TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Taenia solium Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing ini termasuk kelas Eucestoda, ordo Taenidae, famili Taenidae dan genus Taenia. Tergolong dalam satu genus dengan Taenia solium adalah Taenia saginata dan Taenia asiatica yang juga bersifat zoonosis (Rajshekkhar et al. 2003). Cacing dewasa berukuran panjang 3 5 meter kemungkinan dapat juga mencapai 8 meter. Bagian kepala (skoleks) memiliki rostelum dengan dua baris kait (Gambar 1). Proglotid gravid panjangnya mm dan lebarnya 5 6 mm dan memiliki uterus dengan jumlah cabang 7 16 (Soulsby 1982). Setiap proglotida gravid berisi kira-kira telur. Setiap telur memiliki diameter µm dan berisi embrio (onkosfer) yang memiliki enam kait (embrio hexacanth) (Gandahusada et al. 2000; Soulsby 1982). a c b Gambar 1 Bagian skoleks (kiri) dan proglotida gravid (kanan) Taenia solium : (a) Batil hisap, (b) Rostelum, (c) Uterus (Sumber: paraimg/tsoliscp.jpg).

2 5 Daur hidup Taenia solium yang berparasit di bagian proksimal jejunum dapat bertahan hidup selama 25 sampai 30 tahun dalam usus halus manusia (Soulsby 1982; Chin & Kandun 2000). Cacing ini mendapatkan nutrisinya dengan menyerap isi usus. Cacing pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam tinja penderita taeniasis antara 8 12 minggu setelah orang yang bersangkutan terinfeksi (Chin & Kandun 2000). Sewaktu-waktu proglotida gravid berisi telur akan dilepaskan dari ujung strobila cacing dewasa dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Proglotida tersebut keluar bersama tinja penderita. Telur dapat pula keluar dari proglotida pada waktu berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh telur akan menyebar ke tanah lingkungan sekitar dimana telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan (Ilsoe et al. 1990). Infeksi akan terjadi apabila telur berembrio tertelan babi yang merupakan induk semang antara T. solium. Di dalam lumen usus halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfir). Selanjutnya onkosfir tersebut menembus dinding usus, masuk ke pembuluh limfe atau aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan akhirnya mencapai organ-organ yang disukai (predileksi) seperti otot jantung, otot lidah, otot daerah pipi, otot antar tulang rusuk, otot paha, paruparu, hati, ginjal. Kista muda terlihat pada tempat predileksi tadi antara 6 hingga 12 hari setelah infeksi. Sistiserkus kemudian terbentuk pada organ-organ tersebut dan dikenal dengan nama Cysticercus cellulosae. Bila daging babi yang mengandung parasit ini dimakan oleh manusia, kista akan tercerna oleh enzim pencernaan sehingga calon skoleks (protoskoleks) akan menonjol keluar. Selanjutnya protoskoleks tersebut akan menempel pada mukosa jejunum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu beberapa bulan (Soulsby 1982). Cysticercus cellulosae juga dapat dijumpai pada manusia, yaitu di jaringan subkutan, mata, jantung dan otak (Ahuja et al. 1978). Kejadian ini disebabkan tertelannya makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur parasit tersebut (Gambar 2). Sumber kontaminasi parasit ini dapat berupa tinja manusia yang mengandung parasit, tangan kotor penderita taeniasis, dan dapat juga akibat autoinfeksi intern karena muntahan telur ke dalam lambung akibat adanya anti peristaltik (Cheng 1986; Bakta 1987 diacu dalam Dharmawan 1990).

3 6 Gambar 2 Siklus hidup cacing pita Taenia solium yang menyebabkan taeniasis solium dan sistiserkosis (Sumber : Murrell, Feyer & Dubey 1986 diacu dalam Soejoedono 2004). Taeniasis/Sistiserkosis pada Manusia Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing pita dewasa pada manusia dikenal dengan nama taeniasis solium. Disamping sebagai induk semang definitif, manusia juga dapat bertindak sebagai induk semang antara bila terinfeksi stadium larva yang menyebabkan sistiserkosis (Gandahusada et al. 2000). Distribusi geografik Penyebaran Taenia solium bersifat kosmopolitan, terutama di negara-negara yang mempunyai banyak peternakan babi dan di tempat daging babi banyak dikonsumsi seperti di Eropa, Amerika Latin, Republik Rakyat China, India, Amerika Utara. Penyakit ini tidak pernah ditemukan di negara-negara Islam yang melarang pemeliharaan dan konsumsi babi. Kasus taeniasis/sistiserkosis juga ditemukan pada beberapa wilayah di Indonesia antara lain Irian Jaya (Papua), Bali dan Sumatra Utara. Infeksi penyakit ini juga sering di alami oleh para transmigran yang berasal dari daerah-daerah tersebut (Gandahusada et al. 2000). Ditambahkan oleh Chin dan Kandun (2000) penyakit yang disebabkan cacing pita

