KAJIAN PERSISTENSI DAN PENULARAN VIRUS AVIAN INFLUENZA DI PETERNAKAN ITIK MENGGUNAKAN TEKNIK REAL TIME RT-PCR AMINAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PERSISTENSI DAN PENULARAN VIRUS AVIAN INFLUENZA DI PETERNAKAN ITIK MENGGUNAKAN TEKNIK REAL TIME RT-PCR AMINAH"

Transkripsi

1 KAJIAN PERSISTEI DAN PENULARAN VIRUS AVIAN INFLUENZA DI PETERNAKAN ITIK MENGGUNAKAN TEKNIK REAL TIME RTPCR AMINAH SEKOLAH PASCASARJANA ITITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORSI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Persistensi dan Penularan Virus Avian Influenza di Peternakan Itik menggunakan Teknik Real Time RT PCR adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mauoun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2012 Aminah B

3 ABSTRACT AMINAH. The Study of Persistence and Transmission of Avian Influenza Virus in Duck Farm using Real Time RTPCR Technique. Under supervision of SURACHMI SETIYANINGSIH and IDWAN SUDIRN. Highly pathogenic avian influenza (HPAI) N1 virus has been a major threat to poultry industry and human health in Indonesia over the past several years. The existence of backyard and freerange duck raising system has been hypothesized to play role in the disease circulation. This study investigated virus infection and circulation occurring in three types of freerange duck farms in Indramayu District, West Java, Indonesia from September 2009 to March One hundred and eighty pairs of cloacaloropharyngeal swab samples from sentinel ducks placed in six farms of the three farm types were collected every month for seven months period and screened in pools for influenza A virus. In addition to the sentinel ducks, 30 nonsentinel ducks were included at the first and the last sampling month. Of the total 648 pool samples collected for seven months, 91 pools (14%) were found influenza A positive at repeated events. The virus was more commonly found on type 1 farms followed by type 2 and 3 farms. The individual swab samples of influenza A positive pools were tested for subtype. Of the total 91 pools of influenza A positive samples, 455 individual samples were tested for subtype and 50 (11%) individual samples were found positive. The subtype was found at certain points of sampling time and was more commonly found in type 2 farms followed by type 1 and was not found on type 3 farms. The virus was likely to be transmitted within duck farm but was unlikely to be maintained for a long time. Keywords: avian influenza, freerange duck, real time RTPCR

4 RINGKASAN Avian influenza (AI) telah menjadi masalah global maupun nasional yang mengakibatkan kerugian besar bagi industri perunggasan. Virus highly pathogenic avian influenza (HPAI) N1 bersifat 100% mematikan bagi ayam dan unggas gallinaceous lainnya sedangkan unggas air seperti itik dapat mengeluarkan virus melalui saluran pernafasan dan pencernaan dengan sedikit atau tidak ada gejala penyakit. Unggas air merupakan reservoir utama virus influenza A dan dapat menularkannya ke unggas domestik dan mamalia, termasuk manusia. Keberadaan sistem pemeliharaan itik skala rumah tangga dan itik angon berperan dalam peredaran penyakit AI. Penelitian ini mengamati infeksi dan peredaran virus AI subtipe di tiga tipe peternakan itik yang ada di kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Indonesia dari bulan September 2009 hingga Maret Seratus delapan puluh pasang sampel usap kloaka dan orofaringeal itik sentinel yang ditempatkan di enam peternakan dari ketiga tipe diambil setiap bulan selama tujuh bulan dan diperiksa keberadaan virus influenza A dalam pool. Selain dari itik sentinel, sampel juga diambil dari itik nonsentinel pada bulan pertama dan terakhir pengambilan sampel. Dari total 614 pool sampel usap kloaka dan orofaringeal yang berhasil dikoleksi selama tujuh bulan, didapati 98 (16%) pool positif VAI secara berulang pada bulanbulan tertentu yang menunjukkan bahwa VAI bersirkulasi di satu peternakan untuk waktu yang lama dan mungkin melibatkan lebih dari satu strain virus meskipun shedding virus terjadi dalam rentang waktu tertentu pada tingkat pool dengan perbandingan sampel usap kloaka positif hampir seimbang dengan usap orofaringeal yaitu masingmasing 52 (53,1%) dan 46 (46,9%). Virus AI lebih sering ditemukan pada peternakan tipe 1, diikuti tipe 2 dan 3. Sampel usap individual dari pool yang positif influenza A diperiksa terhadap keberadaan subtipe. Dari total 98 sampel pool yang positif influenza A, diperiksa 453 sampel individu dan didapati 49 (10,9%) sampel positif subtipe dengan perbandingan sampel usap kloaka dan orofaringeal positif masingmasing 18 (36,7%) dan 31 (63,3%) serta ratarata konsentrasi virus yang diekskresikan melalui kloaka sedikit lebih tinggi dibandingkan orofaring, terlihat dari nilai C t masingmasing 27,68 (STD 5,32) dan 27,83 (STD 5,64). Subtipe dapat muncul di satu peternakan namun tidak bertahan lama karena kemudian

5 vi menghilang seiring kematian itik yang terinfeksi atau pembersihan virus (clearance). Subtipe ditemukan pada titik waktu tertentu pengambilan sampel dan lebih sering ditemukan pada peternakan tipe 2, diikuti tipe 1 dan tidak ditemukan pada tipe 3. Virus influenza A selain lebih persisten dalam populasi itik angon dibandingkan dengan subtipe yang hanya muncul pada titik waktu tertentu. Virus influenza A lebih persisten pada peternakan itik angon namun penularan lebih mudah terjadi pada itik yang dikandangkan. Keberadaan VAI di peternakan menunjukkan peran itik angon sebagai reservoir dan sumber penularan AI.

6

7 Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undangundang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 KAJIAN PERSISTEI DAN PENULARAN VIRUS AVIAN INFLUENZA DI PETERNAKAN ITIK MENGGUNAKAN TEKNIK REAL TIME RTPCR AMINAH Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi Medik SEKOLAH PASCASARJANA ITITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS

10 Judul Penelitian Nama Nomor Pokok Program Studi : Kajian Persistensi dan Penularan Virus Avian Influenza di Peternakan Itik menggunakan Teknik Real Time RTPCR : Aminah : B : Mikrobiologi Medik Disetujui: Komisi Pembimbing drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D Ketua Dr. drh. Idwan Sudirman Anggota Diketahui: Ketua Program Studi Mikrobiologi Medik A.n. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sekretaris Program Magister Prof. Dr. drh. Fachriyan H Pasaribu Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Tanggal Ujian: 03 Februari 2012 Tanggal Lulus: 20 Februari 2012

11

12 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan berkahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul Kajian Persistensi dan Penularan Virus Avian Influenza di Peternakan Itik mengunakan Teknik Real Time RTPCR ini. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi program Magister pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada drh. Surachmi Setiyaningsih, PhD atas kesempatan dan segala bimbingan yang diberikan sehingga karya ilmiah ini dapat terwujud, kepada Dr. drh. Idwan Sudirman atas bimbingan dan arahan dalam diskusidiskusi selama penyusunan tesis, dan kepada Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis ini. Terimakasih kepada seluruh staf pengajar serta pegawai laboratorium program studi Mikrobiologi Medik atas curahan ilmu dan tenaga yang tiada henti selama penulis menyelesaikan studi. Terima kasih kepada Colorado State University (CSU) atas dukungan dana penelitian yang penulis kerjakan, khususnya kepada Dr. Kristy Pabilonia dan Christina Weller dari CSU Veterinary Diagnostic Laboratory atas pelatihan yang diberikan. Demikian juga kepada rekanrekan dokter hewan yang tergabung dalam Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) atas kerja keras selama pengambilan sampel di lapangan. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Dr. Yety Rochwulaningsih, MS atas segala dukungan agar penulis melanjutkan studi serta kepada keluarga besar Bukittinggi dan Sragen atas kebersamaan dan kehangatan keluarga yang penulis terima. Tidak lupa kepada rekanrekan drh. Emilia, Yuliana Radja Riwu, Wury Kadarsih, Wiwin Mukti, dan Zakiyah Widowati untuk semua persahabatan. Terimakasih juga kepada semua pihak yang mendukung penelitian serta penyusunan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat dan menginspirasi banyak pihak untuk giat melakukan penelitian dan memberikan yang terbaik bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan bangsa. Segala saran dan masukan yang menunjang demi kebaikan kedepan kami terima dengan tangan dan pikiran terbuka. Bogor, Februari 2012 Aminah

13 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bukittinggi Sumatera Barat pada tanggal 10 Oktober 1983, menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah atas di kota yang sama. Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Bukittinggi dan pada tahun yang sama masuk sebagai mahasiswa ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Tahun 2008 penulis menamatkan pendidikan Dokter Hewan dan mulai aktif sebagai asisten peneliti di Laboratorium Virologi FKH IPB sekaligus asisten praktikum untuk mata kuliah Penyakit Infeksius II.

14 DAFTAR ISTILAH AI C t HA HPAI LPAI Avian influenza Cycle threshold Hemaglutinin Highly pathogenic avian influenza Low pathogenic avian influenza M1 Protein matriks 1 M2 NA NEP NLS NP ORF PA Protein matriks 2 (ion channel) Matriks Neuraminidase Nuclear export protein Nuclear localization signal Nukleoprotein Nonstruktural Open reading frame Polymerase acidic PB1 Polymerase basic 1 PB2 Polymerase basic 2 PCR Rn RNA RNP RRTPCR RTPCR SA Sentinel VAI Polymerase chain reaction Normalized reporter Ribonucleic acid Ribonukleoprotein Real time reverse transcriptase polymerase chain reaction Reverse transcriptase polymerase chain reaction Sialic acid Hewan yang sengaja ditempatkan untuk merekam satu atau rangkaian kejadian penyakit dalam program sureveilans prospektif Virus avian influenza

15 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xviii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Manfaat... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Virus Influenza A... 4 Siklus replikasi virus... 8 Antigenic drift Antigenic shift Influenza A pada Unggas Liar Influenza A pada Unggas Domestik Ekologi Itik dan Perannya dalam Penyebaran Influenza A Patobiologi Avian Influenza pada Itik AI Patogenitas Rendah (lowpathogenic avian influenza, LPAI) AI Patogenitas Tinggi (highly pathogenic avian influenza, HPAI) Teknik Diagnostik Avian Influenza RRTPCR untuk Deteksi Avian Influenza BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Sampel Metode Pooling Isolasi RNA RTPCR Konvensional Real Time RTPCR Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN RTPCR Konvensional dan Real Time Influenza A Subtipe SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 58

16 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Pasangan primer dan probe untuk deteksi gen tertentu Tabel 2. Virus AI di tiga tipe peternakan itik angon Tabel 3. Persentase sampel usap positif di 6 peternakan itik Tabel 4. Virus AI subtipe di peternakan itik angon, Indramayu... 42

17 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Diagram skematis struktur virus influenza A... 4 Gambar 2. Endositosis virus influenza... 9 Gambar 3. Grafik tingkat kelangsungan hidup itik Gambar 5. Perbandingan hasil PCR konvensional dan real time Gambar 6. Grafik amplifikasi real time RTPCR Gambar 7. Distribusi temporal VAI di tiga tipe peternakan itik angon Gambar 8. Distribusi wilayah angon itik Kabupaten Indramayu... 43

18 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Tabulasi nilai C t dan di peternakan Lampiran 2. Tabulasi nilai C t dan di peternakan Lampiran 3. Tabulasi nilai C t dan di peternakan Lampiran 4. Tabulasi nilai C t dan di peternakan Lampiran 5. Tabulasi nilai C t dan di peternakan Lampiran 6. Tabulasi nilai C t dan di peternakan

19 PENDAHULUAN Latar Belakang Avian influenza (AI) telah menjadi masalah global maupun nasional yang mengakibatkan kerugian besar bagi industri perunggasan. Sejak terjadi wabah highly pathogenic avian influenza (HPAI) pertama pada pada unggas di akhir tahun 2003, hingga Januari dari 33 Provinsi di Indonesia telah tertular (OIE 2012). Kasus AI pada manusia di Indonesia mulai terjadi pada bulan Juni 2005, dan hingga bulan Januari 2012 WHO telah mencatat 184 kasus dengan 152 (82,6%) diantaranya mengakibatkan kematian (WHO 2012). Hingga Oktober 2010 kasus AI pada manusia di Indonesia paling tinggi terjadi di Provinsi DKI Jakarta dan dari 46 kasus konfirmasi, 39 (84,8%) diantaranya meninggal dunia (DinkesJabar 2010). Kasus AI pada manusia tertinggi kedua terjadi di Provinsi Jawa Barat yaitu dari 41 kasus konfirmasi, 36 (87,8%) diantaranya meninggal dunia dan tersebar di 14 Kabupaten/Kota (DinkesJabar 2010). Unggas air liar merupakan reservoir utama virus influenza A dan dapat menularkannya ke unggas domestik dan mamalia, termasuk manusia. Dari 16 subtipe HA virus influenza A, hanya subtipe dan H7 yang dapat menyebabkan highly pathogenic avian influenza (HPAI) pada inang alami. Virus HPAI N1 bersifat 100% mematikan bagi ayam dan unggas gallinaceous lainnya sedangkan unggas air seperti itik dapat mengeluarkan virus melalui saluran pernafasan dan pencernaan dengan sedikit atau tidak ada gejala penyakit (Brown et al. 2006; Keawcharoen et al. 2008). Hal ini menunjukkan bahwa VAI yang tidak menimbulkan gejala penyakit pada itik tetap merupakan ancaman bagi kesehatan itik sendiri maupun inang lain. Meskipun kejadian wabah HPAI pada pada ayam jauh lebih tinggi dibandingkan pada itik tetapi penelitian yang dilakukan di Thailand menunjukkan adanya keterkaitan erat antara wabah HPAI dengan keberadaan itik domestik maupun angon di ara itu (Gilbert et al. 2006) di samping faktorfaktor lainnya seperti jumlah ayam, populasi manusia, dan keadaan topografis (Gilbert et al. 2008). Kegiatan surveilans aktif perlu dilakukan untuk menentukan peran itik dalam penularan dan asal usul virus. Sangat tidak mungkin mengandalkan laporan tentang wabah AI untuk mengetahui prevalensi

20 2 VAI pada populasi itik karena hasilnya tidak akan akurat, demikian juga dengan peran itik dalam wabah HPAI. Di Indonesia beberapa jenis itik telah lama dikembangkan untuk dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani berupa daging maupun telur. Jenis itik yang berkembang di beberapa daerah antara lain itik alabio di Kalimantan Selatan, itik tegal di Jawa Tengah, dan itik pitalah di Sumatera Barat (Suswono 2011a; Suswono 2011b; Suswono 2011c). Jawa Barat memiliki populasi itik paling tinggi di Indonesia yaitu mencapai 4,4 juta ekor pada tahun 2002 dan terus meningkat hingga 8,2 juta ekor pada tahun 2009, 2 juta ekor diantaranya berada di Kabupaten Indramayu (Ditjennak 2010) dengan mayoritas pemeliharaan menerapkan sistem angon sehingga dijadikan sebagai lokasi penelitian mengenai virus avian influenza (VAI) di peternakan itik angon. Keberadaan VAI dapat dideteksi menggunakan teknik reverse transcriptase PCR (RTPCR). Teknik ini memiliki beberapa keuntungan antara lain dapat digunakan untuk berbagai jenis sampel, lebih cepat dan lebih ramah lingkungan dibandingkan isolasi virus pada embrio ayam, dan karena virus tidak aktif sejak awal pemrosesan, keamanan dan keselamatan biologis juga lebih mudah untuk dipertahankan (Spackman dan Suarez 2008). Secara konvensional teknik ini memerlukan waktu beberapa jam dan pembacaan hasilnya melibatkan bahan kimia yang dapat merugikan pengguna maupun lingkungan. Perkembangan teknologi telah melahirkan realtime RTPCR (RRTPCR) yang mulai banyak digunakan sejak awal tahun 2000an dalam rangka pengawasan rutin, selama wabah, dan untuk penelitian. Beberapa keuntungan RRTPCR dibandingkan dengan RTPCR konvensional antara lain dari segi sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi, memerlukan waktu yang lebih singkat, bersifat kuantitatif, ramah lingkungan, dan meskipun biaya yang diperlukan untuk investasi peralatan lebih tinggi namun untuk operasional dan pengamanan lingkungan teknik ini memerlukan biaya yang lebih sedikit. Tujuan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah itik yang merupakan unggas air domestik berperan sebagai reservoir VAI.

21 3 Teknik RRTPCR digunakan untuk mendeteksi persistensi dan penularan VAI dalam peternakan itik angon serta menentukan rute pengeluaran (shedding) virus. Manfaat Memberi informasi tentang persistensi dan penularan VAI subtipe di peternakan itik sebagai pertimbangan dalam pengendalian AI. Hipotesis Virus AI menular dan persisten dalam peternakan itik angon dan dapat dideteksi dengan RRTPCR.

22 TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza A Virus influenza merupakan virus RNA untai atif dengan genom tersegmentasi berisi tujuh sampai delapan segmen gen yang termasuk kedalam famili Orthomyxoviridae. Berdasarkan perbedaan sifat antigenik protein matriks dan nukleoprotein, virus influenza dikelompokkan kedalam tiga tipe yaitu A, B, dan C yang masingmasing memiliki kecenderungan inang dan patogenisitas berbeda. Virus influenza A dan B memiliki struktur yang tidak dapat dibedakan dibawah mikroskop elektron (Bouvier dan Palese 2008) berbeda dengan virus influenza C. Virus influenza A dan B memiliki delapan segmen gen RNA untai tunggal, sedangkan virus influenza C memiliki tujuh segmen dan masingmasing menyandi setidaknya satu protein (Murphy et al. 1999). Gambar 1. Diagram skematis struktur virus influenza A (Lee dan Saif 2009) Virus influenza A memiliki selubung yang berasal dari membran lipid sel inang. Kedelapan segmen gen menyandi setidaknya 11 open reading frame (ORF) (Bouvier dan Palese 2008). Permukaan virus diselubungi oleh penonjolan tiga protein: hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA) dan matriks 2 (M2) (Gambar 1). Protein matriks 1 (M1) terdapat di bawah membran, berinteraksi dengan bagian sitoplasmik glikoprotein permukaan dan dengan kompleks ribonukleoprotein

23 5 (RNP) virus. Protein M1 juga berikatan dengan protein pengeluaran dari inti (nuclear export protein NEP) yang memperantarai pengeluaran M1RNP melalui nukleoporin ke dalam sitoplasma (Bouvier dan Palese 2008). Protein M2 yang berukuran kecil merupakan ion channel transmembran dan hanya ditemukan pada virus influenza A. Protein M2 memiliki bagian luar yang berada di permukaan selubung virus bersama dengan HA dan NA. Protein M2 merupakan target obat anti influenza dari kelas amantadine yang memblokir aktivitas ion channel dan mencegah pelepasan selubung virus (Pinto et al. 1992; Wharton et al. 1994; Sheu et al. 2011). Selain itu, M2 merupakan protein permukaan sehingga dijadikan sebagai komponen vaksin (Slepushkin et al. 1995; Neirynck et al. 1999). Hemaglutinin merupakan protein membran integral tipe I terglikosilasi yang berfungsi sebagai protein pengikat reseptor dan protein fusi serta merupakan target utama netralisasi oleh antibodi inang (Cross et al. 2001; Hulse et al. 2004; Hoffmann et al. 2005; Gambaryan et al. 2006). Protein ini dapat mengenali asam sialat (Nacetyl neuraminic acid) yang terikat pada gula di ujung glikoprotein sel inang. Virus influenza A memiliki berbagai HA spesifik dengan isomerisasi ikatan glikosidik berbeda untuk disakarida yang terdiri atas sialic acid (SA) dan galaktosa atau Nasetilgalaktosamin (GalNAc). Reseptor HA pada unggas memiliki spesifisitas ikatan terhadap SA 2,3 sel bersilia, sementara HA pada manusia memiliki spesifisitas ikatan yang lebih tinggi terhadap SA 2,6 sel tidak bersilia (Matrosovich et al. 2004). Struktur kristal molekul HA berbentuk trimer dengan dua regio struktural berbeda yaitu bagian batang dan kepala (Wilson et al. 1981). Bagian kepala mengandung reseptor situs pengikatan SA yang dikelilingi oleh determinan antigenik variabel yang disebut A, B, C, dan D pada subtipe H3 (Shortridge et al. 1990) dan Sa, Sb, CA1, Ca2, dan Cb pada subtipe H1 (Palese dan Shaw 2007). Protein HA memiliki bentuk trimer yang masingmasing monomernya mengalami pembelahan proteolitik untuk menghasilkan rantai polipeptida HA1 dan HA2 dengan ikatan disulfida sebelum aktivasi. Polipeptida HA2 memperantarai fusi selubung virus dengan membran sel, sedangkan HA1 mengandung situs antigenik dan pengikatan reseptor (Steinhauer 1999). Pembelahan HA memerlukan protease serin eksogen (enzim yang menyerupai tripsin) yang mengenali motif Q/EXR lestari di situs pembelahan HA untuk

24 6 aktivasi (Chen et al. 1998). Pada manusia dan mamalia lain, enzim ini berupa triptase Clara yang diproduksi oleh sel epitel bronkiolus (Murakami et al. 2001). Aktivasi pembelahan HA dalam sel usus dan/atau pernafasan unggas kemungkinan juga memerlukan protease serupa. Situs pengenalan protease dapat berubah menjadi urutan menyerupai furin RXR/KR pada subtipe dan H7 bila mengalami mutasi insersional pada situs pembelahan HA. Perubahan situs pembelahan HA menjadi polibasa ini memperluas spesifisitas protease sehingga memungkinkan aktivasi pembelahan intraseluler dan replikasi virus secara sistemik pada unggas yang mengakibatkan influenza unggas sangat patogen (highly pathogenic avian influenza, HPAI) (Werner 2006). Akumulasi perubahan yang relatif kecil pada situs antigenik HA yang dikenali oleh antibodi disebut antigenic drift yang menghasilkan strain virus yang tidak lagi dapat dinetralisir oleh antibodi sehingga inang menjadi rentan terhadap infeksi kembali oleh strain yang mengalami drift. Neuraminidase (NA) merupakan tetramer berbentuk seperti jamur yang menancap pada selubung virus melalui domain transmembran (Colman et al. 1983; Varghese et al. 1983). Sebagai glikoprotein membran integral tipe II dengan aktivitas enzimatik sialidase (neuraminidase), NA diperlukan untuk pembelahan SA sel inang yang memungkinkan pelepasan virion baru dan melepaskan SA dari glikoprotein virus untuk mencegah agregasi partikel progeni virus (Palese et al. 1974). Hemaglutinin dan NA merupakan target antigenik utama respon imun humoral terhadap virus influenza A dengan NA menjadi target obat antivirus oseltamivir dan zanamivir (De Clercq 2006). Setiap segmen RNA virus influenza A diselubungi oleh nukleoprotein (NP). Pada virion, RNA virus melilit monomer NP dan membentuk RNP bersamasama dengan tiga protein polimerase yaitu: polymerase acidic protein (PA), polymerase basic protein 1 (PB1) dan polymerase basic protein 2 (PB2) (Coloma et al. 2009). NP berperan terutama sebagai protein pengikat RNA untai tunggal dan berfungsi sebagai protein struktural pada RNP. Selain itu, NP berperan penting dalam transkripsi dan perpindahan RNP antara sitoplasma dan nukleus. Transkripsi RNA virus influenza A dan replikasi terjadi di dalam inti inang karena virus ini bergantung pada sistem pengolahan RNA sel inang (Palese dan Shaw 2007).

25 7 Sintesis RNA virus influenza A memerlukan polimerase yang terdiri atas tiga subunit PA, PB1, dan PB2. Kompleks heterotrimer polimerase terbentuk melalui interaksi PA dengan PB1 dan PB1 dengan PB2. Protein PA berperan penting dalam penempelan, katalisis, dan lokalisasi inti oleh polimerase (Guu et al. 2008). Protein PB1 berfungsi sebagai RNA polimerase sedangkan PB2 berperan dalam sintesis mrna melalui pengikatan bagian kepala mrna inang. Protein non struktural kecil lainnya yaitu PB1F2 secara bervariasi disandi oleh gen PB1 melalui bingkai bacaan (reading frame) alternatif. Protein ini menjadikan membran dalam mitokondria sebagai target dan mungkin berperan dalam apoptosis selama infeksi virus influenza A selain memiliki aktivitas antagosnisme interferon (Dudek et al. 2011). Gen PB1 juga menyandi polipeptida ketiga yang diekspresikan melalui penggunaan kodon AUG diferensial yang disebut N40 (Wise et al. 2009). Protein nonstruktural 1 (1) memiliki beberapa domain fungsional antara lain: domain Nterminal pengikat RNA (residu 173) yang pada in vitro mengikat beberapa spesies RNA dengan afinitas rendah dan memiliki sinyal lokalisasi inti (nuclear localization signal, NLS) (Hatada dan Fukuda 1992; Qian et al. 1995; Chien et al. 2004), dan domain Cterminal 'efektor' (residu 74230) yang memperantarai interaksi dengan protein sel inang dan secara fungsional menstabilkan domain pengikat RNA (Wang et al. 2002). Keseluruhan 1 merupakan homodimer dengan domain pengikat RNA dan domain efektor berkontribusi terhadap multimerisasi (Nemeroff et al. 1995). 1 memiliki fungsi pleiotropik, antara lain pengikatan dsrna, peningkatan translasi mrna virus, penghambatan proses mrna inang dan antagonisme interferon tipe I (Palese dan Shaw 2007). Protein 2 (disebut juga protein ekspor inti, NEP) ditemukan dalam virion dan memfasilitasi pengeluaran kompleks RNP virus dari dalam inti (O'Neill et al. 1998). Berdasarkan karakterisasi antigen glikoprotein permukaan HA dan NA virus influenza A dikelompokkan kedalam 16 subtipe HA dan 9 NA (Fouchier et al. 2005). Secara teoritis kombinasi HANA dapat membentuk 144 subtipe, dan setidaknya 116 kombinasi subtipe ini telah diisolasi dari unggas (Krauss et al. 2007; Munster et al. 2007). Pedoman Organisasi Kesehatan Dunia untuk

26 8 nomenklatur virus influenza adalah sebagai berikut: pertama, tipe virus (A, B, atau C), kemudian inang (jika bukan manusia), tempat isolasi, nomor isolasi dan tahun isolasi (dipisahkan dengan garis miring). Untuk virus influenza A, subtipe HA (H1H16) dan NA (N19) ditulis dalam tanda kurung. Sebagai contoh, strain yang termasuk dalam vaksin trivalen influenza manusia untuk musim di Amerika Serikat adalah: A/California/7/2009 (H1N1), A/Perth/16/2009 (H3N2) dan B/Brisbane/60/2008. Virus influenza tipe B dan C menginfeksi dan hampir selalu diisolasi dari manusia meskipun virus influenza B pernah diisolasi dari anjing laut dan virus influenza C pernah diisolasi dari babi dan anjing (Wright et al. 2007). Sebaliknya, virus influenza A dapat menginfeksi berbagai hewan berdarah panas seperti unggas, babi, kuda dan manusia. Virus AI yang menjadi penyebab flu burung/ai termasuk kedalam virus influenza A dengan unggas air sebagai reservoir alami untuk semua subtipenya (Webster et al. 1992). Tiga sifat penting yang membuat virus influenza mudah beradaptasi, mampu menghindari respon kekebalan inang, dan mampu menginfeksi spesies inang baru (Webster et al. 1992; Bahl et al. 2009) yaitu: pertama, enzim polimerase yang mengkatalisis replikasi RNA dari cetakan RNA mudah melakukan kesalahan; kedua, kurangnya koreksi kesalahan selama replikasi; dan ketiga, struktur genom virus influenza memungkinkan untuk pertukaran segmen antar virusvirus yang menginfeksi sel di waktu bersamaan melalui proses yang disebut reassortment. Siklus replikasi virus Virus influenza mengenali SA (Nasetilneuraminik) pada permukaan sel inang. Monosakarida asam sembilan karbon yang dapat ditemukan pada ujung berbagai glikokonjugat ini terdapat di banyak tempat pada berbagai tipe sel dan spesies hewan. Karbon 2 SA dapat mengikat karbon 3 atau 6 galaktosa membentuk ikatan 2,3 atau 2,6. Perbedaan ikatan ini menghasilkan konfigurasi sterik yang unik pada SA. Bagian SA dapat dikenali oleh dan berikatan dengan HA pada permukaan virus influenza yang memiliki spesifisitas ikatan 2,3 atau 2,6. Pada sel epitel trakea manusia lebih dominan reseptor 2,6 sedangkan reseptor 2,3 lebih umum ditemukan pada epitel usus bebek. Reseptor 2,3 SA

27 9 juga terdapat pada epitel saluran pernafasan manusia meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan 2,6 (Couceiro et al. 1993; Matrosovich et al. 2004) sehingga manusia dan primata lain juga dapat terinfeksi oleh VAI meskipun dengan efisiensi yang lebih rendah dibandingkan infeksi oleh strain manusia (Tian et al. 1985; Beare dan Webster 1991). Perbedaan ekspresi SA pada saluran pernafasan mamalia membantu menjelaskan infektivitas rendah tetapi patogenisitas tinggi pada beberapa strain VAI. Pada manusia protein SA dengan ikatan 2,3 dalam jumlah sedikit terdapat di saluran pernafasan bawah seperti bronkiolus dan alveoli. Akses partikel virus dari udara ke paruparu tidak semudah virus mencapai saluran pernafasan bagian atas seperti nasofaring, sinus paranasal, trakea, dan bronkus, sehingga infeksi VAI relatif jarang terjadi pada manusia. Namun ketika strain VAI menginfeksi paruparu manusia, pneumonia berat dan progresif dapat terjadi dengan angka kematian melebihi 60% (Gambotto et al. 2008). Gambar 2. Endositosis virus influenza diadaptasi dari Lakadamyali et al. (2004) Setelah protein HA virus influenza (atau protein HEF virus influenza C) menempel pada SA, virus mengalami endositosis. Keasaman kompartemen endosomal sangat penting untuk pelepasan selubung virus influenza (Gambar 2). Rendahnya ph memicu perubahan konformasi HA, memaparkan peptida fusi yang menjadi mediator penggabungan selubung virus dengan membran endosomal sehingga membuka ruang untuk RNP virus terlepas ke sitoplasma sel

28 10 inang (Stegmann 2000; Sieczkarski dan Whittaker 2005). Ion hidrogen dari endosom dipompa ke dalam partikel virus melalui ion channel M2. Pengasaman internal virion influenza melalui channel M2 mengganggu interaksi proteinprotein internal sehingga RNP dapat dilepaskan keluar dari matriks virus ke dalam sitoplasma sel (Martin dan Helenius 1991). Setelah keluar dari virion, RNP masuk kedalam inti sel inang dengan memanfaatkan sinyal lokalisasi inti (NLS) oleh protein virus (1) yang memerintahkan protein sel untuk memasukkan RNP dan protein virus lainnya ke dalam inti sel inang (Cros dan Palese 2003). Inti merupakan tempat dimana semua sintesis RNA virus terjadi, tempat RNA poliadenilasi (mrna) yang bertindak sebagai cetakan bagi sel inang untuk translasi, dan tempat segmen RNA virus yang membentuk genom progeni virus. Polimerase RNA yang merupakan komponen RNP juga masuk kedalam inti dan menggunakan RNA virus untai atif sebagai cetakan untuk mensintesis dua RNA untai positif, yaitu cetakan mrna untuk sintesis protein virus, dan RNA komplementer (crna) untuk membentuk lebih banyak RNA virus untai atif penyusun genom (Bouvier dan Palese 2008). Berbeda dengan mrna sel inang yang terpoliadenilasi oleh poli (A) polimerase spesifik, ujung penutup poli (A) mrna virus influenza disandi dalam bentuk RNA virus untai atif dengan lima sampai tujuh residu urasil yang ditranskripsikan oleh polimerase virus menjadi untai positif dengan adenosin membentuk ekor poli (A) (Robertson et al. 1981; Li dan Palese 1994). Pembentukan ujung penutup RNA messenger juga terjadi dengan cara unik yang sama, di mana protein PB1 dan PB2 "mencuri" primer berujung penutup 5' dari transkrip premrna inang untuk memulai sintesis mrna virus, proses ini disebut "cap snatching" (Krug 1981). Setelah terpoliadenilasi dan ujungnya ditutup, mrna asal virus dapat keluar dan diterjemahkan seperti mrna inang. Pengeluaran segmen RNA virus dari inti diperantarai oleh protein M1 dan NEP/2 virus (Cros dan Palese 2003). Protein selubung HA, NA, dan M2 disintesis dari mrna asal virus di ribosom yang terikat pada membran retikulum endoplasma kemudian masuk

29 11 kedalam aparatus Golgi untuk modifikasi pascatranslasi. Ketiga protein tersebut memiliki sinyal penyusun apikal yang kemudian mengarahkan mereka ke membran sel untuk perakitan virion. Meskipun relatif sedikit yang diketahui tentang translasi dan penyortiran protein yang bukan bagian dari selubung, M1 diperkirakan berperan dalam membawa kompleks RNPNEP berkontak dengan protein selubung HA, NA, dan M2 untuk dikemas di membran sel inang (Palese dan Shaw 2007). Virus influenza tidak sepenuhnya menular kecuali virion yang lengkap berisi genom delapan segmen, atau tujuh segmen untuk virus influenza C. Sebelumnya pengemasan RNA virus dianggap sebagai sebuah proses yang sepenuhnya acak, di mana segmen RNA virus secara tidak beraturan dimasukkan ke dalam tunas partikel virus dan hanya yang memiliki genom lengkap yang dapat menular. Namun bukti baru menunjukkan bahwa pengemasan merupakan proses selektif di mana sinyal pengemasan pada semua segmen RNA virus memastikan bahwa genom lengkap dimasukkan ke dalam setiap partikel virus (Bancroft dan Parslow 2002; Fujii et al. 2003). Pertunasan (budding) virus influenza terjadi di membran sel yang dimulai dengan akumulasi protein matriks M1 di sisi sitoplasma dari lipid bilayer. Ketika budding selesai, tonjolan HA tetap menempelkan virion pada SA di permukaan sel hingga partikel virus secara aktif dilepaskan oleh aktivitas sialidase protein NA (Colman et al. 1983; Varghese et al. 1983). Antigenic drift Virus influenza A terus berevolusi dengan tingkat mutasi tinggi yang berkisar antara sampai substitusi/situs/tahun (Chen dan Holmes 2006). Mutasi selektif pada domain antigenik yang terjadi secara bertahap dalam satu strain dan menghindarkan virus dari sistem kekebalan disebut antigenic drift (Rambaut et al. 2008). Bagian HA1 dari gen HA mengalami evolusi dengan tingkat mutasi 5,7 substitusi nukleotida/tahun atau 5, substitusi/situs/tahun (Fitch et al. 1997). Dengan antibodi terhadap protein HA mencegah pengikatan reseptor, menetralisir, dan mencegah infeksi ulang oleh subtipe yang sama (Suarez dan SchultzCherry 2000) maka mutasi yang mengubah asam amino pada

30 12 glikoprotein permukaan seperti HA dapat menguntungkan virus karena memungkinkan virus menghindar dari sistem kekebalan. Proses replikasi virus sangat rawan mutasi karena enzim polimerase yang mengkatalisis replikasi RNA dari cetakan RNA mudah melakukan kesalahan disertai kurangnya koreksi kesalahan selama replikasi. Hal ini menjadi penyebab terjadinya antigenic drift. Antigenic drift merupakan salah satu strategi virus influenza untuk menghindar dari sistem kekebalan inang yang meningkat karena vaksinasi. Perubahan antigenik yang terjadi di daerah epitop merupakan hambatan untuk pengembangan vaksin karena vaksinasi yang efektif hanya dapat terjadi bila strain epidemik sesuai dengan strain vaksin (Stohr 2002). Gen HA sebagai target netralisasi antibodi menjadi contoh klasik protein antigen yang mengalami mutasi titik yang menumpuk pada epitop atau daerah yang dikenali antibodi (Webster et al. 1982; Wilson dan Cox 1990). Antigenic drift pada gen HA dapat dipercepat oleh vaksinasi (Lee et al. 2004) yang suboptimal karena tekanan oleh kekebalan hasil imunisasi terhadap virus yang sebelumnya bereplikasi dan beredar antar dan intra spesies (Abdelwhab dan Hafez 2011) memaksa virus untuk beradaptasi. Virus N1 dapat bermutasi secara intensif pada unggas yang divaksinasi sehingga berpotensi menimbulkan pandemi. Gen HA dari 4 strain N1 yang beredar di Mesir mengalami perubahan asam amino pada epitop HA sehingga berbeda dengan VAI N1 awal yang ditemukan sejak program vaksinasi dimulai pada tahun 2006 yang berdampak pada virulensi N1 pada mamalia (Abdel Moneim et al. 2011). Contoh lain virus influenza A yang mengalami antigenic drift adalah virus pandemi H1N (ph1n1 2009) yang berasal dari babi. Residu 227 HA pada H1N1 babi yang berupa asam amino alanin mengalami perubahan menjadi asam glutamat sehingga mampu menular dan menimbulkan pandemi pada manusia (van Doremalen et al. 2011). Antigenic shift Genom virus influenza A terdiri dari 8 segmen RNA sehingga koinfeksi satu sel inang dengan dua virus influenza A berbeda dapat menghasilkan progeni virus yang berisi segmen gen dari kedua virus. Proses penyusunan (reassortment) genetik ini disebut antigenic shift (Webster et al. 1977). Reassortment berperan

31 13 penting dalam evolusi virus influenza A (Holmes et al. 2005; Dugan et al. 2008) dan adaptasi inang (Garten et al. 2009, Scholtissek et al. 1978). Secara teori dapat terjadi 256 (2 8 ) kombinasi 8 segmen gen hasil reassortment antara dua virus dalam satu inang. Rekombinasi homolog jarang terjadi pada virus RNA atif seperti virus influenza A (Boni et al. 2008) tetapi rekombinasi dengan pertukaran segmen gen diketahui berperan dalam perubahan virulensi dan adaptasi inang (Wright et al. 2007). Influenza A pada Unggas Liar Virus influenza A memiliki keragaman genetik dan antigenik yang tinggi dan tersebar pada berbagai spesies unggas liar di seluruh dunia. Penularan virus influenza A pada unggas air liar terjadi melalui rute fekaloral dan menginfeksi selsel epitel saluran pencernaan dengan sedikit atau tanpa gejala penyakit. Virus bertahan melalui infeksi asimtomatik (low pathogenic, LPAI) pada unggas air dari ordo Anseriformes seperti itik dan angsa, ordo Charadriiformes seperti camar dan burung laut, serta ordo Passeriformes dan setidaknya 105 spesies unggas liar telah teridentifikasi membawa virus influenza A (Munster et al. 2007). Distribusi subtipe HA dan NA virus pada isolat unggas liar tidak merata. Sebagian besar subtipe HA dapat ditemukan pada Anseriformes sedangkan subtipe H13 dan H16 ditemukan pada Charadriiformes (Munster et al. 2007). Pola umum keragaman VAI pada unggas liar dapat dijelaskan dengan dua model evolusi yaitu spesiasi alopatrik (cekaman geografis) dan simpatrik (cekaman selektif) (Dugan et al. 2008). Analisis filogenetik menunjukkan bahwa semua subtipe HA VAI memiliki nenek moyang yang sama namun subtipe HA tidak berasal dari radiasi tunggal. Hal ini dapat dilihat dari tingginya keragaman genetik antar subtipe HA sedangkan dalam subtipe HA yang sama keragaman genetik cukup rendah. Pola ini juga terjadi pada evolusi kesembilan subtipe NA. Analisis menunjukkan keragaman yang mencerminkan bahwa nenek moyang bersama terdekat (the most recent common ancestors TMRCA) subtipe HA yang berbeda pernah ada dalam rentang waktu beberapa ratus tahun yang lalu (Chen dan Holmes 2010). Segmen gen VAI pada unggas memiliki perbedaan jelas antara alel A dan B yang menunjukkan bahwa kedua alel mengalami seleksi

32 14 keseimbangan (Dugan et al. 2008). Keragaman genetik yang lebih rendah dimiliki oleh lima segmen gen VAI lainnya (PB2, PB1, PA, NP dan M). Analisis filogenetik juga menunjukkan perbedaan urutan asam inti yang jelas antara VAI yang berasal dari unggas di belahan dunia timur dan barat, sesuai dengan evolusi cekaman alopatrik (Dugan et al. 2008; Munster dan Fouchier 2009). Banyaknya kombinasi HANA yang ditemukan pada unggas liar menunjukkan bahwa infeksi campuran dan reassortment VAI sering terjadi pada unggas liar (Wang et al. 2008) dan bahwa subtipe HANA memiliki kombinasi spesifik yang rendah. Keragaman genetik yang tinggi pada HA, NA dan bertolak belakang dengan 5 segmen gen penyandi protein internal yang memiliki stabilitas tinggi di tingkat asam amino. Hal ini menandakan bahwa kelima segmen gen tersebut telah melalui alur seleksi pemurnian. Kecocokan kelima gen tersebut untuk saling terkait dalam genom ditentukan oleh viabilitas fungsional, dengan sedikit cekaman selektif untuk mempertahankan mutasi yang menguntungkan. Urutan asam amino yang sangat stabil menunjukkan bahwa reassortment terjadi antara segmensegmen yang secara fungsional setara. Dugan et al. berhipotesis bahwa VAI pada unggas liar berperan sebagai kolam (pool) besar yang berisi segmensegmen gen yang memiliki kesetaraan fungsional sehingga dapat saling tukar membentuk konstelasi genom sementara tanpa ada cekaman selektif yang kuat agar tetap bertahan sebagai genom (Dugan et al. 2008). Virus influenza A pada unggas liar dapat berpindah ke inang yang baru seperti ayam, kuda, babi, bahkan manusia dan tetap stabil sehingga dapat menjadi virus menular di kelompok inang yang baru. Virus influenza A sering beradaptasi terhadap inang yang berasal dari spesies unggas domestik (Wright et al. 2007). Kemampuan virus untuk tetap stabil setelah berganti inang memerlukan akuisisi sejumlah mutasi, tergantung pada virus dan spesies inang yang memisahkan individu virus dari pool gen virus influenza A di unggas liar. Adaptasi terhadap inang baru ini dapat mengurangi kemampuan virus untuk kembali ke pool gen virus influenza A pada unggas liar (Swayne 2007) sehingga ia harus membangun konstelasi genom delapan segmen yang berbeda dari klonnya di unggas liar (Dugan et al. 2008; Taubenberger dan Morens 2009).

33 15 Influenza A pada Unggas Domestik Unggas domestik dari ordo Galliformes seperti kalkun, ayam, dan burung puyuh bukan merupakan reservoir virus influenza A unggas namun rentan terhadap infeksi oleh virus influenza A dari unggas liar yang telah beradaptasi. Virus influenza A yang telah beradaptasi pada Galliformes jarang kembali dan beredar di unggas liar (Swayne 2007) kecuali virus HPAI N1 Eurasia yang barubaru ini diisolasi dari populasi unggas liar di Eropa dan Asia. Virus panzootik HPAI N1 galur Asia memiliki keunikan (Webster et al. 2007) yang dapat mengakibatkan kematian jutaan unggas di 64 ara di tiga benua. Adaptasi virus influenza A pada inang Galliformes secara molekuler belum sepenuhnya dapat dijelaskan namun diketahui melibatkan seleksi positif mutasi HA, NA (Perez et al. 2003; Campitelli et al. 2004), dan protein RNP (Wasilenko et al. 2008). Virus influenza A yang diisolasi dari unggas domestik umumnya mempertahankan spesifisitas pengikatan reseptor HA 2,3SA (Wright et al. 2007). Ciri lainnya yaitu penghapusan inframe sekitar 20 asam amino di daerah batang NA yang mengurangi aktivitas enzimatik NA (Baigent dan McCauley 2001) sebagai kompensasi terhadap penurunan aktivitas pengikatan reseptor HA virus influenza A dari unggas liar yang beradaptasi untuk bereplikasi di saluran pernafasan unggas domestik (Matrosovich et al. 1999). Strain virus influenza A atau H7 yang beradaptasi pada unggas domestik berkembang menjadi HPAI melalui akuisisi mutasi insersi yang mengakibatkan situs pembelahan asam amino polibasa pada HA (Wright et al. 2007). Ekologi Itik dan Perannya dalam Penyebaran Influenza A Itik adalah anggota subfamili Anatinae yang menaungi spesies unggas air Anseriformes. Subfamili ini tersebar di seluruh dunia dan menempati hampir semua habitat perairan. Ekologi unggas ini memungkinkan pemeliharaan dan penyebaran VAI. Replikasi VAI terjadi di saluran pernafasan (Webster et al. 1978) tetapi situs utama infeksi VAI pada itik adalah usus (Webster et al. 1978) meskipun virus influenza A isolat manusia dan HPAI N1 yang saat ini beredar lebih

34 16 sering menginfeksi saluran pernafasan bagian atas. Virus LPAI dalam populasi itik ditularkan melalui rute fekaloral (Webster et al. 1992) yang dicirikan oleh tingginya jumlah usap kloaka positif dibandingkan trakea dan titer virus yang tinggi pada kotoran serta didukung oleh stabilitas virion dalam air meskipun penularan melalui aerosol tidak dapat diabaikan. Itik yang diinfeksi secara eksperimental mengeluarkan virion H4N7, H7N3, dan H11N9 dalam waktu lebih lama dan titer lebih tinggi melalui feses dibandingkan melalui trakea (Webster et al. 1978). Virus AI memasuki lingkungan ketika inang defekasi atau mengeluarkan leleran kemudian menginfeksi inang yang rentan melaui proses makan dan minum. Ketika segerombolan itik berenang di kolam kecil, diperkirakan sebanyak EID 50 /g/hari virion ditularkan ke lingkungan melalui kotoran masingmasing itik yang terinfeksi (Webster et al. 1978) dan VAI relatif stabil dalam air (Stallknecht et al. 1990; Webster et al. 1992). Keadaan ini menjelaskan mengapa prevalensi infeksi pada itik yang makan di permukaan lebih tinggi dibandingkan itik yang mencari makan di air yang lebih dalam (Olsen et al. 2006). Data surveilans menunjukkan bahwa penularan VAI dalam populasi itik terjadi sepanjang tahun. Prevalensi infeksi menunjukkan pola siklus tahunan pada populasi itik di Amerika Utara (Olsen et al. 2006) (Krauss et al. 2004) dan Eurasia (Munster et al. 2007) yang memuncak sebelum dan selama migrasi musim gugur sebagai akibat dari masuknya itik remaja yang secara imunologis naif kedalam populasi (Hinshaw et al. 1985; Webster et al. 1992; Olsen et al. 2006). Itik Pekin putih yang diinfeksi secara ekperimental mengeluarkan virus selama lebih dari tiga minggu setelah inokulasi (Kida et al. 1980). Itik yang terinfeksi mengeluarkan virus selama beberapa minggu pertama migrasi musim gugur, menebarkan virus di sepanjang koridor migrasi dengan morbiditas dan respon antibodi serum yang rendah (Kida et al. 1980). Meskipun demikian, prevalensi infeksi jauh lebih rendah di sepanjang rute migrasi dan di lokasi migrasi musim dingin dibandingkan di tempat itik istirahat dan mencari makan (Okazaki et al. 2000; Munster et al. 2007; Wallensten et al. 2007). Perbedaan ini mungkin mencerminkan perkembangan kekebalan terhadap subtipe virus yang

35 17 beredar dalam populasi itik atau penurunan transmisi karena penyebaran populasi (Hinshaw et al. 1985). Secara umum prevalensi infeksi di tempat migrasi musim dingin dan di tempat bersarang musim semi lebih tinggi pada populasi itik Eropa dibandingkan populasi itik Amerika Utara. Penjelasan yang paling mungkin untuk perbedaan ini adalah variasi acak, karena penelitian surveilans pada populasi itik di beberapa daerah di Amerika Utara dan Eropa sering memperoleh nilai prevalensi yang sedikit berbeda. Banyak faktor dapat mempengaruhi prevalensi termasuk ukuran populasi itik, lokasi pengambilan sampel, waktu pengambilan sampel, dan lainlain. Prevalensi infeksi paling rendah terjadi selama migrasi musim semi namun kembali meningkat setelah musim kawin ketika itik pindah ke tempat bersarang musim panas (Hinshaw et al. 1985; Krauss et al. 2004; Wallensten et al. 2007). Tidak jelas bagaimana populasi itik memperoleh virus AI selama musim semi setiap tahun. Ada dua kemungkinan bahwa itik mungkin membawa virus terus menerus selama migrasi yang ditunjukkan oleh prevalensi pada itik yang terus ada sepanjang tahun, meskipun daya tahan virus di habitat beku juga dapat berperan dalam kelangsungan hidup virus (Olsen et al. 2006) karena virion infektif mungkin dapat bertahan di dalam air beku melewati musin dingin di tempat itik berkembang biak dan menginfeksi saat itik tersebut kembali pada musim semi (Webster et al. 1978; Webster et al. 1992). Beberapa subtipe virus lebih sering ditemukan daripada yang lain (Krauss et al. 2004; Olsen et al. 2006). Tiga subtipe HA yaitu H3, H4, dan H6 paling sering ditemukan pada itik di Amerika Utara dan Eropa (Krauss et al. 2004; Munster et al. 2007) dengan kombinasi subtipe yang paling umum yaitu H4N6 dan H6N2 (Wallensten et al. 2007). Banyak penjelasan mengapa subtipe HA dan NA tertentu dan kombinasi keduanya sering atau jarang ditemukan pada unggas liar. Hipotesis umum adalah bahwa subtipe tertentu memiliki kecocokan tertinggi, dengan tingkat replikasi dan virulensi seimbang yang cukup untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan transmisi. Hal ini diyakini sangat dipengaruhi oleh keseimbangan fungsional antara afinitas ikatan HA dan aktivitas enzimatik NA

36 18 (Wagner et al. 2002). Meskipun gen H6 berasal dari Eurasia dan secara luas tersebar pada itik di Amerika Utara, analisis genom virus menunjukkan bahwa pertukaran gen antar benua antara Eurasia dan Amerika sangat terbatas (Krauss et al. 2007). Oleh karena itu kemunculan genotipe virus baru harus melalui mutasi dan reassortment genomgenom yang bersirkulasi dalam wilayah geografis tertentu. Kesempatan untuk mutasi dan reassortment ini terbuka lebar di daerah tempat itik istirahat dan mencari makan karena populasi itik dari berbagai tempat dan koridor migrasi berbeda datang dengan membawa kombinasi subtipe masingmasing (Wallensten et al. 2007). Koinfeksi itik dengan dua atau lebih subtipe virus sering terjadi (Sharp et al. 1997) sama seperti reassortment memunculkan virus yang sangat virulen pada unggas Galliformes namun memiliki patogenisitas rendah pada inang itik (SturmRamirez et al. 2005). Peran itik dalam pemeliharaan dan penyebaran virus influenza, dan terutama dalam pemunculan genotipe baru tergantung pada perilaku migrasi. Itik yang bermigrasi setiap tahun cenderung menyebarkan virus influenza di sepanjang rute migrasi terutama pada populasi itik domestik dan peliharaan di berbagai lokasi persinggahan (Olsen et al. 2006; Wallensten et al. 2007). Selanjutnya itik domestik membawa virus berdekatan dengan spesies lain dan berperan dalam penyebaran LPAI dan HPAI pada unggas domestik dan unggas darat lainnya (HulsePost et al. 2005; SturmRamirez et al. 2005; Gilbert et al. 2006). Bebek domestik dan itik angon telah dikaitkan dengan penyebaran virus HPAI N1 di Asia Tenggara (Gilbert et al. 2006). Itik sebagai salah satu unggas air domestik dianggap sebagai sumber penularan virus N1 pada wabah di Cina tahun (Chen et al. 2004; Li et al. 2004) dan Hongkong tahun 2001 (SturmRamirez et al. 2005). Penelitian seroprevalensi AI pada unggas air (itik, entog, dan angsa) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan seroprevalensi pada ayam kampung. Hal ini terlihat pada pemeriksaan serologis itik di daerah Jawa Barat (BALITVET 2006). Pemeriksaan serologis yang dilakukan oleh Balitvet pada bulan Oktober 2006 menunjukkan sejumlah unggas yang seropositif terhadap VAI dengan prevalensi pada ayam 22,96% (n=591), itik 41,74% (n=43), entog 27,04% (n=43), dan angsa 75,0% (n=12). Hasil pemeriksaan serologis pada bulan November 2006 memperlihatkan prevalensi unggas

37 19 seropositif terhadap VAI masingmasing pada ayam 33,37% (n=1.038), itik 43,44% (n=63), entog 28,21% (n=68), dan angsa 42,3% (n=11) (BALITVET 2006). Patobiologi Avian Influenza pada Itik Wabah AI pertama kali dilaporkan tahun 1878 terjadi pada ayam dan burung di Italia yang saat itu disebut penyakit Lombardia kemudian pada tahun 1901 Centanini dan Savonucci dapat mengidentifikasi organisme berukuran mikro yang menyebabkan wabah tersebut namun baru pada tahun 1955 Schafer dapat menunjukkan ciriciri organisme itu sebagai virus influenza A (Werner 2006). Virus influenza A biasanya tidak patogenik terhadap reservoir alaminya yaitu itik dan unggas air lain. Namun virus HPAI telah berevolusi dari yang tidak mengakibatkan atau sedikit menimbulkan gejala infeksi pada saluran pernafasan itik menjadi virus yang menyebabkan penyakit sistemik parah dan kematian (PantinJackwood dan Swayne 2007). Wabah virus highly pathogenic avian influenza (HPAI) N1 pertama kali dilaporkan di Cina Selatan pada tahun , kemudian menyebar dan menyebabkan kematian unggas di Vietnam, Thailand, Indonesia dan Negara Asia Timur sejak awal tahun 2004 (Smith et al. 2006). Gejala HPAI N1 sebelum tahun 2002 tidak terlihat pada itik. Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh (Perkins dan Swayne 2002) yang menginfeksikan A/chicken/HK/220/97 pada itik tidak menemukan gejala klinis. Sedangkan infeksi virus HPAI N1 pada itik menggunakan isolat yang diperoleh pada tahun 2002 sampai 2004 menimbulkan gejala klinis seperti penurunan berat, lesu, diare, mata berkabut, dan ataksia kemudian mati meskipun beberapa strain yang diisolasi selama tahun juga menunjukkan gejala yang ringan atau tidak ada sama sekali (Gambar 3) (SturmRamirez et al. 2004). Itik yang diinfeksi virus A/duck/Thailand/71.1/2004 menunjukkan gejala panas tinggi, kesulitan bernafas, depresi, diare, gejala syaraf (ataksia, konvulsi, dan inkoordinasi), dan konjungtivitis dengan mortalitas 20100% (Songserm et al. 2006). Saat nekropsi ditemukan pendarahan titik dan terlokalisir pada kaki dan telapak, ascites, dan kebiruan pada kepala. Secara histologis perubahan yang

38 20 paling menonjol ditemukan pada paruparu seperti pneumonia, edema, kongesti, dan peradangan perivaskuler (Songserm et al. 2006). Pada itik yang menunjukkan gejala syaraf ditemukan kumpulan sel radang di sekitar pembuluh darah dan peradangan neuroglia. Pada itik ras pedaging ditemukan degenerasi otot jantung dengan perubahan patologis lain yang dapat terlihat antara lain hepatitis, tubulonefritis, pengecilan kelenjar limfoid dan enteritis (Songserm et al. 2006). Gambar 3. Grafik tingkat kelangsungan hidup itik yang diinfeksi berbagai isolat VAI N1 diadaptasi dari SturmRamirez et al. (2005). Kelompok virus LPAI: A/Thai/1(Kan1)/04 dan A/Ck/PP/BPPV3/04, HPAI: A/Dk/VN/40D/04, A/Ck/VN/48C/04, A/Dk/Thai/71.1/04, dan A/VN/1203/04. AI Patogenitas Rendah (lowpathogenic avian influenza, LPAI) Sasaran utama infeksi virus LPAI pada itik tidak hanya saluran pernafasan dan jaringan paruparu. Itik yang diinokulasi intranasal dengan virus LPAI menunjukkan gejala paruparu pneumonia ringan dan infiltrasi limfosit dan makrofag dalam waktu 2 hari. Pewarnaan imunohistokimia nukleoprotein menunjukkan perubahan pada sel epitel saluran pernafasan namun tidak ada replikasi virus pada jaringan paruparu (Cooley et al. 1989). Virus LPAI dapat melewati saluran pencernaan atas itik dan bereplikasi dalam usus tanpa menyebabkan manifestasi klinis penyakit (Webster et al. 1978; Kida et al. 1980). Hasil penelitian yang menginokulasikan virus secara langsung pada tembolok dan kloaka (Webster et al. 1978) serta ditemukannya titer virus yang tinggi pada feses setelah inokulasi intravena (Kida et al. 1980) membuktikan bahwa usus

39 21 merupakan organ target virus LPAI pada itik sebagai tempat replikasi virus tanpa infeksi pada paruparu. Lebih spesifik, replikasi virus LPAI diyakini terjadi di kriptus Lieberkühn usus besar (Kida et al. 1980). Keragaman jenis itik juga berperan penting dalam patogenisitas virus influenza. Embrio itik Mallard yang diinokulasi dengan virus LPAI memiliki tingkat kematian lebih rendah daripada embrio entog. Antigen virus dapat ditemukan di organorgan internal seperti sinus hidung, faring, trakea, bronkus, paruparu, dan kantung hawa embrio itik Mallard tetapi tidak ditemukan pada embrio entog. Alasan mortalitas dan replikasi virus pada itik Mallard ini tidak jelas tetapi mendukung bukti bahwa itik Mallard berperan sebagai reservoir utama virus LPAI di alam (Mutinelli et al. 2003). Pemahaman mengenai respon imun itik terhadap VAI masih terbatas meskipun beberapa penelitian mengenai respon antibodi serum itik yang terinfeksi secara alami maupun eksperimental telah dilakukan (Suarez dan SchultzCherry 2000). Itik Pekin putih yang diinokulasi virus LPAI H7N2 memberikan hasil titer antibodi HI yang sangat rendah tetapi virus tetap dikeluarkan hingga 7 hari pasca inokulasi. Inokulasi ulang setelah 46 hari dengan strain virus yang sama memberi respon antibodi yang lebih tinggi tetapi virus tidak ditemukan pada organ. Hasil ini disertai rendahnya respon imun sekunder setelah inokulasi menggunakan virus yang dilemahkan dalam formalin menunjukkan bahwa respon cepat imun pada itik yang diinfeksi ulang dapat membatasi infeksi influenza untuk rentang waktu tertentu (Kida et al. 1980). Infeksi yang pernah terjadi tidak dapat melindungi itik terhadap infeksi berikutnya oleh subtipe virus lain. Sebagai contoh, itik yang diinfeksi subtipe H4N6 terlindungi dari infeksi ulang dengan virus yang sama tetapi mengeluarkan virion selama 8 hari setelah ditantang dengan isolat H11N3 (Austin dan Hinshaw 1984). AI Patogenitas Tinggi (highly pathogenic avian influenza, HPAI) Beberapa penelitian eksperimental telah dilakukan untuk memahami patogenisitas virus HPAI N1 yang diisolasi sejak 2002 pada itik. Itik Pekin Cherry Valley yang diinokulasi strain HPAI N1 isolat daging itik 2003 dari stasiun inspeksi karantina Cina menunjukkan gejala neurologis seperti kebutaan

40 22 dan kepala gemetar meskipun tidak mati. Titer virus yang tinggi ditemukan pada organ pernafasan (paruparu dan trakea), otak, hati, ginjal, dan usus besar disertai perubahan mikroskopik pada otak (ensefalitis), jantung (miokarditis dengan degenerasi dan nekrosis miosit), dan bursa (hiperplasia ringan pada folikel limfoid) (Kishida et al. 2005). Neurotropisme dan pankreatotropisme virus terlihat pada penelitian lain yang menggunakan isolat virus HPAI. Itik yang ditantang dengan virus HPAI N1 pada dosis letal menunjukkan gejala neurologis berat, seperti tortikolis, inkoordinasi, tremor, dan kejang (SturmRamirez et al. 2004; Vascellari et al. 2007). Imunohistokimia positif yang ditemukan pada otak dan batang otak serta hibridisasi in situ virus yang terlihat pada neuron dan sel glia materi abuabu otak menunjukkan neurotropisme isolat setelah tahun 2002 (SturmRamirez et al. 2004; Vascellari et al. 2007). Meskipun rute masuknya virus ke dalam sistem saraf pusat belum dapat dipastikan, setidaknya dua hipotesis dapat menjelaskan. Hipotesis pertama yaitu transmisi virus dapat menjalar melalui serabut saraf vagus, olfaktorius, dan trigeminus, dan hipotesis kedua yaitu virus dapat melakukan penetrasi melewati bloodbrain barrier (Silvano et al. 1997; Park et al. 2002). Ciriciri lain virus HPAI N1 pada itik adalah titer virus yang sering lebih tinggi pada usap orofaringeal dibandingkan usap kloaka (SturmRamirez et al. 2004; Keawcharoen et al. 2008). Ekskresi virus HPAI N1 pada faring diduga berasal dari paruparu dan/atau kantung hawa karena hanya kedua jaringan ini yang menunjukkan bukti replikasi virus secara imunohistokimia. Kecenderungan ekskresi pada faring ini menunjukkan bahwa usap faring juga harus diambil ketika melakukan surveilans VAI pada bebek liar selain usap kloaka yang selalu dilakukan (Keawcharoen et al. 2008). Jika tidak, prevalensi HPAI N1 dapat disalahperhitungkan. Hasil penelitian FKHIPB tahun 2006 menujukkan bahwa bebek yang tidak dikandangkan memiliki resiko terinfeksi HPAI lebih tinggi (OR = 6,87; SK 95%; ) dibandingkan dengan bebek yang dipelihara dalam kandang tertutup. Sistem pemeliharaan yang dicampur antara ayam dan bebek juga memiliki

41 23 kecenderungan risiko positif AI yang lebih tinggi (OR = 4,05) dibandingkan dengan yang tidak dicampur. Isolat virus HPAI N1 FKH/IPB/Duck/NG29 yang ditemukan pada bebek sehat dapat menginfeksi ayam yang berkontak sehingga pemeliharaan yang dicampur antara bebek dan ayam berpotensi meningkatkan shedding virus dimana bebek berperan sebagai bank virus dan ayam sebagai media propagasi (FKHIPB 2006). Teknik Diagnostik Avian Influenza Diagnosa AI dilakukan dengan isolasi virus atau melalui deteksi dan karakterisasi segmen genom virus karena gejala klinis yang ditimbulkan sangat beragam menurut spesies inang, strain virus, status kekebalan inang, keberadaan infeksi lain dan kondisi lingkungan (OIE 2009). Identifikasi VAI diawali dengan isolasi virus pada ruang alantois telur ayam berembrio (TAB) specific pathogen free (SPF). Selanjutnya cairan alantois diuji tapis dengan hemagglunation test (HA) untuk mendeteksi keberadaan virus yang mampu mengaglutinasi sel darah merah, kemudian diuji dengan agar gel immunodiffusion test (AGID) atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) yang masingmasing untuk mendeteksi tipe dan subtipe virus. Pengujian subtipe virus juga dapat dilakukan dengan hemagglutination inhibition test (HI) dan neuraminidase inhibition test (NI). Alternatif lain untuk mendeteksi keberadaan VAI adalah dengan reversetranscription polymerase chain reaction (RTPCR) atau real time RTPCR (RRT PCR) menggunakan primer spesifik matriks atau nukleoprotein. Selanjutnya subtipe virus ditentukan dengan menggunakan primer spesifik hemaglutinin dan neuraminidase. Uji serologis seperti AGID, HI, dan ELISA juga digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam serum inang. RRTPCR untuk Deteksi Avian Influenza Perkembangan teknologi yang pesat memberikan berbagai pilihan teknik dan produk yang dapat digunakan untuk mendukung pengujian diagnostik yang telah ada atau menjadi landasan untuk pengujian diagnostik yang baru. Teknik reverse transcriptase PCR (RTPCR) secara konvensional telah dikembangkan untuk mendeteksi VAI namun sejak awal tahun 2000an mulai banyak digunakan

42 24 realtime RTPCR (RRTPCR) dalam rangka pengawasan rutin, selama wabah, dan untuk penelitian karena lebih menguntungkan dari segi sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi, memerlukan waktu yang lebih singkat, bersifat kuantitatif, lebih ramah lingkungan, dan meskipun biaya yang diperlukan untuk investasi peralatan lebih tinggi namun untuk operasional dan pengamanan lingkungan teknik ini memerlukan biaya yang lebih sedikit. Pembacaan hasil RRTPCR tidak memerlukan elektroforesis gel melainkan dapat dilihat secara langsung berupa grafik intensitas pendaran zat warna floresens yang meningkat secara eksponensial, linier, kemudian mendatar seiring siklus amplifikasi (Gambar 4). Hasil RRTPCR berupa nilai C t (cycle threshold) yang merupakan perpotongan antara kurva amplifikasi dengan garis threshold yang menggambarkan konsentrasi relatif target PCR.Aktivitas nuklease ujung 5' polimerase yang terdapat dalam polymerase chain reaction (PCR) memecah probe hidrolisis saat ekstensi amplikon sehingga memisahkan reporter (R) florofor dari quencher (Q). Sinyal floresens yang dihasilkan ketika tereksitasi oleh cahaya dari luar di setiap siklus PCR sebanding dengan jumlah produk yang dihasilkan (Koch 2004). Beberapa peningkatan yang penting demi perbaikan pengujian RRTPCR telah tersedia untuk VAI, antara lain: pengembangan dan penggunaan kontrol internal untuk mengurangi atif palsu reaksi dan pengembangan reagen kering beku (lyophilized) untuk meningkatkan kualitas kontrol (Das et al. 2006; Di Trani et al. 2006); penggunaan robot untuk meningkatkan keluaran laboratorium agar mampu menangani peningkatan jumlah sampel selama wabah meskipun mungkin tidak memberikan sensitivitas yang lebih baik (Spackman et al. 2002; Spackman dan Suarez 2005); dan protokol baru untuk pengolahan sampel sulit seperti sampel kloaka atau jaringan (Das et al. 2006). Semua uji diagnostik molekuler bertujuan untuk memperoleh hasil yang cepat dengan sensitifitas yang sebanding dengan isolasi virus, dan mempertahankan tingkat spesifisitas yang tinggi. Oleh karena itu tiga titik kritis penting untuk diperhatikan, yaitu tahapan ekstraksi RNA, tahapan amplifikasi RT

43 25 PCR, dan urutan basa primer dan probe. Ketiga faktor tersebut harus diperhatikan agar pengujian menjadi sensitif dan spesifik. Gambar 4. Prinsip probe hidrolisis TaqMan diadaptasi dari Koch (2004) (a) proses hidrolisis probe saat ekstensi memisahkan reporter floresensi dari quencher (b) sinyal floresensi meningkat secara eksponensial, linier, kemudian mendatar seiring siklus amplifikasi. Ekstraksi RNA merupakan tahap yang penting dalam setiap uji diagnostik molekuler karena kualitas RNA akan mempengaruhi efisiensi amplifikasi. Berbagai teknologi ekstraksi RNA yang ada seperti ekstraksi organik, ekstraksi kolom silika, dan ekstraksi manik (beads) magnetik (Hale et al. 1996; Petrich et al. 2006) memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing.

44 26 Metode ekstraksi organik yang menggunakan fenol dan guanidinium memberikan efisiensi ekstraksi yang baik untuk sampel kompleks tetapi metode ini memungkinkan inhibitor PCR juga ikut terekstraksi sehingga dapat menyebabkan hasil atif palsu (Das et al. 2006). Metode ekstraksi juga bervariasi dalam hal kemudahan penggunaan dan skalabilitas. Metode ekstraksi organik relatif memerlukan tenaga intensif dan sulit untuk pengerjaan sampel skala besar. Beberapa metode ekstraksi berbasis kolom atau beads magnetik dapat digunakan untuk keluaran besar misalnya dengan pemrosesan pada plat 96 sumuran atau menggunakan robot. Banyak sistem robotik yang tersedia secara komersial dengan format reagen dan perlengkapan sendiri atau terbuka. Platform kerja robotik juga sangat bervariasi dalam hal biaya tergantung pada kerumitan dan fitur mesin. Platform kerja robotik cukup menjanjikan untuk meningkatkan efisiensi laboratorium diagnostik, tetapi setiap robot dengan teknologi ekstraksi RNA masih memerlukan validasi sebelum dapat digunakan secara rutin pada sampel diagnostik. Kecil kemungkinan bagi sebuah mesin atau kit ekstraksi untuk dapat memiliki fleksibilitas dalam menangani berbagai jenis sampel yang dibawa ke laboratorium diagnostik dengan efisiensi ekstraksi RNA dan kemurnian yang diperlukan untuk memperoleh hasil yang konsisten (Aguero et al. 2007; Tewari et al. 2007). Diagnosis AI untuk ayam dan kalkun sebaiknya menggunakan sampel usap trakea atau orofaringeal karena tropisme virus pada kedua spesies tersebut adalah saluran pernafasan. Namun untuk spesies lain seperti itik direkomendasikan sampel usap kloaka karena pada spesies tersebut virus LPAI memiliki tropisme enterik. Sampel usap trakea/orofaringeal relatif mudah digunakan untuk ekstraksi RNA karena mengandung sedikit sekali sel. Sampel RNA lebih sulit diekstraksi dari usap kloaka dan jaringan karena keduanya mengandung bahan organik lebih tinggi, komposisi kimia yang kompleks, dan berpotensi mengandung inhibitor PCR (Cone et al. 1992; Buonagurio et al. 1999; Petrich et al. 2006). Reagen amplifikasi RTPCR merupakan area kritis lain yang dapat mempengaruhi hasil pengujian. Berbagai macam kit komersial dengan enzim dan reagen berbeda banyak tersedia untuk amplifikasi RNA virus. Semua prosedur

45 27 dilengkapi dengan tahap reverse transkripsi dan amplifikasi PCR, biasanya dengan enzim yang berbeda untuk setiap tahapan. Kedua tahap tersebut sangat penting untuk pengujian diagnostik yang sensitif. Secara umum RTPCR dapat dijalankan dengan prosedur dua tahap atau satu tahap (onestep). Pada prosedur dua tahap, reverse transkripsi RNA dan amplifikasi DNA dijalankan secara terpisah sehingga optimasi dilakukan di kedua reaksi. Sedangkan pada RTPCR onestep, semua reagen untuk tahapan reverse transkripsi RNA dan amplifikasi DNA dimasukkan kedalam tabung yang sama sehingga pengujian dapat selesai tanpa membuka tabung untuk memasukkan reagen tambahan. Prosedur dua tahap dianggap lebih sensitif daripada metode onestep karena kedua tahapan dilakukan pada kondisi yang optimal namun amplifikasi onestep menyederhanakan prosedur dan mengurangi kemungkinan kontaminasi silang sampel sehingga prosedur onestep ini lebih baik untuk berbagai situasi (OIE 2008b). Enzimenzim untuk RTPCR onestep dapat dibeli secara terpisah atau dalam bentuk kit yang mencakup hampir semua reagen yang perlukan untuk pengujian. Keuntungan penggunaan kit adalah peningkatan kontrol kualitas yang didapatkan dari produk komersial selain lebih mudah untuk dipesan dan digunakan dibandingkan dengan penggabungan reagen dari berbagai sumber. Meskipun banyak kit diagnostik yang tersedia secara komersial, tidak semua memiliki kinerja yang sama di setiap aplikasi. Prosedur diagnostik resmi RRTPCR AI yang diterapkan oleh jaringan laboratorium kesehatan hewan nasional (National Animal Health Laboratory Network, NAHLN) Amerika Serikat yang dikelola oleh layanan inspeksi kesehatan hewan dan tumbuhan (Animal and Plant Health Inspection Service, APHIS) Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States Department of Agriculture, USDA) menggunakan kit untuk ekstraksi RNA dan amplifikasi RTPCR (Suarez et al. 2007). Kit alternatif kadang dapat bekerja dengan baik sehingga ketentuan yang dibuat dalam protokol resmi NAHLN memberi ruang bagi penggunaan metode alternatif untuk ekstraksi RNA atau reagen amplifikasi RTPCR (selain primer atau probe) namun pengguna harus memiliki data yang cukup untuk menunjukkan bahwa protokol modifikasi sama sensitifnya dengan protokol resmi. Perubahan protokol dapat terjadi bila prosedur alternatif memberikan nilai tambah yang signifikan seperti biaya yang lebih

46 28 rendah, sensitivitas yang lebih tinggi, lebih mudah digunakan, meningkatkan keluaran, dan nilai tambah lain. APHIS telah menyetujui beberapa perubahan atau alternatif sejak protokol resmi disetujui pada tahun 2002 (Suarez et al. 2007). Elemen kunci ketiga untuk pengujian diagnostik molekuler adalah desain primer dan probe yang menjadi landasan sensitivitas dan spesifisitas uji. Meskipun programprogram untuk desain primer terus berkembang, sensitivitas pasangan primer tetap harus ditentukan secara empiris melalui optimasi konsentrasi primer dan probe, konsentrasi magnesium, dan kondisi siklus agar didapatkan sensitivitas tertinggi (OIE 2008b). Spesifisitas uji juga dapat dievaluasi secara in silico (menggunakan komputer) (Boutros dan Okey 2004) namun pengujian empiris tetap diperlukan untuk konfirmasi spesifisitas. Telah banyak pasangan primer AI untuk RTPCR konvensional, namun baru beberapa yang telah dipublikasikan (Tabel 1). Variabilitas gen HA yang tinggi menyulitkan pengembangan primer dan probe yang dapat mendeteksi isolat beragam dalam satu subtipe HA, terutama untuk mengidentifikasi isolat dari garis keturunan Amerika dan Eurasia sehingga untuk wilayah geografis yang berbeda diperlukan pasangan primer dan probe berbeda (Spackman et al. 2002). Urutan basa primer dan probe menentukan spesifisitas dan sensitivitas uji diagnostik sehingga perubahan urutan basa memerlukan pengujian yang luas untuk validasi (OIE 2008b; OIE 2008a). Pengujian RRTPCR telah dikembangkan sebagai uji spesifik untuk influenza A dengan target regio lestari (conserved) pada matriks, nukleoprotein, atau gen nonstruktural lain yang informasi urutan basanya banyak tersedia. Beberapa pengujian spesifik untuk subtipe juga telah dipublikasikan dengan target gen HA untuk mendeteksi HPAI yang terbatas pada subtipe atau H7 (Starick et al. 2000; Munch et al. 2001; Collins et al. 2002; Spackman et al. 2002; Collins et al. 2003; Dybkaer et al. 2004). Penggunaan RRTPCR untuk mendeteksi asam nukleat spesifik influenza A, dan H7 pertama kali dijelaskan oleh Spackman et al. (2002). Pengujiannya memerlukan primer dan probe yang dirancang untuk mendeteksi regio lestari ujung 5 segmen gen 7 (gen M1) dengan panjang 100 nukleotida dan pasangan primer/probe spesifik dan H7 yang dirancang untuk mendeteksi regio lestari subunit HA 2 urutan basa virus AI Amerika Utara

47 29 (Spackman et al. 2002). Variabilitas HA menjadi salah satu alasan mengapa uji spesifik terhadap tipe A dengan target protein internal yang lebih lestari diperlukan sebagai uji tapis dalam pengujian molekuler AI dan pengujian subtipe HA berperan sebagai penyedia informasi tambahan dan konfirmasi sampel positif (Suarez et al. 2007). Tabel 1. Pasangan primer dan probe untuk deteksi gen tertentu. Target Primer/ probe Urutan basa(5 3 ) Amerika Utara dan Eurasia (Spackman et al. 2002) Gen M1 M +25 AGATGAGTCTTCTAACCGAGGTCG M 124 TGCAAAAACATCTTCAAGTCTCTG M +64 TCAGGCCCCCTCAAAGCCGA Gen (HA 2 ) ACGTATGACTAYCCRCARTAYTCA 1685 AGACCAGCTACCATGATTGC TCAACAGTGGCGAGTTCCCTAGCA Gen H7 (HA 2 ) H ATTGGACACGAGACGCAATG H TTCTGAGTCCGCAAGATCTATTG H TAATGCTGAGCTGTTGGTGGCA Asia (Heine et al. 2005) Gen M1 IVAD161M AGATGAGYCTTCTAACCGAGGTCG IVAD162M TGCAAANACATCYTCAAGTCTCTG IVAMa TCAGGCCCCCTCAAAGCCGA Gen IVAD148 AAACAGAGAGGAAATAAGTGGAGTAAAATT IVAD149 AAAGATAGACCAGCTACCATGATTGC IVAa TCAACAGTGGCGAGTTCCCTAGCA Asia (Payungporn et al. 2006) Gen M1 MF3 TGATCTTCTTGAAAATTTGCAG MR1+ CCGTAGGGCCCTCTTTTCA Mprobe TTGTGGATTCTTGATCG Gen (HA 2 ) F4 GACTCAAATGTCAAGAACCTTTA R3 CCACTTATTTCCTCTCTGTTTAG probe ACGGAACGTATGACTAC Gen N1 N1F2 GTTTGAGTCTGTTGCTTGGTC N1R1 TGATAGTGTCTGTTATTATGCC N1probe TTGTATTTCAATACAGCCAC Qinghai (Hoffmann et al. 2007) Gen (situs Fli1028F GGGGAATGCCCCAAATATCT pembelahan Fli1190R TCTACCATTCCCTGCCATCC HA 1 dan HA 0 ) FliCSFAM AGAGAGAAGAAGAAAAAAGAGAGGACTA Fli1148 TTGGAGCTATAGCAGGTTTTATAGAGG HEX Eurasia dan Afrika (Monne et al. 2008) AI virus For TTATTCAACAGTGGCGAG subtipe NERev CCAG(T)AAAGATAGACCAGC probe CCCTAGCACTGGCAATCATG 1. M = A, C; R = A, G; Y = C, T 2. Cetak tebal mengindikasikan warna reporter dan quencher probe

48 30 Pengujian gen matriks (M1) memiliki limit deteksi 10 fg atau sekitar 10 3 salinan gen dan dapat mendeteksi virus hingga 0,1 EID 50 (50% egg infective dose). Penelitian (Lee dan Suarez 2004) selanjutnya menunjukkan bahwa kuantitas RNA yang ditentukan dengan metode RRTPCR berkorelasi erat dengan dan EID 50 yang ditentukan dengan metode konvensional isolasi virus pada embrio ayam. Namun demikian, tingkat kesepakatan antara pengujian RRTPCR matriks ( RRTPCR) dan isolasi virus (virus isolation, VI) pada embrio ayam tidak 100%. Positif RRTPCR / atif VI dan atif RRTPCR / positif VI pada sampel usap dapat terjadi (Spackman et al. 2002; Cattoli et al. 2004) sehingga hasil RRTPCR sebaiknya diinterpretasikan pada tingkat kandang daripada tingkat individu. Berdasarkan analisis data wabah H7N2 LPAI di Virginia tahun 2002, sensitivitas diagnostik relatif RRTPCR terhadap VI adalah 85,1% (probabilitas 95% interval: 71,995,7%), sedangkan spesifisitas diagnostik relatif terhadap VI mencapai 98,9% (probabilitas 95% interval: 98,099,5%) (Elvinger et al. 2007). Pasangan primer dan probe spesifik untuk dan H7 memiliki limit deteksi 100 fg target RNA atau sekitar salinan gen dan dapat mendeteksi virus 10 EID 50. Meskipun uji yang telah ada terbukti mampu mendeteksi virus subtipe Amerika Utara dan Eurasia, modifikasi untuk pengujian ini telah dilakukan untuk mengoptimalkan deteksi N1 Eurasia (Slomka et al. 2007b). Modifikasi primer forward dan reverse dilaporkan dapat meningkatkan sensitivitas analitik untuk virus N1 Eurasia hingga 1000 kali lipat (Heine et al. 2007). Sensitivitas dan spesifisitas RRTPCR yang spesifik untuk virus influenza hampir sebanding dengan VI dan HI sehingga teknik ini disukai, selain karena lebih cepat, mengurangi resiko kontaminasi silang, dapat memproses sampel dalam jumlah besar, dapat menentukan tipe dan subtipe virus, dan tidak memerlukan virus hidup (Spackman et al. 2002). Pengujian RRTPCR telah dianjurkan sebagai metode deteksi virus AI oleh ring trial Uni Eropa (Slomka et al. 2007a) dan versi modifikasi yang memiliki sensitivitas analitik tinggi untuk virus N1 galur Eurasia (Heine et al. 2007) telah digunakan oleh laboratorium rujukan AI regional OIE untuk Asia Tenggara.

49 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan terhadap sampel yang dikoleksi selama tujuh bulan mulai September 2009 hingga Maret 2010 di Kabupaten Indramayu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Virologi FKH IPB. Bahan dan Alat Media transport yang digunakan adalah brain heart infusion (BHI) dalam tabung eppendorf berukuran 2 ml. Virus (A/chicken/Indonesia/SmiWN18/2009); JF digunakan sebagai kontrol positif. Sampel usap diambil menggunakan cotton swab steril. Untuk isolasi genom virus digunakan MagX AI/ND Viral RNA Isolation kit dari Ambion, plat ekstraksi 96 sumuran, dan magnetic stand. RTPCR konvensional menggunakan SuperScript III One Step RTPCR with Platinum Taq dari Invitrogen dengan strip tabung PCR pada mesin BIO RAD MJ Mini, sedangkan RRTPCR dilakukan menggunakan AgPath ID OneStep RTPCR kit dari Ambion dengan plat optik 96 sumuran pada mesin Applied Biosystems 7500 Real Time PCR System. Peralatan dan bahan yang juga diperlukan selama penelitian antara lain mikropipet, tips mikropipet, titer plate shaker, vortex, alkohol, dan reservoir reagen. Sampel Sampel berasal dari sentinel dan nonsentinel yang ditempatkan di enam peternakan itik yang dibedakan berdasarkan cara itik memperoleh makanan, yaitu (tipe 1) peternakan itik angon; (tipe 2) peternakan itik dengan sistem angon dan pemberian pakan tambahan; (tipe 3) peternakan itik dengan pemberian pakan tanpa diangon dan hanya disediakan pekarangan untuk mencari makan tambahan. Pada masingmasing tipe, sentinel ditempatkan di dua peternakan dan bila terjadi kematian atau tanda terlepas maka sentinel diganti dengan itik yang ada di peternakan. Sampel yang diuji dalam penelitian ini meliputi sampel usap kloaka dan usap orofaring dari itik sentinel dan nonsentinel masingmasing sebanyak 30 ekor

50 32 di enam peternakan (P1P6). Sampel sentinel berasal dari bulan pengambilan 06 sedangkan sampel nonsentinel berasal dari bulan pengambilan 0 dan 6. Sehingga jumlah total sampel adalah 3240 sampel usap kloaka dan orofaring. Sampel ditangani secara individual, dikemas, dan diberi kode berdasarkan jenis, asal, dan tanggal pengambilan sampel. Seluruh sampel ditransportasikan dalam rantai dingin (48 C) sebelum sampai ke laboratorium untuk dilakukan pengujian. Sampel usap disimpan pada kondisi deep freezer 80 C. Metode Pertama dilakukan pengujian untuk membandingkan PCR konvensional dan real time dalam mendeteksi VAI. Kontrol positif diencerkan secara serial dengan menambahkan sampel kedalam dh 2 O dengan perbandingan 1:1. Sampel usap kloaka dan usap orofaringeal diuji keberadaan gen matriks dan VAI dengan RRTPCR. Sampel usap dipool di laboratorium sesuai jenis, peternakan asal, dan nomor individu dengan jumlah maksimal 5 sampel per pool sebelum pengujian matriks (uji tapis influenza A). Sedangkan pengujian dilakukan terhadap individu dalam pool yang positif influenza A. Semua proses penanganan sampel dilakukan dalam biological safety cabinet class II. Pooling Sampel usap dikelompokkan berdasarkan bulan pengambilan (06), asal peternakan, dan jenis (kloaka atau orofaring). Sampel usap dari tiap peternakan/bulan yang terdiri atas 30 individu (130) dikelompokkan menjadi 6 pool yang masingmasing terdiri atas 5 individu. Pool kloaka pertama terdiri atas sampel kloaka individu 15 yang masingmasing diambil 100 µl, pool kloaka kedua terdiri atas sampel kloaka individu 610 yang masingmasing diambil 100 µl, dan seterusnya. Setelah didapatkan pool, sampel individu kembali disimpan dalam deep freezer untuk pengujian individu bila pool didapati positif influenza A. Uji tapis yang mendeteksi gen matriks dilakukan terhadap sampel pool sedangkan deteksi gen dilakukan terhadap individu dalam pool yang teridentifikasi positif uji tapis.

51 33 Isolasi RNA Sebanyak 50 µl sampel dimasukkan kedalam 100 µl buffer lisis pada plat ekstraksi 96 sumuran kemudian ditambahkan larutan beads magnetik sebanyak 20 µl. Plat kemudian diagitasi selama 4 menit lalu didiamkan di atas magnetic stand selama 2 menit untuk mengendapkan beads, setelah itu supernatan dibuang dengan cara disedot menggunakan mikropipet. Plat diturunkan dari magnetic stand kemudian ditambahkan 100 µl buffer pencuci I lalu diagitasi selama 30 detik dan didiamkan di atas magnetic stand selama 1 menit, setelah itu supernatan dibuang. Proses pencucian ini dilanjutkan menggunakan buffer pencuci II sebanyak dua kali setelah itu beads dikeringkan dengan cara agitasi selama 2 menit. Buffer elusi 50 µl ditambahkan untuk melarutkan RNA kemudian plat diagitasi selama 3 menit lalu didiamkan di atas magnetic stand selama 1 menit untuk mengendapkan beads, setelah itu supernatan (RNA) diambil dan dipindahkan kedalam plat 96 sumuran yang baru untuk nantinya digunakan sebagai template PCR atau disimpan pada suhu 80 C hingga digunakan. Untuk setiap proses isolasi RNA sampel disertakan satu kontrol positif (A/chicken/ Indonesia/SmiWN18/2009, accession number: JF302895) dengan nilai C t 35 dan 12 kontrol atif. RTPCR Konvensional Campuran PCR disiapkan dalam di atas cold block dalam biosafety cabinet (BSC). Secara berurutan reagen PCR dicampur kedalam tabung eppendorf kemudian disimpan pada 20 o C hingga digunakan dengan urutan dan volume/reaksi sebagai berikut: RNAsefree dh 2 O 1,5 µl, buffer 2X 12,5 µl, primer forward (20 M) 1,0 µl, primer reverse (20 M) 1,0 µl, enzim mix 1,0 µl. Sekuens primer yang digunakan sebagai berikut: forward (J3): 5 GAT AAA TTC TAG CAT GCC ATT CC3 dan reverse (B2a): 5 TTT TGT CAA TGA TTG AGT TGA CCT TAT TGG3 Kedalam tabung PCR dimasukkan 17 µl campuran PCR kemudian ditambahkan 8 µl RNA template hasil isolasi. Tabung ditutup kemudian di tempatkan pada thermo cycler BIORAD dengan kondisi sebagai berikut:

52 34 1. Tahap 1 (1 ): Reverse transkripsi 50 o C 30 menit; denaturasi 94 o C 4 menit. 2. Tahap 2 (35 ): Denaturasi 94 o C 45 detik; annealing 50 o C 45 detik; ekstensi 72 o C 2 menit. Hasil PCR selanjutnya dielektroforesis menggunakan agarose 1% pada 120V selama 45 menit. Hasil elektroforesis dibaca di atas uv iluminator. Real Time RTPCR Campuran PCR disiapkan dalam di atas cold block dalam biosafety cabinet (BSC). Secara berurutan reagen PCR dicampur kedalam tabung eppendorf kemudian disimpan pada 20 o C hingga digunakan dengan urutan dan volume/reaksi sebagai berikut: RNAsefree dh 2 O 1,08 µl, buffer 2X 12,50 µl, primer forward (20 M) 0,25 µl, primer reverse (20 M) 0,25 µl, enzim mix 25X 1,00 µl, probe (6 M) 0,25 µl, dan detection enhancer 1,67 µl. Sekuens primer/probe yang digunakan sebagai berikut: matriks forward (M+25): 5 AGA TGA GTC TTC TAA CCG AGG TCG3 ; matriks reverse (M 124): 5 TGC AAA AAC ATC TTC AAG TCT CTG3 ; probe AIV Matrix (M+64): 5 d FAMTCA GGC CCC CTC AAA GCC GABHQ13 ; forward (IVAD148): 5 AAA CAG AGA GGA AAT AAG TGG AGT AAA ATT3 ; reverse (IVAD149): 5 AAA GAT AGA CCA GCT ACC ATG ATT GC 3 ; probe IVAa: 5 d FAMTCA ACA GTG GCG AGT TCC CTA GCA BHQ13. Kedalam masingmasing sumuran plat optik 96 sumuran dimasukkan 17 µl campuran PCR kemudian ditambahkan 8 µl RNA template hasil isolasi. Plat ditutup dengan seal optik kemudian di tempatkan pada mesin Applied Biosystems 7500 Real Time PCR System dengan kondisi berbeda untuk PCR matriks dan. Untuk PCR matriks, mesin diatur agar siklus PCR berjalan sebagai berikut: 1. Tahap 1 (1 ): Reverse transkripsi 45oC 10 menit; denaturasi 95oC 10 menit. 2. Tahap 2 (45 ): Denaturasi 94oC 1 detik; annealing + ekstensi 60oC 30 detik. Sedangkan untuk PCR, mesin diatur agar siklus PCR berjalan sebagai berikut: 1. Tahap 1 (1 ): Reverse transkripsi 45 o C 10 menit; denaturasi 95 o C 10 menit. 2. Tahap 2 (40 ): Denaturasi 94 o C 1 detik; annealing 57 o C 30 detik; ekstensi 72 o C 5 detik.

53 35 Untuk setiap run disertakan satu kontrol positif amplifikasi berupa RNA hasil isolasi dengan nilai C t 25 dan satu kontrol atif. Hasil PCR dianalisis menggunakan Applied Biosystems 7500 RealTime PCR System software. Hasil dinyatakan layak bila diperoleh nilai C t kontrol positif isolasi RNA 35, kontrol positif PCR 25, dan tidak satupun kontrol atif memiliki nilai C t (undetected). Sampel positif ditetapkan pada C t 38 dan 36. Analisis Data Seluruh data yang didapatkan dari studi ini dianalisa secara deskriptif.

54 HASIL DAN PEMBAHASAN RTPCR Konvensional dan Real Time Percobaan membandingkan RTPCR konvensional dan real time dilakukan untuk mengetahui perbedaan sensitivitas kedua uji dalam mendeteksi VAI. Virus yang digunakan sebagai kontrol positif (A/chicken/Indonesia/SmiWN 18/2009; GenBank accession number: JF302895) diencerkan secara serial 1:1 kemudian diekstraksi dan dilakukan RTPCR secara konvensional maupun real time. Dengan RTPCR konvensional, virus dapat terdeteksi hingga pengenceran 2 14 sedangkan menggunakan teknik real time, virus dapat terdeteksi hingga pengenceran 2 22 (Gambar 5). Perbedaan pengenceran hingga 2 8 ini menunjukkan bahwa RRTPCR dapat mendeteksi sampel dengan konsentrasi hingga 250 kali lebih rendah dibandingkan RTPCR konvensional. Lee dan Suarez (2004) menemukan bahwa RRTPCR memiliki limit deteksi salinan gen atau 10 EID 50 dan kuantitas RNA yang ditentukan dengan metode RRTPCR berkorelasi erat dengan EID 50 yang ditentukan dengan metode isolasi virus pada embrio ayam. a b Gambar 5. Perbandingan hasil PCR konvensional dan real time (a) elektroforesis gel RTPCR konvensional, terdeteksi hingga pengenceran 2 14 dan (b) grafik amplifikasi RRTPCR hingga pengenceran Pada pengenceran virus 2 6 diperoleh nilai C t 19,97 sehingga pengenceran ini digunakan untuk mengencerkan stok virus yang kemudian diekstraksi dan RNA hasil isolasi dibagi kedalam tabungtabung berisi 8 µl untuk digunakan sebagai kontrol positif PCR. Pembagian kontrol kedalam tabungtabung dengan

55 37 volume satu atau dua kali run dilakukan untuk menghindari frezeethaw. Untuk kontrol positif isolasi RNA, stok virus diencerkan 2 15 dan dibagi kedalam tabungtabung berisi 100 µl sehingga dapat digunakan pada dua kali isolasi RNA. Gambar 6. Grafik amplifikasi real time RTPCR (a) matriks sampel bulan kedua dan (b) subtipe berbagai bulan pengambilan sampel. Grafik eksponensial yang melewati threshold (garis hijau) menunjukkan hasil positif sedangkan background noise di bawahnya merupakan hasil atif.

TINJAUAN PUSTAKA. Virus Influenza A

TINJAUAN PUSTAKA. Virus Influenza A TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza A Virus influenza merupakan virus RNA untai negatif dengan genom tersegmentasi berisi tujuh sampai delapan segmen gen yang termasuk kedalam famili Orthomyxoviridae. Berdasarkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut :

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut : 25 METODE PENELITIAN Kerangka Konsep berikut : Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai Manajemen Unggas di TPnA - Keberadaan SKKH - Pemeriksaan - Petugas Pemeriksa - Cara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah penyakit menular ganas pada babi yang disebabkan oleh virus dengan gejala utama gangguan reproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Avian influenza (AI) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong virus RNA (Ribonucleic acid)

Lebih terperinci

Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus

Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus AgroinovasI Waspadailah Keberadaan Itik dalam Penyebaran Virus Flu Burung atau AI Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus penyakit flu burung, baik yang dilaporkan pada unggas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini jenis sampel diambil berupa serum dan usap kloaka yang diperoleh dari unggas air yang belum pernah mendapat vaksinasi AI dan dipelihara bersama dengan unggas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN RT-PCR Konvensional dan Real Time Percobaan membandingkan RT-PCR konvensional dan real time dilakukan untuk mengetahui perbedaan sensitivitas kedua uji dalam mendeteksi VAI H5. Virus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia memegang peran penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Hal ini terlihat dari banyaknya jenis unggas yang dibudidayakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Titrasi Virus Isolat Uji Berdasarkan hasil titrasi virus dengan uji Hemaglutinasi (HA) tampak bahwa virus AI kol FKH IPB tahun 3 6 memiliki titer yang cukup tinggi (Tabel ). Uji HA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Virus Influenza A, B dan C

TINJAUAN PUSTAKA. Virus Influenza A, B dan C 16 TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza A, B dan C Virus influenza merupakan virus RNA memiliki amplop (envelope) yang termasuk anggota dari famili Orthomyxoviridae. Genomnya terdiri dari negative single strand

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Avian influenza (AI) dan Newcastle disease (ND) adalah penyakit

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Avian influenza (AI) dan Newcastle disease (ND) adalah penyakit PENDAHULUAN Latar Belakang Avian influenza (AI) dan Newcastle disease (ND) adalah penyakit pernafasan pada unggas dan termasuk list A Office International des Epizooties (OIE) sebagai penyakit yang sangat

Lebih terperinci

MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO

MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO DepKes RI 2007 Tujuan Pembelajaran Tujuan Pembelajaran Umum : Dapat menjelaskan dasar dasar Flu Burung, pandemi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

Pertanyaan Seputar Flu A (H1N1) Amerika Utara 2009 dan Penyakit Influenza pada Babi

Pertanyaan Seputar Flu A (H1N1) Amerika Utara 2009 dan Penyakit Influenza pada Babi 1 Lab Biomedik dan Biologi Molekuler Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl Raya Sesetan-Gang Markisa No 6 Denpasar Telp: 0361-8423062; HP: 08123805727 Email: gnmahardika@indosat.net.id;

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Virus influenza tipe A adalah virus RNA, famili Orthomyxoviridae dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Virus influenza tipe A adalah virus RNA, famili Orthomyxoviridae dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Virus Influenza Tipe A Virus influenza tipe A adalah virus RNA, famili Orthomyxoviridae dari genus Orthomyxovirus yang menyebabkan penyakit avian influenza. Virus ini merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan epidemiologi Avian Influenza

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan epidemiologi Avian Influenza BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan epidemiologi Avian Influenza Avian Influenza adalah penyakit infeksi pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza strain tipe A. Penyakit yang pertama diidentifikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) adalah salah satu penyakit infeksi penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan adanya kematian yang tinggi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Btetapi banyak juga ditemukan isolat asal burung dari subtipe H5 dan H7B Byang

TINJAUAN PUSTAKA. Btetapi banyak juga ditemukan isolat asal burung dari subtipe H5 dan H7B Byang TINJAUAN PUSTAKA Virus Avian Influenza Virus influenza terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe A, tipe B dan tipe C. Virus tipe A menyerang hewan, tetapi dapat menyebabkan epidemik pada manusia. Sementara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pada unggas yang sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus dan menyerang berbagai

Lebih terperinci

Proses Penyakit Menular

Proses Penyakit Menular Proses Penyakit Menular Bagaimana penyakit berkembang? Spektrum penyakit Penyakit Subklinis (secara klinis tidak tampak) Terinfeksi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit; biasanya terjadi perubahan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.2 Deteksi Avian Influenza

5. PEMBAHASAN 5.2 Deteksi Avian Influenza 29 5. PEMBAHASAN 5.2 Deteksi Avian Influenza Virus influenza A memiliki keragaman genetik yang tinggi dan tersebar pada berbagai spesies unggas liar di seluruh dunia. Pada studi yang dilakukan di Pasar

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan ilmu pengobatan tidak menjamin manusia akan bebas dari penyakit. Hal ini disebabkan karena penyakit dan virus juga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Influenza merupakan penyakit saluran pernafasan akut yang di sebabkan infeksi Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C. Penyakit

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam 4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Ayam peliharaan merupakan hasil domestikasi dari ayam hutan yang ditangkap dan

Lebih terperinci

SURVEILANS SWINE INFLUENZA DI WILAYAH KERJA BBVET WATES JOGJAKARTA TH

SURVEILANS SWINE INFLUENZA DI WILAYAH KERJA BBVET WATES JOGJAKARTA TH SURVEILANS SWINE INFLUENZA DI WILAYAH KERJA BBVET WATES JOGJAKARTA TH 29-211 Sri Handayani Irianingsih *, Rama Dharmawan * Dessie Eri Waluyati ** dan Didik Arif Zubaidi *** * Medik Veteriner pada Laboratorium

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Virus Virus adalah suatu partikel yang mengandung bahan genetik berupa DNA atau RNA yang diselubungi oleh protein yang disebut kapsid dan pada beberapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat menyerang saluran pernafasan bagian atas maupun

Lebih terperinci

Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Indluenza

Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Indluenza Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Indluenza Influenza adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza. Virus influenza diklasifikasi menjadi tipe A, B dan C karena nukleoprotein dan matriks proteinnya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Nomenklatur Virus Influenza

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Nomenklatur Virus Influenza TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Nomenklatur Virus Influenza Virus influenza penyebab penyakit flu adalah virus anggota famili Orthomyxoviridae (ICTV 2006). Virus ini dibagi menjadi influenza

Lebih terperinci

Flu burung adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Umumnya tipe ini ditemukan pada burung dan unggas. Kasus penyebaran :

Flu burung adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Umumnya tipe ini ditemukan pada burung dan unggas. Kasus penyebaran : !!"!!#$ Dewasa ini virus H5N1 atau yang lazim dikenal sebagai virus flu burung (Avian Influenza) telah mewabah dimana mana. Virus ini pada awalnya hanya menginfeksi unggas. Namun akhir akhir ini diberitakan

Lebih terperinci

Wahai Burungku, Ada Apa Denganmu (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi)

Wahai Burungku, Ada Apa Denganmu (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) Wahai Burungku, Ada Apa Denganmu (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : MEDIA INDONESIA Edisi 27 Pebruari 2006) Flu burung, penyakit yang ditulari hewan ke manusia akis

Lebih terperinci

FLU BURUNG. HA (Hemagglutinin) NA (Neoraminidase) Virus Flu Burung. Virus A1. 9 Sub type NA 15 Sub type HA. 3 Jenis Bakteri 1 Jenis Parasit

FLU BURUNG. HA (Hemagglutinin) NA (Neoraminidase) Virus Flu Burung. Virus A1. 9 Sub type NA 15 Sub type HA. 3 Jenis Bakteri 1 Jenis Parasit Penyakit influensa pada unggas (Avian Influenza/A1) yang saat ini kita kenal dengan sebutan flu burung adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influensa tipe A dari Family Orthomyxomiridae. Virus ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Salah Satu Manajemen Perkandangan pada Peternakan Ayam Broiler.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Salah Satu Manajemen Perkandangan pada Peternakan Ayam Broiler. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peternakan Ayam Broiler Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi Avian Influenza

TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi Avian Influenza 4 TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Avian Influenza Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang, merupakan genom RNA rantai tunggal dengan 8 segmen, serta berpolaritas negatif.

Lebih terperinci

Penyebaran Avian Flu Di Cikelet

Penyebaran Avian Flu Di Cikelet 6 Bab II Penyebaran Avian Flu Di Cikelet 2.1 Sejarah virus Avian Flu Avian Flu merupakan infeksi virus influenza A subtipe H5N1 yang umumnya menyerang unggas, burung, ayam dan babi, tetapi setelah menyerang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kasus rabies sangat ditakuti dikalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan

Lebih terperinci

Pertanyaan Seputar "Flu Burung" (Friday, 07 October 2005) - Kontribusi dari Husam Suhaemi - Terakhir diperbaharui (Wednesday, 10 May 2006)

Pertanyaan Seputar Flu Burung (Friday, 07 October 2005) - Kontribusi dari Husam Suhaemi - Terakhir diperbaharui (Wednesday, 10 May 2006) Pertanyaan Seputar "Flu Burung" (Friday, 07 October 2005) - Kontribusi dari Husam Suhaemi - Terakhir diperbaharui (Wednesday, 10 May 2006) Reproduced from FAQ "Frequently Asked Question" of Bird Flu in

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Virus Avian Influenza H5N1 Morfologi Virus Avian Influenza H5N1 merupakan salah satu penyebab penyakit unggas yang bersifat zoonosis. Virus ini menyebabkan penyakit flu pada unggas

Lebih terperinci

UJI PENEGUHAN REAL TIME PCR AVIAN INFLUENZA DI BBKP SURABAYA TERHADAP METODE UJI STANDAR AVIAN INFLUENZA SESUAI STANDAR OIE.

UJI PENEGUHAN REAL TIME PCR AVIAN INFLUENZA DI BBKP SURABAYA TERHADAP METODE UJI STANDAR AVIAN INFLUENZA SESUAI STANDAR OIE. UJI PENEGUHAN REAL TIME PCR AVIAN INFLUENZA DI BBKP SURABAYA TERHADAP METODE UJI STANDAR AVIAN INFLUENZA SESUAI STANDAR OIE. OLEH: FITRIA ARDHIANI, ROFIQUL A LA, FIFIN KURNIA SARI, RETNO OKTORINA LABORATOIUM

Lebih terperinci

VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA

VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA Diterbitkan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang Gedung D5, Kampus Sekaran Gunungpati Phone : (024) 8508112 Website : http://mipa.unnes.ac.id R. Susanti VIRUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Flu burung yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah avian flu atau avian influenza (AI) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Influenza atau lebih dikenal dengan flu, merupakan salah satu penyakit yang menyerang pernafasan manusia. Penyakit ini disebabkan oleh virus influenza yang

Lebih terperinci

Tinjauan Mengenai Flu Burung

Tinjauan Mengenai Flu Burung Bab 2 Tinjauan Mengenai Flu Burung 2.1 Wabah Wabah adalah istilah umum baik untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang, maupun untuk menyebut penyakit yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza Tipe A

TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza Tipe A TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza Tipe A Penyakit Avian Influensa (AI) disebabkan oleh virus influensa tipe A yang merupakan virus RNA dari famili Orthomyxoviridae dengan genus Orthomyxovirus. Berbentuk

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3

1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMAKASIH... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2

DAFTAR ISI. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i iii i PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2 TINJAUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Flu burung merupakan penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas bagi masyarakat karena

Lebih terperinci

FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI

FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI FLU BURUNG AVIAN FLU AVIAN INFLUENZA BIRD FLU RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI VIRUS INFLUENZA Virus famili orthomyxoviridae Tipe A,B,C Virus A dan B penyebab wabah pada manusia Virus C

Lebih terperinci

OUTLINE PENDAHULUAN CIRI-CIRI VIRUS STRUKTUR SEL VIRUS BENTUK VIRUS SISTEM REPRODUKSI VIRUS PERANAN VIRUS

OUTLINE PENDAHULUAN CIRI-CIRI VIRUS STRUKTUR SEL VIRUS BENTUK VIRUS SISTEM REPRODUKSI VIRUS PERANAN VIRUS VIRUS FIRMAN JAYA OUTLINE PENDAHULUAN CIRI-CIRI VIRUS STRUKTUR SEL VIRUS BENTUK VIRUS SISTEM REPRODUKSI VIRUS PERANAN VIRUS PENDAHULUAN Metaorganisme (antara benda hidup atau benda mati) Ukuran kecil :

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan menggunakan primer NA. Primer NA dipilih karena protein neuraminidase,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat negara kita baru mulai bangkit dari krisis, baik krisis ekonomi, hukum dan kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

Lebih terperinci

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap semua kelompok ayam sebelum vaksinasi menunjukan bahwa ayam yang digunakan memiliki antibodi terhadap IBD cukup tinggi dan seragam dengan titer antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Avian Influenza Avian Influenza (AI) yang popular disebut flu burung merupakan penyakit infeksius pada unggas. Penyakit ini telah menyebar ke seluruh dunia dan menyerang berbagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan terhadap gejala klinis pada semua kelompok perlakuan, baik pada kelompok kontrol (P0) maupun pada kelompok perlakuan I, II dan III dari hari pertama sampai pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Newcastle disease (ND) merupakan penyakit viral disebabkan oleh Newcastle disease virus (NDV) yang sangat penting dan telah menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Morbiditas

Lebih terperinci

PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS

PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS i DR. DRH. GUSTI AYU YUNIATI KENCANA, MP Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER Sunaryati Sudigdoadi Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2015 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwa ta

Lebih terperinci

VIRULENSI DAN TRANSMISI VIRUS INFLUENZA A PADA MANUSIA, HEWAN MAMALIA DAN UNGGAS

VIRULENSI DAN TRANSMISI VIRUS INFLUENZA A PADA MANUSIA, HEWAN MAMALIA DAN UNGGAS ARTIKEL VIRULENSI DAN TRANSMISI VIRUS INFLUENZA A PADA MANUSIA, HEWAN MAMALIA DAN UNGGAS Vivi Setiawaty* Peneliti Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Balitbangkes, Jl. Percetakan Negara No. 29,

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS BAB 2 TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS 2.1 Pengenalan Singkat HIV dan AIDS Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, HIV adalah virus penyebab AIDS. Kasus pertama AIDS ditemukan pada tahun 1981. HIV

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR...... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang...

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Newcastle Disease (ND)

TINJAUAN PUSTAKA Newcastle Disease (ND) TINJAUAN PUSTAKA Newcastle Disease (ND) Newcastle Disease (ND) pertama kali ditemukan di Newcastle Inggris pada tahun 1926. Virus ini menyerang berbagai macam spesies burung dan unggas. Tingkat kematian

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN FLU BURUNG DI DESA KIPING KECAMATAN SAMBUNGMACAN KABUPATEN SRAGEN

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN FLU BURUNG DI DESA KIPING KECAMATAN SAMBUNGMACAN KABUPATEN SRAGEN HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN FLU BURUNG DI DESA KIPING KECAMATAN SAMBUNGMACAN KABUPATEN SRAGEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama kesehatan global. World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium

Lebih terperinci

DETEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA UNGGAS AIR DI PROPINSI LAMPUNG DENGAN UJI HAEMAGGLUTINATION INHIBITION

DETEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA UNGGAS AIR DI PROPINSI LAMPUNG DENGAN UJI HAEMAGGLUTINATION INHIBITION 1 DETEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA UNGGAS AIR DI PROPINSI LAMPUNG DENGAN UJI HAEMAGGLUTINATION INHIBITION (HI) DAN REVERSE TRANSCRIPTASE-POLYMERASE CHAIN REACTION (RT-PCR) DWI DESMIYENI PUTRI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

Virus baru : Coronavirus dan Penyakit SARS

Virus baru : Coronavirus dan Penyakit SARS Virus baru : Coronavirus dan Penyakit SARS 23 Apr 2003 Kasus sindrom pernapasan akut parah, atau lebih dikenal dengan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) masih menempatkan berita utama di sebagian

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi Respon imun akan terjadi dalam tubuh hewan yang terpapar oleh suatu antigen. Respon humoral tubuh yang terinfeksi akan menghasilkan antibodi. Antibodi merupakan suatu molekul

Lebih terperinci

1. ASPEK BIOLOGI MORFOLOGI VIRUS EBOLA:

1. ASPEK BIOLOGI MORFOLOGI VIRUS EBOLA: Virus Ebola menyebabkan demam hemorrhagic. Semenjak dikenal tahun 1976, Virus Ebola menyebabkan penyakit yang fatal pada manusia maupun binatang primata (monyet, gorila dan simpanse). Dinamakan Virus Ebola

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah suatu penyakit yang menular yang disebabkan oleh virus tipe A dan B dan ditularkan oleh unggas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rotavirus merupakan penyebab diare berat pada anak berumur kurang

BAB I PENDAHULUAN. Rotavirus merupakan penyebab diare berat pada anak berumur kurang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rotavirus merupakan penyebab diare berat pada anak berumur kurang dari 5 tahun (balita) di negara maju dan negara berkembang. Virus ini menginfeksi anak pada awal kehidupannya.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SUBTIPE, PATOGENITAS, DAN FILOGENETIK VIRUS AVIAN INFLUENZA ISOLAT SUSSI WIDI KURNIASIH

IDENTIFIKASI SUBTIPE, PATOGENITAS, DAN FILOGENETIK VIRUS AVIAN INFLUENZA ISOLAT SUSSI WIDI KURNIASIH IDENTIFIKASI SUBTIPE, PATOGENITAS, DAN FILOGENETIK VIRUS AVIAN INFLUENZA ISOLAT 2012 2013 SUSSI WIDI KURNIASIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan

I. PENDAHULUAN. Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Megalocytivirus merupakan salah satu genus terbaru dalam famili Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan kerugian ekonomi serta kerugian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Virus Influenza merupakan virus RNA yang termasuk dalam famili orthomyxoviridae, yang dapat menginfeksi unggas, mamalia dan manusia (Nidom, 2005). Berbeda dengan virus

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Avian Influenza (AI) pada Unggas Kondisi s/d 31 Mei 2014

Perkembangan Kasus Avian Influenza (AI) pada Unggas Kondisi s/d 31 Mei 2014 Perkembangan Kasus Avian Influenza (AI) pada Unggas Kondisi s/d 31 Mei 2014 Laporan perkembangan kasus penyakit Avian Influenza (AI) pada unggas di Indonesia berdasarkan hasil Uji Cepat (Rapid Test) positif

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Influenza adalah suatu penyakit infeksi akut saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus influenza, terutama ditandai oleh demam, menggigil, sakit otot, sakit kepala

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 10. GENETIKA MIKROBA Genetika Kajian tentang hereditas: 1. Pemindahan/pewarisan sifat dari orang tua ke anak. 2. Ekspresi

Lebih terperinci

BUKU SAKU FLU BURUNG. Posko KLB Ditjen PP dan PL : SMS GATE WAY :

BUKU SAKU FLU BURUNG. Posko KLB Ditjen PP dan PL : SMS GATE WAY : Buku Saku Flu Burung Buku Saku Flu Burung 16 KATA PENGANTAR Flu Burung (FB) atau Avian Influenza (AI) adalah suatu penyakit menular pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dengan subtipe

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Sistem Kekebalan Tubuh Pada Unggas

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Sistem Kekebalan Tubuh Pada Unggas 4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Ayam petelur putih termasuk dalam jenis ayam petelur ringan. Ayam ini mempunyai badan yang ramping/kurus-mungil/kecil dan mata bersinar. Bulunya berwarna putih bersih dan

Lebih terperinci

OLeh: Bella Swandayani Sutrisno KeLas B

OLeh: Bella Swandayani Sutrisno KeLas B OLeh: Bella Swandayani Sutrisno 07-8114-058 KeLas B SEJARAH Orthomyxoviruses pertama kali ditemukan di babi oleh Richard Schope di 1931. Ini ditemukan pertama kali diikuti oleh isolasi virus dari manusia

Lebih terperinci

INFO TENTANG H7N9 1. Apa virus influenza A (H7N9)?

INFO TENTANG H7N9 1. Apa virus influenza A (H7N9)? INFO TENTANG H7N9 1. Apa virus influenza A (H7N9)? Virus influenza A H7 adalah kelompok virus influenza yang biasanya beredar di antara burung. Virus influenza A (H7N9) adalah salah satu sub-kelompok di

Lebih terperinci

PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1

PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1 PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1 FAISAL MUHAMAD NU MAN SUMANTRI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ketebalan yang berbeda-beda dan kadang sangat sulit ditemukan dengan mikroskop. Namun, ada bukti secara kimiawi bahwa lamina inti benar-benar ada di

ketebalan yang berbeda-beda dan kadang sangat sulit ditemukan dengan mikroskop. Namun, ada bukti secara kimiawi bahwa lamina inti benar-benar ada di Membran Inti Inti sel atau nukleus sel adalah organel yang ditemukan pada sel eukariotik. Organel ini mengandung sebagian besar materi genetik sel dengan bentuk molekul DNA linear panjang yang membentuk

Lebih terperinci

BIOTEKNOLOGI. Struktur dan Komponen Sel

BIOTEKNOLOGI. Struktur dan Komponen Sel BIOTEKNOLOGI Struktur dan Gambar Apakah Ini dan Apakah Perbedaannya? Perbedaan dari gambar diatas organisme Hidup ular organisme Hidup Non ular Memiliki satuan (unit) dasar berupa sel Contoh : bakteri,

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

REVERSE TRANSKRIPSI. RESUME UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Genetika I Yang dibina oleh Prof. Dr. A. Duran Corebima, M.Pd. Oleh

REVERSE TRANSKRIPSI. RESUME UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Genetika I Yang dibina oleh Prof. Dr. A. Duran Corebima, M.Pd. Oleh REVERSE TRANSKRIPSI RESUME UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Genetika I Yang dibina oleh Prof. Dr. A. Duran Corebima, M.Pd Oleh UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini memuat tentang latar belakang yang mendasari penelitian. Berdasarkan pada latar belakang tersebut, ditentukan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Pada bab ini juga dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Avian Influenza (AI) atau flu burung atau sampar unggas merupakan penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe H5N1 dari family Orthomyxoviridae.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepatitis B 2.1.1 Etiologi Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HBV). HBV merupakan famili Hepanadviridae yang dapat menginfeksi manusia.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS AIRLANGGA DIREKTORAT PENDIDIKAN Tim Pengembangan Jurnal Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya

UNIVERSITAS AIRLANGGA DIREKTORAT PENDIDIKAN Tim Pengembangan Jurnal Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya page 1 / 5 EDITORIAL BOARD Dewan Redaksi Pemimpin Redaksi : Nusdianto Triakoso, drh., M.P. Penyunting : Nusdianto Triakoso, drh. M.P. Dr. M. Zainal Arifin, drh., M.S. Dr. I Komang Wiarsa Sardjana, drh.

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA Oleh: Gregorius Widodo Adhi Prasetyo A2A015009 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas kesadaran itu, Departemen Pertanian (2011) mengarahkan pengembangan subsektor peternakan sebagai bagian

Lebih terperinci

VIRUS. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Mikrobiologi Dosen Pengampu: Nur Siyam S,KM

VIRUS. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Mikrobiologi Dosen Pengampu: Nur Siyam S,KM VIRUS Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Mikrobiologi Dosen Pengampu: Nur Siyam S,KM Disusun oleh : Nimas Dwi Ayu R (6411413126 / Rombel 5) Saraswati Windyastuti (6411413129 / Rombel

Lebih terperinci