BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kalimantan Tengah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal dan

Transkripsi

1 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal dan faktor eksternal. Bekerjanya faktor internal ditandai dengan diberlakukannya kaidah normatif mulai dari tahap pengusulan, tahap verifikasi dan sampai pada tahap rekomendasi, dimana kesemua tahapan ini berada dalam wilayah jangkauan murni dari kekuasaan BAPERJAKAT. Selanjutnya memasuki bagian akhir dari mekanisme, yakni tahap penetapan sebagai wilayah dominasi kekuasaan pejabat politik (gubernur), maka faktor ekternal mulai ikut bekerja dengan digunakannya hak prerogatif oleh gubernur untuk memutuskan secara final siapa saja calon pejabat yang akan diangkat. Gubernur dalam prakteknya bisa saja memakai atau tidak memakai hasil rekomendasi BAPERJAKAT. Bagaimanapun, meski keberadaan BAPERJAKAT sejatinya didesain sebagai mesin penggerak utama mekanisme seleksi calon pejabat, namun posisi tawarnya (bargaining position) ternyata tidak cukup kuat bahkan cenderung berada pada posisi sub-ordinat ketika berhadapan dengan kekuasaan gubernur sebagai pejabat politik. Kokohnya posisi sang gubernur dalam menentukan hasil rekrutmen pajabat tidak terlepas klaim hak prerogatif yang dikukuhkan melalui cara hegemonik. Cara mana dicapai melalui mobilisasi kesepakatan yang berhasil menciptakan semacam konsensus sosial sehingga anomalitas bisa diterima 1

2 menjadi suatu normalitas, tidak hanya di kalangan pejabat karir di internal birokrasi tetapi juga oleh pihak luar. Gubernur melalui hak prerogatif dianggap sebagai aktor paling berkuasa, meskipun dasar klaim hak prerogatif itu sebenarnya tidak memiliki basis legitimasi yang kuat di dalam peraturan perundang-undangan. Hak prerogatif yang diklaim sang penguasa dan diterima secara meluas, pada akhirnya menyebabkan hasil rekrutmen pejabat tidak lagi sepenuhnya bisa dijamin obyektif. Klaim hak prerogatif berpeluang membuka celah bagi masuknya berbagai faktor eksternal berupa anasir tradisional seperti nepotisme, primordialisme dan patrimonialisme yang dijadikan pertimbangan personalistik sang penguasa untuk menentukan siapa ditempatkan pada posisi jabatan apa (who gets what). Karenanya, jabatan tidak lagi murni dipandang sebagai fungsi kemampuan dan prestasi (merit system) semata namun telah berpotensi mengalami pergeseran ke arah fungsi loyalitas kepada sang penguasa. Mekanisme pengisian jabatan struktural yang telah digambarkan di atas berlangsung pada setting birokrasi pemerintah daerah propinsi Kalimantan Tengah yang secara organisatoris memiliki rancang bangun sama seperti kebanyakan struktur organisasi birokrasi daerah propinsi lainnya di Indonesia karena secara normatif mengacu dari produk hukum yang sama, terutama dari PP No. 47 Tahun 2007 tentang organisasi Perangkat Daerah yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam produk hukum lokal berupa perda masing-masing daerah dan di Kalimantan Tengah tertuang dalam Perda No.8 Tahun

3 Setting birokrasi daerah selama satu dasawarsa terakhir mengalami dinamisasi dalam konstelasi perpolitikan lokal yang didominasi oleh warna PDI-P selaku partai dominan. Kemenangan PDI-P di pemilu Kepala Daerah (pilgub) dan Pemilu Legislatif berhasil mengantarkan kader-kader mereka duduk sebagai pemegang kendali tertinggi sekaligus di dua ranah kekuasaan. PDI-P memiliki keterwakilan di eksekutif melalui A.Teras Narang yang menjabat sebagai gubernur dan juga di legislatif melalui para kadernya yang duduk di DPRD propinsi Kalimantan Tengah. Dinamika perjalanan birokrasi yang dipimpin oleh gubernur Agustin Teras Narang dalam dua periode kepemimpinan, mulai periode pertama ( ) hingga periode kedua ( ) menghasilkan beragam perubahan dalam berbagai bidang, termasuk memberikan corak tersendiri di bidang kepegawaian yang ditandai dengan adanya restrukturisasi organisasi dan perubahan komposisi jabatan struktural melalui beberapa kali pelaksanaan mekanisme rekrutmen jabatan (pelantikan pejabat), sedangkan restrukturisasi terjadi dengan cara pelebaran organisasi. Gambaran mengenai mekanisme pengisian jabatan struktural dalam setting birokrasi lokal, khususnya di sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah yang ditandai dengan bekerjanya faktor eksternal sehingga mempengaruhi ketidakoptimalan hasil, berdampingan dengan fakta bahwa belum ada model baru yang dicangkokkan dalam mekanisme yang ada, seperti lelang jabatan dan seleksi online (terbuka). Saat ini terdapat semacam istilah fit and proper test, namun kondisi riil di lapangan memperlihatkan bahwa model tersebut tidaklah murni 3

4 sebagaimana umum diketahui, melainkan sekedar menunjuk pada sebuah proses ketika gubernur memanggil dan mewawancarai satu persatu PNS yang akan dicalonkan sebagai pejabat. Artinya, tidak ada hal yang terlampau signifikan untuk membedakannya dari mekanisme rekrutmen di BAPERJAKAT, dimana subjektivitas masih merupakan unsur kontaminatif yang mempengaruhi hasil (outcome) akhir. Birokrasi sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah dari struktur kelembagaan mewujudkan diri dalam apa yang dikenal sebagai model parkinsonian, meskipun secara umum tetap lebih kuat dipengaruhi oleh corak dan model weberian. Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa birokrasi weberian tersebut tidak sepenuhnya mampu mengontrol anomali dalam tubuh birokrasi, yakni: pertama, sistem rekrutmen pejabat struktural yang melibatkan kepala daerah sebagai aktor tunggal (executive acendency) dengan klaim hak prerogatif beserta motif dan kehendak dinamis yang melekat dalam dirinya, diduga merupakan sumber penyebab ketidakoptimalan hasil rekrutmen. Sayangnya tidak mudah membuktikan semua dugaan itu, karena bagaimanapun seorang kepala daerah bisa saja membungkus tindakannya dengan aturan normatif dan klaim hak prerogatif sehingga memperoleh dasar pembenaran. Kedua, nilai impersonalitas dan anti-primordialitas yang diamanahkan dalam model birokrasi weberian tidak selamanya bisa kompatibel di semua kondisi sosial-budaya masyarakat setempat.perlu dipertimbangkan untuk melihat birokrasi dalam relasinya terhadap demokrasi substantif yang bercirikan seperangkat konsepsi unik dalam dirinya seperti aspek kepantasan, 4

5 sensivitas sosial dan rasa keadilan masyarakat. Pemaksaan konsep idealnormatif dalam birokrasi weberian yang tidak di-kontekstualisasi-kan secara bijak boleh jadi justru memperkuat resistensi masyarakat terhadap kehadiran birokrasi, bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi persemaian bagi tumbuhnya benih-benih konflik. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menawarkan beberapa saran/ masukan terkait upaya meningkatkan kualitas hasil dan performa dari mekanisme pengisian jabatan struktural yang telah diterapkan selama ini, yaitu: 1. Perlu dipertimbangkan adanya kebijakan perombakan terhadap komposisi jabatan struktural di sekretariat daerah melalui penerapan sistem rotasi terbuka yang memungkinkan pegawai dengan mudah dipindahkan dari satu unit Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) ke unit SKPD lainnya sehingga memenuhi unsur proporsionalitas dan representatif terhadap aspek dan karakteristik demografis. 2. Perlu redefinisi terma hak prerogatif kepala daerah agar tidak disalahartikan bahwa seakan-akan hak ini sebangun dengan hak prerogatif yang dimiliki oleh presiden selaku kepala negara. Oleh karenanya, harus ada penjelasan eksplisit terhadap beberapa pasal dalam peraturan perundangundangan yang mengatur kedudukan kepala daerah selaku pembina kepegawaian beserta kewenangannya. Hal tersebut diperlukan guna menjamin kompatibilitas kewenangan kepala daerah terhadap prinsif meritokrasi (merit system) dalam rekrutmen pejabat struktural. 5

6 3. Perlu dilakukan kajian ulang terhadap model fit and proper test bagi calon pejabat struktural di lingkungan sekretariat daerah propinsi (setdaprop) Kalimantan Tengah. Kegiatan fit and proper test harus dirancang secara terstruktur menurut model tertentu yang melibatkan pihak ketiga, bisa dari jasa konsultan independen atau para akademisi kampus yang konsen dengan persoalan seputar birokrasi.-- 6