BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum."

Transkripsi

1 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. Di antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. 1 Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. 2 Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini. Keadilan 1 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal Ibid.. hlm. 23.

2 12 dalam filsafat hukum menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada. 3 Aristoteles menegaskan bahwa keadilan sebagai inti dari filsafat hukumnya. 4 Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dia juga membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. 5 Pertama, berlaku dalam hukum publik, kedua, dalam hukum perdata dan pidana. John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang dan mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) 6 bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Dalam kaitannya dengan teori keadilan tersebut diatas, dalam sebuah negara penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh aktivitas kehidupan hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan 3 Ibid. 4 Ibid. hlm Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: kanisius, 1995 hal John Rawls, A Theory of Justice, terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

3 13 hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingankepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema law in action bukan pada law in the books. Saat ini dapat dilihat dan dirasakan bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, dan pelanggaran hukum. 7 Beberapa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, yang dimulai dengan bergulirnya agenda reformasi, telah menghasilkan berbagai perubahan besar di tanah air, khususnya dalam hal demokratisasi dan sistem ketatanegaraan. Dimana agenda yang paling mendasar dalam proses transisi menuju demokrasi adalah reformasi konstitusi sebagai syarat utama dari sebuah Negara demokrasi konstitusional. Karena proses transformasi kearah pembentukan sistem demokrasi hanya dimungkinkan bila didahului oleh perubahan fundamental dalam aturan konstitusi yang memberikan dasar bagi 7 Prof. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH., Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan, Sebuah Tulisan yang diterbitkan dalam Majalah Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, hlm

4 14 berbagai agenda demokrasi lainnya. 8 Reformasi politik dan Ekonomi yang bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi hukum. Namun menurut Prof. Jimly Assiddiqie, S.H., 9 reformasi hukum yang menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi ketatanegaraan yang mendasar, dan itu artinya diperlukan sebuah constitutional reform yang tidak setengah hati. Dalam sebuah Negara, tidak ada konstitusi yang memasukkan semua peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Karena itu, konstitusi merupakan dokumen yang hanya memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya ia hanya mengandung hal-hal yang bersifat pokok, mendasar, atau asas-asasnya saja. Karena itu, sifat dan karakteristik konstitusi yang demikian dimaksudkan agar ia tidak selalu diubah karena perkembangan zaman dan masyarakat. Menurut, Miriam Budiarjo 11, konstitusi merupakan sebuah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa. Dimana dalam konstitusi terdapat berbagai aturan pokok yang berkaitan dengan kedaulatan, pembagian kekuasaan, lembaga-lembaga Negara, cita-cita dan ideology Negara, masalah ekonomi dan sebagainya. Sejalan dengan prinsip konstitusionalisme, gagasan konstitusi sebagai alat pembatasan kekuasaan, tidak dapat dilepaskan lagi dari gagasan hak asasi manusia, demokrasi dan Negara hukum. Dimana konstitusi merupakan kristalisasi 10 8 Ni matul Huda, S.H.,M.Hum. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hlm Ibid. 10 Ibid. hlm Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 107.

5 15 normatif atas tugas Negara dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia dan melaksanakan pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat disertai batasbatas kekuasaan secara hukum yang diarahkan bagi kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 12 Pada awal bergulirnya gerakan reformasi, tekad untuk memberantas segala penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewenganpenyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, ternyata belum diikuti dengan langkah nyata dan kesungguhan pemerintah termasuk juga aparat penegak hukum dalam usaha penegakan hukum di Indonesia. Sebagai reaksi dari adanya tuntutan reformasi tersebut, pada akhirnya membawa perubahan mendasar dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk bidang hukum dan politik, yang seakan telah membawa Negara Republik Indonesia ke arah yang demokratis dan konstitusional. Dalam setiap perubahan konstitusi harus didasarkan pada paradigma atau pandangan mengenai perubahan yang harus dipatuhi oleh pelaku perubahan, yang terarah dan sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Paradigma ini digali dari kelemahan sistem bangunan konstitusi yang lama, dengan argumentasi diciptakan sebagai landasan agar dapat menghasilkan sistem yang menjamin stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat. Sebuah ide untuk melakukan perubahan ini muncul dari Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilu tahun 1999, yang mencetuskan sebuah gagasan yaitu untuk menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial yang diwujudkan dalam pelembagaan 12 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hlm.142.

