PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS POTENSI SUMBERDAYA LAHAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KHAMSIANSYAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS POTENSI SUMBERDAYA LAHAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KHAMSIANSYAH"

Transkripsi

1 PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS POTENSI SUMBERDAYA LAHAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KHAMSIANSYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Sapi Potong Berbasis Potensi Sumberdaya Lahan Di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2011 Khamsiansyah NIM A

3 ABSTRACT KHAMSIANSYAH. Cattle Development Potential of Land Resources Based in Tanah Bumbu regency of South Kalimantan Province. Supervised by: DJUNAEDI ABDUL RACHIM, MUHAMMAD ARDIANSYAH and SETIA HADI. Development of beef cattle is closely related to potential land resources. Tanah Bumbu Regency has a superior commodity that is beef cattle, with a population until the year 2009 amounted to individuals. Development area of beef cattle in Tanah Bumbu apparently not noticed the potential of land resources. Purpose of this study are: 1) to identify the basic sector and centralization of activities, 2) to identify the types of appropriate land use, 3) to identify the ecological land suitability, 4) to identify land source for animal feed, forage and 5) to determine the priority direction of development land. The study lasted from October 2008 until February Processing data using the GIS program Arc View 3.3, Erdas Imagine 6.8, MS Excel and MS XP. GPS tools and other tools that support. Determination of the basic sector and the centralization of activities using the Location Quotient (LQ), Localization Index (LI) and Specialization Index (SI). Keywords: Beef cattle, land suitability, Tanah Bumbu.

4 RINGKASAN KHAMSIANSYAH. Pengembangan Sapi Potong Berbasis Potensi Sumberdaya Lahan di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh : DJUNAEDI ABDUL RACHIM, MUHAMMAD ARDIANSYAH dan SETIA HADI. Pengembangan sapi potong erat kaitannya dengan potensi sumberdaya lahan. Kabupaten Tanah Bumbu memiliki komoditas unggulan ternak sapi potong, dengan populasi sampai tahun 2009 sebesar ekor. Pengembangan wilayah untuk ternak sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu ternyata belum memperhatikan potensi sumberdaya lahan. Tujuan, penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi sektor basis dan pemusatan aktifitas, 2) mengidentifikasi jenis-jenis penggunaan lahan yang sesuai, 3) mengidentifikasi kesesuaian lahan lingkungan ekologis, 4) mengidentifikasi lahan sumber hijauan makanan ternak, 5) menentukan prioritas arahan lahan pengembangan. Penelitian berlangsung dari bulan Oktober 2008 sampai dengan Februari Pengolahan data menggunakan program GIS Arc View 3.3, Erdas Imagine 8.6, MS Excel dan MS XP. Alat bantu GPS dan alat-alat lain yang menunjang. Penentuan sektor basis dan pemusatan aktifitas menggunakan analisis Location Quotient (LQ), Localization Index (LI) dan Specialization Index (SI). Berdasarkan analisis Location Quotient (LQ) pemeliharaan ternak sapi potong merupakan sektor basis di Kecamatan Kuranji (LQ=1.13), Angsana (LQ=1.11), Karang Bintang (LQ=1.10), Mantewe (LQ=1.09), Satui (LQ=1.06) dan Sungai Loban (LQ=1.06). Berdasarkan analisis Localization Index (LI) terjadi pemusatan aktifitas pemeliharaan ternak sapi potong di Kecamatan Kusan Hulu (LI=0.02), Batulicin (LI=0.01), Kuranji (LI=0.01), Kusan Hilir (LI=0.01), Mantewe (LI=0.01) dan Sungai Loban (LI=0.01). Berdasarkan analisis Specialization Index (SI) terjadi kekhasan aktifitas pemeliharaan ternak sapi potong di Kecamatan Batulicin (SI=0.33), Kusan Hulu (SI=0.16), Kusan Hilir (SI=0.10). Hasil analisis spasial menunjukkan jenis-jenis lahan yang baik untuk pengembangan sapi potong pada keadaan aktual adalah kebun, lahan terbuka, semak belukar dan tegalan dengan total luas Ha (33.68% dari total luas Kabupaten Tanah Bumbu yaitu: Ha). Keadaan potensial adalah hutan produksi, hutan produksi terbatas, kebun, lahan terbuka, perkebunan karet, sawah, semak belukar dan tegalan dengan total luas Ha (69.89% dari total luas Kabupaten Tanah Bumbu). Berdasarkan analisis kesesuaian lahan lingkungan ekologis yang sesuai untuk pemeliharaan sistem gembala pada keadaan aktual adalah Ha (26.78% dari luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu), keadaan potensial adalah Ha (62.99% dari luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu). Sistem kandang pada keadaan aktual adalah Ha (29.18% dari luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu), keadaan potensial adalah Ha (62.99% dari luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu). Berdasarkan sumber hijauan makanan ternak lahan yang baik untuk pengembangan sapi potong pada keadaan aktual adalah kebun, lahan terbuka, semak belukar dan tegalan. Keadaan potensial adalah hutan produksi, hutan

5 produksi terbatas, kebun, lahan terbuka, perkebunan karet, sawah, semak belukar dan tegalan. Total daya dukung hijauan makanan ternak di Kabupaten Tanah Bumbu pada keadaan aktual adalah ST (satuan ternak) sehingga masih mampu menampung ternak sapi potong sebesar ST, keadaan potensial adalah ST sehingga masih mampu menampung ternak sapi potong sebesar ST. Berdasarkan prioritas arahan lahan pengembangan sistem gembala prioritas I keadaan aktual adalah kebun Ha keadaan potensial adalah hutan produksi terbatas dan sawah Ha, prioritas II keadaan aktual adalah tegalan Ha keadaan potensial adalah hutan produksi dan lahan terbuka Ha, prioritas III keadaan aktual adalah semak belukar Ha keadaan potensial adalah perkebunan karet dan semak belukar Ha dan prioritas IV keadaan aktual adalah lahan terbuka Ha keadaan potensial adalah kebun dan tegalan Ha. Sistem kandang prioritas I keadaan aktual adalah kebun Ha keadaan potensial adalah hutan produksi terbatas dan sawah Ha, prioritas II keadaan aktual adalah tegalan Ha keadaan potensial adalah hutan produksi dan lahan terbuka Ha, prioritas III keadaan aktual adalah semak belukar Ha keadaan potensial adalah perkebunan karet dan semak belukar Ha dan prioritas IV keadaan aktual adalah lahan terbuka Ha keadaan potensial adalah kebun dan tegalan Ha. Berdasarkan arahan lahan pengembangan sapi potong sistem gembala keadaan aktual mempunyai luas Ha (24.51% dari luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu) total daya dukung ST total kapasitas peningkatan ST atau rata-rata 0.79 ST/Ha, sistem kandang keadaan aktual mempunyai luas Ha (26.17% dari luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu) total daya dukung ST total kapasitas peningkatan ST atau rata-rata 0.87 ST/Ha. Keadaan potensial sistem gembala mempunyai luas Ha (49.46% dari luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu) total daya dukung ST total kapasitas peningkatan ST atau rata-rata 0.49 ST/Ha, sistem kandang keadaan potensial mempunyai luas Ha (51.77% dari luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu) total daya dukung ST total kapasitas peningkatan ST atau rata-rata 0.54 ST/Ha. Kata kunci : Sapi potong, kesesuaian lahan, Tanah Bumbu.

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS POTENSI SUMBERDAYA LAHAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KHAMSIANSYAH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Widiatmaka, DAA

9 Judul Tesis : Pengembangan Sapi Potong Berbasis Potensi Sumberdaya Lahan Di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan Nama : Khamsiansyah NIM : A Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Djunaedi Abdul Rachim, MS Ketua Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si Anggota Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr Tanggal Ujian: 14 Maret 2011 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Bismillaahirrahmaanirrahiim Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Illahi rabbi karena atas limpahan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Pengembangan Sapi Potong Berbasis Potensi Sumberdaya Lahan Di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Djunaedi Abdul Rachim, MS selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah, dan Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si selaku anggota komisi pembimbing serta Dr. Ir. Widiatmaka, DAA sebagai penguji. 2. Ketua Program Studi Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, segenap dosen pengajar, asisten dan staf (Bu Tuti dan Yuli) dari Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 3. Kepala Pusbindiklatren-Bappenas yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program studi ini dan juga telah mengalokasikan anggaran biaya beasiswa tugas belajar. 4. Bupati Tanah Bumbu dan Sekda Kabupaten Tanah Bumbu atas bantuan dan ijin yang telah diberikan untuk melaksanakan tugas belajar di IPB. 5. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Tanah Bumbu Bapak Drs. Edward Thurrahman dan staf yang telah memberikan kemudahan dalam proses penelitian. 6. Kepala Bappeda Kabupaten Tanah Bumbu dan staf (Zainudin=terimakasih data digitalnya) yang telah memberikan bantuan dan dukungannya. 7. Kepala Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan dan staf (Mba Wuri=terimakasih data populasinya dan teman-teman di Disnakprov Kalsel). 8. Bapak Marwan dan Ir. Suratman dari Puslittanak Bogor, Bapak Ir. Subroto M.S dan Ibu Elizabeth Juarini M.S dari Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor atas segala informasi dan pemahaman yang diberikan. 9. Ayah (Hermansyah) dan Ibu (Rosita) serta keluarga tercinta (Rusmansyah, Ardian Nor dan Mai Surah) atas segala do a, perhatian, kasih sayang, pengertian dan kesabaran yang telah menjadi nilai lebih bagi penulis untuk tetap terus melangkah. 10. Semua teman-teman lainnya yang namanya tak bisa disebutkan satu persatu terimakasih untuk semua saran, kritik dan apapun yang membuat penulis mampu menyelesaikan tesis ini. Harapan yang ada dalam diri penulis adalah tesis ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca, walaupun itu mungkin hanya kecil sekali bermakna. Tidaklah sesuatu itu berguna tanpa ada usaha untuk menggapainya. Mohon maaf bila diri telah alpa dalam ucap maupun goresan tinta. Bogor, Februari 2011 Khamsiansyah

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 3 Januari 1974 dari ayah Hermansyah dan ibu Rosita. Penulis merupakan putra ke dua dari empat bersaudara. Pada tahun 1981 penulis masuk SD Negeri Tibung Raya I Kandangan lulus tahun 1987, masuk SMP Negeri 2 Kandangan tahun 1987 lulus tahun 1990, masuk Sekolah Menengah Teknologi (SMT) Pertanian Negeri Rantau tahun 1990 lulus tahun 1993, diterima sebagai mahasiswa Program Diploma III Fakultas Peternakan IPB tahun 1993 lulus tahun 1996, pada tahun 1997 Penulis diterima menjadi mahasiswa Alih Jenjang program pendidikan Strata 1 di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang dan lulus tahun 2000, tahun 2001 penulis mengambil Akta Mengajar di Universitas Negeri Malang, selanjutnya tahun 2002 dan 2003 penulis sempat menjadi guru honorer dan mengajar di SMA Negeri 1 Batulicin dan akhir tahun 2003 penulis diterima sebagai CPNS Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu. Kesempatan untuk melanjutkan ke Sekolah Pasca Sarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah diperoleh pada tahun 2007 atas ijin tugas belajar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu dan beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas. Saat ini penulis bekerja pada Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan, dengan tugas utama membantu perencanaan produksi, pengembangan peternakan dan kesehatan hewan.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian... 4 Kerangka Pemikiran... 5 Keterbatasan Penelitian... 6 TINJAUAN PUSTAKA... 8 Sapi Potong... 8 Hijauan Makanan Ternak... 8 Pengertian Dasar Informasi Geografi... 9 Penginderaan Jauh untuk Interpretasi Citra Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Data Alat Analisis dan Pengolahan Data GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Penduduk Iklim dan Topografi Klasifikasi Lahan Kondisi Umum Peternakan Kondisi Umum Tanaman Pangan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis LQ, LI dan SI Penutupan dan Penggunaan Lahan Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong Prioritas dan Arahan Lahan Pengembangan Sapi Potong Keterkaitan Arahan Lahan Pengembangan Sapi Potong dengan Analisis LQ, LI dan SI... 79

13 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 90

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Data perkembangan populasi ternak di Kabupaten Tanah Bumbu selama tahun 2005 s/d Luas daerah Kabupaten Tanah Bumbu menurut penggunaan tanah tahun Panjang gelombang kanal-kanal sensor TM dan fungsi aplikasinya Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian Kriteria status daya dukung hijauan berdasarkan indeks daya dukung Karakterisasi pakan limbah tanaman pangan Karakterisasi pakan hijauan pada setiap penggunaan lahan Nilai satuan ternak (ST) ruminansia utama di Kabupaten Tanah Bumbu tahun Matriks prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong Distribusi penduduk di Kabupaten Tanah Bumbu tahun Rata-rata Curah Hujan di Kabupaten Tanah Bumbu tahun Rata-rata Suhu Udara di Kabupaten Tanah Bumbu tahun Rata-rata Kelembaban Nisbi di Kabupaten Tanah Bumbu tahun Bentuk wilayah dan luas lahan berdasarkan kelerengan di Kabupaten Tanah Bumbu Ketinggian dan luas wilayah di Kabupaten Tanah bumbu Populasi ternak ruminansia dalam satuan ekor dan Satuan Ternak (ST) perkecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu tahun Luas panen, produksi dan rata-rata produksi tanaman padi dan Palawija di Kabupaten Tanah Bumbu... 49

15 18 Luas panen tanaman padi dan palawija berdasarkan kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil analisis LQ ternak ruminansia di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil analisis LI ternak ruminansia di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil analisis SI ternak ruminansia di Kabupaten Tanah Bumbu Jenis penutupan dan penggunaan lahan di Kabupaten Tanah Bumbu Luas kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu Status daya dukung hijauan makanan ternak di Kabupaten Tanah Bumbu tahun Daya dukung hijauan makanan ternak dan kapasitas peningkatan ternak sapi potong menurut kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu (satuan ternak) Daya dukung hijauan makanan ternak berdasarkan land use di Kabupaten Tanah Bumbu Jenis penutupan dan penggunaan lahan berdasarkan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tanah Bumbu Prioritas arahan lahan dan kapasitas peningkatan sapi potong sistem gembala di Kabupaten Tanah Bumbu Prioritas arahan lahan dan kapasitas peningkatan sapi potong sistem kandang di Kabupaten Tanah Bumbu Arahan Lahan pengembangan sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil analisis arahan lahan pengembangan dengan analisis data LQ, LI dan SI komoditas ternak sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu... 82

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian Peta lokasi penelitian Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan Diagram alir pembuatan peta satuan lahan Kabupaten Tanah Bumbu Diagram alir pembuatan peta prioritas dan arahan lahan pengembangan sapi potong Peta curah hujan tahunan Kabupaten Tanah Bumbu Peta lereng Kabupaten Tanah Bumbu Peta elevasi Kabupaten Tanah Bumbu Peta satuan lahan Kabupaten Tanah Bumbu Citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2010 Kabupaten Tanah bumbu Peta penutupan dan penggunaan lahan di Kabupaten Tanah Bumbu Peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong sistem gembala di Kabupaten Tanah Bumbu Peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong sistem kandang di Kabupaten Tanah Bumbu Peta status daya dukung hijauan makanan ternak keadaan aktual di Kabupaten Tanah Bumbu Peta status daya dukung hijauan makanan ternak keadaan potensial di Kabupaten Tanah Bumbu Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tanah Bumbu tahun Peta prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong sistem gembala keadaan aktual di Kabupaten Tanah Bumbu Peta prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong sistem gembala keadaan potensial di Kabupaten Tanah Bumbu... 69

