6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah"

Transkripsi

1 6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh komite pemantauan pelaksanaan otonomi daerah di tahun Dalam pemeringkatan tersebut, KPPOD menetapkan delapan indikator yang digunakan untuk menggambarkan tata kelola ekonomi daerah di 11 kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Ada sembilan indikator dalam TKED tetapi indikator peraturan daerah tidak dimasukan dalam penelitian ini sehingga hanya ada Delapan indikator yaitu Akses Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha, Perizinan Usaha, Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha, Program Pengembangan Usaha Swasta, Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah, Biaya Transakasi, Infrastruktur Daerah, Keamanan dan Penyelesaian Konflik. Berdasarkan Tabel 2 pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah yang memiliki pelayanan akses lahan usaha yang terbaik adalah Kabupaten Buol dan Poso dengan skor yang sama yaitu 88,8 disusul pada peringkat kedua dan ketiga yaitu Kabupaten Banggai Kepulauan dengan skor 86,3 dan Kabupaten Donggala dengan skor 86. Sedangkan yang terburuk ditempati Kota Palu dengan skor 69. Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah di Kabupaten Buol dan Kabupaten Poso jauh lebih cepat dibanding Kota Palu. Lama pengurusan rata-rata status tanah di Kabupaten Buol dan Kabupaten Poso adalah 3 minggu, sedangkan di Kota Palu 4 minggu. Di samping itu, frekuensi konflik lebih sering terjadi di Kota Palu daripada di Kabupaten Poso. Sebesar 11% para pelaku usaha di Kota Palu menilai sering terjadi persoalan/konflik mengenai kepemilikan lahan di daerahnya. Sementara di Kabupaten Poso, pelaku usaha yang menilai sering terjadi konflik kepemilikan lahan di daerahnya hanya 2%. Kabupaten/kota yang memiliki indikator infrastruktur daerah terbaik adalah Kabupaten Sigi (skor 81), Kabupaten Parigi Moutong (skor 77,4), dan Kabupaten Buol (skor 76,2). Sedangkan Kabupaten Poso merupakan kabupaten terburuk di SulawesiTengah dalam indikator ini dengan (skor 63,5). Di Kabupaten Sigi, lama perbaikan infrastruktur baik jalan maupun lampu penerangan relatif lebih singkat daripada kabupaten lainnya. Lama perbaikan jalan di Kabupaten Sigi rata-rata hanya 28 hari, sedangkan di Kabupaten Poso lebih dari satu bulan. Untuk pemadaman listrik di tempat berlangsungnya usaha, di Kabupaten Sigi hanya satu kali dalam seminggu, sedangkan di Kabupaten Poso mencapai sembilan kali dalam seminggu. Penempatan Kabupaten Poso sebagai kabupaten terburuk di bidang infrastruktur selain dilihat dari lama perbaikan, juga dapat dilihat dari tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan. relatif lebih buruk dibanding yang lain. Hal ini ditunjukkan oleh 16% dari total responden menilai tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan adalah besar.

2 Tabel 2. Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah di Kabupaten/Kota di Sulawesi Tahun 2011 (dalam %) Tengah Daerah Akses Lahan Infrastruktur Perizinan Usaha PERDA Biaya Transaksi Integritas/Kapasitas Bupati/Walikota Interaksi PEMDA & Pelaku Usaha PPUS Keamanan & Penyelesaian Konflik TOTAL INDEKS PERINGKAT DI SULAWESI TENGAH Banggai 83,4 76,1 65,9 78,4 80,5 69,4 55,7 68,3 68,7 72,1 1 Parigi Moutong 78,6 77,4 58,3 87,7 72,2 67, ,6 67,5 71,3 2 Sigi 82, ,9 91,5 79, ,1 52,3 76,1 71,2 3 Toli-toli 82, ,3 82,7 80,3 69,8 58,1 50,2 67,7 69,1 4 Tojo Unauna 84,2 72,6 61,3 88, ,9 53,8 60,5 68,9 68,8 5 Donggala 86 74,9 61,6 86, ,7 61,3 40,9 71,3 68,3 6 Buol 88,8 76,2 68,2 87,9 87,1 50,1 66,4 14,9 73,2 66,8 7 Kota Palu ,5 82,8 70,2 58,6 58, ,5 66,7 8 Banggai Kepulauan 86, , ,7 42,4 54,3 18,2 71,6 63,5 9 Poso 88,8 63, ,9 82,1 51,9 54,6 37,2 72,4 62,9 10 Morowali 84 64,1 61,7 90, ,9 56,5 29,3 79, Sumber: KPPOD, (2011) Masih berkaitan dengan tabel 2, indikator pelayanan terbaik perizinan usaha peringkat satu, dua dan tiga ditempati oleh Kabupaten Buol (skor 68,2), Kabupaten Banggai (skor 65,9), dan Kota Palu (skor 65,5). Sedangkan peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Sigi dengan skor 56,9. Tiga daerah terbaik tersebut telah menjalankan sistem pelayanan perizinan usaha yang sudah cukup baik bagi para pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari lebih dari 86% para pelaku usaha di ketiga daerah tersebut menilai bahwa tingkat kesulitan yang dihadapi pada saat mengurus tanda daftar industri adalah sangat mudah. Di Kabupaten Buol 92% dari total perusahaan yang disurvei di daerah tersebut menilai bahwa biaya tertentu yang dikeluarkan untuk mendapatkan tanda daftar industri tidak memberatkan. Kabupaten Sigi yang merupakan kabupaten dengan nilai skor terendah untuk indikator perizinan usaha 92% responden mengatakan bahwa tidak ada cara pengaduan tentang pelayanan pengaduan di kantor pelayanan perijinan di kabupatensigi. Kabupaten/kota yang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha adalah Kabupaten Banggai Kepulauan (skor 88,7), Kabupaten Buol (skor 87,1) dan Kabupaten Poso (skor 82,1). Sedangkan Kota Palu dengan biaya transaksi termahal di Sulawesi Tengah dengan hanya memiliki skor sebesar 70,2. Total biaya yang dibayarkan oleh perusahaan, termasuk pajak dan retribusi, di Kabupaten Banggai Kepulauan pada tahun 2009 relatif lebih rendah dibanding kota Palu yakni sebesar Rp tiap perusahaan. Sedangkan Kota Palu tertinggi di Sulawesi Tengah yakni sebesar Rp per perusahaan. Hal inilah yang merupakan salah satu penghambat utama bagi kinerja perusahaan di Kota Palu.

3 Menurut laporan TKED, banyak pengusaha yang terpaksa memberikan biaya tambahan untuk keamanan. Pembayaran biaya informal oleh pelaku usaha kepada kepolisian di Kota Palu lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada Ormas dan preman untuk mendapat jaminan perlindungan usaha. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Banggai Kepulauan. Pelaku usaha lebih banyak menyerahkan uang keamanan kepada aparat pemda dan preman daripada kepada kepolisian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Banggai Kepulauan memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha daripada Kota Palu. Indikator kapasitas dan integritas kepala daerah peringkat tiga terbaik ditempati oleh Kabupaten Toli-toli (skor 69,8), Kabupaten Sigi (skor 69,6), Kabupaten Banggai (skor 69,4). Sedangkan untuk peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Buol dengan skor 50,1. Rendahnya skor di Kabupaten Buol tersebut karena kepala daerah (Bupati) dinilai tidak memahami masalah dunia usaha yang sedang dihadapi oleh pelaku usaha lokal di daerah tersebut. Lebih dari 24% para pelaku usaha menilai tidak setuju jika Bupati mereka dinyatakan memahami permasalahan dunia usaha, bertindak profesional dan tegas dalam kasus korupsi birokratnya dan 77% responden menyatakan setuju dengan pernyataan bahwa tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri. 10% menyatakan tidak setuju jika kepala daerah dinyatakan figur disegani dan layak diteladani. Tiga besar kabupaten dan kota terbaik dalam indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha, yaitu Kabupaten Buol (skor 66,4), Kabupaten Donggala (skor 61,3) dan Kabupaten Parigi Moutong (59%). Sedangkan yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Sigi dengan skor 53,1. Seluruh perusahaan yang menjadi responden sepakat menilai bahwa halhal yang berkaitan dengan interaksi Pemda dengan pelaku usaha menjadi hambatan kecil bagi kinerja perusahaan. Mereka menilai bahwa kebijakan pemerintah Kabupaten Buol berpengaruh besar terhadap kinerja perusahaan. Kabupaten Buol telah memiliki forum komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha walaupun masih belum sempurna, namun sudah cukup memberikan solusi kepada pelaku usaha dalam menghadapi permasalahan dunia usaha. Pemerintah daerah yang memiliki program pengembangan usaha swasta terbaik adalah Kabupaten Banggai (skor 68,3), Kabupaten Parigi Moutong (skor 66,6), Kabupaten Tojo Una-una (60,5). Untuk Indikator program pengembangan usaha swasta, Kabupaten Buol menempati peringkat terakhir dengan skor 14,9. Pada dasarnya, seluruh pelaku usaha mengetahui bahwa terdapat program yang disediakan oleh pemda dalam rangka mengembangkan bisnis. Pelaku usaha di Kabupaten Banggai menilai bahwa programprogram tersebut memberikan manfaat yang relatif besar bagi perusahaan. Hal ini dilihat dari hanya 22% pelaku usaha di Kabupaten Banggai mengatakan program pengembangan usaha yang dilaksanakan pemda memiliki manfaat kecil bagi kinerja perusahaan mereka. Hal ini terjadi karena pemda telah dapat menyelenggarakan program pengembangan bisnis yang tepat dan sesuai bagi pengembangan usaha-usaha di kabupaten tersebut. Indikator jaminan keamanan dan penyelesaian sengketa terbaik adalah Kabupaten Morowali (skor 79,5), peringkat kedua Kabupaten Sigi (skor 76,1), dan peringkat ketiga Kabupaten Buol (skor 73,2). Daerah yang terburuk dalam indikator ini adalah Kota Palu dengan nilai 63,5. Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk dapat disebabkan oleh banyaknya kasus pencurian yang terjadi, kualitas penanganan masalah kriminal dan demostrasi buruh oleh polisi. Pelaku usaha mengatakan bahwa selama tahun 2009 rata-rata hanya satu kali kejadian pencurian di Kabupaten Morowali. Sementara di Kota Palu, pelaku usaha rata-rata mengatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut terdapat dua kali kejadian pencurian. Lebih dari 88% pelaku usaha di Kabupaten Morowali, menilai polisi telah mengambil tindakan tepat waktu dalam menangani kasus kriminal yang berhubungan dengan kegiatan usaha.sedangkan pelaku usaha di Kota Palu yang menilai hal tersebut hanya 65%.

4 Tidak hanya itu, kualitas polisi dalam menangani kasus demonstrasi buruh pun jauh lebih baik di Kabupaten Morowali daripada di Kota Palu, sehingga pelaku usaha lokal Kabupaten Morowali merasa aman dan nyaman berusaha karena kualitas jaminan keamanan usaha yang sangat baik. Setelah mendapatkan nilai-nilai dari delapan indikator tersebut, selanjutnya adalah melihat nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah secara keseluruhan untuk menilai kabupaten dan kota yang memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan Tabel 1, dari 11 kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah hanya 3 Kabupaten yang mempunyai indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah yang kondusif (di atas 70) yaitu kabupaten Banggai skor 72,1 Kabupaten Parigi Moutong skor 71,3 serta Kabupaten Sigi dengan skor 71,2. Adapun Kabupaten Donggala dan Kota Palu memperoleh skor masing-masing 68,3 dan 66,7. Keterkaitan Variabel Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Kinerja Perekonomian Daerah Untuk mengetahui hubungan antara variabel tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB perkapita, pengangguran dan kemiskinan kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah dilakukan uji korelasi Pearson untuk data interval, uji korelasi Spearman untuk data ordinal dilengkapi dengan scatter plot. Hasil yang diperoleh setelah melakukan korelasi antara masing-masing sub indikator dalam TKED dengan kinerja perekonomian daerah (PDRB perkapita, pengangguran, kemiskinan), diperoleh adanya hubungan sederhana antara variabel-variabel TKED dengan kinerja perekonomian daerah. Indikator dalam TKED yang mempunyai hubungan adalah indikator infrastruktur dan indikator program pengembangan usaha swasta. Indikator infrastruktur sub indikator yang mempunyai hubungan sederhana adalah lama perbaikan listrik, kondisi lampu jalan, waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM. Indikator PPUS sub indikator yang mempunyai hubungan sederhana dengan kinerja perekonomian daerah adalah manfaat PPUS terhadap pelaku usaha kecil, menengah dan besar, pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM. Hubungan sederhana masing-masing sub indikator tersebut dapat dijelaskan pada tabel 3. Tabel 3 Korelasi PDRBKap, Perubahan Pengangguran dan Perubahan Kemiskinan terhadap sub indikator TKED Indikator Kinerja Sub Indikator TKED Coeff Sig Perekonomian Daerah PDRBKap(pearson) Lama perbaikan listrik -0,744 0,009* Perubahan Pengangguran(spearman) Kondisi lampu penerangan jalan Manfaat PPUS Pelatihan Pengkredit -0,751-0,775-0,657 0,008* 0,005* 0,028** Perubahan Kemiskinan(pearson) Waktu Perbaikan PDAM 0,748 0,008* *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: Data Olahan

5 PDRB HB Variabel dalam indikator Infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator kinerja perekonomian daerah adalah lama perbaikan listrik di sekitar usaha responden. Data yang digunakan pada variabel lama perbaikan infrastruktur bila mengalami kerusakan sun indikator lama perbaikan listrik di sekitar usaha responden adalah data dengan skala interval sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Pearson. Hasilnya menunjukkan bahwa lama perbaikan listrik berkorelasi negatif terhadap PDRB per kapita secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 9). Responden yang di survey oleh KPPOD adalah 51% perusahaan kecil, Data perusahaan kecil (jumlah TK 1-10 orang) di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak perusahaan ( BPS Sulawesi Tengah, hasil pendaftaran perusahaan sensus ekonomi 2006). Perusahaan dengan skala kecil akan mengalami hambatan dalam melaksanakan aktifitasnya jika lama perbaikan listrik lebih lama dan hal ini akan menganggu aktifitas perusahaan. Jika aktifitas perusahaan terganggu akan berakibat pada pendapatan dari perusahaan tersebut. Di era otonomi daerah, daerah otonom diberikan kewenangan untuk mengelola masalah tata kelola ekonomi daerah menjadi lebih baik dengan respon yang lebih cepat dari pihak PEMDA terutama dengan kebijakan-kebijakan dalam perbaikan infrastruktur. Dengan tata kelola ekonomi daerah yang baik, maka investasi ke daerah diharapkan akan lebih meningkat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di daerah juga membaik dan pendapatan masyarakatnya meningkat. Karena waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki listrik adalah salah satu sub variabel dalam variabel TKED, untuk melihat hubungannya dengan PDRB per kapita adalah dengan melalui variabel investasi, setelah dilakukan korelasi sederhana antara sub indikator lama perbaikan listrik dengan nilai indeks total dari TKED diperoleh hasil adanya hubungan keduanya (lampiran 21). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lama perbaikan listrik merupakan proksi dari TKED. Kondisi lampu jalan yang baik berarti mencerminkan TKED yang baik, TKED yang baik akan membuat daya tarik bagi investor. Scatterplot lama Scatterplot perbaikan of PDRB infrastruktur HB vs Q114bR4 listrik dengan PDRB PDRB Per Kapita (Juta) Q114bR4 Lama perbaikan infrastruktur listrik (hari) Gambar 9 Hubungan lama perbaikan infrastruktur listrik dengan PDRB perkapita. Sumber: Data olahan 2.0 Variabel lain dalam indikator infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator kinerja perekonomian daerah adalah kondisi lampu penerangan jalan. Data yang

6 digunakan pada variabel kualitas infrastruktur sub indikator kondisi lampu penerangan jalan di sekitar usaha responden adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa kondisi lampu jalan berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 10). Responden yang menjawab buruk tersebar di 5 (Banggai Kepulauan, Morowali, Poso, Toli-Toli, Palu) daerah penelitian dan responden yang menjawab baik berada di 6 daerah lainnya (Banggai, Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Donggala). Sebanyak 23% responden di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Morowali menyatakan kondisi penerangan jalan di sekitar lokasi usaha mereka sangat buruk, sedangkan di Kota Palu, 10% responden menyatakan hal yang sama dengan responden di Banggai dan Morowali. Responden yang di survey oleh KPPOD di kabupaten/kota di Sulawesi Tengah berjumlah 458 responden. Dari jumlah itu, 21% bekerja di sektor usaha perdagangan dan 36% di sektor usaha jasa, termasuk warung makan dan salon, yang beraktifitas sampai malam hari. Kondisi lampu penerangan jalan yang baik memungkinkan kegiatan usaha seperti ini untuk beraktifitas sampai malam hari karena pelanggan yang datang di malam hari akan lebih merasa aman. Kegiatan usaha seperti ini juga merangsang tumbuhnya kegiatan usaha jasa lainnya seperti ojek sepeda motor yang umumnya beroperasi disekitarnya. Peningkatan aktifitas tersebut akan berakibat pada meningkatnya volume penjualan dan selanjutnya memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak dan pada gilirannya akan mengurangi pengangguran. Uji Spearman P-Value= 0,008 Perubahan_pengangguran(%) Buruk (2) Kondisi lampu penerangan Baik (3) jalan jalan Gambar 10 Scatterplot kondisi lampu penerangan jalan di sekitar usaha responden pada tahun 2009 dengan Pengangguran Sumber: Data olahan Variabel lainnya dalam indikator infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator perekonomian daerah adalah waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM. Data yang digunakan pada variabel kualitas infrastruktur sub indikator waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM adalah data dengan skala interval sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Pearson. Hasilnya menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM berkorelasi positif terhadap perubahan kemiskinan secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 11).

7 Air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, sehingga pemenuhannya memerlukan perhatian dan campur tangan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Undang- Undang Dasar 1945 pasal 33. Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspekaspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan mempengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan permintaan air bersih (Nugroho 2003). Indonesia memasukkan akses air minum layak bagi rumah tangga sebagai salah satu indikator MDGs, yang ditargetkan pada tahun 2015 mencapai 68,87%. Sumber air minum yang layak meliputi air minum perpipaan dan air minum non-perpipaan terlindung yang berasal dari sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya. Sumber air minum layak meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan. Sumber air minum tak layak didefinisikan sebagai sumber air yang jarak antara sumber air dan tempat pembuangan kotoran kurang dari 10 meter dan atau tidak terlindung dari kontaminasi lainnya. Sumber tersebut antara lain mencakup sumur galian yang tak terlindung, mata air tak terlindung, air yang diangkut dengan tangki/drum kecil, dan air permukaan dari sungai, danau, kolam, dan saluran irigasi/drainase. Air kemasan dianggap sebagai sumber air minum layak hanya jika rumah tangga yang bersangkutan menggunakannya untuk memasak dan menjaga kebersihan tubuh, dan di Indonesia penggunaan air kemasan tidak dikategorikan sebagai sumber air minum layak terkait aspek keberlanjutannya (Bappenas, 2010). Responden dengan jenis usaha produksi misalnya tempat pembuatan tempe, keripik memerlukan air bersih untuk menjamin mutu dari produknya. Infrastruktur yang baik akan membuat kinerja perusahaan lebih efisien, pendapatan perusahaan akan meningkat dan selanjutnya perusahaan dapat merekrut tenaga kerja baru dan mengakibatkan akan berkurangnya kemiskinan.

8 kemiskinan (%) Scatterplot Kemiskinan Scatterplot dengan of kemiskinan Waktu yang (%) diperlukan vs Q114bR3 untuk memperbaiki PDAM 10 0 Perubahan Kemiskinan (%) Q114bR3 Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM (hari) Gambar 11 Hubungan waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM dengan Kemiskinan Sumber: Data olahan Selain indikator infrastruktur dalam TKED masih terdapat indikator lain yang mempunyai hubungan dengan kinerja perekonomian daerah indikator tersebut adalah program pengembangan usaha swasta. Pada variabel tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha yang dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar. Data yang digunakan pada variabel manfaat PPUS terhadap pelaku usaha yang dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa manfaat PPUS berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 12). Responden yang menjawab bermanfaat tersebar di 8 (Banggai kepulauan, Banggai, Morowali, Poso, Toli-Toli, Buol, Palu, Sigi) daerah penelitian dan responden yang menjawab sangat bermanfaat berada di 3 daerah lainnya (Donggala, Parigi Moutong, Tojo Una-una). Semakin besar manfaat yang diperoleh dari program-program yang dilakukan oleh PPUS yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil-menengah dan besar, maka semakin kecil tingkat pengangguran di daerah tersebut. Sub indikator lain dalam PPUS yang mempunyai hubungan dengan kinerja perekonomian daerah adalah pelatihan pengajuan kredit bagi UKM. Data yang digunakan pada variabel pelatihan pengajuan kredit bagi UKM adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan pengajuan kredit berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5% (gambar 13). Responden yang menjawab bermanfaat tersebar di 7 (Banggai kepulauan, Banggai, Morowali, Poso, Toli-Toli, Buol, Palu) daerah penelitian dan responden yang menjawab sangat bermanfaat berada di 4(Donggala,Parigi Moutong, Tojo Una-una,Sigi) daerah lainnya. Semakin sering pelatihan pengajuan kredit bagi UKM dilakukan oleh PPUS dapat memberikan manfaat bagi pelaku usaha sehingga diharapkan tingkat pengangguran di daerah tersebut berkurang. Semakin banyak manfaat yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil sedang dan besar dengan adanya PPUS akan semakin banyak pelaku usaha yang dapat mempertemukan mata rantai kegiatan antara pelaku usaha kecil sedang dengan pelaku usaha yang lebih besar. Pelaku usaha dengan skala kecil akan dapat meningkatkan usahanya

9 ke tingkat yang lebih besar. Dengan demikian akan menambah skala usahanya dan dapat meningkatkan penjualan sehingga akan menambah pendapatan dan selanjutnya akan mengurangi pengangguran. Untuk sub indikator pelatihan pengajuan kredit bagi UKM yang merupakan sub indikator dari PPUS yang juga mempunyai hubungan nyata dengan perubahan pengangguran. Sektor permodalan yang merupakan jantung kegiatan UKM merupakan hal yang krusial. Hal ini terlihat dari persepsi pelaku usaha yang menganggap bahwa PPUS berupa pelatihan pengajuan aplikasi kredit sangatlah penting dan bermanfaat. Dengan adanya pelatihan pengajuan kredit untuk UKM, maka pelaku usaha yang awalnya sangat sulit untuk mendapatkan tambahan permodalan, dengan adanya pelatihan pengajuan kredit bagi UKM yang difasilitasi oleh PPUS, maka pelaku usaha dapat meningkatkan skala usahanya karena telah mendapatkan tambahan modal. Dengan demikian, akan menambah hasil produksi dari usahanya dan selanjutnya akan menambah pendapatan dan pada akhirnya akan mengurangi pengangguran. Seluruh pelaku usaha mengetahui adanya PPUS yang diselenggarakan oleh PEMDA di kabupaten mereka minimal satu program dan mereka pun telah mengikuti minimal satu program yang diselenggarakan oleh PEMDA. Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga keuangan formal yang ada, pengenalan dan pelatihan prosedur pengajuan aplikasi kredit (syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur). Dalam era otonomi daerah, diharapkan akan lebih banyak lagi kegiatan yang difasilitasi oleh PPUS sehingga pengangguran di kabupaten/kota diharapkan akan berkurang. Perubahan_pengangguran (%) Uji Spearman P-Value= 0,005 Bermanfaat(3) Sangat Bermanfaat(4) Gambar 12 Scatterplot manfaat PPUS dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar dengan Pengangguran Sumber: Data olahan

10 Perubahan_pengangguran(%) Uji Spearman P-Value= 0,028 Bermanfaat(3) Sangat Bermanfaat (4) Pelatihan pengajuan kredit Gambar 13 Scatterplot pelatihan pengajuan kredit bagi UKM dengan Pengangguran Sumber: Data olahan Indikator-indikator dalam tata kelola ekonomi daerah yang signifikan baik negatif maupun positif dengan indikator kinerja perekonomian daerah di atas mengambarkan korelasi antara variabel-variabel dan merupakan indikasi awal dari suatu fenomena. Indikator dalam tata kelola ekonomi daerah di suatu daerah boleh saja buruk tetapi indikator yang baik yang merupakan daya tarik bagi daerah tersebut. Hubungan Total Indeks TKED dengan PDRB per Kapita, Pengangguran dan Kemiskinan Tata Kelola Ekonomi Daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tengah telah dibuat indeks oleh KPPOD pada tahun Seluruh variabel tata kelola ekonomi daerah diagregasi menjadi sebuah indeks tata kelola ekonomi daerah. Pembuatan indeks ini melalui beberapa cara, yakni tahap normalisasi, perhitungan sub indeks dan perhitungan indeks melalui pembobotan tiap variabel. Selain itu, ada sembilan indikator yang dibuat sub-indeks, yaitu indikator akses lahan, izin usaha, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas pemimpin daerah, Biaya Transaksi, infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik dan peraturan daeah. Untuk analisis hubungan antara nilai total indeks dari 9 indikator TKED, indikator PERDA dimasukkan dalam analisis ini karena yang dipakai adalah nilai total indeks yang telah ada dalam hasil laporan KPPOD tahun Penelitian ini tidak hanya melihat korelasi dari masing-masing sub indikator dalam TKED tetapi juga perlu dilihat korelasi secara keseluran antara nilai total indeks TKED dengan kinerja perekonomian daerah, hasil dari korelasi tersebut terlihat pada Gambar 14,15 dan 16. Dari ketiga gambara tersebut menunjukkan bahwa indeks TKED tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan PDRB perkapita, Pengangguran dan Kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Dari sembilan indikator, tidak satupun indikator yang berhubungan signifikan dengan PDRB Perkapita. Demikian juga dengan Pengangguran dan Kemiskinan tidak berhubungan signifikan. Scatterplot PDRB Perkapita dengan 9 indeks TKED menunjukkan untuk PDRB Perkapita ada 2 indikator yang memiliki kemiringan (slope) yang cenderung landai yaitu indikator integritas dan kapasitas bupati/walikota dan PPUS, untuk Pengangguran indikator TKED yang memiliki kemiringan

11 PDRBperka landai yaitu akses lahan, infrastruktur, biaya transaksi dan PPUS. Adapun untuk kemiskinan indikator TKED yang memiliki kemiringan landai adalah perizinan usaha, biaya transaksi, integritas/kapasitas bupati/walikota, PPUS dan keamanan dan penyelesaian konflik. Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berupa lebih dari 90 pertanyaan dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks. Pertanyaan yang menjadi variabel memiliki berbagai skala, baik nominal, ordinal maupun interval. Oleh karena itu, dalam melakukan analisisnya lebih tepat menggunakan analisis atau uji yang berbeda-beda, disesuaikan dengan skala masing-masing. Dengan demikian, akan terlihat variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan sehingga diperoleh rekomendasi kebijakan yang tepat. PDRB perkapita vs TKED A kses Lahan Infrastruktur Perizinan Usaha PERDA Biay a Transaksi Integritas/Kapasitas Bupati/Wal Interaksi PEMDA & Pelaku Usaha PPUS Keamanan & Peny elesaian Konflik Gambar 14 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita.

12 kemiskinan (%) pengangguran (%) Pengangguran vs TKED A kses Lahan Infrastruktur Perizinan Usaha PERDA Biay a Transaksi Integritas/Kapasitas Bupati/Wal Interaksi PEMDA & Pelaku Usaha PPUS Keamanan & Peny elesaian Konflik Gambar 15 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan Pengangguran. Kemiskinan vs TKED A kses Lahan Infrastruktur Perizinan Usaha PERDA Biay a Transaksi Integritas/Kapasitas Bupati/Wal Interaksi PEMDA & Pelaku Usaha PPUS Keamanan & Peny elesaian Konflik Gambar 16 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan kemiskinan. Sumber: Data olahan

13 Analisis Terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Kemiskinan Data hasil regresi antara Pertumbuhan, pengangguran dan kemiskinan terhadap belanja belanja modal dan investasi serta indikator TKED merupakan hasil model yang terbaik setelah dilakukan berbagai macam uji dan memenuhi asumsi klasik (lampiran 20). Dari hasil output untuk regresi antara Pertumbuhan terhadap belanja modal dan investasi, serta indikator TKED. Untuk mendapatkan model yang terbaik, maka dilakukan regresi dengan peubah bebas kualitatif dengan 2 kategori (yang berinteraksi dengan peubah bebas lainnya). Metodenya adalah dengan menambahkan suatu peubah bebas baru yang merupakan perkalian antara 2 peubah bebas yang berinteraksi. Dalam model ini peubah bebas yang berinteraksi adalah belanja modal yang berinteraksi dengan dummy kabupaten dan investasi yang berinteraksi dengan dummy kabupaten. Tabel 4 Hasil estimasi parameter persamaan LnPDRBKap kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-statistik Intersept Dkab LnBelanja Modal Dkab*LnBelanja Modal Lama perbaikan listrik Manfaat PPUS Pelatihan pengkredit Perbaikan PDAM R 2 = F-Hitung= DW= Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD Dari hasil estimasi output, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah adalah Dkabupaten, Dkab*BM, serta varibel tata kelola ekonomi daerah yaitu lama perbaikan listrik. Dari hasil output regresi PDRB perkapita, koefisien variabel Dkabupaten sebesar - 0,248 yang berarti bahwa terdapat perbedaan PDRB perkapita antara di kabupaten dan kota. PDRB perkapita di kabupaten lebih kecil daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama. Pengaruh belanja modal terhadap PDRB perkapita di kabupaten sebesar 0,022 (Tabel 4). Hasil pendugaan model ini sesuai fakta bahwa PDRBKap di Kabupaten Donggala lebih rendah dibandingkan PDRBKap di Kota Palu, tetapi persentase alokasi belanja modal di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu. Hal ini dikarenakan tata kelola ekonomi daerah di Kabupaten Donggala lebih baik daripada di Kota Palu dan hal ini juga ditunjang oleh proses perencanaan dan penganggaran Kabupaten Donggala yang lebih baik dibandingkan Kota Palu terutama dalam prioritas anggaran. Dalam hal ini, belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menambah aset tetap misalnya membuat gedung, perbaikan jalan maupun belanja tanah terbukti dapat memberikan efek yang besar dalam perekonomian. Semakin banyak belanja modal yang dilakukan pemerintah, semakin cepat perekonomian

14 tumbuh sehingga kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Syarat fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan perbaikannya oleh pemerintah daerah diharapkan akan memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakatnya. Kecilnya pengaruh belanja modal terhadap PDRB perkapita mengindikasikan kurangnya perhatian pemerintah kabupaten/kota akan pentingnya alokasi belanja modal. Lebih disayangkan lagi dalam wawancara dengan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah masih banyak pemangku kepentingan yang salah menafsirkan arti dari belanja modal dalam hal ini banyak anggaran yang dikeluarkan untuk alokasi belanja ini yang tidak tepat sasaran karena bukan dibelanjakan untuk objek pembangunan, tetapi masih banyak yang dialokasikan ke subjek dalam hal ini untuk aparat SKPD sendiri contohnya pembelian perangkat elektronik untuk penunjang misalnya pembelian laptop dan perangkat ini akan berpindah tangan jika pemangku kepentingan akan dimutasi ke tempat lain. Selanjutnya, variabel TKED lama perbaikan listrik berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita. Variabel ini juga signifikan terhadap pengangguran dan kemiskinan. Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki infrastruktur termasuk perbaikan listrik dalam indikator yang ditetapkan oleh KPPOD, pelaku usaha yang menjadi responden survei adalah yang melakukan aktivitas usaha pada sektor usaha jasa, industri pengolahan, dan pedagangan. Untuk sektor perdagangan yang banyak adalah sektor perdagangan informal yang sangat membutuhkan listrik untuk menjalankan usahanya pada malam hari. Kondisi di Kota Palu, pelaku usaha jarang membuka usahanya baik formal maupun informal di malam hari dalam jangka waktu yang lama karena buruknya infrastruktur listrik berdampak pada kurangnya jaminan keamanan baik pada pelaku usaha maupun pada konsumen. Akibatnya banyak pelaku usaha hanya membuka sampai pada pukul Di kabupaten Banggai, pelaku usaha hanya membuka usahanya sampai pada jarak 5 km dari pusat Kota. Akibatnya, pekerja termasuk penjaga toko yang mendapat shift waktu bekerja pada pukul hingga mengganggur bahkan ada pekerja yang harus kehilangan pekerjaan karena ketatnya persaingan, di bidang jasa perdagangan ini. Hal ini diperburuk oleh situasi di Sulawesi Tengah, kecenderungan lulusan perguruan tinggi menjadi PNS sangat besar karena tidak adanya alternatif lain seperti industri. Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki instalasi listrik di sekitar tempat usaha responden selama di tahun 2009 paling lama di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 34 hari, di Kota Palu selama 14 hari dan di Kabupaten Donggala hanya 8 hari. Kota Palu sebagai ibukota Provinsi seharusnya sudah tidak lagi mengalami masalah listrik karena ketersediaan fasilitas listrik yang memadai. Namun, adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kelurahan Mpanau bukan merupakan solusi akhir karena PLTU membutuhkan input batubara yang berasal dari Kalimantan. Ini memerlukan perencanaan matang dalam pembelian batubara bagi penggunaan pada bulan mendatang. Ditambah perjalanan transportasi batubara via laut sering mengalami gangguan cuaca seperti gelombang tinggi di perairan Selat Makassar dan Laut Sulawesi. Dari tabel 5 dan 6 dapat dilihat hasil output faktor-faktor yang mempengaruhi pengangguran dan kemiskinan

15 Tabel 5 Hasil estimasi parameter persamaan pengangguran kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-statistik Intersept Dkab LnBelanja Modal LnInvestasi Dkab*LnInvestasi Kondisi lampu jalan Lama perbaikan listrik Manfaat PPUS Pelatihan pengkredit Perbaikan PDAM R 2 = F-Hitung= DW= Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD Tabel 6 Hasil estimasi parameter persamaan perubahan kemiskinan kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-statistik Intersept Dkab LnBelanja Modal LnInvestasi Kondisi lampu jalan Lama perbaikan listrik Manfaat PPUS Pelatihan pengkredit Perbaikan PDAM R 2 = F-Hitung= DW= Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD Dari hasil estimasi output, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap pengangguran adalah Dkab, belanja modal, investasi, Dkab*lninvestasi serta indikator tata kelola ekonomi daerah yaitu lama perbaikan listrik. Faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah Dkab, belanja modal, investasi, dan indikator TKED yaitu kondisilampu_jalan, lama perbaikan listrik, manfaat PPUS, lama perbaikan PDAM. Koefisien variabel Dkab yang negatif signifikan mengindikasikan bahwa pengangguran di kabupaten lebih rendah daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama. Pengaruh investasi di kabupaten terhadap pengangguran sebesar -0,050 (-0, ,109) yang berarti bahwa pengaruh investasi di kabupaten lebih besar dibandingkan di kota sehingga pengaruhnya dalam menurunkan pengangguran di kabupaten lebih tinggi dibanding di kota, penurunan pengangguran di Kabupaten Donggala lebih rendah dibandingkan di Kota Palu, hal ini dikarenakan tata kelola ekonomi daerah di Kabupaten Donggala lebih baik dan dalam prioritas anggaran juga lebih baik walaupun investasi di

16 Kabupaten Donggala masih kurang dibandingkan investasi di Kota Palu. (Tabel 5). Pengangguran di kota lebih tinggi dibanding di kabupaten, hal ini disebabkan oleh adanya migrasi penduduk yang mencari kerja di kota. Dalam model pengangguran di atas variabel investasi, peningkatan investasi juga meningkatkan pengangguran hal ini disebabkan investasi yang ada adalah investasi padat modal. Variabel Dkabupaten yang signifikan terhadap kemiskinan sebesar 0,103 yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara kemiskinan di kabupaten dan kota. Kemiskinan di kabupaten lebih tinggi daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama (tabel 6). Kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu tetapi karena alokasi Belanja Modal di Kabupaten Donggala lebih baik serta tata kelola ekonomi daerah juga lebih baik daripada di Kota Palu sehingga penurunan kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibanding di Kota Palu. Untuk variabel tata kelola ekonomi daerah yang mempunyai pengaruh signifikan dengan pengangguran dan kemiskinan. TKED yang signifikan terhadap pengangguran adalah lama perbaikan listrik, variabel TKED lainnya yang signifikan terhadap kemiskinan adalah manfaat PPUS yang menghubungkan pelaku usaha skala kecil-sedang dan besar. Variabel manfaat PPUS berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Semakin banyak interaksi antara pelaku usaha kecil sedang dan besar semakin banyak informasi dan hal-hal lain yang dapat diperoleh dari pelaku usaha yang telah sukses dan memberikan atau menyebarluaskan keberhasilannya kepada pelaku usaha lain yang masih membutuhkan dan memerlukan informasi guna kemajuan usahanya, maka akan semakin banyak hal-hal yang berguna yang dapat didapatkan sehingga dapat meningkatkan usahanya dan dapat meningkatkan pendapatannya. Kabupaten Banggai telah memiliki PPUS yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil-menengah dan pengusaha besar. Dengan demikian, antara pelaku usaha tersebut telah terjalin komunikasi horizontal dan saling bertukar informasi pengalaman dalam usaha. Di samping itu, antara UMKM dan pengusaha mapan dapat menekan biaya transaksi dan biaya informasi walaupun tidak dilakukan secara resmi dalam kawasan ekonomi khusus seperti pada zona industri. Konsekuensinya, daya serap tenaga kerja semakin besar sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat di Kabupaten Banggai. Data aktual Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa masih ada 9.98% penduduk miskin dari total penduduk Kota Palu. Pada tahun 2012, sesuai data yang bersumber dari Unit Penetapan Sasaran Penanggulangan Kemiskinan Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, penduduk miskin di Kota Palu berjumlah jiwa tercakup dalam kepala keluarga. Dari jumlah tersebut, proporsi terbesar berada di Kecamatan Palu Barat yang mencapai jiwa (31.27%) disusul oleh Kecamatan Palu Selatan mencapai jiwa (27.56%), Palu Utara mencapai jiwa serta Palu Timur mencapai jiwa. Sampai tahun 2012, penduduk miskin yang tidak bekerja mencapai jiwa yang proporsinyamencapai 69.50% dari penduduk miskin. Penganggur inilah dapat menjadi masalah utama Kota Palu seperti rawan konflik horizontal, rawan terjerumus dalam kejahatan, dan masalah sosial lainnya. Penduduk miskin yang bekerja di sektor bangunan/konstruksi menempati posisi kedua setelah penduduk miskin penganggur yang mencapai jiwa. Sedangkan penduduk miskin yang bekerja di sektor pertambangan/penggalian hanya mencapai 753 jiwa atau 1.02% dari penduduk miskin. Jadi tidak beralasan bagi Pemerintah Kota Palu untuk tidak segera menutup area pertambangan Poboya apalagi dipenuhi oleh pendatang dari luar Kota Palu. Masih ada jiwa anak penduduk miskin yang tidak bersekolah dari anak penduduk miskin. Ini seharus menjadi program utama bagi Dinas Pendidikan Kota Palu mendatanya dan menyekolahnya melalui Sistem Pendidikan Berbasis Partisipasi Masyarakat. Jumlah orang cacat pada masyarakat miskin mencapai 659 jiwa dengan proporsi terbanyak di Kecamatan Palu Barat yang mencapai 191 jiwa. Terdapat rumah tangga atau 44.55% rumah tangga miskin

17 menggunakan sumber air yang tidak terlindungi. Sisanya menggunakan air kemasan, air ledeng, sumber air terlindungi. Hambatan peningkatan mutu sumber daya manusia di Kabupaten/Kota, terutama di daerah perdesaan dan pedalaman, adalah terbatasnya tenaga pendidik dan tenaga kesehatan yang berkualitas, belum meratanya penyebaran tenaga pendidik dan tenaga kesehatan, dan terbatasnya prasarana dan sarana transportasi. Akibatnya, Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Tengah tidak pernah berada di bawah peringkat 22 dari 33 provinsi di Indonesia. Variabel TKED lainnya yang berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan adalah ratarata hari yang diperlukan untuk memperbaiki infrastruktur (yang berada di sekitar wilayah usaha responden) yang mengalami kerusakan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya di tahun 2009 (air PDAM). Dari seluruh Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tengah Kota Palu merupakan lokasi yang paling lama waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki kerusakan PDAM di sekitar lokasi usaha responden, selama 23 hari waktu dibutuhkan untuk hal ini, banyak masalah yang ada di Kota Palu terkait infrastruktur khususnya PDAM, sumber PDAM yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Palu yaitu yang bersumber dari PDAM uwe lino dan PDAM Poboya. Mata air yang ada di PDAM uwe lino sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota karena debitnya yang berkurang. Untuk itu, banyak masyarakat yang sampai membutuhkan PDAM poboya. Di lain pihak, PDAM Poboya itu sendiri mempunyai masalah yang sangat krusial bagi kesehatan karena mata airnya telah terkontaminasi oleh merkuri yang diakibatkan oleh adanya penambangan liar di sekitar mata air PDAM Poboya. Sedangkan PDAM uwe lino masih bermasalah dengan manajemen kepemilikan. Di masa lalu, PDAM uwe lino dimiliki oleh PDAM Kabupaten Donggala karena saat itu, ibukota Kabupaten Donggala berada di Palu. Setelah desentralisasi, ibukota Kabupaten Donggala pindah ke Banawa sekitar 37 km dari Kota Palu. Adanya kerusakan infrastruktur PDAM menyebabkan daya beli masyarakat semakin berkurang karena harus membeli air lainnya baik melalui truck PDAM Donggala maupun Kota Palu atau pada depot isi ulang bagi kebutuhan air minum. Saat ini, karena sumber PDAM di Poboya telah tercemar merkuri, kebutuhan masyarakat pada air minum semakin besar yang otomatis menambah pengeluaran rumah tangga. Ada kecenderungan penduduk Kota Palu tidak lagi mengkonsumsi air tanah kecuali melalui depot air isi ulang karena ketakutan pada publikasi hasil penelitian para ahli asing (Jepang) dan Universitas Tadulako yang menyatakan kadar merkuri di udara Kota Palu dan dalam tanah telah berada di atas ambang batas toleransi. Dari model pengangguran dan kemiskinan, dapat dikatakan bahwa kemiskinan di kabupaten lebih tinggi dibanding di kota, tetapi pengangguran lebih tinggi di kota dibanding di kabupaten. Walaupun kemiskinan lebih tinggi di kabupaten, tetapi karena tata kelola ekonomi daerah yang lebih baik sehingga penurunan kemiskinan lebih tinggi di kabupaten dibanding di kota, walaupun investasi di kota lebih banyak dibanding di kabupaten. Selain itu, pengangguran di Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah diharapkan akan menurun melalui program-program yang bersentuhan langsung pada masyarakat miskin. Adapun program-program penanggulangan kemiskinan yang pernah dan sedang berjalan di kabupaten/kota yaitu Inpres Daerah Tertinggal, Kredit Usaha Tani, Sulawesi Agriculture Area and Development Project, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Program Pengembangan Kecamatan, Jaringan Pengaman Sosial, Marine Coastal Resource Management Project, Central Sulawesi Integrated Agriculture and Developement Conservation Project, Community Action Plan, Program Pengurangan Subsidi dan terakhir adalah program PNPM-Perkotaan yang peluncurannya dilakukan di Kota Palu oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pada 30 April Program-program tersebut telah banyak sumbangsihnya dalam masalah pengentasan kemiskinan perkotaan maupun lebih ke kecamatan-kecamatan.

18 Data BPS menunjukkan bahwa nilai ICOR Kota Palu tahun 2010 sebesar 0,35. Hal ini berarti bahwa untuk menambah PDRB rill sebanyak 1 unit, maka perlu penambahan barang modal baru sebesar 0,35 unit. Kecilnya nilai ICOR ini menunjukkan bahwa investasi yang ada di Kota Palu sangat kecil. Di lain pihak, kecilnya nilai ekspor terhadap total PDRB. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan Kota Palu yang nilainya sebesar 7,79% di tahun 2010 bukan merupakan pencapaian dari sumbangan investasi maupun ekspor yang besar, tetapi hanyalah dorongan konsumsi masyarakat semata yang nihil produktif, tak berkualitas dan tanpa dampak berganda kepada penduduk miskin, dengan meletakkan skala prioritas utama pada ekonomi sebagai pilar pembangunan. Laju pertumbuhan yang tinggi selama ini seharusnya diikuti oleh distribusi dan pemerataan. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kota Palu belum dapat dikatakan berjalan baik karena terjadi anomali pertumbuhan di Kota Palu karena didorong oleh tinggi permintaan yang selanjut mendorong peningkatan konsumsi sehingga sewaktu-waktu mendorong harga barang-barang tertentu khususnya menjelang idul fitri dan natal. Di sisi lain, hasil-hasil pertanian di daerah belakang Kota Palu tidak dipasarkan di kota ini melainkan langsung diantardaerahkan atau diantarpulaukan ke wilayah lain seperti Makassar dan Kalimantan Timur. Pengalaman ini terjadi pada Agustus 2012 sehingga tingkat inflasi di Kota Palu tertinggi di Indonesia yang mencapai 2.81% yang didorong oleh peningkatan besar pada harga ikan segar dan sayur-mayur (Palu Ekspres: Senin, 24 September 2012). Konsekuensinya, hal ini akan mengurangi daya beli masyarakat dan mendorong peningkatan penduduk yang nyaris miskin. Tata kelola pemerintahan daerah sebagai salah satu bentuk intervensi Pemerintah Daerah di era desentralisasi fiskal, pada dasarnya merupakan support system yang menjamin penyelenggaraan administrasi dan perumusan kebijakan dilakukan dengan transparan dan akuntabel. PEMDA seyogyanya menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih baik, seperti berinteraksi secara intensif dengan para pelaku usaha dan stakeholders lainnya untuk dapat mengakomodir kebutuhan para pelaku usaha, serta mengambil kebijakan yang mendukung pengembangan sektor swasta. Kinerja Perekonomian Daerah dipengaruhi oleh indikator TKED melalui variabel investasi, hal ini dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya investasi di daerah selain TKED sangatlah banyak dan jika dihubungkan dengan indikator TKED hanyalah bahagian kecil dari faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di suatu daerah secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Santi (2012) yaitu keterkaitan antara TKED dengan investasi kabupaten/kota di Jawa Timur. Hasil yang diperoleh adalah dengan banyaknya variabel yang berhubungan negatif secara nyata, tidak langsung dapat disimpulkan bahwa tata kelola yang buruk justru meningkatkan investasi, karena faktor penentu investor dalam menanamkan modal bukan hanya dari 1 unsur tata kelola saja, akan tetapi banyak unsur tata kelola yang lain. Korelasi antara variabel tata kelola dengan realisasi PMA dan PMDN pada dasarnya hanya hubungan sederhana dan merupakan deteksi awal fenomena. Pada kenyataannya, di satu kabupaten dapat saja terjadi satu unsur tata kelola memang buruk, namun tata kelola lainnya sangat baik. Unsur tata kelola yang baik ini yang lebih menarik investor. Data yang diperoleh dari financial times Ltd yang mempengaruhi investasi antara lain: Potensi pertumbuhan pasar domestik; Kedekatan dengan pasar atau pelangan; Peraturan atau iklim usaha; Ketersediaan tenaga kerja terampil; Infrastruktur; Klaster industri; Kualitas hidup; Biaya yang murah; Sumberdaya alam. Selain itu investor cenderung melihat faktorfaktor yang berkaitan dengan bagaimana mereka akan dapat beroperasi di negara asing antara lain: Peraturan yang berkaitan dengan investor asing, standar pengobatan bagi investor asing, fungsi dan efisiensi pasar lokal, kebijakan perdagangan dan privatisasi, langkah-langkah dan fasilitasi bisnis seperti promosi investasi; insentif; perbaikan fasilitas dan langkah lainnya untuk mengurangi biaya dalam melakukan bisnis, pembatasan dalam hal laba atau

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 83 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 2007 dan 2010

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 2007 dan 2010 79 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 27 dan 21 Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah kabupaten/kota

Lebih terperinci

5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah

5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah 5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah Seiring dengan tuntutan pemangku kepentingan terutama dari pemerintah daerah dalam hal efektifitas reformasi kebijakan yang harus dilakukan yang memiliki dampak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Batas Admistrasi Sumber : Provinsi Sulawesi Tengah Dalam Angka, 2016 Gambar 4.1 Peta wilayah Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAKORNIS KOPERASI & UKM, KERJASAMA, PROMOSI DAN INVESTASI SE-KALIMANTAN BARAT

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAKORNIS KOPERASI & UKM, KERJASAMA, PROMOSI DAN INVESTASI SE-KALIMANTAN BARAT 1 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAKORNIS KOPERASI & UKM, KERJASAMA, PROMOSI DAN INVESTASI SE-KALIMANTAN BARAT Selasa, 6 Mei 2008 Jam 09.00 WIB Di Hotel Orchard Pontianak Selamat

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi 4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU www. luwukpos.blogspot.co.id I. PENDAHULUAN Otonomi daerah secara resmi telah diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 2001. Pada hakekatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan. berlangsung dalam jangka panjang (Suryana:2000).

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan. berlangsung dalam jangka panjang (Suryana:2000). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi ini mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR 1.5 Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah daratan (tidak memiliki wilayah laut) yang berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sebagai suatu proses berencana dari kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan tersebut bertujuan

Lebih terperinci

V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA 5.1 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan dengan Penyediaan Infrastruktur di Indonesia Hubungan antara tata kelola pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia Oleh: Rahmasari Istiandari Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, setiap Pemda diberikan kewenangan dan peran aktif membangun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2012

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2012 No.63/11/72/Th. XV, 5 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2012 AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Sulawesi Tengah Agustus 2012 mencapai 1.213.063

Lebih terperinci

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM MENGAKSELERASI PROGRAM PANGAN BERKELANJUTAN DAN PENINGKATAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh:

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh: KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT. Definisi Air Minum menurut MDG s adalah air minum perpipaan dan air minum non perpipaan terlindung yang berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii DAFTAR ISI PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... 2 1.3. Hubungan Antar Dokumen...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA PALU DT - TAHUN

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA PALU DT - TAHUN DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Palu Menurut Kecamatan Tahun 2015.. II-2 Tabel 2.2 Banyaknya Kelurahan Menurut Kecamatan, Ibu Kota Kecamatan Dan Jarak Ibu Kota Kecamatan Dengan Ibu Kota Palu Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU. I. Latar Belakang

Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU. I. Latar Belakang Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU I. Latar Belakang Penerapan otonomi daerah pada tahun 2001 telah membawa perubahan yang cukup berarti bagi kondisi ekonomi di Propinsi Riau. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

Boks 2. Ketahanan Pangan dan Tata Niaga Beras di Sulawesi Tengah

Boks 2. Ketahanan Pangan dan Tata Niaga Beras di Sulawesi Tengah Boks 2. Ketahanan Pangan dan Tata Niaga Beras di Sulawesi Tengah Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk Sulawesi Tengah dengan padi, kakao, kelapa, cengkeh dan ikan laut sebagai komoditi

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H14051312 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995 : 16), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah daerah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam kelembagaan (institusi)

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan,

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan, CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP 2013 A. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September 2011 sebesar 29,89 juta orang (12,36 persen).

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2013 No.64/II/72/Th. XVI, 6 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2013 AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,27 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Sulawesi Tengah Agustus 2013 mencapai 1.228.337

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pengaruh yang cukup luas pada tata kehidupan masyarakat, baik secara nasional

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pengaruh yang cukup luas pada tata kehidupan masyarakat, baik secara nasional BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah secara langsung maupun tidak langsung telah membawa pengaruh yang cukup luas pada tata kehidupan masyarakat, baik secara nasional maupun lokal. Namun

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pengelolaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dalam Peraturan Daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang diarahkan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Keberhasilan sebuah pemerintah

Lebih terperinci

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) BADAN PUSAT STATISTIK No. 69/12/72/ Th. XVI, 2 Desember 2013 HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) RUMAH TANGGA PETANI GUREM TAHUN 2013 SEBANYAK 74,07 RIBU RUMAH TANGGA, NAIK 5,92 PERSEN DARI TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

(Laporan Kinerja Instansi Pemerintah) LKIP 2016 BAB I PENDAHULUAN

(Laporan Kinerja Instansi Pemerintah) LKIP 2016 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran Singkat Organisasi Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Kabupaten Sumedang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi Perangkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2014 No.65/11/72/Th. XVII, 05 November 2014 AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Sulawesi Tengah Agustus 2014 mencapai

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Asesmen Ekonomi Perekonomian Kepulauan Riau (Kepri) pada triwulan II-2013 mengalami pelemahan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 No. 30/05/72/Th. XX, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI SULAWESI TENGAH Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi

Lebih terperinci

BY IHSAN BASIR DISNAKERTRANS PROV. SULAWESI TENGAH

BY IHSAN BASIR DISNAKERTRANS PROV. SULAWESI TENGAH KESELARASAN DAN SINERGI PROGRAM PADAT KARYA TERKAIT DENGAN RESPON KEBIJAKAN DALAM MENDUKUNG HASIL PERTUMBUHAN INKLUSIF DARI DAERAH PEDESAAN DI SULAWESI TENGAH BY IHSAN BASIR DISNAKERTRANS PROV. SULAWESI

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bahwa dalam rangka penyusunan Rancangan APBD diperlukan penyusunan Kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, masalah kemiskinan telah menjadi masalah internasional, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah satu tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 34 provinsi yang kini telah tumbuh menjadi beberapa wacana

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 34 provinsi yang kini telah tumbuh menjadi beberapa wacana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki 34 provinsi yang kini telah tumbuh menjadi beberapa wacana untuk mendirikan provinsi-provinsi baru di Indonesia. Pembentukan provinsi baru ini didasari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Perencanaan Wilayah Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah berhak untuk membangun wilayahnya sendiri. Pembangunan yang baik tentunya adalah pembangunan yang terencana.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai peranan investasi pemerintah total dan menurut jenis yang dibelanjakan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia

Lebih terperinci

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris di Wilayah Karesidenan Surakarta)

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris di Wilayah Karesidenan Surakarta) PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris di Wilayah Karesidenan Surakarta) NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 62 SERI E

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 62 SERI E BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 62 SERI E PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 1158 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENYEDIAAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN (RAD AMPL)

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH... II Aspek Geografi Dan Demografi... II-2

DAFTAR ISI. BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH... II Aspek Geografi Dan Demografi... II-2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI Hal DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xix BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-4 1.3. Hubungan Antar Dokumen RPJMD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

Lebih terperinci