BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan jumlah 7,4 miliar jiwa dari tahun Pada tahun 2012, 17,5 juta

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa penyakit jantung menduduki peringkat pertama dari sepuluh penyakit penyebab kematian di dunia dengan jumlah 7,4 miliar jiwa dari tahun Pada tahun 2012, 17,5 juta jiwa meninggal karena penyakit kardiovaskular dengan 7,4 juta disebabkan oleh serangan jantung dan 6,7 juta disebabkan oleh stroke (WHO, 2015). Kematian akibat penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di Indonesia dengan proporsi sebanyak 30% dengan insidensi 700 per penduduk (WHO, 2011). Henti jantung (cardiac arrest) masih menjadi penyebab utama kematian di Amerika Serikat yang diperkirakan hingga jiwa setiap tahunnya (Nikolaou & Christou, 2013) dan 80% terjadi pada pasien penyakit jantung koroner (Mann et al., 2015) dengan angka keberhasilan penyelamatan masih rendah (Johnson et al., 2013). Kematian akibat henti jantung dapat dicegah dengan melakukan Basic Life Support (BLS) sesuai dengan langkah-langkah chain of survival (Nolan et al., 2010) yang salah satu komponennya adalah resusitasi jantung paru (RJP) yang berkualitas (Gruber et al., 2012). Resusitasi jantung paru bermanfaat untuk menjaga oksigenasi darah dan perfusi jaringan yang bertujuan untuk memperbaiki jantung sehingga dapat meningkatkan kesempatan hidup pasien (Madden, 2006). Komponen penting dalam melakukan RJP adalah kedalaman kompresi, kecepatan kompresi, ventilasi, 1

2 2 return of spontaneus circulation (ROSC) dan meminimalisasi interupsi (Infinger, Vandeventer, & Studnek, 2014). Pelatihan RJP yang berkualitas diperlukan untuk meningkatkan angka penyelamatan akibat henti jantung. Pelatihan tersebut harus diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat (AHA, 2010) khususnya kepada mereka yang sering menjumpai kasus henti jantung, namun Mani et al., (2014) menyatakan bahwa masyarakat enggan melakukan tindakan RJP dengan alasan karena harus memberikan napas buatan dari mulut ke mulut. Salah satu lapisan masyarakat yang sering menjumpai kasus henti jantung adalah tenaga kesehatan termasuk perawat. Hal tersebut menuntut perawat untuk menguasai keterampilan RJP dan berespon dengan cepat pada pasien henti jantung baik di dalam maupun di luar rumah sakit (Husebø et al., 2012) sehingga pengetahuan dan keterampilan mengenai RJP merupakan faktor penting dalam menetukan hasil dari penyelamatan pasien (Madden, 2006). Perawat diharapkan dapat berespon dengan cepat pada pasien henti jantung baik pada situasi di dalam maupun di luar rumah sakit (Husebø et al., 2012) namun berdasarkan (Oermann, Kardong-Edgren, & Odom-Maryon, 2011) kualitas RJP yang dilakukan oleh perawat masih buruk walaupun mereka sudah mengikuti pelatihan karena tanpa dilakukan praktek, pengujian dan pengingatan kembali, pengetahuan dan keterampilan RJP cenderung hilang seiring dengan waktu. Kurangnya keterampilan yang dimiliki oleh perawat dan dokter dalam melakukan resusitasi menjadi faktor yang mempengaruhi rendahnya harapan kualitas hidup pasien dengan henti jantung (Passali et al., 2011).

3 3 Menurut kurikulum S1 keperawatan tahap akademik terdapat kompetensi untuk merespon situasi gawat darurat atau bencana secara cepat dan tepat, termasuk melakukan prosedur bantuan hidup jika diperlukan dan prosedur gawat darurat/bencana lainnya (Dikti, 2012). Pada tahap profesi stase VI terdapat materi kuliah keperawatan gawat darurat dengan beban 2 SKS (AIPNI, 2010). Selain itu, perawat juga membutuhkan peningkatan pengetahuan tentang Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) untuk tercapainya pelayanan yang optimal pada pasien gawat darurat yang salah satu komponennya adalah RJP (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1992). Pelatihan RJP penting diberikan kepada mahasiswa keperawatan untuk mendukung kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang perawat untuk melaksanakan prosedur bantuan hidup dasar (Dikti, 2012). Pelatihan RJP dapat dilakukan dengan berbagai metode pembelajaran dengan harapan dapat meningkatkan kualitas RJP yang dilakukan oleh mahasiswa (Perkins et al., 2008). Pelatihan RJP dapat dilakukan dengan berbagai metode pembelajaran dengan harapan dapat meningkatkan kualitas RJP yang dilakukan oleh mahasiswa (Perkins et al., 2008). Pelatihan RJP dapat dimulai dengan membahas teori dan urutan setiap tindakan, mengikuti demonstrasi yang diberikan, dan memberikan kesempatan mahasiswa untuk mencoba pada manekin (Husebo et al., 2012). Menurut Roh et al. (2014), tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada penerapan metode pembelajaran simulasi, observasi dan praktik dalam pelatihan keterampilan resusitasi untuk mengkaji pengetahuan, keterampilan psikomotorik, dan kepercayaan diri mahasiswa keperawatan dalam melakukan RJP.

4 4 Feedback positif atau negatif merupakan komponen penting dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik (Perkins, 2007). Feedback dalam pelatihan RJP dapat diberikan melalui feedback device melalui informasi vokal atau visual mengenai kualitas RJP yang dilakukan (Gruber et al., 2012) sehingga bermanfaat untuk meningkatkan kemahiran dalam melakukan RJP (Spooner et al., 2007) Penggunaan feedback device dapat meningkatkan kualitas RJP dalam hal kedalaman dan kecepatan kompresi yang dilakukan tetapi bergantung pada jenis feedback device yang digunakan (Yeung et al., 2014). Visual feedback device lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan audio feedback device atau tidak menggunakan feedback device sama sekali (Cason et al., 2011). Metode pelatihan RJP yang dilakukan dengan menggunakan tiga jenis feedback device yaitu Pocket CPR, CPR Meter, dan Iphone App Pocket CPR mendapatkan hasil bahwa kompresi yang dilakukan kurang efektif karena ketiga feedback device tersebut mengakibatkan penundaan untuk memulai RJP dan memperburuk hasil penyelamatan (Zapletal et al., 2014). Pelatihan RJP dengan menggunakan direct instruction menghasilkan peningkatan pada kompresi dada (Martin et al., 2013) namun tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan menggunakan feedback device (Meaney et al., 2012). Menurut Kardong-Edgren et al. (2010) tidak terdapat perbedaan laju kompresi pada metode direct instruction dan feedback device. Peserta yang menggunakan audio feedback device menunjukkan kedalaman kompresi yang lebih adekuat dan tepat serta ventilasi yang lebih

5 5 adekuat. Hasil penelitian tentang metode pelatihan RJP masih beragam dan tidak memberikan hasil yang signifikan atau metode yang spesifik sedangkan rekomendasi AHA (2010) mengenai metode pelatihan RJP dapat diberikan dengan menggunakan feedback device dengan meminimalisasi peran instruktur. Berdasarkan studi pendahulan yang dilakukan di AKPER Notokusumo Yogyakarta, pelatihan RJP yang dilakukan dengan kombinasi metode direct instruction dan visual feedback device mendapatkan hasil bahwa nilai keterampilan RJP oleh mahasiswa kurang memuaskan dan masih di bawah nilai kualitas RJP yang direkomendasikan AHA (2010). Sepuluh peserta didik yang diobservasi, hanya satu peserta yang melakukan RJP mendekati standar yang ditentukan. Hal tersebut dapat diakibatkan kerena peserta pelatihan belum terbiasa dan jarang terpapar dengan visual feedback device yang digunakan. Keadaan tersebut mengakibatkan peserta mengalami kebingungan saat menerima direct instruction dari instruktur disertai melihat visual feedback device yang membuat peserta terfokus pada alat tersebut bukan pada korban yang sedang ditolong (manekin). Berdasarkan wawancara terhadap 43 mahasiswa profesi PSIK FK UGM mengenai keberanian dalam melakukan RJP kepada pasien mendapatkan hasil bahwa hanya 2 mahasiswa yang berani melakukan RJP di dalam maupun di luar rumah sakit. Sembilan mahasiswa berani melakukan RJP jika terdapat pendamping dari tim medis lain, 21 mahasiswa berani melakukan RJP di dalam rumah sakit tetapi, belum berani melakukan RJP di luar rumah sakit, dan 11

6 6 mahasiswa belum berani melakukannya baik di dalam maupun di luar rumah sakit dengan alasan takut akan menimbulkan cidera lain. Wawancara juga dilakukan kepada pengelola skill laboratorium PSIK FK UGM, mendapatkan hasil bahwa nilai keterampilan RJP pada mahasiswa keperawatan 60%-70% masih di bawah standar keterampilan RJP yang direkomendasikan. Persamaan persepsi kepada dosen pengampu keterampilan RJP sudah dilakukan dan metode pembelajaran RJP yang digunakan adalah metode demonstrasi kombinasi direct instruction dengan feedback device namun angka remidiasi keterampilan RJP masih tinggi. Berdasarkan kenyataan lapangan yang diperoleh seperti peserta pelatihan RJP belum memberikan hasil yang memuaskan, nilai keterampilan RJP masih di bawah standar yang direkomendasikan dan masih banyak mahasiswa profesi keperawatan yang belum berani untuk melakukan RJP baik di dalam maupun di luar rumah sakit. Melihat fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang metode pelatihan RJP berupa metode demonstrasi dengan kombinasi direct instruction dan feedback device pada mahasiswa S1 keperawatan tahap profesi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaiakan, rumusan masalah penelitian ini adalah Apakah terdapat pengaruh metode demonstrasi RJP dengan kombinasi direct instruction dan feedback device terhadap peningkatan kualitas RJP pada peserta pelatihan RJP mahasiswa S1 keperawatan tahap profesi di Yogyakarta?

7 7 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Mengetahui pengaruh metode demonstrasi RJP dengan kombinasi direct instruction dan feedback device terhadap peningkatan kualitas RJP pada peserta pelatihan RJP mahasiswa S1 keperawatan tahap profesi di Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus : a. Mengetahui kualitas RJP sebelum diberikan pelatihan RJP dengan metode demonstrasi kombinasi direct instruction dan feedback device pada peserta pelatihan RJP mahasiswa S1 keperawatan tahap profesi di Yogyakarta. b. Mengetahui kualitas RJP setelah diberikan pelatihan RJP dengan metode demonstrasi kombinasi direct instruction dan feedback device pada peserta pelatihan mahasiswa S1 Keperawatan tahap profesi di Yogyakarta. c. Membandingkan kualitas RJP sebelum dan sesudah diberikan pelatihan RJP dengan metode demonstrasi kombinasi direct instruction dan feedback device pada peserta pelatihan RJP mahasiswa S1 keperawatan tahap profesi di Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Diharapkan dapat menambah informasi dan digunakan sebagai bahan pengembangan ilmu mengenai metode pembelajaran keterampilan RJP.

8 8 2. Bagi Institusi Penyelenggara RJP Institusi pendidikan dapat mengetahui manfaat metode demonstrasi RJP dengan kombinasi direct instruction dan feedback device terhadap peningkatan kualitas RJP sehingga diharapkan dapat menambah informasi dan pengembangan ilmu mengenai metode pembelajaran keterampilan RJP. 3. Bagi Masyarakat Manfaat sosial pada penelitian ini, diharapkan masyarakat mendapatkan pelayanan yang optimal sehingga dapat menurunkan angka kematian akibat RJP yang kurang tepat. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai metode pelatihan RJP sudah banyak dilakukan di luar negeri namun di Indonesia belum banyak dikembangkan. Penelitian mengenai metode pelatihan RJP yang pernah dilakukan antara lain: 1. Penelitian oleh Cheng et al. (2015) dengan judul Perception of CPR quality: Influence of CPR feedback, Just-in-Time CPR training and provider role mempunyai tujuan untuk mengetahui kualitas RJP dan menggambarkan pengaruh dari Just In Time (JIT) training dan real-time feedback RJP pada kemampuan dan kualitas RJP yang dilakukan. Hasil yang didapatkan adalah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, penggunaan dari real-time feedback dan JIT CPR training dapat meningkatkan pemahaman pada kedalaman kompresi dada. Persamaan penelitian Cheng et al. (2015) dengan penelitian yang dilakukan adalah intervensi yang diberikan yaitu kombinasi metode demonstrasi dengan instruksi dan visual feedback device skillreporter Laerdal ResusciAnne dan

9 sampel yang digunakan yaitu mahasiswa keperawatan. Perbedaan dengan 9 penelitian yang dilakukan adalah pada penelitian Cheng et al. (2015) terdapat kelompok kontrol dan tiga kelompok intervensi, sedangkan dalam penelitian ini tidak terdapat kelompok kontrol dan hanya ada satu kelompok intervensi. 2. Hirose et al. (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Effectiveness of a simplified cardiopulmonary resuscitation training program for the non-medical staff of a university hospital bertujuan untuk mengetahui efektivitas dari program pelatihan sederhana RJP untuk staf non-medis. Program pelatihan sederhana RJP berlangsung selama 45 menit terdiri dari pemberian instruksi, praktik kompresi dada dan AED. Hasil dari penelitian menyatakan bahwa terdapat peningkatan jumlah kompresi dada yang dilakukan setelah mendapatkan pelatihan dan interupsi atau waktu jeda dalam memberikan kompresi dada semakin berkurang. Persamaan penelitian Hirose et al., (2014) dengan penelitian yang dilakukan adalah intervensi yang diberikan adalah metode demonstrasi RJP dengan instruksi dan feedback device. Perbedaannya terdapat pada feedback device yang digunakan, pada penelitian Hirose et al., (2014) alat yang digunakan adalah CPR skill report system APPA-KUN Pro sedangkan pada penelitian ini menggunakan skillreporter Laerdal ResusciAnne. 3. Penelitian dengan judul Comparison of two instructional modalities for nursing student CPR skill acquisition oleh Kardong-edgren et al. (2010) bertujuan untuk membandingkan dua metode pembelajaran keterampilan RJP yaitu (i) kombinasi computer-based course (HeartCode BLS) dengan voice advisory manikin (VAM) feedback dan (ii) kombinasi instructor-led (IL) training dengan

10 10 manekin tradisional. Hasil yang didapatkan adalah penggunaan HeartCode BLS dengan VAM dapat meningkatkan kualitas RJP. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua metode dalam hal kecepatan kompresi. Persamaan penelitian Kardong-edgren et al. (2010) dengan penelitian yang dilakukan adalah sampel mahasiswa keperawatan, tidak terdapat kelompok kontrol dan feedback device yang digunakan Laerdal ResusciAnne SkillReporter TM. Perbedaannya terdapat pada jumlah kelompok yang diberikan intervensi, pada penelitian Kardong-edgren et al., (2010) terapat dua kelompok intervensi sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan hanya terdapata satu kelompok intervensi. 4. Spooner et al. (2007) dengan judul penelitian An evaluation of objective feedback in basic life support (BLS) training, bertujuan untuk membandingkan efektivitas pemberian feedback dari manekin dan instruktur dengan feedback yang hanya diberikan oleh instruktur saja. Keterampilan RJP diuji setelah pelatihan dan enam minggu kemudian. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa metode demonstrasi dengan feedback dari manekin selama pembelajaran secara signifikan dapat meningkatkan kualitas ketrampilan BLS ketika diuji setelah pelatihan dan enam minggu kemudian. Persamaan penelitian Spooner et al. (2007) dengan penelitian yang dilakukan adalah intervensi yang diberikan berupa kombinasi metode instruksi dan feedback device skillreporter Laerdal ResusciAnne, serta tidak terdapat kelompok kontrol. Perbedaan terdapat pada rancangan penelitian yang digunakan, pada penelitian Spooner et al. (2007) dilakukan pengujian kembali setelah enam

11 minggu sedangkan pada penelitian ini tidak terdapat pengujian kembali setelah pelatihan selesai. 11