17 18 Peta prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong sistem kandang keadaan aktual di Kabupaten Tanah Bumbu Peta prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong sistem kandang keadaan potensial di Kabupaten Tanah Bumbu Peta arahan lahan pengembangan sapi potong sistem gembala keadaan aktual di Kabupaten Tanah Bumbu Peta arahan lahan pengembangan sapi potong sistem gembala keadaan potensial di Kabupaten Tanah Bumbu Peta arahan lahan pengembangan sapi potong sistem kandang keadaan aktual di Kabupaten Tanah Bumbu Peta arahan lahan pengembangan sapi potong sistem kandang keadaan potensial di Kabupaten Tanah Bumbu... 81

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Legenda satuan lahan dan tanah di Kabupaten Tanah Bumbu Kriteria penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak sapi gembala dan kandang (ternak ruminansia yang adaptik di daerah tropik pada umumnya) Kualitas dan karakteristik lahan di Kabupaten Tanah Bumbu Kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong di kabupaten Tanah Bumbu keadaan aktual Kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong di kabupaten Tanah Bumbu keadaan potensial Data produksi limbah tanaman pangan Kabupaten Tanah Bumbu tahun Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan aktual berdasarkan kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan potensial berdasarkan kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan aktual berdasarkan penutupan dan penggunaan lahan (Land use) di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan potensial berdasarkan penutupan dan penggunaan lahan (Land use) di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan aktual yang digunakan untuk prioritas arahan pengembangan sapi potong sistem gembala di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan potensial yang digunakan untuk prioritas arahan pengembangan sapi potong sistem gembala di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan aktual yang digunakan untuk prioritas arahan pengembangan sapi potong sistem kandang di Kabupaten Tanah Bumbu

19 14 Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan potensial yang digunakan untuk prioritas arahan pengembangan sapi potong sistem kandang di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan aktual yang digunakan untuk arahan pengembangan sapi potong sistem gembala di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan potensial yang digunakan untuk arahan pengembangan sapi potong sistem gembala di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan aktual yang digunakan untuk arahan pengembangan sapi potong sistem kandang di Kabupaten Tanah Bumbu Hasil perhitungan indeks dan daya dukung (DD) pada keadaan potensial yang digunakan untuk arahan pengembangan sapi potong sistem kandang di Kabupaten Tanah Bumbu

20 PENDAHULUAN Latar Belakang Saat ini keperluan dan harga daging sapi terus meningkat, apalagi menjelang hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Menurut Dirjen Peternakan RI, kebutuhan sapi potong nasional pada tahun 2009 mencapai 2.1 juta ekor sapi. Sebanyak 1.1 juta ekor dari kebutuhan tersebut dipasok dari dalam negeri, sedangkan sebanyak 1 juta ekor sapi masih dipasok dari impor. Total dana untuk keperluan impor mencapai Rp 4.8 trilyun. Dengan asumsi jumlah penduduk tahun 2010 adalah 240 juta jiwa dan konsumsi daging sapi 1.8 kg/kapita/tahun, maka dibutuhkan 432 juta kilogram daging sapi atau jika dikonversikan menjadi sapi hidup setara dengan 2.5 juta ekor sapi. Jika diasumsikan peningkatan konsumsi daging menjadi 10 kg/kapita/tahun, paling tidak, perlu tersedia 10 juta ekor sapi setiap tahun (Fikar dan Ruhyadi, 2010). Semua orang suka makan daging, termasuk daging sapi. Semakin tinggi penghasilan masyarakat, biasanya konsumsi daging sapi semakin meningkat. Hal ini disebabkan adanya kemampuan individu tersebut untuk membeli daging sapi yang memang harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga daging ayam dan itik. Konsumsi daging sapi tidak mengenal musim. Bahkan pada hari-hari besar keagamaan dan tahun baru, permintaan daging sapi meningkat tajam, sehingga harganyapun bisa naik tiga kali lipat. Daging sapi dapat diolah menjadi beraneka macam makanan dan masakan seperti rendang, steak, dendeng dan abon. Tidak heran begitu banyak orang yang menyukai masakan daging sapi maupun olahannya, permintaan terhadap sapi potong dari tahun ke tahun terus meningkat. Sementara itu, pasokan sapi potong dalam negeri belum dapat memenuhi semua permintaan yang ada. Tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa memelihara sapi potong begitu menggiurkan. Selama bertahun tahun, banyak peternak kecil maupun besar yang sudah merasakan keuntungan beternak sapi potong. Banyak peternak yang telah mengantarkan anaknya menjadi sarjana hanya karena memiliki usaha sampingan beternak sapi potong. Beberapa keuntungan beternak sapi potong diantaranya kebutuhan daging sapi terus meningkat dan berkesinambungan, harga jual terus

21 2 tinggi dan sapi potong mampu mengubah rumput alam yang tidak berharga menjadi produk daging yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Kabupaten Tanah Bumbu memiliki potensi besar untuk pembangunan peternakan sapi potong, hal ini sangat didukung oleh adanya rumput alam yang luas untuk padang penggembalaan. Potensi pasar dalam daerah dan antar propinsi sangat terbuka dan berpeluang besar. Dalam lingkup yang lebih besar, Provinsi Kalimantan Selatan berkeinginan meningkatkan populasi ternak sapi potong menjadi ekor (kondisi tahun 2009 = ekor) dengan memanfaatkan potensi alam dengan tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Terwujudnya keinginan di atas pada giliranya diharapkan dapat dipenuhinya permintaan masyarakat di dalam Propinsi, Regional Kalimantan maupun tingkat Nasional. Usaha peternakan ini diharapkan juga akan memberikan kontribusi yang makin besar terhadap pendapatan masyarakat Kabupaten Tanah Bumbu dan Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan (2010), ternak sapi potong masih dapat dikembangkan sampai ekor sementara ini populasi sapi potong tahun 2009 adalah ekor atau 24.08% dari pemanfaatan potensi yang ada. Peluang pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Kalimantan Selatan masih terbuka sebanyak ekor. Pemotongan ternak sapi di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2007 guna memenuhi konsumsi daging dalam daerah mencapai ekor. Untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai standar nasional diperlukan sapi yang dipotong perlu sebanyak ekor per tahun. Berarti kondisi ini baru terpenuhi 43.21% atau masih kurang ekor lagi yang harus dipotong. Dari data Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Tanah Bumbu (2010), populasi sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2009 adalah ekor. Data perkembangan populasi ternak 5 tahun terakhir di Kabupaten Tanah Bumbu seperti disajikan pada Tabel 1. Terdapat kecenderungan peningkatan populasi ternak sapi potong tahun 2009 sebesar 11.05% dari populasi awal tahun Adapun luas tanah yang berpotensi untuk pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu sangat besar. Hal ini seperti disajikan pada Tabel 2. Penggunaan lahan untuk pertanian tanah

22 3 kering, padang (semak, alang-alang, rumput) dan lahan terbuka dengan total luas Ha sangat berpotensi untuk pengembangan ternak sapi potong. Berdasarkan potensi di atas dan seiring dengan perkembangan wilayah maka perlu adanya penelitian tentang Pengembangan Sapi Potong Berbasis Potensi Sumberdaya Lahan Di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Tabel 1 Data perkembangan populasi ternak di Kabupaten Tanah Bumbu selama tahun No. Jenis ternak Populasi (ekor) Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Ayam Buras Ayam Ras Petelur Ayam Ras Pedaging Itik Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Tanah Bumbu (2010). Tabel 2 Luas daerah Kabupaten Tanah Bumbu menurut penggunaan tanah tahun 2008 No. Penggunaan tanah Luas (Ha) % 1. Kampung Industri Pertambangan Sawah Pertanian Tanah Kering Kebun Campuran Perkebunan Padang (Semak, Alang-alang, Rumput) Hutan Perairan darat Tanah Terbuka Lain-lain Tanah Bumbu Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Bumbu (2009).

23 4 Perumusan Masalah Informasi potensi sumberdaya lahan sangatlah penting sebagai dasar pertimbangan dalam perencanaan dan pembangunan wilayah. Demikian juga dengan pengembangan ternak sapi potong, perlu adanya data potensi sumberdaya lahan sehingga kebijakan dengan program pemerintah dapat dilakukan dengan tepat. Berdasarkan hal di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah sektor basis dan pemusatan aktifitas sektor peternakan di Kabupaten Tanah Bumbu? 2. Jenis-jenis penggunaan lahan yang manakah yang baik untuk pengembangan sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu? 3. Lahan-lahan manakah yang sesuai sebagai lingkungan ekologis sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu? 4. Lahan-lahan manakah sumber hijauan makanan ternak sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu? 5. Lahan-lahan manakah yang merupakan prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi sektor basis dan pemusatan aktifitas sektor peternakan di Kabupaten Tanah Bumbu. 2. Mengidentifikasi jenis-jenis penggunaan lahan yang baik untuk pengembangan sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu. 3. Mengidentifikasi kesesuaian lahan lingkungan ekologis sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu. 4. Mengidentifikasi lahan sumber hijauan makanan ternak sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu. 5. Menentukan prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong yang sesuai dengan potensi lahan yang ada di Kabupaten Tanah Bumbu. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapakan bermanfaat untuk: 1. Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu

24 5 dalam perencanaan pembangunan wilayah, khususnya pengembangan ternak sapi potong. 2. Memberikan masukan bagi masyarakat swasta/investor yang berusaha dibidang pemeliharaan sapi potong. 3. Memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang sumberdaya lahan sebagai dasar perencanaan wilayah di Kabupaten Tanah Bumbu. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini pengembangan ternak sapi potong dilakukan berdasarkan pendekatan sumberdaya wilayah/lahan. Sumberdaya wilayah bervariasi antara satu tempat dengan tempat lain. Oleh karena itu, tidak mungkin ternak sapi dikembangkan pada semua wilayah, antara lain karena adanya keterbatasan sumberdaya lahan di suatu wilayah. Pengembangan peternakan sapi potong merupakan usaha pertanian berbasis lahan (land based agriculture) dimana lahan merupakan faktor penting sebagai tempat hidup dan penghasil hijauan makanan ternak. Lahan usaha ternak sapi potong terkait erat dengan lahan-lahan usahatani secara umum. Lahan-lahan usahatani mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam penyediaan hijauan makanan ternak termasuk limbah pertanian karena jenis tanaman dan pengelolaan yang berbeda. Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi lahan untuk menilai keragaan lahan untuk pengembangan sapi potong yakni penentuan kesesuaian lahan untuk lingkungan ekologis dan lahan sumber hijauan makanan ternak (HMT). Kesesuaian lahan untuk HMT dicerminkan oleh tingkat ketersediaan dan daya dukung hijauan di suatu wilayah termasuk bahan pakan asal limbah pertanian. Identifikasi penutupan/penggunaan lahan (landuse) yang potensial untuk pengembangan ternak ruminansia dibuat melalui proses interpretasi citra Landsat 7 ETM+ tahun 2010, sehingga didapat penggunaan lahan saat ini. Evaluasi kesesuaian lahan untuk pengembangan sapi potong, dilakukan dengan membandingkan antara kualitas/karakteristik lahan dengan persyaratan kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong yakni faktor iklim (suhu, kelembaban), terrain (lereng, elevasi), serta kualitas dan ketersediaan air (curah hujan).

25 6 Sebagai bahan pertimbangan digunakan indeks Location Quotient (LQ), Localization Index (LI) dan Specialization Index (SI) yang berfungsi untuk melihat sektor basis dan pemusatan aktifitas sektor peternakan di wilayah penelitian. Dengan operasi tumpang tindih (overlay) dapat ditentukan prioritas dan arahan lahan pengembangan sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu. Dari uraian di atas, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Keterbatasan Penelitian Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain : 1. Peta tanah yang digunakan terbatas pada informasi skala 1: Penelitian hanya dilakukan pada tingkat kecamatan, padahal sebaiknya adalah pada tingkat desa. 3. Pemilikan tanah dan kependudukan tidak dipertimbangkan dalam evaluasi lahan. 4. Aksesibilitas (sarana jalan) dan pemukiman tidak diperhitungkan. 5. Perhitungan produksi hijauan makanan ternak dan bahan kering cerna (BKC) untuk setiap penutupan/penggunaan lahan didasarkan pada asumsi hasil penelitian terdahulu dan data sekunder. 6. Produksi hijauan makanan ternak dihitung berdasarkan penggunaan dan penutupan lahan saat ini (present land use). 7. Produksi limbah dihitung berdasarkan data sekunder luas panen tanaman pangan dari BPS Kabupaten Tanah Bumbu (2009).

26 7 Citra Landsat 7 ETM+ (2010) Peta Penggunaan Lahan - Lahan Peternakan Sapi Potong Keadaan tahun (2010) - Lahan Tersedia yang Berpotensi untuk Peternakan Sapi Potong Analisis Sektor Basis dan Pemusatan Aktifitas Sektor Peternakan (LQ, LI Dan SI) Evaluasi Lahan untuk Peternakan Kesesuaian Lingkungan Ekologis Ternak Sapi Potong Data Populasi dan Komposisi Ternak Data Produksi Limbah Tanaman Pangan Analisis Ketersediaan Hijauan Makanan Ternak - Daya Dukung - Indeks Daya Dukung OVERLAY Lahan-lahan Potensial untuk Pengembangan Ternak Sapi Potong Kapasitas Peningkatan Populasi Sapi Potong Daya Dukung Lahan-lahan yang Sesuai untuk Pengembangan Sapi Potong Prioritas dan Arahan Lahan Pengembangan Sapi Potong Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

27 TINJAUAN PUSTAKA Sapi Potong Sapi termasuk ternak ruminansia yaitu ternak memamah biak yang memiliki saluran pencernaan istimewa karena mampu memanfaatkan hijauan yang mengandung serat kasar yang tinggi (Natasasmita dan Murdikdjo, 1980). Sedangkan menurut Williamson dan Payne (1993), ternak sapi potong adalah jenis sapi yang dipelihara untuk menghasilkan daging sebagai produk utamanya. Sapi termasuk dalam genus Bos, mempunyai teracak (jari) genap, berkaki empat, tanduk berongga, dan memamah biak. Sapi juga termasuk dalam kelompok Taurine, termasuk di dalamnya Bos taurus (sapi-sapi yang tidak memiliki punuk) dan Bos indicus (sapi-sapi yang berpunuk). Beberapa sapi potong Eropa dan Inggris yang didatangkan ke Indonesia adalah sapi: Simmental, Limousin, Angus, Hereford, Shorthorn, Santa gertrudis, dan Beefmaster. Dari India sapi: Brahman dan Ongole. Sedangkan sapi lokal Indonesia adalah sapi Bali, sapi Madura, dan sapi PO atau peranakan Ongole. Taksonomi sapi potong adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Genus : Bos Subgenus : 1). Taurine : Bos taurus dan Bos indicus 2). Bibovinae : Bos gaurus, Bos frontalis, dan Bibus Sondaicus 3.) Bisontinae : Bos grunniens, Bos bonasus, dan Bos bison 4). Bubalinae : Bos caffer dan Bubalus bubalis. Hijauan Makanan Ternak Jenis tanaman budidaya maupun alam yang umum dipergunakan sebagai hijauan makanan ternak terdiri dari: (1) jenis rumput-rumputan (gramineae), (2) peperduan/semak (herba) dan (3) pepohonan. Cukup banyak pilihan tersedia bagi spesies hijauan yang berpotensi tinggi, diantaranya adalah: (a) rumput alam/lapangan antara lain: rumput Para (Brachiaria mutica), rumput Benggala

28 9 (Panicum maximum), rumput Kolonjono (Panicum muticum), rumput Buffel (Cenchrus ciliaris) dan lain-lain; (b) Peperduan, baik berupa legum seperti: kacang Gude (Cajanus cajan), Komak (Dolichos lablab) dan lain-lain, dan peperduan lainnya dari limbah tanaman pangan pertanian antara lain: jerami padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar, ubi kayu dan lain-lain; (c) legum pohon antara lain: Sengon laut (Albazia falcataria), Lamtoro (Leucaena leucocephala), Kaliandra (Calliandra calothyrsus), Turi (Sesbania sp) dan lain-lain. Rumputrumputan yang berpotensi sebagai rumput budidaya antara lain: rumput Gajah (Pennisetum purpereum), Setaria (Setaria spachelata), rumput Raja (Pennisetum purpuphoides) dan lain-lain (Reksohadiprojo, 1984). Manurung (1996), berpendapat bahwa hijauan leguminosa merupakan sumber protein yang penting untuk ternak ruminansia. Keberadaannya dalam ransum ternak akan meningkatkan kualitas pakan. Leguminosa pohon banyak terdapat di daerah tropis, kaya akan nitrogen dan tidak tergantung pada kondisi nitrogen dalam tanah atau pemberian pupuk karena sifatnya dapat memanfaatkan nitrogen udara melalui bintil-bintil akar. Berdasarkan hasil penelitian, di antara tiga jenis leguminosa pohon (Lamtoro, Gliserida dan Kaliandra) tidak terdapat perbedaan nyata dalam tingkat konsumsinya oleh ternak ruminansia, namun Kaliandra memperlihatkan konsumsi yang lebih tinggi. diikuti oleh Gliserida dan Lamtoro. Pengertian Dasar Sistem Informasi Geografi Sistem Informasi Geografi (SIG) atau Geografic Information System adalah sistem penanganan dan pengolahan data dan informasi geografi, yaitu data dan informasi yang terpaut kepada bentangan bumi (Star dan Estes, 1990). Sedangkan menurut Barus (2005), SIG adalah suatu sistem komputer untuk menangkap, mengatur, mengintegrasi, memanipulasi, menganalisis dan menyajikan data yang bereferensi ke bumi. Secara khusus Aronoff (1989), menjelaskan bahwa SIG merupakan sistem berdasarkan komputer yang memiliki kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi yaitu (a) pemasukan, (b) manajemen data-data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), (c) memanipulasi dan analisis dan (d) pengembangan produk percetakan. Lebih lanjut Dangermound (1984), menjelaskan Sistem

29 10 Informasi Geografi dikembangkan karena semakin kompleks dan besarnya jumlah data yang perlu ditangani untuk menunjang proses pengambilan keputusan dalam suatu organisasi. Pengertian SIG saat ini lebih sering diterapkan bagi teknologi informasi spasial atau geografi yang berorientasi pada penggunaan komputer. Pada pengertian yang lebih luas SIG mencakup juga pengertian sebagai suatu sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional (Barus dan Wiradisastra, 2000). Sedangkan Mulders (2001), berpendapat bahwa aplikasi SIG dan analisis Digital Elevation Model (DEM) pada berbagai bidang kehidupan semakin luas, diantaranya untuk melihat kelerengan permukaan bumi, pergerakan permukaan bumi, dan lain sebagainya. Sebagai penghubung antara data lapangan dengan DEM maka digunakan alat GPS yang berfungsi sebagai penentu posisi suatu benda di permukaan bumi. Penginderaan Jauh untuk Interpretasi Citra Analisis jenis penutupan/penggunaan lahan dilakukan melalui pengolahan citra dengan tahapan yakni: (1) penyiapan citra asli, dan (2) analisis dan interpretasi citra. Tahap penyiapan dilakukan ketika akan menggunakan sebuah citra satelit, yakni dengan melakukan koreksi geometri (akibat pengaruh rotasi dan bentuk bumi, efek panoramik, perubahan kecepatan dan variasi ketinggian satelit) dan koreksi radiometri, untuk mengurangi kesalahan perekaman nilai pixel yang diakibatkan adanya pengaruh azimut matahari dan kondisi atmosfer seperti kabut aerosol, dan sebagainya. Sedangkan tahap analisis dan interpretasi citra dilakukan dengan klasifikasi dan interpretasi visual citra. Interpretasi citra secara visual dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu penajaman citra (image enhancement) dan visualisasi dalam warna semu (color composite). Penajaman citra bertujuan meningkatkan kontras objek objek geografis yang tergambar pada citra. Sedangkan penampilan dalam komposisi warna semu, seringkali lebih mempermudah pengenalan objek melalui perbedaan warna (Hanggono, 1999). Istilah penutupan lahan adalah hal yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Istilah

30 11 penggunaan lahan adalah berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1990). Menurut Lindgren (1985), penginderaan jauh merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh dan menganalisis informasi tentang bumi. Informasi itu berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi. Penafsiran citra visual dapat didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya (Howard, 1991). Menurut Hanggono (1999), tujuan dari suatu prosedur analisis citra adalah untuk mendapatkan deskripsi dan kelas penutupan dan penggunaan lahan secara menyeluruh mengenai lokasi penelitian. Salah satu penerapan yang sering dilakukan adalah segmentasi atau klasifikasi citra dengan tujuan menghasilkan informasi tutupan lahan. Klasifikasi citra dilakukan secara terbimbing (supervised classification) dengan metode kemiripan maksimum (maximum like hood classification atau MLC). Perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh dewasa ini memungkinkan dilakukannya pemetaan sumberdaya alam/lahan. Untuk maksud identifikasi dan pemetaan jenis tanaman dari citra Landsat, cara yang paling efektif adalah dengan mengamati pada dua saluran atau lebih secara bersamasama dengan bantuan alat pengamat warna aditif atau melakukan interpretasi pada citra paduan warna. Salah satu bidang ilmu dan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan satelit LANDSAT yang dikelola oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dapat dihasilkan data cakupan citra satelit suatu wilayah. Melalui pemanfaatan interpretasi data satelit dengan menggunakan perangkat keras dan lunak serta didukung dengan peta topografi, peta tematis serta data statistik pertanian, dapat dianalisis potensi hijauan pakan ternak di suatu wilayah lebih cepat dan cukup akurat. Berdasarkan data ketersediaan hijauan pakan ternak di suatu wilayah, dibagi dengan kebutuhan per ekor ternak akan didapatkan kapasitas tampung (Ma'sum, 1999). Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

31 12 dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Menurut Tapiador dan Casanova (2003), karakteristik utama dari metode penginderaan jauh yang digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan adalah tingkat otomatisasi dan objektivitas yang tinggi, serta memungkinkan untuk dilakukan perbaikan-perbaikan informasi dari citra Landsat dan data vektor dipadukan dan dianalisis dengan SIG. Kunci keberhasilan terapan suatu sistem penginderaan jauh terletak pada manusia (kelompok manusia) yang menggunakan data penginderaan jauh. Data yang dihasilkan dengan sistem penginderaan jauh hanya akan menjadi informasi bila seseorang memahami asal-usulnya, mengerti bagaimana menginterpretasinya dan memahami bagaimana cara menggunakannya secara tepat (Lillesand & Kiefer 1990). Hasil interpretasi data penginderaan jauh sangat tergantung pada keluasan dan kedalaman pengetahuan dari interpreter (Munibah dan Barus 1992). Sutanto (1998), mengatakan penafsiran citra pemginderaan jauh berupa pengenalan obyek dan elemen yang tergambar pada citra penginderaan jauh serta penyajiaannya ke dalam bentuk peta tematik Alat yang digunakan adalah alat pengindera atau sensor dengan wahananya berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik atau wahana lain. Kegiatan penginderaan jauh terbagi menjadi dua kegiatan utama, yaitu pengumpulan data dan analisis data, dengan demikian pembicaraan penginderaan jauh tidak dapat lepas dari alat pengumpul data dan alat analisis data agar menghasilkan informasi yang bermanfaat. Pengumpulan data dari jarak jauh dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, termasuk variasi agihan daya, agihan gelombang bunyi atau agihan energi elektromagnetik. Citra Landsat adalah salah satu contoh bentuk data hasil perekaman penginderaan jauh dalam bentuk energi elektromagnetik yang diperoleh dari hasil penyiaman satelit yang membawa dua sensor yaitu MSS (Multi Spectral Scanner) dan TM (Thematic Mapper). Citra landsat biasa digunakan untuk mengetahui kondisi sumberdaya alam di muka bumi, khususnya untuk melihat tutupan lahan dan jenis penggunaan lahan. Obyek-obyek di permukaan bumi mempunyai karakteristik yang berbeda terhadap tenaga elektromagnetik yang sampai pada obyek tersebut. Prinsip dasar pengenalan objek dalam penginderaan jauh adalah unsur-unsur

32 13 interpretasi yaitu rona/warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs dan asosiasi. Tetapi tidak semua unsur interpretasi tersebut digunakan untuk pengenalan obyek, tergantung kepada kemudahan interpretasi. Semakin mudah obyek itu dikenali, semakin sedikit unsur interpretasi yang digunakan. Penginderaan jauh akan semakin sederhana, bila setiap benda memantulkan dan/atau memancarkan tenaga secara unik diketahui. Jenis benda yang berbeda dapat memiliki kesamaan spektral dan mempersulit pembedaan benda tersebut. Penyiam (scanner) TM adalah suatu penyiam multispectral yang merekam pantulan elektromagnetik dari daerah spektrum tampak, infra merah, infra merah tengah dan inframerah termal. TM mempunyai resolusi spasial, spektral, temporal dan radiometrik yang cukup tinggi. Resolusi spasial TM5 adalah 30 m x 30 m untuk semua saluran kecuali saluran 6 yang mempunyai resolusi spasial 120 m x 120 m sedangkan ETM 7 pada saluran 8 telah memiliki resolusi spasial 15 m x 15 m. Resolusi radiometriknya adalah 8 bit yang berarti masing-masing piksel mempunyai range data dari Saluran spektral landsat TM beserta penggunaannya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Panjang gelombang kanal-kanal sensor TM dan fungsi aplikasinya Kisaran Saluran Gelombang Kegunaan Utama (µm) Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak diantara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan tanaman sehat terhadap tanaman yang tidak sehat Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil Saluran yang peka terhadap biomasa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, kondisi kelembapan tanah Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal. 7 Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi. Pembedaan kelembapan tanah, dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal. 8 Pankromatik Studi kota, penajaman batas linier, analisis tata ruang Sumber : Lillesand dan Kiefer (1993)

33 14 Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia Menurut Riady (2004), sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak antara lain: lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat, dengan tingkat kepadatan tergantung kepada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air dan jenis sapi potong yang dipelihara. Luas lahan sawah, kebun, dan hutan tersebut memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak-tanaman yang merupakan suatu proses saling menunjang dan saling menguntungkan, melalui pemanfaatan tenaga sapi untuk mengolah tanah dan kotoran sapi sebagai pupuk organik. Sementara lahan sawah dan lahan tanaman pangan menghasilkan jerami padi dan hasil sampingan tanaman yang dapat diolah sebagai makanan sapi. Sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput alam dan jenis tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas ternak. Berdasarkan kebutuhan lahan, usaha peternakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: usaha peternakan yang berbasis lahan (land base agriculture) dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan (non land base agriculture). Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan yaitu ternak dengan komponen pakannya sebagian besar terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminosa), lahan merupakan faktor penting sebagai lingkungan hidup dan pendukung pakan. Pemanfaatan lahan untuk peternakan didasarkan pada posisi bahwa: (a) lahan adalah sumber pakan untuk ternak, (b) semua jenis lahan cocok sebagai sumber pakan, (c) pemanfaatan lahan untuk peternakan diartikan sebagai usaha penserasian antara peruntukan lahan dengan sistem pertanian, dan (d) hubungan antara lahan dan ternak bersifat dinamis (Suratman et al.1998). Agar ternak dapat berproduksi dengan baik, maka perlu memperhatikan persyaratan penggunaan dan sifat-sifat pembatas lahan yang meliputi sekelompok kualitas lahan yang diperlukan dan yang mempunyai pengaruh merugikan untuk produksi ternak. Kualitas lahan yang perlu diperhatikan untuk produksi ternak tersebut meliputi: * Semua kualitas lahan untuk pertumbuhan tanaman/rumput temak antara lain: tersedianya air, tersedianya unsur hara, tersedianya oksigen di perakaran,

34 15 daya memegang unsur hara, kondisi untuk perkecambahan, mudah tidaknya diolah, kadar garam, unsur-unsur beracun, kepekaan erosi, hama dan penyakit tanaman, bahaya banjir, suhu, sinar matahari, dan periode photosintesis, iklim, kelembaban udara dan masa kering untuk pematangan tanaman, * Kesulitan-kesulitan iklim yang mempengaruhi hewan ternak, * Ketersediaan air minum ternak, * Nilai nutrisi dari rumput; * Sifat-sifat racun dari rumput, * Penyakit-penyakit hewan, * Ketahanan terhadap kerusakan rumput, * Ketahanan erosi akibat penggembalaan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).

35 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan Gambar 2, pada bulan Oktober 2008 sampai dengan Februari Secara geografis Kabupaten Tanah Bumbu terletak antara 2 52' ' Lintang Selatan dan ' ' Bujur Timur (Badan Pusat Statistik, 2009). Wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kotabaru, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kotabaru dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut. Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai sumber, seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian No. Jenis Data Sumber 1 Peta digital administrasi tahun 2010 dan peta kuntor RBI Kabupaten Tanah Bumbu (1 : ) tahun 2010 Bappeda Kabupaten Tanah Bumbu dan Bakosurtanal 2 Peta Tutupan Lahan Kabupaten Tanah Bumbu tahun Bappeda Kabupaten Tanah Bumbu 2004 (bentuk JPEG) 3 Peta RTRW Kabupaten Tanah Bumbu tahun Bappeda Kabupaten Tanah Bumbu 2014 (bentuk JPEG) 4 Citra satelit Landsat 7 ETM+ Kabupaten Tanah BTIC (Biotrop) Bogor Bumbu tahun Peta tanah Kabupaten Tanah Bumbu (1 : ) Puslittanak Bogor tahun Kecamatan Dalam Angka Kabupaten Tanah Bumbu BPS Kabupaten Tanah Bumbu tahun Kabupaten Tanah Bumbu Dalam Angka tahun 2009 BPS Kabupaten Tanah Bumbu 8 PDRB Provinsi Kalimantan Selatan tahun BPS Pusat Jakarta 9 PDRB Kabupaten Tanah Bumbu tahun BPS Kabupaten Tanah Bumbu 10 Pedoman RTRW Kabupaten Tanah Bumbu tahun Data Populasi dan Produksi Ternak Kabupaten Tanah Bumbu tahun Data Populasi dan Produksi Ternak Propinsi Kalimantan Selatan tahun 2008 Bappeda Kabupaten Tanah Bumbu Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Tanah Bumbu Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan

36 17 Gambar 2 Peta lokasi penelitian Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan

37 18 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu perangkat komputer hardware dan perangkat lunak GIS Arc View 3.3, Erdas Imagine 8.6, Excel dalam Microsoft Windows XP, alat bantu GPS. Komputer dan software pendukung SIG digunakan untuk pengolahan data atribut dan peta-peta digital, baik untuk persiapan, analisis serta penyajian hasil penelitian, sedangkan GPS sebagai alat bantu dalam kegiatan pengecekan di lapangan. Analisis dan Pengolahan Data Analisis Sektor Basis dan Pemusatan Aktifitas Sektor Peternakan Untuk melihat sektor basis dan pemusatan aktifitas sektor peternakan di wilayah penelitian digunakan data populasi ternak dan analisisnya menurut Panuju dan Rustiadi (2005), menggunakan Location Quotient (LQ), Localization Index (LI) dan Specialization Index (SI): LQ SI i = IJ 1 2 X X X X n IJ I. = = 1 ij i. / LI J 2. J.. I 1. j.. Keterangan: Xij adalah nilai aktifitas ke-j pada wilayah ke-i Xi. adalah jumlah seluruh aktifitas di wilayah ke-i X.j adalah jumlah aktifitas ke-j di seluruh wilayah X.. adalah besaran aktifitas total di seluruh wilayah X / X P ij. j j= 1 X i X.. = X X Kisaran nilai LQ: (a) LQ>1 artinya komoditas itu menjadi basis atau menjadi sumber pertumbuhan. Komoditas memiliki keunggulan komparatif, hasilnya tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di wilayah bersangkutan akan tetapi juga dapat diekspor ke luar wilayah. (b) LQ=1 komoditas itu tergolong non basis, tidak memiliki keunggulan komparatif. Produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu untuk diekspor. (c) LQ<1 komoditas ini juga termasuk non basis. Produksi komoditas di suatu wilayah tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan atau impor dari luar. (d) LQ=0 artinya komoditas tidak berkembang X X

38 19 Nilai LI dan SI berkisar antara 0 1 Interpretasi LI: ~0 : (Mendekati 0) perkembangan aktifitas bersifat indifferent tidak ada perbedaan tingkat performa untuk dikembangkan di seluruh lokasi ~1 : (Mendekati 1) ada indikasi terjadi pemusatan aktifitas tertentu di salah satu unit wilayah Interpretasi SI: ~0 : (Mendekati 0) kecenderungan unit wilayah tidak memiliki kekhasan aktifitas ~1: (Mendekati 1) ada indikasi unit wilayah tertentu memiliki aktifitas khas. Penilaian Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong Penilaian lingkungan ekologis sapi potong dilakukan secara matching antara peta satuan lahan Gambar 8 yang berisi kualitas/karakteristik lahan Lampiran 3 dengan persyaratan lingkungan ekologis sapi potong Lampiran 2. Hasil akhir penilaian dibedakan menjadi dua kategori yaitu pemeliharaan sapi potong sistem gembala dan sistem kandang. Menurut Suratman et al. (1998) ada empat kriteria lingkungan ekologis dalam pengembangan sapi potong, yaitu: rejim temperatur (suhu rata-rata, kelembaban); ketersediaan air (bulan kering, curah hujan, keberadaan sumber air) dan kualitas air; terrain (lereng, elevasi) serta persentase kandungan batuan. Identifikasi Tingkat Ketersediaan Hijauan Makanan Ternak Daya dukung (DD) hijauan makanan ternak adalah kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan pakan terutama berupa hijauan yang dapat menampung bagi kebutuhan sejumlah populasi sapi potong dalam bentuk segar maupun kering, tanpa melalui pengolahan dan tanpa pengolahan khusus dan diasumsikan penggunaannya hanya untuk sapi potong. Daya dukung hijauan dihitung berdasarkan produksi bahan kering (BK) terhadap kebutuhan satu satuan ternak (1 ST) sapi potong dalam satu tahun, dimana kebutuhan bahan kering adalah 6.25 kg/hari atau 2.28 Ton/tahun (NRC, 1984), untuk sapi dengan berat hidup mencapai 500 kg. Untuk ternak sapi di Indonesia pada umumnya tiap 1 ST memiliki berat hidup rata-rata 250 kg. Jadi kebutuhan pakan/bahan kering minimum untuk 1 ST selama satu tahun dapat berbeda-beda, tergantung berat hidup sapinya. Berat hidup sapi secara rata-rata di Kabupaten Tanah Bumbu

39 adalah 250 kg maka kebutuhan pakan minimum ternak ruminansia per satu satuan ternak (1 ST) dihitung menurut Sumanto dan Juarini (2006) sebagai berikut : Keterangan : K = 2.5% x 50% x 365 x 250 kg = 1.14 ton BKC/tahun/ST K = Kebutuhan pakan minimum untuk 1 ST dalam ton bahan kering tercerna atau DDM (digestible dry matter) selama satu tahun 2.5% = Kebutuhan minimum jumlah ransum hijauan pakan (bahan kering) terhadap berat badan 50% = Nilai rata-rata daya cerna berbagai jenis tanaman 365 = Jumlah hari dalam satu tahun 250 kg = Berat hidup 1 ST (keadaan dapat berubah sesuai kondisi ternak pada setiap wilayah). Produksi bahan kering merupakan jumlah dari produksi pakan asal limbah pertanian dan produksi pakan dari hijauan alami. Jumlah potensi limbah dari masing-masing tanaman pangan merupakan potensi ketersediaan pakan potensial saat ini. Perhitungan pakan asal limbah pertanian per kecamatan dihitung menurut Pedoman Identifikasi Wilayah (Sumanto dan Juarini, 2006). Hasil perhitungan produksi bahan kering selanjutnya digunakan untuk mendapatkan daya dukung pakan hijauan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Sumanto dan Juarini, 2006): 20 Daya Dukung (ST) = Produksi bahan kering cerna (kg) Kebutuhan bahan kering cerna sapi dewasa (kg/st) Indeks daya dukung (IDD) adalah angka yang menunjukan status nilai daya dukung pada suatu wilayah. Indeks daya dukung hijauan makanan ternak dihitung dari total produksi hijauan makanan ternak yang tersedia terhadap jumlah kebutuhan hijauan bagi sejumlah populasi ternak ruminansia di suatu wilayah. Indeks daya dukung dihitung berdasarkan bahan kering cerna (BKC) dengan persamaan sebagai berikut (Sumanto dan Juarini, 2006): Indeks Daya Dukung Hijauan = Total produksi bahan kering cerna (kg) Populasi ruminansia (ST) x Kebutuhan BKC sapi dewasa (kg/st) Atau menurut Ashari et al. (1995):

40 21 Indeks Daya Dukung Hijauan = Daya dukung hijauan makanan ternak (ST) Populasi ruminansia Setelah didapat nilai indeks daya dukung maka diperoleh kriteria status daya dukung hijauan seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kriteria status daya dukung hijauan berdasarkan indeks daya dukung No. Indeks daya dukung (IDD) Kriteria 1. 1 Sangat Kritis 2. >1-1.5 Kritis 3. >1.5-2 Rawan 4. >2 Aman Sumber: Sumanto dan Juarini (2006). Masing-masing nilai IDD tersebut mempunyai makna sebagai berikut: Nilai 1 : - Ternak tidak mempunyai pilihan dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia, - Terjadi pengurasan sumberdaya dalam agro-ekosistemnya, - Tidak ada hijauan alami maupun limbah yang kembali melakukan siklus haranya. Nilai >1-1.5 : - Ternak telah mempunyai pilihan untuk memanfaatkan sumberdaya tetapi belum terpenuhi aspek konservasi. Nilai >1.5-2 : - Pengembangan bahan organik ke alam pas-pasan. Nilai >2 : - Ketersediaan sumberdaya pakan secara fungsional mencukupi kebutuhan lingkungan secara efesien. Produksi limbah tanaman pangan diambil dari data Tabel 18 yaitu luas panen tanaman padi dan Palawija berdasarkan kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu dikalikan indikator Tabel 6. Produksi hijauan makanan ternak diambil dari data Tabel 22 jenis penutupan dan penggunaan lahan di Kabupaten Tanah Bumbu dikalikan indikator Tabel 7. Perhitungan jumlah populasi ternak ruminansia dalam satuan ternak (ST) didasarkan pada data nilai ST ternak ruminansia utama Kabupaten Tanah Bumbu seperti disajikan pada Tabel 8. Prioritas dan Arahan Lahan Pengembangan Lahan yang diprioritaskan untuk pengembangan sapi potong merupakan lahan yang sesuai untuk lingkungan ekologis sapi potong (S) dan urutan prioritasnya didasarkan pada indeks daya dukung hijauan makanan ternak. Lahan bukan prioritas adalah lahan yang kurang sesuai (N) untuk lingkungan ekologis sapi potong dan lahan yang tidak dinilai (TD), hal ini bisa dilihat pada Tabel 9.

41 Tabel 6 Karakterisasi pakan limbah tanaman pangan Jenis limbah Luas Produksi limbah Daya Produksi limbah No. tanaman pangan (Ha) (Ton/Th)* cerna BKC (Ton) (a) (b) (c) (d) (e) (f) 1 Padi sawah (c) x (d) x (e) 2 Padi gogo (c) x (d) x (e) 3 Jagung (c) x (d) x (e) 4 kedelai (c) x (d) x (e) 5 Kacang tanah (c) x (d) x (e) 6 Kacang hijau (c) x (d) x (e) 7 Ubi kayu (c) x (d) x (e) 8 Ubi jalar (c) x (d) x (e) Sumber : Sumanto dan Juarini (2006), *Natasasmita dan Murdikdjo (1980). Tabel 7 Karakterisasi pakan hijauan pada setiap penggunaan lahan No. Penggunaan lahan Luas (Ha) Produktivitas pakan hijauan (Ton/Ha/Th)* Produksi (Ton BKC/Ha/Th) (a) (b) (c) (d) (e) 1 Kebun (c) x (d) x (0.5)** 2 Lahan terbuka (c) x (d) x (0.5)** 3 Semak belukar (c) x (d) x (0.5)** 4 Tegalan (c) x (d) x (0.5)** 5 Perkebunan karet (c) x (d) x (0.5)** 6 Sawah (c) x (d) x (0.5)** 7 Hutan produksi (c) x (d) x (0.5)** Sumber : Sumanto dan Juarini (2006), *Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak (1995), **Tingkat kecernaan diperhitungkan 50% BKC Tabel 8 Nilai satuan ternak (ST) ruminansia utama di Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2009 No. Jenis ternak Populasi (ekor) Faktor konversi* Nilai (ST) 1 Sapi potong Kerbau Kambing/Domba Total Sumber : *Sumanto dan Juarini (2006) Tabel 9 Matriks prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong Kesesuaian lingkungan ekologis Indeks daya dukung hijauan makanan ternak Aman Rawan Kritis Sangat kritis (A) (R) (K) (SK) Sesuai S-A S-R S-K S-SK (S) (Prioritas I) (Prioritas II) (Prioritas III) (Prioritas IV) Kurang Sesuai (N) Bukan prioritas 22

42 23 Peta satuan lahan Peta satuan lahan diperoleh dengan melakukan operasi tumpang tindih (overlay) peta-peta tematik berupa peta administrasi, peta tanah, peta curah hujan, peta tutupan/penggunaan lahan, peta lereng dan peta ketinggian (elevasi). Proses pembuatan peta satuan lahan Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2010 disajikan pada Gambar 3. Penjelasan dari masing-masing peta tematik adalah: 1. Peta administrasi, berisi polygon kecamatan dan kabupaten yang menjadi acuan dalam penentuan luas pada analisis selanjutnya. Peta administrasi diperoleh dari Bappeda Kabupaten Tanah Bumbu tahun Peta satuan lahan, berisi polygon yang masing-masing berisi atribut dan karakteristik lahan yang terdapat di lokasi penelitian. 3. Peta curah hujan, dibuat berdasarkan data dari 4 (empat) stasiun pengamatan. Data dikumpulkan selama kurun waktu yaitu dari stasiun pengamatan Kusan Hilir, Sungai Loban, Kusan Hulu dan Batulicin. 4. Peta tutupan/penggunaan lahan, dibuat berdasarkan Klasifikasi citra menggunakan software ERDAS Imagine 8.6. Selanjutkan dilakukan analisis citra berupa: a). Pemotongan batas area penelitian, diperlukan untuk melakukan clip citra landsat sehingga tidak semua image area citra Landsat yang luas akan dianalisis. Data vektor peta administrasi kabupaten di jadikan acuan dalam penentuan luas. b). Rektifikasi citra, citra landsat terlebih dahulu dilakukan rektifikasi/koreksi geometrik untuk mengurangi distorsi geomertik selama akuisisi citra seperti pengaruh rotasi bumi, kelengkungan bumi, kecepatan scanning dari beberapa sensor yang tidak normal dan efek panoramik yang menyebabkan posisi citra tidak sama posisinya dengan posisi geografis yang sebenarnya. Citra yang mempunyai kesalahan geometri memberikan implikasi terhadap variasi jarak, luas, arah, sudut dan bentuk di semua bagian citra sehingga perlu dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat digunakan sebagai peta. Rektifikasi citra mentah bertujuan agar citra dapat semaksimal mungkin sesuai denga keadaan aslinya di lapangan. Koreksi geometri dapat dilakukan dengan menentukan fungsi transformasi dan

43 24 resampling citra. Pada koreksi ini diperlukan Ground Control Point (GCP) yang dapat diacu dari peta topografi seperti peta RBI ataupun dengan memanfaatkan satelit GPS. Setelah didapatkan peta tutupan/penggunaan lahan, kemudian dilakukan pengecekan menggunakan peta tutupan/penggunaan lahan rujukan, pengamatan ke lapangan dan konfirmasi dengan masyarakat untuk perbaikan peta, sehingga dihasilkan peta akhir tutupan/penggunaan lahan (existing) Kabupaten Tanah Bumbu tahun Peta lereng dan peta ketinggian (elevasi), merupakan hasil olahan peta kontur Rupa Bumi Indonsia (RBI) Kabupaten Tanah Bumbu yang diperoleh dari Bakosurtanal. Selanjutnya dihasilkan peta lereng dan peta ketinggian (elevasi). Peta Prioritas dan Arahan Lahan Pengembangan Sapi Potong Setelah dilakukan matching dan query antara peta satuan lahan dengan persyaratan kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong maka dihasilkan peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong. Kemudian dilakukan analisis daya dukung (DD) dan indeks daya dukung (IDD) hijauan makanan ternak, yang merupakan perhitungan luas peta tutupan/penggunaan lahan Kabupaten Tanah Bumbu keadaan tahun 2010 dengan data populasi dan komposisi ternak yang diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Tanah Bumbu (2010), maka dihasilkan peta status daya dukung hijauan makanan ternak. Adapun produksi limbah tanaman pangan diambil dari data luas panen tanaman padi dan Palawija berdasarkan kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu (2009) dikalikan indikator karakterisasi pakan limbah tanaman pangan, data produksi limbah tanaman pangan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2009 disajikan pada Lampiran 6. Analisis spasial dilakukan dengan operasi tumpang tindih (overlay) petapeta tematik berupa peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong, peta status daya dukung hijauan makanan ternak dan peta RTRW maka dihasilkan peta prioritas dan arahan lahan pengembangan sapi potong. Adapun diagram alir pembuatan peta prioritas dan arahan lahan pengembangan sapi potong dapat dilihat pada kerangka analisis penelitian Gambar 4.