4 7 ini, sering dijumpai di daerah dimana orang-orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi yang dimasak tidak sempurna. Di samping itu kondisi kebersihan lingkungan yang jelek dan kebiasaan melakukan defikasi di sembarang tempat memudahkan babi mengkonsumsi tinja manusia. Penularan Taenia solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali terjadi di Inggris, dan di negara-negara Skandinavia. Penularan oro fekal oleh karena kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia solium dilaporkan terjadi dengan frekwensi yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis nampaknya tidak mudah untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi sanitasinya baik. Patologi dan gejala klinik Cacing dewasa, yang biasanya berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, dapat berupa nyeri hulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit kepala. Pemeriksaan ulas darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia (Gandahusada et al. 2000). Gejala klinis pada manusia biasanya ditemukan pada penderita sistiserkosis. Gejala tersebut biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi (Chin & Kandun 2000; Gandahusada et al. 2000). Pada manusia, sistiserkus sering ditemukan pada jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru dan rongga perut. Kalsifikasi (perkapuran) yang sering dijumpai pada sistiserkus biasanya tidak menimbulkan gejala, namun sewaktu-waktu dapat menyebabkan pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofilia (Gandahusada et al. 2000). Pada jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jarang mengalami kalsifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan (epilepsi), meningo-ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang-kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal. Sebuah laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak, dapat menyebabkan kematian (Gandahusada et al. 2000).

5 8 Diagnosa Diagnosa taeniasis solium dilakukan dengan pemeriksaan tinja secara makroskopik dan mikroskopik untuk menemukan proglotidan dan/atau telur dalam tinja penderita taeniasis. Kendala dari metode diagnosa ini adalah kesulitan dalam membedakan bentuk telur dari berbagai spesies Taenia dengan telur cacing pita lain seperti Echinococcus yang secara morfologi sangat mirip. Diagnosa sistiserkosis subkutis dapat dilakukan dengan teknik biopsi. Sistiserkus yang telah mengalami kalsifikasi diberbagai bagian tubuh termasuk otot dan otak dapat dideteksi dengan sinar X. Teknik pencitraan lain seperti computerized tomographic (CT) scan juga dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi sistiserkus dalam jaringan otak. Berbagai uji serologis telah digunakan untuk mendiagnosa penderita sistiserkosis, diantaranya enzyme-linked immunoelectrotransfer blot (EITB), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), uji hemaglutinasim dan uji pengikatan komplemen (CFT = complement fixation test) (CFSPH 2005). Pengobatan Pengobatan penderita taeniasis solium dapat diobati dengan berbagai jenis antelmintika seperti prazikuantel, niklosamid, buklosamid, atau mebendazol. Dalam beberapa kasus sistiserkosis mungkin dapat diobati dengan albendazol dan prazikuantel. Pembendahan dapat digunakan untuk mengangkat sistiserkus dari mata, ventrikel serebrum, dan sumsum tulang belakang mengingat pemberian antelmintika dapat memperparah gejala klinis yang timbul (CFSPH 2005). Pencengendalian Tindakan pengendalian meliputi pengobatan terhadap orang tertular, pendidikan masyarakat, kesehatan/kebersihan lingkungan, dan pemeriksaan daging secara seksama di rumah potong hewan. Daging yang tertular sistiserkus harus disingkirkan atau mengalami pembekuan dengan suhu di bawah - 10 C atau dimasak dengan suhu di atas 60 C. Perlu dicermati bahwa pemeriksaan karkas di RPH tidak 100% mendeteksi sistiserkus, meskipun dapat menyingkirkan sebagian besar jaringan tertular (Soeharsono 2002; Soejoedono 2004).

6 9 Epidemiologi Kebiasaan hidup masyarakat yang dipengaruhi tradisi kebudayaan dan agama, memainkan peran penting dalam penyebaran taeniasis/sistiserkosis. Tingkat kejadian penyakit ini tinggi pada orang-orang bukan pemeluk agama Islam, penganut ajaran Yahudi, Advent Hari ke-tujuh, dan Saksi Yehova, yang biasanya mengkonsumsi daging babi (Schnurrenberger & Hubbert 1991; Gandahusada et al. 2000). Cara menyantap daging tersebut, yaitu matang, setengah matang, atau mentah dan pengertian akan kebersihan lingkungan (sanitasi) dan higiene, memainkan peranan penting dalam penularan cacing Taenia solium maupun Cysticercus cellulosae. Disamping Provinsi Papua kasus taeniasis dan sistiserkosis banyak ditemukan di Provinsi Bali dan Sumatera Utara yang memiliki populasi penduduk non muslim yang tinggi. Kasus taeniasis/sistiserkosis di Provinsi Bali disebabkan oleh Taenia solium dan Taenia saginata, sedangkan di Sumatera Utara kasus ini disebabkan oleh Taenia asiatica (Wandra et al. 2006b). Margono et al. (2001) mengungkapkan data serologis positif sistiserkosis (13.5%) penderita epilepsi, serta (12.6%) kasus asimptomatik di Bali. Wandra et al. (2006a) dalam studi epidemiologi di 3 desa di Bali pada tahun 2002 dan 2004 menemukan prevalensi taeniasis bervariasi antara 1.1% %. Namun dalam studi itu hanya ditemukan satu kasus sistiserkosis diantara penduduk ketiga desa tersebut. Sistiserkosis pada Babi Cacing pita dari daging babi telah diketahui sejak Hippocrates, atau bahkan mungkin sudah sejak masa Nabi Musa. Pada masa itu belum dapat dibedakan antara cacing pita daging sapi dengan cacing pita daging babi. Gessner (1558) dan Rumler (1856) merupakan ilmuwan yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi adalah stadium larva T. solium. Istilah sistiserkus pertama kali digunakan oleh Zeder pada tahun 1830, yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berarti gelembung yang mempunyai ekor (Grove 1990). Kejadian sistiserkosis pada babi telah dikenal lama di berbagai belahan dunia. Adanya penyakit ini di Indonesia ditunjukkan dengan telah adanya istilah

7 10 atau nama dalam bahasa daerah untuk gangguan parasit tersebut, seperti beberasan di daerah Bali, manisan di Tapanuli dan banasan di Tanah Toraja (Direktorat Kesehatan Hewan 1980 diacu dalam Dharmawan 1990). Disamping Cysticercus cellulosae terdapat beberapa jenis sistiserkus lain yang dapat dijumpai pada daging babi, diantaranya adalah Cysticercus tenuicollis dan kista Echinococcus atau kista hydatida (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Dari ketiga jenis sistiserkus tersebut, yang sangat berbahaya bagi manusia adalah Cysticercus cellulosae dan kista Echinococcus karena keduanya bersifat zoonosis (CFSPH 2005). Cysticercus cellulosae disamping dapat dijumpai pada babi, juga dapat ditemukan pada manusia, domba dan anjing (Soulsby 1982). Ukuran Cysticercus cellulosae bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangannya (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Pada umur 20 hari gelembung atau kista berukuran sebesar kepala jarum pentul, umur 60 hari sebesar kacang tanah. Skoleks mulai tampak pada umur 110 hari dan besarnya tetap hingga dewasa, tetapi sudah menjorok ke dalam gelembung. Di dalam organ, Cysticercus cellulosae dapat hidup bertahuntahun tetapi bila terjadi degradasi lemak atau pengapuran jaringan sekitarnya, parasit itu segera mati (LBN-LIPI 1983; Direktorat Jenderal Peternakan 1980 diacu dalam Dharmawan 1990). Menurut Soulsby (1982) Cysticercus cellulosae mencapai perkembangan penuh atau matang setelah berukuran 20 x 10 mm, dan menjadi infektif setelah berumur 9 10 minggu. Sementara itu Dharmawan (1990) mengemukakan sistiserkus matang berbentuk kista bujur yang jernih dengan ukuran diameter kira-kira 10 x 5 mm. Sistiserkus memiliki skoleks keruh yang menonjol ke dalam. Skoleks mempunyai empat batil isap dan satu lingkaran kait-kait (Cheng 1986; Dharmawan 1990). Pada pemeriksaan postmortem di RPH, Cysticercus cellulosae dapat ditemukan pada otot lidah, otot diafragma, otot antar tulang rusuk, otot perut, otot daerah pipi dan otot jantung (Wilson 1980; LBN-LIPI 1983; Dharmawan 1990). Disamping lewat pemeriksaan kesehatan daging yang biasa dilakukan di Rumah Potong Hewan, di negara-negara yang telah maju telah diintroduksi penggunaan cara-cara diagnostik dengan menggunakan teknik ELISA (Kumar & Ganur 1978; Ris et al. 1987; Dharmawan 1990).

8 11 Cysticercus tenuicollis merupakan bentuk larva cacing pita Taenia hydatigena yang cacing dewasanya hidup dalam usus halus anjing, kadangkadang pada kucing atau karnivora lainnya (Soulsby 1982). Larva ini merupakan cacing gelembung yang terbesar dari genus Taenia, dengan diameter mencapai 7 8 cm (Wilson 1980; Dunn 1978; Dharmawan 1990). Parasit ini bermigrasi menembus jaringan hati untuk menuju ke selaput peritonium (Georgi 1980 diacu dalam Dharmawan 1990). Disamping pada babi, hewan lain seperti domba, kambing dan sapi dapat menjadi induk semang antara Taenia hydatigena (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Cysticercus tenuicollis yang matang panjangnya dapat mencapai 6 cm (Soulsby 1982; Dharmawan 1990). Kista ini mengandung cairan encer dan berisi sebuah skoleks putih yang melipat ke bagian lehernya (Soulsby 1982; Dharmawan 1990). Kista Echinococcus adalah bentuk larva (metacestoda) dari cacing pita Echinococcus spp. Ada empat spesies dari genus ini yang telah diketahui yaitu Echinococcus granulosus, merupakan spesies yang pathogen dari keempat spesies yang ada (Soulsby 1982). Cacing dewasa berparasit di dalam usus halus anjing, serigala, anjing ajag, anjing hutan, kadang-kadang pada kucing dan karnivora lainnya (Acha & Szyfres 1980; Dharmawan 1990). Sedangkan metacestodanya yang dikenal dengan nama hydatida atau kista Echinococcus ditemukan tersebar pada beberapa hewan seperti babi, domba, sapi, kuda dan kadang-kadang dapat berakibat fatal pada manusia (Soulsby 1982). Kista Echinococcus umumnya berdiameter sekitar 5 10 cm. Namun pernah ditemukan kista ini pada manusia berukuran 50 cm dan mengandung sekitar 16 liter cairan (Soulsby 1982). Kondisi Umum Kabupaten Jayawijaya Masyarakat kabupaten Jayawijaya terdiri dari beberapa suku yang mempunyai kebiasaan dan adat yang berbeda. Suku-suku yang besar dan mendiami daerah Kabupaten Jayawijaya sebagai masyarakat asli daerah itu adalah suku Dani, Lani dan Yaly (Petocz 1987; WI 2007). Babi merupakan hewan yang mempunyai kedudukan penting bagi masyarakat pedalaman terutama masyarakat Dani-Lembah. Dalam adat masyarakat Dani-Lembah, babi adalah harta untuk membayar maskawin,

9 12 menyelesaikan masalah adat, serta syarat untuk ritual pengobatan dan upacaraupacara adat (Kosasih 1996). Masyarakat di pedalaman Pegunungan Tengah Papua mempunyai kebiasaan memelihara babi tanpa dikandangkan, sehingga ternak tersebut berkeliaran ke mana-mana. Babi yang berkeliaran tersebut sering juga mengkonsumsi tinja manusia. Hal ini dikarenakan, masyarakat sering melakukan defikasi di sembarang tempat, terutama di ladang atau kebun sekitarnya. Jika tinja manusia tersebut mengandung telur cacing pita atau Taenia solium, maka secara otomatis babi tersebut telah mengkonsumsi telur cacing Taenia solium sehingga dalam tubuhnya akan mempunyai kista atau sistiserkus (Anonim 2001). Sistem defikasi yang tidak saniter ini akan menjadi media pencemar bagi tanah, air dan tanaman sekitarnya. Padahal masyarakat setempat biasa mengkonsumsi air mentah, mengambil sayuran dan umbi-umbian seperti ubi jalar (Ipomea batatas), kentang, ketela pohon, talas, wortel, kol, sawi, kacang tanah dari daerah sekitarnya. Proyek percontohan peternakan babi di Jayawijaya pernah dilakukan melalui kerjasama South Australia Research and Development (SARD), International Potato Center (IPC), Dinas Peternakan Kabupaten Jayawijaya (Distnak), Balai Penelitian Ternak (Balitnak), dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua. Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan model kandang babi yang mudah dibangun dan memenuhi syarat kesehatan ternak. Penggunaan model kandang yang baik diharapkan akan dapat meningkatkan efisiensi produksi dengan mencegah babi berkeliaran sehingga mengurangi resiko terjadinya kontak antara babi dan telur /proglotida cacing pita dalam tinja manusia (Cargil et al. 2007). Masyarakat setempat biasanya memasak daging babi menggunakan cara bakar batu. Suhu yang dihasilkan dari proses bakar batu ini tidak cukup tinggi sehingga apabila pemanasan dilakukan tidak cukup lama, maka daging tersebut masih setengah matang. Bila daging babi itu mengandung sistiserkus maka daging setengah matang tersebut akan menjadi sumber penularan infeksi cacing pita. Pada kegiatan bakar batu, biasanya daging babi yang telah masak akan diletakkan di atas tanah dengan beralaskan daun-daunan atau rumput-rumputan.

10 13 Rendahnya kebersihan lingkungan (sanitasi) membuka kemungkinan terjadinya pencemaran telur cacing pada alas daun tersebut (Anonim 2001). Sistem sanitasi umum dan higiene perorangan di daerah inipun sangat buruk. Menurut Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Papua (2006), Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu daerah yang memiliki status kesehatan lingkungan (sanitasi) terendah di Propinsi Papua. Sebagian besar (98.0%) penduduk Kabupaten Jayawijaya tidak memiliki fasilitas/sarana sanitasi seperti air bersih, jamban keluarga, tempat pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah (SPAL). Dalam laporan tersebut juga dinyatakan bahwa sebagian besar masyarakat lokal di daerah tersebut memiliki higiene perorangan yang buruk. Menurut laporan ini juga bahwa salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya higiene perorangan mereka adalah faktor iklim. Suhu di Lembah Balliem yang dingin (14-15 C) mempengaruhi frekwensi masyarakat untuk membersihkan dirinya (mandi, cuci tangan dan gosok gigi) secara normal. Di sebagian besar penduduk di Lembah Balliem tidak menganggap higiene perorangan sebagai hal yang penting. Selain itu, sistem pengolahan makanan yang masih tradisional dan kurang memenuhi syarat kesehatan menjadi media yang potensial dalam penyebaran penyakit ini. Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu pusat keramaian yang terletak di pertengahan antara Distrik Kurulu, Kampung Walesi, dan Kampung Hom-Hom. Letaknya yang sangat strategis memberikan kontribusi bagi perekonomian di Kota Wamena Kabupaten Jayawijaya. Pasar Jibama juga merupakan pasar terbesar diantara pasar-pasar yang ada di Kota Wamena dimana masyarakat setempat dapat menjual hasil bumi mereka. Daging babi adalah salah satu bahan pangan asal hewan yang dijual di pasar ini. Daging babi ini berasal dari ternak masyarakat lokal suku-suku yang tinggal di Lembah Balliem. Disamping ternak babi, babi hasil buruan masyarakat juga di jual di pasar ini, meskipun kebanyakan dalam bentuk daging asap. Pemotongan babi biasanya dilakukan langsung di lingkungan pasar yang tidak jauh dari lokasi penjualan, mengingat daerah ini belum ada Rumah Potong Hewan (RPH). Untuk mendapatkan daging babi yang segar, masyarakat biasanya langsung membeli di pasar. Daging babi yang dijual di pasar sampai saat ini belum dapat

11 14 dipastikan kesehatannya. Hal ini disebabkan belum adanya manajemen pengawasan kesehatan ternak dan daging babi di Kabupaten Jayawijaya. Kondisi ini membuka peluang terjadinya penyebaran taeniasis melalui daging yang dijual di pasar. Kondisi taeniasis dan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya Penyakit cacing pita ini diperkirakan masuk pertama kali ke derah Paniai dan Pegunungan Jayawijaya bagian Barat dalam tahun 1970 (Gunawan et al. 1975). Kemudian penyakit ini menyebar ke wilayah timur pegunungan tengah sampai Lembah Balliem. Hal tersebut termuat dalam laporan Subianto pada Rapat Kerja Kesehatan Provinsi Irian Jaya 1978 di Jayapura, yang melaporkan kejadian taeniasis 9.8% dari penduduk Lembah Balliem (Wamena dan sekitarnya) yang disurvei (Gunawan 1983). Survei yang dilakukan pada tahun 1983 di Kampung Dukopu, Desa Hubikosi, Kecamatan Wamena menemukan bahwa 11 orang (10.8%) dari jumlah total 102 orang penduduk yang menunjukkan gejala sindroma cacing pita. Berdasarkan jumlah tersebut 10 orang (9.8%) mengalami kejang-kejang dan 2 diantaranya mempunyai nodul. Seorang hanya mempunyai nodul tanpa gejala kejang-kejang (Indarto et al. 1983). Pada tahun 1993 dilakukan survei tentang taeniasis/sistiserkosis, dan cacing usus lainnya terhadap warga delapan paroki di seluruh Lembah Balliem. Survei ini didorong oleh laporan kematian beberapa tokoh gereja katolik akibat tenggelam di sungai pada saat serangan epilepsi. Hasil survei menemukan 48.0% dari 537 orang dewasa pernah mengalami serangan epilepsi dimana 26.5% merupakan penderita sistiserkosis. Hal ini menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan data tahun 1977 yang mencatat kejadian sistiserkosis dan epilepsi pada masing-masing 2% dan 14% penduduk (Handali et al. 1997). Serangan epilepsi pada penderita sistiserkosis di Jayawijaya biasa terjadi pada waktu penderita sedang tidur di malam hari. Kondisi ini sering mengakibatkan terjadinya luka bakar karena penderita terguling ke dalam perapian yang terletak di tengah honai. Honai adalah bentuk rumah adat suku Dani, Yali dan Lani di Kabupaten Jayawijaya yang dijadikan sebagai tempat

12 15 tinggal. Pada tahun tercatat 257 kasus luka bakar di Desa Obano Kabupaten Jayawijaya (Margono et al. 2006). Studi lain oleh Wandra et al. (2000) memperlihatkan pada ditemukan kasus luka bakar di Distrik Asologaima yang berpenduduk jiwa. Pada awal 1996, Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II Kabupaten Jayawijaya melaporkan jumlah kasus neurosistiserkosis sebanyak kasus yang tersebar di 15 Kecamatan. Terbanyak berada di Kecamatan Makki, Wamena, Assologaima, Karubaga, Hom-Hom dan Kurulu. Angka ini merupakan angka kumulatif (kasus baru dan lama) yang dikumpulkan sejak tahun 1993 (Anonim 2001). Berdasarkan catatan dari Puskesmas Asologaima pada tahun 1991 ditemukan 4 kasus epilepsi (0.3%) dan 217 kasus luka bakar (1.6%) dari penduduk enam kampung di Kecamatan Asologaima. Data tahun 1995 menunjukkan adanya 145 kasus epilepsi (0.83%) dan 452 kasus luka bakar (2.58%) dari penduduk (Wandra et al. 2000). Menurut Simanjuntak et al. (1997) hampir 50.0% kasus tersangka taeniasis atau sistiserkosis di sekitar Wamena menunjukkan gejala epilepsi. Hasil survei bersama antara Subdit Zoonosis Depkes RI, serta Dinas Kesehatan Provinsi Irian Jaya dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya di Desa Woogi Kecamatan Assologaima dan Desa Home Lama Kecamatan Wamena Kabupaten Jayawijaya pada Februari 1996 menemukan kasus taeniasis dan sistiserkosis diantara penduduk kedua desa tersebut. Dari 22 orang penduduk Desa Woogi yang diperiksa terdapat 13 penderita sistiserkosis dan 9 orang lainnya pernah mengalami serangan epilepsi. Di Desa Home Lama terdapat 5 orang penderita taeniasis dan 2 orang penderita sistiserkosis serta 2 orang lainnya mempunyai gejala epilepsi dari 9 orang penduduk yang diperiksa (Subdit Zoonosis Depkes RI, Dinkes Prov.Irja & Dinkes Kab.Jayawijaya 1996). Upaya penanggulangan pernah dilakukan pada beberapa tahun yang silam, namun sejak tahun 2000 sampai dengan saat ini, perhatian Pemerintah Provinsi Papua terhadap penyakit taeniasis dan sistiserkosis sangat rendah. Hal ini menyebabkan morbiditas penyakit taeniasis dan sistiserkosis meningkat cukup

13 16 tinggi di daerah endemis termasuk Kabupaten Jayawijaya (Dinkes Kab.Jayawijaya 2006).

STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA FERRY DEVIDSON MAITINDOM

STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA FERRY DEVIDSON MAITINDOM STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA FERRY DEVIDSON MAITINDOM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. Klasifikasi dan Morfologi Taenia sp didalam klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam kelas Eucestoda, ordo Taeniidae, famili Taeniidae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab taeniasis yaitu

Lebih terperinci

Ciri-ciri umum cestoda usus

Ciri-ciri umum cestoda usus Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik fisik wilayah tropis seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Sistiserkosis pada Serum Contoh Total Penelitian ini memeriksa serum babi sebanyak 39 contoh (Tabel 1). Babi yang diambil serumnya dalam penelitian ini berasal dari peternakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae

Lebih terperinci

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila, CESTODA JARINGAN Cacing dalam kelas Cestoidea disebut juga cacing pita karena bentuk tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan ataupun pembuluh darah.

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum Platyhelminthes. Cacing dewasa menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup dijaringan vertebrata

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dari segala bahaya yang dapat

Lebih terperinci

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '"/ *

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '/ * i zt=r- (ttrt u1 la l b T'b ', */'i '"/ * I. JENIS.JENIS CACING PARASIT USUS YANG UMUM MENYERANG ANAK SEKOLAH DASAR-) Oleh : Dr. Bambang Heru Budianto, MS.**) I. PENDAHULUAN Penyakit cacing usus oleh masyarakat

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN I. JEMS.JENIS CACING PARASIT USUS YANG UMUM MENYERANG ANAK BALITA DAN ORANG YANG PROFESINYA BERHUBTJNGAN DENGAN TANAH Oleh: Dr. Bambang Heru Budianto, MS.*) I. PENDAHULUAN Penyakit cacing usus oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar (ANTIBODY DETECTION TOWARD CYSTICERCUS CELLULOSAE ON LOCAL PIG THAT SLAUGHTERED

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Taeniasis sp. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika

Lebih terperinci

PETUNJUK PEMBERANTASAN TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI INDONESIA

PETUNJUK PEMBERANTASAN TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI INDONESIA PETUNJUK PEMBERANTASAN TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI INDONESIA A. DEFINISI. 1.. ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebkan oleh cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata,taenia solium

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

CESTODA USUS. >> Nama penyakit: teniasis solium, dan yang disebabkan stadium larva adalah. a. Ukuran: panjang 2-4 m, kadang-kadang sampai 8 m.

CESTODA USUS. >> Nama penyakit: teniasis solium, dan yang disebabkan stadium larva adalah. a. Ukuran: panjang 2-4 m, kadang-kadang sampai 8 m. CESTODA USUS Terdiri dari: 1. Taenia solium 2. Taenia saginata 3. Hymenolopis nana 4. Hymenolopis diminuta 5. Dypilobotrium latum 6. Dypilidium caninum 1. Taenia solium >> Hospes difinitif: manusia Hospes

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii

BAB I PENDAHULUAN. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang menyebabkan dampak merugikan terhadap hewan dan manusia diseluruh dunia. Toxoplasma gondii

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Diare Penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Selain penyakit ini masih endemis di hampir semua daerah, juga sering muncul

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit parasiter saat ini menjadi ancaman yang cukup serius bagi manusia. Ada 6 jenis penyakit parasiter yang sangat serius melanda dunia, yaitu malaria, schistosomiasis,

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak yang mempunyai banyak pemukiman kumuh, yaitu dapat dilihat dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan merupakan penyakit infeksi disebabkan oleh parasit cacing yang dapat membahayakan kesehatan. Penyakit kecacingan yang sering menginfeksi dan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 dalam Bab I Pasal 1 disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang. termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths

BAB I PENDAHULUAN. Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang. termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths (STH) yaitu cacing yang menginfeksi manusia dengan cara penularannya

Lebih terperinci

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar (SEROPREVALENCE OF PIG CYSTICERCOSIS AT THE SLAUGHTERHOUSE IN PENATIH, DENPASAR ) I Ketut Suada 1,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakteri Salmonella sp merupakan mikrobia patogen penyebab sakit perut yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat alami Salmonella sp adalah

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA PENDUDUK KECAMATAN WAMENA, KABUPATEN JAYAWIJAYA, PROPINSI PAPUA TAHUN 2002

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA PENDUDUK KECAMATAN WAMENA, KABUPATEN JAYAWIJAYA, PROPINSI PAPUA TAHUN 2002 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA PENDUDUK KECAMATAN WAMENA, KABUPATEN JAYAWIJAYA, PROPINSI PAPUA TAHUN 22 Wilfried H. Purba, 1 Tri Yunis Miko W 1, Akira Ito 4, Widarso

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistiserkosis Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh cacing cestoda. Sistiserkosis merupakan penyakit karena infeksi C. cellulosae pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit kecacingan masih tetap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Infeksi protozoa usus adalah salah satu bentuk infeksi parasit usus yang disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan Cryptosporidium parvum

Lebih terperinci

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

Proses Penularan Penyakit

Proses Penularan Penyakit Bab II Filariasis Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah (Elephantiasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Filariasis disebabkan

Lebih terperinci

BAB II VIRUS TOKSO Definisi Virus Tokso

BAB II VIRUS TOKSO Definisi Virus Tokso BAB II VIRUS TOKSO 2.1. Definisi Virus Tokso Tokso adalah kependekan dari toksoplasmosis, istilah medis untuk penyakit ini. Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut tubuh melalui makanan, udara, tanah yang akan bersarang di usus besar pada waktu malam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang beriklim tropis, penularan penyakit oleh parasit menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang beriklim tropis, penularan penyakit oleh parasit menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara yang beriklim tropis, penularan penyakit oleh parasit menjadi semakin mudah dan cepat. Hingga saat ini penyakit yang disebabkan oleh parasit masih menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang prevalensinya sangat tinggi di Indonesia, terutama cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminth

Lebih terperinci

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat.

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil serta Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit berupa cacing kedalam tubuh manusia karena menelan telur cacing. Penyakit ini paling umum tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini sama bahayanya bagi

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara 2.1 Helminthiasis Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes dari beberapa Nematoda usus. Sebagian besar daripada Nematoda

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit intraseluler

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Toxoplasma gondii, merupakan penyakit yang banyak dijumpai di seluruh dunia.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Toxoplasma gondii, merupakan penyakit yang banyak dijumpai di seluruh dunia. PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, merupakan penyakit yang banyak dijumpai di seluruh dunia. Luasnya penyebaran toksoplasmosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Babi merupakan salah satu hewan komersil yang dapat diternakkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dikalangan masyarakat. Babi dipelihara oleh masyarakat dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit halus)cacing tersebut menggulung dan berbentuk kumparan dan biasanya mempunyai

Lebih terperinci

IIMU PENGETAHUAN ALAM KELAS V SD

IIMU PENGETAHUAN ALAM KELAS V SD IIMU PENGETAHUAN ALAM KELAS V SD Disusun oleh : Cristin Dita Irawati/ 111134027/ PGSD Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Standar Kompetensi Makhluk Hidup dan Proses kehidupan 1. Mengidentifikasi fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan cacing kelas nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing yang termasuk STH antara lain cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit ini adalah hewan yang ada di sekitar kita, seperti ayam, kucing, anjing, burung,

BAB I PENDAHULUAN. penyakit ini adalah hewan yang ada di sekitar kita, seperti ayam, kucing, anjing, burung, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TORCH adalah singkatan dari toxoplasma, rubella, citomegalovirus, dan herpes, yaitu penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa atau parasit darah dan virus. Penyebab

Lebih terperinci

xvii Universitas Sumatera Utara

xvii Universitas Sumatera Utara xvii BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths Manusia merupakan hospes yang utama untuk beberapa nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan yang penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( )

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( ) COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI (078114113) KLASIFIKASI ILMIAH Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Legionellales Family : Coxiellaceae Genus :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. protozoa parasit Toxoplasma gondii (T.gondii), parasit tersebut dapat menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. protozoa parasit Toxoplasma gondii (T.gondii), parasit tersebut dapat menginfeksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toxoplasmosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh protozoa parasit Toxoplasma gondii (T.gondii), parasit tersebut dapat menginfeksi semua mamalia dan spesies

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi

BAB 1 PENDAHULUAN. Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi pembangunan kesehatan, yaitu memelihara kesehatan yang bermutu (promotif), menjaga kesehatan (preventif),

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Manusia

Sistem Pencernaan Manusia Sistem Pencernaan Manusia Manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Makanan yang masuk ke dalam tubuh harus melalui serangkaian proses pencernaan agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Proses

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat

Lebih terperinci

Sumber penularan penyakit. Penerima. Diagram Penularan Penyakit

Sumber penularan penyakit. Penerima. Diagram Penularan Penyakit BAB 2 PENYAKIT BAWAAN MAKANAN (FOOD BORNE DISEASE) Sumber penularan penyakit orang sakit binatang / insekta tanaman beracun parasit Penerima manusia hewan Penyebaran penyakit tergantung pada kontak langsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.)) 2.1.1 Klasifikasi Lamtoro Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Suku Genus : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta : Magnolipsida :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah masa keras seperti batu yang

BAB I PENDAHULUAN. di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah masa keras seperti batu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Batu ginjal adalah suatu keadaan terdapat satu atau lebih batu di dalam pelvis atau calyces ginjal atau di saluran kemih (Pratomo, 2007). Batu ginjal di dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, dapat menginfeksi pada hewan dan manusia dengan prevalensi yang bervariasi (Soulsby, 1982). Hospes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan

Lebih terperinci

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Oleh : Restian Rudy Oktavianto J500050011 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Leptospirosis atau penyakit kuning merupakan penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Penyakit ini disebabkan bakteri Leptospira Icterohaemorrhagiae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua dan paling melemahkan yang dikenal dunia. Filariasis limfatik diidentifikasikan sebagai penyebab kecacatan menetap dan

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh BAB II TUJUAN PUSTAKA A. ES JUS Es Jus merupakan salah satu bentuk minuman ringan yang dapat langsung diminum sebagai pelepas dahaga. Es Jus terbuat dari beberapa bahan antara lain es batu,buah,,sirup,

Lebih terperinci

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%. Etiologi Cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing gelang Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang umum menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang dalam kehidupannya mengalami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di berbagai negara terutama di negara berkembang, dan sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian demam tifoid (Ma rufi, 2015). Demam Tifoid atau

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian demam tifoid (Ma rufi, 2015). Demam Tifoid atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan merupakan masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah lain diluar kesehatan itu sendiri. Demikian pula untuk mengatasi masalah

Lebih terperinci