co, 1960), Halaman: C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Internasional, Jakarta, Djambatan, 2002, Halaman: 94

12 1. Mewakili negara pengirim dalam negara penerima 2. Melindungi kepentingan-kepentingan dan warga-warga negara pengirim di negara penerima di dalam batasbatas yang diizinkan oleh hukum internasional 3. Mengadakan negosiasi dengan pemerintah negara penerima 4. Menentukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum, keadaan, dan perkembangan di negara penerima dan member laporan tentang itu kepada pemerintah negara penerima. 5. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan penerima dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan sosial mereka. Agar diplomat dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik maka diperlukan hak kekebalan dan keistimewaan di negara penerima maupun negara ketiga. Hak kekebalan dan keistimewaan ini tidak hanya diperuntukkan untuk sang diplomat saja tetapi untuk keluarga diplomat, anggota staf diplomat, maupun pembantu diplomat. Adapun hak kekebalan dan keistimewaan tersebut adalah : 1. Kekebalan mengenai diri pribadi Ketentuan tentang kekebalan pribadi diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina Yang menyatakan the person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall no be liable to any form of arrest or detention. The receiving state shall terat him with due respect and shall the propriate steps to prevent and attack on his person freedom or dignity. Yang berarti bahwa pejabat diplomatic adalah inviolable. Ia tidak dapat ditangkap atau ditahan.

13 2. Kekebalan keluarga seorang wakil diplomatik Ketentuan mengenai kekebalan keluara diplomatic terdapat dalam pasal 37 ayat 1 Konvensi Wina Yang menyatakan the members of family of a diplomatik agent forming part of his household shall, if they are not nationals of the receiving state, enjoy the privileges and immunities specifies in article 29 to 36. Yang artinya anggota keluarga dari seorang wakil diplomatik yang merupakan bagian dari rumah tangganya, yang bukan berwarganegara penerima akan meikmati hak-hak istimewa dan kekebalan sebagaimana diatur dalam pasal 29 sampai Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi Dalam pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 terdapat suatu ketentuaan yang berbunyi sebagai berikut. a diplomatic agent is not obliged to give as a withness maka seeorang wakil diplomatik tidak boleh diwajibkan untuk menjadi saksi di muka pengadilan negara setempat, baik yang menyangkut perkara perdata maupun menyangkut perkara pidana, dan administasi 4. Kekebalan korespondensi Pasal 27 konvensi wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Dimaksud dengan hak untuk berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk bebas dalam kegiatan surat- menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubunngan komunikasi. 15 Ayunika, Op.Cit, Halaman :73

14 5. Kekebalan kantor perwakilan asing dan tempat kediaman seorang wakil diplomatik Secara jelas terdapat di dalam pasal 22 dan 30 Konvensi Wina Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas kantor perwakilan dan tempat kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit 7. Perjalanan karena force majeure 8. Pembebasan pajak-pajak 9. Pembebasan dari bea cukai dan bagasi 10. Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial 11. Pembebasan dari pelayanan pribadi, umum dan militer 12. Pembebasan dari kewarganegaraan. Hak kekebalan dan keistimewaan diplomat ini dapat dinikmati para diplomat setelah mereka memasuki wilayah negara penerima dalam rangka proses menempati pos kedinasannya untuk melaksanakan fungsi resminya. Dan berakhirnya kekebalan dan keistimewaan diplomatik ini jika para diplomat meninggalkan negara penerima, atau pada saat berakhirnya suatu periode yang layak, akan tetapi kekebalan dan keistimewaan akan terus ada sampai saat berakhirnya periode yang dimaksud tersebut, bahkan dalam hal terjadinya konflik bersenjata antara negara penerima dengan negara pengirim pun kekebalan dan keistimewaan tetap ada.