44 25 Citra Satelit Landsat 7 ETM+ (2010) Peta Tutupan Lahan (Bentuk JPEG) (Bappeda 2004) Peta RBI (Kontur) Rujukan Pengolahan dengan GIS Pengamatan di Lapangan Interpretasi Tutupan/ Penggunaan Lahan Peta Lereng (Slope) Peta Ketinggian (Elevasi) Konfirmasi dengan Masyarakat Cek Lapang Peta Digital Tutupan/Penggunaan lahan Keadaan Tahun (2010) Peta Curah Hujan Peta Satuan Lahan OVERLAY Peta Administrasi Peta Satuan Lahan Kabupaten Tanah Bumbu Gambar 3 Diagram alir pembuatan peta satuan lahan Kabupaten Tanah Bumbu

45 26 Peta Satuan Lahan Kabupaten Tanah Bumbu Persyaratan Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong Peta Tutupan/penggunaan Lahan Kabupaten Tanah Bumbu Keadaan Tahun 2010 Matching Peta Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong Analisis Daya Dukung dan Indeks Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak Data Populasi dan Komposisi Ternak Data Produksi Limbah Tanaman Pangan Peta Status Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak OVERLAY Peta RTRW Peta Prioritas dan Arahan Lahan Pengembangan Sapi Potong Gambar 4 Diagram alir pembuatan peta prioritas dan arahan lahan pengembangan sapi potong

46 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi penelitian adalah di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan, kabupaten ini ditetapkan berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan di Provinsi Kalimantan Selatan melalui rapat paripurna DPR RI tanggal 8 April 2003, sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Kotabaru. Kabupaten Tanah Bumbu adalah salah satu kabupaten dari 13 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan yang terletak persis di ujung tenggara Pulau Kalimantan. Kabupaten yang beribukota di Batulicin ini memiliki 10 kecamatan yaitu Kecamatan Kusan Hilir, Sungai Loban, Satui, Kusan Hulu, Batucin, Karang Bintang, Simpang Empat, Mantewe, Kuranji dan Angsana. Lima kecamatan yang terakhir disebutkan adalah kecamatan hasil pemekaran pada pertengahan tahun Kabupaten Tanah Bumbu memiliki luas wilayah sebesar Ha (Badan Pusat Statistik, 2009) atau 13.50% dari total luas Provinsi Kalimantan Selatan. Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Tanah Bumbu menurut Badan Pusat Statistik (2009), adalah sebesar jiwa dengan kepadatan penduduk jiwa/km 2 seperti disajikan pada Tabel 10. Sebagian besar penduduk adalah berasal dari suku Banjar dan suku Bugis yang beragama Islam. Penduduk pada umumnya bertempat tinggal di daerah pesisir dan sepanjang sungai utama. Penduduk lainnya adalah suku Dayak yang bermukim di daerah pedalaman dan pada umumnya masih menganut kepercayaan Kaharingan. Pendatang baru dari Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat merupakan transmigran di daerah tersebut yang menempati Kecamatan Angsana, Batulicin, Karang Bintang, Kuranji, Mantewe, Satui dan Sungai Loban. Mata pencaharian penduduk terutama bertani dan sebagai nelayan, lapangan pekerjaan lain adalah sebagai pekerja di perkebunan kelapa sawit, karet, kelapa hibrida, sebagian di pertambangan dan juga mendulang emas, intan serta mencari hasil hutan seperti rotan dan kayu.

47 28 Tabel 10 Distribusi penduduk di Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2008 No. Kecamatan Luas (km 2 ) Laki Perempuan Jumlah penduduk Kepadatan (jiwa/km 2 ) 1 Angsana Batulicin Karang Bintang Kuranji Kusan Hilir Kusan Hulu Mantewe Satui Simpang Empat Sungai Loban Jumlah Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Bumbu (2009). Iklim dan Topografi Berdasarkan data 4 stasiun pengamatan selama kurun waktu disajikan pada Tabel 11, diperoleh jumlah curah hujan rata-rata tahunan adalah sebesar mm dimana curah hujan di stasiun pengamatan Sungai Loban mempunyai curah hujan tahunan tertinggi mm dengan rata-rata curah hujan bulanan sebesar mm. Curah hujan tahunan terendah terjadi di stasiun pengamatan Batulicin yakni mm dengan rata-rata curah hujan bulanan sebesar 92 mm, adapun peta curah hujan disajikan pada Gambar 5. Berdasarakan hasil pengamatan disajikan pada Tabel 12, suhu rata-rata tahunan Kabupaten Tanah Bumbu berkisar antara 26.4 C hingga 27.3 C. Perbedaan suhu rata-rata bulanan terpanas dan terdingin kurang dari 4 C dimana suhu rata-rata bulanan terdingin adalah 24.5 C dan suhu rata-rata bulanan terpanas adalah 27.8 C. Sedangkan kelembaban nisbi rata-rata tahunan Kabupaten Tanah Bumbu berkisar antara 85.0% hingga 87.3%. Perbedaan kelembaban nisbi rata-rata bulanan tertinggi dan terendah berkisar 11% dimana kelembaban nisbi rata-rata bulanan terendah adalah 81% dan kelembaban nisbi rata-rata bulanan tertinggi adalah 92%, untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 13.

48 Gambar 5 Peta curah hujan tahunan Kabupaten Tanah Bumbu 29

49 30 Tabel 11 Rata-rata Curah Hujan di Kabupaten Tanah Bumbu tahun No. Bulan Kusan Hilir Stasiun Pengamatan Sungai Kusan Batulicin Loban Hulu Ratarata 1 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Total Rata-rata Bulan Kering (bln)(<100 mm) Bulan Basah (bln)(>200 mm) Sumber : Stasiun Meteorologi Stagen Kotabaru (2010) Stasiun Klimatologi Banjarbaru (2010) Tabel 12 Rata-rata Suhu Udara di Kabupaten Tanah Bumbu tahun No. Bulan Tahun Rata-rata 1 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Rata-rata Sumber : Stasiun Meteorologi Stagen Kotabaru (2009) Stasiun Klimatologi Banjarbaru (2009)

50 31 Tabel 13 Rata-rata Kelembaban Nisbi di Kabupaten Tanah Bumbu tahun No. Bulan Tahun Rata-rata 1 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Rata-rata Sumber : Stasiun Meteorologi Stagen Kotabaru (2009) Stasiun Klimatologi Banjarbaru (2009) Secara topografi atau bentuk wilayah Kabupaten Tanah Bumbu cukup bervariasi, mulai dari datar sampai dengan bergunung curam/terjal. Bentuk wilayah datar 0-3% merupakan wilayah terluas Ha sedangkan wilayah bergunung curam/terjal >40% memiliki luasan terkecil Ha seperti disajikan pada Gambar 6. Luasan lahan lainnya berdasarkan kelas lereng secara proporsinya disajikan pada Tabel 14. Seperti disajikan pada Tabel 15 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa, sebagian besar 71.04% wilayah Kabupaten Tanah Bumbu terletak pada ketinggian meter di atas permukaan laut sedangkan wilayah terkecil 0.34% adalah terletak di meter di atas permukaan laut. Tabel 14 Bentuk wilayah dan luas lahan berdasarkan kelerengan di Kabupaten Tanah Bumbu No. Kelas lereng Bentuk wilayah Luas (Ha) % 1 0-3% Datar sampai agak datar % Berombak % Bergelombang % Berbukit % Bergunung >40% Bergunung curam/terjal Total * ) Luas merupakan hasil perhitungan pada peta digital

51 32 Gambar 6 Peta lereng Kabupaten Tanah Bumbu

52 Gambar 7 Peta elevasi Kabupaten Tanah Bumbu 33

53 34 Tabel 15 Ketinggian dan luas wilayah di Kabupaten Tanah bumbu No. Ketinggian tempat (m dpl) Luas (Ha) % Total * ) Luas merupakan hasil perhitungan pada peta digital Klasifikasi Lahan Peta satuan lahan daerah penelitian disajikan pada Gambar 8 dan legenda satuan lahan Kabupaten Tanah Bumbu disajikan pada Lampiran 1, dari pengamatan ciri morfologi di lapangan ditunjang data kimia tanah, tanah-tanah di daerah penelitian diklasifikasikan menurut tingkat ordo sebagai berikut: Entisol, Inceptisol, Alfisol, Ultisol, dan Oxisol. Penjelasan lebih terperinci pada tingkat ordo dan grup adalah: 1. ENTISOL Merupakan tanah mineral yang belum mempunyai perkembangan. Di daerah dataran tanah ini terbentuk dari bahan endapan sungai (fluviatil) dan endapan laut (marin). Di daerah perbukitan dengan lereng terjal Entisol merupakan tanah-tanah dangkal atau berbatu yang terbentuk dari pelapukan bahan induk. Berdasarkan rejim kelembaban tanah dan tekstur, Entisol di dibedakan dalam 3 subordo yaitu Aquent yang berdrainase buruk, Psamment yang bertekstur kasar dan Orthent yang bersolum dangkal. Pada tingkat grup Aquent dibedakan sebagai (Sulfaquent, Psammaquent, Fluvaquent dan Endoaquent), Psamment sebagai (Quartzipsamment) dan Orthent sebagai (Udorthent). Secara umum Entisol pada tingkat grup dibedakan menjadi : a. Sulfaquent adalah Aquent yang dicirikan oleh adanya bahan sulfidik pada kedalaman <50 cm dari permukaan tanah. Tanah berwarna kelabu gelap dan bertekstur liat. Tanah ini dijumpai pada landform marin dan fluvio-marin. Wilayahnya tergenang dibanyak waktu dan terpengaruh pasang surut air laut secara periodik. Reaksi tanah alkalis, reaksi tanah apabila diberi H,O, menjadi

54 35 sangat masam (ph<3.0). Kandungan bahan organik umumnya sangat tinggi, kandungan P total sedang sampai sangat rendah, K total umumnya sangat tinggi. Basa-basa dapat tukar dan kapasitas tukar kation umumnya tinggi sampai sangat tinggi dan kejenuhan basa sangat tinggi. b. Psammaquent adalah Aquent yang mempunyai tekstur kasar (pasir berlempung atau lebih kasar). Tanah ini mempunyai warna kelabu sangat gelap pada lapisan atas dan kelabu pada bagian bawah, struktur berbutir lepas. Penyebarannya dijumpai pada landform marin, yaitu pesisir pantai. Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah sangat masam dan kandungan bahan organik sangat rendah. Kandungan P total rendah sampai sangat rendah, K total sedang sampai rendah. Basa-basa dapat tukar dan kapasitas tukar kation rendah sampai sangat randah, sedangkan kejenuhan basa sangat tinggi. c. Fluvaquent adalah Aquent yang dicirikan oleh adanya stratifikasi lapisan dari bahan-bahan pengendapan yang berbeda. Tanah ini berwarna coklat gelap kekelabuan, tekstur bervariasi tergantung dari bahan yang diendapkannya. Penyebarannya dijumpai pada landform jalur aliran. Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah agak masam sampai netral, dan kandungan bahan organik bervariasi dari rendah hingga tinggi. Kandungan P dan K total bervariasi dari rendah hingga sangat tinggi, dan basa-basa dapat tukar bervariasi dari rendah hingga sangat tinggi, KTK tanah rendah dan tinggi, sedangkan kejenuhan basa tergolong sangat tinggi. d. Endoaquent, dicirikan oleh adanya gleisasi sempurna dari bawah sampai ke atas. Tanah ini berwarna kelabu dengan atau tanpa karatan di lapisan atas, tekstur liat atau lempung liat berpasir, tingkat kematangan tanah setengah matang (half ripe). Reaksi tanah umumnya alkalis untuk daerah yang terpengaruh pasang surut dan masam di dataran aluvial. Penyebarannya dijumpai pada landform marin dan dataran aluvial. Endoaquent yang berkembang dari bahan marin mempunyai bahan sulfidik p kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah. Pada tingkat subgrup diklasifikasikan sebagai Sulfik Endoaquent. e. Quartzipsamment, tanah ini memiliki tekstur kasar (pasir berlempung atau lebih kasar) terdiri pasir kuarsa. Warna tanah coklat gelap dan drainase cepat. Penyebarannya dijumpai pada landform marin yaitu pesisir pantai. Sifat kimia

55 36 tanah dicirikan oleh reaksi tanah masam sampai sangat masam, dan kandungan bahan organik sangat rendah. Kandungan P dan K total sangat rendah, basa-basa dapat tukar juga tergolong sangat rendah. Kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa sangat rendah. f. Udorthent, tanah ini dicirikan oleh kedalaman tanah dangkal atau berbatu, warna tanah coklat kekuningan, tekstur liat berkerikil. Drainase tanah umumnya sedang sampai cepat. Penyebarannya dijumpai pada landform tektonik/struktural. Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah masam sampai agak masam, dan kandungan bahan organik rendah sampai tinggi. Kandungan P dan K total rendah sampai sedang, dan basa-basa dapat tukar tergolong rendah. Kapasitas tukar kation rendah sampai tinggi, dan kejenuhan basa sangat rendah. Kejenuhan Al bervariasi sangat rendah hingga sangat tinggi. 2. INCEPTISOL Merupakan tanah mineral dengan tingkat perkembangan lemah yang dicirikan oleh horison penciri lapisan bawah kambik. Di daerah penelitian Inceptisol dicirikan antara lain oleh terdapatnya karatan, terbentuknya struktur tanah atau iluviasi liat yang tergolong lemah. Penyebarannya dijumpai baik pada lahan basah yang berdrainase jelek maupun pada lahan kering yang berdrainase baik. Relief bervariasi dari datar sampai berbukit dan bergunung. Pada lahan basah atau berawa, Inceptisol berkembang dari bahan aluvium dan dicirikan oleh sifat hidromorfik dominan (rejim kelembaban tanah aquik) yang ditunjukkan oleh warna tanah kelabu dengan atau tanpa karatan, serta tingkat kematangan yang sempurna. Tanah ini diklasifikasikan pada tingkat subordo sebagai Aquept. Pada tingkat grup Aquept dibedakan berdasarkan adanya bahan sulfidik atau horison sulfurik (Sulfaquept), dan tingkat kejenuhan air (Endoaquept). Secara umum Inceptisol pada tingkat grup dibedakan menjadi : a. Sulfaquept adalah Aquept yang mempunyai horison Sulfurik atau bahan sulfidik di dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral. Tanah ini bersolum dalam, berwarna coklat kekelabuan, bertekstur halus, konsistensi lekat dan plastis, dan bereaksi sangat masam (ph ). Kandungan bahan organik tinggi sampai sangat tinggi, P total sangat tinggi, dan K total bervariasi rendah sampai sangat tinggi. Basa-basa dapat tukar rendah sampai sangat rendah,