6 16 organ-organ Negara yang sederajat dan menjalankan fungsi check and balance. Masing-masing organ Negara tidak lagi terstruktur secara hierarkhi, tetapi terstruktur menurut fungsinya. 13 Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu pilar utama yang menandai upaya penyempurnaan dan pengembangan demokrasi dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. 14 Hal ini akan hanya memiliki arti yang sangat besar dan bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara apabila seluruh elemen masyarakat telah memiliki satu kesamaan dalam pemahaman yang menyeluruh terhadap konstitusi. Dimana perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tataran implementasi, membawa perubahan baik penghapusan maupun pembentukan lembaga-lembaga Negara, kedudukan masing-masing Lembaga Negara tergantung kepada tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Dengan adanya perubahan UUD 1945 telah mengimplikasikan berbagai kemajuan terutama terkait dengan semangat dalam penguatan sendi-sendi berdemokrasi termasuk penjaminan terhadap kebebasan sipil. Dan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis dan konstitusional. Dimana dalam menjalankan fungsi check and balances tersebut, diperlukan sebuah lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan yudisial (judicial control) terhadap penyelenggaraan Negara. Di Indonesia sendiri, terdapat upaya untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia melalui melalui perubahan konstitusi 13 Dr. Abdul Rsyid Thalib, SH., Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, tentang Ketetapan MPR RI dan Keputusan MPR RI Tahun 2006

7 17 dan sebuah reformasi ketatanegaraan. Terutama dalam lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman. 15 Menurut Moh. Mahfud MD 16, ada tiga hal yang terkait dengan wacana untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia melalui reformasi. Pertama, maraknya mafia peradilan (judicial corruption) yang melibatkan hakim-hakim dan para penegak hukum lainnya (catur wangsa penegak hukum). Jucial corruption terasa menyengat tetapi tidak dapat terlihat atau dibuktikan secara formal karena pelaku-pelakunya terdiri dari orang-orang yang pandai memanipulasi hukum untuk saling melindungi. Kedua, banyaknya peraturan perundang-undangan, termasuk produk undang-undang, yang secara substantif dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi tidak ada lembaga atau mekanisme pengujian yang efektif melalui lembaga yudisial (judicial review). Yang ada saat itu hanyalah pengujian oleh legislatif (legislative review) dan pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) yang bergantung pada keputusan Presiden, sesuai dengan system politik executive heavy yang mendasarinya. Maka setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar, terlihat salah satu capaian penting dari Perubahan Ke III adalah kehadiran lembaga baru dalam sistem kekuasaan kehakiman yang dinamakan Mahkamah Konstitusi, yang ditasbihkan sebagai the Guardian and the Protector of the Constitution. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan Indonesia dapat 15 Sebuah Tulisan Moh. Mahfud MD, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945, yang kemudian dimuat dalam Buku Komisi Hukum Nasional Gagasan Amandemen UUD 1945: Suatu Rekomendasi Vol. 1, Desember 2008, hlm Ibid.

8 18 dikatakan sebagai sebuah lembaga baru, yang tidak dapat dipungkiri terinspirasi oleh Mahkamah Konstitusi di Negara lain. Namun, konsep mengenai Mahkamah Konstitusi tidak diadopsi secara keseluruhan, karena setiap Negara memiliki karakteristik system ketatanegaraan yang berbeda. Dan saat ini, terdapat 78 negara yang telah memiliki Mahkamah Konstitusi, dan merupakan trend di negara-negara yang baru mengalami perubahan dari rezim otoriter ke arah rezim demokrasi. 17 Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan tuntutan atau konsekuensi teoritis dari perubahan Undang-Undang Dasar Gagasan utama yang melandasi perubahan tersebut adalah keinginan untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara hukum (rule of law, rechsstaat) dan Negara demokrasi yang berdasarkan konstitusi (constitutional democracy). 18 Bersama Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi adalah pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman mahkamah konstitusi diharapkan dapat menjadi ujung tombak penegakan keadilan. Banyak yang berharap bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat menjamin hak konstitusioanal warganegara. Sebab selama masa orde baru hak-hak dasar warganegara selalu diabaikan oleh penguasa pada saat itu. Masyarakat pada masa itu sering menjadi korban kebijakan pemerintah yang selalu mangabaikan hak masyarakat. Keberadaan mahkamah konstitusi dapat menjadi wadah bagi 17 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial review, dan Welfare State, Jakarta: Konstitusi Press, 2008, hlm Ibid., hlm. 47.

9 19 masyarakat untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya yang telah diatur dalam konstitusi, dalam hal ini adalah undang-undang dasar Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24, dan mengenai kewenangannya diatur dalam pasal 24C. Serta, sesuai dengan ketentuan di dalam pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945, dibentuk pula sebuah peraturan sebagai pelaksana Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan peraturan ini tidak membatasi pelaksanaan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan cermin pelaksanaan mekanisme check and balances di Indonesia, dimana kekuasaan pembuat undang-undang yang selama ini berada pada badan legislatif tidak dapat diuji oleh lembaga yudisial. Dengan berwenangnya kekuasaan kehakiman, melalui Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang, maka semua pengadilan dan lembaga Negara, dan lembaga lainnya termasuk pemerintah daerah harus terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Namun, dalam pengujian ini, terdapat ketentuan beracara seperti yang tercantum dalam ketentuan pasal 28 Undang-Undang Nomor 24 Tahun Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana terlihat dalam permohonan yang masuk dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Sebagai data, dapat dikemukakan 19 Senin, 30 November (diakses pada 04 Februari 2010)

10 20 bahwa sejak terbentuk tahun 2003 sampai bulan Juni 2008, Mahkamah Konstitusi sudah memeriksa dan memutus pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar 1945 (judicial review) sebanyak 137 kali dan permohonan yang sedang dalam proses pemeriksaan sebanyak 11 kasus. 20 Mahkamah Konstitusi dalam melakukan tugasnya, mengacu pada Peraturan Mahkah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian undang-undang. Dan menurut banyak pakar, kekosongan hukum dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi memang menyulitkan bagi para hakim dalam menjalankan praktek beracara Mahkamah Konstitusi. 21 Dalam menjalankan kewenangan menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang, Mahkamah Konstitusi banyak mendapat kritik mengenai substansi perkaranya dan bagaimana hukum formilnya, khususnya masalah ultra petita atau putusan yang melebihi tuntutan pemohon. 22 Hal ini dapat dilihat dalam salah satu Putusan Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 yang menguji Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan kekuatan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi ini, selain mengikat pihak-pihak yang berperkara (interpartes), namun juga mengikat bagi semua orang, dan lembaga-lembaga hukum serta badan hukum di wilayah Republik Indonesia. Hal inilah yang menjadi kelemahan bagi 20 Moh. Mahfud MD, op. cit., hlm

11 21 Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, karena dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 ini, tidak mengatur batasan apakah Mahkamah Konstitusi boleh melakukan ultra petita. Oleh karena itulah Mahkamah Konstitsi mengadopsi berbagai aturan dalam hukum acara terutama hukum acara peradilan tata usaha negara. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga mengadopsi peraturan yang berasal dari negara lain yang memiliki lembaga Constitutional Courts. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, penulis berpendapat bahwa studi terhadap Kewenangan dalam Mahkamah Konstitusi masih belum banyak menjadi perhatian para ahli hukum terutama ahli hukum tata Negara. Hal ini disebabkan karena Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman yang tergolong baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia akan terus-menerus berupaya untuk memperbaiki segala hal yang belum sempurna dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan untuk dibahas secara lebih terperinci dalam tulisan ini. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Konstitusi setelah perubahan UUD 1945? 2. Bagaimana pengaturan putusan ultra petita dalam Hukum Acara pada Pengadilan Umum di Indonesia?

12 22 3. Bagaimana akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Ketentuan Beracara di Mahkamah Konstitusi? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut : a. Untuk mengetahui yang menjadi dasar legitimasi teori konstitusi dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 terhadap kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. b. Untuk mengetahui ketentuan beracara di Pengadilan Umum dan secara khusus ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan uji materil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. c. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi. 2. Manfaat Penulisan A. Secara Teoritis Pembahasan terhadap permasalahan-permasalahan sebagaimana diuraikan diatas, diharapkan akan menimbulkan pemahaman dan pengertian bagi pembaca mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam perkembangan

13 23 pelaksanaan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Jadi, secara teoritis, manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai sumbangan pikiran untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang membahas fungsi judicial review terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Selain itu, manfaat penulisan skripsi diharapkan mampu menemukan konsep baru dan argumentasi baru mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. B. Secara Praktis Penulis berharap, semoga hasil penulisan ini bermanfaat bagi semua orang, terutama bagi setiap orang yang berminat untuk mengikuti perkuliahan di fakultas hukum di setiap perguruan tinggi, dan menjadi sumbangan pemikiran ilmiah bagi hukum positif di Indonesia, berkaitan dengan salah satu ciri dari Negara Indonesia, yang demokratis dengan menjunjung tinggi supremasi hukum (supremacy of law). Hal ini tidak terlepas dari penempatan Hukum Tata Negara sebagai unsur terpenting dalam sistem hukum Indonesia. Dimana, dengan adanya penulisan skripsi ini, diharapkan mampu memberikan pandangan baru terhadap perubahan sistem ketatanegaraan ketika Mahkamah Konstitusi hadir sebagai salah satu Pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Manfaat lain dari penulisan ini adalah masyarakat diharapkan dapat mengetahui bagaimana pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, ketika terdapat produk perundang-undangan yang inkonstitusional

14 24 dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke Mahkamah Konstitusi, dan dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengawasan terhadap perbuatan komponen konstitusi (institusi) pemerintah. D. Keaslian Penulisan Sebelum tulisan ini dimulai, penulis telah terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang penelusuran tersebut, diketahui di Lingkungan Fakultas Hukum USU, penulisan tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia belum pernah ada. Kemudian, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Kendatipun terdapat tulisan atau skripsi yang menyerupai tulisan ini, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda dengan skripsi ini. Dimana dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk mengarahkan pembahasannya mengenai proses pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan beracara di Lembaga ini, dan dalam implementasi putusan perkara dari Mahkamah Konstitusi ini. Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh penulis. E. Tinjauan Kepustakaan Kegagalan dewan konstituante dalam membentuk sebuah undang-undang dasar sebagai pengganti Undang-Undang Dasar 1945 merupakan salah satu penyebab keluarnya Dekrit Presiden, yang merupakan salah satu langkah

15 25 pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan negara ini dari ketidakjelasan dalam sistem konstitusi. Dengan keluarnya dekrit 5 Juli 1959 tersebut, maka Indonesia memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar Setelah pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945, tampaknya masyarakat Indonesia tidak memiliki keinginan untuk mengadakan perubahan, namun ketika tuntutan reformasi bergulir, terdapat sebuah tuntutan untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945, yang terlaksana pada tahun 1999 sampai dengan tahun Menurut Sri Soemantri, suatu Undang-Undang Dasar memungkinkan untuk diubah. Hal ini terlihat dari pendapat beliau : perubahan Undang-Undang Dasar pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan karena pertama, generasi yang hidup saat ini tidak dapat mengikat generasi yang akan datang. Kedua, hukum konstitusi hanyalah salah satu bagian dari hukum tata negara, dan ketiga, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu konstitusi atau undang-undang dasar selalu dapat diubah. 23 Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR yang dahulu berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berkedudukan sebagai lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. 23 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Undang-Undang Dasar, Bandung: Penerbit Alumni, 2006, hlm. 272.

