MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 122/PUU-XII/2014

Transkripsi

1

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 122/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran [Pasal 1 angka 9, Pasal 7 ayat (5) huruf b, ayat (9), Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 10, Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 24 ayat (5) huruf b, ayat (7) huruf b, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1) huruf b, Pasal 39 ayat (1), ayat (2), Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) ACARA Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR (III) Senin, 22 Desember 2014, Pukul WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Hamdan Zoelva (Ketua) 2) Arief Hidayat (Anggota) 3) Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota) 4) Anwar Usman (Anggota) 5) Maria Farida Indrati (Anggota) 6) Muhammad Alim (Anggota) 7) Wahiduddin Adams (Anggota) 8) Patrialis Akbar (Anggota) Achmad Edi Subiyanto Panitera Pengganti

3 Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Abraham Andi Padlan Patarai 2. Marsis B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Muhammad Joni 2. Zulhaina Tanamas 3. Triono Priyo Santoso C. Pemerintah: 1. Nasrudin 2. Akmal Taher 3. Tritarayati 4. Anna Erliyana 5. Illah Sailah 6. Budijono

4 SIDANG DIBUKA PUKUL WIB 1. KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 122/PUU- XII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. Ya, saya mau absen dulu. Pemohon yang hadir siapa saja? 2. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Terima kasih, Yang Mulia. Atas izin Yang Mulia, kami perkenalkan untuk pada persidangan hari ini hadir Pemohon Prinsipal Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umum Dr. Abraham Andi Padlan Patarai, M.Kes. Kemudian hadir juga Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Prof. Marsis, di sebelah kanan, Yang Mulia. Hadir juga hari ini, Yang Mulia, sejumlah eksponden dari Pengurus Daerah Perhimpunan Dokter Umum Indonesia dari Surabaya, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara dari Manado. Demikian, Yang Mulia, dan kami sendiri, Yang Mulia, Kuasanya Muhammad Joni, S.H., M.H. Kemudian Zulhaina Tanamas, S.H. Kemudian, Saudara Triono, S.H. Semua adalah Advokat dan Kuasa Hukum dari Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia. Terima kasih, Yang Mulia. 3. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Pemerintah mewakili Presiden? 4. PEMERINTAH: NASRUDIN KETUK PALU 3X Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah mewakili Presiden yang hadir saya sendiri Nasrudin (Direktur Litigasi Kementerian Hu kum dan HAM). Sebelah kanan saya dari Kementerian Kesehatan secara berurut-urut, Prof. Dr. Akmal Taher (Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan), yang sekaligus akan membacakan keterangan Presiden. Dan Ibu Dokter Gigi Tritarayati dan sebelah kiri saya dari Kementerian Dikbud dan Kementerian Ristek dan Dikti, Ibu Anna Erliyana dan Ibu Illah Sailah, serta Budijono dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia.

5 5. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Dari DPR belum hadir, ya, masih reses. Sidang hari ini adalah sidang Pleno yang pertama dalam perkara ini, yaitu untuk mendengarkan keterangan dari Presiden. Dari Pemerintah sudah siap? Ya, silakan. 6. PEMERINTAH: AKMAL TAHER Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Yang bertanda tangan di bawah ini, Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan HAM. Nila Farid Moeloek, Menteri Kesehatan. M. Nasir, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam hal ini, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia, selanjutnya disebut sebagai Pemerintah. Perkenanlah kami menyampaikan keterangan Pemerintah baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan atas permohonan pengujian constitutional review, ketentuan Pasal 1 angka 9, Pasal 7 ayat (5) huruf b, dan ayat (9), Pasal 8, Pasal 10, Pasal 19, Pasal 24 ayat (5) huruf b, dan ayat (7) huruf b, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 31 ayat (1) huruf b, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 39, Pasal 40 ayat (2), Pasal 54 Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Pendidikan Kedokteran terhadap Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Selanjutnya disebut UUD 1945, yang dimohonkan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), dalam hal ini diwakili oleh Dr. Abr aham Andi Padlan Patarai, M.Kes, dan Dr. Andi Alfian Zainudin, M.Km, selaku Ketua Pengurus Pusat PDUI dan Sekretaris Pengurus Pusat PDUI yang memberikan kuasa kepada Muhammad Joni, S.H.,M.H, dan kawankawan untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon, sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 122/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 dengan perbaikan perkara tanggal 1 Desember Selanjutnya, perkenanlah Pemerintah menyampaikan keterangan atas pengujian Undang-Undang Pendidikan Kedokteran sebagai berikut. I. Pokok Permohonan Para Pemohon. 1. Bahwa menurut Para Pemohon ketentuan Pasal 1 angka 9, Pasal 7 ayat (5) huruf b dan ayat (9), Pasal 8, Pasal 19, Pasal 24 ayat (5) huruf b, dan ayat (7) huruf b, Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), dan Pasal 54 Undang -Undang Pendidikan Kedokteran mengenai definisi dokter, khususnya frasa dokter layanan primer dianggap tidak memiliki kepastian hukum dan

6 II. merusak sistem hukum praktik kedokteran karena hanya mengenal dokter dan dokter spesialis, sub spesialis, sebagai tenaga kesehatan, serta tidak mengenal kualifikasi dokter layanan primer, baik secara kompetensi, legalitas STR (Surat Tanda Registrasi), prosedur dan syarat STR, perizinan praktik, dan penggunaan pengakuan gelar profesi, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun Bahwa menurut Para Pemohon, menganggap penggunaan kata dapat dalam Pasal 10, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Pendidikan Kedokteran menghambat ketersediaan tenaga kesehatan bagi pelayanan kesehatan masyarakat, dan merupakan norma yang dipaksakan karena adanya dispensasi yang mengancam asas tanggung jawab sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) Undang -Undang Pendidikan Kedokteran, khususnya frasa selain rumah sakit pendidikan, merupakan norma yang dipaksakan karena adanya dispensasi yang mengancam asas tanggung jawab, frasa tersebut dapat berarti pendidikan kedokteran termasuk spesialis, sub-spesialis tidak mutlak dilakukan di rumah sakit pendidikan. 4. Bahwa menurut Para Pemohon, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang -Undang Pendidikan Kedokteran mengenai frasa uji kompentensi telah menimbulkan kerugian konstitusional Para Pemohon, yaitu menimbulkan inkonsistensi norma hukum dalam undang-undang, merusak tatanan sistem praktik kedokteran, menimbulkan gangguan keberadaan Pemohon dan tidak adanya jaminan kepastian sistem atas profesi dokter karenanya karena adanya dualisme lembaga yang berwenang menyelenggarakan uji kompetensi dokter, serta yang mengeluarkan sertifikat kompetensi dokter, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon. Uraian tentang kedudukan hukum Para Pemohon akan dijelaskan secara rinci dalam keterangan Pemerintah secara lengkap yang akan disampaikan pada persidangan berikutnya, atau melalui Kepaniteraan Konstitusi. Namun demikian, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak sebagaimana yang ditentukan Pasal 51 ayat (1) Undang -Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

7 III. Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu sejak Putusan Nomor 6/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007. Keterangan Presiden atas Materi Permohonan yang Dimohonkan untuk Diuji. Sebelum Pemerintah memberikan keterangan atas materi yang dimohonkan untuk diuji, perkenankanlah Pemerintah menerangkan hal-hal sebagai berikut. Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka diselenggarakan upaya pembangunan yang berkesambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah, dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap warga negara agar mereka dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. Kesehatan merupakan salah satu tolak ukur dari kesejahteraan, dan kesehatan perlu ditingkatkan dalam rangka memperluas dan mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut hal dalam berbagai segi kehidupan manusia, baik secara fisik maupun non fisik. Salah satu permasalahan dalam pembangunan kesehatan yang memerlukan perhatian negara saat ini adalah masalah pendidikan kedokteran yang hampir dua dasawarsa terakhir seperti dibiarkan berjalan tanpa arah yang jelas, serta mengabaikan tujuan pokok pendidikan kedokteran dan prinsip-prinsip sosial pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pendidikan kedokteran merupakan salah satu unsur perwujudan tujuan negara melalui sistem pendidikan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Untuk menghadapi tantangan dan tuntutan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, dan globalisasi perlu dilakukan pembaharuan pendidikan kedokteran secara terencana, terarah, dan berkesinambungan agar mampu menghasilkan dokter, dokter gigi, dokter layanan primer, dokter spesialis dan sub-spesialis, dan dokter gigi sub-spesialis spesialis dan sub-spesialis yang bermutu, kompeten, profesional, bertanggung jawab, memiliki etika dan moral, dengan memadukan pendekatan humanistik terhadap pasien dan berjiwa sosial tinggi. Untuk mewujudkan pendidikan kodokteran yang terarah, terukur, dan terkoordinasi, diperlukan suatu rencana strategi pendidikan kedokteran. Namun, dalam praktiknya, berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sistem pendidikan nasional

8 belum mengatur secara spesifik dan komprehensif mengenai penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan suatu undangundang yang secara khusus dan komprehensif mengatur pendidikan kedokteran. Oleh karena itu, diharapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran diharapakan dapat memberikan kepastian hukum disamping undang-undang yang sudah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Sehubungan dengan anggapan Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan bahwa Pasal 1 angka 9, Pasal 7 ayat (5) huruf b dan ayat (9), Pasal 8, Pasal 10, Pasal 19, Pasal 24 ayat (5) huruf b dan ayat (7) huruf b, Pasa l 28, Pasal 29, Pasal 31 ayat (1) huruf b, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), P asal 39, Pasal 40 ayat (2), Pasal 54 Undang-Undang Pendidikan Kedokteran yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut. 1. Terhadap dalil Para Pemohon yang pada intinya menganggap frasa dokter layanan primer dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran yang dianggap membuka ketidakpastian hukum dan merusak sistem hukum praktik kedokteran, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) Undang -Undang Dasar Tahun 1945, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut. a. Dokter layanan primer adalah profesi baru yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran sebagai perwujudan dari pemenuhan kebutuhan masyarakat akan seorang dokter dalam tingkat pelayanan primer sesuai dengan fungsi layanan primer yang setara dengan dokter spesialis dan dokter sub-spesialis lulusan pendidikan dokter vide Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. b. Pelayanan primer adalah bentuk salah satu sistem dari tiga sistem pelayanan kesehatan dari program jaminan kesehatan nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional. Sebagai pelaksanaan dari pemenuhan hak setiap warga negara dalam hal pemenuhan pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat dalam ketentuan Pasal 28H ayat (1) Undang -Undang Dasar Tahun Adapun ketiga sistem pelayanan kesehatan adalah: 1) Layanan strata primer berfungsi sebagai pintu masuk masyarakat ke sistem pelayanan dan menjadi mitra masyarakat dalam menerapkan perilaku hidup sehat,

9 memelihara kesehatan, dan mengatasi sebagian besar masalah kesehatan sehari-hari. 2) Layanan strata sekunder berfungsi sebagai back up atau pendukung untuk mengatasi masalah yang tidak dapat diselesaikan strata primer. 3) Dan, layanan strata tersier berfungsi sebagai pusat rujukan untuk mengatasi masalah khusus yang sangat spesialistis, dan juga sebagai pusat penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran. c. Sistem pelayanan kesehatan ada karena adanya kebutuhan dan permintaan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang membutuhkan dokter masa depan yang saat ini belum ada, yaitu dokter pelayanan primer yang akan menjalankan tugas keprofesionalnya dalam sistem pelayanan kesehatan yang terstruktur dengan mekanisme pembiayaan jaminan sosial kesehatan. Tugas utamanya adalah memenuhi sebagian besar kebutuhan dan permintaan penduduk di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia akan pelayanan kesehatan dasar selama siklus kehidupannya. Selain itu, dokter layanan primer adalah seorang dokter generalis yang mendapatkan pendidikan setara dengan spesialis yang mengintegrasikan kedokteran keluarga, kedokteran komunitas, dan kesehatan masyarakat, serta mampu memimpin dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama atau primer yang berkualitas. Selanjutnya, terhadap keberadaan dokter umum, sebelum dokter layanan primer terbentuk tetap diakui sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan masyarakat yang selama ini sudah ada. Sesuai dengan program pendidikan yang diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, maka dokter umum akan memiliki beberapa pilihan karier padanya, yaitu tetap melakukan pelayanan sebagai dokter umum, atau menjadi dokter layanan primer, atau menjadi dokter spesialis, ataupun bisa juga menjadi meniti karier pada pendidikan menjadi dosen serta menjadi peneliti. Oleh karena itu, dokter yang bekerja dalam pelayanan kesehatan di masa depan adalah dokter dan dokter pelayanan primer. Hal ini sekaligus untuk menunjang sistem dari pola pelayanan kesehatan sebagai pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional yang sudah dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Tahun Terhadap dalil Pemohon dalam permohonannya yang merasa terganggu dengan adanya dokter pelayanan primer yang kedudukannya sama dengan dokter umum, Pemerintah berpendapat bahwa adanya kebingungan dengan dua istilah, yaitu dokter umum dan dokter layanan primer. Sebenarnya,

10 dapat dilakukan melalui identifikasi terhadap tingkat pendidikan masing-masing. Lulusan dokter lulusan fakultas kedokteran atau program studi dokter pendidikan dokter dapat dianggap sebagai dokter layanan primer dasar ( basic primary care doctors), mereka sebenarnya juga dapat dianggap sebagai dokter praktik umum, sehingga perlu ditekankan bahwa sebenarnya dokter-dokter fresh graduated atau yang lulus dari fakultas kedokteran adalah dokter pelayanan primer dasar ( primary care doctor) yang memerlukan suatu proses pendidikan tambahan bila ingin menjadi dokter layanan primer paripurna (advance primary care doctors). 2. Terhadap dalil Para Pemohon yang pada intinya menganggap kata dapat dalam Ketentuan Pasal 10, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 40 ayat (2) Undang -Undang Pendidikan Kedokteran menghambat ketersediaan tenaga kesehatan bagi pelayanan kesehatan masyarakat dan merupakan norma yang dipaksakan karena adanya dispensasi yang mengancam asas tanggung jawab, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) Undang -Undang Dasar Tahun Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut. a. Bahwa berdasarkan lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan dalam butir 267 kata dapat adalah untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau lembaga, digunakan kata dapat, sehingga dapat diartikan kata dapat berfungsi untuk memberikan pilihan bagi seseorang atau lembaga yang diberikan wewenang untuk menentukan kebijakannya. Adapun kebijakan yang dipilih dalam kata dapat harus mengandung antara lain: 1) Dalam keadaan tertentu seharusnya, sepatutnya demi kepentingan umum, dan lain-lain. 2) Suatu kondisi faktual, seperti bencana. Oleh karena itu parameter untuk menguji penggunaan wewenang diskresi adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya penggunaan wewenang itu harus menghindari tindakan yang sewenang-wenang. b. Bahwa yang dimaksud dengan kata dapat dalam Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Pendidikan Kedokteran dimaksudkan sebagai pilihan kebijakan pemerintah dalam hal pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan untuk dapat menugaskan fakultas kedokteran dan fakultas kedokteran gigi dalam rangka meningkatkan kuota penerimaan mahasiswanya di dalam sebuah program dokter layanan primer, dokter spesialis, sub-

11 spesialis, dan/atau dokter gigi spesialis, sub-spesialis sepanjang memenuhi daya tampung dan daya dukung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Selain itu, Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Pendidikan Kedokteran merupakan penegasan bagi dokter di dalam profesi dasarnya untuk memberikan pilihan dalam pengembangan karirnya sebagai akademisi, peneliti, atau praktisi klinis dimana dokter layanan primer adalah praktisi klinis dengan kekhususan kasus layanan primer, sehingga jika kata dapat diganti dengan kata wajib dikhawatirkan bagi fakultas kedokteran dan fakultas kedokteran gigi tidak akan sanggup meningkatkan kuotanya dikarenakan setiap fakultas tersebut belum tentu mempunyai kemampuan yang sama karena kondisi masing-masing fakultas yang berbeda-beda. c. Selanjutnya, terhadap Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Pendidikan Kedokteran sepanjang kata dapat, menurut Pemerintah secara mutatis mutandis berlaku terhadap keterangan dalam Ketentuan Pasal 10 dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran pada poin A di atas. 1) Bahwa kata dapat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pendidikan Kedokteran adalah pilihan kepada fakultas kedokteran dan fakultas kedokteran gigi untuk dapat menyelenggarakan pendidikan bagi mahasiswa program layanan primer, dokter spesialis, sub-spesialis, dan dokter gigi spesialis, sub-spesialis di rumah sakit pendidikan, dan/atau di wahana pendidikan kedokteraan sebagai pelaksanaan dan penyelenggaraan program dokter yang termasuk dalam pendidikan profesi. Bahwa kata dapat dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Pendidikan Kedokteran juga berlaku mutatis mutandis dengan keterangan huruf A, yaitu memberikan pilihan kepada fakultas kedokteran dan fakultas kedokteran gigi untuk menyelenggarakan program dokter dengan bekerja sama paling banyak dengan dua rumah sakit pendidikan. Berdasarkan hal yang di atas, menurut Pemerintah kata dapat dalam ketentuan kedua a quo dimaksud sebagai pilihan kepada fakultas kedokteran dan fakultas kedokteran gigi dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran sebagai usaha pemerintah dalam meningkatkan kuota dokter dengan tujuan pemenuhan kebutuhan akan pelayanan masyarakat, khususnya pelayanan primer sebagai tingkat yang paling dasar. 3. Terhadap dalil Para Pemohon bahwa Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Pendidikan Kedokteran yang pada intinya menganggap frasa selain rumah sakit pendidikan merupakan

12 norma yang dipaksakan, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut. Rumah sakit pendidikan merupakan rumah sakit yang fungsi utamanya sebagai tempat pendidikan kedokteran, pelatihan tenaga profesional dokter, dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan kedokteran dasar, dan pendidikan kedokteran berkelanjutan. Rumah sakit sebagai lahan pendidikan merupakan rumah sakit yang menyelenggarakan dan/atau digunakan untuk pendidikan pelayanan dan penelitian secara (suara tidak terdengar jelas) dalam bidang profesi kedokteran. Selanjutnya, dalam Ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang -Undang Pendidikan Kedokteran dijelaskan bahwa pendidikan dokter layanan primer dan dokter spesialis, sub-spesialis tidak hanya dilakukan di rumah pendidikan, tapi juga dapat dilakukan di wahana pendidikan kedokteran yang lain, puskesmas, laboratorium, atau fasilitas lainnya. Sedangkan penggunaan wahana pendidikan kedokteran bertujuan untuk pemenuhan variasi kasus dalam mencapai kompetensi dokter layanan primer dan dokter spesialis, sub-spesialis. 4. Terhadap dalil Para Pemohon yang pada intinya menganggap frasa uji kompetensi dalam Pasal 36 ayat (1), ayat ( 2), dan ayat (3), serta Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang -Undang Pendidikan Kedokteran telah menimbulkan kerugian konstitusional Para Pemohon, yaitu menimbulkan inkonsistensi norma hukum, merusak tatanan sistem praktik kedokteran, mengganggu keberadaan Pemohon, dan tidak menjamin kepastian sistem atas profesi dokter karena adanya dualisme lembaga yang berwenang dalam menyelenggarakan uji kompetensi dokter, serta yang mengeluarkan sertifikat kompetensi dokter. Pemerintah dapat memberikan keterangan sebagai berikut. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pendidikan kedokteran diselenggarakan dalam rangka untuk menghadapi tantangan dan tuntutan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, dan globalisasi perlu dilakukan pembaharuan pendidikan kedokteran secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Sedangkan pendidikan kedokteran dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran diselenggarakan dalam beberapa tahap, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesi. Yang dimaksud dengan uji kompetensi dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pendidikan Kedokteran dihubungkan dengan pendidikan kedokteran dalam undang-undang a quo adalah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa yang hendak menyelesaikan profesi dokter atau dokter gigi, harus lulus uji

13 kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai dokter atau dokter gigi vide Pasal 36 ayat (1) Undang - Undang Pendidikan Kedokteran. Uji kompetensi dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 undang-undang a quo dilaksanakan oleh fakultas kedokteran bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi vide Pasal 36 ayat (3) Undang -Undang Pendidikan Kedokteran. Untuk memperoleh sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi, harus telah lulus uji kompetensi vide Pasal 36 ayat (2) Undang -Undang Pendidikan Kedokteran. Sedangkan Undang-Undang Praktik Kedokteran tidak mengatur norma terkait penyelenggaraan uji kompetensi, hanya menjelaskan mengenai definisi sertifikat kopetensi, yaitu surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kopetensi. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) huruf d mengatur mengenai persyaratan bagi dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi yang antara lain harus memiliki sertifikat kompetensi. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pendidikan Kedokteran hanya mengatur tentang bagi mahasiswa menyelesaikan pendidikan di fakultas kedokteran harus melakukan uji kompetensi yang dilaksanakan oleh fakultas kedokteran bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Sedangkan yang dimaksud kompetensi dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, yaitu dijelaskan bagi dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran harus memiliki sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh kologium yang bersangkutan vide penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d. Berdasarkan uraian di atas, terhadap anggapan Pemohon yang menganggap ketentuan a quo menimbulkan tidak adanya kepastian hukum atas profesi dokter karena adanya dualisme lembaga yang menangani uji kompetensi mahasiswa program profesi dokter, serta lembaga yang mengeluarkan sertifikat kompetensi dokter, menurut Pemerintah adalah tidak tepat karena penyelenggara uji kompetensi yang diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pendidikan Kedokteran dengan Undang-Undang

14 Praktik Kedokteran mempunyai peran masing-masing secara berbeda. Sehingga ketentuan dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran dan Undang-Undang Praktik Kedokteran sudah sejalan, selaras, tidak tumpang-tindih dan justru kedua undangundang tersebut saling melengkapi. Kesimpulan. Berdasarkan keterangan dan argumen tersebut di atas, Pemerintah dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut. Undang-Undang Pendidikan Kedokteran merupakan peraturan yang bertujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang pelayanan kesehatan khususnya sebagai penyediaan profesi kedokteran dengan cara pengembangan pembaruan sistem pendidikan kedokteran yang baru. Dokter layanan primer adalah pilihan profesi dokter yang baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran sebagai pemenuhan dari kebutuhan masyarakat untuk seorang dokter guna melayani dalam strata primer. Keberadaan dokter layanan primer adalah sebagai bagian dari dokter yang melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Petitum. Berdasarkan keterangan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut. 1. Menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan Para Pemohon tidak dapat diterima. 2. Menerima keterangan Presiden secara keseluruhan. 3. Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 9, Pasal 7 ayat (5) huruf b, dan ayat (9), Pasal 8, Pasal 10, Pasal 19, Pasal 24 ayat (5) huruf b dan ayat (7) huruf b, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 31 ayat (1) huruf b, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 39, Pasal 40 ayat (2), Pasal 54 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran tidak bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Atas perhatian Yang Mulia Ketua dan seluruh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi diucapkan terima kasih. Jakarta, hormat kami Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia,Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Farid Moeloek, Menteri Kesehatan, M. Nasir, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Terima kasih.

15 7. KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih dari Pemerintah telah menyampaikan keterangan dari Presiden. Selanjutnya Pemohon, apakah akan mengajukan saksi dan ahli? 8. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Terima kasih, Yang Mulia. Atas perkenaan Yang Mulia kami akan mengajukan saksi dan ahli pada persidangan berikutnya. 9. KETUA: HAMDAN ZOELVA Berapa orang saksi dan berapa orang ahli? 10. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Total keseluruhan tiga orang saksi dan ahli. 11. KETUA: HAMDAN ZOELVA Saksi dan ahli? 12. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Ya, kami akan menyampaikan itu dalam waktu segera kepada Kepaniteraan, Yang Mulia. 13. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, nanti ahlinya diberikan apa curriculum vitae-nya secara lengkap ya untuk melihat keahliannya. Nanti karena nanti ahli itu akan diverifikasi dahulu oleh Mahkamah apakah akan tepat dengar keterangan sebagai ahli atau tidak. Karena itu penting sekali sebelumnya untuk menyampaikan CV dari ahli yang bersangkutan. Sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada hari Kamis, 15 Januari 2015, pukul WIB untuk mendengarkan keterangan DPR dan tiga orang ahli dari Pemohon. Sekali lagi, sidang selanjutnya 15 Januari 2015, pukul WIB.

16 Dengan demikian, sidang ini selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL WIB Jakarta, 22 Desember 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.