BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur yang mendasar bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Dapat dipastikan tanpa pengembangan sumberdaya air secara konsisten peradaban manusia tidak akan dapat berkembang sejauh ini. Demi pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air yang lebih terarah perlu dilakukan monitoring ketersediaan air dan perkiraan kebutuhan air sebagai salah satu bentuk dalam manajemen sumberdaya air. Manajemen sumberdaya air sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim. Iklim merupakan faktor utama yang dinamis dan berpengaruh pada sumberdaya alam dan lingkungan. Faktor iklim dapat dikaji mengenai unsur-unsurnya, yaitu temperatur, hujan, evapotranspirasi, kelembaban, dan angin. Hubungan antara hujan (faktor iklim) dengan batuan atau tanah dan tumbuhan sebagai media kelolosan air hujan yang jatuh dalam suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) dan masalah perubahan iklim telah lama menjadi topik yang menarik untuk dikaji dan dikembangkan dalam hidrologi. Siklus hidrologi terdapat tiga fase, yaitu hujan, aliran, dan penguapan yang menjadi proses pertama dalam siklus hidrologi merupakan evapotranspirasi. Evapotranspirasi merupakan gabungan dari dua proses siklus hidrologi, yaitu evaporasi dan transpirasi. Evapotranspirasi adalah faktor penting dalam perubahan iklim, karena adanya hubungan antara keseimbangan air dan keseimbangan energi akibat interaksi rumit dalam sistem darat, tumbuhan, dan atmosfer. Dapat disimpulkan bahwa evapotranspirasi merupakan wujud kehilangan air dari permukaan tanah karena proses penguapan melalui permukaan tanah dan vegetasi. Jenis tutupan vegetasi akan mempengaruhi jumlah evapotranspirasi secara signifikan. Keberadaan vegetasi dapat menjaga jumlah air tanah, karena aliran permukaan 1

2 2 dan perkolasinya dihambat, sehingga memberikan waktu bagi tanah untuk menyerap dan menahan air dari presipitasi. Proses evapotranspirasi menjadi proses pertama dalam siklus hidrologi, maka beberapa penelitian yang berhubungan dengan hidrologi dapat memanfaatkan ekstraksi atau penurunan dengan menggunakan data evapotranspirasi. Beberapa contoh penelitian yang memanfaatkan evapotranspirasi, yaitu penentuan kelembaban tanah dan kekeringan yang ada di suatu daerah. Hal tersebut sangat penting, sebab dengan mengetahui sebaran daerah yang mengalami kelembaban tanah tinggi atau kekeringan dapat mengantisipasi bencana yang akan terjadi, selain itu data evapotranspirasi juga dapat dimanfaatkan untuk memprediksi limpasan permukaan air pada wilayah DAS. Tabel 1.1 menunjukkan kejadian kekeringan di Kabupaten Bantul Tahun Berdasarkan Tabel 1.1, tahun 2015 Kabupaten Bantul mengalami kekeringan di 19 desa yaitu mencakup Desa Sitimulyo, Srimulyo, Srimartani, Gilangharjo, Caturharjo, Guwosari, Triwidadi, Mangunan, Muntuk, Jatimulyo, Dlingo, Terong, Selopamioro, Wukirsari, Wonolelo, Bawuran, Segoroyoso, Seloharjo, dan Bangunjiwo dengan total luas kejadian kekeringan yaitu 113,94 km 2. Akibat dari kejadian kekeringan tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Bantul pemerataan sumberdaya airnya masih bervariasi tiap daerah dan tidak merata, sehingga perlu pengembangan manajemen sumberdaya air yang lebih terarah. Hal tersebut dilakukan untuk mitigasi bencana kekeringan di Kabupaten Bantul.

3 3 Tabel11.1 Kejadian Kekeringan di Kabupaten Bantul Tahun 2015 No Kecamatan Kelurahan Luas Kejadian Kekeringan (km 2 ) 1 Piyungan Sitimulyo 3,74 Srimulyo 3,19 Srimartani 4,95 2 Pandak Gilangharjo 0,89 Caturharjo 2,73 3 Pajangan Guwosari 3,96 Triwidadi 5,42 4 Dlingo Mangunan 11,82 Muntuk 10,73 Jatimulyo 2,01 Dlingo 6,47 Terong 7,37 5 Imogiri Selopamioro 17,91 Wukirsari 13,33 6 Pleret Wonolelo 2,35 Bawuran 3,27 Segoroyoso 3,62 7 Pundong Seloharjo 6,73 8 Kasihan Bangunjiwo 3,45 Jumlah 19 Desa 113,94 Sumber : BPBD Kabupaten Bantul, 2017 Penelitian mengenai evapotranspirasi di Indonesia pada saat ini masih sangat terbatas dan datanya masih bersifat perhitungan manual yang diperoleh dari beberapa stasiun iklim, sedangkan stasiun iklim yang memiliki fasilitas dan data lengkap masih sangat sedikit dan bersifat wilayah lokal. Data yang terdapat di instansi BMKG mengenai evapotranspirasi hanya berupa titik dari stasiun iklim dan beberapa data dalam perhitungan evapotranspirasi memerlukan data yang masih sulit apabila dilakukan interpolasi dikarenakan jumlah stasiun yang terbatas. Padahal informasi evapotranspirasi secara regional mempunyai manfaat yang besar, diantaranya adalah memprediksi pola cuaca, mengelola daerah aliran sungai, maupun sebagai peringatan dini terhadap kebencanaan seperti kekeringan.

4 4 Proses ekstraksi evapotranspirasi dari citra satelit Landsat 8 menggunakan metode keseimbangan energi, karena perhitungan yang dilakukan akan menekankan pada ekstraksi data penginderaan jauh yang akan menghasilkan data secara regional dan juga mengurangi banyak survei lapangan yang dapat menghabiskan banyak tenaga dan waktu. Metode keseimbangan energi ini menjelaskan bahwa radiasi total yang diterima oleh bumi merupakan hasil dari beberapa energi yang ada di bumi, yaitu energi terasa ke arah atmosfer (Soil Heat Flux), energi terasa ke udara (Sensible Heat Flux), energi evapotranspirasi, dan sisanya digunakan untuk energi metabolisme. Berdasarkan pendekatan tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi evapotranspirasi suatu daerah berdasarkan jenis tutupan vegetasinya. Pemanfaatan teknologi penginderan jauh sangat bermanfaat untuk mengestimasi evapotranspirasi dengan Metode Kesetimbangan Energi. Citra Satelit Landsat 8 sebagai data penginderaan jauh skala regional yang paling baru dapat digunakan untuk mengekstraksi parameter estimasi evapotranspirasi, yang akan dijadikan sebagai dasar dalam perhitungan nilai dari energi-energi dasar dalam pendekatan kesetimbangan energi tersebut. Parameter yang diekstraksi melalui data penginderaan jauh adalah Suhu Permukaan Lahan, Penutup Lahan berupa nilai indeks kerapatan vegetasi dengan metode NDVI (Normallized Difference Vegetation Index) yang saling berkaitan mempengaruhi nilai emisivitas atau nilai radiasi matahari dan albedo yang dipantulkan. Tabel 1.2 menunjukkan suhu udara dan data hasil ekstraksi kelembaban tanah Bulan Februari dan September tahun Berdasarkan Tabel 1.2, suhu udara berkaitan erat dengan kelembaban tanah dalam merepresentasikan evapotranspirasi. Semakin tinggi suhu udaranya dan semakin kering kelembaban tanahnya, maka akan menyebabkan evapotranspirasinya semakin menurun. Suhu udara tertinggi Bulan Februari 2015 yaitu 27,6 o C pada tanggal 27 Februari 2015, sedangkan pada suhu udara perekaman citra Landsat 8 yaitu 22 Februari 2015 memiliki suhu 22,3 o C. Suhu

5 5 udara Bulan September 2015 tertinggi yaitu 33,4 o C pada tanggal 23 September 2015, sedangkan pada suhu udara perekaman citra Landsat 8 yaitu 18 September 2015 memiliki suhu 32,6 o C. Tabel 1.2 menunjukkan suhu udara dan data hasil ekstraksi kelembaban tanah Kabupaten Bantul Bulan Februari dan September Tabel 1.2 Suhu Udara dan Data Hasil Ekstraksi Kelembaban Tanah Sumber Data Jenis Data Februari 2015 September 2015 BMKG Suhu Udara 25,1 o C - 27,6 o C 24,8 o C - 33,4 o C BMKG Suhu Udara pada saat perekaman citra 22,3 o C (22 Februari 2015) 32,6 o C (18 September 2015) Nurita (2016) Kelembaban Tanah 0,017 0,71 cmhg 0,95 1 cmhg Nurita (2016) Kelembaban Tanah (rerata) 0,4 cmhg 0,66 cmhg 0,62 cmhg 0,88 cmhg Sumber : BMKG DIY, Nurita (2016) Jenis vegetasi pada setiap penutup lahan di Kabupaten Bantul dipengaruhi oleh karakteristik geomorfologi wilayah dan aktivitas manusia. Hal tersebut terjadi karena setiap geomorfologi pada suatu wilayah memiliki karakteristik bahan induk tanah yang berbeda. Kondisi bahan induk tanah yang berbeda dipengaruhi akibat perbedaan daya serap dan tekstur yang dimiliki, sehingga perbedaan bahan induk tanah dan geomorfologi tersebut mempengaruhi nilai evapotranspirasi pada setiap jenis vegetasi menjadi bervariasi. Tabel 1.3 menunjukkan penutup lahan dan jenis vegetasi pada setiap karakter geomorfologi di Kabupaten Bantul.

6 6 Tabel 1.3 Penutup Lahan dan Jenis Tutupan Vegetasi pada Setiap Karakter Geomorfologi No Geomorfologi Penutup Lahan Jenis Tutupan Vegetasi Geologi 1. Marine Lahan kosong dan belukar 2. Aeolin Gumuk pasir dan tambak udang 3. Struktural (terkontrol patahan) Hutan bervegetasi sedang hingga tinggi dan permukiman 4. Solusional Hutan kerapatan rendah hingga sedang, permukiman, tegalan 5. Denudasional terkikis Hutan kerapatan sedang-tinggi, tegalan, hutan campuran, permukiman 6. Fluvial Persawahan, tegalan, kebun campuran dan permukiman Pandan pantai, bakau, ketapang, casuarinaceae Rumput pantai, akasia, cemara udang, enceng gondok, ketapang Jati, pinus, dan tanaman tahunan Jati, pohon minyak kayu putih, dan tanaman tahunan Sengon Sawah, sengon, jati, buahbuahan, kelapa, dan tanaman lain karena bervariasi Sumber : BAPPEDA Bantul (2017) Endapan Aluvium Endapan Aluvium Semilir- Nglanggeran Wonosari - Sambipitu Sentolo Endapan Gunung Merapi Muda Berdasarkan Tabel 1.3, karakteristik geomorfologi mempengaruhi jenis vegetasi. Karakteristik geomorfologi marine memiliki jenis vegetasi pandan pantai, bakau, ketapang, dan casuarinaceae. Berbeda dengan geomorfologi aeolin yang memiliki jenis vegetasi rumput pantai, akasia, cemara udang, enceng gondok, dan ketapang. Hal tersebut terjadi karena geomorfologi marine lebih banyak mengandung cadangan air yang dipengaruhi dekat dengan tubuh air (laut) dibandingkan geomorfologi aeolin yang mengalami penebalan tanah akibat proses pengendapan pasir. Geomorfologi struktural terkontrol patahan memiliki jenis vegetasi yang sama dengan geomorfologi solusional yaitu tanaman tahunan seperti jati. Hal tersebut akibat formasi geomorfologi struktural terkontrol patahan dan solusional saling berdekatan lokasinya, yang mengakibatkan kedua jenis geomorfologinya saling mempengaruhi. Geomorfologi denudasional terkikis juga memiliki karakteristik jenis vegetasi yang sama dengan fluvial yaitu tanaman sengon dan tanaman bulanan seperti buah-buahan dan sawah. Hal tersebut terjadi karena geomorfologi denudasional terkikis yang terdapat di Kecamatan Pajangan

7 7 dan Sedayu sudah dikontrol oleh geomorfologi fluvial yang mengelilingi geomorfologi denudasional terkikis tersebut. Oleh karena itu, perbedaan karakteristik geomorfologi dan jenis vegetasi tersebut mempengaruhi nilai evapotranspirasi tiap jenis vegetasi menjadi berbeda-beda. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka peneliti terinspirasi untuk melakukan penelitian dengan judul Estimasi Evapotranspirasi Melalui Analisis Metode Kesetimbangan Energi di Kabupaten Bantul Tahun 2015 dengan Memanfaatkan Citra Satelit Landsat Perumusan Masalah Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Bagaimana persebaran kelembaban tanah dan evapotranspirasi di Kabupaten Bantul dari perekaman citra Landsat 8 tanggal 22 Februari 2015 dan 18 September 2015 berdasarkan aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dengan pendekatan keruangan? 2. Bagaimana perubahan agihan evapotranspirasi terhadap jenis tutupan vegetasi berdasarkan pendekatan SIG Kualitatif di Kabupaten Bantul? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Memetakan persebaran kelembaban tanah dan evapotranspirasi di Kabupaten Bantul pada perekaman citra Landsat 8 tanggal 22 Februari 2015 dan 18 September 2015 berdasarkan aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dengan pendekatan keruangan. 2. Menganalisis perubahan agihan evapotranspirasi terhadap jenis tutupan vegetasi berdasarkan pendekatan SIG Kualitatif di Kabupaten Bantul. 1.4 Kegunaan Penelitian 1. Mengembangkan teknologi penginderaan jauh resolusi menengah dan regional dari penggunaan citra Landsat 8.

8 8 2. Mengetahui nilai estimasi evapotranspirasi wilayah Kabupaten Bantul tahun Sebagai metode pengukuran estimasi evapotranspirasi yang dapat diterapkan di instansi terkait, seperti BMKG, BPSDA, BPDAS, Dinas Pertanian, dan sebagainya. 1.5 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya Telaah Pustaka Penutup Lahan Penutup lahan (land cover) merupakan gambaran permukaan bumi berupa vegetasi dan bangunan yang menutupi permukaan lahan. Tutupan vegetasi maupun bangunan tersebut terlihat dari citra penginderaan jauh secara langsung. Kajian mengenai perubahan penutup lahan berkaitan erat dengan sistem klasifikasi penutup lahan yang digunakan dalam analisis. Klasifikasi penutup lahan dibedakan sesuai dengan tujuan penyusunannya. Klasifikasi penutup lahan dalam kaitannya untuk merepresentasikan persebaran kelembaban tanah menunjukkan suatu daerah bervegetasi kerapatan tinggi akan memiliki kelembaban tanah yang tinggi pula. Berbanding terbalik dengan daerah bervegetasi rendah akan memiliki kelembaban tanah yang rendah atau dapat dikatakan cenderung mengalami kekeringan. Dalam kaitannya dengan evapotranspirasi, penutup lahan menjadi pokok pengendalian tinggi rendahnya evapotranspirasi apabila diekstraksi dari data penginderaan jauh. Jenis-jenis vegetasi pada setiap penutup lahan akan berbeda pada setiap kondisi geomorfologi. Hal tersebut menjadi ciri khas pada setiap kondisi geomorfologi dan akan menghasilkan nilai evapotranspirasi yang berbeda-beda untuk setiap jenis vegetasi. Penutup lahan sawah yang berada di kondisi geomorfologi fluvial akan memiliki nilai evapotranspirasi yang berbeda dengan penutup lahan jenis vegetasi jati di kondisi geomorfologi solusional.

9 Indeks Kerapatan Vegetasi Indeks vegetasi digunakan untuk mengekstraksi citra penginderaan jauh yang biasanya merupakan citra multispektral. Manfaat dari indeks vegetasi tersebut adalah untuk menonjolkan aspek kerapatan dari vegetasi maupun aspek lain yang berkaitan terhadap kerapatan, seperti halnya biomasa, Leaf Area Index (LAI), maupun konsentrasi klorofil. Salah satu transformasi indeks kerapatan vegetasi adalah NDVI atau Normalized Difference Vegetation Index. NDVI tersebut merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan pengurangan nilai citra. Transformasi NDVI menonjolkan aspek kerapatan vegetasi berdasarkan indeks kehijauan vegetasi atau aktivitas fotosintesis vegetasi. Faktor yang mempengaruhi nilai NDVI diantaranya adalah aktivitas fotosintesis pada vegetasi, jumlah tutupan vegetasi, biomassa, kelembaban vegetasi dan tanah, dan tanaman yang kurang sehat. Kelebihan transformasi NDVI dibandingkan dengan transformasi indeks vegetasi yang lain diantaranya adalah menonjolkan tingkat kerapatan vegetasi yang memiliki kaitan erat dengan kelembaban tanah dan jenis penutup lahan, alur metode dasar untuk memperoleh nilai estimasi kelembaban tanah dan evapotranspirasi menggunakan nilai transformasi NDVI, dan NDVI menggunakan beberapa saluran citra yang representatif terhadap warna tanaman yang sesungguhnya Suhu Permukaan Tanah Salah satu sensor yang dikembangkan dalam sistem penginderaan jauh adalah sensor inframerah termal. Suhu permukaan tanah (SPT) merepresentasikan keadaan di permukaan bumi yang dikendalikan oleh keseimbangan energi permukaan baik atmosfer, sifat panas permukaan, dan media di bawah permukaan lahan. SPT menjadi faktor penting dalam perubahan iklim global dan menjadi variabel klimatologis yang utama. Data SPT di suatu wilayah tidak selamanya akan dengan mudah diperoleh, hanya sebagian daerah saja yang memiliki alat pengukur suhu.

10 10 Perolehan data melalui instansi seperti BMKG pun masih kurang representatif karena data yang diukur tidak menyeluruh untuk seluruh wilayah. Hanya wilayah-wilayah yang dapat dijangkau saja yang dapat diperoleh datanya. Untuk itu perlu pengolahan data citra penginderaan jauh untuk memperoleh data SPT dengan pendekatan kerapatan vegetasi maupun pengolahan dengan menggunakan beberapa algoritma untuk memperoleh data suhu permukaan. Pemanfaatan citra penginderaan jauh untuk memperoleh data SPT akan lebih lengkap menyeluruh berdasarkan variabel yang mempengaruhi dibandingkan dengan pengukuran lapangan oleh peralatan yang cenderung terbatas titik pengukurannya dan kurang menyebar Kelembaban Tanah Kelembaban tanah menjadi salah satu parameter penting dalam proses hidrologi. Kelembaban tanah berkaitan erat dengan cuaca dan iklim. Salah satu metode untuk mengetahui tingkat kelembaban tanah adalah dengan pendekatan Temperature Vegetation Dryness Index (TVDI) atau pendekatan kekeringan tanaman yang mendasarkan pada hubungan antara suhu permukaan tanah atau SPT dengan indeks kerapatan vegetasi (NDVI). Nilai TVDI berkisar antara rentan 0 sampai 1, dimana semakin mendekati 0 menunjukkan kondisinya akan semakin basah dan mendekati 1 akan semakin kering. Secara umum apabila permukaan tanah basah maka nilai suhu permukaan akan rendah, dan sebaliknya. Sedangkan semakin rapat vegetasi maka suhu permukaan akan bernilai semakin rendah, dan sebaliknya. Estimasi kelembaban tanah dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh memiliki kelebihan yaitu lebih efektif, meminimalisir biaya, dapat dilakukan secara berulang, tidak terbatas waktu dan tempat, serta memiliki validitas yang tinggi.

11 Evapotranspirasi Salah satu proses hidrologi utama yaitu penguapan atau evapotranspirasi. Evapotranspirasi merupakan proses penggabungan dari evaporasi dan transpirasi. Evaporasi terjadi akibat peristiwa penguapan pada penutup lahan selain vegetasi termasuk penguapan tanah, sedangkan transpirasi terjadi akibat peristiwa penguapan pada vegetasi. Evapotranspirasi terbagi menjadi dua keadaan, yaitu evapotranspirasi potensial (Etp) yang dipengaruhi faktor meteorologi, sedangkan evapotranspirasi aktual (Eta) dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan unsur tanah. Faktor dominan yang mempengaruhi Etp adalah radiasi panas matahari dan suhu, kelembaban atmosfer dan angin, dan secara umum besarnya Etp akan meningkat ketika suhu, radiasi panas matahari, kelembaban, dan kecepatan angin bertambah besar. Pengaruh radiasi panas matahari terhadap nilai Etp tersebut terjadi karena proses fotosintesis. Suhu yang mempengaruhi Etp adalah suhu daun dan bukan suhu udara di sekitar daun. Pengaruh angin terhadap Etp, semakin besar kecepatan angin, semakin besar pula laju evapotranspirasinya. Dibandingkan dengan pengaruh radiasi panas matahari, pengaruh angin terhadap laju ET adalah lebih kecil. Kelembaban tanah juga ikut mempengaruhi terjadinya evapotranspirasi. Evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi yang bersangkutan sedang tidak kekurangan suplai air. Hal tersebut karena ketersediaan air dalam tanah ditentukan oleh tipe tanah. Peristiwa Etp juga dipengaruhi oleh faktor potensial, sehingga evapotranspirasi yang tinggi akan terjadi pada daerah dengan kelembaban tanah yang tinggi pula, dan sebaliknya. Selain kelembaban tanah, jenis vegetasi pada setiap penutup lahan yang dipengaruhi kondisi geomorfologi wilayah yang berbeda juga akan mempengaruhi nilai evapotranspirasi. Jenis vegetasi memiliki kondisi ketersediaan air dalam tubuh dan pertahanan hidup yang berbeda-beda.

12 12 Tanaman tahunan di daerah kering seperti jati akan memiliki ketersediaan air yang cukup tinggi dan mampu bertahan hidup pada musim kemarau, berbeda dengan tanaman di persawahan yang harus selalu tersuplai air untuk bertahan hidup. Gambar 1.1 merupakan proses evapotranspirasi. Gambar 1.1 Proses evapotranspirasi Penginderaan Jauh Penginderaan jauh (PJ) dalam penelitian ini berfungsi untuk menganalisis kenampakan objek di atas permukaan bumi yang terekam dari citra PJ. Penginderaan jauh digunakan untuk memperoleh data pada cakupan wilayah yang luas dan meminimalisir survei lapangan. Kelebihan lain penginderaan jauh dibandingkan survei lapangan adalah PJ beracuan pada setiap piksel bukan setiap lokasi sehingga setiap piksel memiliki nilai yang bervariasi. Berbeda dengan pengukuran lapangan yang mengacu pada setiap titik pengukuran yang kurang merata dan terbatas, sehingga data yang dihasilkan kurang representasi untuk wilayah yang sangat luas Landsat 8 Landsat merupakan satelit sumberdaya bumi yang dikelola oleh NASA dan USGS yang secara spesifik digunakan untuk pemantauan lahan. Landsat 8 memiliki persamaan karateristik dengan landsat

13 13 sebelumnya yaitu resolusi, metode koreksi, ketinggian terbang, dan karakteristik sensor. Tabel 1.4 menunjukkan parameter pemrosesan produk data Landsat 8. Tabel 1.3. Parameter pemrosesan produk data standar citra Landsat 8 Jenis Produk Jenis Data Format Data Ukuran Piksel Sistem Proyeksi Level 1T (terkoreksi medan) 16-bit unsigned integer GeoTIFF Datum WGS 1984 Orientasi Resampling Akurasi 15 m / 30 m / 100 m (pankromatik, multispektral, termal) UTM (Polar Stereographic untuk Antartika) North-up (utara-atas peta) Cubic Convolution OLI: 12 m circular error, 90% confidence TIRS: 41 m circular error, 90% confidence Sumber : (usgs.gov, 2013) Berdasarkan Tabel 1.4, Landsat 8 memiliki keunggulan dibandingkan landsat versi sebelumnya yaitu terdapatnya sensor OLI (Operational Land Imager) dan TIRS (Thermal Infrared Sensor). Sensor OLI memiliki sistem perekaman sensor push-broom scanner yang melakukan perekaman berdasarkan sepanjang track yang telah ditentukan dan penyimpanan dalam format kualifikasi 12-bit. Sensor TIRS berfungsi untuk mengindera suhu dan aplikasi lainnya, seperti pemodelan evapotranspirasi untuk memantau penggunaan air pada lahan. TIRS merekam citra pada dua saluran inframerah termal. Gambar 1.2 menunjukkan satelit Landsat 8 sedang melakukan perekaman di bumi.

14 14 Gambar 1.2 Landsat 8 (usgs.gov, 2013) Penginderaan Jauh Atmosfer dan Meteorologis Citra penginderaan jauh yang dihasilkan dari perekaman satelit sudah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang ilmu salah satunya dalam bidang atmosfer yang berkaitan dengan fenomena meteorologis. Data meteorologis yang dapat diperoleh dari monitoring dan analisis citra penginderaan jauh diantaranya adalah analisis tekanan udara, potensi daerah hujan, badai siklon, pola angin permukaan, suhu permukaan, kelembaban tanah, evapotranspirasi, dan sebagainya. Suhu permukaan tanah merupakan contoh pemanfatan data meteorologis yang dapat diekstraksi dari citra penginderaan jauh. Suhu permukaan tanah berhubungan dengan energi permukaan dan keseimbangan air pada skala regional maupun skala global. Pemanfaatan aplikasi dari data suhu permukaan tanah yang lebih mendalam adalah perubahan iklim, iklim panas perkotaan, siklus hidrologi, suhu udara, dan monitoring vegetasi. Variasi suhu permukaan tanah dalam ruang dan waktu yang berbeda yang diekstraksi dari citra satelit penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk estimasi variabel geofisika seperti evapotranspirasi, kelembaban tanah, potensi air tanah, kandungan air dalam vegetasi, dan lain sebagainya. Data meteorologis yang dapat diekstraksi dari citra penginderaan jauh salah satunya adalah suhu permukaan tanah (SPT). Suhu permukaan tanah

15 15 berhubungan dengan energi permukaan dan keseimbangan air pada skala regional maupun skala global. Pemanfaatan aplikasi dari data suhu permukaan tanah yang lebih mendalam adalah perubahan iklim, iklim panas perkotaan, siklus hidrologi, suhu udara, dan monitoring vegetasi. Variasi suhu permukaan tanah dalam ruang dan waktu yang berbeda yang diekstraksi dari citra satelit penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk estimasi variabel geofisika seperti evapotranspirasi, kelembaban tanah, potensi air tanah, kandungan air dalam vegetasi, dan lain sebagainya. Suhu permukaan tanah menjadi unsur dasar dalam penentuan estimasi kelembaban tanah dan evapotranspirasi. Kaitannya dengan kelembaban tanah, suhu permukaan tanah digunakan sebagai penentu tingkat kelembaban tanah yang diidentifikasi dari kenampakan kerapatan vegetasi dan penutup lahan, sedangkan untuk memperoleh nilai estimasi evapotranspirasi digunakan sebagai penentu nilai albedo permukaannya Penginderaan Jauh Sistem Termal Penginderaan jauh dengan sensor termal memperhatikan rona dan warna yang ditentukan sebagai pantulan objek. Interpreter mengamati rona atau warna yang sama untuk membedakannya terhadap rona atau warna lain yang berbeda. Semakin cerah rona maka nilai pantulan semakin besar begitupun sebaliknya. Akan tetapi berbeda dengaan citra penginderaan jauh termal, rona setiap piksel tersebut juga dipengaruhi oleh nilai pancaran (emisivitas). Setiap piksel pada citra termal akan mengisyaratkan suhu permukaan yang juga dipengaruhi oleh nilai pancaran. Distorsi geometrik yang mempengaruhi proses interpretasi citra inframerah termal lebih rumit dari yang terjadi pada foto udara. Pada umumnya citra inframerah termal tidak digunakan untuk maksud pemetaan yang lebih teliti. Sistem termal pada citra Landsat 8 terdapat di saluran 10 dan 11. Resolusi spasial TIRS adalah 100 meter dan teregistrasi dengan sensor OLI sehingga menghasilkan citra yang terkalibrasi secara radiometrik dan telah terkoresi medan dengan level koreksi 1T.

16 16 Selain Landsat 8, ada beberapa citra yang memiliki sensor termal dan dapat diperoleh secara gratis. Citra tersebut yaitu MODIS (Moderateresolution Imaging Spectroradiometer) dan AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Kelebihan sistem termal pada Landsat 8 dibandingkan dengan sensor termal pada citra lainnya yaitu sudah tersedianya data termal dalam satu saluran inframerah gelombang panjang dengan resolusi spasial yang lebih tinggi yaitu 100 meter dan memiliki resolusi temporal yang jauh lebih cepat yaitu 16 hari Transformasi Citra Penginderaan Jauh Transformasi citra dilakukan untuk mempertajam informasi tertentu pada citra penginderaan jauh, sekaligus untuk mengurangi informasi yang tidak dibutuhkan dengan cara mengurangi distorsi data penginderaan jauh. Transformasi indeks vegetasi dengan NDVI (Normallized Difference Vegetation Index) digunakan untuk yang menyatakan besarnya suatu fenomena terkait karakteristik vegetasi. Dalam penginderaan jauh, tranformasi indeks vegetasi merepresentasi tingkat kehijauan vegetasi yang dapat digunakan sebagai parameter kondisi kekeringan suatu lahan, aspek kerapatan, kandungan biomassa, kandungan klorofil dengan menekankan sumber variasi spektral lainnya, dan mengetahui jenis tutupan vegetasi. Transformasi indeks citra yang berhubungan dalam bidang pertanian dan kehutanan untuk penilaian kelembaban tanah adalah TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index atau Indeks Kekeringan Vegetasi). TVDI menentukan indeks kelembaban dengan berdasar parameter antara suhu permukaan dengan indeks vegetasi (NDVI). Indeks kekeringan berkaitan dengan kelembaban tanah dan diperoleh hanya berdasarkan input dari informasi satelit penginderaan jauh. Dengan demikian maka penginderaan jauh termal dapat digunakan untuk mengkaji kerentanan kekeringan lahan melalui pendekatan suhu permukaan benda. Hal tersebut dapat digunakan sebagai penentuan tingkat

17 17 kelembaban tanah di suatu lahan dengan berdasar hasil kerentanan kekeringan lahan. Dengan meningkatnya jumlah vegetasi hijau, temperatur permukaan menurun. Jika suatu permukaan basah, temperatur permukaan akan menjadi rendah. Sebaliknya, jika permukaan kering, temperatur permukaan akan meningkat. Dalam proses pengolahan TVDI, awan dan bayangannya sangat mempengaruhi hasil pengolahan. Awan dan bayangan awan memberikan nilai temperatur yang sangat rendah sehingga mengakibatkan kesalahan dalam penentuan nilai temperatur minimum. Transformasi penentuan evapotranspirasi dengan metode kesetimbangan energi mempertimbangkan ketersediaan energi radiasi terasa ke arah udara atau atmosfer, energi radiasi kedalam tanah, dan energi untuk evapotranspirasi. Semakin besar nilai radiasi terasa kea rah atmosfer, energy radiasi kedalam tanah, dan energy untuk evapotranspirasi akan semakin tinggi nilai evapotranspirasinya. Berbanding terbalik dengan bila salah satu aspek memiliki nilai rendah akan semakin rendah pula nilai evapotranspirasinya. Semakin tinggi nilai evaporasi meskipun nilai transpirasinya rendah dapat menghasilkan nilai yang sama tinggi nya dengan daerah yang memiliki evapotranspirasi rendah namun memiliki nilai transpirasi yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan nilai evapotranspirasi sangat berkaitan erat dengan kondisi tanah serta kondisi vegetasi Hubungan Kelembaban Tanah pada Penutup Lahan dengan Evapotranspirasi Pemanfaatan penginderaan jauh pada setiap penutup lahan mempengaruhi kondisi kelembaban tanah suatu lahan. Pengaruh kelembaban tanah pada jenis penutup lahan dipengaruhi oleh jumlah ketersediaan vegetasi. Daerah yang memiliki vegetasi rapat mampu merepresentasikan kelembaban tanah yang tinggi. Berbanding terbalik dengan permukiman kota yang cenderung memiliki kelembaban tanah

18 18 rendah akibat ketersediaan vegetasi atau RTH (Ruang Terbuka Hijau) yang terbatas atau tidak terdapat vegetasi sama sekali (lahan kosong). Hal tersebut akibat adanya cadangan air yang banyak di tanah, sehingga mampu memasok kebutuhan air untuk vegetasi. Kelembaban tanah dapat mengindikasikan bencana kekeringan. Kelembaban tanah yang basah pada penutup lahan bervegetasi kerapatan tinggi akan terhindar dari bencana kekeringan. Berbeda dengan daerah yang gersang seperti lahan kosong yang jarang ditumbuhi vegetasi. Hal tersebut mengakibatkan kelembaban tanah dan jenis penutup lahan sangat mempengaruhi evapotranspirasi suatu daerah. Evapotranspirasi merupakan penguapan akibat adanya cadangan air baik di dalam tanah maupun terdapat pada tumbuhan. Kelembaban tanah yang tinggi dengan kondisi penutup lahan berupa vegetasi yang sangat rapat, akan memiliki nilai evaporasi yang rendah namun transpirasi yang tinggi. Berbanding terbalik dengan di permukiman kota yang padat penduduk, cenderung memiliki nilai evaporasi yang tinggi namun transpirasi yang rendah. Konsep evaporasi dan transpirasi tersebut dapat digabungkan untuk menghasilkan nilai evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi potensial diperoleh dari hasil interpretasi data penginderaan jauh dalam piksel yang mewakili suatu benda. Perbedaan nilai evapotranspirasi pada setiap penutup lahan akan digunakan sebagai penanggulangan manajemen sumberdaya air. Dengan demikian, akan meminimalisir aspek kebencanaan yang dapat terjadi di suatu daerah. Dalam kata lain, pemanfaatan cadangan air juga dapat lebih diperhatikan agar lebih merata jumlah cadangan air tanahnya Penelitian Sebelumnya Penelitian terdahulu merupakan penelitian yang telah ada sebelumnya. Penelitian tersebut memiliki keterkaitan dengan penelitian ini baik dari segi tema, metode, data, dan hasil yang diperoleh, seperti penelitian Walidatika (2016) yang berjudul Pemanfaatan Citra Landsat 8 dalam Pemetaan Suhu Permukaan Tanah

19 19 untuk Estimasi Kelembaban Tanah Kabupaten Bantul Tahun Penelitian tersebut menjelaskan tahapan dalam pemetaan suhu permukaan tanah dan kelembaban tanah secara digital dengan menggunakan citra Landsat 8 dan metode Split Window Algorithm (SWA), ekstraksi kerapatan vegetasi (NDVI), dan ekstraksi kelembaban tanah (TVDI). Hasil penelitian ini adalah nilai suhu permukaan tanah yang semakin rendah dan penggunaan lahan hutan bervegetasi kerapatan tinggi akan menyebabkan nilai kelembaban tanah semakin basah. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada kerapatan vegetasi dan penutup lahan menjadi parameter untuk menentukan nilai suhu permukaan tanah dan kelembaban tanah, sedangkan penelitian Nurita (2017) mengembangkan nilai kelembaban tanah dan suhu permukaan tanah sebagai parameter penentu nilai evapotranspirasi setiap jenis tutupan vegetasi. Penelitian Nugroho (2011) yang berjudul Analisis Kelembaban Tanah Permukaan Melalui Citra Landsat 7 ETM+ di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo. Penelitian tersebut menggunakan citra Landsat 7 ETM+ (The Enhanced Thematic Mapper Plus) cakupan Kabupaten Purworejo dan memanfaatkan software ENVI (The Environmental For Visualizing Images) dan Ermapper dengan menekankan klasifikasi penggunaan lahan, kerapaatan vegetasi, suhu permukaan lahan, pengolahan kelembaban tanah, dan uji akurasi. Hasil penelitian ini adalah citra Landsat 7 ETM+ menyajikan data estimasi kelembaban tanah dengan kelas yakni kering, agak kering, sedang, agak basah, dan basah. Adapun didominasi oleh kelas kelembaban tanah sedang. Perbedaan dengan penelitian ini adalah citra yang digunakan pada penelitian Nurita (2017) menggunakan jenis citra Landsat versi terbaru yang telah didukung sensor termal dan software pengolahan yang digunakan terfokus dengan software ENVI. Uji akurasi yang dilakukan juga berbeda karena penelitian ini tidak melakukan pengujian jenis tanah dan warna tanah untuk mempertimbangkan kondisi kelembaban tanahnya. Penelitian Rahmi (2015) dengan judul Penggunaan Algoritma Surface Energy Balance System (SEBS) pada Citra Landsat 8 Multitemporal untuk

20 20 Estimasi Evapotranspirasi Aktual di DAS Mangkang Timur, DAS Garang, dan DAS Kanal Timur menekankan pengaruh evapotranspirasi aktual. Hasil dari penelitian tersebut adalah estimasi evapotranspirasi aktual lebih dipengaruhi faktor fraksi evaporatif, energy netto, dan energy panas tanah. Hasil perbandingan akurasi estimasi evaporasi dengan data dari stasiun BMKG menununjukan bahwa data BMKG dan hasil estimasi relatif sama dan hanya memiliki selisih 0,089 mm/hari. Hasil analisis distribusi spasial estimasi evapotranspirasi aktual berdasarkan penutup lahan yang paling tinggi nilai evapotranspirasinya di penggunaan lahan tubuh air yakni 9,6 mm/hari dan paling rendah di aspal, seng, dan tanah kering/genteng. Perbedaan dengan penelitian ini adalah fokus pengolahan estimasi evapotranspirasi secara aktual, sehingga metode dan software yang digunakan juga berbeda. Shomat (2015) melakukan penelitian dengan judul Landsat 8 Sebagai Data untuk Estimasi Evapotranspirasi dengan Model Keseimbangan Energi yang menekankan estimasi evapotranspirasi dengan pengujian secara digital dengan metode Penman yang sudah dipatenkan oleh FAO sebagai acuan kebenaran evapotranspirasi. Hasil pengujian menunjukan bahwa dengan model kesetimbangan energi sudah sesuai dan dapat digunakan sebagai salah satu model perhitungan evapotranspirasi. Hasil evapotranspirasi metode Penman dan kesetimbangan energi hampir tepat sama nilainya. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada wilayah cakupan dan tidak menggunakannya pengujian akurasi. Pengembangan dari penelitian ini yakni lebih menekankan pada pengolahan data tanpa dilakukannya uji akurasi dan mempertimbangkan aspek kelembaban tanah serta jenis tutupan vegetasi pada setiap penggunaan lahan. Penelitian Taolin (2014) dengan judul Pendugaan Evapotranspirasi Padi Sawah Menggunakan Metode Nisbah Bowen (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu) menekankan estimasi evapotranspirasi aktual padi sawah serta menganalisis karakteristik komponen yang mempengaruhi evapotranspirasi. Hasil estimasi evapotranspirasi harian menggunakan nisbah bowen selama penelitian memiliki kisaran nilai 2,4 mm hingga 4,3 mm. Pada siang hari jam nilai

21 21 evapotranspirasi bisa mencapai 0,54 mm/jam dan akan menurun pada jam menjadi 0,04 mm/jam. Hasil pengukuran dengan metode FAO Penman-Monteith memiliki selisih 0,2 lebih tinggi. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada pengujian secara manual berdasarkan proses fisika yang terjadi pada permukiman lingkungan tanaman dari waktu ke waktu, sedangkan penelitian ini lebih menekankan secara digital pengolahannya berdasarkan nilai karakteristik setiap piksel yang dimiliki oleh citra Landsat 8. Penelitian Walidatika (2017) dengan judul Estimasi Evapotranspirasi Melalui Analisis Metode Kesetimbangan Energi di Kabupaten Bantul Tahun 2015 dengan Memanfaatkan Citra Landsat 8. Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah menganalisis persebaran kelembaban tanah dan evapotranspirasi pada setiap kurun waktu yang berbeda, serta menganalisis nilai evapotranspirasi pada setiap jenis tutupan vegetasi yang mampu menyebabkan nilai evapotranspirasi paling tinggi dan paling rendah. Perbedaan dengan analisis sebelumnya yaitu penelitian ini menggunakan kelembaban tanah sebagai parameter utama dalam mengestimasi nilai evapotranspirasi. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini menekankan pada konsep penginderaan jauh tanpa melakukan pengujian akurasi dengan metode lain untuk memperoleh nilai evapotranspirasi. Hal tersebut dilakukan karena telah dilakukan pengujian akurasi pada penelitian sebelumnya yang menyatakan hasil evapotranspirasi dengan penginderaan jauh cukup signifikan hasilnya dengan metode yang lain dan hanya memiliki selisih nilai sangat kecil. Selain itu, pengujian yang lain hanya terfokus pada kelembaban tanah atau evapotranspirasi, namun penelitian ini menekankan keduanya sebagai hubungan timbal balik yang saling berkaitan. Tabel 1.5 menunjukan penelitian sebelumnya untuk membandingkan dengan beberapa referensi penelitian.

22 22 Tabel 1.4 Perbandingan penelitian dengan penelitian sebelumnya Nama Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil Nurita (2016) Walidatika Pemanfaatan Citra Satelit Landsat 8 dalam Pemetaan Suhu Permukaan Tanah untuk Estimasi Kelembaban Tanah Kabupaten Bantul Tahun 2015 a. Pemetaan estimasi persebaran suhu permukaan lahan di Kabupaten Bantul Tahun 2015 b. Pemetaan estimasi persebaran kelembaban tanah di Kabupaten Bantul Tahun 2015 c. Mengintegraasi hasil pengolahan citra Landsat 8 untuk mengetahui pengaruh kelembaban tanah terhaadap suhu permukaan lahan dalam kurun waktu tertentu Metode sampling : Proportional Random Sampling Metode analisis : Split Window Algorithm (SWA) dan Temperature Vegetation Dryness Index (TVDI) Nilai suhu permukaan lahan Februari 2015 berkisar 19,93 44,43 o C dan September 2015 berkisar 19,76 42, 8 o C. Estimasi kelembaban tanah bulan Februari didominasi kelas normal dan September didominasi kelas agak kering. Penutup lahan bervegetasi kerapatan tinggi seperti hutan memiliki nilai kelembaban tanah yang basah, sedangkan untuk permukiman rapat memiliki kelembaban tanah yang kering. Sediyo Adi Nugroho (2011) Analisis Kelembaban Tanah Permukaan Melalui Citra Landsat 7 ETM+ di Wilayah Dataran Kabupaten Purworejo a. Mengetahui hubungan nilai spektral dengan kelembaban tanah permukaan b. Mengetahui hubungan kelembaban tanah permukaan terhadap liputan vegetasi dan temperatur permukaan c. Mengetahui hubungan Metode sampel : Stratisfied Purposive Sampling Metode analisis : Temperature Vegetation Dryness Index (TVDI) dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ Hubungan kelembaban taanah dengan nilai spektral berbanding lurus yakni kelembaban tanah yang basah memiliki nilai spektral yang gelap, sebaliknya untuk kelembaban tanah kering memiliki nilai spektral yang cerah. Hubungan kelembaban tanah

23 23 Lanjutan Tabel 1.5 antara kelembaban tanah permukaan dengan Penggunaan Lahan terhadap kerapatan vegetasi dan suhu permukaan yakni kelembaban tanah yang basah memiliki kerapatan vegetasi yang lebat dengan suhu permukaan yang rendah. Hubungan kelembaban tanah dengan penggunaan lahan yang memiliki nilai kelembaban tanah tinggi yakni tubuh air sebesar 100% dan yang terendah yakni belukar 12,5%. Pengaruh warna tanah dan jenis tanah terhadap kelembaban tanah yakni tanah jenis alluvial dengan warna cokelat memiliki kelembaban tanah yang paling basah. Khalifa Insan Nur Rahmi (2015) Penggunaan Algoritma Surface Energy Balance System (SEBS) pada Citra Landsat 8 Multitemporal untuk Estimasi Evapotranspirasi Aktual di DAS Mangkang Timur, DAS Garang, dan DAS Kanal Timur a. Mengetahui kemampuan citra Landsat 8 untuk menurunkan parameterparameter estimasi evapotranspirasi aktual. b. Mengetahui akurasi citra Landsat 8 untuk mengestimasi evapotranspirasi aktual Metode sampling : Proportionated Random Sampling Metode analisis : Algoritma Surface Energy Balance System dengan menggunakan citra Landsat 8, Citra Parameter evaapotranspirasi aktual yang paling penting adalah emisivitas memiliki akurasi 71,43%. Hasil uji akurasi ETa metode SEBS stasiun klimatologi I yakni 0,99 mm/hari, stasiun meteorologi kelas II Ahmad Yani yakni 2,18 mm/hari,

24 24 Lanjutan Tabel 1.5 dibandingkan data stasiun meteorologi dan klimatologi. MODIS, citra SRTM dan stasiun meteorologi kelas II maritim yakni 2,66 mm/hari. c. Mengetahui pola distribusi spasial evapotranspirasi aktual hasil estimasi data penginderaan jauh berdasarkan penutup lahan. Nilai ETa tertinggi mendominasi pada penggunaan lahan tubuh air yakni 9,6 mm/hari dan terendah adalah seng yakni 5,6 mm/hari. Fazlurrahman Shomat (2015) Landsat 8 Sebagai Data untuk Estimasi Evapotranspirasi dengan Model Keseimbangan Energi a. Memanfaatkan citra Landsat 8 untuk ekstraksi data suhu, kerapatan vegetasi, dan albedo sebagai parameter utama dalam estimasi evapotranspirasi b. Mengestimasi evapotranspirasi yang terjadi pada Kabupaten Madiun dan Magetan Metode sampling : Stratified Sampling Random Metode analisis : Model Keseimbangan Energi dan Metode Penman dengan menggunakan citra Landsat 8 Nilai evapotranspirasi di Kabupaten Madiun dan Magetan berkisar 5-6 mm/hari. Nilai estimasi kesetimbangan energi dan metode penman memiliki akurasi 0,05 yang berarti bisa diterima karena memiliki nilai hampir sama. c. Menguji keakuratan Model Kesetimbangan Energi di bandingkan dengan pengukuran menggunakan metode Penman Roberto Ignasius Cunsese Oba Taolin (2014) Pendugaan Evapotranspirasi Padi Sawah Menggunakan Metode Nisbah Bowen (Studi Kasus di Kabupaten a. Menguji akurasi metode Nisbah Bowen dalam menduga nilai evapotranspirasi aktual Metode Nisbah Bowen dan Metode FAO Penman-Monteith dengan perhitungan Nilai estimasi evapotranspirasi padi sawah berkisar antara 2,4 4,3 mm/hari.

25 25 Lanjutan Tabel 1.5 Indaramayu) padi sawah b. Mempelajari karakteristik komponen-komponen yang berpengaruh pada evapotranspirasi manual Hasil akurasi evapotranspirasi metode nisbah bowen dengan FAO Penman Monteith yakni 0,05 yang berarti memiliki hubungan yang signifikan denngan koefisien korelasinya. enulis : Nurita Walidatika (2017) Estimasi Evapotranspirasi Melalui Analisis Metode Kesetimbangan Energi di Kabupaten Bantul Tahun 2015 dengan Memanfaatkan Citra Landsat 8 a. Memetakan persebaran kelembaban tanah dan evapotranspirasi di Kabupaten Bantul pada perekaman citra Landsat 8 tanggal 22 Februari 2015 dan 18 September 2015 berdasarkan aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. b. Menganalisis perubahan agihan evapotranspirasi terhadap jenis tutupan vegetasi berdasarkan pendekatan SIG Kualitatif di Kabupaten Bantul. Metode sampling : stratified purposive sampling Metode analisis : Metode Kesetimbangan Energi untuk Evapotranpirasi dan Metode TVDI untuk Kelembaban Tanah dengan menggunakan citra Landsat 8

26 Kerangka Penelitian Kelembaban tanah merupakan air yang mengisi sebagian atau seluruh poripori tanah yang berada di atas water table. Kelembaban tanah berperan dalam menentukan ketersediaan air di bumi. Tingkat kelembaban tanah suatu wilayah akan mencerminkan air yang mengalami penguapan. Pada wilayah dengan kelembaban tanah tinggi berarti daerah tersebut memiliki cadangan air yang banyak, sehingga cadangan air yang menguap akan semakin banyak. Dalam proses hidrologi dikenal dengan konsep imbangan air. Air yang masuk akan sama jumlahnya dengan air yang keluar. Data masukan air akan berupa aliran permukaan, infiltrasi, presipitasi, dan sebagainya, sedangkan data keluaran diantaranya adalah evapotranpirasi. Evapotranspirasi merupakan keseluruhan jumlah air yang berasal dari permukaan tanah, air, dan vegetasi yang diuapkan kembali ke atmosfer oleh adanya pengaruh faktor-faktor iklim dan fisiologi vegetasi. Data evapotranpirasi dapat diturunkan untuk memperoleh data lain seperti kekeringan suatu daerah, banyaknya curah hujan yang akan terjadi, dan masih ada beberapa faktor iklim yang dapat di identifikasi dari data evapotranspirasi. Data evapotranspirasi sudah banyak diperoleh dengan pengukuran langsung di lapangan. Metode manual akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Selain itu, stasiun pengamatannya masih kurang merata lokasinya, sehingga akan menghasilkan data yang kurang representatif di lapangan dan hasil pengukuran yang berbentuk nilai pada titik lokasi bukan berupa area. Dengan begitu data yang dihasilkan dari pengukuran lapangan hanya akan terbentuk suatu interpolasi bukan data yang merepresentasikan secara kewilayahan dan keruangan. Pemanfaatan data penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi objek dari jarak jauh tanpa kontak langsung dengan menggunakan data dari penginderaan jauh ini dapat memperoleh banyak informasi secara agihan spasial dengan baik dan benar, serta memudahkan karena tidak banyak melakukan survei lapangan. Selain itu, data yang dihasilkan akan berupa data yang representatif sesuai kenyataan di lapangan karena setiap lokasi

27 27 pada citra penginderaan jauh sudah memiliki karakteristik yang berbeda meliputi nilai pantulan spektralnya. Pendekatan yang dilakukan untuk ekstraksi kelembaban tanah adalah TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index) yang merupakan pendekatan untuk menghitung tingkat kelembaban tanah yang dipengaruhi oleh indeks kerapatan vegetasi dan suhu permukaan tanah. Data yang digunakan untuk menghitung kelembaban tanah dengan TVDI meliputi penutup lahan, suhu permukaan, dan NDVI (Normallized Difference Vegetation Index). Pendekatan yang dilakukan untuk ekstraksi evapotranpirasi adalah kesetimbangan energi dengan melibatkan energi yang ada di bumi, yaitu energi terasa ke arah atmosfer (Soil Heat Flux), energi terasa ke udara (Sensible Heat Flux), energi evapotranspirasi (QE), energi radiasi kedalam tanah (QG), dan energi radiasi netto (Q*). Berikut adalah persamaan kesetimbangan energi yang digunakan dalam penelitian ini : QE = Q* - (QH + QG) (1) Data yang digunakan untuk menghitung evapotranpirasi dengan menggunakan kesetimbangan energi adalah data ekstraksi kelembaban tanah dan albedo permukaan. Data ini cukup baik, karena data dari penginderaan jauh merupakan data yang memiliki agihan spasial yang baik sehingga cocok untuk menjadi data dalam pendekatan ini. Gambar 1.3 menunjukan bagan kerangka penelitian.