16 26 Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai special tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum keberadaan Negara bangsa yang modern, yang pada dasarnya menguji konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah modern judicial review dapat dilihat sebagai perkembangan yang berlangsung selama 250 tahun sebagai cirri utama Mahkamah Konstitusi, dengan adanya penerimaan yang luas terhadap hal ini, namun ada juga menerima dengan rasa kebencian terhadap lembaga ini. Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan judicial review, Indonesia telah memiliki Mahkamah Agung yang juga mempunyai kewenangan yang sama. Namun, judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung adalah judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang berada dibawah undangundang. Sedangkan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Berkaitan dengan hal diatas, Jimly Asshiddiqie menjelaskan: Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil maupun materil. Karena itu pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas. Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian legalitas, bukan pengujian konstitusionalitas. 24 Didalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi lahir untuk menjaga kestabilan sistem pemerintahan serta menjadi penjaga dan 24 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 1.

17 27 pelindung bagi konstitusi. Sehingga ketika Mahkamah Konstitusi melaksanakan kewenangannya, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Mahkamah Konstitusi telah muncul sebagai lembaga Negara yang independent dan cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan ketatanegaraan yang demokrat. 25 Namun dalam menjalankan kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial karena dianggap melampaui batas kewenangan dan melanggar atau memasuki wilayah legislatif. Yaitu, memutuskan melebihi apa yang diminta oleh pemohon atau yang lebih lazim disebut sebagai ultra petita. Ketentuan mengenai larangan ultra petita,dapat dilihat dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. Namun seperti yang kita ketahui juga, bahwa dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi tidak dikenal ketentuan ultra petita. 25 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta:Rajawali Pers, 2009, hlm. 275.

18 28 F. Metode Penelitan Metode dapat diartikan sebagai cara atau jalan untuk mencapai sesuatu. Namun, menurut kebiasaan metode dapat dirumuskan dalam beberapa kemungkinan 26 yaitu : a. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian; b. Suatu teknik yang umum digunakan dalam ilmu pengetahuan; c. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur. Dalam pembahasan skripsi ini, metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Spesifikasi Penelitian Jenis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Penelitian Hukum Normatif (legal research), yaitu dengan mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah perangkat hukum tata negara yang terdapat di dalam berbagai sumber terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibahas dalam skripsi ini. 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan yuridis (legal approach), mengingat permasalahan yang diteliti dan dibahas dala skripsi ini adalah ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dan tinjauan yuridis mengenai ketentuan ultra petita dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 terkait dengan pengujian Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 5.

19 29 3. Alat Pengumpul Data Pengumpulan data yang diperlukan oleh penulis berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literaturliteratur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan dari tinjauan kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder 27 yang meliputi peraturan perundangundangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. 4. Analisis Data Data yang diperoleh penulis dari tinjauan kepustakaan ini akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman kepada bagaimana putusan ultra petita tersebut dalam ketentuan hukum acara yang terdapat dalam proses peradilan di Indonesia. Analisis deskriptif maksudnya adalah penulis semaksimal mungkin berupaya untuk memaparkan data-data yang sebenarnya. Metode Deduktif maksudnya adalah berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia tentang ultra petita dan hukum acara di Pengadilan Umum dan Mahkamah Konstitusi yang dapat dijadikan sebagai 27 Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian surat kabar, dan lain sebagainya, dalam keadaan yang siap tersaji dan telah dibentuk serta diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.

20 30 pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian. Metode induktif artinya adalah melalui data-data khusus mengenai implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi akan dapat ditarik kesimpulan umum yang akan digunakan dalam pembahasan selanjutnya. G. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang dasar-dasar pemikiran dan gambaran umum tentang permasalahan yang akan dibahas, serta berisi tentang teknis penulisan skripsi ini yang dimulai dengan mengemukakan latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA Bab ini merupakan awal dari pembahasan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dalam pendahuluan. Jika melihat skripsi ini, maka penulis melakukan penelusuran yang dimulai dari pandangan umum mengenai Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Amandemen UUD 1945 maupun Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman pasca

21 31 amandemen UUD 1945, serta sejarah pembentukan dan perkembangan kedudukan mahkamah konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, di Indonesia. BAB III : KETENTUAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM ACARA DI INDONESIA Didalam bab ini, diberikan gambaran mengenai pengaturan ultra petita didalam hukum acara di pengadilan umum di Indonesia. Selain itu, dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana akibat hukum dari sebuah putusan yang bersifat ultra petita dalam sitem peradilan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi. Yaitu, mulai dari Konstitusionalitas Undang-Undang, serta legal standing pemohon dalam pengajuan perkara. Selain itu, dalam bab ini juga dibahas mengenai akibat hukum putusan Hakim Konstitusi termasuk Putusan Hakim yang melebihi tuntutan pemohon (ultra petita). BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN ULTRA PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI Bab ini merupakan inti dari permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Dalam bab ini, penulis melakukan pembahasan dan analisi mengenai pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang merupakan Lembaga Negara Yudikatif dalam menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Dan berdasarkan ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi,

22 32 uji materil dilakukan mulai dari pemeriksaan mengenai inkonstitusionalitas undang-undang, objek pengujian, serta legal standing pemohon, terhadap pengujian terhadap Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta putusan terhadap Perkara Nomor 6/PUU- IV/2006. Dalam putusan tersebut diatas dapat dianalisis mengenai ketentuan ultra petita yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi. Dan dicentumkan juga pendapat berbeda (dissenting opinion) oleh Hakim Konstitusi mengenai ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dari hal ini, kiranya dapat ditarik kesimpulan untuk selanjutnya memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan. BAB V : PENUTUP Bab ini merupakan akhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan dari tiga pembahasan yang telah ada sebelumnya diatas, kiranya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Konstitusi serta implementasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sehingga dapat memberikan saran-saran konstruktif yang tentunya didasarkan pada pemikiran yuridis yang didapat dari proses penulisan ini.

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin bangsa, negarawan pendiri NKRI dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah berhasil merumuskan konstitusi Indonesia

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara adalah suatu organisasi yang terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara senantiasa memiliki seperangkat kaidah yang mengatur susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan kenegaraan untuk menjalankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amandemen UUD 1945 membawa pengaruh yang sangat berarti bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah perubahan pelaksanaan kekuasaan negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB SATU PENDAHULUAN 1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi

Lebih terperinci

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS DAPAT SEGERA DITERBITKAN Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 tanggal

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dipercaya sebagai kunci utama dalam sistem informasi manajemen. Teknologi informasi ialah seperangkat alat yang sangat penting untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. struktur organisasi negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga

BAB I PENDAHULUAN. struktur organisasi negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan dan pembentukan institusi atau lembaga negara baru dalam sistem dan struktur ketatanegaraan merupakan hasil koreksi terhadap cara dan sistem kekuasaan negara

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H.

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H. 1 REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA Oleh: Antikowati, S.H.,M.H. 1 ABSTRAK Undang-Undang Dasar 1945 (pasca amandemen) tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis pada abad ke-18 (delapan belas), memunculkan gagasan dari para pakar hukum dan negarawan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY SKRIPSI PENGUJIAN TERHADAP UNDANG - UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sebagai hukum dasar yang digunakan untuk penmbentukan dan penyelenggaraan Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar, yang pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan pembentukan sebuah lembaga negara dibidang yudikatif selain Mahkamah Agung yakninya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transisi demokrasi di berbagai negara umumnya ditandai dengan terjadinya perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman.

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Dahlan Thaib, dkk, 2013, Teori dan Hukum Konstitusi, Cetakan ke-11, Rajawali Perss, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Dahlan Thaib, dkk, 2013, Teori dan Hukum Konstitusi, Cetakan ke-11, Rajawali Perss, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA I. Buku Achmad Ali, 2012, Vol. 1 Pemahaman Awal: Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------- Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara Continuing Legal Education, Peran Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga Konstitusi

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan. Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik

Daftar Pustaka. Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan. Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Daftar Pustaka Buku Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh : Puspaningrum *) Abstract : The Constitutional Court

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi arti yang berubah-ubah sejalan dengan perkembangan kedua ilmu tersebut. Pengertian terhadap konstitusi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus I. PEMOHON Dahlan Pido II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan adanya jaminan kemandirian dan kemerdekaan seseorang dalam menyampaikan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

BAB II HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA. konstitusi negara adalah pengaturan terkait Hak Asasi Manusia (human right). Negara

BAB II HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA. konstitusi negara adalah pengaturan terkait Hak Asasi Manusia (human right). Negara BAB II HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA D. Hak Konstitusional Warga Negara Dalam mencapai cita-cita bernegara salah satu substansi yang dimuat dalam konstitusi negara adalah pengaturan terkait Hak Asasi

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Oleh: Luh Gede Mega Karisma I Gde Putra Ariana Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi tahun 1998 lalu, telah banyak membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap sistem ketetanegaraan Indonesia. Sistem ketatanegaraan

Lebih terperinci

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai 105 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah panjang mengenai pengujian produk legislasi oleh sebuah lembaga peradilan (judicial review) akan terus berkembang. Bermula dari Amerika (1803) dalam perkara

Lebih terperinci

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA Montisa Mariana Fakultas Hukum, Universitas Swadaya Gunung Jati E-mail korespondensi: montisa.mariana@gmail.com Abstrak Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjamurnya lembaga negara, termasuk keberadaan komisi negara

BAB I PENDAHULUAN. Menjamurnya lembaga negara, termasuk keberadaan komisi negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjamurnya lembaga negara, termasuk keberadaan komisi negara independen, sebetulnya adalah konsekuensi logis dari redistribusi kekuasaan negara yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 50 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Definisi tentang peran bisa diperoleh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1051) yang mengartikannya sebagai perangkat tingkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan

Lebih terperinci

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paham negara hukum berakar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Paham negara hukum sebetulnya merupakan

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Karena Melakukan Tindak Pidana Yang Diancam Dengan Pidana Penjara 5 (Lima) Tahun Atau Lebih Bagi Seseorang Yang Akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan pengujian yuridis Peraturan Daerah Kabupaten/Kota oleh Mahkamah Agung belum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimulai pada tahun Pada tahun itulah berdirinya Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. dimulai pada tahun Pada tahun itulah berdirinya Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara pada Republik Indonesia dimulai pada tahun 1945. Pada tahun itulah berdirinya Negara Republik Indonesia sebagai suatu kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Founding fathers bangsa Indonesia telah memberikan ketegasan di dalam perumusan dasar pembentukan negara dimana Indonesia harus dibangun dan dikelola salah satunya dengan

Lebih terperinci

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional Dewi Triwahyuni AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional revision To alter the constitution Constitutional

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PERADILAN PEMILU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

POLITIK HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PERADILAN PEMILU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA POLITIK HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PERADILAN PEMILU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Anna Triningsih 1 Email: mkri_annatriningsih@yahoo.com Abstrak Politik hukum adalah legal policy atau garis

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah adanya perkembangan tersebut, yaitu agenda checks and balances

BAB I PENDAHULUAN. setelah adanya perkembangan tersebut, yaitu agenda checks and balances 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mengalami dinamika perkembangan ketatanegaraan yang sangat pesat. Ada dua hal pokok yang menjadi agenda mendesak setelah adanya perkembangan tersebut, yaitu

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN KEWENANGAN MAHKAMAH KOSNTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

EKSISTENSI DAN KEWENANGAN MAHKAMAH KOSNTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA EKSISTENSI DAN KEWENANGAN MAHKAMAH KOSNTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Oleh: Askarial, MH., SH Dosen Jurusan Kriminologi Fisipol Universitas Islam Riau Pekanbaru Abstract Once implemented

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. legislatif dengan masyarakat dalam suatu Negara. kebutuhan-kebutuhannya yang vital (Ni matul Huda, 2010: 54).

BAB 1 PENDAHULUAN. legislatif dengan masyarakat dalam suatu Negara. kebutuhan-kebutuhannya yang vital (Ni matul Huda, 2010: 54). 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan undang-undang adalah bagian dari aktivitas dalam mengatur masyarakat, yang terdiri dari gabungan individu-individu manusia dengan segala dimensinya.merancang

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011 Jurnal Ilmu Hukum Rechtsidee Vol. 2 No. 1, Januari - Juni 2015, hlm. 1-77 tersedia daring di: PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011 PROBLEMATIC

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sistem Ketatanegaraan Indonesia 1. Pengertian Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ps. 86. Dalam Praktek, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 17 Maret Legal standing..., Nur Syamsiati D., FHUI.

BAB 1 PENDAHULUAN. ps. 86. Dalam Praktek, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 17 Maret Legal standing..., Nur Syamsiati D., FHUI. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Kurang lebih empat tahun setelah terbentuknya Mahkamah Konstitsi (MK), dimana dalam perkembangan perkaranya, masih banyak kekurangan yang terdapat dalam

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Negara Bantu dalam Struktur Ketatanegaran Republik Indonesia Corruption Eradication Commission Institutional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada Tahun 2008, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada Tahun 2008, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Tahun 2008, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 UUD 1945, mengeluarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI A. Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersamasama dengan Mahkamah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif berfokus pada norma hukum positif seperti peraturan perundangundangan.

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus I. PEMOHON Dahlan Pido II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang

Lebih terperinci

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum dan negara

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia merupakan negara yang merdeka dan berdaulat bukan sekedar antithesis terhadap kolonialisme, melainkan membawa berbagai cita-cita, gagasan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya mengenai hak angket terdapat pada perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto

KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto I. Pendahuluan Pada tahun 1999 2002 dilakukan amandemen terhadap UUD Tahun 1945 yang merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS JUDEX NON ULTRA PETITA DALAM PENGUJIAN UNDANG- UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Jonatan Hamonangan Siahaan 2

TINJAUAN YURIDIS JUDEX NON ULTRA PETITA DALAM PENGUJIAN UNDANG- UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Jonatan Hamonangan Siahaan 2 TINJAUAN YURIDIS JUDEX NON ULTRA PETITA DALAM PENGUJIAN UNDANG- UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Jonatan Hamonangan Siahaan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut termaktub dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "negara Indonesia

Lebih terperinci

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 Oleh: Siti Awaliyah, S.Pd, S.H, M.Hum Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang A. Pengantar Kedaulatan merupakan salahsatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015

Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015 KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 1 Oleh : Magdalena E. J. Sarkol 2 ABSTRAK Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan negara-negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni : I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menentukan secara tegas, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Hamdan Zoelva 2 Pendahuluan Negara adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsifungsi, yang secara singkat oleh Logeman, disebutkan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah BAB I Pendahuluan A. Latar belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 yang menyatakan,

Lebih terperinci

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PERKEMBANGAN KONTEMPORER SISTEM ETIKA PUBLIK Dewasa ini, sistem etika memperoleh

Lebih terperinci