HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Bambang Tedjo
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Sistiserkosis pada Serum Contoh Total Penelitian ini memeriksa serum babi sebanyak 39 contoh (Tabel 1). Babi yang diambil serumnya dalam penelitian ini berasal dari peternakan rakyat di Distrik Assologaima dan Wamena Kota. Penelitian ini tidak mempertimbangkan bobot badan, ras, dan umur dari babi yang digunakan. Tabel 2 Persentase status serum berdasarkan distrik asal babi Distrik Total serum Positif Negatif Jumlah % Jumlah % Assologaima Wamena Kota Total Tabel 3 Kejadian sistiserkosis pada babi yang disembelih dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya (Maitindom 2008) Distrik Jumlah babi Positif Prevalensi (%) Assologaima Wamena Kota Total Tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak delapan (20.5%) serum contoh positif mengandung antigen Cysticercus cellulosae dan sebanyak 31 (88.6%) serum contoh tidak mengandung antigen Cysticercus cellulosae. Menurut hasil pemeriksaan postmortem yang dilakukan oleh Maitindom (2008), kasus sistiserkosis pada babi asal Distrik Assologaima dan Wamena Kota yang disembelih di Pasar Jibaman sebesar 58.3% (7/12) (Tabel 3). Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang sangat besar. Hal ini disebabkan oleh perbedaan waktu pemeriksaan dan jumlah contoh yang diperiksa. Jumlah contoh yang diperiksa dalam penelitian Maitindom (2008) sangat sedikit sehingga satu temuan positif akan memberikan persentase kasus yang besar.
2 21 Kedua penelitian tersebut juga menggunakan metode pemeriksaan yang berbeda yaitu pemeriksaan postmortem dan teknik Ag-ELISA. Masing-masing metode tersebut miliki tingkat sensitifitas dan spesifitas berbeda, sehingga dapat memberikan hasil uji yang berbeda. Biasanya pemeriksaan postmortem akan memberikan hasil positif yang lebih rendah dibandingkan dengan Ag-ELISA. Hal ini disebabkan oleh rendahnya sensitivitas yang dimiliki pemeriksaan postmortem. Efek dari rendahnya sensitivitas suatu uji untuk mendeteksi sistiserkosis menyebabkan tidak terdeteksinya Cysticercus cellulosae pada tingkat infeksi ringan (predominan). Hasil pemeriksaan postmortem juga sangat dipengaruhi oleh keterampilan dan kejelian dari pemeriksa daging (meat inspector) (Kebede 2008). Ag-ELISA memiliki sensitifitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan postmortem sehingga mampu mendeteksi sistiserkosis pada tingkat infeksi rendah (Dorny et al. 2000). Metode Ag-ELISA yang digunakan dalam penelitian ini bersifat genus spesifik. Sifat ini menyebabkan terdeteksinya antigen dari metacestoda spesies cacing lainnya akibat reaksi silang. Antigen sistiserkus lain yang dapat dideteksi oleh antigen pendeteksi ELISA ini antara lain yaitu Cysticercus bovis (T. saginata), metacestoda dari Taenia asiatica dan Cysticercus tenuicollis dari Taenia hydatigena (ITM 2009). Namun, hasil penelitian ini bebas dari kemungkinan reaksi silang antara Cysticercus cellulosae dengan metacestoda lainnya. Menurut hasil pemeriksaan molekular dan serologis yang dilakukan oleh Ito et al. (2008) terhadap penyebab sistiserkosis di Papua ditemukan bahwa Cysticercus cellulosae adalah satu-satunya penyebab zoonosis tersebut. Penyebab terjadinya reaksi silang antar antigen di atas disebabkan oleh banyaknya kesamaan komponen antigen dari sistiserkus tersebut yang ditangkap oleh antibodi pendeteksi (Sciuto et al. 2007). Penelitian ini menggunakan monoklonal antibodi (mab) B158 sebagai antibodi penangkap dan pendeteksi. Menurut Deckers dan Dorny (2010), hubungan antara mab B158 dengan antigen dari Cysticercus sp. belum dapat dipastikan. Diduga mab B158 reaktif terhadap karbohidrat atau protein dari tegumen yang terkandung dalam E/S sistiserkus. Menurut Emmanuel (2004), walaupun terdapat banyak kesamaan komponen penyusun E/S dari sistiserkus dari anggota genus Taenia terdapat fraksi protein
3 22 spesifik yang berbeda dari masing-masingnya. Sebagai contoh, antigen Cysticercus cellulosae dan Cysticercus tenuicollis memiliki perbedaan pada fraksi protein 14 kda. Terjadinya reaksi silang ini menunjukkan bahwa mab B158 tidak berikatan dengan epitop yang spesifik dari masing-masing metacestoda dari genus Taenia. Reaksi silang yang terjadi seperti di atas berpotensi untuk menganggu akurasi uji apabila digunakan pada populasi babi yang dipelihara di wilayah endemis Taenia sp selain Taenia solium. Sebagai contoh, Kabupaten Flores Timur, NTT merupakan wilayah endemis sistiserkosis dengan agennya adalah Cysticercus tenuicollis (Saleh 2010). Bali merupakan daerah endemis sistiserkosis dengan agen penyebabnya tidak hanya Cysticercus cellulosae, melainkan ditemukan juga Cysticercus bovis. Metacestoda dari Taenia asiatica pernah ditemukan menjadi agen penyebab sistiserkosis di Pulau Samosir, Sumatera Utara (Ito et al. 2008). Permasalahan reaksi silang yang mungkin terjadi dalam kondisi di atas dapat diatasi dengan melakukan pemeriksaan serologis dan morfologis. Berdasarkan data pada Tabel 2, prevalensi sistiserkosis di Distrik Assologaima termasuk dalam kategori daerah endemik. Kategori endemik ini diambil berdasarkan persentase kasus sistiserkosis yang ditemukan lebih dari sepuluh persen. Distrik Wamena Kota termasuk kategori daerah non-endemik karena persentasenya kasus sistiserkosis yang ditemukan dibawah sepuluh persen. Pengkatagorian ini sesuai dari pernyataan Garcia et al. (2003) yang menyatakan bahwa suatu daerah dikatakan endemis sistiserkosis bila memiliki prevalensi penyakit ini lebih dari sepuluh persen. Noble dan Noble (1989) menyatakan bahwa prevalensi sistiserkosis pada daerah non-endemis biasanya kurang dari satu sampai dua persen. Perbedaan persentase kasus sistiserkosis di kedua wilayah ini berkaitan dengan keadaan sanitasi lingkungan, menejemen peternakan babi, dan keberadaan penderita taeniasis. Ditinjau dari sanitasi lingkungannya, keadaan Distrik Assologaima lebih buruk dibandingkan dengan Distrik Wamena Kota (Maitindom 2008). Keadaan sanitasi lingkungan tersebut dapat dicerminkan dari toilet yang dimiliki oleh masyakat. Gambar 5 (a) menunjukkan bahwa persentase masyarakat
4 23 Assologaima yang memiliki toilet lebih rendah daripada masyarakat Wamena Kota. Gambar 5 (a dan b) juga menunjukkan adanya hubungan antara kepemilikan toilet dan kasus sistiserkosis pada babi di kedua distrik tersebut. Semakin tinggi persentase masyarakat yang memiliki toilet maka kejadian sistiserkosis pada babi akan rendah dan semakin rendah persentase masyarakat yang memiliki toilet maka kejadian sistiserkosis pada babi semakin tinggi. a Gambar 5 Persentase sistiserkosis pada babi yang berasal dari Distrik Assologaima dan Wamena Kota (a) dan kepemilikan toilet dari masyarakat Distrik Assologaima dan Wamena Kota (b). b Menurut Purba et al. (2003), toilet dengan kejadian sistiserkosis memiliki hubungan dengan nilai odds ratio sebesar 6.2. Nilai ini bermakna bahwa dengan memiliki toilet maka dapat menurunkan sistiserkosis sebesar 6.2 kali daripada yang tidak memiliki toilet. Flores et al. (2001) melaporkan bahwa kepemilikan toilet dan kesadaran masyarakat untuk defekasi tidak di sembarang tempat berhasil menurunkan kasus sistiserkosis di Meksiko hingga 50%. Fungsi dari toilet dalam menekan penyakit ini adalah mencegah pencemaran dari feses
5 24 manusia yang mengandung telur infektif Taenia solium. Keberadaan telur infektif Taenia solium di lingkungan harus dicegah karena telur ini mampu bertahan lama di lingkungan. Menurut Soulsby (1986), telur infektif dari Taenia solium mampu bertahan hidup selama 71 hari dalam feses basah, 16 hari dalam sampah, 8 minggu pada daerah yang kering, dan 14.5 minggu dalam lahan penggembalaan. Tabel 4 Persentase sistem perkandangan dari peternakan babi yang dimiliki masyarakat lokal (Maitindom 2008) Distrik Jumlah Sistem perkandangan Dikandangkan % Diumbar % Assologaima Wamena Kota Tabel 5 Keadaan sanitasi lingkungan peternakan babi (Maitindom 2008) Keadaan sanitasi lingkungan Distrik Luar kandang Dalam kandang Kotor % Bersih % Kotor % Bersih % Assologaima Wamena Kota Sistem perkandangan yang dilakukan oleh peternak terhadap babinya merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada babi. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa peternakan babi di Distrik Assologaima lebih banyak yang telah mengandangkan hewan ternaknya dibandingkan dengan peternakan di Wamena Kota. Masyarakat Assologaima telah mengandangkan hewan ternaknya, namun kejadian sistiserkosis di Assologaima lebih besar daripada Wamena Kota. Fenomena kasus tersebut dipengaruhi oleh keadaan sanitasi kandang. Tabel 5 menunjukkan bahwa kondisi sanitasi kandang babi di Assologaima lebih buruk dibandingkan dengan kandang babi di Wamena Kota. Gweba et al. (2010) menyatakan bahwa sistiserkosis pada babi dipengaruhi oleh kemiskinan, ketiadaan toilet, dan adanya kontak antara babi dengan feses manusia baik yang dikandangkan maupun yang diumbar.
6 25 Pada tahun 2005 Subahar et al. melakukan penelitian terhadap taeniasis dan sistiserkosis pada penduduk Distrik Wamena Kota dan Assologaima. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan sebesar 68.4% (26/38) penduduk Distrik Wamena Kota dan sebesar 35.5% (18/51) penduduk Assologaima memiliki antibodi terhadap sistiserkosis. Pemeriksaan lanjutan menggunakan teknik ELISAkoproantigen selanjutnya dilakukan terhadap penduduk yang diduga penderita taeniasis. Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan ini yaitu ditemukan tiga penduduk Distrik Assologaima fesesnya positif mengandung antigen cacing Taenia solium. Penderita taeniasis merupakan sumber kontaminan dari lingkungannya sehingga dapat diketahui bahwa Distrik Assologaima memiliki sumber kontaminan sedangkan pada Distrik Wamena Kota tidak terdapat sumber kontaminan telur infektif Taenia solium. Kasus taeniasis dan sistiserkosis sangat berkaitan erat dengan higiene personal, pemeriksaan daging babi, dan cara mengolah daging babi sebelum dikonsumsi. Higiene personal berperan untuk mencegah masuknya telur Taenia solium infektif ke dalam tubuh manusia. Wujud dari higiene personal antara lain yaitu mencuci tangan sebelum makan, mandi, memakai alas kaki dan memasak air minum. Menurut Purba et al. (2003), mencuci tangan sebelum makan memiliki korelasi terhadap kejadian sistiserkosis. Nilai odd ratio dari dua hal di atas sebesar 4.9, nilai ini bermakna bahwa mencuci tangan dapat menurunkan peluang seseorang untuk terjangkit sistiserkosis sebesar 4.9 kali. Mandi setiap hari juga dapat menurunkan peluang seseorang untuk terjangkit sistiserkosis sebesar Memasak air sebelum dikonsumsi merupakan salah satu tindakan higiene pangan yang bertujuan untuk mematikan telur Taenia solium infektif dalam air. Seseorang memiliki risiko menderita sistiserkosis lebih besar bila mengkonsumsi air mentah dibandingkan dengan air matang. Penularan Cysticercus cellulosae pada manusia sangat berhubungan erat dengan pola pengolahan daging babi sebelum dikonsumsi. Berdasarkan data pada Tabel 6 diketahui bahwa persentase masyarakat Assologaima yang mengolah makanannya dengan cara dimasak terlebih dahulu lebih rendah dibandingkan masyarakat Wamena Kota. Persentase masyarakat yang mengolah daging secara dibakar lebih besar dibandingkan masyarakat Wamena dan ditemukan masyarakat
7 26 di Distrik Assologaima yang mengkonsumsi daging babi mentah. Masyarakat yang mengkonsumsi daging babi bakar dan mentah memiliki risiko besar untuk menderita taeniasis. Hal ini disebabkan oleh Cysticercus cellulosae dalam daging babi akan mati dalam pemanasan sempurna yaitu diatas suhu 60 C (Soejoedono 2004). Upacara Bakar Batu yang dilakukan oleh masyarakat setempat memiliki resiko sebagai cara masuk sistiserkus kepada manusia bila tidak dilakukan dengan pemanasan dan lama pembakaran yang tepat. Masyarakat Papua memiliki kebiasaan menghidangkan daging dan makanan lain yang telah dimasak dalam Bakar Batu di atas tanah yang dialasi dengan dedaunan dan rumput-rumputan untuk dimakan bersama-sama. Hal ini memiliki resiko terjadinya pencemaran telur Taenia solium infektif dari tanah dan alas makan tersebut (Maitindom 2008). Tabel 6 Pola mengolah daging babi oleh masyarakat lokal (Maitindom 2008) Distrik Jumlah Pola mengolah daging babi Masak % Bakar % Mentah % Assologaima Wamena Kota Prevalensi Sistiserkosis berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 7 Persentase serum positif berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Jumlah Serum Kejadian sistiserkosis Positif % Negatif % Jantan Betina Total Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase babi yang menderita sistiserkosis lebih besar dialami oleh babi betina dibandingkan jantan. Risiko relatif (RR) babi betina untuk menderita sistiserkosis 1.7 kali lebih besar daripada babi jantan. Hal ini menunjukkan bahwa babi betina beresiko mengalami sistiserkosis 1.7 kali lebih besar daripada babi jantan. Keadaan ini terjadi karena adanya perbedaan kemampuan tanggap kebal yang diberikan oleh babi betina dan jantan terhadap
8 27 paparan telur infektif Taenia solium dari lingkungan. Perbedaan respon tanggap kebal tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu hormonal, kecukupan nutrisi, dan keadaan fisiologis. Hewan jantan dan betina memiliki beberapa perbedaan hormon reproduksi yang berpengaruh terhadap sistem tanggap kebal tubuh dan perkembangan parasit dalam tubuh. Pada tahun 2010 Escobedo et al. melakukan penelitian yang mengkaji pengaruh hormon reproduksi terhadap perkembangan sistiserkus di media biakan in-vitro. Hasil penelitian ini menenunjukkan bahwa progesteron dapat memacu perkembangan onkosfer di media biakan tersebut. Progesteron memberikan korelasi positif terhadap proses evaginasi skoleks pada jaringan tubuh dan motilitas onkosfer. Semakin tinggi kadar progesteron maka laju evaginasi skoleks dan motilitas sistiserkus semakin tinggi dan begitu pula sebaliknya. Menurut Morales et al. (2002), kejadian sistiserkosis babi betina bunting dan jantan kastrasi meningkat sebesar 20%-50% dari keadaan tidak bunting dan tidak dikastrasi. Fenomena ini terjadi akibat terdapat perbedaan kadar hormon androgen dan progesteron. Pada babi jantan kastrasi mengalami perubahan pada hormon androgennya bila dibandingkan dengan jantan normal. Kadar progesteron pada betina bunting lebih tinggi dibandingkan betina tidak bunting. Hormon reproduksi juga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dari seekor hewan terhadap infeksi onkosfer. Kadar hormon reproduksi mempengaruhi kemampuan fungsi makrofag, reaksi peradangan, dan kerja dari sistem pertahanan seluler dalam menghadapi antigen. Hormon progesteron bersifat sebagai immunosuppressive (menekan fungsi imun). Progesteron bekerja menekan aktivitas makrofag dan Natural Killer Cell (NK Cell). Hormon estrogen berfungsi untuk meningkatkan sirkulasi darah sehingga pergerakan dari limfosit meningkat (Klein 2004). Hormon testosteron berfungsi memperkuat sistem kebal tubuh (Guyton & Hall 1995). Kadar hormon reproduksi ini berkaitan dengan fase reproduksi dari masing-masing individu hewan. Fase reproduksi ini merupakan keadaan fisiologis tubuh yang memberikan pengaruh terhadap ketahanan diri terhadap paparan agen parasitik dari lingkungan.
9 28 Kecukupan nutrisi juga merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan sistem tanggap kebal tubuh dalam menghadapi infeksi antigen. Setiap individu memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda tergantung dari keadaan fisiologis tubuhnya. Babi betina yang sedang bunting dan menyusui membutuhkan nutrisi lebih banyak dibandingkan babi jantan (Sihombing 2006). Namun, babi pada saat bunting kemampuan untuk mengkonsumsi pakan menurun. Keadaan ini perlu diatasi dengan tindakan tepat agar babi bunting tersebut tidak mengalami penurunan kekuatan sistem tanggap kebal tubuh. Salah satu solusinya adalah memberikan pakan bermutu tinggi dan ditambahkan suplemen vitamin bila diperlukan. Ubi jalar (Ipomoea batatas) berkualitas rendah merupakan pakan utama dari babi yang digunakan dalam penelitian ini. Ubi jalar memiliki kandungan protein yang rendah (sebesar 17%), serat kasar tinggi ( sebesar 14.2%), dan zat anti nutrisi yang tinggi (Du Thanh et al. 2009; Nguyen et al. 2010). Zat anti nutrisi yang terkandung dalam ubi jalar berupa linamarin, asam oxalat, phitat, asam tanin, dan chymotrypsin inhibitor. Ditinjau dari kebutuhan nutrisinya, ternak babi yang hanya diberi pakan ubi jalar dapat mengalami kekurangan protein dan mineral seperti kalsium (Ca) dan fosfor (P) (Balitnak 2008). Salah satu efek yang ditimbulkan oleh defisiensi protein adalah rendahnya imunitas tubuh. Hal ini menyebabkan individu rentan terhadap paparan telur infektif Taenia solium dan bagi babi yang laktasi tidak dapat memberikan maternal antibody yang baik untuk anaknya. Menurut Sikasunge et al. (2009), maternal antibody anti-cysticercus cellulosae yang diberikan oleh induk kepada anak babi dapat mencegah dan melindungi babi tersebut hingga berusia lima minggu. Oleh karena hal tersebut maka sebaiknya babi betina yang sedang bunting dan menyusui diberi pakan yang mencukupi kebutuhan nutrisinya.
ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA
ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab taeniasis yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik fisik wilayah tropis seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp.
4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. Klasifikasi dan Morfologi Taenia sp didalam klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam kelas Eucestoda, ordo Taeniidae, famili Taeniidae
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistiserkosis Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh cacing cestoda. Sistiserkosis merupakan penyakit karena infeksi C. cellulosae pada
Lebih terperinciDeteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar
Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar (ANTIBODY DETECTION TOWARD CYSTICERCUS CELLULOSAE ON LOCAL PIG THAT SLAUGHTERED
Lebih terperinciBAB 2 TI JAUA PUSTAKA
BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia
Lebih terperinciFAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH
FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit kecacingan masih tetap
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsumsi ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Taenia solium Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing ini termasuk
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon terhadap vaksinasi dapat dideteksi melalui pengujian dengan teknik ELISA. Metode ELISA yang digunakan adalah metode tidak langsung. ELISA
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau
I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai oleh masyarakat. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau konsumen lebih banyak memilih
Lebih terperinciTaenia saginata dan Taenia solium
Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit intraseluler
Lebih terperinciSeroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar
Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar (SEROPREVALENCE OF PIG CYSTICERCOSIS AT THE SLAUGHTERHOUSE IN PENATIH, DENPASAR ) I Ketut Suada 1,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakteri Salmonella sp merupakan mikrobia patogen penyebab sakit perut yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat alami Salmonella sp adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. Disebut beras analog karena bentuknya yang oval menyerupai beras, tapi tidak terproses
Lebih terperinciPEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.
PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,99 0 C dan 80,46%. Suhu yang nyaman untuk domba di daerah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing golongan nematoda usus yang penularannya melalui tanah. Dalam siklus hidupnya, cacing ini membutuhkan tanah untuk proses
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit berupa cacing kedalam tubuh manusia karena menelan telur cacing. Penyakit ini paling umum tersebar
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja untuk tahap pemeliharaaan serta analisis sampel di Laboratorium Ilmu dan Teknologi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5
TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci domestik (Oryctolagus cuniculus) merupakan keturunan dari kelinci liar Eropa yang berasal dari negara sekitar Laut Mediterania dan dibawa ke Inggris pada awal abad 12 (NRC,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada umumnya, masyarakat hanya mengetahui bahwa telur ayam merupakan sumber protein hewani pelengkap gizi pada makanan, dan sebagian menggunakannya sebagai
Lebih terperinci1. BAB I PENDAHULUAN
1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan merupakan penyakit infeksi disebabkan oleh parasit cacing yang dapat membahayakan kesehatan. Penyakit kecacingan yang sering menginfeksi dan memiliki
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking
TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, dapat menginfeksi pada hewan dan manusia dengan prevalensi yang bervariasi (Soulsby, 1982). Hospes
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pembibit Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock dan merupakan hasil pemeliharaan dengan metode perkawinan tertentu pada peternakan generasi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini sama bahayanya bagi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan
Lebih terperinciSumber penularan penyakit. Penerima. Diagram Penularan Penyakit
BAB 2 PENYAKIT BAWAAN MAKANAN (FOOD BORNE DISEASE) Sumber penularan penyakit orang sakit binatang / insekta tanaman beracun parasit Penerima manusia hewan Penyebaran penyakit tergantung pada kontak langsung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh
1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak Sekolah Dasar merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia terbentang antara 6 o garis Lintang Utara sampai 11 o. terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia terbentang antara 6 o garis Lintang Utara sampai 11 o garis Lintang Selatan, dan dari 97 o sampai 141 o garis Bujur Timur serta terletak antara dua
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu sebanyak-banyaknya, disamping hasil lainnya. Macam - macam sapi perah yang ada di dunia adalah
Lebih terperinci5 KINERJA REPRODUKSI
5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang
Lebih terperinci1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :
BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. protozoa yang ditularkan melalui feses kucing. Infeksi penyakit yang ditularkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara beriklim tropis, penyakit akibat parasit masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. Salah satu di antaranya adalah infeksi protozoa yang
Lebih terperinciKEBUTUHAN NUTRISI ITI PEDAGING : SUPRIANTO NIM : I
TUGAS INDIVIDU RANSUM UNGGAS/NON RUMINANSIA KEBUTUHAN NUTRISI ITI PEDAGING NAMA : SUPRIANTO NIM : I111 13 303 KELAS : A GANJIL FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015 BAB I PENDAHULUAN
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler pembibit merupakan ayam yang menghasilkan bibit ayam
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Broiler Pembibit Ayam broiler pembibit merupakan ayam yang menghasilkan bibit ayam broiler (Sudaryani dan Santosa, 2003). Pembibitan ayam merupakan suatu kegiatan pemeliharaan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. telur sehingga produktivitas telurnya melebihi dari produktivitas ayam lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Ayam Ras petelur Ayam ras petelur merupakan tipe ayam yang secara khusus menghasilkan telur sehingga produktivitas telurnya melebihi dari produktivitas ayam lainnya.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi
Lebih terperinciBAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING
BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berbagai masalah yang berkaitan dengan pangan dialami banyak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai masalah yang berkaitan dengan pangan dialami banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah gizi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan konsumsi rumput, konsentrat
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan persentase kenaikan jumlah penduduk yang tinggi setiap tahunnya. Saat ini, Indonesia menempati posisi ke-4 dalam
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara China, Amerika maupun Australia. Itik Peking merupakan itik yang dapat
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking dikategorikan sebagai tipe pedaging yang paling disukai baik di Negara China, Amerika maupun Australia. Itik Peking merupakan itik yang dapat dibudidayakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi
Lebih terperinciCiri-ciri umum cestoda usus
Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata
Lebih terperinciKAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG HERI YULIANTO
KAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG HERI YULIANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi pengembangan usaha peternakan kambing masih terbuka lebar karena populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai 1.012.705 ekor. Menurut data
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Friesian Holstien Sapi FH telah banyak tersebar luas di seluruh dunia. Sapi FH sebagian besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu adalah bahan pangan dengan kandungan gizi lengkap yaitu terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu bahan pangan yang penting
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
xxix HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel daging ayam beku yang diambil sebagai bahan penelitian berasal dari daerah DKI Jakarta sebanyak 16 sampel, 11 sampel dari Bekasi, 8 sampel dari Bogor, dan 18 sampel dari
Lebih terperinciDASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN BIDANG STUDI KEAHLIAN : AGRIBISNIS DAN AGROTEKNOLOGI PROGRAM STUDI KEAHLIAN : AGRIBISNIS PRODUKSI TERNAK KOMPETENSI KEAHLIAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu,
Lebih terperinciPemberian Pakan Ayam KUB Berbasis Bahan Pakan Lokal
Pemberian Pakan Ayam KUB Berbasis Bahan Pakan Lokal Pemberian Pakan Ayam KUB Berbasis Bahan Pakan Lokal Penyusun: Arnold P Sinurat Sofjan Iskandar Desmayati Zainuddin Heti Resnawati Maijon Purba BADAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di Bali, ternak
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak babi merupakan salah satu bagian penting dalam menunjang perekonomian banyak negara. Populasi babi terus meningkat dari tahun ke tahun terkait meningkatnya
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak yang mempunyai banyak pemukiman kumuh, yaitu dapat dilihat dari
Lebih terperinciNI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM
TESIS PREVALENSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN DENPASAR DAN TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN TRADISIONAL DI KARANGASEM SERTA EVALUASI UJI ELISA YANG DIGUNAKAN NI MADE AYUDININGSIH
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Profil Ayam Kedu dan Status Nutrisi Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di Kabupaten Temanggung. Ayam Kedu merupakan ayam lokal Indonesia yang
Lebih terperinciGambar 2. Domba didalam Kandang Individu
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (kandang B) pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010. Analisis sampel dilakukan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam Bangkok merupakan jenis ayam lokal yang berasal dari Thailand dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena
Lebih terperinciIkan, merupakan jenis makanan sehat yang rendah lemak jenuh, tinggi. protein, dan merupakan sumber penting asam lemak omega 3.
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan, merupakan jenis makanan sehat yang rendah lemak jenuh, tinggi protein, dan merupakan sumber penting asam lemak omega 3. Ikan baik untuk tambahan diet karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salmonella merupakan salah satu anggota dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan penyakit yang disebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tergantung orang tua. Pengalaman-pengalaman baru di sekolah. dimasa yang akan datang (Budianto, 2009).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak SD (sekolah dasar) yaitu anak yang berada pada usia 6-12 tahun, memiliki fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan balita, mempunyai sifat individual dalam banyak
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. yang sangat besar. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi, serta memiliki wilayah kepulauan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi merupakan hewan berdarah panas yang berasal dari famili Bovidae. Sapi banyak dipelihara sebagai hewan ternak. Ternak sapi merupakan salah satu komoditas ternak
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam tipe petelur yang jantan dikenal dengan sebutan ayam jantan tipe medium,
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Jantan Tipe Medium Ayam tipe petelur yang jantan dikenal dengan sebutan ayam jantan tipe medium, karena pertumbuhan ayam jantan tipe medium berada diantara ayam petelur ringan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking
Lebih terperinciPENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari
1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan semakin meningkat pula. Pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat jenisnya beragam, salah satunya pemenuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia semakin meningkat, menyebabkan kebutuhan akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani berkualitas yang
Lebih terperinciPEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol
30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari strain-strain hasil produk dari perusahaan pembibitan. Ayam ras
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Petelur Ayam ras petelur yang banyak dipelihara saat ini adalah ayam ras petelur yang berasal dari strain-strain hasil produk dari perusahaan pembibitan. Ayam ras petelur
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,
I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Ras Pedaging Menurut Indro (2004), ayam ras pedaging merupakan hasil rekayasa genetik dihasilkan dengan cara menyilangkan sanak saudara. Kebanyakan induknya diambil dari Amerika
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Itik (Anas platyrhynchos)
TINJAUAN PUSTAKA Itik (Anas platyrhynchos) Menurut Achmanu (1997), itik termasuk ke dalam unggas air (waterfowl) yang mempunyai klasifikasi sebagai berikut : kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae,
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang bayi atau anak yang optimal. Sejak lahir bayi hanya diberikan ASI hingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk umbi dengan kadar gizi berupa
Lebih terperinci