56 37 sedangkan KTK tanah, kejenuhan basa, dan kejenuhan Al bervariasi rendah sampai sangat tinggi. Sulfaquept dibedakan pada tingkat subgrup sebagai Tipik Sulfaquept. Tanah ini dijumpai pada landform marin dan fluvio marin. b. Endoaquept adalah Aquept yang memiliki tipe penjenuhan endosaturation, yaitu tanah jenuh air pada seluruh kedalaman tanah sampai kedalaman 200 cm dari permukaan tanah mineral. Tanah-tanah ini berkembang baik dari bahan aluvium sungai maupun laut, sehingga mempunyai karakteristik kimia yang sangat beragam. Tanah yang berkembang dari bahan endapan laut mengandung bahan sulfidik di lapisan bawah yang dicirikan oleh reaksi positif terhadap H Reaksi tanah adalah alkalis (ph ) dan pada reaksi pembuihan terhadap H reaksi tanah menjadi sangat masam (ph ). Tanah-tanah ini menyebar terutama pada landform aluvial, fluvio-marin, dan marin. Endoaquept bersolum dalam, berwama kelabu sampai coklat kekelabuan, bertekstur halus, konsistensi lekat dan plastis, dan bereaksi sangat masam sampai agak masam. Sifat kimia tanah lainnya dicirikan oleh kandungan bahan organik umumnya sedang sampai sangat tinggi, kandungan P dan K total bervariasi sangat rendah sampai sangat tinggi. Begitu juga basa-basa dapat tukar, KTK tanah, kejenuhan basa dan kejenuhan Al sangat bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi. Pada lahan kering, Inceptisol berkembang dari bahan induk batuliat atau batupasir. Tanah berdrainase baik dengan rejim kelembaban tanah udik. Pada kategori subordo, Inceptisol dibedakan sebagai Udept, sedangkan pada kategori grup Udept dibedakan berdasarkan kejenuhan basanya. Tanah dengan kejenuhan basa >60% diklasifikasikan sebagai Eutrudept, dan yang mempunyai kejenuhan basa <60% diklasifikasikan sebagai Distrudept. c. Eutrudept, tanah ini dicirikan oleh solum sedang sampai dalam, berwarna coklat kuat sampai coklat olive, bertekstur halus, struktur gumpal, konsistensi agak teguh sampai teguh. Tanah-tanah ini berkembang dari berbagai bahan induk, yaitu bahan aluvium, batuan volkanik (basalt, dan ultrabasalt), batugamping, dan napal. Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah masam sampai agak masam dan kandungan bahan organik bervariasi dari rendah sampai tinggi. Kandungan K total rendah sampai sedang, dan P total sangat bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi tergantung bahan induk tanahnya. Basa-

57 38 basa dapat tukar menunjukkan adanya variasi khususnya untuk Ca dan Mg yaitu rendah sampai sangat tinggi untuk Ca, dan rendah sampai sangat tinggi untuk Mg. Kalium sangat rendah sampai sedang, dan Na rendah sampai sangat rendah. KTK tanah bervariasi dari rendah sampai tinggi dan umumnya sedang, sedangkan kejenuhan basa sangat tinggi. Kejenuhan aluminium sangat rendah. Penyebarannya dijumpai pada landform struktural/tektonik, dataran aluvial, karst, dan volkan. d. Distrudept, tanah ini bersolum sedang sampai dalam, berwarna coklat sampai coklat kekuningan, bertekstur halus, struktur gumpal, konsistensi agak teguh sampai teguh. Bahan induk tanah terdiri dari bahan aluvium, batuliat dan batupasir. Sifat kimiatanah dicirikan oleh reaksi tanah masam sampai sangat masam, dan kandungan bahan organik bervariasi sangat rendah sampai sangat tinggi dan umumnya rendah. Kandungan K total sangat rendah sampai sedang, dan P total umumnya rendah sampai sangat rendah dan bervariasi hingga sangat tinggi tergantung bahan induknya. Basa-basa dapat tukar umumnya rendah sampai sangat rendah. KTK tanah rendah, sedangkan kejenuhan basa rendah. Kejenuhan aluminium tinggi sampai sangat tinggi dan beberapa menunjukan kejenuhan aluminium rendah sampai sangat rendah. Penyebaran utama pada landform struktural/tektonik dan aluvial. 3. ALFISOL Merupakan jenis tanah ini mempunyai penyebaran mulai dari dataran hingga daerah perbukitan dengan bentuk wilayah datar hingga berbukit. Bahan induk tanah berkembang dari batugamping, napal, atau volkan basa dan ultrabasa. Sifat morfologi tanah dicirikan oleh horison penciri lapisan atas okrik dan lapisan bawah argilik atau kandik dengan kejenuhan basa >35%. Alfisol di daerah penelitian mempunyai drainase baik, regim kelembaban tanah udik, sehingga diklasifikasikan dalam subordo Udalf. Pembagian lebih detil dibedakan berdasarkan pada adanya distribusi kandungan liat, kedalaman solum dan adanya horison kandik (Kandiudalf, Kanhapludalf, atau Hapludalf). Secara umum Alfisol pada tingkat grup dibedakan menjadi : a. Kandiudalf, tanah ini dicirikan oleh adanya horison kandik dan kandungan liat menurun kurang dari 20% dari kandungan liat maksimum. Sifat morfologi

58 39 tanah dicirikan oleh lapisan atas berwarna coklat sampai coklat kekuningan, tekstur halus, struktur gumpal sampai gumpal bersudut, konsistensi gembur sampai agak teguh (lembab). Tanah lapisan bawah berwarna coklat kekuningan sampai coklat kuat, tekstur halus, struktur gumpal bersudut, konsistensi agak teguh sampai gembur (lembab). Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah agak masam, dan kandungan bahan organik sedang di lapisan atas dan sangat rendah di lapisan bawah. Kandungan P dan K total sangat rendah, sedangkan basa-basa dapat tukar menunjukkan Ca dan Mg sedang, K dan Na rendah sampai sangat rendah. KTK tanah rendah dan kejenuhan basa sangat tinggi. Kejenuhan aluminium sangat rendah. Tanah ini dijumpai pada landform karst. b. Kanhapludalf, tanah ini mempunyai karakteristik sama dengan Kandiudalf, kecuali solum lebih dangkal dan kandungan liat yang menurun lebih dari 20% dari kandungan liat maksimum. Sifat morfologi tanah lapisan atas berwarna coklat gelap sampai coklat gelap kekuningan, tekstur halus, struktur gumpal, konsistensi teguh sampai gembur (lembab). Lapisan bawah berwarna coklat terang kekuningan sampai coklat kuat, tekstur halus, struktur gumpal bersudut, konsistensi gembur sampai teguh (lembab). Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah masam dan kandungan bahan organik rendah. Kandungan P dan K total, serta basa-basa dapat tukar rendah sampai sangat rendah. KTK tanah rendah, sedangkan kejenuhan basa sangat tinggi. Kejenuhan aluminium sangat rendah. Penyebarannya dijumpai pada landform karst. c. Hapludalf, tanah ini dicirikan oleh solum tanah kurang dari 150 cm. Sifat morfologi tanah lapisan atas berwarna coklat gelap sampai coklat gelap kekuningan, tekstur halus sampai sedang, struktur gumpal, konsistensi gembur sampai teguh (lembab). Lapisan bawah berwarna coklat kekuningan sampai coklat kuat, tekstur halus, struktur gumpal bersudut sampai gumpal, konsistensi teguh (lembab). Sifat kimia tanah menunjukkan reaksi tanah masam dan kandungan bahan organik rendah sampai sedang. Kandungan P dan K total rendah sampai sangat rendah. Basa-basa dapat tukar menunjukkan Ca dan Mg rendah sampai tinggi, sedangkan K dan Na rendah sampai sangat rendah. KTK tanah bervariasi rendah sampai sangat tinggi dan kejenuhan basa bervariasi

59 40 dari sedang hingga sangat tinggi. Kejenuhan aluminium rendah sampai sangat rendah. Tanah ini dijumpai pada landform karst dan volkan. 4. ULTISOL Merupakan tanah yang lebih dikenal dengan nama "Podsolik Merah-Kuning" mempunyai penyebaran paling luas di daerah penelitian. Tanah ini terdapat mulai dari dataran hingga perbukitan dan pegunungan dengan bentuk wilayah datar hingga berbukit dan bergunung. Tanah ini berkembang dari batuan sedimen, masam (batupasir dan batuliat) dan volkan tua. Sifat morfologi tanah dicirikan oleh horison penciri lapisan atas okrik dan lapisan bawah argilik atau kandik dengan kejenuhan basa <35%. Ultisol yang mempunyai regim kelembaban aquik diklasifikasikan dalam subordo Aquult, sedangkan yang mempunyai regim kelembaban udik diklasifikasikan dalam subordo Udult. Aquult hanya dibedakan dalam satu grup yaitu Plinthaquult, sedangkan Udult dibedakan berdasarkan adanya lapisan plintit (Plinthudult), adanya horison kandik (Kandiudult atau Kanhapludult) dan kedalaman solumnya (Paleudult atau Hapludult). Secara umum Ultisol pada tingkat grup dibedakan menjadi : a. Plinthaquult, tanah ini dicirikan oleh adanya plintit >50% pada kedalaman kurang dari 100 cm dari permukaan tanah dengan rejim kelembaban tanah akuik. Tanah lapisan atas berwarna coklat sampai kelabu dan warna lapisan bawah kelabu sampai kelabu terang. Tekstur tanah halus, struktur gumpal agak membulat, berukuran sedang sampai kasar. Konsistensi tanah lekat dan plastis (basah). Sifat kimia tanah menunjukkann reaksi tanah masam dan kandungan bahan organik rendah. Kandungan P dan K total, serta basa-basa dapat tukar sangat rendah. KTK tanah rendah, kejenuhan basa sangat rendah. Kejenuhan aluminium sangat tinggi. Penyebarannya dijumpai pada form dataran tektonik dengan relief agak datar sampai datar. b. Plinthudult, tanah ini dicirikan oleh kandungan plintit >50% pada kedalaman kurang dari 100 cm dari permukaan tanah dengan rejim kelembaban tanah udik. Tanah lapisan atas umumnya berwarna coklat gelap sampai coklat gelap kekuningan dan di lapisan bawahnya coklat gelap kekuningan sampai merah kekuningan. Tanah bertekstur halus, struktur tanah gumpal agak membulat berukuran halus sampai sedang, konsistensi gembur (lembab), lekat dan

60 41 plastis (basah). Sebagian tanah mengandung kerikil yang berasal dari konkresi besi (krokos) berjumlah sedikit sampai banyak. Sifat kimia tanah menunjukkan reaksi tanah masam sampai sangat masam dan kandungan bahan organik rendah sampai sangat rendah. Kandungan P dan K total sangat rendah sampai rendah. Basa-basa dapat tukar, KTK tanah, serta kejenuhan basa sangat rendah sampai rendah, sedangkan bejenuhan aluminium umumnya sangat tinggi. Penyebarannya terutama dijumpai di bagian selatan areal penelitian sekitar Sebamban yaitu pada landform dataran tektonik/struktural, dengan relief agak datar sampai bergelombang. c. Kandiudult, tanah ini dicirikan oleh adanya horison kandik dengan penurunan liat kurang dari 20% dari jumlah maksimum hingga kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. Drainase tanah baik. Tanah lapisan atas umumnya berwama coklat gela sampai coklat gelap kekuningan dan di lapisan bawah coklat kekuningan sampai merah kekuningan. Tekstur halus sampai sedang, struktur tanah kersai atau berbutir sampai gumpal agak membulat, berukuran halus sampai sedang. Konsistensi tanah sangat gembur sampai gembur (lembab), agak lekat sampai lekat dan agak plastis sampai plastis (basah). Konsistensi tanah di lapisan bawah gembur sampai teguh (lembab), lekat dan plastis (basah). Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah masam, dan kandungan bahan organik rendah. Kandungan P dan K total sangat rendah sampai rendah. Basa-basa dapat tukar, KTK tanah dan kejenuhan basa rendah sampai sangat rendah, sedangkan kejenuhan aluminium sangat tinggi. Penyebarannya dijumpai pada landform tektonik/struktural dengan relief berombak sampai bergunung. d. Kanhapludult, tanah ini mempunyai karakteristik kimia sama dengan Kandiudult, kecuali penurunan liatnya lebih dari 20% dari kandungan liat maksimum di dalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. Tanah lapisan atas berwarna coklat gelap kekuningan sampai coklat kemerahan dan tanah lapisan bawah berwarna coklat kekuningan sampai merah kekuningan. Tekstur tanah halus sampai sedang, struktur tanah kersai atau berbutir sampai gumpal agak membulat, berukuran halus sampai sedang, konsistensi sangat gembur sampai gembur (lembab) atau agak lekat sampai lekat dan agak plastis sampai plastis (basah). Sifat kimia tanah menunjukkan reaksi tanah masam dan kandungan

61 42 bahan organik rendah. Kandungan K total sedang, dan P total rendah. Basabasa dapat tukar, KTK tanah, dan kejenuhan basa sangat rendah sampai rendah, sedangkan kejenuhan aluminium tinggi. Penyebarannya dijumpai pada landform tektonik/struktural dengan relief berombak sampai berbukit. e. Paleudult, tanah ini dicirikan oleh adanya horison argilik yang penurunan liatnya kurang dari 20% dari jumlah liat maksimum di dalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. Tanah lapisan atas umumnya berwarna coklat gelap sampai coklat dan di lapisan bawah coklat kekuningan sampai merah kekuningan. Tanah bertekstur halus, struktur gumpal agak membulat berukuran halus sampai sedang. Konsistensi tanah gembur sampai teguh (lembab), agak lekat sampai lekat dan agak plastis sampai plastis (basah). Sifat kimia tanah menunjukkan reaksi tanah sangat masam dan kandungan bahan organik rendah sampai sedang. Kandungan P dan K total sangat rendah sampai rendah. Basa-basa dapat tukar umumnya sangat rendah dan beberapa menunjukkan kandungan Mg dan K sedang. KTK tanah rendah sampai sedang, sedangkan kejenuhan basa sangat rendah sampai rendah. Kejenuhan aluminium sangat tinggi. Penyebarannya dijumpai pada landform tektonik/struktural dan volkan tua dengan relief berombak sampai bergunung. f. Hapludult, tanah ini dicirikan oleh adanya horison argilik dengan kejenuhan basa <35%. Tanah lapisan atas umumnya berwarna coklat gelap sampai coklat gelap kekuningan dan lapisan bawah coklat kekuningan sampai merah kekuningan. Tekstur halus, struktur tanah gumpal agak membulat, berukuran halus sampai sedang, konsistensi gembur sampai teguh (lembab), lekat dan plastis (basah). Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah sangat masam sampai masam, dan kandungan bahan organik sangat rendah sampai sedang. Kandungan P dan K total sangat rendah sampai rendah dan beberapa tergantung bahan induknya menunjukkan sedang sampai sangat tinggi. Basabasa dapat tukar umumnya sangat rendah sampai rendah, beberapa menunjukkan sedang sampai tinggi. KTK tanah rendah dan kejenuhan basa sangat rendah sampai rendah. Kejenuhan aluminium sangat tinggi dan beberapa menunjukkan variasi sangat rendah sampai tinggi. Tanah ini dijumpai pada landform tektonik/struktural dengan relief datar sampai bergunung.

62 43 *Penjelasan angka pada legenda ada di Lampiran 1 Gambar 8 Peta satuan lahan Kabupaten Tanah Bumbu

63 44 5. OXISOL Merupakan tanah yang setara dengan "Latosol" adalah tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut dicirikan oleh adanya horison. Di daerah penelitian tanah ini berkembang dari berbagai bahan induk yaitu batuliat, basal, ultra basik, dan batugamping. Penyebarannya dijumpai mulai dari dataran hingga daerah perbukitan dan pegunungan dengan relief berombak hingga berbukit dan bergunung. Rejim kelembaban tanah tergolong udik, sehingga klasifikasi pada tingkat subordo tergolong sebagai Udox, sedangkan yang mempunyai rejim kelembaban akuik sebagai Aquox. Pembagian pada kategori lebih rendah dibedakan berdasarkan adanya horison kandik (Kandiudox), kejenuhan basa tinggi (Eutrudox), KTK efektip sangat rendah (Acrudox) dan lainnya (Hapludox). Oxisol yang mempunyai rejim kelembaban tanah akuik dicirikan oleh adanya plinthik, sehingga dalam grup diklasifikasikan sebagai (Plinthaquox). Secara umum Oxisol pada tingkat grup dibedakan menjadi : a. Kandiudox, tanah ini bersolum dalam dan dicirikan oleh adanya horison kandik, dan drainase tanah baik. Sifat morfologi tanah dicirikan oleh warna yang homogen, coklat sampai coklat kemerahan dan merah kotor sampai di lapisan atas, dan coklat kekuningan sampai coklat kuat merah kekuningan di lapisan bawah. Tekstur liat berdebu sampai liat, struktur tanah agak gumpal sampai kersai, ukuran sedang sampai halus. Konsistensi sangat gembur (lembab), lekat dan plastis (basah). Sifat kimia tanah menunjukkan reaksi tanah masam, dan kandungan bahan organik rendah sampai sedang di lapisan atas dan sangat rendah di lapisan bawah. Kandungan P dan K total serta basa-basa dapat tukar sangat rendah. KTK tanah rendah dan kejenuhan basa sangat rendah. Kejenuhan aluminium bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, Di daerah penelitian tanah ini ardapat pada landform karst, dataran struktural/tektonik dan volkan tua. b. Eutrudox, tanah ini dicirikan oleh kejenuhan basa yang tinggi (KB >35%) pada seluruh lapisan di dalam kedalaman 125 cm dari permukaan tanah. Solum tanah dalam, dan drainase baik. Tanah umumnya bawarna merah tua sampai merah kotor, tekstur liat berdebu sampai liat, struktur tanah agak gumpal sampai kersai, ukuran sedang sampai halus. Konsistensi gembur (lembab),

64 45 lekat dan plastis (basah). Sifat kimia tanah menunjukkan reaksi tanah agak masam sampai masam, dan kandungan bahan organik sangat rendah sampai sedang. Kandungan P dan K total sangat rendah, sedangkan basa-basa dapat tukar umumnya sangat rendah sampai rendah. KTK tanah rendah sampai sangat rendah, sedangkan kejenuhan basa sedang sampai sangat tinggi. Kejenuhan aluminium bervariasi sangat rendah sampai tinggi. Di daerah penelitian tanah ini terdapat pada landform karst dan volkan tua. c. Acrudox, tanah ini tergolong sangat tua, sifat morfologi tanah dicirikan oleh warna yang homogen, coklat kemerahan sampai merah kotor di lapisan atas, dan coklat latuningan sampai coklat kuat merah kekuningan di lapisan bawah. Tekstur liat berdebu sampai liat, struktur tanah kersai, ukuran sedang sampai halus. Konsistensi sangat gembur (lembab), lekat dan plastis (basah). Sifat kimia tanah menunjukkan reaksi tanah masam sampai agak masam, dan kandungan bahan organik rendah sampai sedang di lapisan atas dan sangat rendah di lapisan bawah. Kandungan K total sangat rendah dan P total rendah sampai sedang di lapisan atas dan sedang sampai tinggi di lapisan bawah. Basabasa dapat tukar bervariasi dari rendah hingga sedang. KTK tanah rendah sampai sangat rendah, kejenuhan basa sangat rendah sampai sedang. Kejenuhan aluminium sangat rendah. Penyebarannya dijumpai pada landform volkan tua. d. Hapludox, tanah umumnya bersolum sedang sampai dalam, warna coklat gelap kekuningan sampai merah kekuningan, tekstur liat berdebu sampai liat, struktur tanah gumpal sampai kersai, ukuran sedang sampai halus. Konsistensi gembur (lembab), lekat dan plastis (basah). Sifat kimia tanah menunjukkan reaksi tanah masam sampai sangat masam dan kandungan bahan organik rendah sampai sedang di lapisan atas dan sangat rendah di lapisan bawah. Kandungan P dan K total umumnya sngat rendah kecuali beberapa menunjukkan variasi hingga tinggi. Basa-basa dapat tukar umumnya sangat rendah, KTK tanah rendah dan kejenuhan basa sangat rendah. Kejenuhan aluminium umumnya tinggi sampai sangat tinggi dan beberapa rendah sampai sedang. Tanah ini terdapat pada landform karst, struktural/tektonik dan volkan tua. e. Plinthaquox, tanah ini dicirikan oleh KTK liat rendah, rejim kelembaban akuik, dan adanya plintik. Sifat morfologi tanah menunjukkan tanah lapisan atas

65 46 umumnya berwarna coklat gelap sampai coklat gelap kekuningan dan di lapisan bawahnya coklat gelap kekuningan sampai merah kekuningan. Tanah bertekstur halus, struktur tanah gumpal agak membulat hingga kersai, berukuran halus sampai sedang, konsistensi gembur (lembab), lekat dan plastis (basah). Sifat kimia tanah masam dan kandungan bahan organik rendah. Kandungan P dan K total sangat rendah. Basa-basa dapat tukar bervariasi rendah sampai sangat rendah, sedangkan KTK tanah dan kejenuhan basa rendah. Kejenuhan aluminium sangat tinggi. Kondisi Umum Peternakan Pemeliharaan sapi potong yang umum dilakukan oleh petani peternak di Indonesia adalah sistem pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif. Pada sistem pemeliharaan ekstensif (gembala), sapi dipelihara dan dilepaskan di padang penggembalaan dan digembalakan sepanjang hari mulai dari pagi hingga sore hari. Sistem pemeliharaan semi intensif (antara gembala dan kandang), pada pagi hari sapi digiring dan digembalakan di areal pertanian/ladang atau perkebunan, dan baru dikandangkan dikala hujan dan menjelang malam hari. Sedangkan sistem intensif (kandang), sapi hampir sepanjang hari berada dalam kandang, pakan, minuman dan kebutuhan lainnya disediakan dalam kandang sebanyak dan sebaik mungkin sehingga pertumbuhannya cepat bertambah. Sistem pemeliharaan sapi potong di Indonesia dikelola dengan berbagai macam bentuk usaha. Pada umumnya hampir 90% sapi potong dimiliki dan diusahakan oleh rakyat dengan skala kecil, dan hanya 1% saja yang dikelola oleh perusahaan. Adapun karakteristik peternakan sapi potong yang ada di Indonesia (Aziz, 1993), dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Peternakan sapi potong tradisional Dimana ternak sapi potong baru bersifat dimiliki, belum diusahakan, biasanya ternak merupakan status sosial, ternak tidak digunakan untuk tenaga kerja, pamasaran ternak baru dilakukan bila ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan. Harga yang terbentuk biasanya sangat rendah dan jumlah ternak yang dimiliki cukup bervariasi pada umumnya relatif banyak. 2. Peternakan sapi potong keluarga

66 47 Usaha ternak yang dilakukan untuk membantu kegiatan usaha tani keluarga, seperti sumber pupuk kandang, sebagai tabungan, serta untuk dimanfaatkan tenaganya. Pada kondisi ini harga yang terbentuk di bawah harga pasar tetapi lebih tinggi daripada harga di peternakan tradisional. Skala kepemilikan ternak berkisar antara 1-5 ekor. 3. Peternakan sapi potong skala kecil Usaha ternak sudah mulai berorientasi ekonomi, perhitungan rugi laba dan input teknologi sudah mulai diterapkan walaupun masih sederhana. Pada usaha ini, ternak umumnya diarahkan pada produksi daging dan skala kepemilikan ternak berkisar antara 6-10 ekor per rumah tangga. 4. Peternakan sapi potong skala menengah Usaha yang dilakukan sepenuhnya menggunakan input teknologi yang berorientasi pada produksi daging dan kebutuhan pasar dan adanya jaminan kualitas. Jumlah ternak yang diusahakan berkisar antara ekor per produk. 5. Peternakan sapi potong skala besar Usaha ternak umumnya berbentuk perusahaan yang dilakukan dengan padat modal, menggunakan input teknologi tinggi yang berorientasi pada faktor input dan output produksi. Usahanya ditujukan untuk memproduksi daging atau bakalan. Jumlah ternak yang diusahakan melebihi 50 ekor per produksi. Sistem pemeliharaan ternak ruminansia terutama sapi, kerbau, kambing dan domba masih mengandalkan penggembalaan secara tradisional yang dilakukan sepenuhnya oleh petani ternak dengan skala usaha rata-rata kepemilikan kecil (1-4 ekor), yang dikelola dengan sistem ekstensif dan semi intensif dan sebagian besar merupakan usaha sampingan dengan tujuan sebagai tabungan. Sistem pemeliharaan sapi potong ditingkat petani juga masih kurang optimal oleh karena pemeliharaan dilakukan sendiri-sendiri dengan menggembalakan ternaknya di padang penggembalaan lahan kering dengan kualitas hijauan yang masih rendah karena komposisi hijauan pakan ternak didominasi oleh alang-alang dan semak belukar. Sebagian kecil saja diusahakan secara intensif terutama ternak sapi jantan dengan tujuan penggemukan. Jenis sapi yang banyak dipelihara adalah sapi Bali, PO (peranakan Ongole), Brahman, persilangan sapi lokal dan Simental.

67 48 Jumlah sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2009 sebanyak ekor, merupakan populasi yang paling banyak dipelihara dibandingkan ternak besar lainnya, sedangkan jumlah ternak ruminansia adalah ekor atau dalam Satuan Ternak adalah ST seperti terlihat pada Tabel 16. Kabupaten Tanah Bumbu merupakan daerah pertanian, khususnya tanaman pangan dan perkebunan (kelapa sawit dan karet) yang utama di Provinsi Kalimantan Selatan. Pengembangan sapi potong tidak terlepas dari penggunaan lahan usaha pertanian tersebut terutama lahan kering. Luasnya lahan tanaman pangan, perkebunan dan lahan kering memungkinkan dilakukan pengembangan pola integrasi yang dapat saling menunjang dan saling menguntungkan. Adapun dukungan ternak dalam usahatani antara lain: (1) memanfaatkan limbah pertanian tanaman pangan dan seperti jerami padi, jagung dan kacang-kacangan sebagai pakan, (2) menghasilkan nilai tambah proses produksi pertanian terutama melalui pemanfaatan tenaga sapi untuk pengolahan lahan, (3) meningkatkan produktifitas lahan melalui pemanfaatan kotoran sapi untuk pupuk kandang, (4) peningkatan manfaat dan penggunaan lahan usahatani, misalnya melalui pengembangan tanaman hijauan ternak (sebagai input usaha ternak ruminansia) pada lahan-lahan yang belum termanfaatkan untuk budidaya pertanian seperti pada kelerengan yang curam, sebagai tanaman pelindung, sebagai pagar hidup disekeliling lahan, dan lain-lain. Pola integrasi ini diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan ternak. Kondisi Umum Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Bumbu merupakan daerah yang bercorak agraris. Karakteristik ini setidaknya dapat terlihat dari besarnya penggunaan lahan pertanian yang mencapai lebih dari 30%, bahkan lebih dari 50% penduduk Tanah Bumbu menggantungkan nasibnya di sektor tersebut. Kondisi pertanian Kabupaten Tanah Bumbu tidak jauh berbeda dengan karakter pertanian di kabupaten sekitarnya. Komoditi padi dan palawija merupakan subsektor tanaman pangan yang menopang ketahanan pangan Kabupaten Tanah Bumbu, produksi padi sawah tahun 2009 sebesar Ton dengan luas panen mencapai Ha dan produksi padi gogo sebesar Ton dengan luas panen Ha. Luas panen, produksi dan rata-rata produksi tanaman padi dan

68 49 palawija di Kabupaten Tanah Bumbu disajikan pada Tabel 17. Sedangkan produksi palawija Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2009 terbesar dihasilkan dari produksi ubi kayu yang mencapai Ton dengan luas panen 444 Ha, produksi jagung Ton dengan luas panen 725 Ha dan produksi kedelai Ton dengan luas panen Ha. Luas panen tanaman padi dan palawija berdasarkan kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu disajikan pada Tabel 18. Tabel 16 Populasi Ternak Ruminansia dalam Satuan Ekor dan Satuan Ternak (ST) Perkecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2009 No Kecamatan Dalam satuan ekor Dalam satuan ternak (ST) Sapi Potong Kerbau Kambing Domba Total Sapi Potong Kerbau Kambing/ domba Total 1 Angsana Batulicin Karang Bintang Kuranji Kusan Hilir Kusan Hulu Mantewe Satui Simpang Empat Sungai Loban Total Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Tanah Bumbu (2010) Tabel 17 Luas panen, produksi dan rata-rata produksi tanaman padi dan palawija di Kabupaten Tanah Bumbu No Jenis tanaman Luas panen Produksi Rata-rata produksi (Ha) (Ton) (Kw/Ha) 1 Padi sawah Padi gogo Jagung Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Ubi kayu Ubi jalar Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Bumbu (2009)

69 50 Tabel 18 Luas panen tanaman padi dan palawija berdasarkan kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu Luas panen (Ha) No. Kecamatan Padi sawah Padi gogo Jagung Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Ubi kayu Ubi jalar 1 Angsana Batulicin Karang Bintang Kuranji Kusan Hilir Kusan Hulu Mantewe Satui Simpang Empat Sungai Loban Total Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Bumbu (2009)

70 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis LQ, LI dan SI Analisis LQ Kecamatan yang memiliki LQ>1, menunjukkan komoditas ternak sapi potong menjadi basis atau menjadi sumber pertumbuhan. Komoditas memiliki keunggulan komparatif, hasilnya tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di wilayah bersangkutan akan tetapi juga dapat dikirim ke luar wilayah. Hasil perhitungan Location Quotient (LQ) terhadap populasi ternak sapi potong di setiap kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu disajikan pada Tabel 19, menunjukkan bahwa pemeliharaan ternak sapi potong merupakan sektor basis di Kecamatan Kuranji (LQ=1.13), Angsana (LQ=1.11), Karang Bintang (LQ=1.10), Mantewe (LQ=1.09), Satui (LQ=1.06) dan Sungai Loban (LQ=1.06). Sedangkan kecamatan yang memiliki LQ<1, maka komoditas ternak sapi potong termasuk non basis. Produksi komoditas ternak sapi potong di wilayah tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan dari luar wilayah. Kecamatan yang memiliki LQ<1 adalah di Kecamatan Batulicin (LQ=0.21), Kusan Hulu (LQ=0.63), Kusan Hilir (LQ=0.76), dan Simpang Empat (LQ=0.85). Tabel 19 Hasil analisis LQ ternak ruminansia di Kabupaten Tanah Bumbu No. Kecamatan Sapi Potong Kerbau Kambing/domba 1 Angsana Batulicin Karang Bintang Kuranji Kusan Hilir Kusan Hulu Mantewe Satui Simpang Empat Sungai Loban Sumber : Hasil olah data 2010, Keterangan : LQ=Location Quotient Analisis LI Kecamatan yang mempunyai angka LI mendekati 1, menunjukkan ada indikasi terjadi pemusatan aktifitas ternak sapi potong di wilayah tersebut, Artinya ternak sapi potong akan cenderung berkembang memusat di satu lokasi atau

71 52 aktifitas ternak sapi potong akan berkembang lebih baik jika dilakukan di lokasilokasi tertentu saja. Hasil perhitungan Localization Index (LI) terhadap populasi ternak sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu disajikan pada Tabel 20, menunjukkan terjadi pemusatan aktifitas pemeliharaan ternak sapi potong di Kecamatan Kusan Hulu (LI=0.02), Batulicin (LI=0.01), Kuranji (LI=0.01), Kusan Hilir (LI=0.01), Mantewe (LI=0.01) dan Sungai Loban (LI=0.01). Kecamatan yang mempunyai angka LI mendekati 0, berarti perkembangan aktifitas ternak sapi potong tidak ada perbedaan tingkat performa untuk dikembangkan di seluruh lokasi. Artinya perkembangan aktifitas ternak sapi potong cenderung memiliki tingkat yang sama dengan perkembangan wilayah dalam cakupan lebih luas, wilayah ini terdapat pada Kecamatan Angsana (LI=0.00), Karang Bintang (LI=0.00), Satui (LI=0.00) dan Simpang Empat (LI=0.00). Tabel 20 Hasil analisis LI ternak ruminansia di Kabupaten Tanah Bumbu No. Kecamatan Sapi Potong Kerbau Kambing/domba 1 Angsana Batulicin Karang Bintang Kuranji Kusan Hilir Kusan Hulu Mantewe Satui Simpang Empat Sungai Loban Nilai LI Sumber : Hasil olah data 2010, Keterangan : LI=Localization Index Analisis SI Kecamatan yang mempunyai angka SI mendekati 1, menunjukkan bahwa terjadi kekhasan aktifitas, kecamatan yang diamati memiliki aktifitas khas yang relatif menonjol perkembangannya dibandingkan di kecamatan lain. Hasil perhitungan Specialization Index (SI), terhadap populasi ternak sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu disajikan pada Tabel 21, menunjukkan terjadi aktifitas khas yang relatif menonjol untuk pemeliharaan ternak sapi potong di Kecamatan Batulicin (SI=0.33), Kusan Hulu (SI=0.16), Kusan Hilir (SI=0.10). Kecamatan yang mempunyai angka SI mendekati 0, menunjukkan bahwa tidak terjadi

72 53 kekhasan aktifitas, kecamatan yang diamati tidak memiliki aktifitas khas yang relatif menonjol perkembangannya dibandingkan di kecamatan lain, wilayah ini terdapat pada Kecamatan Satui (SI=0.02), Sungai Loban (SI=0.02), Mantewe (SI=0.02), Karang Bintang (SI=0.04), Angsana (SI=0.05), Kuranji (SI=0.05) dan Simpang Empat (SI=0.06). Tabel 21 Hasil analisis SI ternak ruminansia di Kabupaten Tanah Bumbu No. Kecamatan Sapi Potong Kerbau Kambing/domba Nilai SI 1 Angsana Batulicin Karang Bintang Kuranji Kusan Hilir Kusan Hulu Mantewe Satui Simpang Empat Sungai Loban Sumber : Hasil olah data 2010, Keterangan : SI=Specialization Index Penutupan dan Penggunaan Lahan Interpretasi citra Landsat 7 ETM+ tahun 2010 seperti disajikan pada Gambar 9 diperoleh 19 jenis penutupan/penggunaan lahan yaitu badan air, bangunan, hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan lindung, kebun, lahan terbuka, mangrove, pemukiman, perkebunan karet, perkebunan sawit, pertambangan, rawa, sawah, semak belukar, singkapan batuan, stockfile batubara, tambak dan tegalan disajikan pada Gambar 10. Dari data penutupan dan penggunaan lahan menunjukkan bahwa sebagian besar penggunaan lahan didominasi oleh hutan produksi Ha (34.41%), tegalan Ha (18.58%) dan semak belukar Ha (12.71%). Sedangkan penggunaan lahan terkecil adalah stockfile batubara 203 Ha (0.04%) seperti disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan Penutupan dan penggunaan lahan yang baik untuk pengembangan sapi potong dibagi menjadi 2 analisis yaitu : 1. Keadaan aktual: kebun, lahan terbuka, semak belukar dan tegalan dengan total luas Ha (33.68% dari total luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu). Sementara lahan yang sulit dialihfungsikan adalah badan

73 54 air, bangunan, hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan lindung, mangrove, perkebunan karet, perkebunan sawit, pemukiman, pertambangan, rawa, sawah, singkapan batuan, stockfile batubara dan tambak dengan total luas Ha (66.32% dari total luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu), oleh sebab itu lahan ini selanjutnya Tidak Dinilai (TD). 2. Keadaan potensial: hutan produksi, hutan produksi terbatas, kebun, lahan terbuka, perkebunan karet, sawah, semak belukar dan tegalan dengan total luas Ha (69.89% dari total luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu). Sementara lahan yang sulit dialihfungsikan adalah badan air, bangunan, hutan lindung, mangrove, pemukiman, perkebunan sawit, pertambangan, rawa, singkapan batuan, stockfile batubara dan tambak dengan total luas Ha (30.11% dari total luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu), oleh sebab itu lahan ini selanjutnya Tidak Dinilai (TD). Tabel 22 Jenis penutupan dan penggunaan lahan di Kabupaten Tanah Bumbu No. Penutupan Lahan Luas (Ha) Luas (%) 1 Badan Air Bangunan Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Hutan Lindung Kebun Lahan Terbuka Mangrove Perkebunan Karet Perkebunan Sawit Permukiman Pertambangan Rawa Sawah Semak Belukar Singkapan Batuan Stockfile Batubara Tambak Tegalan Total * ) Luas merupakan hasil perhitungan pada peta digital

74 Gambar 9 Citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2010 Kabupaten Tanah bumbu 55

75 56 Gambar 10 Peta penutupan dan penggunaan lahan di Kabupaten Tanah Bumbu

76 57 Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong Berdasarkan hasil penilaian secara matching antara kualitas/karakteristik lahan dengan kriteria persyaratan lingkungan ekologis sapi potong diperoleh peta wilayah yang secara ekologis sesuai untuk pemeliharaan sistem gembala seperti disajikan pada Gambar 11 dan sistem kandang disajikan pada Gambar 12. Hasil penilaian kesesuaian lingkungan ekologis dengan faktor penghambatnya untuk keadaan aktual disajikan pada Lampiran 4 sedangkan keadaan potensial disajikan pada Lampiran 5. Hasil yang diperoleh tersebut merupakan basis data untuk analisis spasial dan pembuatan peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong. Perhitungan dan analisis spasial seperti disajikan pada Tabel 23, diperoleh bahwa dalam keadaan aktual sebagian besar wilayah Kabupaten Tanah bumbu adalah Tidak Dinilai (TD) yaitu Ha (66.32%). Sedangkan dalam keadaan potensial sebagian besar wilayah Kabupaten Tanah bumbu adalah Sesuai (S) yaitu Ha (62.99%). Adanya perbedaan luas disebabkan pada keadaan aktual yang dinilai hanya kedaan saat ini yang bisa langsung dimanfaatkan untuk pemeliharaan ternak sapi potong yang terdiri dari kebun, lahan terbuka, semak belukar dan tegalan sedangkan pada keadaan potensial terdapat penambahan luas yang bersifat berpotensi untuk pemeliharaan ternak sapi potong yang terdiri dari hutan produksi, hutan produksi terbatas, kebun, lahan terbuka, perkebunan karet, sawah, semak belukar dan tegalan. Tabel 23 Luas kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu No. Kesesuaian Sistem gembala Sistem kandang Luas (Ha) % Luas (Ha) % Keadaan aktual 1 S = Sesuai N = Tidak sesuai TD = Tidak dinilai Keadaan potensial 1 S = Sesuai N = Tidak sesuai TD = Tidak dinilai *)Luas merupakan hasil perhitungan pada peta digital

77 58 Gambar 11 Peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong sistem gembala di Kabupaten Tanah Bumbu

BAHAN DAN METODE. Tabel 4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

BAHAN DAN METODE. Tabel 4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan Gambar 2, pada bulan Oktober 2008 sampai dengan Februari 2011. Secara geografis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Lokasi yang menjadi objek penelitian adalah Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) sapi perah Kabupaten Bogor seluas 94,41 hektar, berada dalam dua wilayah yang berdekatan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Ternak

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Ternak 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Ternak Penataan ruang untuk suatu penggunaan tertentu tidak hanya diperlukan bagi pemanfaatan oleh manusia saja, tetapi usaha-usaha yang

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan perkotaan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2008. Gambar 3. Citra IKONOS Wilayah

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Lokasi dan Topografi Kabupaten Donggala memiliki 21 kecamatan dan 278 desa, dengan luas wilayah 10 471.71 kilometerpersegi. Wilayah ini

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai dari sumber daya alam yang diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui. Dengan potensi tanah

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

POTENSI DAN DAYA DUKUNG HIJAUAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG RAKYAT DI KECAMATAN PATI SKRIPSI FAJAR ARIF WISANTORO

POTENSI DAN DAYA DUKUNG HIJAUAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG RAKYAT DI KECAMATAN PATI SKRIPSI FAJAR ARIF WISANTORO POTENSI DAN DAYA DUKUNG HIJAUAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG RAKYAT DI KECAMATAN PATI SKRIPSI FAJAR ARIF WISANTORO DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN.. ix INTISARI... x ABSTRACK... xi I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi I. PENDAHULUAN.. Latar Belakang Dalam era otonomi seperti saat ini, dengan diberlakukannya Undang- Undang No tahun tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi sesuai dengan keadaan dan keunggulan daerah

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA DKI Jakarta merupakan wilayah terpadat penduduknya di Indonesia dengan kepadatan penduduk mencapai 13,7 ribu/km2 pada tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

RUMPUT DAN LEGUM Sebagai Hijauan Makanan Ternak

RUMPUT DAN LEGUM Sebagai Hijauan Makanan Ternak RUMPUT DAN LEGUM Sebagai Hijauan Makanan Ternak Penulis: Dr. Endang Dwi Purbajanti, M.S. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis menjadi salah satu faktor pendukung peternakan di Indonesia. Usaha peternakan yang berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk

PENGANTAR. Latar Belakang. Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk PENGANTAR Latar Belakang Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga yang berbasis pada keragaman bahan pangan asal ternak dan potensi sumber

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. DIY. Secara geografis, Kabupaten Bantul terletak antara 07 44' 04" ' 27"

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. DIY. Secara geografis, Kabupaten Bantul terletak antara 07 44' 04 ' 27 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Kondisi Geografis Kabupaten Bantul merupakan salah satu dari lima kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kabupaten Bantul terletak di sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F14101089 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR FANNY

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman IV. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan HPT Jenis, produksi dan mutu hasil suatu tumbuhan yang dapat hidup di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: Iklim Tanah Spesies Pengelolaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam 9 II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Usahaternak Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam pembangunan pertanian. Sektor ini memiliki peluang pasar yang sangat baik, dimana pasar domestik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Distribusi dan Kecukupan Luasan Hutan Kota sebagai Rosot Karbondioksida dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN dan ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan ABSTRAK Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Geografi Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Lampung. Kabupaten Lampung Selatan terletak di ujung selatan Pulau Sumatera

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996). 5 TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Lokasi dan Kondisi Fisik Kecamatan Berbah 1. Lokasi Kecamatan Berbah Kecamatan Berbah secara administratif menjadi wilayah Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

Gregorius Anung Hanindito 1 Eko Sediyono 2 Adi Setiawan 3. Abstrak

Gregorius Anung Hanindito 1 Eko Sediyono 2 Adi Setiawan 3. Abstrak ANALISIS PANTAUAN DAN KLASIFIKASI CITRA DIGITAL PENGINDRAAN JAUH DENGAN DATA SATELIT LANDASAT TM MELALUI TEKNIK SUPERVISED CLASSIFICATION (STUDI KASUS KABUPATEN MINAHASA TENGGARA, PROVINSI SULAWESI UTARA)

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN SLEMAN. Berdasarkan kondisi geografisnya wilayah Kabupaten Sleman terbentang

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN SLEMAN. Berdasarkan kondisi geografisnya wilayah Kabupaten Sleman terbentang IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN SLEMAN A. Letak Geografis Kabupaten Sleman Berdasarkan kondisi geografisnya wilayah Kabupaten Sleman terbentang mulai 110⁰ 13' 00" sampai dengan 110⁰ 33' 00" Bujur Timur, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI SUMBER PAKAN ALTERNATIF TERNAK KERBAU MOA DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT (MTB)

KAJIAN POTENSI LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI SUMBER PAKAN ALTERNATIF TERNAK KERBAU MOA DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT (MTB) Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Tenak Kerbau 2008 KAJIAN POTENSI LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI SUMBER PAKAN ALTERNATIF TERNAK KERBAU MOA DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT (MTB) PROCULA R. MATITAPUTTY

Lebih terperinci

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA AgroinovasI SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA Ternak ruminansia seperti kambing, domba, sapi, kerbau dan rusa dan lain-lain mempunyai keistimewaan dibanding ternak non ruminansia yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 2015 dan Perda No 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Perkembangan populasi ternak

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik dalam ketersediaan, distribusi dan konsumsi daging sapi dan kerbau belum memenuhi tujuan

Lebih terperinci

Pakan Ternak Ruminansia Pakan merupakan faktor yang sangat penting pada usaha peternakan sapi,

Pakan Ternak Ruminansia Pakan merupakan faktor yang sangat penting pada usaha peternakan sapi, TINJAUAN PUSTAKA Ternak Ruminansia Ternak ruminansia adalah mamalia berkuku genap seperti sapi, kerbau, domba, kambing, rusa, dan kijang yang merupakan sub ordo dari ordo Artiodactyla. Nama ruminansia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BALAI BESAR LITBANG SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012

BALAI BESAR LITBANG SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 KODE JUDUL: X.144 Penelitian Identifikasi Dan Evaluasi Potensi Lahan Untuk Pertanian Pangan dan Peternakan di Wilayah Beriklim Kering NTT 1. Ir. Sofyan Ritung, MSc. 2. Dr. Kusumo Nugroho, MS. 3. Drs. Wahyunto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan dan pengembangan wilayah di setiap daerah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di wilayah

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

PENANAMAN Untuk dapat meningkatkan produksi hijauan yang optimal dan berkualitas, maka perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman. Ada beberapa hal yan

PENANAMAN Untuk dapat meningkatkan produksi hijauan yang optimal dan berkualitas, maka perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman. Ada beberapa hal yan Lokakarya Fungsional Non Peneliri 1997 PENGEMBANGAN TANAMAN ARACHIS SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK Hadi Budiman', Syamsimar D. 1, dan Suryana 2 ' Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jalan Raya Pajajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci