BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Taeniasis sp. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat terinfeksi Taenia sp. akibat perjalanan yang dilakukan di daerah endemis. Menurut Tolan (2011), semua usia rentan terhadap infeksi taeniasis. Usia di mana konsumsi daging mentah dimulai adalah faktor yang menentukan usia infeksi. Taeniasis solium dilaporkan terjadi pada anak usia 2 tahun di Mexico (Yanez, 2001). Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat ditemukan pada seluruh bagian dunia (CFSPH, 2005). Sekitar 50 juta orang di seluruh dunia terinfeksi Taenia saginata dan Taenia solium. Sekitar 2-3 juta orang terinfeksi cacing Taenia solium (White, 1997; CFSPH, 2005), 45 juta orang terinfeksi Taenia saginata, dan sekitar 50 juta orang mengidap sistiserkosis dari Taenia solium (CFSPH, 2005). Taenia solium merupakan infeksi yang endemik pada Amerika Tengah dan Selatan serta beberapa negara di Asia Tenggara seperti Korea (Lee et al., 2010), Thailand (Anantaphruti et al., 2007), India, Filipina, Indonesia, Afrika (Carabin et al., 2009), Eropa Timur, Nepal, Bhutan, dan China (Rajshekhar et al., 2003; WHO, 2009). Prevalensi tertinggi ditemukan pada Amerika Latin dan Afrika. Bahkan, prevalensi beberapa daerah di Mexico dapat mencapai 3,6% dari populasi umum (Tolan, 2011). Bolivia merupakan salah satu negara dengan prevalensi tertinggi selain Brazil, Ekuador, Mexico, dan Peru di America Latin (sesuai dengan kriteria Pan American Health Organization, negara-negara dengan tingkat lebih dari 1% dianggap memiliki tingkat prevalensi tinggi) (Yanez, 2001). Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk merupakan masyarakat beragama muslim dan tidak mengkonsumsi daging babi. Namun, ada beberapa daerah, seperti Bali dan Papua, yang banyak mengkonsumsi

2 daging babi. Sampai saat ini, Papua masih menjadi daerah endemik taeniasis dan sistiserkosis (Handojo dan Margono, 2008b). Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya, memiliki prevalensi taeniasis solium sebesar 15% (Subahar et al., 2005). Sedangkan di Bali, dahulu merupakan daerah endemis bagi taeniasis dan sistiserkosis, telah dilakukan penghentian transmisi dari sistiserkosis (WHO, 2009). Prevalensi infeksi Taenia saginata berbeda dengan Taenia solium, infeksi tertinggi Taenia saginata terdapat pada Asia Tengah, sekitar Asia Timur, Afrika Tengah, dan Afrika Timur (lebih dari 10%). Daerah dengan prevalensi infeksi 0,1% hingga 10% seperti negara pada daerah Asia Tenggara seperti Thailand, India, Vietnam, dan Filipina. Daerah dengan prevalensi rendah (sekitar 1% penderita) seperti beberapa negara di Asia Tenggara, Eropa, serta Amerika Tengah dan Selatan (Sheikh, et al., 2008; Del Brutto, 2005). Epidemiologi sistiserkosis tidak jauh berbeda dengan epidemiologi dari Taenia sp.. Distribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas. Lebih dari 50 juta orang menderita sistiserkosis, namun jumlah ini masih diyakini melebihi jumlah yang sebenarnya (White, 1997; Wiria, 2008). Sekitar ribu orang meninggal per tahun akibat komplikasi sistiserkosis pada jantung dan otak (CFSPH, 2005; Tolan, 2011). Prevalensi sistiserkosis akibat Taenia solium paling sering terjadi di Amerika Latin, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika Sub Sahara (CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999; WHO, 2009). Pada orang dewasa yang menderita kejang di Negara seperti Meksiko, setengahnya merupakan penderita neurosistiserkosis. Keadaan serupa ditemukan juga di Afrika, India, dan China bahwa sebagian besar penyakit parasit otak disebabkan oleh neurosistiserkosis (CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999). Telah diketahui bahwa prevalensi neurosistiserkosis di antara penderita kejang pada daerah endemis lebih dari 29% (WHO, 2009). Sistiserkosis dan taeniasis pada Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa merupakan penyakit yang jarang. Prevalensi di Amerika Serikat kurang dari 1% karena kebanyakan ternak pada Amerika Serikat bebas dari parasit (Tolan, 2011). Insidens sistiserkosis pada Amerika Serikat diperkirakan hanya

3 1.000 kasus setiap tahunnya (Tolan, 2011; CFSPH, 2005; Subahar et al., 2005). Adanya insidens pada Amerika Serikat diduga karena peningkatan jumlah imigran dari Meksiko dan negara berkembang lain yang datang ke negara tersebut (White, 1997). Negara-negara di benua Asia, Bhutan, India, Nepal, Thailand, dan beberapa bagian di Indonesia merupakan daerah endemis sistiserkosis (WHO, 2009). Daerah Korea dan Myanmar diduga juga merupakan daerah endemik, namun tidak ada data yang mendukung (WHO, 2009). Prevalensi sistiserkosis pada Papua, di daerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3-66,7% (Subahar et al., 2005) sedangkan di Sumatera Utara, prevalensi taeniasis dan sistiserkosis sejak tahun dilaporkan berkisar antara 1,9% sampai 2,29% (Simanjuntak dan Widarso, 2004). Pada penelitian epidemiologi yang diadakan tahun 2003 sampai 2006 oleh Wandra, dari 240 orang menunjukkan 2,5% positif terinfeksi Taenia asiatica. Pada tahun 2003, dijumpai 2 orang positif dari 58 orang (3,4%), sedangkan pada tahun 2005 ditemukan 4 dari 182 orang positif (2,2%) (Wandra et al., 2007) Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Sapi Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Unger et al. (2008) dengan menggunakan metode inspeksi daging di Gambia, diketahui bahwa temuan sistiserkus dari Taenia saginata mencapai 0.75% dari ternak yang diperiksa. Sementara penelitian Kebede et al. (2009) dengan sampel sebanyak ternak menunjukkan 7,5% ternak terinfeksi sistiserkus Taenia saginata. Tabel berikut merupakan angka temuan sistiserkus pada sapi pada penelitian lainnya.

4 Tabel 2.1 Angka Temuan C. bovis pada Penelitian di Negara Lain Negara/Lokasi % Metode Sumber Gambia 0,75 Inspeksi daging Unger et al., ,2 ELISA Ethiopia Inspeksi Kebede et al., ,5 dan Insisi daging Ethiopia 4,4 Inspeksi daging Megersa et al., Kenya 2,5 Inspeksi daging Asaava et al., ,7 ELISA Nigeria (Makurdi) 9,2 Inspeksi daging Ofukwu et al., 2009 Jerman 15,6 ELISA Abuseir et al., 2006 Penelitian mengenai sistiserkus Taenia solium di tahun 2002, didapatkan prevalensi sistiserkosis pada babi di China, India, dan Nepal adalah 5,4, 9,3, dan 32,5% (Rajshekhar et al., 2003). Pada penelitian Vazquez-Florez et al. (2001) memeriksa 53 babi dengan metode palpasi lidah dan serologis dengan hasil penelitian tidak ditemukan adanya sistiserkus (0%). Penelitian oleh Gweba et al. (2010) di Itali, memeriksa babi hidup dengan palpasi lidah dan juga pemeriksaan inspeksi daging. Dari penelitian tersebut, didapatkan angka temuan sistiserkus sebesar 5,85% dan 14,4% dari masing-masing pemeriksaan. Penelitian sistiserkosis pada babi yang dilakukan oleh Maitindom (2008) pada Kabupaten Jayawijaya, Papua didapatkan angka prevalensi 77,1%. Selain itu, penelitian lainnya seperti penelitian Suweta (1991) di Bali menunjukkan angka sistiserkosis pada babi sebanyak 0,15%. Pada tabel berikut dapat dilihat angka kejadian sistiserkus pada babi pada penelitian lain. Tabel 2.2 Angka Temuan C. cellulosae pada Penelitian di Negara Lain Negara/Lokasi % Metode Sumber India 22,5 Serologis Selvam et al., ,41 (Indirect Hemmaglutinnin test) Inspeksi daging Brazil 23,5 EITB Sakai et al., 2001 Zambia 56,6 ELISA Phiri et al., ,6 Inspeksi daging Nigeria 20,5 Inspeksi daging Zoli et al., 2003 Zambia 18,5 Inspeksi daging Phiri et al., 2006

5 2.3. Biologi dan Morfologi Taenia sp Biologi dan Morfologi Taenia solium Taksonomi dari Taenia solium (Keas, 1999; CFSPH, 2005; Ideham dan Pusarawati, 2007): Kingdom : Animalia Filum : Platyhelminthes Kelas : Cestoidea Ordo : Cyclophyllidea Famili : Taeniidae Genus : Taenia Spesies : solium Taenia solium (cacing pita babi) merupakan infeksi cacing yang distribusinya kosmopolit. Cacing ini menginfeksi baik manusia dan babi. Manusia biasanya sebagai hospes definitif atau hospes perantara (CFSPH, 2005), sedangkan babi sebagai hospes perantara. Habitat cacing yang telah dewasa di dalam usus halus (jejunum bagian atas) manusia, sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan organ tubuh babi (CFSPH, 2005; Handojo dan Margono, 2008b). Cacing dewasa dari Taenia solium berukuran panjang antara 2-4 meter, dan dapat hidup sampai 25 tahun lamanya (Soedarto, 2008; Garcia et al., 2002). Bentuk dari cacing dewasa seperti pipa, pipih dorsoventral, dan tubuhnya terdiri atas skoleks (kepala), leher, dan strobila yang terdiri dari segmen proglotid (Ideham dan Pusarawati, 2007). Setiap cacing Taenia solium mempunyai segmen yang berjumlah kurang dari 1000 buah (Soedarto, 2008). Skoleks Taenia solium berbentuk bulat, dengan garis tengah 1 mm, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum yang dilengkapi dengan 2 deret kait yang melingkar dan berdiameter 5 mm, masing-masing sebanyak buah (Handojo dan Margono, 2008b). Leher cacing Taenia solium pendek, berukuran panjang antara 5-10 milimeter (Soedarto, 2008). Strobila terdiri dari proglotid yang imatur, matur, dan gravid. Proglotid imatur ukurannya lebih lebar daripada panjangnya, sedangkan

6 proglotid matang berbentuk hampir persegi empat (Ideham dan Pusarawati, 2007) dan berukuran 12 mm x 6 mm (Soedarto, 2008). Dalam proglotid yang matang terdapat testis berupa folikel yang tersebar di seluruh dorsal tubuh dan jumlahnya mencapai Proglotid matang juga mempunyai lubang genital yang terletak di dekat pertengahan segmen. Ovarium terletak di bagian posterior, berbentuk 2 lobus yang simetris dan uterus terletak di tengah seperti gada (Ideham dan Pusarawati, 2007). Pada proglotid gravid, terdapat 5-10 cabang lateral dari uterus di tiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan dalam bentuk rantai yang terdiri atas 5-6 segmen setiap kali dilepaskan (Soedarto, 2008) Biologi dan Morfologi Taenia saginata Taksonomi dari Taenia saginata (Keas, 1999, Ideham dan Pusarawati, 2007): Kingdom : Animalia Filum : Platyhelminthes Kelas : Cestoidea Ordo : Cyclophyllidea Famili : Taeniidae Genus : Taenia Spesies : saginata Habitat cacing ini dalam tubuh manusia terletak pada usus halus bagian atas. Cacing dewasa dapat hidup di dalam usus manusia sampai 10 tahun lamanya (Soedarto, 2008). Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5 meter atau kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai dengan 20 tahun, bahkan lebih (CFSPH, 2005). Skoleks berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan mempunyai 4 alat isap (sucker). Tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks. Leher Taenia saginata berbentuk sempit memanjang, dengan lebar sekitar 0,5

7 milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur (Handojo dan Margono, 2008a). Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen, mempunyai cabang di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen gravid Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan segmen gravid cacing pita babi (CFSPH, 2005) Biologi dan Morfologi Sistiserkus Sistiserkus adalah fase istirahat larva Cestoda yang terdapat di dalam tubuh hospes perantara, dan terdiri atas kantung tipis yang dindingnya mengandung skoleks, dan rongga di tengahnya berisi sedikit cairan jernih (Soedarto, 2008; Garcia et al., 2002). Sistiserkosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh sistiserkus, yaitu larva atau fase metacestoda cacing pita. Sistiserkus atau larva Taenia solium biasanya ditemukan pada ternak babi (Cysticercus cellulosae), sapi (Cysticercus bovis) dan kadang-kadang ditemukan pada manusia (C. cellulosae). Sistiserkosis ditandai dengan adanya kista pada otot skeletal dari hospes. Sistiserkosis juga dapat terjadi pada sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) (CFSPH, 2005). Kista Cysticercus bovis panjangnya berukuran 6 sampai 9 mm, dan diameternya sekitar 5 mm ketika sudah berkembang sempurna. Kista paling sering dijumpai pada otot masseter, jantung, dan pillar dari diafragma, walaupun mungkin pada hewan yang berat terinfeksi mungkin ditemukan pada otot skeletal (Soedarto, 2008). Kista Cysticercus cellulosae memiliki skoleks terletak di satu sisi kista, terinvaginasi, dan terlihat sebagai nodul opak dengan diameter 4-5 mm (Handojo dan Margono, 2008b). Menurut Garcia et al. (2002), diameter kista hidup berukuran mm. Kista Cysticercus cellulosae mempunyai ukuran dan bentuk

8 sesuai jaringan sekitarnya. Kista ini biasanya ditemukan pada otot lidah, punggung, dan pundak babi (Handojo dan Margono, 2008b). Di otak, kista berbentuk bundar dengan diameter 1 cm. Dapat pula ditemukan kapsul dengan ketebalan bervariasi yang terdiri atas astrosit dan serat kolagen, tetapi kapsul di SSP (Sistem Saraf Pusat) dan mata kurang tebal (Wiria, 2008). Dinding kantong terdiri atas tiga lapis: lapisan kutikula yang terdiri microtriches (lapisan glikokaliks karbohidrat), pseudoepitel dan muskularis, jaringan penghubung longgar, dan jaringan kanalikuli (Wiria, 2008) Siklus Hidup Taenia sp Siklus Hidup Taenia solium Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia pada usus halus (CFSPH, 2005; Handojo dan Margono, 2008b). Cacing dewasa melepaskan segmen gravid paling ujung yang akan pecah di dalam usus sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita (Wandra et al., 2007; Soedarto, 2008; Tolan, 2011). Apabila telur cacing yang matur mengkontaminasi tanaman rumput atau pun peternakan dan termakan oleh ternak seperti babi, telur akan pecah di dalam usus hospes perantara dan mengakibatkan lepasnya onkosfer (Pearson, 2009a; Handojo dan Margono, 2008b). Dengan bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh babi, terutama otot lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak (Ideham dan Pusarawati, 2007; Handojo dan Margono, 2008b; Tolan, 2011). Dalam waktu hari pasca infeksi, onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksius (Soedarto, 2008; Tolan, 2011). Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang masak, yang mengandung larva sistiserkus (Ideham dan Pusarawati, 2007; Wandra et al., 2007; Tolan, 2011). Di dalam usus manusia, skoleks akan mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan, cacing Taenia solium menjadi dewasa dan mampu memproduksi telur. Seekor cacing Taenia solium dapat memproduksi

9 sampai telur setiap hari (Tolan, 2011; Garcia et al., 2003; Garcia et al., 2002; Ideham dan Pusarawati, 2007). Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan terinfeksi jika pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang berembrio atau proglotid gravid (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007). Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium (sistiserkorsis) (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007; Tolan, 2011). Hal ini dapat terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing tersebut dari hasil ekskresi manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi (Tolan, 2011). Namun, teori ini belum dibuktikan (CFSPH, 2005). Jika terdapat cacing pita dewasa pada usus, peristaltik yang berlawanan pada gravid proglotid akan menyebabkan proglotid bergerak secara retrograd dari usus ke lambung (CFSPH, 2005; Ideham dan Pusarawati, 2007). Telur hanya dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi gaster diikuti dengan sekresi usus (CFSPH, 2005) sehingga setelah terjadi peristaltik yang bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding usus, mengikuti aliran kelenjar getah bening atau aliran darah (Soedarto, 2008). Larva selanjutnya akan bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat dan membentuk sistiserkus (Pearson, 2009a; Ideham dan Pusarawati, 2007). Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung dari lokasi sistiserkus (Tolan, 2011). Proglotid dari Taenia solium kurang aktif dibandingkan dengan Taenia saginata sehingga kemungkinan untuk ditemukan pada lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang (CFSPH, 2005) Siklus Hidup Taenia saginata Siklus hidup cacing ini hampir sama seperti cacing pita babi. Hospes definitif Taenia saginata adalah manusia, yang berlaku sebagai hospes perantara adalah sapi atau kerbau. Cacing Taenia saginata menjadi dewasa setelah minggu (sekitar 2 bulan) (CFSPH, 2005; Pearson, 2009b).

10 2.5. Patogenesis dan Patofisiologi Sistiserkosis Sistiserkus hidup hanya menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot hospes selama berminggu-minggu sampai bulanan. Oleh karena itu, kista akan mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun penjamu. Pada hewan yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista kebal terhadap reinfeksi onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan komplemen. Meskipun begitu dalam infeksi alami, respons antibodi dibangun hanya setelah parasit berubah menjadi bentuk metacestoda yang lebih resisten (Wiria, 2008). Metacestoda dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk memproteksi diri dari destruksi yang dimediasi komplemen dengan menghasilkan paramiosin. Paramiosin akan mengikat C1q dan menghambat jalur klasik aktivasi komplemen. Parasit juga akan mensekresikan inhibitor protease serin yang disebut taeniastatin. Taeniastatin dapat menghambat jalur aktivasi klasik atau alternatif, berintegrasi dengan kemotaksis leukosit, dan menghambat produksi sitokin. Sedangkan polisakarida sulfa, yang melapisi dinding kista, mengaktivasi komplemen untuk menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen, dan membatasi jumlah sel radang yang menuju parasit. Antibodi saja tidak dapat membunuh metacestoda matang. Kista yang hidup juga dapat menstimulasi produksi sitokin yang dibutuhkan untuk menghasilkan imunoglobulin yang kemudian diambil oleh kista dan diperkirakan ini merupakan sumber protein (CFSPH, 2005; White, 1997). Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun seluler dengan menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala akan muncul ketika kista tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu (White, 1997) Gejala Klinik Taeniasis sp Gejala Klinik Taeniasis solium Kait-kait pada skoleks Taenia solium umunya tidak banyak menimbulkan gangguan pada dinding usus tempatnya melekat (Handojo dan Margono, 2008b).

11 Penderita taeniasis umumnya asimptomatik (Pearson, 2009a; Tolan, 2011; Handojo dan Margono, 2008b) atau mempunyai keluhan yang umumnya ringan, berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala, anemia (Soedarto, 2008), nyeri abdomen, kehilangan berat badan, malaise, anoreksia (Tolan, 2011), peningkatan nafsu makan (CFSPH, 2005), rasa sakit ketika lapar (hunger pain), indigesti kronik, dan hiperestesia (Ideham dan Pusarawati, 2007). Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait yang menembus dinding usus (Soedarto, 2008). Sering dijumpai kalsifikasi pada sistiserkus namun tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia (Handojo dan Margono, 2008b). Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada anak-anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit makanan. Pada anak-anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan berat badan, dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah insomnia, malaise, dan kegugupan (CFSPH, 2005). Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi yang menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat (Ideham dan Pusarawati, 2007) Gejala Klinik Taeniasis saginata Gambaran klinik dan diagnosa Taeniasis saginata pada usus hampir serupa dengan infeksi Taeniasis solium (Pearson, 2009b). Pada taeniasis saginata terjadi inflamasi sub-akut pada mukosa usus (Ideham dan Pusarawati, 2007) Proglotid dari Taenia saginata dapat bermigrasi ke berbagai organ seperti apendiks, uterus, duktus biliaris, dan nasofaring sehingga menyebabkan appendisitis, kholangitis, kolesistitis dan sindrom lainnya. Pada kasus yang langka, dapat ditemukan obstruksi usus atau perforasi (CFSPH, 2005; Ideham dan Pusarawati, 2007).

12 Kelainan patologis yang tampak pada penderita umumnya tidak jelas. Namun dapat timbul gejala seperti rasa tidak enak pada perut, mual, muntah, dan diare. Gejala lainnya berupa ileus yang dapat ditimbulkan oleh adanya obstruksi usus karena banyaknya jumlah cacing (Handojo dan Margono, 2008a) Gejala Klinik Sistiserkosis Sistiserkus pada kebanyakan organ biasanya tidak atau sedikit menimbulkan reaksi jaringan (Pearson, 2009a). Suatu penelitian post mortem menyebutkan bahwa 80% dari seluruh kasus sistiserkosis asimptomatik (CFSPH, 2005). Akan tetapi, kista yang telah mati pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan respon jaringan yang berat. Infeksi pada otak (sistiserkosis serebri) dapat menimbulkan gejala yang berat, akibat dari efek massa dan inflamasi yang disebabkan oleh degenerasi sistiserkus dan pelepasan antigen (Pearson, 2009a). Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum tulang belakang, otot, jaringan subkutan, dan mata (Pearson, 2009a). Perubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium peradangan. Dalam stadium koloidal, kista terlihat sama dengan kista koloid dengan materi gelatin dalam cairan kisat dan degenerasi hialin dari larva. Dalam stadium granularnodular, kista mulai berkontraksi dan dindingnya digantikan dengan nodul fokal limfoid serta nekrosis. Akhirnya, pada stadium kalsifikasi nodular jaringan granulasi digantikan oleh struktur kolagen dan kalsifikasi (Wiria, 2008). Gejala timbul tergantung dari jumlah dan lokasi larva (CFSPH, 2005). Neurosistiserkosis merupakan bentuk sistiserkosis yang menyerang sistem saraf pusat (Tenzer, 2009; CFSPH, 2005; Garcia et al., 2002) dan paling membahayakan. Pada kasus tertentu, gejala yang timbul mungkin timbul sangat lambat, tetapi progresif. Namun, dapat juga gejala timbul secara tiba-tiba akibat obstruksi cairan serebrospinal akibat adanya sistiserkus yang melayang-layang di dalam cairan (CFSPH, 2005). Gejala yang paling sering adalah sakit kepala kronik dan kejang atau epilepsi (70-90%) (Wiria, 2008; CFSPH, 2005; Tenzer, 2009; WHO, 2009; Gracia et al., 2002; Del Brutto, 2005). Gejala lainnya yang mungkin timbul adalah peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus, tanda

13 neurologis fokal, perubahan status mental (Pearson, 2009a; Tenzer, 2009), mual, muntah (CFSPH, 2005; Tenzer, 2009), vertigo, ataxia, bingung, gangguan perilaku, dan demensia progresif (CFSPH, 2005), dan sakit kepala kronik (Tenzer, 2009). Sedangkan apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang belakang dapat menyebabkan kompresi, transverse myelitis, dan meningitis. Namun kasus ini jarang (CFSPH, 2005). Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4 (Wiria, 2008): a. Infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya (kalsifikasi intraparenkimal). Gejala yang timbul: sakit kepala, kejang, psikosis. b. Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkim aktif dan ensefalitis sistiserkal. c. Neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk neurosistiserkosis ventrikular. d. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit serebrovaskular, dan lain-lain. Pada mata (sistiserkosis oftalmika), sistiserkus paling sering ditemukan pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala yang umum adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang berat, sampai buta. Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam jumlah banyak dapat menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram, dan kelelahan. Larva di jantung menimbulkan gangguan konduksi dan miokarditis (CFSPH, 2005). Pada kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul subkutan. Larva juga dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil yang menimbulkan stroke. Akan tetapi, hal ini jarang terjadi (CFSPH, 2005).

14 2.7. Diagnosa Taeniasis sp Diagnosa Taeniasis solium Diagnosis pasti Taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa (segmen atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau pada pemeriksaan daerah perianal. Namun, telur dan proglotid tidak akan ditemukan pada feses selama 2-3 bulan setelah cacing dewasa mencapai bagian atas jejunum. Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 3 sampel yang disarankan untuk dikumpulkan pada hari yang berbeda (CDC, 2010). Telur cacing yang ditemukan tidak dapat dibedakan dengan Echinococcus (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005), penentuan mungkin dapat dilakukan apabila ditemukan proglotid yang matang atau gravid dengan menghitung percabangan uterus (CDC, 2010; Ideham dan Pusarawati, 2007). Cara lain untuk mendiagnosa taeniasis adalah dengan menemukan proglotid atau telur dalam feses. Telur juga dapat ditemukan dengan menggunakan pita adhesif yang ditempelkan pada daerah sekitar anus (CFSPH, 2005). Tabel 2.3 Perbedaan Morfologi Spesies Taenia sp. Karakteristik Taenia solium Taenia asiatica Taenia saginata Sistiserkus Hospes perantara Babi, manusia, anjing, babi hutan Babi, hewan ternak, kambing, monyet, Hewan ternak, rusa. babi hutan Lokalisasi Otot, otak, kulit, Organ viseral, mata, lidah terutama hati Ukuran (mm) 5-8 x x x 4-6 Skoleks Rostelum dengan Rostelum dengan kait kait yang belum sempurna Cacing dewasa Skoleks Jumlah cabang uterus pada proglottid gravid Ekspulsi dari manusia pasif (Sumber: Ito et al., 2003) Otot, organ viseral, otak Tidak ada rostelum dan kait Rostelum dengan Rostelum tanpa kait Tanpa rostelum, kait tanpa kait Terutama dalam kelompok, secara Hanya satu, aktif Hanya satu, aktif

15 Adapun pemeriksaan coproantigen dan molekuler yang mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan feses. Namun, pemeriksaan ini belum tersedia pada luar laboratorium penelitian. Metode serologis juga hanya tersedia pada lingkungan penelitian. Dengan metode serologis seperti ELISA dan PCR, dapat dibedakan spesies dari Taenia (CFSPH, 2005) Diagnosa Taeniasis saginata Diagnosa Taenia saginata dapat menggunakan pita perekat (tes Graham). Untuk Taenia saginata test ini sangat sensitif, namun tidak pada Taenia solium (Garcia et al., 2003). Pemeriksaan diagnostik terbaik untuk taeniasis intestinal adalah deteksi koproantigen ELISA yang dapat mendeteksi molekul spesifik dari taenia pada sampel feses yang menunjukkan adanya infeksi cacing pita. Sensitivitas dari ELISA sekitar 95% dan efektivitasnya sekitar 99% (Garcia et al., 2003; WHO, 2009) Diagnosa Sistiserkosis Pencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis (Wiria, 2008). Untuk mendiagnosa neurosistiserkosis dan mengevaluasi gejala neurologis dapat dipakai CT scan dan MRI (CFSPH, 2005). CT scan adalah metode terbaik untuk mendeteksi kalsifikasi yang merupakan infeksi inaktif. CT lebih unggul daripada MRI, sebaliknya MRI lebih sensitif untuk menemukan kista di parenkim dan ekstraparenkim otak, termasuk dalam mendeteksi reaksi peradangan (Wiria, 2008). Pada hasil dari pemeriksaan CT scan atau MRI, mungkin dijumpai nodul padat, kista, kista yang telah terkalsifikasi, lesi cincin, atau hidrosefalus (Pearson, 2009a). Pada pemeriksaan radiologis, apabila dijumpai kista yang hidup, dinding kista tidak terlihat dan cairan sistiserkus memiliki kepadatan yang sama dengan cairan serebrospinal. Ketika parasit mulai kehilangan kemampuan untuk memodulasi respon imun, pada awalnya, akan terlihat peningkatan kontras sekitar kista. Pada akhirnya, akan terlihat gambaran peningkatan kontras seperti cincin atau nodul (Garcia et al., 2002).

16 Kista yang tidak aktif (terkalsifikasi) pada berbagai bagian tubuh, termasuk otak dan otot, mungkin dapat terlihat pada foto X-ray. Biopsi dapat dilakukan untuk nodul subkutan dan larva di mata dapat ditemukan pada pemeriksaan mata. Spesies dari larva dapat diidentifikasi setelah operasi (CFSPH, 2005). Tes serologi kebanyakan menggunakan antigen yang tidak terfraksi yang menyebabkan positif dan negatif palsu. Hal ini diperkirakan karena aviditas kista dengan immunoglobulin yang menyebabkan positif palsu (White, 1997). Pada manusia ada beberapa jenis pemeriksaan serologis termasuk enzyme-linked immunoelectrotransfer blot (EITB), ELISA, fiksasi komplemen, dan hemaglutinasi (CFSPH, 2005). Antibodi mungkin ditemukan pada serum atau cairan serebrospinal (CFSPH, 2005). Namun, immunoblot assay CDC, yang menggunakan serum spesimen, sangat spesifik dan lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan enzim immunoassay lainnya (umumnya ketika terdapat lebih dari 2 lesi sistem saraf pusat, sensitivitas lebih rendah daripada hanya ada satu kista) (Pearson, 2009a). Dekade terakhir pemeriksaan standar dengan metode serologis untuk diagnosa sistiserkosis adalah immunoblot yang dibantu dengan pemeriksaan spesifik ELISA (Garcia et al., 1999; Margono et al., 2003). Pemeriksaan EITB telah terbukti spesifik untuk infeksi T.solium. EITB sensitif pada kista parenkim aktif multipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim. Meskipun demikian sensitivitasnya rendah pada pasien dengan kista parenkimal atau kalsifikasi sehingga pada infeksi inaktif pemeriksaan serologi seringkali negatif. Pemeriksaan serologi berperan penting di daerah yang belum memiliki fasilitas CT dan MRI (White, 1997). Pemeriksaan EITB menunjukkan spesifisitas dan sensitivitas yang masing-masing bernilai mendekati 100% dan 98% apabila pemeriksaan dilakukan pada neurosistiserkosis dengan 2 kista atau lebih yang masih hidup (WHO, 2009). Pemeriksaan ELISA dengan menggunakan antigen rekombinan memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas 100%. Namun, kelemahan ELISA adalah tidak dapat mendeteksi kista yang telah berdegenerasi (WHO, 2009).

17 Untuk menyatakan seseorang menderita sistiserkosis diperlukan beberapa kriteria, antara lain (Wiria, 2008): Kriteria Mayor: a. Penemuan berdasarkan pemeriksaan pencitraan, di mana ditemukan sistiserkus berukuran 0,5 2 cm. b. Ditemukannya antibodi spesifik antisistiserkal menggunakan EITB. Kriteria Minor: a. Kejang. b. Peningkatan tekanan intrakranial. c. Kalsifikasi intraserebral pungtata. d. Nodul subkutan atau hilangnya lesi setelah pengobatan dengan anti parasit. Diagnosa dapat ditegakkan apabila dijumpai dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor, ditambah riwayat pajanan (White, 1997) Pencegahan Taeniasis sp Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan tindakantindakan sebagai berikut (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005): a. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan mencegah terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing (Soedarto, 2008). b. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva cacing (sistiserkus). Pengawasan yang dilakukan pada negara endemis biasanya adalah inspeksi yang dilakukan di rumah potong. Namun, inspeksi yang dilakukan tidak dapat menyaring semua kasus yang sangat ringan (Garcia et al., 2003; Soedarto, 2008; Ideham dan Pusarawati, 2007). c. Memasak daging sampai di atas 50 o C selama 30 menit, untuk membunuh kista cacing, membekukan daging (Soedarto, 2008). d. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia sebagai makanan babi, tidak membuang tinja di sembarang tempat (Ideham dan Pusarawati, 2007; WHO, 2009). e. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang tidak dimasak yang tidak dapat dikupas (Soedarto, 2008).

18 f. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring, atau air yang dididihkan selama 1 menit (Soedarto, 2008). g. Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan (Garcia et al., 2003). h. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral (30 mg/kg BB). Bila perlu, vaksinasi dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi parasit dengan kemoterapi (WHO, 2009). i. Meningkatkan pendidikan komunitas dalam kesehatan (kebersihan, mempersiapkan makanan, dan sebagainya) (WHO, 2009) Daging Daging adalah semua bagian dari hewan yang diinginkan atau telah ditetapkan aman dan sesuai dengan konsumsi manusia. Daging terdiri dari air, sedikit karbohidrat, protein dan asam amino, mineral, lemak, vitamin dan komponen bioaktif lainnya (FAO, 2009b, Heinz dan Hauzinger, 2007) Ciri-ciri Daging Babi Kualitas daging bergantung pada perubahan fisik dan kimia yang terjadi pada daging sebelum, ketika, dan setelah hewan dipotong. Konversi glikogen menjadi asam laktat yang terjadi setelah hewan dipotong menjadi satu hal yang penting dalam kualitas daging karena asam laktat akan mengakibatkan penurunan ph daging sehingga akan mempengaruhi warna daging yang menjadi salah satu penilaian kualitas daging (Prieto, 2007). Warna dari daging babi yang segar berbeda-beda pada beberapa negara. Banyak faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi warna daging babi seperti genetik, asupan makanan, prosedur pemotongan, ph, penyimpanan dan sebagainya. Jenis otot yang diambil juga dapat membedakan warna. Jenis otot glikolitik berwarna putih, dan oksidatif berwarna merah. Kedua jenis otot ini berbeda dari dominasi metabolisme energi (Lindahl, 2005). Mioglobin salah satu komponen yang memberikan warna daging. Bentuk mioglobin yang berbeda akan

19 memberi warna yang berbeda juga, ungu (deoksimioglobin), merah (oksimioglobin), dan coklat (metmioglobin) (Hunt dan Zenger, 1998). Ciri-ciri daging babi segar bervariasi dengan berwarna merah muda keabuan sampai merah (Singhal et al., 1997). Menurut Buege (1998), terdapat 4 jenis daging babi berdasarkan warna, tekstur, dan basahnya daging, antara lain PSE (pucat, lembut, dan eksudatif), DFD (gelap, keras, dan agak kering), RFN (merah, keras, tidak mengeluarkan eksudat), dan RSE (merah, lembut, dan eksudatif). Kemudian, menurut RFN merupakan daging babi yang kualitas baik, sedangkan PSE merupakan daging dengan kualitas yang sangat buruk. DFD dan RSE merupakan daging yang kurang baik. Insidens daging DFD dan PSE adalah 6% dan 5% (Schilling, 2002; Singhal et al., 1997). Tabel 2.4 Perbandingan Jenis Kesegaran Daging dari Segi Warna, Terangnya Warna secara Kuantitatif, Kemampuan Menampung Air pada Daging (Dihitung dengan Jumlah Cairan yang Hilang), dan ph Akhir Kualitas Warna Nilai L Tetesan % ph DFD Gelap <52 <5.0 Tinggi pada akhir (> 6.0) RFN Merah <5.0 Normal PFN Pucat >58 <5.0 RSE Merah >5.0 PSE Pucat >58 >5.0 Penurunan ph cepat Sumber: Lindhal, Ciri-ciri Daging Sapi Ciri-ciri daging sapi mirip dengan daging babi, hanya daging sapi memiliki lebih banyak mioglobin sehingga warnanya lebih merah. Karena memiliki mioglobin, warna daging sapi juga dapat berubah menjadi ungu atau coklat (Schilling, 2002; Singhal et al., 1997).

20 Tabel 2.5 Perbandingan Stadium Kesegaran Daging Sapi berdasarkan Penampakan Luar Daging (Sumber: Canadian Beef Export Federation, 2009) Kandungan Daging Babi dan Sapi Adapun kandungan daging sapi dan babi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.6 Perkiraan Kandungan Air, Protein, Lemak, Mineral (dalam %), dan Kalori (dalam kilojoule) dalam Daging per 100 gram Produk Air Protein Lemak Mineral Kalori Daging sapi (kurus) 75,0 22,3 1,8 1,2 116 Daging sapi 54,7 16,5 28,0 0,8 323 Daging sapi berlemak 4,0 1,5 94,0 0,1 854 (subkutan) Daging babi (kurus) 75,1 22,8 1,2 1,0 112 Daging babi 41,1 11,2 47,0 0,6 472 Daging babi berlemak (lemak pada punggung) 7,7 2,9 88,7 0,7 812 Sumber: Heinz dan Hauzinger, 2007

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik fisik wilayah tropis seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae

Lebih terperinci

Ciri-ciri umum cestoda usus

Ciri-ciri umum cestoda usus Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab taeniasis yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum Platyhelminthes. Cacing dewasa menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup dijaringan vertebrata

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Sistiserkosis pada Serum Contoh Total Penelitian ini memeriksa serum babi sebanyak 39 contoh (Tabel 1). Babi yang diambil serumnya dalam penelitian ini berasal dari peternakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistiserkosis Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh cacing cestoda. Sistiserkosis merupakan penyakit karena infeksi C. cellulosae pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. Klasifikasi dan Morfologi Taenia sp didalam klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam kelas Eucestoda, ordo Taeniidae, famili Taeniidae

Lebih terperinci

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila, CESTODA JARINGAN Cacing dalam kelas Cestoidea disebut juga cacing pita karena bentuk tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan ataupun pembuluh darah.

Lebih terperinci

CESTODA USUS. >> Nama penyakit: teniasis solium, dan yang disebabkan stadium larva adalah. a. Ukuran: panjang 2-4 m, kadang-kadang sampai 8 m.

CESTODA USUS. >> Nama penyakit: teniasis solium, dan yang disebabkan stadium larva adalah. a. Ukuran: panjang 2-4 m, kadang-kadang sampai 8 m. CESTODA USUS Terdiri dari: 1. Taenia solium 2. Taenia saginata 3. Hymenolopis nana 4. Hymenolopis diminuta 5. Dypilobotrium latum 6. Dypilidium caninum 1. Taenia solium >> Hospes difinitif: manusia Hospes

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Blastocystis hominis 2.1.1 Epidemiologi Blastocystis hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di sampel feses manusia, baik pada pasien yang simtomatik maupun pasien

Lebih terperinci

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik

Lebih terperinci

PETUNJUK PEMBERANTASAN TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI INDONESIA

PETUNJUK PEMBERANTASAN TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI INDONESIA PETUNJUK PEMBERANTASAN TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI INDONESIA A. DEFINISI. 1.. ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebkan oleh cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata,taenia solium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Biologi Taenia solium Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing ini termasuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan plasma nutfah sapi asli Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan plasma nutfah sapi asli Indonesia 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan plasma nutfah sapi asli Indonesia yang perlu dijaga kelestariannya. Sapi bali merupakan hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp. 2.1.1 Klasifikasi Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C termasuk famili Enterobacteriaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar (ANTIBODY DETECTION TOWARD CYSTICERCUS CELLULOSAE ON LOCAL PIG THAT SLAUGHTERED

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Diare Penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Selain penyakit ini masih endemis di hampir semua daerah, juga sering muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dari segala bahaya yang dapat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah E. histolytica Penyebab amebiasis adalah parasit Entamoeba histolytica yang merupakan anggota kelas rhizopoda (rhiz=akar, podium=kaki). 10 Amebiasis pertama kali diidentifikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit

Lebih terperinci

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ciri-ciri Salmonella sp. Gambar 1. Mikroskopis kuman Salmonella www.mikrobiologi Lab.com) sp. (http//. Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora,

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella thypi (S thypi). Pada masa inkubasi gejala awal penyakit tidak tampak, kemudian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Limfoma Limfoma merupakan kanker pada sistem limfatik. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit heterogen dan bisa diklasifikasikan menjadi dua jenis utama: Limfoma Hodgkin dan limfoma Non-Hodgkin. Limfoma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. 3 Malaria

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Gejala umumnya muncul 10 hingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Giardiasis adalah penyakit diare yang disebabkan oleh protozoa patogen Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi protozoa

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

Pembahasan Video :http:// :1935/testvod/_definst_/mp4:(21). 8 SMP BIOLOGI/4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIA/BIO mp4/manifest.

Pembahasan Video :http:// :1935/testvod/_definst_/mp4:(21). 8 SMP BIOLOGI/4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIA/BIO mp4/manifest. 1. Perhatikan gambar sistem pencernaan berikut! SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIALATIHAN SOAL Enzim pepsin dihasilkan oleh bagian yang benromor... 1 2 3 4 Kunci Jawaban : B Enzim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, dapat menginfeksi pada hewan dan manusia dengan prevalensi yang bervariasi (Soulsby, 1982). Hospes

Lebih terperinci

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio Pengertian Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa menyebabkan kesulitan 1 / 5 bernapas,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 16. SISTEM PENCERNAANLATIHAN SOAL BAB 16. Biasa

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 16. SISTEM PENCERNAANLATIHAN SOAL BAB 16. Biasa SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 16. SISTEM PENCERNAANLATIHAN SOAL BAB 16 1. Proses pencernaan pada mulut menggunakan gigi disebut pencernaan Biasa Mekanik Kimiawi Mekanik dan kimiawi Kunci Jawaban : D Proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit parasiter saat ini menjadi ancaman yang cukup serius bagi manusia. Ada 6 jenis penyakit parasiter yang sangat serius melanda dunia, yaitu malaria, schistosomiasis,

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit akibat infeksi bakteri Salmonella enterica serotipe typhi. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang timbul secara

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA Salah satu ciri mahluk hidup adalah membutuhkan makan (nutrisi). Tahukah kamu, apa yang

Lebih terperinci

(Cryptococcus neoformans)

(Cryptococcus neoformans) INFEKSI JAMUR PADA SUSUNAN SARAF PUSAT (Cryptococcus neoformans) Cryptococcus neofarmans adalah jamur seperti ragi (yeast like fungus) yang ada dimanamana di seluruh dunia. Jamur ini menyebabkan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI. BAB 4 HASIL Dalam penelitian ini digunakan 782 kasus yang diperiksa secara histopatologi dan didiagnosis sebagai apendisitis, baik akut, akut perforasi, dan kronis pada Departemen Patologi Anatomi FKUI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbedaan antara virus hepatitis ini terlatak pada kronisitas infeksi dan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan.

BAB I PENDAHULUAN. Perbedaan antara virus hepatitis ini terlatak pada kronisitas infeksi dan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan. BAB I PENDAHULUAN Hati adalah salah satu organ yang paling penting. Organ ini berperan sebagai gudang untuk menimbun gula, lemak, vitamin dan gizi. Memerangi racun dalam tubuh seperti alkohol, menyaring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air Susu Ibu (ASI) adalah cairan susu hasil sekresi dari payudara setelah ibu melahirkan. ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan tanpa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut tubuh melalui makanan, udara, tanah yang akan bersarang di usus besar pada waktu malam

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '"/ *

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '/ * i zt=r- (ttrt u1 la l b T'b ', */'i '"/ * I. JENIS.JENIS CACING PARASIT USUS YANG UMUM MENYERANG ANAK SEKOLAH DASAR-) Oleh : Dr. Bambang Heru Budianto, MS.**) I. PENDAHULUAN Penyakit cacing usus oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lalat Rumah (Musca domestica) Lalat rumah (M. domestica) merupakan lalat yang paling umum dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia. M. domestica

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendiks diartikan sebagai bagian tambahan, aksesori atau bagian tersendiri yang melekat ke struktur utama dan sering kali digunakan untuk merujuk pada apendiks vermiformis.

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit intraseluler

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Malaria masih menjadi masalah kesehatan di daerah tropis dan sub tropis terutama Asia dan Afrika dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Patel

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini sama bahayanya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tempat terjadinya inflamasi primer akut. 3. yang akhirnya dapat menyebabkan apendisitis. 1

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tempat terjadinya inflamasi primer akut. 3. yang akhirnya dapat menyebabkan apendisitis. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu penyakit bedah mayor yang sering terjadi adalah. 1 merupakan nyeri abdomen yang sering terjadi saat ini terutama di negara maju. Berdasarkan penelitian epidemiologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak yang mempunyai banyak pemukiman kumuh, yaitu dapat dilihat dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B HEPATITIS REJO PENGERTIAN: Hepatitis adalah inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan kimia ETIOLOGI : 1. Ada 5

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci