BAB I PENDAHULUAN. merupakan hakekat demokrasi (Held, 2007). Pada aras lokal hakekat demokrasi
|
|
- Ratna Lie
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebebasan dan kesetaraan individu dalam kontestasi perebutan jabatan publik merupakan hakekat demokrasi (Held, 2007). Pada aras lokal hakekat demokrasi universal tersebut menjadi pintu bagi penerapan liberalisasi politik di Timor Tengah Utara (TTU) yang secara normatif menghendaki lahirnya pimpinan politik yang memenuhi aspek keabsahan, representatif, responsif dan akuntabel melalui mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32/2004. Namun, desentralisasi politik juga menimbulkan dinamika baik di ranah politik maupun birokrasi akibat adanya formalisasi kepentingan pribadi dalam balutan produk kebijakan maupun informalisasi interaksi antara petahana dengan birokrat yang cenderung mengedepankan aspek kepentingan personalitas daripada kepentingan publik. Pelaksanaan Pilkada di Timor Tengah Utara (TTU) pada tahun 2010 sebagai wujud desentralisasi politik pada aras lokal mendorong kompetisi antara petahana bupati dengan petahana wakil bupati semakin ketat untuk memperebutkan jabatan kepala daerah dengan berbagai intrik politiknya. Ketatnya kompetisi antara kedua petahana, mendorong mereka memanfaatkan birokrasi sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Lemahnya infrastruktur partai politik di TTU menjadi alasan mengapa petahana lebih tertarik memanfaatkan birokrasi sebagai mesin politik, yang memang memiliki fungsi, sumber daya dan struktur yang luas. 1
2 Bagi bupati, secara normatif peluang tersebut memang terbuka lebar, karena kepala daerah memiliki otoritas dalam menentukan nasib PNS di TTU. Bupati juga memiliki kekuasaan dalam menentukan besar kecilnya peran wakil bupati dalam pemerintahan lokal. Ambisi untuk mempertahankan kekuasaan pada periode berikutnya menjadikan bupati melakukan pendistribusian kekuasaan secara tidak proporsional kepada wakil bupati. Bahkan dengan sumber daya yang melekat pada diri kepala daerah, secara formal ia mampu melakukan intrik-intrik politik dengan mengatasnamakan efisiensi dan efektifitas kinerja birokrasi dengan cara melakukan karantina politik terhadap wakilnya. Akibatnya pada jajaran elit birokrasi di TTU, mereka cenderung melakukan komunikasi dan koordinasi secara langsung kepada bupati tanpa melalui wakil bupati. Kondisi seperti ini terus dipertahankan dalam upaya untuk menciptakan citra di masyarakat bahwa wakil bupati tidak pernah berperan dalam pemerintahan dan pembangunan. Disparitas kekuasaan antara bupati dengan wakil bupati ini semakin memperuncing kontestasi politik keduanya, karena wakil bupati secara diam-diam juga melakukan perlawanan politik melalui jalur informal. Pengucilan wakil bupati dalam jajaran pemerintahan daerah, ternyata berdampak pada meningkatnya simpati birokrat tingkat bawah mengarahkan dukungan politiknya kepada wakil bupati. Pencitraan politik sebagai pihak yang teraniaya oleh otoritarian bupati dan elit birokrat lokal menjadi senjata bagi wakil bupati meningkatkan elektabilitas menjelang pelaksanaan Pilkada
3 Politik pengucilan yang diterapkan oleh petahana bupati terhadap petahana wakil bupati pada akhirnya menempatkan birokrasi dalam pusaran kepentingan keduanya. Dengan demikian birokrasi di TTU berada dalam posisi yang tidak menentu, antara memberikan loyalitas kepada bupati atau kepada wakil bupati, kondisi birokrasi yang terfragmentasi ini pada akhirnya menciptakan birokrat yang partisan dan pragmatis. Fenomena ini memperlihatkan bahwa potensi sumber daya dan posisi birokrasi yang strategis sebagai aktor intermediary antara penguasa dengan masyarakat menjadi daya tarik bagi kedua petahana melakukan konsolidasi politik dengan caranya masing-masing. Birokrat melihat konflik kedua petahana bukan menjadi hambatan dalam memperbaiki karier di birokrasi, malahan menjadi momentum untuk menentukan pilihan politiknya dengan melakukan penghitungan berbagai kalkulasi ekonomi politik. Akibatnya interaksi antara birokrat dengan petahana diwarnai dengan intrikintrik tertentu yang bermuara pada upaya mewujudkan kepentingan pribadi masingmasing. Posisi strategis birokrasi yang memiliki jaringan dan struktur yang luas dan adanya dukungan fasilitas yang memadai di satu sisi merupakan modal bagi birokrat meningkatkan posisi tawar dalam melakukan transaksi politik dengan petahana. Bagi politisi, birokrat dimanfaatkan menjadi instrumen politik untuk menjaring dukungan politik masyarakat dengan kecenderungan melakukan dupilkasi preferensi pribadi petahana dalam bentuk kebijakan politik. Situasi demikian secara internal menciptakan birokrasi yang terpolarisasi dan terfragmentasi berdasarkan pada afiliasi politik. 3
4 Gambaran mengenai situasi politik yang melingkupi interaksi antara birokrat dengan petahana di TTU semakin menunjukkan bahwa penerapan desentralisasi ternyata tidak hanya terkait dengan pendelegasian fungsi-fungsi pemerintahan dari pusat kepada daerah, tetapi juga meliputi konteks desentralisasi politik yang secara normatif merupakan instrumen untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah terutama dalam mendorong pemerintahan daerah yang akuntabel, responsif dan transparan (Kacung Marijan, 2005). Namun, realitasnya desentralisasi politik menunjukkan adanya masalah yang lebih mendasar lagi yaitu masalah persaingan kekuasaan (Hadiz, 2005). Hal ini ditunjukkan dengan adanya fenomena perubahan wajah baik politisi maupun birokrasi. Politisi yang seharusnya merespon setiap aspirasi masyarakat beralih melakukan formalisasi kepentingan pribadi yang dikemas dalam bentuk produk kebijakan populis. Begitupula, birokrasi yang secara normatif sebagai public servant telah memiliki kepribadian ganda yaitu sebagai instrumen politik petahana sekaligus sebagai aktor yang aktif berpolitik dalam rangka memenangkan persaingan dalam memperebutkan jabatan publik. Dalam konteks ini terjadi interaksi yang membentuk pola tertentu. Interaksi antara dua petahana membentuk pola konflik terbuka, dan interaksi antara birokrat dengan petahana bupati cenderung dalam balutan hubungan formal dan informal, formal, bahwa hubungan tersebut terjadi melalui ranah struktur dalam pemerintahan di TTU, informal, melalui lobi-lobi dan komunikasi informal dengan birokrat, sedangkan hubungan antara birokrat dengan 4
5 petahana wakil bupati cenderung melalui jalur informal, yang menarik bahwa hubungan internal birokrasi terjadi intrik-intrik yang mengarah kepada konflik laten. Berdasarkan fenomena politik yang terjadi di TTU, studi terhadap pola interaksi politik birokrat dengan petahana penting dan relevan dalam rangka, secara akademis menambah referensi studi rational choice, dan secara praktis memperoleh bahan referensi yang relevan mengenai bagaimana dinamika interaksi politik birokrat dan petahana dalam Pilkada. Walaupun secara normatif atmosfer politik di Indonesia menuntut adanya netralitas birokrasi, ternyata hal itu masih sekedar menjadi obsesi. Bahkan, birokrat dan petahana di Kabupaten Timor Tengah Utara masih menunjukkan pola tarik-menarik kepentingan yang berujung pada praktek saling kompromi dan saling memanfaatkan untuk mewujudkan preferensi ekonomi-politik para aktor secara optimal. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan; Bagaimanakah dinamika interaksi politik antara birokrat dengan petahana di Timor Tengah Utara dalam Pilkada 2010? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menggambarkan dinamika interaksi politik antara birokrat dengan petahana di Timor Tengah Utara dalam Pilkada
6 D. Literatur Review Dinamika birokrasi terutama yang bersentuhan dengan politik masih relevan untuk dikaji. Institusi birokrasi yang memiliki seperangkat aturan formal yang menjadi pedoman bagi perilaku birokrat sebagai pelayan publik yang profesional, netral dan non- partisan, ternyata sulit untuk direalisasikan dalam dunia nyata. Hal ini disebabkan birokrasi dalam menjalankan fungsinya tidak bisa lepas dari tarik ulur kepentingan politik. Posisi birokrasi yang selalu berada dalam pusaran politik tersebut, tidak terlepas dari perubahan sistem politik nasional yang menciptakan mekanisme Pilkada langsung di daerah yang pada akhirnya menempatkan pemimpin politik sebagai kepala pemerintahan tertinggi di daerah. Dengan demikian, Pilkada menjadi momentum bagi birokrat untuk terjun ke dalam dunia politik dalam rangka untuk mempertahankan atau kalau memungkinkan sebagai sarana perbaikan jabatan kariernya. Studi mengenai relasi birokrasi dengan politik di aras lokal selama ini lebih menitik beratkan pada aspek birokrasi sebagai mesin politik bagi petahana untuk mempertahankan jabatan politiknya, atau sebaliknya birokrat memanfaatkan politisi dalam ranah pilkada. Politisasi birokrasi dalam studi-studi tersebut melihat bahwa pemanfaatan birokrasi sebagai alat politik merupakan bentuk konsolidasi politik yang efektif bagi petahana. Sehingga dalam proses tersebut dibayangkan birokrasi sematamata bersikap pasif, tidak memiliki bargaining position dan tidak memiliki self interest ekonomi-politik. Padahal, sebagai individu sekaligus aktor yang menerjemahkan berbagai kebijakan politik kepala daerah, birokrat menempati posisi 6
7 sebagai intermediary antara kepala daerah dengan masyarakat. Posisi ini secara politis sangat strategis, mengingat kebijakan politik tidak hanya sebagai wujud kepala daerah merealisasikan kepentingan konstituen maupun masyarakat, namun juga sebagai cermin bagi kinerja sekaligus sarana mewujudkan preferensi politik kepala daerah, yaitu untuk mempertahankan jabatan paling tidak untuk satu periode berikutnya. Dengan demikian, efektifitas suatu kebijakan politik yang dibuat kepala daerah untuk mencapai tujuan politiknya sangat tergantung kepada loyalitas birokrasi terhadap kepala daerah itu sendiri. Santoso (2008) dalam studinya mengenai mobilisasi birokrasi di lingkungan pemerintah kota Singkawang oleh petahana menjelang pilkada tahun 2007 menemukan hubungan birokrasi dengan politik bersifat resiprokal, masing-masing pihak saling melakukan pertukaran sumber daya yang dimiliki. Informasi dan anggaran birokrasi digunakan sebagai sarana mendukung kebijakan petahana dan memberikan loyalitas bagi pencapaian tujuan politik bupati. Selanjutnya, bupati yang memiliki otoritas tertinggi di pemerintahan daerah memberikan konpensasi terhadap kesetiaan birokrat tersebut berupa jaminan keamanan dan jenjang karier birokrat. Penelitian ini hanya menggambarkan hubungan birokrasi dengan politik yang bersifat resiprokal dan mutualis. Limitasi penelitian ini tidak menjelaskan bagaimana kondisi internal birokrasi dalam situasi politik demikian, penelitian ini seolah-olah menafikkan bahwa dalam internal birokrasi sebenarnya terdapat fragmentasi dan konflik tersembunyi antar birokrat yang memiliki afiliasi, preferensi politik maupun self interest yang tidak sama. 7
8 Martini (2010) dalam kajiannya mengenai politisasi birokrasi di Indonesia memperlihatkan bahwa kepala daerah mampu menggunakan jabatannya sebagai instrumen untuk melakukan politisasi birokrasi yang meliputi beberapa pola, seperti; mempolitisir fasilitas negara, memobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada, pemberian kompensasi jabatan kepada birokrat yang loyal, pencopotan jabatan karier maupun demosi kepada birokrat yang tidak loyal, melakukan politisasi kebijakan. Keterbatasan penelitian ini hanya melihat adanya dominasi birokrasi oleh pimpinan politik, dan tidak menganalisis lebih dalam apakah dalam tubuh birokrasi terjadi perlawanan terhadap dominasi kepala daerah, mengingat dalam tubuh birokrasi memiliki sumber daya tertentu sebagai modal bagi birokrat melawan dominasi tersebut. Selanjutnya, Murdi (2006) yang melakukan penelitian relasi antar elit birokrasi dan elit partai politik (parpol) pada pemilihan kepala daerah di Kabupaten Lombok Tengah, mengidentifikasi dua pola relasi antar elit birokrasi dengan parpol yaitu pola relasi yang mengelompok dan pola relasi yang menyebar. Relasi yang mengelompok terjadi pada sebagian kecil elit birokrasi lapisan menengah ke bawah (camat dan kepala desa) yang mengarahkan dukungan ke kubu elit partai politik yang mengusung mantan bupati Lombok Tengah periode Pola relasi menyebar terjadi pada setiap lapisan birokrasi yang mengarahkan dukungannya ke setiap kubu elit partai politik. Dalam studi ini, seperti temuan penelitian terdahulu, tidak menjelaskan bagaimana dinamika politik dalam ranah internal birokasi sebagai akibat adanya perbedaan politik di tingkat birokrat dalam konteks pilkada. 8
9 Studi tentang relasi birokrasi dan politisi dalam skala lokal juga dilakukan oleh Zuhro (ed) (2009) di empat daerah, yaitu Gianyar, Solok, Bojonegoro dan Bone yang menunjukkan beberapa temuan. Pada kasus Gianyar, terjadi intervensi kepemimpinan politik di birokrasi yang akhirnya mendorong terjadinya polarisasi politik yang sangat tajam di internal birokrat. Hal ini menyebabkan posisi bupati menjadi dilematis, antara mengakomodasi birokrat yang tidak mendukung atau menyingkirkannya. Pilihan ini sulit karena ternyata sebagian besar birokrat yang tidak mendukung bupati berasal dari eselon tinggi yang jumlahnya terbatas. Dengan posisi tawar birokrat yang relatif tinggi tersebut, tidak ada pilihan lain bagi bupati merangkul semua kalangan birokrasi tanpa melihat posisi politiknnya. Berbeda dengan temuan penelitian terdahulu, studi ini memperlihatkan bahwa ternyata peran birokrasi relatif dominan dalam proses-proses formal prosedural pemerintahan sehingga politisi menjadi tergantung pada kemampuan teknis dan sumber daya yang dimiliki birokrasi. Namun penelitian ini tidak memperlihatkan mengapa kepala daerah tidak mampu melakukan manuver politik dan melakukan tekanan kepada birokrat mengingat secara normatif bupati memiliki kekuasaan dan otoritas yang besar baik sebagai kepala pemerintahan dan kepala daerah. Secara umum, temuan pada studi-studi relasi antara birokrasi dengan politik tersebut dapat dipetakan dalam dua ketegori. Pertama, studi yang berargumentasi bahwa relasi antara birokrasi dengan kepala daerah membentuk pola bahwa kepala daerah memanfaatkan birokrasi sebagai alat politik dalam pilkada, di sini memperlihatkan bahwa seolah-olah birokrasi pasif dan tidak memiliki orientasi 9
10 politik. Kedua, studi yang berargumentasi bahwa relasi antara birokrasi dengan politik memperlihatkan pola bahwa kepala daerah dimanfaatkan oleh birokrasi, seolah-olah kepala daerah tidak mampu menghadapi manuver politik birokrasi. Penelitian ini mencoba menjembatani limitasi dari studi-studi di atas, bahwa interaksi antara birokrat dengan petahana sebenarnya terjadi dinamika yang mana keduanya saling memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk mempertahankan kekuasaan masing-masing. Besarnya kekuasaan petahana sebagai kepala pemerintahan dan kepala wilayah, secara politis maupun administratif memungkinkan dapat mengkooptasi birokrasi sebagai mesin politik yang potensial. Birokrasi yang seharusnya sebagai locus kerja aparat negara yaitu sebagai public servant oleh petahana dijadikan sebagai instrumen untuk mempertahankan kekuasaannya. Besarnya peran, fungsi dan struktur birokrasi menjadi godaan bagi petahana memanfaatkan birokrasi dalam kehidupan politik praktis. Politisasi birokrasi tidak hanya dilakukan dalam bentuk-bentuk rekrutmen dan mutasi PNS semata, tetapi juga melalui keputusan-keputusan politik yang seolah-olah populis. Politisasi birokrasi tersebut memperlihatkan bagaimana kepala daerah menggunakan birokrasi secara institusional maupun secara personal dengan memanfaatkan kedekatan dengan aktoraktor yang ada di birokrasi terutama yang dipandang punya pengaruh formal maupun informal. Namun disisi lain, bagi sebagaian birokrat situasi politik internal birokrasi ini menjadi peluang untuk mewujudkan tujuan politiknya dengan terus memanfaatkan kekuasaan kepala daerah sebagai sandaran politiknya. Disini terlihat jelas bahwa 10
11 birokrasi yang seharusnya menjalankan prinsip-prinsip spesialisasi, profesionalitas dan meritokrasi, dengan mudah berubah wajah menjadi birokrasi yang mementingkan kepentingan pribadi. Dalam kaitannya dengan pilkada, kecenderungan dimana politisi berusaha mempertahankan kekuasannya dengan berbagai manuver politiknya, birokrat juga memanfaatkan kontestasi politik kedua petahana dengan melakukan manipulasi politik untuk mempertahankan posisinya. Argumentasi dalam penelitian ini adalah bahwa birokrasi bukan sekedar instrumen politik bagi petahana untuk melanggengkan dominasi dan kuasanya, namun ternyata birokrasi juga sebagai aktor aktif yang mampu mengendalikan dinamika politik berdasarkan atas sumber daya tertentu yang dimilikinya. Penelitian ini mencoba memperlihatkan adanya dinamika interaksi antara birokrat dengan petahana yang membentuk pola saling mempolitisir. Penelitian ini tidak hanya melihat pola-pola interaksi antara birokrat dengan petahana, namun juga menganalisis bagaimana birokrat merespon manuver yang dilakukan petahana dengan melakukan intrik-intrik politik baik dalam ranah kebijakan maupun politik praktis dan bagaimana resistensi yang terjadi di dalam birokrasi itu sendiri menghadapi fragmentasi politik dalam tubuh birokrasi sebagai akibat dari rivalitas kedua petahana. 11
12 E. Kerangka Teoritik E.1. Perspektif Pilihan Rasional Pilihan rasional merupakan konstruksi teori ekonomi klasik Adam Smith yang berasumsi bahwa manusia bertindak selalu berdasarkan atas kepentingan pribadi yang selanjutnya oleh Anthony Downs (1957) direplikasi pada sektor administrasi publik. Prinsip ekonomi yang mengedepankan aspek interest pribadi masing-masing individu ke dalam sektor publik dalam realitasnya melahirkan dinamika interaksi antara birokrat dengan governing elite. Dalam interaksi tersebut terjadi proses pertukaran selayaknya yang terjadi dalam perilaku ekonomi melalui proses negosiasi berdasarkan atas perhitungan kalkulasi ekonomi sebagai manifestasi dari kepentingan diri masing-masing pribadi aktor tersebut. Oleh John Scott dalam Gary Browning (2000) konsepsi teori pilihan rasional tersebut sebagai exchange theory, karena di dalamnya terjadi proses pertukaran antar aktor yang didasarkan adanya motivasi insentif untuk memperoleh sesuatu (reward) dengan menciptakan manfaat (benefit). Dalam merealisasikan tujuannya individu selalu menggunakan seperangkat preferensi berdasarkan tingkatan kepentingannya. Untuk mencapai preferensi tersebut, aktor bertindak dan berperilaku secara instrumental, artinya mereka bertindak dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam kaitannya dengan kekuasaan maupun otoritas yang dimiliki seseorang, maka ia akan bertindak menggunakan kekuasaan maupun otoritas tersebut sebagai alat untuk mencapai kepentingan pribadinya. Secara strategis dengan otoritas yang dimilikinya mampu menyulap suatu kebijakan publik sebagai bemper untuk 12
13 memperlancar tujuan politiknya. Maka aktor akan menggunakan kebijakan tersebut bahkan kalau memungkinkan akan memanfaatkan institusi formal sebagai alat kamuflase politik. Secara normatif, institusi formal dan perangkat aturannya hadir untuk menata interaksi masing-masing aktor. Namun, dalam perspektif pilihan rasional aturan tersebut bisa dimanipulasi menjadi sarana bagi keberlanjutan interest individu yang saling berinteraksi tersebut. Disini, masing-masing aktor melakukan interaksi dengan menggunakan kalkulasi ekonomi sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan pilihan dan perilaku politiknya. Ketepatan aktor dalam menentukan pilihan politik yang relatif tetap tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada penyusunan preferensi politik yang akan disusun berdasarkan pada skala urgensitas kepentingan pribadi aktor. Individu diasumsikan penuh perhitungan dan mampu melakukan apapun yang diperlukan untuk memenuhi tujuan tersebut sebagai proses optimisasi, dan individu bertindak karena dorongan untuk mewujudkan kepentingan pribadi, dengan demikian teori ini didasarkan atas dimensi psikologis. Seperti ditegaskan oleh Geraldo Munck dalam Gaus dan Kukathas (2012), teori ini juga menunjukkan bagaimana cara penyelidikan yang berpusat pada interpretasi terhadap tindakan individu, yang mana kepentingan diri individu sebagai hal yang sebenarnya, sehingga teori ini sangat positif karena terpisah dari isolasi normatif dan diklaim unggul dalam hal kejernihan pandangan. 13
14 Teori pilihan rasional memiliki empat karakteristik sebagaimana dikemukakan oleh Buchanan dan Tullock (2001) maupun Hindmoor (2006). Pertama, interaksi antar individu akan menentukan proses politik maupun hasilnya, hal ini menunjukan bahwa keputusan kolektif sebenarnya merupakan akumulasi dari pilihan bebas para aktor yang saling berinteraksi, asumsi ini sebagai bentuk dari individualisme metodologis (methodological individualism). Kedua, dari interaksi antar individu tersebut diasumsikan bahwa setiap individu memiliki pola perilaku tertentu dalam menghadapi suatu situasi politik tertentu, dengan demikian maka respon perilaku aktor dalam menghadapi suatu situasi politik tertentu dapat diprediksikan polanya. Ketiga, dalam merespon suatu situasi tertentu tersebut, setiap aktor akan menggunakan rasionalitasnya, dengan menerapkan cara yang terbaik dan paling efisien untuk mencapai self interest individu. Keempat, aspek kepentingan pribadi individu tersebut penting bagi penyusunan konsepsi instrumental rasionalitas individu. Dengan demikian, setiap individu akan memaksimalkan kepentingan pribadinya dalam setiap situasi yang terjadi di sekitarnya. Artinya, setiap individu mengetahui tujuan dan sadar akan pilihannya ketika mereka dihadapkan pada seperangkat pilihan dalam merespon suatu situasi politik. Individu tersebut selanjutnya akan memilih hal-hal yang memberi kemanfaatan maksimal dan biaya minimal bagi dirinya untuk mencapai kepentingan pribadinya, sehingga dalam konteks ini setiap individu oleh Dunleavy (1991) digambarkan sebagai maximizers atau pencari pilihan terbaik. 14
15 E.2. Birokrasi dalam Perspektif Pilihan Rasional Birokrasi selain sebagai pelaksana kebijakan juga memiliki kewenangan membuat suatu keputusan yang bisa mempengaruhi kehidupan politik, sosial dan ekonomi masyarakat. Terkait hal ini, secara normatif birokrasi menerapkan prosedur impersonality, profesional, penjenjangan berdasarkan kinerja dan karier dan jauh dari unsur partisan sebagaimana konsepsi Weber. Keberadaan birokrasi itu sendiri sejalan dengan tuntutan demokrasi, karena dalam birokrasi menerapkan aspek-aspek substansi demokrasi yang menghendaki adanya objektivitas, transparansi, akuntabilitas dan konsistensi kebijakan, dan penerapan pelayanan publik yang memenuhi asas keadilan (equiy) dan terhindar dari kultur partisan (Albrow, 1996). Namun, Downs (1964) memiliki perspektif berbeda mengenai model birokrasi Weber. Bagi Downs, dalam tubuh birokrasi terdapat potensi kekuatan yang bisa menghambat pengembangan sifat prosedur impersonality, mengabaikan otoritas struktur maupun aspek formalitas sebagaimana pendapat Weber. Hal ini dimungkinkan karena di dalam tubuh birokrasi juga memiliki keberagaman identitas sehingga masing-masing anggota memiliki perbedaan kepentingan dan tujuan yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan konflik internal. Faktor informal dan kepentingan pribadi individu dalam birokrasi tersebut yang kurang diperhatikan Weber. Dari konsepsi birokrasi tersebut, selanjutnya Downs (1957) mendefinisikan birokrat sebagai seseorang yang; (1) bekerja untuk sebuah organisasi besar, (2) menerima gaji yang merupakan bagian utama dari total pendapatan finansialnya, (3) 15
16 dikontrak, dipromosikan, dan dipertahankan berdasarkan atas kinerja dan perannya, (4) menghasilkan output yang tidak dapat dievaluasi pasar. Downs (1965) berpandangan bahwa birokrat adalah maximizers utility yang selalu berusaha untuk mencapai tujuan mereka secara rasional dan efisien. Dengan demikian, birokrat akan selalu menekan biaya, waktu dan tenaga yang akan dikeluarkan seminimal mungkin untuk mencapai tujuan pribadi secara maksimal. Tujuan pribadi birokrat tersebut cukup kompleks karena meliputi unsur-unsur; kekuasaan, pendapatan, prestise, keamanan, kenyamanan, loyalitas, kebanggaan dalam penyelesaian pekerjaan, maupun keinginan melayani kepentingan publik. Secara spesifik, Downs (1964) mengkategorikan birokrat berdasarkan tujuannya dalam lima tipe kepribadian; (1) Climbers, birokrat selalu berusaha ingin memaksimalkan kekuasaan, penghasilan, dan prestisenya. Untuk mewujudkannya, birokrat akan berusaha memenangkan setiap kompetisi dengan birokrat lainnya untuk mendapatkan promosi jabatan ke posisi yang lebih tinggi, meningkatkan status yang ada melalui perluasan wilayah kekuasaan, atau "melompat" ke pekerjaan di tempat lain yang lebih baik. (2) Conserver, birokrat ingin memaksimalkan rasa aman dan cenderung mempertahankan hak istimewa dan fungsinya, sehingga birokrat selalu memaksimalkan keamanan. Baginya, keamanan memberikan jaminan terpeliharanya pendapatan, kekuasaan, dan prestise dengan mendukung status quo supaya kekuasaan, pendapatan, dan prestise, yang dimiliki saat ini terus terjaga dan terpelihara. (3) Zelot, birokrat cenderung mencari kekuasaan dan mendukung penyelenggaraan suatu kebijakan untuk kepentingan diri sendiri. (4) Advocate, 16
17 birokrat secara agresif ingin membuat kebijakan tertentu dan terbuka terhadap pengaruh dari rekan kerja dan atasan dan cenderung partisan dan loyal terhadap organisasi manakala terjadi konflik dengan pihak luar. (5) Statesmen, birokrat yang mengedepankan kepentingan publik, loyal kepada negara atau masyarakat, mereka menyerupai pejabat publik yang "ideal". Selanjutnya, birokrat sebagai maximizers dalam konteks kebijakan menurut pandangan Buchanan dan Tullock (2001) memiliki kecenderungan untuk memperoleh keuntungan sendiri dengan mendistorsi informasi yang disampaikan kepada pimpinannya, sehingga informasi yang disampaikan tersebut menguntungkan birokrat, dengan demikian birokrat cenderung menghilangkan data yang signifikan. Bahkan, birokrat memiliki kecenderungan membuat laporan yang menyenangkan atasan mereka. Hal ini terutama dilakukan birokrat climbers yang berusaha untuk memenangkan promosi dengan menyenangkan hati atasan mereka, dan bagi birokrat conserver akan memberikan informasi yang memungkinkan suatu kebijakan layak dilanjutkan. Distorsi informasi ini akan dibiarkan bahkan kalau mungkin disengaja untuk mewujudkan tujuan politik pimpinan dan birokrat itu sendiri. Dalam situasi seperti ini, menurut Mas Oed (2003) birokrasi tidak lagi tanggap terhadap kepentingan masyarakat, namun telah terbelenggu oleh motif perburuan rente untuk memperkaya diri sendiri. Konsepsi Downs (1957) tersebut memperlihatkan bahwa birokrat sebagai perangkat penyelenggara kekuasaan negara, telah berbelok arah. Birokrasi secara normatif memiliki fungsi sebagai pelayan publik telah berubah wajah sebagai 17
18 birokrasi yang melayani kepentingannya sendiri. Praktek rent seeking birokrat telah menjadikan birokrasi modern sebagai institusi publik sebagaimana konsep birokrasi ideal Weber telah gagal dan cacat, karena birokrasi yang seharusnya bekerja secara legal-formal dan mengedepankan kepentingan publik telah menjadi instrumen politik birokrat maupun politisi untuk mewujudkan kepentingan pragmatis jangka pendek. Oleh Hindmoor (2006) kondisi demikian menciptakan bureaucratic free enterprise, birokrat lebih mengejar kepentingan mereka sendiri daripada melaksanakan misi publik yang diembannya. Tesis Downs (1964) menyebutkan bahwa dalam jangka waktu lama birokrat memaksimalkan keamanan dan cenderung mempertahankan hak prerogatif dan mendukung status quo. E.3. Elit Penguasa dalam Perspektif Pilihan Rasional Berdasarkan UU 32/2004, kepala daerah merupakan representasi eksekutif pada tingkat pemerintah daerah, walaupun di daerah memiliki pejabat wakil bupati, tetapi otoritas keputusan dalam pembuatan suatu kebijakan tetap berada di tangan kepala daerah. Secara normatif bupati memiliki otoritas tunggal dalam menentukan berbagai kebijakan daerah, terutama yang terkait dengan kewenangan eksekutif di daerah. Besarnya otoritas dan kekuasaan bupati tersebut tidak terlepas dari proses bagaimana memperoleh kekuasaan, yaitu mendapatkan mandat langsung dari rakyat, dalam konsep demokrasi modern hal ini merupakan legitimasi tertinggi yang diperoleh elit politik. Dalam perspektif pilihan rasional, elit penguasa akan mendahulukan kepentingan pribadinya daripada kepentingan publik, dengan 18
19 kecenderungan preferensi pribadi tersebut dibalut dalam bentuk produk kebijakan yang seolah-olah berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Fenomena seperti ini mencerminkan the political business cycle (Lewin, 1991) yang dilakukan governing elite menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Keinginan mempertahankan kekuasaan sebagai sarana mengakomodasi kepentingan pribadi dengan tuntutan menjalankan tata pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif sebagai pejabat publik, menjadikan politisi oleh Barbara Geddes (1994) berada dalam posisi dilema. Perilaku elit politik dalam dunia nyata sebenarnya sebagai hasil akhir dari rasionalitas elit politik yang bersangkutan, yang memiliki berbagai kalkulasi kepentingan pribadi dan bertindak dengan memanfaatkan institusi politik yang dipimpinnya. Kecenderungan penguasa memanfaatkan birokrasi menurut Geddes (1994) didasarkan atas empat alasan. Pertama, birokrasi sebagai sumber manfaat bagi konstituen elit penguasa. Kedua, birokrasi sebagai sumber patronase bagi politisi penguasa. Ketiga, birokrasi digunakan sebagai mesin politik yang loyal untuk mewujudkan kebutuhan elit penguasa. Keempat, birokrasi dijadikan sarana bagi elit penguasa untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan yang dibuat elit penguasa baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, misalnya kebijakan yang terkait dengan ekonomi, efektivitas pelayanan publik, pengadaan barang-barang publik maupun pemberian berbagai subsidi kepada masyarakat. Bagi Geddes (1994), alasan elit penguasa memanfaatkan birokrasi karena adanya dorongan kepentingan elit penguasa untuk; 1) mempertahankan kekuasaannya 19
20 paling tidak untuk satu periode berikutnya, 2) menciptakan mesin politik yang loyal untuk mendukung kebijakan elit penguasa, dan 3) mewujudkan efektivitas pemerintahan yang akan digunakan untuk membeli dukungan baik yang berasal dari legislatif, lawan politik maupun konstituennya. Dengan demikian petahana akan menduplikasi kepentingan pribadi dalam bentuk kebijakan publik untuk mendapatkan simpati masyatakat, yang mana nantinya akan diimplementasikan oleh birokrat yang telah direstrukturisasi atas kepentingan elit penguasa. Elit penguasa memiliki potensi besar dalam menjerat birokrat sebagai alat pemenangan dalam pemilihan umum. Bupati sebagai the ruling class juga mempunyai kemampuan modal dengan kuasa yang dimilikinya untuk menyediakan berbagai sarana bagi birokrat untuk mendukungnya. Terlebih lagi, penguasa akan sembunyi di balik aturan formal sebagai pembenaran terhadap berbagai kebijakan yang dirumuskan. Pembenaran ini mempermudah politisi mengendalikan birokrasi, apalagi nasib dan karier birokrat sangat ditentukan oleh elit penguasa. Dalam hal ini kebijakan yang diterapkan berkaitan erat dengan kepentingan individual penguasa untuk memaksimalkan pencapaian tujuan yaitu, melestarikan kekuasaan. E.4. Dinamika Interaksi Politik Birokrat dengan Petahana dalam Perspektif Pilihan Rasional Kekuasaan menjadi salah satu tema sentral kajian politik, sehingga politik merupakan sarana mengendalikan pihak lain dengan cara menanamkan pengaruhnya kepada aktor lain. Dengan demikian, orientasi aktor politik adalah bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, dalam konteks ini petahana dan 20
21 birokrat. Politik dengan birokrasi merupakan dua konsep yang saling bertolak belakang yang mana secara normatif harus dipisahkan, namun dalam realitasnya keduanya saling berinteraksi bahkan tidak bisa terpisahkan satu sama lainnya, hal inilah yang selalu mengundang perdebatan dari para ahli. Aberbach (1981) menyatakan, secara sederhana politisi membuat keputusan dan kebijakan, sedangkan birokrat sebagai pengelola dan pelaksana kebijakan. Politisi dalam merumuskan suatu kebijakan selalu berorientasi pada bagaimana merespon aspirasi maupun tuntutan masyarakat, sebagai salah satu upaya mempertahankan konstituen. Di sisi lain, birokrasi sekedar pelaksana yang berorientasi pada aspek teknis kebijakan, agar eksekusi kebijakan efektif. Interaksi antara politik dengan birokrasi demikian digambarkan sebagai hubungan "rasionalitas politik" dengan "rasionalitas administratif". Namun hal itu disanggah oleh Leonald D. White dalam (Thoha, 2005) yang menyatakan bahwa administrasi publik hanya dapat dijalankan dengan efektif, jika disandingkan dengan politik, karena dalam dunia nyata tidak ada batas yang jelas antara birokrasi dengan politik, keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Pandangan tentang keterkaitan antara politik-birokrasi ini sebagai kontinum politik-birokrasi. Sebagai sebuah konsep bisa dibedakan mana merupakan fungsi politik, mana fungsi administrasi, namun dalam prakteknya sulit membedakan kapan fungsi politik berakhir, dan kapan fungsi administrasi dimulai. Dua pemahaman tersebut kemudian akan berimplikasi terhadap hubungan politik-birokrasi pada 21
22 tataran prakteknya sebagai paradoksal, sehingga akan menimbulkan dilema bagi keduanya. Terkait dengan hal tersebut, Halevy (2011) mengajukan tiga proposisi. Pertama, birokrasi menjadi dilema bagi politik demokrasi. Birokrasi memiliki kemampuan untuk melepaskan dirinya dari kendali para politisi yang ditopang adanya sumber daya yang dimiliki birokrasi baik berupa monopoli keahlian tertentu maupun penguasaan informasi. Bahkan dengan kelebihan teknis tersebut birokrat mampu ikut campur tangan ke dalam wilayah politik, terutama dalam aspek perumusan suatu kebijakan publik. Namun, membesarnya kekuasaan birokrasi akan memberikan ancaman bagi politik demokrasi karena dalam negara modern sejatinya membutuhkan birokrasi yang kuat dan independen. Kekhawatiran bahwa birokasi menjadi dilema bagi demokrasi karena alasan bahwa kuatnya kekuasaan birokrasi secara efektif akan menjadi alat untuk meningkatkan dominasi negara bahkan dalam beberapa kasus dapat memfasilitasi represi yang dilakukan oleh negara. Jika demikian maka birokrasi memiliki kecenderungan bebas dari kontrol politik. Padahal dalam negara demokrasi modern, birokrasi dituntut tidak hanya mampu mengalokasikan sumber daya tapi juga harus melakukan alokasi itu secara merata dan non-partisan. Kedua, politik demokrasi menimbulkan dilema bagi birokrasi. Dalam kondisi politik demokrasi, birokrasi dihadapkan pada dua tugas yang bertentangan. Di satu sisi birokrasi tunduk pada kendali politisi, namun disisi lain birokrasi diharapkan melepaskan diri dari kendali politisi. Birokrasi diminta untuk ikut serta dalam perumusan kebijakan tetapi harus tetap netral secara politik. Artinya, birokrasi 22
23 diharapkan terpolitisir dan ter-depolitisir pada saat yang bersamaan. Dalam konteks ini para birokrat senior terlibat dalam proses politik. Dalam kapasitanya sebagai pemain politik maka birokrat harus merespon dengan melakukan manuver terhadap tekanan dari kelompok kepentingan yang dihadapinya. Dengan demikian birokrat dapat mengendalikan sumber daya sekaligus sebagai peserta dalam pertarungan kekuasaan (power struggle), bentuk politisasi seperti ini sah dan menguntungkan bagi proses politik demokrasi. Namun manakala birokrasi terjebak mendukung politisi dalam pembuatan keputusan tentang pengangkatan dan promosi jabatan di birokrasi, konsep politisasi ini merusak proses politik demokrasi, karena politisi bersangkutan akan sangat diuntungkan dalam proses pemilu. Dengan demikian, batas antara kebijakan dengan politik seringkali menjadi kabur dan mudah dilanggar, baik sengaja maupun tidak, dan pelanggaran semacam ini dalam kenyataannya sangat sering terjadi, dan hal ini menciptakan ambiguitas dan kontradiksi. Ketiga, kedua dilema tersebut menjadi sumber konflik antara birokrasi dan politik. Kontradiksi dan ketidakjelasan peran birokrasi dalam negara demokrasi modern tampaknya menjadi sumber konflik dalam arena politik, terutama antara birokrat senior dan politisi senior. Kedua kubu tersebut akan terus memperebutkan wilayah yang tidak jelas batasnya yaitu antara wilayah birokrasi dan wilayah politik atau wilayah abu-abu (grey area). Secara ekstrim, pertarungan tersebut bahkan bisa membuat politisi senior atau bahkan pemerintahan tumbang, atau bisa membuat birokrat senior dipecat atau bahkan bisa membuat semua institusi birokrasi 23
24 dibubarkan. Karena alasan inilah konflik yang ditimbulkan oleh kehadiran birokrasi akan menjadi sangat problematik bagi politik demokrasi. Relasi antara birokrasi-politik dalam perspektif pilihan rasional akan semakin mengaburkan batas-batas wilayah otoritas politik dan birokrasi. Interaksi antara birokrat dengan politisi akan diwarnai dengan adanya dinamika kalkulasi kepentingan masing-masing aktor sebagai makhluk ekonomi dalam ranah negosiasi. Dengan demikian proses negosiasi ini sebagai sarana masing-masing aktor melakukan pertukaran nilai berdasarkan atas reward dengan menciptakan manfaat bersama. Jika terjadi kesepakatan, karena masing-masing aktor memiliki kepentingan yang sama, maka akan membentuk aliansi politik. Namun sebaliknya, jika masing-masing aktor memiliki kepentingan berbeda dan berdasarkan kalkulasi kepentingan tidak menguntungkan masing-masing individu maka akan menciptakan konflik kepentingan. Berdasarkan konsep di atas maka dalam interaksi antara birokrat dengan politisi akan membentuk pola; 1) jika birokrat memiliki kepentingan yang sama dengan petahana bupati maka keduanya melakukan konsolidasi politik, 2) sebaliknya ketika birokrat memiliki kepentingan yang berbeda dengan petahana bupati, maka sikap birokrat tersebut akan melakukan konsolidasi politik dengan petahana wakil bupati, namun bisa juga dengan kandidat bupati lainnya, atau tidak menjatuhkan pilihannya kepada kedua petahana, 3) konsekuensi dari dua pilihan tersebut juga mempengaruhi atmosfer di internal birokrasi, maka birokrasi terpolarisasi dalam 24
25 kelompok-kelompok dan terfragmentasi dalam beragam kepentingan kelompok birokrat tersebut. Kentalnya balutan pragmatisme kedua petahana, semakin mempertajam rivalitas keduanya dalam pelaksanan Pilkada periode di TTU. Dengan caranya masing-masing keduanya menarik birokrasi ke dalam pusaran kepentingan, sebagai basis politik di aras pemerintahan daerah. Potensi sumber daya, luasnya jaringan dan posisi strategis birokrasi sebagai jembatan antara penguasa dengan masyarakat menjadi daya tarik bagi petahana melakukan konsolidasi politik dengan para birokrat. Birokrasi merupakan sebuah instrumen yang akurat yang bisa digunakan oleh kepentingan politik (Halevy, 2011). Konsep pemikiran tersebut dapat dijelaskan dalam argumentasi berikut. Dalam konteks kepentingan, petahana memanfaatkan jaringan birokrasi dalam arena politik untuk mempertahankan kekuasaan politiknya paling tidak untuk jangka waktu satu periode berikutnya, sedangkan petahana wakil kepala daerah memiliki motivasi untuk merebut kekuasaan tersebut melalui kontestasi Pilkada. Birokrat juga membuka diri dalam arena politik dengan memanfaatkan rivalitas kedua petahana tersebut sebagai jalan untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi atau untuk mempertahankan posisi jabatan yang strategis dalam jabatan birokrasi. Sehingga proposisi penelitian ini adalah birokrat dan petahana sebenarnya berada dalam situasi yang saling mempolitisir ibarat suatu permainan mereka melakukan proses tawar-menawar kepentingan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Danilo R. Reyes (1993), bahwa birokrasi menjadi bagian dalam proses politik yang memiliki kekuasaan dalam 25
26 mempengaruhi suatu kebijakan, jadi tidak semata-mata sebagai alat politik. Dalam hal ini birokrasi memiliki kekuasaan diskresi (discretionary power) yakni kewenangan untuk menginterpretasikan kebijakan publik dalam konteks makro ke dalam kebijakan yang bersifat lebih operasional. Dengan demikian, hubungan politik dengan birokrat bersifat intrinsik, kontradiktif dan paradoksal (Smith, 1988), masingmasing aktor terjebak dalam motif rent seeking. Posisi dilematis birokrasi tersebut menjadi peluang bagi birokrat tertentu, untuk terlibat secara langsung dalam proses politik praktis. Hal ini karena pada dasarnya birokrat sebagai individu juga memiliki kepentingan ekonomi tersendiri ditengah-tengah relasi antara birokrasi dengan petahana. Relasi antara birokrat dengan petahana baik bersifat formal institusional maupun personal sekedar membungkus kepentingan keduanya, yaitu dimanfaatkan sebagai arena tawarmenawar terselubung keduanya untuk saling mempertahankan posisinya maupun untuk meningkatkan karier politiknya dengan cara saling memanfaatkan.. F. Definisi Konsepsional Berdasarkan kerangka teorisasi di atas, untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan penelitian dan sebagai pedoman dalam melakukan proses analisis, maka kerangka teori yang terkait dengan penelitian ini perlu dikonseptualisasikan. Adapun dalam penelitian ini terdapat tiga konsep, yaitu : 1. Birokrat merupakan keseluruhan aparat pemerintah di lingkup Pemerintah Daerah Timor Tengah Utara yang memiliki tugas dan fungsi sebagai pelayan 26
27 publik sesuai dengan tingkatan eselonering, dinilai berdasarkan pada kinerja dan profesionalisme kerja. 2. Petahana merupakan kepala daerah di Timor Tengah Utara yang berusaha mempertahankan jabatannya sebagai bupati untuk satu periode berikutnya dengan mengikuti Pilkada dan menerapkan berbagai strategi untuk memenangkan kontestasi politik tersebut dengan memobilisasi sumber daya yang tersedia. 3. Interaksi politik birokrat dengan petahana dalam perspektif pilihan rasional merupakan pola relasional yang mana untuk mencapai tujuan tersebut melibatkan sumber daya, kepentingan pribadi sebagai sarana transaksi melalui negosiasi dan tawar-menawar untuk mengoptimalkan kepentingan masing-masing pihak. G. Metodologi Penelitian G.1. Desain Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka menyelidiki secara cermat dinamika interaksi birokrat dengan petahana, dengan fokus pada produk kebijakan yang relatif kontroversial menjelang pilkada 2010, meliputi kebijakan ekstraksi tambang batu mangan, dan restrukturisasi PNS dengan setting pelaksanaan Pilkada di TTU periode Cakupan rentang waktu analisis penelitian ini mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, dengan alasan supaya memperoleh gambaran yang jelas mengenai latar belakang dikeluarkannya kebijakan tersebut, rivalitas kedua petahana 27
28 dan dinamika politik yang mewarnai interaksi birokrat dengan kedua petahana yang tidak terlepas dari aspek situasional peristiwa politik saat itu. Pecah kongsi politik antara bupati dengan wakil bupati TTU telah berimbas pada birokrasi di TTU yang terpolarisasi secara politik dalam dua kubu besar, yaitu kubu petahana bupati dan kubu petahana wakil bupati. Konsolidasi yang dibangun bupati dengan jajaran elit birokrat secara sistematis mampu membatasi ruang gerak wakil bupati, sehingga sekedar sebagai ban serep. Disparitas kekuasaan ini menciptakan rivalitas terbuka keduanya. Petahana wakil bupati, meresponnya dengan secara diam-diam melakukan gerakan politik terselubung dengan melakukan gerilya politik di birokrat level bawah. Situasi politik di internal pemerintah daerah ini membuka peluang mempermudah akses dalam meningkatkan karier birokrat. Interaksi antar aktor tersebut merupakan proses politik yang lebih ditentukan oleh tindakan dan interaksi antar individu yang menjadi akumulasi bagi keputusan kolektif. Penelitian ini menempatkan aktor sebagai unit analisis sebagaimana individualisme metodologis dalam teori pilihan rasional, dan dilaksanakan dengan pedekatan studi kasus bersifat deskriptis analitis. Artinya, penelitian ini dimaksudkan mempelajari secara intensif dan menginterpretasikan latar belakang masalah, keadaan dan posisi peristiwa yang menyertai dinamika interaksi antara birokrat dengan kedua petahana secara apa adanya. Sehingga penelitian ini nantinya dapat memberikan gambaran yang luas serta mendalam mengenai subjek penelitian yaitu petahana dan birokrat. Dengan demikian penelitian ini mencoba membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif berupa, makna-makna yang 28
29 bersumber dari informan, dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu (Creswell, 2010), dengan mencoba menyajikan pandangan subjek yang diteliti tentang fenomena yang terjadi sehari-hari (Yin, 1981). Konteks penelitian ini untuk menggambarkan dinamika politik antara birokrat dengan patahana di TTU sebagai aktor politik yang saling mempolitisir. Sedangkan untuk penyeimbang data lapangan peneliti juga melakukan wawancara dengan pihakpihak diluar birokrat, namun mempunyai informasi penting dalam penelitian ini seperti; tim sukses dan politisi partai politik yang dinilai relevan dalam penelitian ini dan aktor politik lokal yang ditempatkan sebagai informan kunci. Data lapangan dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan informan, dengan instrumen wawancara berupa pedoman wawancara yang dirancang secara umum, tidak terstruktur dan bersifat terbuka, pertimbangannya untuk mempermudah peneliti dalam memunculkan pandangan dan opini dari informan mengingat penelitian ini ingin menggali informasi yang berada di bawah permukaan, yang selama ini kurang atau bahkan tidak pernah disadari oleh masyarakat sebagai suatu peristiwa politik. Pengamatan atau observasi dilakukan untuk mengamati secara mendetail dinamika interaksi antar aktor tersebut, sehingga makna dari pembicaraan, sikap maupun perilaku para aktor mudah diinterpretasikan oleh peneliti. Selama proses penelitian di lapangan, peneliti juga mengumpulkan data sekunder berupa dokumen-dokumen publik seperti; suratkabar, tabloid, majalah, naskah kebijakan pemerintah maupun laporan-laporan instansi terkait. 29
30 G.2. Teknik Penentuan Informan dan Jenis Data Informan penelitian ini meliputi birokrat di jajaran Pemerintah Daerah TTU yang ditentukan secara sengaja dan dinilai memiliki kekuasaan dan pengaruh baik secara formal maupun informal dan terlibat secara langsung dalam proses interaksi dengan petahana. Penelitian ini mencoba menggali informasi yang berada di bawah permukaan, sehingga snowball sampling merupakan teknik yang dinilai paling sesuai dalam penentuan informan. Pada awal penelitian, peneliti menemui beberapa individu untuk dijadikan informan, kemudian mereka diminta memberikan rekomendasi dengan menyebutkan aktor-aktor lain yang mungkin bersedia diwawancarai dan memiliki informasi yang relevan dengan tujuan penelitian ini. Peneliti menemui aktor-aktor tersebut berdasarkan rekomendasi individu yang ditemui peneliti sebelumnya. Setelah bertemu dan meraih kepercayaan, peneliti melakukan wawancara, dalam proses wawancara tersebut mereka juga diminta memberikan rekomendasi dengan menyebut aktor lainnya, nama-nama baru tersebut kemudian dihubungi dan diminta menyebut aktor lainnya. Alur penelusuran informan berdasarkan teknik bola salju ini akan berhenti ketika telah terjadi kejenuhan informasi mengenai pokok persoalan yang hendak diketahui pada informan terakhir. Informan selanjutnya adalah petahana periode , di sini data yang diharapkan muncul adalah dasar pertimbangan petahana mengeluarkan suatu kebijakan yang biasanya begitu mendekati pelaksanaan Pilkada, kebijakan yang bersifat populis akan cepat terealisasikan dengan memobilisasi birokrat. Apakah ini sekedar kebetulan atau ada faktor kepentingan pribadi yang bersifat pragmatis dalam 30
31 rangka memenangkan Pilkada tersebut. Petahana wakil bupati juga dijadikan informan karena sebagai korban politik petahana kepala daerah. Selama pecah kongsi politik dengan petahana kepala daerah, otomatis petahana wakil kepala daerah tidak diberikan peran politik apapun oleh petahana kepala daerah, sehingga dapat dikatakan aktor ini telah dikarantina karena secara formal struktural tidak ada satupun kalangan elit birokrat yang melakukan dan berani melakukan koordinasi dengan wakil bupati dalam kaitannya dengan urusan kedinasan. Dalam keterasingannya tersebut, petahana wakil bupati berhasil memenangkan Pilkada 2010 bahkan hanya dalam satu putaran. Penulis menyadari bahwa untuk memperoleh informasi dari kedua petahana kemungkinan akan mengalami kendala, mengingat saat pengambilan data lapangan bersamaan waktunya dengan pelaksanaan Pilkada Gubernur NTT, karena kedua petahana menjadi tim sukses kandidat gubernur untuk wilayah pemilihan TTU, sehingga mobilitas keduanya sangat tinggi. Dengan demikian, untuk mengantisipasi dan menutupi kelemahan sistem pengambilan sampel ini, peneliti juga melakukan wawancara dengan birokrat yang menjadi tim sukses kedua petahana dengan pertimbangan mereka merupakan aktor yang dinilai memiliki informasi mendalam terkait dengan tujuan penelitian ini. Penelitian ini juga menempatkan satu aktor politik lokal sebagai informan kunci. Informan tersebut menempati posisi strategis dalam arena Pilkada 2010, sehingga memiliki informasi yang mendalam mengenai petahana bupati, petahana wakil bupati maupun beberapa birokrat TTU, dan informasi tersebut belum banyak 31
32 diketahui khalayak di TTU. Berdasarkan kriteria tersebut, aktor politik ini layak ditempatkan menjadi informan kunci dan sumber informasi utama penelitian ini. Mengingat sebagian data lapangan bersentuhan dan mengarah kepada seseorang maupun kelompok, maka untuk menjaga keselamatan informan, peneliti sengaja tidak menulis nama informan atas permintaan informan saat proses wawancara di lapangan. Hal ini juga untuk menjaga privasi informan sekaligus supaya nantinya tidak menimbulkan fragmentasi dalam kehidupan politik lokal di TTU. Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi; 1) Data yang menggambarkan setting kondisi sosial ekonomi masyarakat TTU dan kejadiankejadian politik yang terkait diperoleh dengan pendekatan studi pustaka, 2) Data mengenai pemetaan kekuatan politik dan latar belakang proses kongsi politik kedua petahana sampai kepada pecah kongsi dan memuncaknya rivalitas keduanya diperoleh dengan cara melakukan wawancara kepada yang bersangkutan dan sumber informasi yang dinilai dekat dan berada di balik peristiwa politik tersebut dan studi kepustakaan, 3) Data mengenai produk kebijakan dan latar belakang politik yang menyertainya yang menjadi fokus penelitian ini diperoleh dengan melacak ke instansi terkait dan wawancara dengan aktor-aktor yang relevan, 4) Data tentang dinamika interaksi patahana dengan birokrat yang menjadi tema besar penelitian ini diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada aktor-aktor atau narasumber yang relevan. Secara terperinci disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini : 32
BAB V PENUTUP. yang melibatkan birokrat masuk dalam arena pertarungan politik yang terjadi dalam
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung telah membawa dampak terhadap perilaku untuk masuk kedalam politik praktis ditubuh birokrasi. Walaupun ada ketentuan yang
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran
Lebih terperinciyang dianggap menguasai permasalahan yang diteliti. Dalam FGD peserta dipilih dari para pejabat politik maupun karier di lingkungan birokrasi, para
Executive Summary Perdebatan tentang hubungan antara politik dan birokrasi telah mempunyai sejarah panjang dan kembali menghangat terjadinya reformasi politik pada akhir tahun 90 an yang telah merubah
Lebih terperinciBAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN
BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN 2011-2015 5.1. Visi Paradigma pembangunan moderen yang dipandang paling efektif dan dikembangkan di banyak kawasan untuk merebut peluang dan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kalimantan Tengah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal dan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal dan faktor eksternal.
Lebih terperinciBUPATI KULONPROGO SAMBUTAN PADA ACARA UPACARA BENDERA TANGGAL 17 MARET 2011 TINGKAT KECAMATAN SE-KABUPATEN KULONPROGO. Wates, 17 Maret 2011
BUPATI KULONPROGO SAMBUTAN PADA ACARA UPACARA BENDERA TANGGAL 17 MARET 2011 TINGKAT KECAMATAN SE-KABUPATEN KULONPROGO Wates, 17 Maret 2011 Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang
Lebih terperinciBUPATI KULONPROGO SAMBUTAN PADA ACARA UPACARA BENDERA TANGGAL 17 MARET 2011 TINGKAT KABUPATEN KULONPROGO. Wates, 17 Maret 2011
BUPATI KULONPROGO SAMBUTAN PADA ACARA UPACARA BENDERA TANGGAL 17 MARET 2011 TINGKAT KABUPATEN KULONPROGO Wates, 17 Maret 2011 Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang saya hormati,
Lebih terperinciPenguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik
Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik Pendahuluan Pokok Pokok Temuan Survei Nasional Demos (2007 2008) : Demokrasi masih goyah: kemerosotan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem. dalam wujud Otonomi Daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak
Lebih terperinciBAB IV KESIMPULAN. A. Kesimpulan Dalam kaitannya dengan dimensi content dan context, maka implementasi
BAB IV KESIMPULAN A. Kesimpulan Dalam kaitannya dengan dimensi content dan context, maka implementasi kebijakan ini tidak dapat terlaksana dengan baik, secara ringkas disebabkan karena empat faktor. Masing-masing
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dibawah undang undang ini tidak sekedar memindahkan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa konsekuensi terhadap semua aspek penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Penyelenggaraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seluruh kegiatan politik berlangsung dalam suatu sistem. Politik, salah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seluruh kegiatan politik berlangsung dalam suatu sistem. Politik, salah satunya bertujuan melembagakan penyelesaian konflik agar konflik itu tidak melebar menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran publik merupakan dokumen politik yang menunjukkan komitmen eksekutif dalam upaya penggalian resourses yang relatif terbatas untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Kesimpulan
A. Kesimpulan BAB V PENUTUP Model representasi dan linkage politik para aleg perempuan di Pati cukup beragam. Beragamnya model ini dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman pribadi serta latar belakang sosial
Lebih terperinciGOOD GOVERNANCE. Bahan Kuliah 10 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 02 Mei 2007
GOOD GOVERNANCE Bahan Kuliah 10 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 02 Mei 2007 Latar Belakang Pada tahun 1990an, dampak negatif dari penekanan yang tidak pada tempatnya terhadap efesiensi dan ekonomi dalam
Lebih terperinciRangkaian Kolom Kluster I, 2012
Beratus-ratus tahun yang lalu dalam sistem pemerintahan monarki para raja atau ratu memiliki semua kekuasaan absolut, sedangkan hamba sahaya tidak memiliki kuasa apapun. Kedudukan seorang raja atau ratu
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta pelayanan
BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta pelayanan publik yang baik, efisien, efektif dan berkualitas menuntut kehadiran sumber daya manusia (SDM) aparatur
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Birokrasi merupakan instrumen untuk bekerjanya suatu administrasi, dimana birokrasi bekerja berdasarkan pembagian kerja, hirarki kewenangan, impersonalitas
Lebih terperinciBAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan lapangan, terdapat beberapa persoalan mendasar yang secara teoritis maupun praksis dapat disimpulkan sebagai jawaban dari pertanyaan penelitian.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep governance dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konsep government yang terlalu meletakkan negara (pemerintah) dalam posisi yang terlalu dominan. Sesuai
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa, kekuatan sumber daya
BAB V KESIMPULAN Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa, kekuatan sumber daya ekonomi yang dimiliki seseorang mampu menempatkannya dalam sebuah struktur politik yang kuat dan penting. Yang secara
Lebih terperinciBAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran
BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI Bagian ini akan menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran penelitian terhadap pengembangan
Lebih terperinciBAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta
BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari
Lebih terperinciPrayudi POSISI BIROKRASI DALAM PERSAINGAN POLITIK PEMILUKADA
Prayudi POSISI BIROKRASI DALAM PERSAINGAN POLITIK PEMILUKADA Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika 2013 Judul: Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pemilukada Perpustakaan
Lebih terperinciKomunikasi dan Politik 1 Oleh : Adiyana Slamet, S.Ip., M.Si
Komunikasi dan Politik 1 Oleh : Adiyana Slamet, S.Ip., M.Si Seseorang yang menggeluti komunikasi politik, akan berhadapan dengan masalah yang rumit, karena komunikasi dan politik merupakan dua paradigma
Lebih terperinciBAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118
BAB 6 PENUTUP Bab ini menguraikan tiga pokok bahasan sebagai berikut. Pertama, menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian secara garis besar dan mengemukakan kesimpulan umum berdasarkan temuan lapangan.
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang sudah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar
Lebih terperinciKabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011
DINAMIKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH HUBUNGANNYA DENGAN PENETAPAN KEBIJAKAN STRATEGIS Oleh: Prof. Dr. Deden Mulyana, SE.,M.Si. Disampaikan Pada Focus Group Discussion Kantor Litbang I. Pendahuluan Kabupaten
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan
Lebih terperinciHANDOUT MATAKULIAH: PROPAGANDA
HANDOUT MATAKULIAH: PROPAGANDA PRODI: ILMU KOMUNIKASI FISIP UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Semester: Genap 2010/2011 Pertemuan 15 Analisa Kelompok: PROPAGANDA DALAM PEMILUKADA 1 Oleh: Kamaruddin Hasan 2 Pilkada
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Bab V, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan Berdasarkan berbagai upaya analisis yang telah peneliti paparkan pada Bab V, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pencalonan M.Shadiq
Lebih terperincipublik pada sektor beras karena tidak memiliki sumber-sumber kekuatan yang cukup memadai untuk melawan kekuatan oligarki politik lama.
BAB VI. KESIMPULAN Perubahan-perubahan kebijakan sektor beras ditentukan oleh interaksi politik antara oligarki politik peninggalan rezim Orde Baru dengan oligarki politik reformis pendatang baru. Tarik
Lebih terperinciBAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH
BAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH A. KONDISI UMUM Keberhasilan menempatkan proses pembangunan kelembagaan politik demokrasi pada jalur dan arah yang benar selama tahun 2004 dan 2005
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama
BAB VI PENUTUP 1. KESIMPULAN Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama di tahun-tahun awal Orde Baru. Walaupun struktur politik nasional maupun lokal mengalami perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. politik sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan penetapan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengalokasian sumber daya merupakan permasalahan mendasar dalam penganggaran sektor publik. Seringkali alokasi sumber daya melibatkan berbagai institusi dengan kepentingannya
Lebih terperinciOleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1
Disampaikan pada Seminar Menghadirkan Kepentingan Perempuan: Peta Jalan Representasi Politik Perempuan Pasca 2014 Hotel Haris, 10 Maret 2016 Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa)
Lebih terperinciBAB III PROSEDUR PENELITIAN. kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian deskriptifkualitatif,
BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Metode untuk penyusunan perencanaan partisipatif berbasis kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian deskriptifkualitatif, yaitu suatu metode
Lebih terperinciBAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan
BAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan Studi ini mengkaji dinamika terbentuknya pemerintahan divided atau unified yang dikaitkan dengan pembuatan kebijakan APBD pada satu periode pemerintahan. Argumen yang dikembangkan
Lebih terperinciBab I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam pelaksanaan urusan ini membutuhkan banyak. sumber daya dan kemampuan, diantaranya diperlukan kemampuan
Bab I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah daerah harus dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam pelaksanaan urusan ini membutuhkan banyak sumber daya dan kemampuan, diantaranya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator aparatur didalam sebuah
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator aparatur didalam sebuah birokrasi lebih berjaya hidup di dunia barat dari pada di dunia timur. Hal ini dapat dipahami,
Lebih terperinciBAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia
101 BAB 5 KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Fokus utama dari bab ini adalah menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini berisi jawaban yang dapat ditarik dari pembahasan dan
Lebih terperinciTEORI EKONOMI POLITIK (2)
Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. teguhfp.wordpress.com TEORI EKONOMI POLITIK (2) TEORI PILIHAN PUBLIK: Mengkaji tindakan rasional dari aktor-aktor politik (SEBAGAI PUSAT KAJIAN) di parlemen, lembaga
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan terkait dengan fokus
BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan terkait dengan fokus kajian tentang praktik marginalisasi politik pengawasan pemilu di Kabupaten Banyumas. Berdasarkan hasil
Lebih terperinciKebijakan Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara a. Umum
emangat reformasi telah mendorong pendayagunaan aparatur Negara untuk melakukan pembaharuan dan peningkatan efektivitas dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan pemerintahan Negara dalam pembangunan,
Lebih terperinciBAB V. Penutup. A. Kesimpulan
BAB V Penutup A. Kesimpulan Kuasa uang dalam pemilu dengan wujud money politics, masih menjadi cara mutakhir yang dipercaya oleh calon anggota legislatif untuk menjaring suara masyarakat agar mampu menghantarkan
Lebih terperinciKARTELISASI POLITIK PILKADA LANGSUNG
KARTELISASI POLITIK PILKADA LANGSUNG Oleh Airlangga Pribadi Staf Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga Associate Researcher Soegeng Sarjadi Syndicated Pemilihan kepala daerah langsung yang akan segera
Lebih terperinciKekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan
KMA Kekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D. Proses Pembuatan Kebijakan
Lebih terperinciKEBIJAKAN PEMERINTAHAN
KEBIJAKAN PEMERINTAHAN POLICY BERBEDA DENGAN WISDOM KAJIAN UTAMA KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN ADALAH ADALAH KEBIJAKAN PEMERINTAHAN (PUBLIC POLICY) KEBIJAKAN ADALAH WHATEVER GOVERMENT CHOOSE TO DO OR NOT TO
Lebih terperinciBAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor
BAB 5 KESIMPULAN Sebagaimana dirumuskan pada Bab 1, tesis ini bertugas untuk memberikan jawaban atas dua pertanyaan pokok. Pertanyaan pertama mengenai kemungkinan adanya variasi karakter kapasitas politik
Lebih terperinciBAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan
BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: Pertama, partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan APBD tergolong pada partisipasi parsial dengan tingkat pengaruh yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Latar belakang permasalahan menguraikan alasan mengapa suatu penelitian layak untuk dilakukan. Bagian ini menjelaskan tentang permasalahan dari sisi teoritis
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau rakyat selalu berada. terbaik dalam perkembangan organisasi negara modern.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau rakyat selalu berada dalam bingkai interaksi politik dalam wujud organisasi negara. Hubungan negara dan rakyat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti
Lebih terperinciBAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. perusahaan multinasional. Dulu lebih dikenal dengan comunity development.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Corporate Social Responsibility (CSR) telah lama diadakan di dunia usaha perusahaan multinasional. Dulu lebih dikenal dengan comunity development. CSR PT TIA Danone telah dirilis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keuangan tahunan pemerintah daerah yang memuat program program yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang memuat program program yang direncanakan pemerintah untuk
Lebih terperinciBAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI
BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Draft 12 Desember 2004 A. PERMASALAHAN Belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah yang disebabkan oleh perbedaan persepsi para
Lebih terperinciMenuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015
Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015 1 Konteks Regulasi terkait politik elektoral 2014 UU Pilkada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perencanaan Dan..., Sarwo Edy, Program Pascasarjana, 2008
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Secara tradisional kebanyakan pengembangan karir sebagai bagian dari Pengembangan Sumber Daya Manusia di perusahaan dan atau organisasi masih atas dasar kekeluargaan,
Lebih terperinciBAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas
Lebih terperinciREFORMASI BIROKRASI UNTUK MEWUJUDKAN GOVERNANCE DI DAERAH
REFORMASI BIROKRASI UNTUK MEWUJUDKAN GOVERNANCE DI DAERAH Oleh Wayan Gede Suacana Reformasi birokrasi akan bisa meningkatkan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel sehingga dapat mengurangi praktik-praktik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat saling bertukar informasi dengan antar sesama, baik di dalam keluarga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi adalah kebutuhan manusia dengan berkomunikasi manusia dapat saling bertukar informasi dengan antar sesama, baik di dalam keluarga maupun bermasyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah di Indonesia telah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberhasilan suatu organiasi atau lembaga dalam mencapai tujuannya tidak terlepas dari sumber daya manusia yang dimiliki, karena sumber daya manusia yang akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak bulan Juni 2005 pemilihan kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan. Bab pendahuluan ini menjelaskan pemikiran peneliti terkait pertanyaan
BAB I Pendahuluan Bab pendahuluan ini menjelaskan pemikiran peneliti terkait pertanyaan mengapa penelitian ini dilakukan. Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian yang
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Situasi perkembangan politik yang berkembang di Indonesia dewasa ini telah membawa perubahan sistem yang mengakomodasi semakin luasnya keterlibatan masyarakat dalam
Lebih terperinciDepartemen Ilmu Adminstrasi FISIP Universitas Indonesia. di Indonesia
Eko Prasojo Departemen Ilmu Adminstrasi FISIP Universitas Indonesia Format Reformasi Birokrasi di Indonesia Mampukah Kita Bernegara? Negara Kepentingan KORUPSI MENJADI PENYAKIT Tiga Sumber Penyakit Negara
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
2 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemekaran daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran
Lebih terperinciPERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS
PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS R. Siti Zuhro, PhD (Peneliti Utama LIPI) Materi ini disampaikan dalam acara diskusi Penguatan Organisasi Penyelenggara Pemilu, yang dilaksanakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut berbagai kajiannya tentang politik, para sarjana politik sepakat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling baik. Sistem ini telah memberikan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. melalui lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan proses perekrutan pejabat politik di daerah yang berkedudukan sebagai pemimpin daerah yang bersangkutan yang dipilih langsung
Lebih terperinciLAPORAN HASIL PENELITIAN
LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERSEPSI ATAS PENYELENGGARAAN SOSIALISASI KEPEMILUAN, PARTISIPASI DAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN BANGLI Kerjasama Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli dan Fakultas
Lebih terperinciThe Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan)
The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan) Tujuan utama buku ini adalah untuk menjawab tentang peran teori terkait permasalahan administrasi publik. Sebagaimana diketahui, tujuan utama
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. LOD DIY sebagai invited space menggunakan formasi kuasa yang ada dalam
BAB V PENUTUP Jawaban atas pertanyaan mengapa ruang kuasa yang telah menciptakan LOD DIY sebagai invited space menggunakan formasi kuasa yang ada dalam dirinya untuk menentukan kontur dan corak dari ruang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu Etnisitas adalah isu yang sangat rentan menjadi komoditi politik pada setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja dimobilisasi dan dimanipulasi
Lebih terperinciDEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI
Daftar Isi i ii Demokrasi & Politik Desentralisasi Daftar Isi iii DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Oleh : Dede Mariana Caroline Paskarina Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis,
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. dapat mendorong proses penganggaran khususnya APBD Kota Padang tahun
BAB VI PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Pada awalnya penulis ingin mengetahui peran komunikasi dalam hal ini melalui konsep demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas dapat mendorong proses penganggaran
Lebih terperinciMemahami Akar dan Ragam Teori Konflik
Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Sofyan Sjaf Turner dalam bukunya yang berjudul The Structure of Sociological Theory pada bab 11 13 dengan apik menjelaskan akar dan ragam teori konflik yang hingga
Lebih terperinciOleh : S u p a n d i, SE (Kabid Pengembangan BKD Kab. Kolaka) A. Pendahuluan
PROMOSI JABATAN MELALUI SELEKSI TERBUKA PADA JABATAN ADMINISTRATOR; TATA CARA PELAKSANAAN DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DILINGKUNGAN PEMERINTAH KAB. KOLAKA Oleh : S u p a n d i, SE (Kabid Pengembangan BKD
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil dan pembahasan kajian kritis tentang media sosial, pola komunikasi politik dan relasi kuasa dalam masyarakat kesukuan Flores dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maupun kinerja manajerial hingga kini masih menjadi issue yang menarik diteliti,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fenomena hubungan penganggaran dengan kinerja, baik kinerja individu maupun kinerja manajerial hingga kini masih menjadi issue yang menarik diteliti, disamping
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk
Lebih terperinciA. Kesimpulan BAB V PENUTUP
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini yang fokus terhadap Partai Golkar sebagai objek penelitian, menunjukkan bahwa pola rekrutmen perempuan di internal partai Golkar tidak jauh berbeda dengan partai
Lebih terperinciBab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN
Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam era globalisasi ini, tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan tidak dapat dielakkan lagi. Istilah good
Lebih terperinciUSULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1
USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1 USULAN UMUM: MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIAL 1. Pilihan politik untuk kembali pada sistem pemerintahan
Lebih terperinciBirokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program pembangunan dan kebijakan pemerintah. Birokrasi harus lebih
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelayanan publik dalam negara modern adalah inti dari demokrasi. Pelayanan yang diterima publik sebagai akibat keputusan yang dibuat secara bersama (demokratis)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berbangsa dan bernegara, baik ekonomi, sosial dan budaya. Tidak terkecuali
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membahas tentang politik tentu tidak ada bosannya karena politik saat ini sudah masuk dalam berbagai sendi kehidupan pada masyarakat dalam proses berbangsa dan bernegara,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi
Lebih terperinciTELAAH PUSTAKA. dan Belanja Daerah (APBD), belanja bantuan sosial, belanja hibah dan belanja
12 II. TELAAH PUSTAKA 1.1. Telaah Pustaka Dalam landasan teori akan di bahas lebih jauh mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), belanja bantuan sosial, belanja hibah dan belanja modal.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi hasil penelitian yang telah disajikan pada Bab IV, dapat ditarik kesimpulan dan rekomendasi penelitian sebagai berikut: A. Kesimpulan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang diurakan pada Bab IV maka dapat disimpulkan bahwa proses perumusan kebijakan sertifikasi pendidik
Lebih terperinciDesain Struktur Organisasi: Kewenangan dan Pengendalian
Modul ke: Desain Struktur Organisasi: Kewenangan dan Pengendalian Fakultas Pasca Sarjanan Dr. Ir. Sugiyono, Msi. Program Studi Magister Manajemen www.mercubuana.ac.id Source: Jones, G.R.2004. Organizational
Lebih terperinciBAB I PEDAHULUAN. Negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan
BAB I PEDAHULUAN A. Latar Belakang Negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi berarti suatu pengorganisasian negara
Lebih terperinciBAB VII PENUTUP. sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul
BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan data dan analisis yang telah dibahas pada bab bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul ekonomi politik pembangunan
Lebih terperinciBab I Pendahuluan A. LATAR BELAKANG
Bab I Pendahuluan A. LATAR BELAKANG Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang tepat, jelas, terukur dan akuntabel merupakan sebuah keharusan yang perlu dilaksanakan dalam usaha mewujudkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 dijelaskan. bahwa tujuan nasional Indonesia diwujudkan melalui pelaksanaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 dijelaskan bahwa tujuan nasional Indonesia diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan
Lebih terperinci