15 Menurut J.G Starke, sebuah pejabat missi diplomatik dapat berakhir dengan cara yang berbeda-beda diantaranya: Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang mengirimnya. Surat penarikan kembali biasanya disampaikan kepada kepala negara atau kepala menteri luar negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang bersangkutan akan menerima pengembalian Lettre de Recreance yang memberitahukan penarikannya. 2. Pemberitahuan oleh negar apengirim kepada negara penerima bahwa tugas perutusan itu telah berakhir (pasal 43 Konvensi Wina). 3. Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled). Negara tuan rumah tidak perlu memberikan penjelasan mengenai permintaan tersebut (lihat Pasal 8 Konvensi Wina), akan tetapi seperti dalam kasus permintaan Australia pada bulan Juni 1986 agar Atase Afrika Selatan kembali negaranya, hal ini secara tegas dapat didasarkan atas suatu klaim tetang tuduhan tindakakn yang tidak dapat diterima, dengan suatu batas waktu tertentu untuk keberangkatanyya (sepuluh hari seperti yang ditanyakan dalam permintaan Australia untuk pemulangan Atase yang dikemukakan di atas). Walaupun penyebutan tentang batas waktu itu tidak secara etgas diisyaratkan oleh Konvensi Wina J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, Halaman 571-

16 4. Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara pengirim dan negara penerima. 5. Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak mengakuinya lagi sebagai anggota misi (pasal 9 dan 43 Konvensi Wina). 6. Tujuan misi tersebut telah terpenuhi. 7. Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya untuk waktu terbatas. Kekebalan diplomatik merupakan hal yang penting bagi wakil dari negaranegara dalam melakukakn hubungannya dengan negara lain dalam melakukan diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut. Sehubungan dengan itu terdapat 3 teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik luar negeri yaitu sebagai berikut: 1. Teori Ekstrateritorialitas (Exterritotiality Theory) Teori ini menganggap bahwa meskipun para diplomat secara konkret ada/tinggal di negara penerima, tetapi secara yuridis dianggap ada diluar wilayah negara penerima yaitu tetap tinggal di negara pengirim. Sebagai konsekuensi alur pemikiran tersebut, para anggota misi tidak tunduk dan tidak dikuasai oleh hukum negara penerima, tetapi tetap tunduk pada hukum negara

17 pengirim. Dengan demikian, menurut teoori tersebut seluruh edun perwakilan dam perabot yang ada didalamnya termasuk orang-orang yang mendiami gedung perwakilan dianggap ada diluar wilayah negara penerima. Wilayah tersebut dianggap sebagai perluasan dari wilayah negara pengirim. 2. Teori Diplomat Sebagai Wakil Negara Berdaulat atau Wakil Kepala Negara (Representative Character) Dalam bahasa Indonesia diartikan teori sifat seorang diplomat sebagai wakil lnegara berdaulat, atau teori sifat perwakilan. Memnurut teori tersebut, diplomat dianggap sebagai symbol atau lambang negara pengirim sekaligus wakil negara pengirim di negara penerima karena itu segala perbuatan diplomat harus dianggap sebagai perbuatan dari kepala negara atau setidaknya dianggap sebagai pencerminan kehendak negara pengirim. 3. Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Neccesity Theory) Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatic perlu diberikan kepada diplomat agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga hasil pekerjaannya memuaskan negara penerima dan negara pengirim. Anggota staf perwakilan diplomatik terdiri dari anggota staf diplomatik yaitu mereka yang mempunyai gelar dari anggota atau kepangkatan diplomatik yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat politis atau diplomatis yang memegang paspor diplomatik dan anggota staf administrasi, teknis dan pelayanan dari perwakilan yang diperkerjakan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi

18 dan teknis yang pada umumnya memegang paspor dinas. Didalam lingkungan staf diplomatik sendiri dibedakan dalam dua kategori 17 : 1. Kategori pertama, staf diplomatik yang diangkat dari kementerian luar negeri yang merupakan staf diplomatik karir yang mempunyai jenjang kepangkatan dari pangkat diplomatik terendah. a. Atase merupakan pangkat atau gelar diplomatik yang paling rendah b. Sekretaris III c. Sekretaris II d. Sekretaris I e. Counsellor f. Minister Counsellor g. Minister bisa disebut sebagai duta (bukan duta besar) dan merupakan pangkat setingkat lebih rendah dari duta besar dan setingkat lebih tinggi dari Minister Counsellor. 2. Kategori kedua adalah para pejabat diplomatik yang pengangkatannya berasal dar kementerian-kementerian lain termasuk lembaga dan institusi-institusi lainnya (sifatnya non-karir) yang di perbantuan kepada perwakilan diplomatik dari negaranya. Kepangkatan kategori kedua ini karena pada umumnya bersifat teknis, maka keoada mereka diberikakn satu status sebagai Service 17 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Tata Nusa, Jakarta, 2013, Halaman:

19 Attaches yang namanya tergantung dari Kementerian, lembaga atau institusi mana mereka berasal. Negara penerima wajib menjaga keamanan dan keselamatan para diplomat yang bertugas dinegaranya baik dari warga negara penerima maupun warga negara asing. Tetapi pada saat sekarang ini makin banyak kasus pelanggaran kekebalan diplomatik oleh negara penerima. Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah: 1. Pelanggaran terhadap gedung perwakilan diplomatik 2. Pelanggaran kebebasan komunikasi 3. Penistaan lambang negara 4. Penangkapan dan penaanan terhadap staf misi diplomatik. Salah satu pelanggaran kasus yang menjadi perbincangan dunia internasional saat sekarang ini adalah ditangkap dan ditahannya diplomat India Devyani Khobragade di Amerika Serikat. Dengan tuduhan pemalsuan Visa pembantu rumah tangganya. Didalam Visa pembantu Devyani yang bernama Sangeeta Richard devyani membuat pernyataan akan membayar gaji sang pembanu dengan jumlah US$10. Tetapi keyataannya tidak. Hal ini dilakukan Devyani agar Sangeeta mendapatkan visa A-3, Dimana Visa A-3 tersebut merupakan visa non-imigran dan memungkinkan pemegangnya untuk bekerja di mana saja di Amerika Serikat untuk majikan tertentu.

20 F. Metode Penelitian Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang dipakai sebagai berikut : 1. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan Yuridis normatif merupakan penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sitem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran) 18 Penelitian dalam skripsi ini adalag penelitian yuridis normatif. Penilitian yuridis normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi preskriptif tentang suatu peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem kaidah atau atauran, sehingga penilitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait Halaman: Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada Jakarta, 2001,

21 dengan suatu peristiwa hukum. yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Dokumen yang dimaksud disini adalah dokumen yang terkait dengan hubungan internasional yang mengatur tentang hubungan diplomatik dan hubungan konsuler antara lain: Konvensi Wina 1961, Konvensi Wina 1963, Konvensi Wina Data Penelitian Sumber data dari penelitian ini berasal dari Library Research (penelitian kepustakaan). Penelitian kepustakaan ini dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat di klasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu : a. Primary Resource atau Authoritative Records (Bahan Hukum Primer) Merupakan berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, dalam tulisan ini antara lain Konvensi Wina 1961 b. Secondary Resource atau Not authoritative Records (Bahan Hukum Sekunder) Merupakan bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang keputusan kasus diplomat India ditangkap oleh kepolisian Amerika Serikat serta macam-macam pelanggaran hak atas kekebalan diplomatik di negara penerima seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, dan lain-lain. c. Tertiary Resource (Bahan Hukum Tersier)

22 Merupakan bahan bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa literatur asing. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut : a. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, serta dokumen-dokumen pemerintahan. b. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan. c. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

23 4. Analisis Data Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sitematis sebelumnya, akan dianalisis dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut: 19 a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru)yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti sedemkian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir. b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus. c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi) antara satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam 19 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Suatu pengantar, (Jakarta: Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2003), Halaman : 10-11

24 menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Adapun sistematika skripsi ini sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan Yaitu menguraikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II : Praktek Negara Penerima Dalam Penerapan Kekebalan Diplomatik Terhadap Anggota Missi Diplomatik Yaitu menguraikan tentang Sejarah Hubungan Diplomatik, Fungsi dan Tujuan Pejabat Missi Diplomatik, Teori-Teori Kekebalan Diplomatik, Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik, Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik, dan Praktek Negara Penerima Penerapan Kekebalan Diplomatik Terhadap Anggota Missi Diplomatik. BAB III : Bentuk-Bentuk Pelanggaran Atas Kekebalan Diplomatik Oleh Negara Penerima Terhadap Staf Missi Diplomatik Yaitu menguraikan tentang Pelanggaran Terhadap Gedung Perwakilan Diplomatik, Pelanggaran Kebebasan Berkomunikasi. Penistaan Lambang negara serta Penangkapan dan Penahanan Terhadap Staf Missi Diplomatik

25 BAB IV : Penyelesaian Kasus Penangkapan Diplomat India Oleh Kepolisian Amerika Serikat Yaitu menguraikan tentang Latar Belakang Kasus Peangkapan Diplomat India Oleh Kepolisian Amerika Serikat, Tanggapan Pihak India Atas Kasus Penangkapan Diplomat India, dan Tinjauan Mengenai Penanganan dan Penyelesaian Kasus Penangkapan Diplomat India oleh Kepolisian Amerika Serikat. BAB V : Penutup Yaitu menguraikan Kesimpulan dan Saran.

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang lingkupnya, hukum dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya

BAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan diplomatik merupakan hal yang penting untuk dijalin oleh sebuah negara dengan negara lain dalam rangka menjalankan peran antar negara dalam pergaulan internasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama, sebab negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen menempati wilayah tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan. Keadulatan ini berupa kekuasaan yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan Diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara negara satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing negara, hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu negara tidak pernah dapat berdiri sendiri dan menjadi mandiri secara penuh tanpa sama sekali berhubungan dengan negara lain. Negaranegara di dunia perlu melakukan

Lebih terperinci

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2

PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2 PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA 1961 1 Oleh : Windy Lasut 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana terjadinya pelanggaran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penjelasan umum Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang pengesahan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai hubungan Diplomatik beserta protokol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingankepentingan. negara-negara. Biasanya ketentuan-ketentuan hukum

BAB I PENDAHULUAN. berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingankepentingan. negara-negara. Biasanya ketentuan-ketentuan hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teori yang menyatakan negara adalah subyek hukum internasional karena hanya negara yang punya hak dan kewajiban yang diatur hukum internasional kata Kelsen.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan

BAB I PENDAHULUAN. Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia. Juru bicara Kementerian Kelautan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus tenggelamnya kapal penangkap ikan Oryong 501 milik Korea Selatan pada Desember tahun 2014 lalu, menambah tragedi terjadinya musibah buruk yang menimpa

Lebih terperinci

BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK

BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK A. Sejarah Hubungan Diplomatik Meningkatnya kerja sama antar negara dalam menggalang perdamaian dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa mengadakan hubungan internasional dengan negara maupun subyek hukum internasional lainnya yang bukan negara.

Lebih terperinci

BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA

BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA A. Macam-macam perwakilan negara Dewasa ini hampir setiap negara yang berdaulat selalu mengadakan hubungan dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini memiliki hukum positif untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga negaranya atau orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan Organisasi Internasional itu sendiri, yang sudah lama timbul

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

Pada waktu sekarang hampir setiap negara. perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini. perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan

Pada waktu sekarang hampir setiap negara. perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini. perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan 1 A. URAIAN FAKTA Pada waktu sekarang hampir setiap negara perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini mempunyai dikarenakan perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan efektif dalam mengadakan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA Oleh I. Gst Ngr Hady Purnama Putera Ida Bagus Putu Sutama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. rangka berinteraksi dengan negara-negara lain. Pola interaksi hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. rangka berinteraksi dengan negara-negara lain. Pola interaksi hubungan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan Internasional sangat diperlukan oleh suatu negara dalam rangka berinteraksi dengan negara-negara lain. Pola interaksi hubungan internasional tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Skripsi PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA ATAS PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI ASPEK HUKUM INTERNASIONAL

Skripsi PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA ATAS PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI ASPEK HUKUM INTERNASIONAL Skripsi PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA ATAS PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI ASPEK HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PENYADAPAN KBRI DI MYANMAR TAHUN 2004) Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja sama dalam berbagai bidang. 1. hubungan luar negeri melalui pelaksanaan politik luar negeri. 4

BAB I PENDAHULUAN. kerja sama dalam berbagai bidang. 1. hubungan luar negeri melalui pelaksanaan politik luar negeri. 4 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia yang makin lama makin maju sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara global, serta meningkatnya interaksi dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana PENGUJIAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DAN KONSULER AMERIKA SERIKAT BERDASARKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 673K/PDT.SUS/2012) Oleh Luh Putu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan memperoleh dan meningkatkan kesejahteraan. 1 Mengingat prospek

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan memperoleh dan meningkatkan kesejahteraan. 1 Mengingat prospek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasar modal merupakan salah satu sumber pembiayaan perusahaan secara jangka panjang. Keberadaan institusi ini bukan hanya sebagai wahana sumber pembiayaan saja, tetapi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Unviversitas Andalas. Oleh. Irna Rahmana Putri

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Unviversitas Andalas. Oleh. Irna Rahmana Putri TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA KONSUL MALAYSIA DI PEKANBARU BERDASARKAN KONVENSI WINA TAHUN 1963 TENTANG HUBUNGAN KONSULER SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga apabila kita substitusikan kepada

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga apabila kita substitusikan kepada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adalah suatu menjadi pendapat umum bahwa hakekat manusia itu adalah sebagai kepribadian dan masyarakat.dua unsur eksistensi ini merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 Oleh: Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja Bagian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, pembentukan dan implementasi kebijakan luar negeri. Diplomasi adalah instrumen negara melalui

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia Makna kata Perwakilan Diplomatik secara Umum Istilah diplomatik berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ruang angkasa merupakan sebuah tempat baru bagi manusia, sebelumnya ruang angkasa merupakan wilayah yang asing dan tidak tersentuh oleh peradaban manusia. Potensi ruang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG Oleh : Airlangga Wisnu Darma Putra Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER A. Sejarah Hukum Diplomatik Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip hubungan

Lebih terperinci

ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK. Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang. : suatu persetujuan yang diberikan oleh negara

ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK. Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang. : suatu persetujuan yang diberikan oleh negara LAMPIRAN ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang merupakan jurisdiksi diplomatik bagi Perwakilan diplomatik sesuatu negara pengirim yang ditetapkan menurut prinsip-prinsip

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015. PERLINDUNGAN TERHADAP DIPLOMAT DARI SERANGAN TERORIS 1 Oleh: Lidya Rosaline Kaligis 2

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015. PERLINDUNGAN TERHADAP DIPLOMAT DARI SERANGAN TERORIS 1 Oleh: Lidya Rosaline Kaligis 2 PERLINDUNGAN TERHADAP DIPLOMAT DARI SERANGAN TERORIS 1 Oleh: Lidya Rosaline Kaligis 2 ABSTRAK Setiap negara memiliki berbagai kebutuhan dan kepentingan sehingga diperlukan suatu hubungan antarnegara yang

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Negara Penerima Untuk Memberitahukan Kepada Perwakilan Diplomatik. Asing Tentang Persoalan Hukum Yang Menimpa Warga Negara Pengirim

BAB III PENUTUP. Negara Penerima Untuk Memberitahukan Kepada Perwakilan Diplomatik. Asing Tentang Persoalan Hukum Yang Menimpa Warga Negara Pengirim 86 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari penelitian yang telah penulis lakukan mengenai Kewajiban Negara Penerima Untuk Memberitahukan Kepada Perwakilan Diplomatik Asing Tentang Persoalan Hukum Yang Menimpa

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: State, Diplomatic Relation, Vienna Convention 1961, United Nation

ABSTRACT. Keywords: State, Diplomatic Relation, Vienna Convention 1961, United Nation TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KERUSAKAN GEDUNG PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH KONFLIK (STUDI KASUS KERUSAKAN GEDUNG DIPLOMATIK REPUBLIK INDONESIA DI YAMAN) Oleh: I Gusti Ngurah Artayadi Putu Tuni Cakabawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktifitasnya yang berupa tanah. Tanah dapat berfungsi tidak saja sebagai lahan

BAB I PENDAHULUAN. aktifitasnya yang berupa tanah. Tanah dapat berfungsi tidak saja sebagai lahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, manusia tentu memerlukan lahan atau tempat sebagai fondasi untuk menjalankan aktifitasnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEMENTERIAN LUAR NEGERI. Dalam sejarah perkembangan Kementerian luar negeri dapat dijelaskan bahwa: 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEMENTERIAN LUAR NEGERI. Dalam sejarah perkembangan Kementerian luar negeri dapat dijelaskan bahwa: 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEMENTERIAN LUAR NEGERI A. Sejarah Perkembangan Kementerian Luar Negeri Dalam sejarah perkembangan Kementerian luar negeri dapat dijelaskan bahwa: 16 Tahun 1945-1950 Tugas

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan 30.

BAB III PENUTUP. Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan 30. 39 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun 1961 mengatur secara umum tentang perlindungan Misi Diplomatik baik dalam wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental spiritual

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, pelaksanaan

Lebih terperinci

IMPLIKASI TERHADAP HUBUNGAN DIPLOMATIK NEGARA PENGIRIM DAN NEGARA PENERIMA ATAS TINDAKAN PENANGGALAN KEKEBALAN (IMMUNITY WAIVER)

IMPLIKASI TERHADAP HUBUNGAN DIPLOMATIK NEGARA PENGIRIM DAN NEGARA PENERIMA ATAS TINDAKAN PENANGGALAN KEKEBALAN (IMMUNITY WAIVER) SKRIPSI IMPLIKASI TERHADAP HUBUNGAN DIPLOMATIK NEGARA PENGIRIM DAN NEGARA PENERIMA ATAS TINDAKAN PENANGGALAN KEKEBALAN (IMMUNITY WAIVER) KEPADA PEJABAT DIPLOMATIK SUATU NEGARA (Study Kasus Penanggalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas wilayahnya baik darat, air, maupun udara, dimana hukum yang berlaku adalah hukum nasional negara masing-masing.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah sebagai lahan untuk memperoleh pangan. untuk pertanian, maupun perkebunan untuk memperoleh penghasilan

BAB I PENDAHULUAN. tanah sebagai lahan untuk memperoleh pangan. untuk pertanian, maupun perkebunan untuk memperoleh penghasilan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia hidup, tumbuh besar, dan berkembangbiak, serta melakukan segala aktivitas di atas tanah, sehingga manusia selalu berhubungan dengan tanah. Manusia hidup dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu badan hukum ataupun Pemerintah pasti melibatkan soal tanah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. suatu badan hukum ataupun Pemerintah pasti melibatkan soal tanah, oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting, karena setiap kegiatan yang dilakukan baik perseorangan, sekelompok orang, suatu badan hukum ataupun

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI

NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi membuat perubahan disegala aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi membuat perubahan disegala aspek kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi membuat perubahan disegala aspek kehidupan ini, salah satunya ialah dibidang hubungan international dimana setiap negara bisa berhubungan

Lebih terperinci

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup bermasyarakat, karena sebagai individu, manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE AUSTRIAN FEDERAL GOVERNMENT ON VISA EXEMPTION FOR HOLDERS

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. I/No. 5/September/2013. Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2005, Hal 513

Lex et Societatis, Vol. I/No. 5/September/2013. Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2005, Hal 513 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WILAYAH KEDUTAAN NEGARA ASING SEBAGAI IMPLEMENTASI HAK KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN DIPLOMATIK 1 Oleh : Adhitya Apris Setyawan 2 ABSTRAK Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. 1 Masuknya ketentuan

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jual beli tanah merupakan suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah (penjual) berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB I. memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah. dan membutuhkan penanganan segera supaya tidak semakin membelit dan

BAB I. memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah. dan membutuhkan penanganan segera supaya tidak semakin membelit dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di 1 PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA PENERIMA TERHADAP TERBUNUHNYA DUTA BESAR AMERIKA SERIKAT DAN KERUSAKAN GEDUNG KEDUTAAN BESAR AMERIKA SERIKAT DI LIBYA Dhoti Prihanisa Auliyaa, Peni Susetyorini, Muchsin Idris*)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,

BAB III METODE PENELITIAN. norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, artinya penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan laut ini. Tetapi karena

BAB I P E N D A H U L U A N. pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan laut ini. Tetapi karena BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Mengikuti perkembangan dari perekonomian yang moderen, adanya pengangkutan merupakan salah satu sarana yang cukup penting dalam menunjang pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada

BAB I PENDAHULUAN. Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia untuk mengadakan berbagai penelitian mengenai penyakit menular. Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negara yang secara geografis sangat luas wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah sepatutnya Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjudul Tentang Sewa-Menyewa yang meliputi Pasal 1548 sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. berjudul Tentang Sewa-Menyewa yang meliputi Pasal 1548 sampai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjanjian sewa-menyewa diatur di bab VII Buku III KUHPerdata yang berjudul Tentang Sewa-Menyewa yang meliputi Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Defenisi

Lebih terperinci