28 28 Kabupaten Bantul - Masalah kekeringan meteorologis - Dampak Lanina tahun Analisis geomorfologi wilayah mempengaruhi distribusi air yang berbeda di setiap wilayah - Analisis geomorfologi wilayah mempengaruhi jenis penutup lahan dan jenis tutupan vegetasi Parameter : Fisiologis vegetasi (kerapatan vegetasi dan penutup lahan) Jenis tutupan vegetasi Iklim (suhu permukaan tanah, suhu udara, dan kecepatan angina) Kelembaban tanah Menggunakan aplikasi PJ Persebaran dan agihan kelembaban tanah dan evapotranspirasi Menggunakan aplikasi SIG Estimasi evapotranspirasi pada setiap jenis tutupan vegetasi untuk melihat pengaruh jenis vegetasi di Kabupaten Bantul Gambar 1.3 Bagan kerangka penelitian Pendekatan SIG kualitatif untuk evapotranspirasi pada setiap jenis tutupan vegetasi 1.7 Batasan Operasional Algoritma Maximum Likelihood merupakan algoritma yang secara statistik paling sesuai dengan asumsi bahwa objek homogen selalu menampilkan histogram yang terdistribusi normal atau bayestion (Danoedoro, 2012). Evapotranspirasi merupakan dua proses yang terpisah yaitu evaporasi dan transpirasi. Evaporasi adalah kehilangan air dari permukaan sementara transpirasi adalah penguapan yang berasal dari tanaman (Allen, dkk. 1998) Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra (biasanya multisaluran), untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek air yang berkaitan dengan kerapatan (Danoedoro,

29 29 Pengolahan Citra Digital : Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh, 1996). Interpolasi Spasial merupakan salah satu fasilitas SIG yang tidak dapat atau sulit dilakukan secara manual untuk menghasilkan peta lereng atau kontur data secara cepat, mudah, dan akurat setelah memasukan informasi berupa garis kontur dan atau titik ketinggian (Danoedoro, 1996). Kelembaban Tanah merupakan air yang mengisi sebagian atau seluruh pori-pori tanah yang berada di atas water table (Suprojo & Jamulya, 1993) Klasifikasi Multispektral (Terselia) merupakan sekumpulan algoritma yang didasari pemasukan objek berupa nilai spectral oleh operator (Danoedoro, 2012). Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra (Danoedoro, 2012). Penginderaan Jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji (Sutanto, 1987). Sistem Informasi Geografi merupakan system manual dan atau computer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, dan menghasilkan informasi yang mempunyai rujukan spasial atau geografis (Danoedoro, 2012). Suhu Permukaan Lahan (LST) merupakan fenomena penting dalam perubahan iklim global (Rajheswari & Mani, 2014)

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh sistem satelit merupakan salah satu alat yang bermanfaat untuk mengukur struktur dan evolusi dari obyek ataupun fenomena yang ada di permukaan bumi.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Mar, 2013) ISSN: 2301-9271 Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena El-Nino yang terjadi di Indonesia menyebabkan meningkatnya bencana kekeringan. Kekeringan merupakan ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan air untuk

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang harus ditanggulangi. Fenomena alam ini menjadi penyebab utama terbentuknya lahan kritis, terutama jika didukung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 24 Terkoreksi Radiometrik Data CH Koreksi Geometrik Bogor & Indramayu Malang *) & Surabaya *) Eo Lapang Regresi Vs Lapang Regeresi MODIS Vs lapang Hubungan dengan Kekeringan

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ilmu penginderaan jauh berkembang sangat pesat dari masa ke masa. Teknologi sistem sensor satelit dan berbagai algoritma pemrosesan sinyal digital memudahkan pengambilan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM.

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM. APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK PEMETAAN ZONA RAWAN BANJIR DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CELENG KECAMATAN IMOGIRI KABUPATEN BANTUL Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

LANDSAT 8 SEBAGAI DATA UNTUK ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI DENGAN MODEL KESEIMBANGAN ENERGI. Fazlurrahman Shomat

LANDSAT 8 SEBAGAI DATA UNTUK ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI DENGAN MODEL KESEIMBANGAN ENERGI. Fazlurrahman Shomat LANDSAT 8 SEBAGAI DATA UNTUK ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI DENGAN MODEL KESEIMBANGAN ENERGI Fazlurrahman Shomat fazlurrahman.shomat@mail.ugm.ac.id Sudaryatno sudaryatno@ugm.ac.id ABSTRACT Evapotranspiration

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi PERBANDINGAN EKSTRAKSI BRIGHTNESS TEMPERATUR LANDSAT 8 TIRS TANPA ATMOSPHERE CORRECTION DAN DENGAN MELIBATKAN ATMOSPHERIC CORRECTION UNTUK PENDUGAAN SUHU PERMUKAAN Farid Ibrahim 1, Fiqih Atriani 2, Th.

Lebih terperinci

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan Sukristiyanti et al. / Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 17 No.1 ( 2007) 1-10 1 Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan SUKRISTIYANTI a, R. SUHARYADI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR..... ii DAFTAR ISI...... iv DAFTAR TABEL..... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN.... 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah. 7 C. Tujuan Penelitian......

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo)

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo) Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo) Nurul Aini Dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dimanfaatkan secara tepat tergantung peruntukkannya. perkembangan yang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh

BAB I PENDAHULUAN. dapat dimanfaatkan secara tepat tergantung peruntukkannya. perkembangan yang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan penggunaan air tidak serta-merta dapat sepenuhnya terpenuhi oleh sumberdaya air yang ada. Kebutuhan air dapat terpenuhi secara berkala dan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA)

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) Oleh : Dawamul Arifin 3508 100 055 Jurusan Teknik Geomatika

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si Panjang Gelombang 1 m = 0,001 mm 1 m = 0,000001 m 0,6 m = 0,6 X 10-6 = 6 x 10-7 PANTULAN SPEKTRAL OBJEK Terdapat tiga objek utama di permukaan bumi, yaitu vegetasi, tanah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung Jagung merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat membutuhkan sinar matahari

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit Latar Belakang Meningkatnya pembangunan di Cisarua, Bogor seringkali menimbulkan dampak tidak baik terhadap lingkungan. Salah satu contohnya adalah pembangunan yang terjadi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidrologi Siklus hidrologi menunjukkan gerakan air di permukaan bumi. Selama berlangsungnya Siklus hidrologi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci