PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA"

Transkripsi

1 SKRIPSI PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DENGAN ROSMARINIC ACID TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN RINGAN Oleh CATRIEN F DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 Catrien. F Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Antosianin dari Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan Rosmarinic Acid terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman Ringan. Di bawah bimbingan Sukarno dan Dede R. Adawiyah RINGKASAN Warna merupakan salah satu atribut sensori yang mempengaruhi kualitas dan penerimaan suatu produk pangan. Penggunaan pewarna untuk meningkatkan daya tarik produk pangan semakin meningkat dan berkembang pesat. Salah satu jenis warna yang banyak digunakan pada berbagai produk pangan adalah warna merah, yang dapat berasal dari antosianin. Antosianin merupakan pigmen yang larut dalam air, menghasilkan warna dari merah sampai biru, dan tersebar luas dalam buah, bunga, dan daun (Jackman dan Smith, 1996). Antosianin memiliki spektrum warna merah yang kuat dan tajam pada ph 2-5, oleh sebab itu aplikasi antosianin sebagai pewarna pada produk pangan dapat dilakukan pada produk pangan yang memiliki ph rendah, seperti minuman ringan. Namun, sebagai pigmen atau pewarna merah alami, antosianin memiliki kelemahan, terutama dalam hal kestabilan warna. Warna merah dari antosianin sangat mudah terdegradasi, baik oleh peningkatan ph maupun peningkatan suhu. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kestabilan warna merah dari antosianin adalah dengan kopigmentasi. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh kopigmentasi pewarna alami antosianin dari rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan rosmarinic acid terhadap kualitas dan stabilitas warna merah pada model minuman ringan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh pewarna merah yang lebih aman dan lebih stabil untuk diaplikasikan pada produk pangan. Penelitian diawali dengan mengekstrak pigmen antosianin dari kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan menggunakan pelarut air. Ekstrak antosianin rosela yang diperoleh selanjutnya dicampurkan dengan rosmarinic acid ke dalam model minuman ringan dengan lima perbandingan konsentrasi (M) (antosianin : rosmarinic acid 1:20, 1:40, 1:60, 1:80, dan 1:100). Kontrol yang digunakan adalah model minuman ringan antosianin tunggal atau tanpa penambahan senyawa kopigmen (rosmarinic acid). Kemudian dilakukan pengujian stabilitas warna merah pada model minuman ringan terhadap proses pemanasan dan penyinaran sinar ultraviolet (UV). Parameter yang diamati pada model minuman ringan meliputi absorbansi dan intensitas warna. Absorbansi model minuman ringan diamati dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis Spectronic 20D pada panjang gelombang 520 nm. Intensitas warna diamati dengan alat Chromameter Lab Minolta CR310 menggunakan sistem notasi warna Hunter (L, a, b). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pemanasan dan penyinaran UV mempengaruhi kestabilan warna merah pada model minuman ringan dan menyebabkan terjadinya degradasi warna merah pada model minuman ringan. Degradasi warna merah pada model minuman ringan ditandai dengan penurunan nilai absorbansi, penurunan nilai retensi warna, peningkatan nilai L (derajat kecerahan), penurunan nilai a (derajat kemerahan), dan peningkatan nilai b (derajat kekuningan) pada model minuman ringan, seiring dengan peningkatan

3 suhu dan waktu pemanasan, serta peningkatan waktu penyinaran UV. Degradasi warna ini disebabkan oleh terjadinya dekomposisi struktur antosianin dari kation flavilium yang berwarna merah, menjadi hemiasetal atau basa karbinol yang tidak berwarna, dan akhirnya menjadi kalkon yang tidak berwarna. Penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen ternyata memberikan pengaruh yang cukup baik dalam peningkatan intensitas warna merah antosianin rosela pada model minuman ringan. Peningkatan intensitas warna ini ditandai dengan peningkatan nilai absorbansi (memberikan efek hiperkromik), penurunan nilai L (derajat kecerahan), dan peningkatan nilai a (derajat kemerahan) model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen juga memberikan pengaruh yang cukup baik pada peningkatan kestabilan antosianin rosela terhadap degradasi warna merah akibat proses pemanasan dan penyinaran UV pada model minuman ringan. Model minuman kontrol (antosianin tunggal) lebih mudah dan lebih cepat mengalami degradasi warna merah, jika dibandingkan dengan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid. Hal ini dapat diamati dari penurunan nilai k (konstanta laju degradasi antosianin), peningkatan nilai t 1/2 (waktu paruh degradasi antosianin), dan peningkatan nilai Ea (energi aktivasi) pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid jika dibandingkan dengan model miniuman kontrol (antosianin tunggal) ringan. Nilai k, t 1/2, dan Ea menggambarkan tingkat kemudahan terjadinya reaksi degradasi antosianin rosela pada model minuman ringan. Semakin kecil nilai k serta semakin besar nilai t 1/2 dan Ea menandakan semakin sulit antosianin rosela terdegradasi, karena untuk reaksi degradasi tersebut dibutuhkan waktu yang lebih lama dan energi yang lebih besar. Fenomena kopigmentasi rosmarinic acid terhadap antosianin rosela pada model minuman ringan memang terjadi atau terlihat, baik pada proses pemanasan maupun pada proses penyinaran UV. Pada pengamatan uji stabilitas warna model minuman ringan terhadap penyinaran UV, efek atau fenomena kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid terjadi secara nyata (signifikan). Namun, pada pengamatan uji stabilitas warna model minuman ringan terhadap pemanasan, efek atau fenomena kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid terlihat kurang signifikan. Hal ini disebabkan oleh kecilnya konsentrasi antosianin rosela yang diaplikasikan sebagai pewarna pada model minuman ringan, sebesar 3x10-5 M. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:100, merupakan formula model minuman ringan yang memiliki efek kopigmentasi terbaik, dalam meningkatan kestabilan antosianin rosela pada proses pemanasan, karena mempunyai nilai energi aktivasi (Ea) yang paling besar, dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan keempat formula model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid lainnya, yaitu 1:20, 1:40, 1:60, dan 1:80.

4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DENGAN ROSMARINIC ACID TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN RINGAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: CATRIEN F DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DENGAN ROSMARINIC ACID TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN RINGAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: CATRIEN F Dilahirkan pada tanggal 18 Desember 1986 di Jakarta Tanggal lulus : 20 November 2009 Menyetujui, Bogor, 10 Desember 2009 Dr. Ir. Sukarno, M. Sc Dosen Pembimbing I Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M. Si Dosen Pembimbing II Mengetahui, Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ketua Departemen ITP

6 RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 1986 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Lie Han Fong dan Cicilia Soaniyati Nasim. Bangku sekolah penulis dimulai dari TK Santa Maria Fatima (Jakarta), SD Santa Maria Fatima (Jakarta), SMP Marsudirini (Jakarta), dan SMA Santa Theresia (Jakarta), kemudian penulis diterima menjadi mahasiswi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun Selama belajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, penulis mengikuti beberapa kegiatan organisasi dan kemahasiswaaan seperti Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI), Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA), panitia Indonesian Food Expo (Ifoodex) 2007, dan panitia Natal Civitas Akademika IPB Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsinya dengan judul Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Antosianin dari Rosela (Hibiscus Sabdariffa L.) dengan Rosmarinic Acid terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman Ringan di bawah bimbingan Dr. Ir. Sukarno, M. Sc. dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M. Si. Penulis juga pernah bekerja sebagai Asisten Praktikum Kimia Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB), Asisten Praktikum Organoleptik Supervisor Jaminan Mutu Pangan Institut Pertanian Bogor (SJMP IPB), dan asisten praktikum Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Supervisor Jaminan Mutu Pangan Institut Pertanian Bogor (SJMP IPB).

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Antosianin dari Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan Rosmarinic Acid terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman Ringan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan pihak-pihak yang senantiasa membimbing, membantu, dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada: 1. Orang tua tercinta (mami dan papi) dan adik-adik tersayang (Natalia dan Steffanie) yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang kepada penulis. Terima kasih atas semua dukungan, perhatian, doa, dan semangat selama ini. 2. Dr. Ir. Sukarno, M. Sc dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M. Si, selaku pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan, motivasi, bimbingan, dan pengarahan kepada penulis sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. 3. Ir. Elvira Syamsir, M. Si, terima kasih atas waktu dan kesediaannya sebagai penguji serta masukan-masukan berarti demi perbaikan skripsi ini Tante Helly, Ku Oyu, Oma, dan Ayu. Terima kasih atas segala bentuk perhatian, dukungan, dan bantuan yang senantiasa diberikan selama ini. Semoga Tuhan senantiasa memberkati dan membalas semua kebaikan Tante Helly, Ku Oyu, Oma, dan Ayu. 6. Misereor dan Yayasan Bhumiksara, beserta para donatur beasiswa Misereor- Bhumiksara. Terima kasih atas kebaikan hati dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah. i

8 7. Seluruh pengurus Yayasan Bhumiksara, terutama Pak Djoko, Pak Lubis, dan Mas Eko. Terima kasih untuk bantuan, nasihat, masukan, sharing pengalaman, pelajaran, dan semua hal yang telah diberikan. 8. Komisi Pendidikan Jakarta, terutama Ibu Lis, Pak Dwi, dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penerimaan beasiswa Misereor- Bhumiksara. Terima kasih atas bantuan, dukungan, nasihat, dan masukan yang telah diberikan kepada penulis. I Love KAJ. 9. Teman-teman KomDik Jakarta: Belinda, Marcel, Tanti, Angel, Lea, Ocha, Noel, Ino, Nikson, Bobby, dan Leo. Terima kasih atas semua kebersamaan, dukungan, dan persahabatan yang telah terjalin. Aku cinta J. A. K. A. R. T. A. 10. Teman-teman di seluruh Indonesia, penerima beasiswa Misereor Bhumiksara. Terima kasih atas semua kebersamaan dan persaudaraan yang indah. 11. Teman-teman satu bimbingan: Ayupri Dipthasari dan Ardi Ramdani. Terima kasih atas kerja sama, semangat, dan dukungannya. 12. Keluarga Rocang (Rosela-secang): Arya, Galih Ika, Galih Eka, dan Santi. Terima kasih atas segala bantuan, kerja sama, semangat, dan kekompakannya. 13. Sahabat-sahabat terbaik: Vania, Bonita, Karina. Terima kasih atas persahabatan, perhatian, dan semangat yang senantiasa diberikan kepada penulis. 14. Teman-teman kuliah: Diana, Yusi, Astrisia, Belinda, Irene, Eveline, Tuti, dan Lusi. Terima kasih atas bantuan, perhatian, semangat, kebersamaan dan persahabatannya selama ini. 15. Seluruh teman-teman ITP 42. Seluruh kenangan indah, kebersamaan, suka, dan duka kita selama ini takkan pernah terlupakan. 16. Laboran dan teknisi laboratorium ITP, Pilot Plan, dan LJA: Pak Rojak, Pak Wachid, Pak Sidik, Pak Adi, Pak Sobirin, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Iyas, Bu Rubiah, Bu Antin, Mba Darsih, Mbak Yane, Mbak Siti, Mbak Ririn, dan Mbak Yuli. Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian. 17. Seluruh dosen dan staf Departemen ITP yang telah memberikan ilmu, pelajaran, nasihat, dan masukan yang berharga. ii

9 18. Pustakawan-pustakawan PITP, PAU, dan LSI, terimakasih atas segala bantuannya. 19. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik. Akhir kata, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang ilmu dan teknologi pangan. Bogor, September 2009 Catrien iii

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... x DAFTAR LAMPIRAN... xi I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN PENELITIAN... 4 C. MANFAAT PENELITIAN... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA... 5 A. ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.)... 5 B. PEWARNA MAKANAN... 6 C. ANTOSIANIN... 9 D. KOPIGMENTASI E. ROSMARINIC ACID F. MINUMAN RINGAN G. SPEKTROSKOPI H. KROMAMETER III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan Alat B. METODE PENELITIAN Persiapan Sampel Pembuatan Model Minuman Ringan dan Reaksi Kopigmentasi Antosianin-Rosmarinic Acid Uji Stabilitas Warna a. Analisis stabilitas warna terhadap suhu pemanasan b. Analisis stabilitas warna terhadap penyinaran ultraviolet Metode Analisis a. Penentuan rendemen ekstrak b. Penentuan total padatan (AOAC, 1995) c. Penentuan total antosianin (modifikasi Iglesias et al., 2008) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI ANTOSIANIN DARI ROSELA B. KARAKTERISTIK EKSTRAK ANTOSIANIN DARI ROSELA C. PEMBUATAN MODEL MINUMAN RINGAN DAN REAKSI KOPIGMENTASI ANTOSIANIN-ROSMARINIC ACID D. ANALISIS STABILITAS WARNA MODEL MINUMAN RINGAN Analisis Stabilitas Warna Model Minuman Ringan terhadap Pemanasan a. Pengamatan stabilitas warna model minuman ringan terhadap pemanasan dengan menggunakan spektrofotometer b. Pengamatan stabilitas warna model minuman ringan terhadap pemanasan dengan menggunakan kromameter iv

11 2. Analisis Stabilitas Warna Model Minuman Ringan terhadap Penyinaran Ultraviolet (UV) a. Pengamatan stabilitas warna model minuman ringan terhadap penyinaran UV dengan menggunakan spektrofotometer b. Pengamatan stabilitas warna model minuman ringan terhadap penyinaran UV dengan menggunakan kromameter V. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN v

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Tanaman Hibiscus sabdariffa... 5 Gambar 2. Struktur kimia antosianidin Gambar 3. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin (Rein dan Heinonen, 2004) Gambar 4. Rosmarinic acid Gambar 5. Diagram warna Hunter L, a, b Gambar 6. Bola imaginer Munsell Gambar 7. Ekstrak antosianin dari rosela Gambar 8. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C Gambar 9. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C Gambar 10. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C Gambar 11. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C Gambar 12. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C Gambar 13. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada berbagai suhu pemanasan Gambar 14. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan pada suhu 40⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 40⁰C selama 525 menit Gambar 15. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan pada suhu 50⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 50⁰C selama 420 menit Gambar 16. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan pada suhu 60⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 60⁰C selama 315 menit Gambar 17. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan pada suhu 70⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 70⁰C selama 210 menit vi

13 Gambar 18. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan pada suhu 80⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 80⁰C selama 105 menit Gambar 19. Hubungan antara ln (At/Ao) dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit Gambar 20. Hubungan antara ln (At/Ao) dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit Gambar 21. Hubungan antara ln (At/Ao) dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C selama 315 menit Gambar 22. Hubungan antara ln (At/Ao) dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C selama 210 menit Gambar 23. Hubungan antara ln (At/Ao) dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C selama 105 menit Gambar 24. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C Gambar 25. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C Gambar 26. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C Gambar 27. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C Gambar 28. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C Gambar 29. Hubungan antara nilai ln konstanta degradasi antosianin (ln k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid) dengan kebalikan suhu mutlak (1/T) vii

14 Gambar 30. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit Gambar 31. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit Gambar 32. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C selama 315 menit Gambar 33. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C selama 210 menit Gambar 34. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C selama 105 menit Gambar 35. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit Gambar 36. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit Gambar 37. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C selama 315 menit Gambar 38. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C selama 210 menit Gambar 39. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C selama 105 menit Gambar 40. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit Gambar 41. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit viii

15 Gambar 42. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C selama 315 menit Gambar 43. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C selama 210 menit Gambar 44. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C selama 105 menit Gambar 45. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada proses penyinaran UV Gambar 46. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid (a) sebelum kontak/terpapar sinar UV dan (b) sesudah kontak/terpapar sinar UV selama 120 jam (5 hari) Gambar 47. Hubungan antara ln (At/Ao) dengan waktu penyinaran UV model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid Gambar 48. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rossmarinic acid pada proses penyinaran UV Gambar 49. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid pada penyinaran UV selama 120 jam (5 hari) Gambar 50. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid pada penyinaran UV selama 120 jam (5 hari) Gambar 51. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid pada penyinaran UV selama 120 jam (5 hari) ix

16 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Gugus pengganti pada struktur kation flavilium (antosianidin) untuk membentuk antosianin Tabel 2. Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell Tabel 3. Karakteristik ekstrak antosianin rosela Tabel 4. Pengaruh suhu pemanasan terhadap konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid Tabel 5. Pengaruh suhu pemanasan terhadap waktu paruh degradasi antosianin rosela (t 1/2 ) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid Tabel 6. Nilai energi aktivasi (Ea) antosianin rosela pada minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid Tabel 7. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kontrol (antosianin tunggal) pada berbagai suhu pemanasan Tabel 8. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid 1:20 pada berbagai suhu pemanasan Tabel 9. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid 1:40 pada berbagai suhu pemanasan Tabel 10. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid 1:60 pada berbagai suhu pemanasan Tabel 11. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid 1:80 pada berbagai suhu pemanasan Tabel 12. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid 1:100 pada berbagai suhu pemanasan Tabel 13. Pengaruh penyinaran UV terhadap konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid Tabel 14. Pengaruh penyinaran UV terhadap waktu paruh degradasi antosianin rosela (t 1/2 ) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid Tabel 15. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada penyinaran UV selama 120 jam (5 hari) x

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tahapan ekstraksi antosianin dari kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Lampiran 2. Perhitungan rendemen dan total padatan ekstrak antosianin rosela Lampiran 3. Pengukuran derajat keasaman (ph) ekstrak antosianin rosela Lampiran 4. Penentuan total antosianin ekstrak Lampiran 5. Pembuatan larutan stok ekstrak antosianin rosela dan penentuan total antosianin larutan stok Lampiran 6. Perhitungan konsentrasi antosianin dan rosmarinic acid dalam model minuman ringan Lampiran 7. Penentuan panjang gelombang maksimum model minuman ringan Lampiran 8. Data absorbansi model minuman ringan pada pemanasan suhu 40⁰C Lampiran 9. Data derajat kecerahan (L), derajat kemerahan (a), dan derajat kekuningan (b) model minuman ringan pemanasan suhu 40⁰C Lampiran 10. Data absorbansi model minuman ringan pada pemanasan suhu 50⁰C Lampiran 11. Data derajat kecerahan (L), derajat kemerahan (a), dan derajat kekuningan (b) model minuman ringan pemanasan suhu 50⁰C Lampiran 12. Data absorbansi model minuman ringan pada pemanasan suhu 60⁰C Lampiran 13. Data derajat kecerahan (L), derajat kemerahan (a), dan derajat kekuningan (b) model minuman ringan pemanasan suhu 60⁰C Lampiran 14. Data absorbansi model minuman ringan pada pemanasan suhu 70⁰C Lampiran 15. Data derajat kecerahan (L), derajat kemerahan (a), dan derajat kekuningan (b) model minuman ringan pemanasan suhu 70⁰C Lampiran 16. Data absorbansi model minuman ringan pada pemanasan suhu 80⁰C Lampiran 17. Data derajat kecerahan (L), derajat kemerahan (a), dan derajat kekuningan (b) model minuman ringan pemanasan suhu 80⁰C Lampiran 18. Data absorbansi model minuman ringan pada penyinaran UV Lampiran 19. Data derajat kecerahan (L), derajat kemerahan (a), dan derajat kekuningan (b) model minuman ringan pada penyinaran UV xi

18 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Warna merupakan salah satu atribut sensori yang mempengaruhi kualitas dan penerimaan suatu produk pangan. Sebelum faktor-faktor lain, seperti cita rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat mikrobiologis dipertimbangkan, secara visual warna tampil lebih dulu dan terkadang sangat menentukan mutu bahan pangan. Produk pangan yang memiliki warna yang menarik akan memiliki peluang yang lebih besar untuk dibeli oleh konsumen. Hal ini menyebabkan penggunaan pewarna pada produk pangan semakin meningkat dan berkembang dengan pesat. Penggunaan pewarna pada produk pangan pada umumnya dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas produk pangan, terutama dalam hal penampakan, dengan demikian daya tarik konsumen terhadap produk pangan tersebut dapat meningkat. Berdasarkan sumbernya, pewarna dalam produk pangan dapat diklasifikasikan menjadi pewarna alami dan sintetik (DeMan, 1985; Winarno, 1997). Pada umumnya pewarna sintetik lebih banyak digunakan di industri pangan daripada pewarna alami. Hal ini dikarenakan pewarna sintetik lebih mudah dan murah untuk diproduksi. Selain itu pewarna sintetik juga memiliki kestabilan warna yang lebih baik dibandingkan pewarna alami. Namun penggunaan pewarna sintetik untuk produk pangan seringkali menimbulkan masalah kesehatan, seperti diare, keracunan, kanker, stroke, dan penyakit jantung. Keadaan ini menimbulkan perubahan tuntutan di kalangan masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya faktor keamanan pangan. Sejalan dengan hal itu, penggunaan pewarna alami yang relatif lebih aman mulai banyak dikembangkan. Selain faktor keamanan, pemilihan pewarna alami sebagai pewarna pada berbagai produk pangan juga disebabkan oleh sifat fungsional yang terkandung dalam pewarna alami tersebut bagi kesehatan tubuh. Salah satu jenis warna yang banyak digunakan pada berbagai produk pangan adalah warna merah, yang dapat diperoleh dari antosianin. Antosianin merupakan pigmen alami yang banyak ditemui pada tanaman 1

19 yang berwarna merah dan ungu. Pigmen antosianin memberikan warna merah yang kuat dan tajam pada ph asam, sehingga aplikasi antosianin sebagai pewarna makanan dan minuman dapat dilakukan pada ph produk yang memiliki ph asam, seperti untuk minuman ringan, minuman beralkohol, manisan, saus, pikel, makanan beku atau makanan kalengan, dan yoghurt. Pigmen antosianin telah sejak lama dikonsumsi oleh manusia dan hewan bersamaan dengan buah atau sayuran yang mereka makan. Selama ini tidak pernah terjadi suatu penyakit atau keracunan yang disebabkan oleh pigmen ini (Brouillard, 1982). Bahkan menurut penelitian yang telah banyak dilakukan, pigmen antosianin terbukti memilki efek positif terhadap kesehatan (Timberlake dan Bridle, 1997). Banyak bukti telah menunjukkan bahwa antosianin bukan saja tidak beracun (non-toxic), tetapi juga memiliki sifat pharmacological dan theuraphetic yang positif. Oleh karena itu, pigmen ini dapat dikonsumsi tanpa menunjukkan efek negatif bagi kesehatan. Wagner (1985) mengungkapkan bahwa ekstrak pigmen antosianin memiliki aktivitas antiinflammatori dan antiodema. Sifat penting lain yang dimiliki pigmen antosianin adalah aktivitas antioksidan dan pencegahan pembentukan radikal bebas (Tsuda et al., 1996, Gabrielska et al., 1999, dan Sarma et al., 1997). Salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber antosianin yang baik adalah rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Sebanyak 85% dari total antosianin yang terdapat pada tanaman rosela diidentifikasi sebagai delfnidin-3-sambubiosida yang memberikan warna merah pada hasil ekstraksi rosela. Antosianin rosela juga terbukti memiliki efek positif bagi kesehatan manusia. Wang et al. (2000) menyatakan bahwa kelompok pigmen antosianin yang berasal dari tanaman rosela atau Hibiscus sabdariffa L. mampu menurunkan resiko luka pada hati, termasuk peradangan, perembesan sel leukosit, dan necrosis. Sebagai pigmen atau pewarna merah alami, antosianin memiliki kelemahan, terutama dalam hal kestabilan warna. Warna merah dari antosianin sangat mudah terdegradasi, baik oleh peningkatan ph, 2

20 peningkatan suhu, maupun cahaya. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kestabilan warna merah dari antosianin adalah dengan kopigmentasi. Efek kopigmentasi dapat dijabarkan sebagai suatu fenomena yang menyebabkan warna pigmen antosianin menjadi lebih merah dan lebih stabil. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara struktur antosianin dengan molekul lain yang disebut dengan senyawa kopigmen, yaitu flavonoid (flavon dan flavonol) dan polifenol lain (asam fenolik), alkaloid (kafein), asam amino, asam organik, nukleotida, polisakarida, logam (Al 3+, Fe 3+, Sn 2+, Cu 2+ ), dan bahkan antosianin itu sendiri. Interaksi komponenkomponen tersebut dapat terjadi melalui intermolecular copigmentation, intramolecular copigmentation, metal complexation, atau self association. Senyawa kopigmen yang digunakan pada penelitian ini adalah rosmarinic acid. Rosmarinic acid (C 18 H 16 O 8 ) merupakan golongan asam fenolik yang ditemukan pada tanaman herbal, seperti rosemary, oregano, sage, thyme, dan peppermint. Penggunaan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen didasarkan pada penelitian Adawiyah et al. (2008) yang menggunakan empat jenis asam fenolik sebagai senyawa kopigmen, yaitu ferulic acid (asam ferulat), sinapic acid (asam sinapat), chlorogenic acid (asam klorogenat), dan rosmarinic acid (asam rosmarinat) untuk meningkatkan kestabilan antosianin dari ekstrak tanaman rosela. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, jenis kopigmen yang memberikan hasil terbaik dalam meningkatkan kestabilan antosianin adalah rosmarinic acid. Penghambatan degradasi warna antosianin akibat reaksi kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid dapat diamati melalui perbandingan nilai energi aktivasi (Ea) reaksi degradasi antosianin tanpa dan dengan penambahan kopigmen rosmarinic acid. Semakin besar energi aktivasi, maka semakin sulit antosianin terdegradasi, karena energi yang dibutuhkan untuk reaksi degradasi tersebut semakin besar. Penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen diharapkan mampu meningkatkan energi aktivasi reaksi degradasi warna antosianin. 3

21 B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh proses kopigmentasi pewarna alami antosianin dari rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan senyawa kopigmen rosmarinic acid terhadap kualitas dan stabilitas warna merah yang dihasilkan pada model minuman ringan. C. MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan pewarna merah yang lebih aman dan lebih stabil untuk diaplikasikan pada produk pangan. 4

22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. ROSELA (Hibiscus sabdarifa L.) Gambar 1. Tanaman Hibiscus sabdarifa Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Malvales Suku : Malvaceae Marga : Hibiscus Jenis : Hibiscus sabdariffa L Rosela adalah tumbuhan yang berasal dari India dan memiliki nama latin Hibiscus sabdariffa L. Tumbuhan ini dikenal sebagai penghasil serat bermutu yang dimanfaatkan untuk membuat karung goni. Rosela merupakan tumbuhan semak yang tingginya mencapai 3m. Batangnya bulat, tegak, percabangan simpodial, memiliki kambium, dan berwarna merah. Daunnya tunggal dengan bentuk bulat seperti telur. Tipe tulang daunnya adalah menjari. Ujung daun tumpul, tepinya beringgit, dan pangkalnya berlekuk. Panjang daun rosela sekitar 6-15cm dan lebarnya 5-8cm. Panjang tangkai daun 4-7cm dengan penampang bulat dan warna hijau. Rosela memiliki bunga tunggal yang tumbuh di ketiak daun. Kelopak bunga berwarna merah, berbulu, terdiri dari delapan sampai sebelas daun kelopak dan pangkalnya berlekatan. Mahkota bunganya berwarna kuning berbentuk corong. Setiap bunga terdiri dari lima daun mahkota yang panjangnya 3-5cm. 5

23 Rosela merupakan tumbuhan yang berkembang baik di daerah beriklim tropis dan subtropis. Budidayanya dapat dilakukan di segala macam tanah, tetapi paling cocok pada tanah yang subur dan gembur. Tumbuhan ini dapat tumbuh di daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 900m di atas permukaan laut. Curah hujan yang dibutuhkan adalah 180cm. Jika curah hujan tidak mencukupi, irigasi akan memberikan hasil yang baik (Maryani dan Kristiana, 2005). Rosela yang direbus dalam air panas, menghasilkan minuman yang berwarna merah. Warna merah ini dapat dimanfaatkan sebagai zat warna alami pada berbagai produk pangan. Komponen yang berperan memberikan warna merah pada hasil ekstraksi rosela ini merupakan pigmen dari golongan antosianin. Puckhaber (2002) menyatakan bahwa ekstrak bunga dari genus Hibiscus kebanyakan mengandung antosianin jenis delfinidin, sianidin, petunidin, miricetin, pelargonidin, malvidin, quercetin, dan kaempferol. Sebanyak 85% dari total antosianin yang terdapat pada tanaman rosela diidentifikasi sebagai delfinidin 3-sambubiosida yang memberikan warna merah pada hasil ekstraksi rosela. Selain itu, golongan antosianin lain yang juga terdapat pada tanaman rosela adalah sianidin 3-samubiosida yang memberikan warna pink pada hasil ekstraksi rosela (Hong dan Wrolstad, 1990, Tsai dan Ou, 1996; Tsai et al., 2002). Selain dua antosianin utama tersebut, ekstrak cair dari kelopak kering bunga rosela juga mengandung komponen antosianin minor, yaitu delfinidin 3-glukosida dan sianidin 3-glukoasida (Du dan Francis, 1973). Selain itu rosela juga mengandung komponen fenolik lainnya yang memiliki aktivitas antioksidan. B. PEWARNA MAKANAN Warna merupakan salah satu faktor penting yang menentukan penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Keinginan untuk mengkonsumsi dan membeli produk pangan seringkali ditentukan oleh warna produk pangan tersebut yang menarik perhatian. Warna dalam bahan pangan juga dapat menjadi ukuran terhadap mutu dari bahan pangan tersebut. Menurut Winarno (1997) apabila suatu produk memiliki nilai gizi 6

24 yang baik, rasa yang enak, dan tekstur yang baik tetapi memiliki warna yang kurang menarik akan memberikan kesan menyimpang pada produk pangan tersebut. Pewarna makanan adalah zat warna alami maupun buatan yang boleh ditambahkan ke dalam makanan dan minuman untuk memperoleh warna yang diinginkan (Enie, 1987). Tujuan penambahan pewarna ke dalam makanan dan minuman antara lain adalah untuk memperbaiki penampakan produk pangan yang memudar akibat pengolahan, memperoleh penampakan warna yang seragam, memperoleh warna yang lebih tua dari aslinya, melindungi flavor dan vitamin yang peka terhadap cahaya selama penyimpanan, memperoleh penampakan yang lebih menarik dari aslinya, untuk memberi identitas produk, dan sebagai indikator visual dari kualitas (Tjahjadi, 1987). Ketentuan mengenai penggunaan pewarna di Indonesia diatur dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 dan dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) mengenai Bahan Tambahan Makanan (BTM). Pewarna makanan terbagi menjadi tiga golongan, yaitu pewarna alami, pewarna identik alami dan pewarna sintetik (Bauernfeind, 1981). Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang diperoleh dari bahan nabati, hewani, atau sumber-sumber mineral. Contoh pewarna alami antara lain curcumin, riboflavin, klorofil, antosianin, brazilein, dan karotenoid. Pewarna identik alami merupakan pewarna yang disentetis secara kimia sehingga menghasilkan pewarna dengan struktur kimia yang sama/identik dengan pewarna alami. Yang termasuk golongan ini adalah karotenoid murni, antara lain: canthaxanthin (merah), apo-karoten (merahoranye), beta-karoten (oranye-kuning). Semua zat warna ini memiliki batas konsentrasi maksimum penggunaan, kecuali beta-karoten yang boleh digunakan dalam jumlah tidak terbatas. Pewarna sintetik merupakan bahan pewarna yang memberikan warna yang tidak ada di alam dan dihasilkan dengan cara sintesis kimia, 7

25 bukan dengan cara ekstraksi atau isolasi (Hendry, 1996). Berdasarkan rumus kimianya, pewarna sintetik dalam makanan menurut Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additive (JECFA) dapat digolongkan dalam beberapa kelas, yaitu azo, triarilmetana, quinolin, xanten, dan indigoid. Kelas azo merupakan pewarna sintetik yang paling banyak jenisnya dan mencakup warna kuning, oranye, merah, ungu, dan coklat, setelah itu kelas triarilmetana yang mencakup warna biru dan hijau. Berdasarkan kelarutannya dikenal dua macam pewarna sintetis, yaitu dyes dan lakes. Dyes adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam air, sedangkan lakes merupakan zat pewarna yang tidak larut pada hampir semua jenis pelarut. Bila dibandingkan dengan pewarna sintetik, penggunaan zat warna alami mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain: memberikan rasa dan flavor khas yang tidak diinginkan, konsentrasi dan stabilitas pewarna yang rendah, keseragaman warna kurang baik, dan spektrum warna yang kurang luas. Pewarna sintetik lebih banyak digunakan dalam pembuatan berbagai macam produk pangan karena memiliki kestabilan warna yang baik dan memiliki spektrum warna yang luas. Dalam daftar FDA (Food and Drug Administration), pewarna alami dan pewarna identik alami tergolong dalam uncertified color, karena tidak memerlukan sertifikat kemurnian kimiawi, sedangkan pewarna sintetik harus melalui berbagai prosedur pengujian atau proses sertifikasi sebelum akhirnya dapat digunakan sebagai pewarna makanan. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis media terhadap pewarna tersebut. Pewarna makanan yang diijinkan penggunaannya dikenal dengan nama certified color atau permitted color. Sementara itu, pewarna makanan yang belum diijinkan penggunaannya dan masih perlu diuji aspek keamanannya terhadap kesehatan manusia digolongkan ke dalam provisional list. 8

26 C. ANTOSIANIN Antosianin merupakan salah satu bagian penting dalam kelompok pigmen setelah klorofil. Antosianin berasal dari bahasa Yunani, anthos yang berarti bunga dan kyanos yang berarti biru gelap. Antosianin merupakan pigmen yang larut dalam air, menghasilkan warna dari merah sampai biru, dan tersebar luas dalam buah, bunga, dan daun (Jackman dan Smith, 1996). Antosianin umumnya ditemukan pada buah-buahan, sayursayuran, dan bunga, contohnya pada anggur, strawberry, blackberry, blueberry, raspberry, cherry, apel merah, bunga ros, bunga/kembang sepatu, kol ungu, pir merah, plum, cabai merah, dan sebagainya (Jackman dan Smith, 1996). Warna yang diberikan oleh antosianin bervariasi dari merah, jingga, ungu, atau biru pada jaringan tanaman. Antosianin terdapat pada vakuola sel bagian tanaman. Vakuola adalah organel sitoplasmik yang berisikan air, serta dibatasi oleh membran yang identik dengan membran tanaman (Kimbal, 1993). Antosianin tergolong ke dalam turunan flavonoid. Struktur utamanya ditandai dengan adanya dua cincin aromatik benzena (C 6 H 6 ) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin (Jackman dan Smith, 1996). Secara kimia, antosianin merupakan hasil turunan dari glikosilasi polihidroksi dan/atau polimetoksi dari garam 2- benzopirilium atau dikenal dengan struktur kation flavilium atau benzilflavilum (3,5,7,4 -tetrahidroksiflavilum) yang merupakan struktur dasar dari antosianidin (Timberlake dan Bridle, 1997). Menurut Markakis (1982), antosianin memiliki sifat mudah larut dalam air dan disusun dari sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gugus gula (glikon). Terdapat lima jenis gula yang biasa ditemui pada molekul antosianin, yaitu glukosa, ramnosa, galaktosa, xilosa, fruktosa, dan arabinosa. Apabila gugus glikon dihilangkan melalui proses hidrolisis maka dihasilkan antosianidin. Antosianidin ini berwarna merah di lingkungan asam, berwarna ungu di lingkungan netral, dan berwarna biru di lingkungan basa (Dwidjoseputro, 9

27 1990). Struktur kimia antosianidin dapat dilihat pada Gambar 2. Sampai saat ini terdapat lebih dari dua puluh jenis antosianidin yang telah diidentifikasi, namun hanya enam yang memegang peranan penting dalam bahan pangan, yaitu sianidin, malvidin, petunidin, pelargonidin, delfinidin, dan peonidin. Gambar 2. Struktur kimia antosianidin (Castaneda-Ovando et al., 2009) Tabel 1. Gugus pengganti pada struktur kation flavilium (antosianidin) untuk membentuk antosianin Antosianidin Substitusi (R) Warna Pelargonidin OH OH H OH H H Oranye Sianidin OH OH H OH OH H Oranye- Merah Delfinidin OH OH H OH OH OH Biru- Merah Peonidin OH OH H OH OMe H Oranye- Merah Petunidin OH OH H OH OMe OH Biru- Merah Malvidin OH OH H OH OMe OMe Biru- Merah Umumnya antosianidin tidak ditemukan dalam tanaman (Harbone, 1967). Dalam tanaman antosianin biasanya berada dalam bentuk glikosida yaitu ester dengan satu molekul monosakarida disebut monoglukosida, biosida atau diglukosida jika memiliki dua molekul gula, dan triosida jika memiliki tiga molekul gula (Delgado-Vargas et al., 2000). Menurut Timberlake dan Bridle (1983), gula yang menyusun antosianin terdiri dari: (1) monosakarida, biasanya glukosa, ramnosa, dan arabinosa, (2) 10

28 disakarida, yang merupakan dua buah monosakarida dengan kombinasi dari keempat monosakarida di atas dan xilosa, seperti rutinosa, dan (3) trisakarida, merupakan tiga buah monosakarida yang mengandung kombinasi dari gula-gula di atas dalam posisis linear maupun rantai cabang. Keragaman antosianin dapat terjadi karena perbedaan sifat gula, jumlah satuaan gula, dan letak ikatan gulanya. Glikosilasi dapat meningkatkan kestabilan dan kelarutan antosianin di dalam air, sebab antosianidin kurang stabil dan kurang larut air dibandingkan antosianin (Timberlake dan Bridle, 1966). Molekul lain yang terdapat pada inti kation flavilium adalah p- coumaric, ferulic, cafeic, malonic, atau asam asetat. Satu atau lebih molekul tersebut dapat terasilasi pada molekul gulanya (Francis, 1985). Grup asil dengan jumlah dan posisi tertentu yang terikat dapat meningkatkan kestabilan antosianin terutama terhadap cahaya dan ph (Francis, 1982; Shi et al., 1992). Brouillard (1982) menyatakan bahwa dua grup asil dibutuhkan untuk retensi warna maksimum, di mana satu grup asil terletak di atas cincin pirilium dan yang satunya di bawahnya. Dengan adanya grup asil maka interaksi hidrofobik antara grup asil dengan cincin pirilium meningkat sehingga dapat mencegah hidrasi cincin pirilium. Semakin kuat interaksi hidrofobik ini maka cincin pirilium akan semakin tahan terhadap hidrasi sehingga pigmen antosianin akan lebih stabil. Sifat dan warna antosianin dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jumlah pigmen, letak dan jumlah gugus hidroksi dan metoksi, kopigmentasi, dan sebagainya (Markakis, 1982). Konsentrasi pigmen yang tinggi di dalam jaringan akan menyebabkan warna merah hingga gelap, sedangkan konsentrasi pigmen yang sedang akan menyebabkan warna ungu, dan konsentrasi pigmen yang rendah akan menyebabkan warna biru (Winarno, 1997). Penambahan gugus glikosida atau peningkatan jumlah gugus hidroksi bebas pada rantai karbon nomor 5 (cincin A) yang dominan menyebabkan warna cenderung biru dan relatif tidak stabil, sedangkan metilasi atau penambahan jumlah gugus metoksi 11

29 akan menyebabkan warna cenderung merah dan relatif stabil (Jackman dan Smith, 1996). Warna pigmen antosianin juga dipengaruhi oleh pelarut. Warna antosianin akan menjadi lebih biru pada pelarut alkohol dibandingkan dengan pelarut air (Swain, 1976). Kondisi yang sedikit asam akan meningkatkan intensitas warna dari pigmen antosianin. Selain itu, terikatnya beberapa jenis gula juga dapat meningkatkan intensitas warna dan pigmen antosianin (Lewis et al., 1995). Antosianin di alam terdapat dalam bentuk struktur primer, sekunder, tersier, kuartener. Dalam bentuk primer, struktur antosianin berbentuk kation falvium, yang terikat gugus hidroksi, metoksi, atau o- glikosil. Struktur sekunder merupakan struktur yang paling banyak ditemukan dalam tanaman. Struktur ini didapatkan melalui proses hidrasi, transfer porton, dan tautomerasi dari struktur primer. Struktur sekunder ini ditemukan saat antosianin dilarutkan dalam air. Struktur sekunder yang berwarna, biasanya tidak stabil atau mudah hilang dan pudar (Brouillard, 1982). Akibat kekurangan elektron, maka kation flavilium menjadi sangat reaktif. Reaksi-reaksi yang terjadi pada umumnya mengakibatkan terjadinya degradasi warna. Degradasi warna dari pigmen antosianin disebabkan oleh berubahnya kation flavium yang berwarna merah menjadi basa karbinol yang tidak berwarna, dan akhirnya menjadi kalkon yang tidak berwarna (Francis, 1985). Palamidis dan Markakis (1975) menyatakan bahwa reaksi degradasi pada antosianin mengikuti laju reaksi yang termasuk dalam reaksi ordo pertama. Laju degradasi warna antosianin dipercepat dengan adanya asam askorbat, asam amino, fenol, dan gula. Senyawa-senyawa tersebut dapat berkondensasi dengan molekul antosianin melalui suatu reaksi yang kompleks (Francis, 1985). Salah satu senyawa hasil kondensasi ini adalah phlobafen yang berwarna coklat (Francis, 1985). 12

30 Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kestabilan antosianin, antara lain pengaruh reaksi enzimatis dan non enzimatis. Faktor-faktor non enzimatis yang mempengaruhi kestabilan antosianin antara lain ph, cahaya, dan suhu (Elbe dan Schwartz, 1996). Secara enzimatis, kehadiran enzim antosianase atau polifenol oksidase akan mempengaruhi kestabilan antosianin karena bersifat merusak antosianin. Menurut Rein (2005) beberapa enzim dapat berperan dalam proses degradasi antosianin misalnya glukosidase dan PPO (polyphenol oxidase). Enzim glukosidase mampu menstimulasi terjadinya hidrolisis pada ikatan gula antara gugus aglikon dengan gugus glikon. Hidrolisis tersebut menyebabkan terbukanya cincin aromatik sehingga membentuk senyawa kalkon (Markakis, 1982). Menurut Jackman dan Smith (1996), adanya enzim glukosidase yang ditambahkan pada jus blueberry yang mengandung sianidin 3-glukosida menyebabkan pemudaran warna akibat hidrolisis ikatan glikosidik. Pada medium air, antosianin terdapat dalam empat bentuk struktur kesetimbangan yaitu, basa quinonoidal berwarna ungu, kation flavium berwarna merah, basa karbinol/hemiasetal/pseudobasa, dan kalkon yang tidak berwarna. Bentuk kesetimbangan ini dipengaruhi oleh ph. Pada ph rendah (ph < 2), struktur kation flavium (merah) dominan. Pada ph 3-6, struktur kation flavilium mengalami serangan nukleofilik oleh molekul air, menghasilkan struktur basa karbinol/hemiasetal (tidak berwarna). Selanjutnya struktur basa karbinol/hemiasetal yang terbentuk ini dapat mengalami kesetimbangan tautomerik (kesetimbangan antara bentuk keto dan enol) menghasilkan struktur kalkon (tidak berwarna). Pada ph yang lebih tinggi (ph 6-8) terjadi reaksi deprotonisasi menghasilkan struktur basa quinonoidal (ungu). Peningkatan ph lebih lanjut (ph > 10) akan mengakibatkan terjadinya reaksi deprotonisasi lanjutan pada basa quinonoidal (ungu) menghasilkan struktur basa quinonoidal terionisasi (biru). Peningkatan suhu pengolahan hingga penyimpanan dapat menyebabkan kerusakan dan perubahan struktur antosianin. Tinsley dan 13

31 Bockian (1960), menyatakan bahwa suhu mempunyai pengaruh yang nyata sekali terhadap destruksi antosianin. Markakis (1982), mengemukakan bahwa kerusakan atau perubahan struktur antosianin akibat peningkatan suhu terjadi melalui tahapan: (1) terjadinya hidrolisis pada ikatan glikosidik antosianin pada posisi 3 dan menghasilkan aglikonaglikon yang labil, (2) terbukanya cincin aglikon sehingga terbentuk gugus karbinol dan kalkon yang tidak berwarna. Degradasi lebih lanjut dari antosianin ini akan menghasilkan produk yang berwarna coklat terutama jika terdapat molekul oksigen. Brouillard (1982), mengemukakan bahwa reaksi kesetimbangan di antara struktur basa quinonoidal (ungu) kation flavilium (merah) basa karbinol/hemiasetal/pseudobasa (tidak berwarna) kalkon (tidak berwarna) adalah bersifat endotermik jika berjalan dari kiri ke kanan. Dengan demikian, adanya panas akan menggeser kesetimbangan menuju ke kanan, yaitu kalkon. Senyawa kalkon mampu terdegradasi membentuk senyawa yang lebih sederhana yang meliputi asam karboksilat seperti asam benzoat tersubtitusi dan karboksil aldehid seperti 2,4,6- trihidroksibenzaldehid (Jackman dan Smith, 1996). Cahaya merupakan faktor yang turut berperan dalam proses degradasi antosianin. Cahaya memiliki energi tertentu yang mampu menstimulasi terjadinya reaksi fotokimia (fotooksidasi) dalam molekul antosianin (Jackman dan Smith, 1996). Reaksi fotokimia dapat menyebabkan pembukaan cincin aglikon pada antosianin yang diawali oleh pembukaan cincin karbon no. 2. Pada akhirnya reaksi fotooksidasi ini akan membentuk senyawa yang tidak berwarna seperti kalkon sebagai indikator degradasi antosianin. Degradasi lanjutan dapat membentuk senyawa turunan lain seperti 2,4,6-trihidroksibenzaldehid dan asam benzoat tersubtitusi (Jackman dan Smith, 1996). Pada suasana asam antosianin akan berwarna merah, oleh karena itu aplikasi antosianin sebagai pewarna produk pangan dapat dilakukan untuk produk-produk yang memiliki ph rendah, seperti minuman ringan, manisan, saus, pikel, makanan beku atau makanan kalengan, dan yoghurt. 14

32 D. KOPIGMENTASI Stabilitas warna antosianin dapat dipertahankan atau ditingkatkan dengan reaksi kopigmentasi. Fenomena kopigmentasi pertama kali teramati pada tahun 1916 oleh Willstätter dan Zollinger yang mengamati warna pigmen anggur yang berubah warna dari merah menjadi merah kebiruan dengan penambahan asam tanat dan asam galat (Rein, 2005). Kopigmentasi merupakan interaksi antara struktur antosianin dengan molekul lain seperti logam (Al 3+, Fe 3+, Sn 2+, Cu 2+ ) dan molekul organik lain seperti senyawa falvonoid (flavon, flavonon, dan flavonol), senyawa alkaloid (kafein), dan sebagainya. Adanya kopigmentasi antara antosianin dengan logam molekul organik lain cenderung meningkatkan stabilitas warna antosianin (Jackman dan Smith, 1996). Kopigmentasi secara alami dapat memperbaiki warna antosianin pada produk pangan. Menurut Castaneda-Ovando et al. (2008), reaksi kopigmenatsi dapat terjadi melalui empat mekanisme interaksi, yaitu intermolecular copigmentation, intramolecular copigmentation, metal complexation, ataupun self association. Keempat mekanisme tersebut pada antosianin digambarkan oleh Rein dan Heinonen (2004) seperti dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin (Rein dan Heinonen, 2004) 15

33 Mekanisme self association, yaitu interaksi antara antosianin dengan antosianin lain sebagai senyawa kopigmen dengan bantuan gugus gula sebagai pengikat. Mekanisme metal complexation merupakan interaksi pembentukan kompleks antara antosianin dengan logam sebagai senyawa kopigmen. Pada mekanisme intermolecular copigmentation, interaksi terjadi antara antosianin dengan senyawa flavonoid atau komponen fenolik sebagai senyawa kopigmen. Pada mekanisme intramolecular copigmentation, interaksi terjadi antara antosianin dengan bagian dari molekul antosianin itu sendiri, misalnya dengan gugus asil melalui reaksi kimia atau dengan bantuan perlakuan fisik. Pengikatannya dapat terjadi dengan bantuan gugus gula. Fenomena kopigmentasi teramati sebagai pergeseran panjang gelombang maksimum yang dikenal dengan nama efek batokromik atau efek hiperkromik. Efek batokromik (Δλmax) ialah pergeseran absorpsi panjang gelombang maksimum (λmax). Pada antosianin teramati pergeseran warna dari merah menjadi merah kebiruan (bluing effect) akibat adanya kopigmentasi. Efek hiperkromik (ΔA), ialah peningkatan intensiatas warna antosianin setelah kopigmentasi. Pada anggur, ketidakstabilan dan reaktivitas antosianin bersamasama dengan reaksi kopigmentasi diperkirakan bertanggung jawab terhadap perubahan warna pada proses pemeraman anggur. Pada buah dan produk berry, warna juice, puree, jam, dan sirup dapat dipertajam dan distabilkan dengan kopigmentasi, sehingga meningkatkan penerimaan konsumen dan memperpanjang umur simpan produk (Viguera et al., 1999; Rein dan Heinonen, 2004). Senyawa yang digunakan untuk proses kopigmentasi disebut kopigmen. Kopigmen adalah suatu senyawa yang tidak berwarna yang biasanya terdapat secara alami dalam sel tanaman. Jenis senyawa kopigmen yang umumnya digunakan adalah flavonoid (termasuk di dalamnya adalah flavon dan flavonol) dan polifenol lain (asam fenolik), alkaloid, asam amino dan asam organik (Markakis, 1982). 16

34 Dari jenis flavonol, rutin dan quercetin merupakan jenis kopigmen yang menghasilkan efek kopigmentasi kuat. Rutin menginduksi pergeseran batokromik 30nm dan quercetin 28nm terhadap malvidin 3.5-diglukosida pada ph 3.2 (Chen and Hrazdina, 1981). Dari golongan asam fenolik, ferulic acid merupakan salah satu yang tergolong efisien sebagai kopigmen (Markovic et al., 2000). Rein dan Heinonen (2004) menggunakan ferulic acid, sinapic acid, dan rosmarinic acid untuk memperbaiki kualitas juice berry. Selain itu gallic acid (Rein, 2005), tanin (Cai et al., 1990), dan chlorogenic acid (Brouillard et al., 1991) juga dapat digunakan sebagai kopigmen. Rein dan Heinonen (2004) menyatakan bahwa intensitas pelargonidin 3-glukosida yang dikopigmentasi oleh ferulic acid dan caffeic acid meningkat dan mampu bertahan selama penyimpanan. Seperti halnya reaksi pada antosianin umumnya, reaksi kopigmentasi juga dipengaruhi oleh ph (Wilska-Jeszka dan Korzuchowaka, 1996), temperatur (Ba Kowska et al., 2003), pelarut (Brouillard et al., 1991) dan struktur molekulnya. Efek kopigmentasi akan lebih efisien jika konsentrasi kopigmentasi lebih besar dibandingkan konsentrasi antosianin (Asen et al., 1972; Scheffeldt dan Hrazdina, 1978). Pada ph rendah, karena dominasi utama kation flavium (ph < 2), reaksi kopigmentasi kurang efektif dibandingkan pada ph 2-5, yaitu ketika terjadi kesetimbangan dengan bentuk quinoidalnya (Williams dan Hrazdina, 1979). E. ROSMARINIC ACID Rosmarinic acid (C 18 H 16 O 8,) merupakan antioksidan alami dalam bentuk asam karboksilat, memiliki bentuk dimer caffeic acid, yang berwarna merah oranye yang sedikit larut dalam air, tetapi mudah larut pada pelarut organik. Parnham dan Kesselring (1985) mengungkapkan bahwa rosmarinic acid mampu berperan sebagai antioksidan, antiinflamatori, antimutagen, antibakteri, dan antivirus. 17

35 Gambar 4. Rosmarinic acid Rosmarinic acid banyak ditemukan pada tanaman herbal dari suku Boraginaceace dan Lamiaceae (Litvinenko et al., 1975), seperti rosemary, oregano, sage, thyme, dan peppermint. Hasil penelitian Olah et al., (2003) menunjukkan bahwa daun tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) mengandung komponen/senyawa turunan caffeic acid, salah satunya rosmarinic acid. F. MINUMAN RINGAN Minuman ringan didefinisikan sebagai minuman tak beralkohol yang mengandung sirup, esens, atau konsentrat buah yang dicampur dengan air atau air berkarbonasi (carbonated water) dengan proporsi tertentu (Thorner dan Herzberg, 1978). CODEX General Standard for Food Additives Online Database (2009) menggolongkan minuman ringan menjadi beberapa kategori, yaitu: (1) air minum, (2) jus buah dan sayur, (3) nektar buah dan sayur, (4) minuman bercita rasa, termasuk minuman berenegi dan minuman berelektrolit, serta (5) kopi, teh, minuman herbal, minuman sereal dan minuman dari biji-bijian termasuk biji coklat. Persyaratan minuman ringan menurut Green (1981), antara lain: 1. Campuran minuman tidak menimbulkan after taste yang kurang disukai. 2. Menggunakan air yang memenuhi standar. 3. Disuguhkan dalam keadaan yang cukup dingin. 4. Jika digunakan es sebagai pendingin maka digunakan es yang tidak mudah mencair. 5. Karbonasi yang cukup memberikan efek yang menyegarkan. 6. Wadah yang jernih dan bersih. 18

36 Bahan-bahan penyusun minuman ringan antara lain air, pemanis, asam, pewarna, dan pengawet. Air merupakan komponen terbesar dari minuman ringan. Persentase air dalam minuman ringan bisa mencapai 90% sehingga kualitas air yang digunakan dalam industri minuman ringan harus benar-benar terkontrol (Hougton dan Mc Donald, 1978). Air yang digunakan untuk minuman ringan harus melalui test potability sehingga dapat diminum dan bebas dari kontaminan. Di samping itu untuk mendapatkan produk akhir yang jernih dan menarik, air harus memiliki kekeruhan yang rendah (Thorner dan Herzberg, 1978). Air yang digunakan dalam industri minuman ringan telah melalui tahapan penghilangan kesadahan, penghilangan koloid dan padatan terendap, penghilangan warna, rasa, dan bau menyimpang, serta pengurangan alkalinitas, dan telah mengalami sterilisasi (Hougton dan Mc Donald, 1978). Pemanis yang digunakan untuk minuman ringan bisa berupa gula atau pemanis buatan. Gula yang digunakan untuk minuman ringan antara lain gula kristal, gula invert, maupun gula cair (Woodroof dan Philips, 1981). Pemanis alami yang paling banyak digunakan dalam industri minuman ringan adalah sukrosa yang biasanya berupa sirup dengan konsentrasi tinggi. Konsentrasi sukrosa yang biasa ditambahkan pada minuman ringan berkisar antara 10-13% (Woodroof dan Philips, 1981). Asam merupakan komponen penting ketiga setelah air dan gula dalam pembuatan minuman ringan. Jenis asam yang biasa digunakan dalam pembuatan minuman ringan antara lain asam sitrat. Konsentrasi asam sitrat yang biasa digunakan dalam minuman ringan adalah 1.285g/l (Woodroof dan Philips, 1981). Pewarna digunakan dalam pembuatan minuman ringan untuk meningkatkan daya tarik konsumen. Pewarna yang ditambahkan dalam minuman ringan sebaiknya memiliki stablitas yang baik terhadap pengaruh komponen seperti gula, asam, dan flavor. Pewarna alami cendrung lebih aman bila dibandingkan pewarna sintetik (Jackman dan Smith, 1996). Namun demikian harga pewarna sintetik cendrung lebih ekonomis dibandingkan pewarna alami. Beberapa pewarna alami yang sering 19

37 digunakan adalah antosianin, karoten, dan krolofil, sedangakan pewarna sintetik yang digunakan misalnya FD&C (Food and Drugs Colorant) dalam berbagai jenis warna (Winarno, 1997). G. SPEKTROSKOPI Prinsip spektroskopi didasarkan pada adanya interaksi dari energi radiasi elektromagnetik dengan zat kimia. Hasil interaksi tersebut dapat menimbulkan satu atau lebih peristiwa, seperti pemantulan (refleksi), pembiasan (refraksi), interferensi, difraksi, penyerapan (absorpsi), flouresensi, fosforesensi, dan ionisasi. Dalam analisis kimia, peristiwa absorpsi merupakan dasar dari cara spektroskopi. Spektroskopi dapat digunakan dalam aplikasi kualitatif, karena proses absorpsi tersebut bersifat unik/spesifik untuk setiap zat kimia atau segolongan zat kimia. Spektroskopi juga dapat digunakan dalam aplikasi kuantitatif, karena banyaknya absorpsi berbanding lurus dengan banyaknya zat kimia. Instrumen yang digunakan dalam metode analisis dengan prinsip spektroskopi ini disebut dengan spektrofotometri. Spektroskopi absorpsi memiliki prinsip dasar apabila suatu cahaya putih atau radiasi dilewatkan melalui larutan berwarna maka radiasi melalui larutan berwarna akan diserap secara selektif dan radiasi lainnya akan diteruskan. Absorbansi maksimum larutan berwarna terjadi pada daerah yang berlawanan. Karena warna yang diserap adalah warna komplementer dari warna yang diamati. Contohnya larutan yang berwarna merah akan menyerap radiasi maksimum warna hijau. H. KROMAMETER Kromameter merupakan alat analisis warna secara tristimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Prinsip kerja alat ini adalah mengukur perbedaan warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel (Hutching, 1999). Sistem notasi warna adalah cara sistematik dan obyektif dalam menyatakan dan mendeskripsikan suatu jenis warna. Di antara sistem warna terdapat tiga macam notasi warna, yaitu ICI, Munsell, dan Hunter. 20

38 Sistem ICI (International Comission on Ilumination) didasarkan pada semua warna dapat dibentuk tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru. Masing-masing warna dinyatakan sebagai X untuk warna merah, Y untuk hijau, dan Z untuk biru (Soekarto,1997). Sistem notasi warna yang paling banyak digunakan adalah sistem Hunter yang memiliki tiga parameter untuk mendeskripsikan warna, yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan cerah atau gelapnya sampel dan memiliki skala dari 0 sampai 100. Nilai 0 menyatakan sampel sangat gelap (warna hitam) dan 100 menyatakan sampel sangat cerah (warna putih) untuk menyatakan kecerahan yang memiliki nilai Nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, dengan a positif menunjukkan warna merah dan a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a memiliki skala dari -80 sampai 100. Nilai b menunjukkan derajat kuning atau biru, dengan b positif menunjukkan warna kuning dan b negatif menunjukkan warna biru. Nilai b memiliki skala dari -70 sampai 70 (Francis, 1996). Gambar 5. Diagram warna Hunter L, a, b Pengukuran warna dengan sistem Munsell didasarkan pada tiga atribut subyektif warna, yaitu warna kromatik (hue), kecerahan (value), dan intensitas warna (chroma atau saturation). Warna kromatik (hue) meliputi warna monokromatik yang terdiri dari warna-warna pelangi dan warna campurannya. Kecerahan (value) menyatakan warna akromatik (gelap dan terangnya warna) yang berkisar dari warna hitam pekat sampai 21

39 putih bersih. Nilai intensitas warna (chroma) berkisar dari nilai tidak berwarna sampai warna penuh. Nilai chroma (C) merupakan resultan dari nilai a dan b yang dihitung berdasarkan rumus C = a 2 +b 2. Semakin tinggi nilai C maka warna akan terlihat semakin tua karena intensitasnya yang meningkat. Nilai hue menunjukkan posisi warna sampel dalam diagram warna. Nilai hue menyatakan panjang gelombang dominan yang menentukan apakah warna tersebut merah, kuning, atau hijau. Nilai hue dihitung dengan rumus hue = (arctan (b/a)). Nilai hue yang diperoleh kemudian dicocokkan dengan nilai hue yang ada pada bola imajiner Munsell (Gambar 6), sehingga diperoleh data warna secara obyektif yang merupakan kisaran warna yang mendekati warna sampel sebenarnya. Nilai hue yang diperoleh harus berada dalam bentuk nilai derajat radian agar dapat diinterpretasikan ke dalam bola imajiner Munsell, setiap derajat radian tertentu menyatakan warna visual yang dilihat. Gambar 6. Bola imajiner Munsell Di dalam bola imajiner Munsell telah terdapat pembagian wilayah warna pada sudut-sudut tertentu. Wana merah (R) berada pada wilayah 21 0 sampai 52 0 pada kuadran satu, warna kuning-merah (YR) berada pada wilayah 53 0 sampai 84 0 pada kuadran satu, warna kuning (Y) berada pada wilayah 85 0 pada kuadran satu sampai 21 0 pada kuadran dua, warna hijaukuning (GY) berada pada wilayah 22 0 sampai 61 0 pada kuadran dua, warna hijau (G) berada pada wilayah 62 0 pada kuadran dua sampai 0 0 pada 22

40 kuadran tiga, warna biru-hijau (BG) berada pada wilayah 1 0 pada kuadran tiga sampai 35 0 pada kuadran tiga, warna biru (B) berada pada wilayah 36 0 sampai 81 0 pada kuadran tiga, warna ungu-biru (PB) berada pada wilayah 82 0 pada kuadran tiga sampai 36 0 pada kuadran empat, warna ungu (P) berada pada wilayah 37 0 sampai 71 0 pada kuadran empat, dan warna merah-ungu (RP) berada pada wilayah 72 0 pada kuadran empat sampai 20 0 pada kuadran satu. Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell juga dipengaruhi oleh nilai a dan b-nya. Jika nilai hue yang diperoleh pada metode Hunter bernilai negatif maka untuk menginterpretasikan warnannya pada diagram Munsell, nilai negatifnya dihilangkan terlebih dahulu, kemudian diukur pada kuadran yang paling tepat atau sesuai dengan nilai a dan b-nya. Pada kuadaran satu, a dan b bernilai positif. Pada kuadran dua, a bernilai negatif dan b bernilai positif. Pada kuadran tiga, a dan b bernilai negatif. Pada kuadran empat, a bernilai positif dan b bernilai negatif. Setelah didapatkan interpretasi warna pada diagram Munsell maka data ini dapat dibandingkan dengan penampakan visual yang ada. Tabel 2. Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell Hue (⁰) Warna 21 (kuadran I) - 52 (kuadran I) Merah 53 (kuadran I) 84 (kuadran I) Merah-Kuning 85 (kuadran I) 21 (kuadran II) Kuning 22 (kuadran II) 61 (kuadran II) Hijau-Kuning 62 (kuadran II) 0 (kuadran III) Hijau 1 (kuadran III) 35 (kuadran III) Biru-Hijau 36 (kuadran III) 81 (kuadran III) Biru 82 (kuadran III) 36 (kuadran IV) Ungu-Biru 37 (kuadran IV) 71 (kuadran IV) Ungu 72 (kuadran IV) 20 (kuadran I) Merah-Ungu 23

41 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak bunga rosela kering (Hibiscus sabdariffa L.) sebagai sumber antosianin dan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat model minuman ringan adalah air minum dalam kemasan dan sukrosa. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk ekstraksi antosianin dan analisis adalah akuades, etanol 95%, metanol 26.4M, HCl 1N, kertas Whatman No. 1, dan alumunium foil. 2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, blender, saringan, kain saring, wadah pencampur, penyaring vakum, evaporator vakum, sendok pengaduk, ph meter, penangas air, lampu/sinar UV, spektrofotometer, kromameter, refrigerator, oven, botol berwarna (gelap), botol tidak berwarna, cawan alumunium, gelas ukur, gelas piala, labu ukur, tabung reaksi, pipet tetes, pipet mohr/volumetrik, gelas arloji, sudip, dan gelas pengaduk. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap penelitian: persiapan sampel, pembuatan model minuman ringan dengan aplikasi zat warna antosianin tunggal (tunggal) dan zat warna kopigmentasi antosianinrosmarinic acid, serta pengujian stabilitas warna terhadap suhu pemanasan dan sinar UV. 1. Persiapan Sampel Tujuan penelitian tahap ini adalah mendapatkan senyawa antosianin dari kelopak bunga rosela kering melalui metode ekstraksi secara maserasi. Senyawa yang dihasilkan merupakan bahan utama 24

42 yang dijadikan sebagai subyek pada proses pencampuran pada tahap selanjutnya. Ekstraksi antosianin dilakukan menggunakan modifikasi metode Kristie (2008) (Lampiran 1). Sebanyak 50g kelopak kering bunga rosela ditimbang, kemudian dihancurkan menggunakan blender dengan menambahkan 250ml akuades. Setelah itu, hancuran rosela dipindahkan ke dalam gelas piala dan kembali ditambahkan dengan 250ml akuades. Kemudian dilakukan proses maserasi pada suhu ruang selama 24 jam. Hasil yang diperoleh selanjutnya disaring dengan menggunakan saringan dan kain saring, untuk memisahkan hancuran bunga rosela dan ekstrak antosianin. Filtrat (ekstrak cair antosianin) yang diperoleh, kemudian ditambahkan dengan etanol 95% sebanyak ½ bagian dari volume total filtrat/ekstrak cair antosianin, untuk mengendapkan gum. Setelah disaring dengan penyaring vakum, ekstrak antosianin yang sudah tidak mengandung gum dipekatkan dengan evaporator vakum hingga diperoleh ekstrak pekat antosianin rosela. Ekstrak antosianin yang diperoleh kemudian diaplikasikan pada model minuman ringan. 2. Pembuatan Model Minuman Ringan dan Reaksi Kopigmentasi Antosianin-Rosmarinic Acid Pada tahap ini dibuat dua buah model minuman ringan, yaitu model minuman kontrol (antosianin tunggal/tanpa kopigmen) dan model minuman kopigmentasi (antosianin-rosmarinic acid). Model minuman ringan dibuat dengan mencampurkan sukrosa 10% (b/v) dan ekstrak antosianin ke dalam 100ml air minum dalam kemasan. Untuk model minuman kopigmentasi, selain antosianin, ke dalam model minuman juga ditambahkan rosmarinic acid dengan perbandingan konsentrasi 1:20, 1:40, 1:60, 1:80, dan 1:100 terhadap konsentrasi antosianin. Model minuman ringan yang diperoleh selanjutnya dianalisis stabilitas warna terhadap suhu pemanasan dan penyinaran sinar ultraviolet (UV). 25

43 3. Uji Stabilitas Warna Stabilitas warna model minuman ringan diukur menggunakan spektrofotometer UV-VIS melalui paramter A atau absorbansi pada λ max dan kromameter melalui parameter intensitas warna dengan sistem notasi warna L, a, b. Pengamatan dengan spektrofotometer menggambarkan degradasi antosianin dari segi konsentrasi kation flavilium yang terkandung di dalam model minuman ringan, sedangkan pengamatan dengan kromameter mengambarkan degradasi antosianin dari segi penampakan warna model minuman ringan. Pengujian stabilitas warna model minuman ringan ini dilakukan untuk mengetahui kinetika degradasi zat warna antosianin tunggal dan zat warna kopigmentasi antosianain-rosmarinic acid. a. Analisis stabilitas warna terhadap suhu pemanasan Model minuman ringan dimasukkan ke dalam botol gelap/berwarna kemudian dipanaskan pada suhu 40 C, 50ºC, 60ºC, 70ºC, dan 80 C. Kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dan intensitas warna L, a, b setiap 75 menit selama 525 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 40ºC, setiap 60 menit selama 420 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 50 C, setiap 45 menit selama 315 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 60ºC, setiap 30 menit selama 210 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 70ºC, dan setiap 15 menit selama 105 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 80 C. b. Analisis stabilitas warna terhadap penyinaran ultraviolet Model minuman ringan dimasukkan ke dalam botol tidak berwarna (botol terang) kemudian ditempatkan di bawah cahaya/sinar dengan panjang gelombang pendek (UV) selama 5 hari. Pengukuran absorbansi dan intensitas warna L, a, b dilakukan setiap hari (24 jam). 26

44 Pengukuran kinetika degradasi zat warna antosianin tunggal dan zat warna kopigmentasi antosianain-rosmarinic acid dapat dilakukan dengan melakukan pengujian estimasi terhadap kurva regresi linear yang menggambarkan hubungan antara retensi warna dengan lama pemanasan atau penyinaran UV. Kinetika degradasi antosianin secara umum berlangsung pada ordo ke-1 (Calvi dan Francis, 1978; Ahmed et al., 2000; Ozkan et al., 2002; dan Rein, 2005). Persamaan reaksi pada ordo ke-1 dapat dilihat pada persamaan berikut: da dt ka Penentuan variabel kuantitatif degradasi antosianin dilakukan melalui integrasi terhadap persamaan tersebut sehingga diperoleh persamaan matematis. Melalui persamaan matematis tersebut dapat diinterpretasikan nilai konstanta degradasi antosianin (Singh, 1994). Persamaan matematis tersebut adalah: A da A A k dt ln At kt C Ao ln retensi warna kt C keterangan: At = absorbansi zat warna setelah pemanasan/penyinaran UV Ao = absorbansi zat warna sebelum pemanasan/penyinaran UV k = konstanta degradasi antosianin t = waktu pemanasan/penyinaran UV Konstanta laju reaksi degradasi antosianin yang diperloleh dari nilai slope hasil plot hubungan antara retensi warna dengan lama pemanasan atau penyinaran UV tersebut digunakan untuk menentukan waktu paruh degradasi (t 1/2 ) : t C ln2 k 27

45 Parameter besarnya ketergantungan laju reaksi degradasi warna terhadap suhu dan UV dapat dilihat dalam persamaan Arrhenius: R.T k ko.e ln k ln ko Ea R 1 T Keterangan: k = konstanta laju reaksi ko = faktor frekuensi Ea = energi aktivasi R = tetapan gas (1.987 kal/mol.k atau J/mol.K) T = suhu mutlak (K) Peningkatan kestabilan atau penghambatan degradasi warna antosianin akibat reaksi kopigmentasi dapat diamati melalui perbandingan nilai energi aktivasi (Ea) reaksi degradasi antosianin tanpa penambahan kopigmen dan antosianin dengan penambahan kopigmen rosmarinic acid. Semakin rendah energi aktivasi maka semakin mudah antosianin terdegradasi. Penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen diharapkan mampu meningkatkan energi aktivasi reaksi degradasi warna pigmen antosianin. 4. Metode Analisis a. Penentuan rendemen ekstrak Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat basah. Rendemen ekstrak dapat dilihat pada rumus di bawah ini: Berat ekstrak g Rendemen ekstrak Berat bahan awal g x 100% b. Penentuan total padatan (AOAC, 1995) Sebanyak 1-2g sampel ditimbang dan diletakkan di dalam cawan petri kemudian diuapkan menggunakan penangas selama 30 menit. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam oven pada suhu C selama 3.5 jam. Selanjutnya cawan didinginkan dalam desikator. 28

46 Setelah dingin cawan ditimbang dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven selama beberapa menit. Kemudian cawan dimasukan ke dalam desikator kembali untuk didinginkan dan ditimbang. Tahap ini dilakukan berulang sampai diperoleh berat yang konstan dari sampel. Berat sampel setelah pengeringan Total padatan terlarut 1 100% Berat awal sampel c. Penentuan total antosianin (modifikasi Iglesias et al., 2008) Sebanyak 0.2g sampel ekstrak antosianin dicampurkan dengan larutan pengekstrak metanol (26.4M) + HCl (1N) = hingga diperoleh campuran larutan dengan volume 10ml. Larutan dibiarkan selama 24 jam pada suhu 4ºC di ruang gelap. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi larutan pada panjang gekombang 543nm. Konsentrasi antosianin dihitung sebagai delfinidin 3-glukosida dengan bobot molekul 501g/mol dan koefiien ekstingsi molar pada 543nm sebesar 2.94x10 4 l/mol.cm dengan menggunakan rumus: A = ε. b. c Keterangan: A = absorbansi antosianin pada λ 543nm ε = koefisien ekstingsi molar = 2.94x10 4 l/mol.cm b = lebar kuvet (cm) c = konsentrasi antosianin (M = mol/l) Total antosianin sampel dihitung dengan rumus: M V P Jumlah antosainin (mg/g) = Keterangan: c = konsentrasi antosianin (mol/l) BM = berat molekul antosianin pada rosela (delfinidin 3-glukosida, BM = 501g/mol) V FP m = volume larutan = faktor pengenceran = berat sampel ekstrak antosianin 29

47 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI ANTOSIANIN DARI ROSELA Menurut Harbone (1987), ekstraksi adalah proses penarikan komponen/zat aktif suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan metode ekstraksi senyawa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif, serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar. Ekstraksi antosianin biasanya dilakukan dengan menggunakan air, air yang mengandung SO 2, dan alkohol yang diasamkan (Markakis, 1982). Esselen dan Sammy (1973) menggunakan air panas untuk mengekstrak delfinidin dan sianidin mono dan biosida dari Hibiscus sabdariffa. Ekstraksi antosianin dari kelopak kering bunga rosela pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pelarut air, karena air bersifat polar dan tidak bersifat toksik sama sekali. Polaritas merupakan hal yang penting diperhatikan dalam proses ekstraksi. Polaritas antara bahan pengekstrak harus sama dengan polaritas bahan yang diekstraknya. Senyawa yang polar hanya dapat larut dalam pelarut yang polar, demikian pula senyawa yang bersifat non-polar hanya dapat larut pada pelarut non-polar juga. Menurut Timberlake dan Bridle (1966), antosianin merupakan komponen yang bersifat polar sehingga akan lebih mudah larut dalam pelarut yang bersifat polar juga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kristie (2008), ekstrak rosela yang diperoleh melalui proses ekstraksi secara maserasi dengan pelarut air, diduga masih banyak mengandung gum dan gula. Hal tersebut menyebabkan ekstrak memiliki tekstur yang padat dan lengket. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan modifikasi tahapan ekstraksi dengan penambahan etanol 95%, untuk mengikat gum dan gula yang masih terekstrak. Filtrat (ekstrak cair antosianin) yang diperoleh dari proses maserasi ditambahkan dengan etanol 95% sebanyak ½ bagian dari 30

48 volume total filtrat, kemudian untuk memisahkan gum dari ekstrak cair antosianin, dilakukan penyaringan secara vakum. Proses pemekatan atau penguapan pelarut dilakukan dengan evaporator vakum pada suhu 40 C. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan pigmen antosianin terhadap panas yang berlebihan. Penguapan terjadi pada ruangan vakum yang memiliki tekanan rendah sehingga dibutuhkan suhu yang relatif rendah. Pada akhir proses pemekatan, ekstrak antosianin rosela yang didapat masih memiliki tekstur padat, keras, dan lengket. Hal ini diduga karena masih banyak gum dan gula yang ikut terkstrak bersama dengan ekstrak antosianin rosela tersebut. Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat basah. Rendemen ekstrak antosianin rosela yang diperoleh adalah sebesar 30.84% (b/b) (Lampiran 2). Gambar 7. Ekstrak antosianin dari rosela B. KARAKTERISTIK EKSTRAK ANTOSIANIN DARI ROSELA Setelah diperoleh ekstrak antosianin dari rosela, selanjutnya dilakukan karakterisasi terhadap ekstrak antosianin yang diperoleh, yaitu perhitungan total padatan ekstrak, perhitungan total antosianin ekstrak, pengukuran ph ekstrak saat dilarutkan dalam akuades, dan pengukuran intensitas warna. Karakteristik ekstrak antosianin dari rosela dapat dilihat pada Tabel 3. Perhitungan total padatan ekstrak dilakukan untuk mengetahui berat ekstrak kering yang diperoleh. Perhitungan total padatan ini didasarkan pada metode AOAC (1995). Total padatan ekstrak antosianin rosela yang diperoleh adalah sebesar (72.22 ± 0,007)% (Lampiran 3). 31

49 Perhitungan total antosianin ekstrak dilakukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 543nm. Total antosianin yang terdapat dalam ekstrak antosianin rosela adalah sebesar ( ± ) mg/g ekstrak dan dinyatakan sebagai delfinidin 3-glukosida (Lampiran 4). Pengukuran ph ekstrak digunakan untuk mengetahui nilai ph ekstrak antosianin rosela saat dilarutkan dalam akuades. Pengukuran ph ini dilakukan dengan menggunakan alat phmeter. Nilai ph ekstrak antosianin rosela ketika dilarutkan di dalam akuades adalah sebesar (2.54 ± 0.02) (Lampiran 5). Intensitas warna ekstrak antosianin rosela dilakukan untuk mengetahui kisaran warna ekstrak antosianin rosela yang diperoleh. Pengukuran intensitas warna ekstrak antosianin rosela ini dilakukan menggunakan kromameter dengan sistem notasi warna Hunter (L, a, b). Ekstrak antosianin rosela yang diperoleh berwarna merah gelap (merah pekat) dengan nilai L (derajat kecerahan) sebesar 22.16, nilai a (derajat kemerahan) sebesar 1.71, dan nilai b (derajat kekuningan) sebesar Nilai ⁰hue ekstrak antosianin rosela yang diperoleh adalah sebesar Berdasarkan diagram Munsell, nilai ⁰hue ini berada pada kisaran warna ungu-biru (PB). Tabel 3. Karakteristik ekstrak antosianin rosela Karakteristik ekstrak Total padatan (%) Total antosianin (mg/g ekstrak) ph Intensitas warna Nilai ± ± ± 0.02 L = a = b = ⁰hue = (PB) 32

50 C. PEMBUATAN MODEL MINUMAN RINGAN DAN REAKSI KOPIGMENTASI ANTOSIANIN-ROSMARINIC ACID Model minuman ringan dibuat dengan mencampurkan 100ml air minum dalam kemasan dan sukrosa 10% (b/v). Setelah itu ekstrak antosianin rosela diaplikasikan ke dalam model minuman ringan. Antosianin dilarutkan dalam model minuman ringan dengan konsentrasi 3x10-5 M. Untuk model minuman kopigmentasi, selain antosianin, ke dalam model minuman juga ditambahkan rosmarinic acid dengan perbandingan konsentrasi 1:20, 1:40, 1:60, 1:80, dan 1:100 terhadap konsentrasi antosianin (Lampiran 6). Mengingat ekstrak antosianin rosela yang diperoleh memiliki tekstur yang padat, keras, dan lengket, maka untuk mempermudah pengaplikasian ke dalam model minuman ringan, ekstrak antosianin rosela tersebut terlebih dahulu dilarutkan dalam air minum dalam kemasan, sehingga diperoleh larutan stok ekstrak antosianin rosela, yang kemudian diaplikasikan ke dalam model minuman ringan. Sebelum diaplikasikan ke dalam model minuman ringan, terlebih dahulu dilakukan analisis kandungan total antosianin yang terdapat dalam setiap ml larutan stok ekstrak antosianin rosela. Volume larutan stok ekstrak antosianin rosela yang diaplikasikan ke dalam model minuman ringan disesuaikan dengan kandungan total antosianin yang terdapat dalam tiap ml larutan stok tersebut. D. ANALISIS STABILITAS WARNA MODEL MINUMAN RINGAN Analisis stabilitas warna model minuman ringan dilakukan untuk melihat pengaruh reaksi kopigmentasi rosmarinic acid terhadap antosianin rosela terhadap pemanasan dan penyinaran ultraviolet (UV). Parameter yang diamati pada model minuman ringan meliputi absorbansi dan intensitas warna. Absorbansi model minuman ringan diamati dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis Spectronic 20D pada panjang gelombang 520nm. Nilai absorbansi ini menggambarkan konsentrasi kation flavilium 33

51 antosianin yang yang terdapat dalam model minuman ringan. Panjang gelombang 520nm dipilih sebagai panjang gelombang maksimal untuk pengukuran stabilitas warna menggunakan spektrofotometer, hal ini didasarkan pada spektrum serapan cahaya model minuman ringan. Pada rentang panjang gelombang 400nm sampai 600nm, model minuman ringan menunjukkan serapan cahaya (absorbansi) maksimal pada panjang gelombang 520nm (Lampiran 7). Intensitas warna diamati dengan alat Chromameter Lab Minolta CR310. Kromameter dapat digunakan untuk mengukur warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel (Hutching, 1999). Intensitas warna model minuman ringan diamati dengan menggunakan sistem notasi warna Hunter, yaitu parameter L, a, dan b. Nilai L menyatakan parameter kecerahan dengan nilai antara 0 sampai dengan 100, semakin tinggi nilai L menunjukkan kecerahan yang semakin meningkat. Nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, dengan skala dari -80 sampai 100, nilai a positif menunjukkan warna merah dan a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai b menunjukkan derajat kuning atau biru sampel, dengan skala -70 sampai 70, nilai b positif menunjukkan warna kuning dan b negatif menunjukkan warna biru (Francis, 1996). 1. Analisis Stabilitas Warna Model Minuman Ringan terhadap Pemanasan Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas warna antosianin. Analisis stabilitas warna model minuman ringan terhadap pemanasan dilakukan dengan memanaskan model minuman ringan dalam botol berwarna pada suhu 40 o C selama 525 menit, pada suhu 50⁰C selama 420 menit, pada suhu 60⁰C selama 315 menit, pada suhu 70ºC selama 210 menit, dan pada suhu 80 C selama 105 menit. Pemanasan dilakukan dengan menggunakan penangas air, karena panas yang dihasilkan merata di seluruh bagian sampel dan untuk memudahkan dalam pengontrolan suhu. 34

52 a. Pengamatan stabilitas warna model minuman ringan terhadap pemanasan dengan menggunakan spektrofotometer Peningkatan waktu pemanasan menyebabkan penurunan nilai absorbansi warna model minuman ringan selama proses pemanasan (Lampiran 8, Lampiran 10, Lampiran 12, Lampiran 14, dan Lampiran 16). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen mampu menunjukkan efek hiperkromik, yaitu peningkatan intensitas warna merah antosianin, yang ditandai dengan peningkatan absorbansi pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Peningkatan absorbansi pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid terjadi seiring dengan peningkatan konsentrasi rosmarinic acid yang ditambahkan. Formula model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:100 mempunyai nilai absorbansi yang paling besar dibandingkan dengan formula model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid 1:20, 1:40, 1:60, dan 1:80. Suhu pemanasan yang relatif tinggi dapat merusak struktur antosianin yang berpengaruh terhadap warna model minuman ringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu pemanasan menyebabkan penurunan nilai retensi warna pada model minuman ringan. Nilai retensi warna menunjukkan kandungan antosianin rosela yang masih tersisa di dalam model minuman ringan selama atau setelah proses pemanasan. 35

53 Retensi warna (%) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 8. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C Retensi warna (%) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 9. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C Retensi warna (%) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 10. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C 36

54 Retensi warna (%) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 11. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C Retensi warna (%) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 12. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C Nilai retensi warna model minuman ringan semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya suhu pemanasan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan, laju degradasi antosianin rosela akibat proses pemanasan akan berlangsung semakin cepat, yang berakibat pada penurunan stabilitas warna model minuman ringan. Berdasarkan kurva retensi warna model minuman ringan di atas (Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, dan Gambar 12) dapat dilihat bahwa, semakin tinggi suhu pemanasan, maka kurva retensi warna yang terbentuk akan semakin curam. Semakin curam kurva yang 37

55 terbentuk, maka stabilitas warna model minuman ringan terhadap degradasi akibat proses pemanasan semakin rendah. Pada pemanasan suhu 40⁰C warna model minuman ringan relatif stabil. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kurva retensi warnanya yang semakin landai atau bahkan cenderung datar. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) pada akhir pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit adalah sebesar 97.60%. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) pada akhir pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit, 60⁰C selama 315 menit, dan 70⁰C selama 210 menit secara berturut-turut adalah sebesar 85.80%, 77.67%, dan 65.54%. Pada pemanasan suhu 80⁰C warna model minuman ringan relatif tidak stabil. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kurva retensi warnanya yang semakin curam. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) pada akhir pemanasan suhu 80⁰C selama 105 menit adalah sebesar 55.97%. Markakis (1982) mengemukakan bahwa penurunan stabilitas warna akibat peningkatan suhu ini disebabkan oleh dekomposisi antosianin dari bentuk aglikon menjadi kalkon yang tidak berwarna dan akhirnya membentuk alfa diketon yang berwarna coklat. Selain itu, menurut Elbe dan Schwartz (1996), panas mampu mengubah kesetimbangan antosianin terhadap kalkon yang tidak berwarna. Brouillard (1982) juga menyatakan bahwa temperatur yang tinggi dapat mengubah kation flavilium menjadi kalkon. Setelah cincin pirilium terbuka, degradasi akan berlanjut menghasilkan alfa diketon yang berwarna coklat. Peningkatan waktu dan suhu pemanasan dapat mengganggu proses kopigmentasi sehingga mengakibatkan degradasi kompleks antosianin-kopigmen menghasilkan senyawa seperti kalkon dan turunannya yang tidak berwarna (Cai et al., 1990, Wilska-Jezka dan Korzuchowska, 1996, Satyatama, 2008). Lebih lanjut Dangles dan Brouillard (1992) menyatakan bahwa 38

56 interaksi antara antosianin dan kopigmen bersifat eksotermal dan peningkatan temperatur menyebabkan degradasi kompleks kopigmentasi memberikan komponen tidak berwarna, sehingga menyebabkan kehilangan warna pada kompleks antosianinkopigmen. Penurunan nilai retensi warna akibat peningkatan suhu pemanasan pada model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid lebih rendah jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal) pada suhu pemanasan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid mempunyai kestabilan warna yang lebih baik dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Dengan demikian penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen dapat membantu mempertahankan retensi warna antosianin rosela terhadap peningkatan suhu pemanasan. Penambahan rosmarinic acid pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:20 mampu menghambat laju degradasi antosianin rosela akibat proses pemanasan dengan nilai retensi warna pada akhir pemanasan suhu 40⁰C (525 menit), 50⁰C (420 menit), 60⁰C (315 menit), 70⁰C (210 menit), dan 80⁰C (105 menit) secara berturut-turut adalah sebesar 97.09%, 91.67%, 82.27%, 82.10%, dan 71.21%. Model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:40 pada akhir pemanasan suhu 40⁰C (525 menit), 50⁰C (420 menit), 60⁰C (315 menit), 70⁰C (210 menit), dan 80⁰C (105 menit) memiliki nilai retensi warna secara berturut-turut sebesar 97.84%, 92.01%, 84.01%, 80.12%, dan 70.20%. Nilai retensi warna model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:60 pada akhir pemanasan suhu 40⁰C (525 menit), 50⁰C (420 menit), 60⁰C (315 menit), 70⁰C (210 39

57 menit), dan 80⁰C (105 menit) secara berturut-turut adalah sebesar 97.96%, 93.47%, 85.93%, 82.59% %, dan 69.30%. Penambahann rosmarinic acid pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:80 mampu menghambat laju degradasi antosianin rosela akibat proses pemanasan dengan nilai retensi warna pada akhir pemanasan suhu 40⁰C (525 menit), 50⁰C (420 menit), 60⁰C (315 menit), 70⁰C (210 menit), dan 80⁰C (105 menit) secara berturut-turutt adalah sebesar 97.63% %, 93.62%, 88.44%, 82.89%, dan 73.15%. Model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinicc acid 1:1000 pada akhir pemanasan suhu 40⁰C (525 menit), 50⁰C (420 menit) ), 60⁰C (315 menit), 70⁰C (210 menit), dan 80⁰C (105 menit) memiliki nilai retensi warna secara berturut-turut sebesar 96.89%, 94.54%, 88.90%, 81.12%, dan 72.73%. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid padaa berbagai suhu pemanasan disajikan dalam Gambar 13. Retensi warna (%) 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 suhu 40 suhu 50 kontrol 97,60 85,80 1:20 97,09 91,67 1:40 97,84 92,01 1:60 97,96 93,47 1:80 97,63 93,62 1:100 96,89 94,54 suhu 60 77,67 82,27 84,01 85,93 88,44 88,90 Suhu pemanasan (⁰C) suhu suhu ,54 55,,97 82,10 71,,21 80,12 70,,20 82,59 69,,30 82,89 73,,15 81,12 72,,73 Gambar 13. Nilaii retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada berbagai suhu pemanasan 40

58 Hasil pengamatan retensi warna pada model minuman ringan juga diperkuat dengan hasil pengamatan warna model minumann ringan secara visual, yang menunjukkan bahwa semakin lama selang waktu pemanasan, maka warna merah pada model minumann ringan akan semakin memudar. Warna merah pada model minumann ringan juga akan semakin memudar seiring dengan peningkatan suhu pemanasan. Hasil pengamatan warna model minumann ringan secara visual kurang perbedaan yang signifikan pada intensitas dapat menunjukkan warna merah model minumann kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid (Gambar 13, Gambar 14, Gambar 15, Gambar 16, dan Gambar 17). Gambar (a) (b) 14. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinpada suhu rosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan 40⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 40⁰C selama 525 menit Gambar (a) (b) 15. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinpada suhu rosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan 50⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 50⁰C selama 420 menit 41

59 (a) Gambar 16. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan pada suhu 60⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 60⁰C selama 315 menit (b) (a) Gambar 17. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan pada suhu 70⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 70⁰C selama 210 menit (b) (a) (b) Gambar 18. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan pada suhu 80⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 80⁰C selama 105 menit Untuk mengetahui kinetika laju reaksi degradasi antosianin rosela pada model minuman ringan terhadap proses pemanasan, dari nilai absorbansi warna model minuman ringan selama selang waktu pemanasan dapat dibuat kurva/plot antara ln At/Ao dengan lamanya waktu pemanasan untuk setiap suhu 42

60 pemanasan. Kinetika degradasi antosianin secara umum berlangsung pada ordo ke-1 (Calvi dan Francis, 1978; Ahmed et al., 2000; Ozkan et al., 2002; dan Rein, 2005). Oleh karena itu kurva/plot antara ln At/Ao dengan lamanya waktu pemanasan yang terbentuk berupa garis lurus (linear). Menurut Ahmed et al. (2004), hubungan linear antara ln At/Ao dengan lama pemanasan dapat menginterpretasikan kinetika degradasi antosianin. 0,0000-0, kontrol ln At/Ao -0,2000-0,3000-0,4000-0,5000-0,6000 (menit) 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 19. Hubungan antara ln At/Ao dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit 0,0000-0, kontrol ln At/Ao -0,2000-0,3000-0,4000-0,5000-0,6000 (menit) 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 20. Hubungan antara ln At/Ao dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit 43

61 0,0000-0, kontrol ln At/Ao -0,2000-0,3000-0,4000-0,5000-0,6000 (menit ) 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 21. Hubungan antara ln At/Ao dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C selama 315 menit 0,0000-0, kontrol ln At/Ao -0,2000-0,3000-0,4000-0,5000-0,6000 (menit) 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 22. Hubungan antara ln At/Ao dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C selama 210 menit 0,0000-0, kontrol ln At/Ao -0,2000-0,3000-0,4000-0,5000-0,6000 (menit) 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 23. Hubungan antara ln At/Ao dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C selama 105 menit 44

62 Laju reaksi degradasi antosianin rosela akibat proses pemanasan pada model minuman ringan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya suhu pemanasan. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kurva/plot hubungan antara ln At/Ao dengan lamanya waktu pemanasan (Gambar 19, Gambar 20, Gambar 21, Gambar 22, dan Gambar 23). Semakin tinggi suhu pemanasan, maka kurva/plot yang terbentuk semakin curam. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan, maka laju reaksi degradasi antosianin rosela akibat proses pemanasan akan berlangsung semakin mudah atau semakin cepat. Berdasarkan kurva/plot hubungan antara ln At/Ao dengan selang waktu pemanasan dapat diperoleh nilai konstanta laju degradasi antosianin (k), yang merupakan slope atau kemiringan dari kurva linear tersebut. Pengaruh suhu pemanasan terhadap konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid disajikan dalam grafik batang pada Gambar 24, Gambar 25, Gambar 26, Gambar 27,dan Gambar 28. Dari Tabel 4 dan grafik batang pada Gambar 24, Gambar 25, Gambar 26, Gambar 27, dan Gambar 28 dapat dilihat bahwa nilai konstanta laju degradasi antosianin (k) akibat proses pemanasan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan, maka laju reaksi degradasi antosianin rosela akibat proses pemanasan akan berlangsung semakin mudah atau semakin cepat. 45

63 Tabel 4. Pengaruh suhu pemanasan terhadap konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid Model minuman Suhu (⁰C) Hubungan suhu pemanasan dengan konstanta laju degradasi antosianin (k) k R 2 Kontrol : : : : :

64 Nilai k 0, , , , , , ,00000 kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Model minuman 0, ,00030 Nilai k 0, , ,00000 kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Model minuman Gambar Nilai k 0, , , , , ,00000 kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Model minuman Gambar Gambar 24. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C 25. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin- rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C 26. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C 47

65 0,00200 Nilai k 0, , , ,00000 kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Model minuman Nilai k 0, , , , , , ,00000 kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Model minuman Gambar Gambar 27. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C 28. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C Brouillard (1982), mengemukakan bahwa reaksi kesetimbangan di antara struktur basa quinonoidal (ungu) kation flavilium (merah) basa karbinol/hemiasetal/pseudobasa (tidak berwarna) kalkon (tidak berwarna) adalah bersifat endotermik jika berjalan dari kiri ke kanan. Dengan demikian, adanya panas akan menggeser kesetimbangann menuju ke arah kanan, yaitu kalkon. Hal ini sejalan dengan Jackman dan Smith (1996), yang menyatakan bahwa peningkatan suhu mampu menstimulasi kinetika perubahan inti kation flavilium menjadi senyawa yang tidak berwarna seperti kalkon dan turunannya. 48

66 Jika dibandingkan dengan model minuman antosianin kontrol (antosianin tunggal), nilai konstanta laju degradasi antosianin (k) akibat proses pemanasan pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa degradasi antosianin rosela dengan kopigmentasi rosmarinic acid berlangsung lebih sulit daripada antosianin tunggal (tanpa kopigmentasi rosmarinic acid). Pada pemanasan suhu 40⁰C, antosianin rosela tidak banyak mengalami degradasi bahkan dapat dikatakan cenderung atau relatif stabil, hal ini tampak dari nilai k-nya yang sangat kecil (mendekati nol). Selain itu penambahan konsentrasi rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen untuk model minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 40⁰C tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penghambatan degradasi antosianin. Dapat dilihat pada Tabel 4 nilai k pada pemanasan suhu 40⁰C untuk model minuman kontrol (antosianin tunggal) maupun model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:20, 1:40, 1:60, 1:80, dan 1:100 cenderung sama/tidak berbeda. Hasil penelitian menunjukkan secara umum semakin tinggi konsentrasi rosmarinic acid yang ditambahkan, semakin rendah nilai konstanta laju degradasi antosianinnya. Namun pada pemanasan suhu 40⁰C, 50⁰C, 70⁰C, dan 80⁰C, penurunan nilai k akibat peningkatan konsentrasi rosmarinic acid pada model minuman kopigmentasi terlihat kurang signifikan. Sementara itu, pada pemansan suhu 60⁰C, peningkatan konsentrasi rosmarinic acid pada model minuman kopigmentasi memperlihatkan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan nilai k. Berdasarkan nilai konstanta laju degradasi antosianin (k) dapat dicari waktu paruh degradasi antosianin rosela akibat proses pemanasan (t 1/2 ). Pengaruh suhu pemanasan terhadap nilai waktu paruh degradasi antosianin rosela (t 1/2 ) pada model minuman ringan dapat dilihat pada Tabel 5. 49

67 Tabel 5. Pengaruh suhu pemanasan terhadap waktu paruh degradasi antosianin rosela (t 1/2 ) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid Model minuman Suhu (⁰C) t 1/2 (menit) Model minuman Suhu (⁰C) t 1/2 (menit) Kontrol : : : : : Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu pemanasan yang tinggi dapat mengakibatkan laju degradasi antosianin rosela berlangsung semakin cepat. Hal ini ditunjukkan dari nilai waktu paruh degradasi antosianin rosela yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan model minuman ringan. Jika dibandingkan dengan model minuman antosianin kontrol (antosianin tunggal), laju degradasi antosianin rosela akibat 50

68 proses pemanasan pada model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid berlangsung dalam waktu yang lebih lambat. Hal ini terlihat dari nilai waktu paruhnya yang lebih besar daripada nilai waktu paruh degradasi antosianin rosela pada model minuman kontrol (antosianin tunggal). Ketergantungan antara konstanta laju degradasi antosianin (k) terhadap suhu pemanasan dapat dilihat dengan persamaan Arrhenius, yaitu dengan membuat kurva yang menggambarkan hubungan antara logaritma natural nilai konstanta laju degradasi antosianin (ln k) dengan kebalikan suhu pemanasan dalam satuan Kelvin (1/T). Dari kurva tersebut dapat diketahui besarnya nilai energi aktivasi. Hubungan antara ln k dengan 1/T merupakan fungsi linear dengan slope atau kemiringan sama dengan energi aktivasi dibagi dengan konstanta gas (Ea/R). Gambar 29 menunjukkan plot ketergantungan konstanta laju degradasi antosianin rosela terhadap suhu pemanasan. Pada pemanasan suhu 40⁰C nilai k yang diperoleh untuk model minuman ringan, baik model minuman kontrol (antosianin tunggal) maupun model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid 1:20, 1:40, 1:60, 1:80, dan 1:100 adalah sama/tidak berbeda nyata dan sangat kecil (mendekati nol). Oleh karena itu, untuk plot hubungan antara nilai ln k dengan 1/T pada Gambar 28, nilai ln k model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid yang dipanaskan pada suhu 40⁰C tidak dimasukkan atau tidak dikutsertakan. 51

69 ln k 5, ,0028 5, , , , ,0029 0,,0030 0,0031 y kontrol = 8, x R² = y 1:20 = 8, x R² = y 1:40 = 9,031,300x R² = , , , , 0000 y 1:60 = 8, x R² = y 1:80 = 8, xx R² = y 1:100 = 9, x R² = /T (K) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 29. Hubungan antara nilai ln konstanta degradasi antosianin (ln k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid) dengan kebalikan suhu mutlak (1/T) Dari persamaan regresi linear padaa Gambar 29 diperoleh nilai Ea/R, yang merupakan slope atau kemiringan kurva hubungan antara nilai ln k dengan 1/T, untuk antosianin rosela tanpa dan dengan kopigmentasii rosmarinic acid pada model minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 50⁰C, 60⁰C, 70⁰C, dan 80⁰C. Dengan cara mengalikan nilai Ea/R yang diperoleh tersebut dengan nilai konstantaa gas (R) sebesar J/mol.K, maka akan diperoleh nilai Ea atau energi aktivasi degradasi antosianin rosela pada model minumann kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid. Energi aktivasi (Ea) didefinisikan sebagai energi minimum yang dibutuhkan oleh reaktan agar dapat bereaksi sehingga terbentuk pola hasil reaksi (Bird, 1987). Dalam penelitiann ini energi aktivasi yang dimaksud adalah energi minimum yang dibutuhkan 52

70 agar terjadi suatu reaksi degradasi antosianin akibat pengaruh proses pemanasan. Semakin besar energi aktivasi, maka semakin sulit antosianin terdegradasi, karena energi yang dibutuhkan untuk reaksi degradasi tersebut semakin besar. Tabel 6. Nilai energi aktivasi (Ea) antosianin rosela pada minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid Model minuman Ea (kj/mol) Kontrol (antosianin tunggal) : : Kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1: : : Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa secara umum model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid memiliki nilai energi aktivasi (Ea) yang lebih besar jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Namun sayangnya, peningkatan nilai Ea pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid ini tidak terlalu besar atau tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang nyata (signifikan) dengan nilai Ea pada model minuman kontrol antosianin tunggal. Hal ini dapat disebabkan karena konsentrasi antosianin rosela yang diaplikasikan pada model minuman ringan terlalu kecil sehingga kurang dapat memperlihatkan efek atau pengaruh kopigmentasi. Konsentrasi antosianin rosela yang digunakan pada penelitian ini adalah sebesar 3x10-5 M, sedangkan menurut Asen (1976), untuk dapat menunjukkan efek atau pengaruh kopigmentasi maka konsentrasi antosianin harus lebih besar dari 3.5x10-5 M. 53

71 Meskipun demikian, peningkatan nilai Ea pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid menandakan bahwa antosianin rosela dengan kopigmentasi rosmarinic acid membutuhkan energi yang lebih besar untuk melakukan reaksi akibat proses pemanasan. Hal ini menyebabkan proses pembentukan produk hasil reaksi degradasi antosianin seperti senyawa kalkon dan turunannya pada antosianin rosela dengan kopigmentasi rosmarinic acid membutuhkan waktu yang lebih lama, dibandingkan dengan antosianin rosela tanpa kopigmenatsi rosmarinic acid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:100, merupakan formula model minuman ringan yang memiliki efek kopigmentasi terbaik, dalam meningkatan kestabilan antosianin rosela pada proses pemanasan, karena mempunyai nilai energi aktivasi (Ea) yang paling besar, dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan keempat formula model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid lainnya, yaitu 1:20, 1:40, 1:60, dan 1:80. b. Pengamatan stabilitas warna model minuman ringan terhadap pemanasan dengan menggunakan kromameter Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu dan selang waktu pemanasan pada model minuman ringan menyebabkan peningkatan nilai L dan b serta penurunan nilai a pada model minuman ringan. Secara umum, nilai L (derajat kecerahan) model minuman kontrol (antosianin tunggal) akan semakin meningkat selama waktu pemanasan. Peningkatan nilai L ini disebabkan oleh terjadinya proses degradasi antosianin menjadi kalkon yang tidak berwarna akibat pengaruh suhu dan selang waktu pemanasan. 54

72 Derajat kecerahan 68,00 66,00 64,00 62,00 60,00 58,00 56, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 30. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit Derajat kecerahan 68,00 66,00 64,00 62,00 60,00 58,00 56, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 31. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit Derajat kecerahan 68,00 66,00 64,00 62,00 60,00 58,00 56, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 32. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C selama 315 menit 55

73 Derajat kecerahan 68,00 66,00 64,00 62,00 60,00 58,00 56, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 33. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C selama 210 menit Derajat kecerahan 68,00 66,00 64,00 62,00 60,00 58,00 56, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 34. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C selama 105 menit Peningkatan nilai L selama waktu pemanasan juga terjadi pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid. Peningkatan nilai L pada model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid disebabkan oleh terjadinya proses degradasi kompleks kopigmentasi antara antosianin dengan kopigmen (dalam hal ini rosmarinic acid) menghasilkan komponen tidak berwarna, sehingga menyebabkan kompleks antosianin-kopigmen kehilangan warna, dan antosianin berubah menjadi kalkon yang tidak berwarna akibat pengaruh suhu dan lama pemanasan (Maza dan Brouillard, 1990). 56

74 Model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid memiliki nilai L yang lebih rendah jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Hal ini diperkuat oleh Brenes et al. (2005) yang melaporkan bahwa penambahan ekstrak rosemary sebagai kopigmen menyebabkan penurunan nilai lightness antosianin jus anggur. Hasil penelitian menunjukkan semakin besar konsentrasi rosmarinic acid yang ditambahkan, maka nilai L akan semakin rendah. Secara umum proses pemanasan juga mengakibatkan penurunan nilai a (derajat kemerahan) dan peningkatan nilai b (derajat kekuningan) model minuman kontrol (antosianin tunggal). Penurunan nilai a ini disebabkan oleh peningkatan kecepatan transformasi struktural kation flavilium yang berwarna merah menjadi kalkon yang tidak berwarna. Penurunan konsentrasi inti kation flavilium mampu menurunkan derajat kemerahan model pangan yang mengandung antosianin (Viguera dan Bridle, 1999). Derajat kemerahan 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 35. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit 57

75 Derajat kemerahan 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 36. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit Derajat kemerahan 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 37. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C selama 315 menit Derajat kemerahan 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4, (menit ) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 38. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C selama 210 menit 58

76 Derajat kemerahan 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 39. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C selama 105 menit Derajat kekuningan 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 40. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit Derajat kekuningan 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 41. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit 59

77 Derajat kekuningan 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 42. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C selama 315 menit Derajat kekuningan 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 43. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C selama 210 menit Derajat kekuningan 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2, (menit) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 44. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C selama 105 menit 60

78 Penurunan nilai a dan peningkatan nilai b selama waktu pemanasan juga terjadi pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid. Penurunan nilai a dan peningkatan nilai b pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid disebabkan oleh terjadinya proses disosiasi kompleks kopigmentasi antara antosianin dengan kopigmen (dalam hal ini rosmarinic acid) menghasilkan peningkatan produksi basa karbinol/hemiasetal/ pseudobasa yang berwarna pucat (tidak berwarna). Meskipun hasil pengamatan warna secara visual kurang dapat menunjukkan perbedaan yang signifikan pada intensitas warna merah model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid, namun hasil pengamatan intensiatas warna model minuman ringan dengan menggunakan kromameter mampu memperlihatkan adanya perbedaan intensitas/derajat kemerahan (nilai a) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid. Model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid memiliki nilai a yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Hasil penelitian menunjukkan semakin besar konsentrasi rosmarinic acid yang ditambahkan, maka nilai a akan semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen berpengaruh terhadap peningkatan intensitas warna merah antosianin rosela. Perubahan nilai L, a, b pada model minuman ringan selama pemanasan menyebabkan perubahan pada nilai E dan ⁰hue model minuman ringan. Secara umum nilai E dan ⁰hue model minuman ringan meningkat selama pemanasan. Peningkatan suhu pemanasan menyebabkan pergeseran warna model minuman ringan. Pada pemanasan suhu 40⁰C warna model minuman ringan relatif tidak berubah atau cenderung satbil pada kisaran warna 61

79 merah-ungu (RP). Sedangkan pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (50⁰C, 60⁰C, 70⁰C, dan 80⁰C) warna model minuman ringan berubah dari merah ungu (RP) menjadi merah (R). Tabel 7. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kontrol (antosianin tunggal) pada berbagai suhu pemanasan Suhu (⁰C) (menit) ⁰hue Warna Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah Merah Merah-Ungu Merah Merah-Ungu Merah Tabel 8. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:20 pada berbagai suhu pemanasan Suhu (⁰C) (menit) ⁰hue Warna Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah Merah-Ungu Merah Merah-Ungu Merah Merah Merah 62

80 Tabel 9. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:40 pada berbagai suhu pemanasan Suhu (⁰C) (menit) ⁰hue Warna Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah Merah-Ungu Merah Merah Merah Tabel 10. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:60 pada berbagai suhu pemanasan Suhu (⁰C) (menit) ⁰hue Warna Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah Merah-Ungu Merah Merah Merah 63

81 Tabel 11. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:80 pada berbagai suhu pemanasan Suhu (⁰C) (menit) ⁰hue Warna Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah Merah-Ungu Merah Merah-Ungu Merah Tabel 12. Perubahan nilai ⁰hue model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:100 pada berbagai suhu pemanasan Suhu (⁰C) (menit) ⁰hue Warna Merah-Ungu Merah-Ungu Merah-Ungu Merah Merah-Ungu Merah Merah-Ungu Merah Merah Merah 64

82 Secara umum nilai L (L akhir -L awal ) dan a (a awal -a akhir ) model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid lebih rendah jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Hal ini menandakan bahwa, peningkatan nilai L dan penurunan nilai a pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid lebih rendah dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Akibatnya model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid memiliki nilai E yang lebih rendah jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Dengan demikian, dekomposisi struktur antosianin dari kation flavilium menjadi basa karbinol/hemiasetal/pseudobasa dan kalkon pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid berlangsung dengan lebih lambat jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal), sehingga laju kerusakan atau degradasi warnanya pun lebih lambat terjadi. Pada suhu pemansan 60⁰C, 70⁰C, dan 80⁰C penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen memberikan pengaruh yang cukup baik dalam menghambat degradasi warna merah pada model minuman ringan. Hal ini terlihat dari nilai E untuk model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid yang semakin rendah jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). 2. Analisis Stabilitas Warna Model Minuman Ringan terhadap Penyinaran Ultraviolet (UV) Selain suhu pemanasan, faktor lain yang turut mempengaruhi kestabilan warna antosianin adalah cahaya. Analisis stabilitas warna model minuman ringan terhadap cahaya dilakukan dengan memberikan paparan sinar UV terhadap model minuman ringan dalam botol tidak berwarna selama 5 hari. Pengamatan stabilitas warna model minuman ringan terhadap penyinaran UV ini dilakukan setiap hari (setiap 24 jam). 65

83 a. Pengamatan warna stabilitas model minuman ringan terhadap penyinaran UV dengan menggunakan spektrofotometer Peningkatan waktu penyinaran UV menyebabkan penurunan nilai absorbansi warna model minuman ringan (Lampiran 18). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen mampu menunjukkan efek hiperkromik, yaitu peningkatan intensitas warna merah antosianin rosela, yang ditandai dengan peningkatan absorbansi pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Peningkatan absorbansi pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid terjadi seiring dengan peningkatan konsentrasi rosmarinic acid yang ditambahkan. Formula model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:100 mempunyai nilai absorbansi yang paling besar dibandingkan dengan formula model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid 1:20, 1:40, 1:60, dan 1:80. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyinaran UV dapat menyebabkan penurunan nilai retensi warna pada model minuman ringan. Nilai retensi warna menunjukkan kandungan antosianin rosela yang masih tersisa di dalam model minuman ringan selama atau setelah proses penyinaran UV. Semakin lama waktu penyinaran UV, nilai retensi warna pada model minuman ringan semakin rendah. 66

84 Retensi warna (%) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30, (jam) kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Gambar 45. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada proses penyinaran UV Semakin lama waktu kontak/paparan sinar UV yang diberikan terhadap model minuman ringan, maka nilai retensi warnanya semakin menurun, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu kontak/paparan sinar UV laju degradasi antosianin rosela semakin tinggi, yang berakibat pada penurunan stabilitas warna antosianin. Penurunan nilai retensi warna model minuman ringan ini terjadi karena sinar UV memiliki energi yang besar dan dapat menyebabkan terjadinya reaksi fotokimia yang akan merusak struktur antosianin sehingga menyebabkan perubahan warna. Menurut Markakis (1982), antosianin memiliki kecenderungan untuk mengabsorpsi sinar tampak. Energi radiasi sinar dapat menyebabkan reaksi fotokimia pada spektrum tampak yang dapat merusak struktur antosianin sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan warna. Hanum (2000) menyatakan bahwa penurunan kestabilan antosianin akibat penyinaran disebabkan oleh terjadinya dekomposisi antosianin dari bentuk aglikon menjadi kalkon (tidak berwarna) dan akhirnya membentuk alfa diketon yang berwarna coklat. Penurunan nilai retensi warna akibat penyinaran UV pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid lebih rendah jika dibandingkan dengan model minuman kontrol 67

85 (antosianin tunggal). Hal ini menunjukkan bahwa model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid mempunyai kestabilan warna yang lebih baik dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Dengan demikian penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen dapat membantu menghambat penurunan retensi warna antosianin rosela akibat penyinaran UV. Kucharska et al. (1998) mengemukakan bahwa keberadaan kopigmen dalam larutan antosianin mampu menghambat degradasi antosianin akibat penyinaran UV. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) setelah diberi paparan sinar UV selama 120 jam (5 hari) adalah sebesar 40.39%. Penambahan rosmarinic acid pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:20 mampu menghambat laju degradasi antosianin rosela akibat pengaruh sinar UV dengan nilai retensi warna pada akhir proses penyinaran UV selama 120 jam (5 hari) adalah sebesar 69.73%. Model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:40 memiliki nilai retensi warna sebesar 79.35% setelah diberi paparan sinar UV selama 120 jam (5 hari). Setelah diberi paparan sinar UV selama 120 jam (5 hari) model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:60 memiliki nilai retensi warna sebesar 81.22%. Penambahan rosmarinic acid pada model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid 1:80 mampu mempertahankan retensi warna sebesar 85.06% sampai akhir proses penyinaran UV selama 120 jam (5 hari). Model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:100 memiliki nilai retensi warna sebesar 84.43% setelah diberi paparan sinar UV selama 120 jam (5 hari). Hasil pengamatan retensi warna pada model minuman ringan juga diperkuat dengan hasil pengamatan warna model minuman ringan secara visual (Gambar 46) yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama, bahwa cahaya dapat 68

86 mempengaruhi kecepatan laju degradasi antosianin rosela yang ditandai dengan terjadinya pemucatan warna model minuman ringan akibat kontak atau terpapar dengan cahaya (sinar UV). Semakin lama waktu kontak/paparan sinar UV yang diberikan pada model minuman ringan, maka warna merah pada model minuman ringan akan semakin memudar. (a) (b) Gambar 46. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid (a) sebelum kontak/ terpapar sinar UV dan (b) sesudah kontak/ terpapar sinar UV selama 120 jam (5 hari) Hasil pengamatan warna model minuman ringan secara visual (Gambar 46) menunjukkan bahwa pada pengamatan jam ke- 120 (hari ke-5) tampak perbedaan yang cukup signifikan antara intensitas warna merah model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid. Pada pengamatan jam ke-120 (hari ke-5) tampak warna merah model minuman kontrol (antosianin tunggal) semakin memudar dan cenderung berubah menjadi kekuningan, sementara model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid masih berwarna merah, meskipun dengan intensitas warna merah yang lemah/menurun. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen dapat menghambat perubahan warna antosianin rosela akibat penyinaran UV. Malien et al. (2001) melaporkan bahwa penambahan asam fenolik sebagai kopigmen dapat menghambat proses perubahan warna antosianin selama perlakuan penyinaran. 69

87 Untuk mengetahui kinetika laju reaksi degradasi antosianin rosela pada model minuman ringan terhadap proses peyinaran UV, dari nilai absorbansi warna model minuman ringan selama selang waktu penyinaran UV dapat dibuat kurva/plot antara ln At/Ao dengan lamanya waktu penyinaran UV. Kinetika degradasi antosianin secara umum berlangsung pada ordo ke-1 (Calvi dan Francis, 1978; Ahmed et al., 2000; Ozkan et al., 2002; dan Rein, 2005). Oleh karena itu kurva/plot antara ln At/Ao dengan lamanya waktu penyinaran UV yang terbentuk berupa garis lurus (linear). ln (At/Ao) 0,0000-0,2000-0,4000-0,6000-0, kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80-1,0000 (jam) 1:100 Gambar 47. Hubungan antara ln At/Ao dengan waktu penyinaran UV model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid Berdasarkan kurva/plot hubungan antara ln At/Ao dengan lama pemanasan dapat diperoleh nilai konstanta laju degradasi antosianin (k), yang merupakan slope atau kemiringan dari kurva linear tersebut. Pengaruh penyinaran UV terhadap konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid disajikan dalam Gambar

88 Nilai k 0,0080 0,0070 0,0060 0,0050 0,0040 0,0030 0,0020 0,0010 0,0000 kontrol 1:20 1:40 1:60 1:80 1:100 Model minumann Gambar 48. Nilai konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianinrosmarinic acid pada proses penyinaran UV Dari grafik batang padaa Gambar 48 dan Tabel 13 dapat dilihat bahwa jika dibandingkann dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal), nilai konstanta laju degradasi antosianin (k) akibat penyinaran UV pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinicc acid lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa degradasi antosianin rosela dengan kopigmentasi rosmarinic acid lebih sulit daripada antosianin tunggal (tanpa kopigmentasi rosmarinic acid). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum semakin tinggi konsentrasi rosmarinic acid yang ditambahkan, semakin kecil pula nilai konstanta laju degradasi antosianinnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen mampu meningkatkan penghambatan laju degradasi antosianinn rosela terhadap penyinaran UV. 71

I. PENDAHULUAN. Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat

I. PENDAHULUAN. Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat pewarna alami, penggunaan pigmen sebagai zat warna alami semakin menurun (Samun,

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN III. METODELOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang berasal dari petani di Dramaga dan kayu secang (Caesalpinia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) atau disebut juga Tamarillo

II. TINJAUAN PUSTAKA. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) atau disebut juga Tamarillo II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) atau disebut juga Tamarillo merupakan tanaman jenis terung-terungan yang berasal dari family

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama digunakan, namun dengan ditemukannya pewarna sintetik yang relatif mudah diproduksi dan memiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hati ungu (Tradescantia pallida) merupakan jenis tanaman hias yang berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hati ungu (Tradescantia pallida) merupakan jenis tanaman hias yang berasal dari 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Hati Ungu (Tradescantia pallida) Hati ungu (Tradescantia pallida) merupakan jenis tanaman hias yang berasal dari famili Commelinaceae (Spiderwort family). Tanaman hias

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa dan tekstur. Selama proses pengolahan pangan warna suatu bahan

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa dan tekstur. Selama proses pengolahan pangan warna suatu bahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Warna memainkan peranan penting dalam persepsi dan penerimaan konsumen terhadap makanan. Burrows (2009) menyebutkan bahwa warna menjadi faktor kualitas utama dan paling

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Ekstraksi dan Karakterisasi Antosianin

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Ekstraksi dan Karakterisasi Antosianin IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PIGMEN Ekstraksi adalah proses penarikan komponen dari suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu. Pada umumnya ekstraksi zat warna dari bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu

I. PENDAHULUAN. pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Warna merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan mutu suatu produk pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu karakteristik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Rosella (Hibiscus sadbariffa L.) merupakan anggota famili Malvaceae. Rosella

II. TINJAUAN PUSTAKA. Rosella (Hibiscus sadbariffa L.) merupakan anggota famili Malvaceae. Rosella II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Rosella (Hibiscus sadbariffa L.) merupakan anggota famili Malvaceae. Rosella dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis dan subtropis.

Lebih terperinci

Gambar 6. Kerangka penelitian

Gambar 6. Kerangka penelitian III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN II)

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN II) Bidang Ilmu : PERTANIAN LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN II) PEMBUATAN SEDIAAN PEWARNA ALAMI PANGAN BERBASIS ANTOSIANIN DARI BUAH DUWET (Syzigium cumini) Peneliti Dr. PUSPITA SARI, STP, MAgr (Utama)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sehingga memberikan kesegaran bagi konsumen. Warna yang beraneka macam

I. PENDAHULUAN. sehingga memberikan kesegaran bagi konsumen. Warna yang beraneka macam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es lilin merupakan suatu produk minuman yang banyak disukai anak-anak hingga dewasa. Hal ini dikarenakan es lilin memiliki rasa yang manis dan dingin sehingga memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing sebesar ton dan hektar. Selama lima

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing sebesar ton dan hektar. Selama lima BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ubi jalar merupakan salah satu komoditas tanaman pangan sumber karbohidrat di Indonesia. Berdasarkan data statistik, produktivitas ubi jalar pada tahun 2015 mencapai

Lebih terperinci

Company LOGO ZAT WARNA /PIGMEN

Company LOGO ZAT WARNA /PIGMEN Company LOGO ZAT WARNA /PIGMEN Banyak sekali faktor yang menentukan kualitas produk akhir. Kualitas bahan pangan juga ditentukan oleh faktor sensoris (warna, kenampakan, citarasa, dan tekstur) dan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Tanaman rosela (Jauhari, 2007) : Spermatophyta. : Dicotyledonae. : Malvaceae. : Hibiscus sabdariffa L

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Tanaman rosela (Jauhari, 2007) : Spermatophyta. : Dicotyledonae. : Malvaceae. : Hibiscus sabdariffa L II. TINJAUAN PUSTAKA A. ROSELA (ibiscus sabdariffa L. ) Gambar 1. Tanaman rosela (Jauhari, 2007) Divisi Sub Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Malvales

Lebih terperinci

SKRIPSI. KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ANTOSIANIN PADA BUAH DUWET (Syzygium cumini) Oleh BEATRICE BENNITA LEIMENA F

SKRIPSI. KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ANTOSIANIN PADA BUAH DUWET (Syzygium cumini) Oleh BEATRICE BENNITA LEIMENA F SKRIPSI KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ANTOSIANIN PADA BUAH DUWET (Syzygium cumini) Oleh BEATRICE BENNITA LEIMENA F24103029 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KARAKTERISASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) merupakan jenis buah buni yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) merupakan jenis buah buni yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn) merupakan jenis buah buni yang berbentuk bulat telur, berukuran (3-10) cm x (3-5) cm, meruncing

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan dan Maksud Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. xvii

DAFTAR LAMPIRAN. xvii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Ubi jalar ungu... 4 Gambar 2. Struktur DPPH... 8 Gambar 3. Reaksi penangkapan radikal DPPH oleh antioksidan... 10 Gambar 4. Formulasi lipstik ubi jalar ungu... 21 Gambar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pepaya Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko dan Amerika Selatan, kemudian menyebar ke berbagai negara tropis, termasuk Indonesia sekitar

Lebih terperinci

FISIK DAN KIMIA SERTA MUTU ORGANOLEPTIK PADA WORTEL

FISIK DAN KIMIA SERTA MUTU ORGANOLEPTIK PADA WORTEL KANDUNGAN β-karoten, SIFAT FISIK DAN KIMIA SERTA MUTU ORGANOLEPTIK PADA WORTEL (Daucus carota L.) ORGANIK DAN NON-ORGANIK SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN ASTARI APRIANTINI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Marshmallow merupakan salah satu produk aerated confectionary yang dalam pembuatannya ada pemerangkapan udara sehingga menghasilkan tekstur yang lembut dan ringan. Marshmallow

Lebih terperinci

PENGARUH PERBANDINGAN JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) DENGAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) DAN JENIS JAMBU BIJI TERHADAP KARAKTERISTIK JUS

PENGARUH PERBANDINGAN JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) DENGAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) DAN JENIS JAMBU BIJI TERHADAP KARAKTERISTIK JUS PENGARUH PERBANDINGAN JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) DENGAN ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) DAN JENIS JAMBU BIJI TERHADAP KARAKTERISTIK JUS TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Sidang Sarjana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Duwet (Syzygium cumini)

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Duwet (Syzygium cumini) II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Duwet (Syzygium cumini) Duwet atau Jamblang tergolong tumbuhan buah-buahan yang berasal dari Asia dan Australia tropik yang termasuk dalam famili Myrtaceae yang biasa ditanam di

Lebih terperinci

Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman

Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman Kasma Rusdi (G11113006) Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014 Abstrak Warna hijau pada daun merupakan salah

Lebih terperinci

UNIVERSITAS SETIA BUDI FAKULTAS FARMASI Program Studi S1 Farmasi Jl. Letjen. Sutoyo. Telp (0271) Surakarta 57127

UNIVERSITAS SETIA BUDI FAKULTAS FARMASI Program Studi S1 Farmasi Jl. Letjen. Sutoyo. Telp (0271) Surakarta 57127 UNIVERSITAS SETIA BUDI FAKULTAS FARMASI Program Studi S1 Farmasi Jl. Letjen. Sutoyo. Telp (0271) 852518 Surakarta 57127 UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2006 / 2007 Mata Kuliah : Fitokimia II

Lebih terperinci

4. STABILITAS ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) DALAM MINUMAN MODEL

4. STABILITAS ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) DALAM MINUMAN MODEL 4. STABILITAS ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) DALAM MINUMAN MODEL PENDAHULUAN Antosianin telah digunakan secara luas sebagai pewarna alami untuk pangan (Mateus & Freitas, 2009). Problem utama dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lainnya. Secara visual, faktor warna berkaitan erat dengan penerimaan suatu

I. PENDAHULUAN. lainnya. Secara visual, faktor warna berkaitan erat dengan penerimaan suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu suatu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor di antaranya cita rasa, warna, tekstur, nilai gizi, dan faktor lainnya. Secara visual, faktor

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG

PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG SKRIPSI PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L) TERHADAP STABILITAS WARNA SARI BUAH BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L) Oleh : RISKA PRATAMA KUSUMAWATI F24103129

Lebih terperinci

PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA

PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA SKRIPSI PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI ANTOSIANIN DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DENGAN BRAZILEIN DARI KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.) TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN RINGAN

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Warna Larutan Fikosianin Warna Larutan secara Visual

4. PEMBAHASAN 4.1. Warna Larutan Fikosianin Warna Larutan secara Visual 4. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, dilakukan ekstraksi fikosianin dari spirulina yang digunakan sebagai pewarna alami pada minuman. Fikosianin ini memberikan warna biru alami, sehingga tidak memberikan

Lebih terperinci

MERAH-UNGU ANTOSIANIN

MERAH-UNGU ANTOSIANIN MERAH-UNGU ANTOSIANIN Antosianin Antosianin merupakan senyawa berwarna yang bertanggung jawab untuk kebanyakan warna merah, biru, dan ungu pada buah, sayur, dan tanaman hias. [39] Senyawa ini termasuk

Lebih terperinci

EKSTRAKSI PIGMEN ANTOSIANIN DARI KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus)

EKSTRAKSI PIGMEN ANTOSIANIN DARI KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 3, No. (Juni 4) EKSTRAKSI PIGMEN ANTOSIANIN DARI KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) Lidya Simanjuntak, Chairina Sinaga, Fatimah Departemen Teknik Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

APLIKASI EKSTRAK PIGMEN DARI BUAH ARBEN (Rubus idaeus (Linn.)) PADA MINUMAN RINGAN DAN KESTABILANNYA SELAMA PENYIMPANAN

APLIKASI EKSTRAK PIGMEN DARI BUAH ARBEN (Rubus idaeus (Linn.)) PADA MINUMAN RINGAN DAN KESTABILANNYA SELAMA PENYIMPANAN APLIKASI EKSTRAK PIGMEN DARI BUAH ARBEN (Rubus idaeus (Linn.)) PADA MINUMAN RINGAN DAN KESTABILANNYA SELAMA PENYIMPANAN Application of Red Raspberry s (Rubus idaeus (Linn.)) Extract Pigment In Softdrink

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Akan tetapi, perubahan gaya hidup dan pola makan yang tak sehat akan

BAB 1 PENDAHULUAN. Akan tetapi, perubahan gaya hidup dan pola makan yang tak sehat akan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan dan sosial mulai timbul ketika usia harapan hidup bertambah. Hal ini menyebabkan adanya perubahan pola hidup pada diri manusia. Akan tetapi, perubahan

Lebih terperinci

PEWARNA ALAMI; Sumber dan Aplikasinya pada Makanan & Kesehatan, oleh Dr. Mutiara Nugraheni, S.T.P., M.Si. Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko

PEWARNA ALAMI; Sumber dan Aplikasinya pada Makanan & Kesehatan, oleh Dr. Mutiara Nugraheni, S.T.P., M.Si. Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko PEWARNA ALAMI; Sumber dan Aplikasinya pada Makanan & Kesehatan, oleh Dr. Mutiara Nugraheni, S.T.P., M.Si. Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-4462135; 0274-882262;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti Indonesia. Salah satu genus umbi-umbian yaitu genus Dioscorea atau

BAB I PENDAHULUAN. seperti Indonesia. Salah satu genus umbi-umbian yaitu genus Dioscorea atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanaman umbi-umbian dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Salah satu genus umbi-umbian yaitu genus Dioscorea atau uwi-uwian. Genus Dioscorea

Lebih terperinci

UJI DAYA REDUKSI EKSTRAK DAUN DEWANDARU (Eugenia uniflora L.) TERHADAP ION FERRI SKRIPSI

UJI DAYA REDUKSI EKSTRAK DAUN DEWANDARU (Eugenia uniflora L.) TERHADAP ION FERRI SKRIPSI UJI DAYA REDUKSI EKSTRAK DAUN DEWANDARU (Eugenia uniflora L.) TERHADAP ION FERRI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai Derajat Sarjana Farmasi (S. Farm) Progam Studi Ilmu Farmasi pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Glikosida Glikosida merupakan salah satu senyawa jenis alkaloid. Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder pada jaringan tumbuhan dan hewan yang memiliki atom nitrogen (Hartati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minuman herbal merupakan salah satu minuman berbahan dasar tumbuhan alami yang berkhasiat bagi tubuh. Minuman herbal dibuat dengan dasar rempahrempah, akar, batang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bunga Rosella 1. Klasifikasi Dalam sistematika tumbuhan, kelopak bunga rosella diklasifikasikan sebagai berikut : Gambar 1. Kelopak bunga rosella Kingdom : Plantae Divisio :

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut 4. PEMBAHASAN Pembuatan minuman serbuk daun katuk dan jambu biji merah merupakan sebuah penelitian pengembangan produk yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai fungsional pada bahan alami dengan lebih mudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permen adalah produk makanan selingan yang terbuat dari gula/ pemanis, air, dan bahan tambahan makanan (pewarna dan flavoring agent). Permen banyak digunakan sebagai

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran IPA disekolah menengah, khususnya materi asam basa, indikator ph atau indikator asam basa diperlukan pada praktikum untuk mengetahui ph suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri pangan karena mempunyai banyak kelebihan, diantaranya adalah proses

BAB I PENDAHULUAN. industri pangan karena mempunyai banyak kelebihan, diantaranya adalah proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, zat pewarna sintetik lebih banyak beredar dan dipakai oleh industri pangan karena mempunyai banyak kelebihan, diantaranya adalah proses produksinya lebih

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikator ph sangat penting keberadaannya karena digunakan untuk menguji dan mengetahui hasil yang berupa derajat keasaman ataupun kebasaan suatu zat. Hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi, diantaranya mengandung vitamin C, vitamin A, sejumlah serat dan

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi, diantaranya mengandung vitamin C, vitamin A, sejumlah serat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah pisang merupakan buah yang sering dikonsumsi oleh masyarakat dibandingkan dengan buah yang lain. Buah pisang memiliki kandungan gizi yang tinggi, diantaranya mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil olahan fermentasi sudah banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain. Salah satu yang populer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anorganik dan limbah organik. Limbah anorganik adalah limbah yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. anorganik dan limbah organik. Limbah anorganik adalah limbah yang berasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Limbah merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah terpakai, baik dalam skala rumah tangga, industri, pertambangan dan lainlain. Limbah berdasarkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang 20 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang Analisis Pati dan Karbohidrat), Laboratorium Pengolahan Limbah Hasil

Lebih terperinci

5. PERBAIKAN INTENSITAS DAN STABILITAS WARNA ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) SECARA KOPIGMENTASI INTERMOLEKULAR

5. PERBAIKAN INTENSITAS DAN STABILITAS WARNA ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) SECARA KOPIGMENTASI INTERMOLEKULAR 5. PERBAIKAN INTENSITAS DAN STABILITAS WARNA ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini) SECARA KOPIGMENTASI INTERMOLEKULAR PENDAHULUAN Antosianin buah duwet berpotensi digunakan sebagai pewarna alami untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikator asam basa adalah zat yang warnanya bergantung pada ph larutan atau zat yang dapat menunjukkan sifat asam, basa, dan netral pada suatu larutan (Salirawati,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumping Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di Indonesia sumping dikenal dengan kue nagasari. Sumping umumnya dibuat dari tepung beras, santan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN BUNGA ROSELA KERING

KARAKTERISTIK DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN BUNGA ROSELA KERING KARAKTERISTIK DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN BUNGA ROSELA KERING (Hibiscus sabdariffa L.) SKRIPSI Oleh : Dina Setya Budi Usman NPM : 0533010026 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

bahwa ternyata zat warna sintetis banyak mengandung azodyes (aromatic

bahwa ternyata zat warna sintetis banyak mengandung azodyes (aromatic 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut sejarah, penggunaan zat warna, telah dimulai sejak berabad abad seiring dengan perkembangan peradaban manusia yaitu sejak masa prasejarah hingga kini. Jenis zat

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PANGAN KARBOHIDRAT II UJI MOORE. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Praktikum Biokimia Pangan

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PANGAN KARBOHIDRAT II UJI MOORE. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Praktikum Biokimia Pangan LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PANGAN KARBOHIDRAT II UJI MOORE Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Praktikum Biokimia Pangan Oleh : Nama : Kezia Christianty C NRP : 123020158 Kel/Meja : F/6 Asisten : Dian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikator asam basa adalah suatu bahan yang dapat mengidentifikasi sifat asam dan basa suatu larutan. Apabila suatu bahan indikator diujikan terhadap larutan

Lebih terperinci

Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.)

Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) Jurnal Gradien Vol. 12 No. 2 Juli 2016: 1187-1191 Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) Dwita Oktiarni *, Siti Nur Khasanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka perlu untuk segera dilakukan diversifikasi pangan. Upaya ini dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. maka perlu untuk segera dilakukan diversifikasi pangan. Upaya ini dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahun mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan akan komoditas pangan. Namun, hal ini tidak diikuti dengan peningkatan produksi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) merupakan tumbuhan sejati yang hidup di kawasan mangrove. Morfologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digantikan oleh pewarna sintetik. Selain harganya lebih murah, proses

BAB I PENDAHULUAN. digantikan oleh pewarna sintetik. Selain harganya lebih murah, proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini membuat penggunaan pewarna alami semakin berkurang dalam industri pangan yang digantikan oleh pewarna sintetik.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Snack telah menjadi salah satu makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia mengonsumsi snack karena kepraktisan dan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan senyawa yang terbentuk secara alamiah di

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan senyawa yang terbentuk secara alamiah di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radikal bebas merupakan senyawa yang terbentuk secara alamiah di dalam tubuh dan terlibat hampir pada semua proses biologis mahluk hidup. Senyawa radikal bebas mencakup

Lebih terperinci

SKRIPSI. APLIKASI KOMBINASI BUBUK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET ALAMI PADA MI BASAH MATANG. Oleh: ADI PUTRA F

SKRIPSI. APLIKASI KOMBINASI BUBUK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET ALAMI PADA MI BASAH MATANG. Oleh: ADI PUTRA F SKRIPSI APLIKASI KOMBINASI BUBUK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET ALAMI PADA MI BASAH MATANG Oleh: ADI PUTRA F24103097 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG 49 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kandungan Klorofil Pada Ekstrak Sebelum Pengeringan dan Bubuk Klorofil Terenkapsulasi Setelah Pengeringan Perhitungan kandungan klorofil pada ekstrak sebelum pengeringan

Lebih terperinci

SKRIPSI EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK COOKIES DAN DONAT TEPUNG TERIGU YANG DISUBSTITUSI PARSIAL DENGAN TEPUNG BEKATUL

SKRIPSI EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK COOKIES DAN DONAT TEPUNG TERIGU YANG DISUBSTITUSI PARSIAL DENGAN TEPUNG BEKATUL SKRIPSI EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK COOKIES DAN DONAT TEPUNG TERIGU YANG DISUBSTITUSI PARSIAL DENGAN TEPUNG BEKATUL Oleh: Indira Saputra F24103088 2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,-

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,- Anggaran Tabel 2. Rencana Anggaran No. Komponen Biaya Rp 1. Bahan habis pakai ( pemesanan 2.500.000,- daun gambir, dan bahan-bahan kimia) 2. Sewa alat instrument (analisa) 1.000.000,- J. Gaji dan upah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

SKRIPSI. STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT. Oleh NANDA HADITTAMA F

SKRIPSI. STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT. Oleh NANDA HADITTAMA F SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT Oleh NANDA HADITTAMA F24050806 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

III METODOLOGI PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah duwet yang diperoleh dari Jember Jawa Timur. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah etanol, aquadest,

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A PEMANFAATAN LIMBAH AIR LERI BERAS IR 64 SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN SIRUP HASIL FERMENTASI RAGI TEMPE DENGAN PENAMBAHAN KELOPAK BUNGA ROSELLA SEBAGAI PEWARNA ALAMI NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh : PUJI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. secara kimia (warna sintetis) dan warna yang dihasilkan oleh makhluk hidup yang biasa.

PENDAHULUAN. secara kimia (warna sintetis) dan warna yang dihasilkan oleh makhluk hidup yang biasa. PENDAHULUAN Pada proses fotosintesis tumbuhan memerlukan cahaya matahari,untuk menangkap cahaya tumbuhan menggunakan pigmen yang disebut klorofil. Pigmen inilah yang memberi warna hijau pada tumbuhan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk umbi dengan kadar gizi berupa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia kaya akan berbagai jenis tanaman umbi-umbian, baik

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia kaya akan berbagai jenis tanaman umbi-umbian, baik BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia kaya akan berbagai jenis tanaman umbi-umbian, baik yang dibudidayakan maupun yang hidup liar di hutan. Umbi merupakan tanaman yang banyak mengandung

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU FORMALINNYA. Oleh: TEDDY F

SKRIPSI PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU FORMALINNYA. Oleh: TEDDY F SKRIPSI PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN TERHADAP KEAWETAN BAKSO DAN CARA PENGOLAHAN BAKSO TERHADAP RESIDU FORMALINNYA Oleh: TEDDY F24103118 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut terhadap kemampuan ekstrak daun beluntas (Pluchea indica Less.) dalam menghambat oksidasi gula. Parameter

Lebih terperinci

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Secang atau Caesalpinia sappan L merupakan tanaman semak atau pohon rendah dengan ketinggian 5-10 m. Tanaman ini termasuk famili Leguminoceae dan diketahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es krim merupakan makanan padat dalam bentuk beku yang banyak disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga manula. Banyaknya masyarakat yang

Lebih terperinci

UJI ORGANOLEPTIK DAN KANDUNGAN VITAMIN C PADA PEMBUATAN SELAI BELIMBING WULUH DENGAN PENAMBAHAN BUAH KERSEN DAN BUNGA ROSELA

UJI ORGANOLEPTIK DAN KANDUNGAN VITAMIN C PADA PEMBUATAN SELAI BELIMBING WULUH DENGAN PENAMBAHAN BUAH KERSEN DAN BUNGA ROSELA UJI ORGANOLEPTIK DAN KANDUNGAN VITAMIN C PADA PEMBUATAN SELAI BELIMBING WULUH DENGAN PENAMBAHAN BUAH KERSEN DAN BUNGA ROSELA NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Minuman Sari Buah Duwet Tahap pertama dari penelitian ini adalah pembuatan minuman sari buah dengan bahan dasar buah duwet. Pembuatan minuman sari buah dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

SKRIPSI. STABILITAS SEDIAAN BUBUK PEWARNA ALAMI DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) YANG DIPRODUKSI DENGAN METODE SPRAY DRYING DAN TRAY DRYING

SKRIPSI. STABILITAS SEDIAAN BUBUK PEWARNA ALAMI DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) YANG DIPRODUKSI DENGAN METODE SPRAY DRYING DAN TRAY DRYING SKRIPSI STABILITAS SEDIAAN BUBUK PEWARNA ALAMI DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) YANG DIPRODUKSI DENGAN METODE SPRAY DRYING DAN TRAY DRYING Oleh SANTY ERNAWATI F24051174 2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

Madu tidak hanya bermanfaat dalam bidang pangan, tapi juga bermanfaat dalam bidang kesehatan dan kecantikan. Karena kandungan madu yang kaya akan

Madu tidak hanya bermanfaat dalam bidang pangan, tapi juga bermanfaat dalam bidang kesehatan dan kecantikan. Karena kandungan madu yang kaya akan Bab I Pendahuluan Sejak zaman dahulu, madu telah menjadi produk penting yang digunakan oleh berbagai suku bangsa sebagai bagian dari bahan makanan dan minuman [1]. Madu merupakan suatu cairan manis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pelepasan logam berat ke lingkungan dapat disebabkan oleh beberapa proses seperti pembuangan limbah dari proses penyepuhan, pertambangan, dan electroplating yang dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kosmetik adalah sediaan atau panduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, organ kelamin bagian luar,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit hipertensi termasuk penyakit kronik akibat gangguan sistem

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit hipertensi termasuk penyakit kronik akibat gangguan sistem I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit hipertensi termasuk penyakit kronik akibat gangguan sistem sirkulasi darah yang menjadi masalah besar bagi masyarakat. Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, 22 III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Laboratorium Pengolahan Limbah Hasil Pertanian

Lebih terperinci

STUDI EFEKTIVITAS BAHAN PENGAWET ALAMI DALAM PENGAWETAN TAHU. Ria Mariana Mustafa

STUDI EFEKTIVITAS BAHAN PENGAWET ALAMI DALAM PENGAWETAN TAHU. Ria Mariana Mustafa STUDI EFEKTIVITAS BAHAN PENGAWET ALAMI DALAM PENGAWETAN TAHU Ria Mariana Mustafa PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN RIA MARIANA

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka. Penelitian, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat Penelitian.

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka. Penelitian, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat Penelitian. 12 I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis, dan

Lebih terperinci

SKRIPSI PEMETAAN TEKSTUR DAN KARAKTERISTIK GEL HASIL KOMBINASI KARAGENAN DAN KONJAK. Oleh : VERAWATY F

SKRIPSI PEMETAAN TEKSTUR DAN KARAKTERISTIK GEL HASIL KOMBINASI KARAGENAN DAN KONJAK. Oleh : VERAWATY F SKRIPSI PEMETAAN TEKSTUR DAN KARAKTERISTIK GEL HASIL KOMBINASI KARAGENAN DAN KONJAK Oleh : VERAWATY F24104109 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Verawaty. F24104109. Pemetaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asam dan basa sudah dikenal sejak lama dan disebut dengan istilah ph (pangkat Hidrogen). Larutan asam mempunyai rasa asam dan bersifat korosif (merusak logam, marmer,

Lebih terperinci

Bahan Tambahan Pangan (Food Additive)

Bahan Tambahan Pangan (Food Additive) Bahan Tambahan Pangan (Food Additive) A. Tujuan menambahkan bahan tambahan pangan ke dalam makanan: 1. Meningkatkan mutu pangan 2. Meningkatkan daya tarik 3. Mengawetkan pangan B. Macam-macam Bahan Tambahan

Lebih terperinci