BAB 2 Tinjauan Pustaka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 Tinjauan Pustaka"

Transkripsi

1 BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Persepsi Mengenai Konflik Orang Tua Pada bagian ini dibahas mengenai definisi persepsi dan definisi konflik orang tua secara singkat, kemudian dibahas secara lebih rinci tentang persepsi mengenai konflik orang tua Definisi Persepsi Terdapat beberapa definisi persepsi berdasarkan pandangan para ahli, antara lain sebagai berikut: Menurut Lahey (2009) persepsi adalah suatu interpretasi dari sensasi yang dirasakan, sebuah proses mental aktif yang ketika tercipta dapat melebihi informasi yang tertangkap oleh berbagai indera. Morgan, King, Weisz, dan Schopler (dalam Puspadewi, 2004) menjelaskan bahwa persepsi mengacu pada bagaimana dunia terlihat, terdengar, terasa atau tercium. Dengan kata lain, persepsi dapat didefinisikan sebagai apa pun yang dialami oleh seseorang. Puspadewi (2004) menyatakan bahwa persepsi merupakan proses konstruktif dimana otak mengintegrasikan, menganalisis, mengurutkan, dan memberi arti segala pengalaman dari berbagai indera. Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu interpretasi dari segala informasi yang diterima oleh berbagai indera, informasi tersebut diintegrasikan, dianalisis, diurutkan, dan dimaknai sehingga menjadi suatu pengalaman tersendiri bagi individu Definisi Konflik Orang Tua Konflik dapat terjadi dalam setiap hubungan manusia, karena dua individu tidak selalu dapat setuju pada segala hal sepanjang waktu. Konflik antar individu dapat muncul ketika motif, tujuan, keyakinan, pendapat, atau perilaku individu terganggu atau bertentangan dengan individu lainnya (Miller, 2009). Menurut Robinson (2009), konflik 9

2 10 orang tua, disebut juga sebagai konflik perkawinan merujuk pada perbedaan pendapat, perdebatan, dan perselisihan yang terjadi antara orang tua. Schermerhorn, Chow, dan Cummings (2010) mendefinisikan konflik orang tua sebagai perbedaan pendapat diantara kedua orang tua baik besar maupun kecil, negatif atau positif, atau interaksi apapun yang membuat salah satu atau kedua pasangan merasakan ketegangan emosional, frustrasi, atau marah. Ross (2007) mengkonseptualisasikan konflik orang tua sebagai perilaku oposisi atau bertentangan diantara figur orang tua dan menjadi stressor bagi anak, yang mana hal ini dapat pula mengarahkan pemahaman anak dalam sistem keluarga mengenai konflik dan bagaimana mengatasinya. Berdasarkan beberapa teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa konflik orang tua adalah perselisihan atau pertentangan terhadap motif, tujuan, keyakinan, pendapat, atau perilaku yang terjadi diantara orang tua yang dapat menyebabkan satu atau keduanya merasakan ketegangan emosional, dan menampilkan respon-respon emosi (seperti kemarahan), dimana hal ini dapat mengarah pada pemahaman anak mengenai konflik dan bagaimana mengatasinya Persepsi Mengenai Konflik Orang tua Konflik yang terjadi diantara orang tua yang terlihat oleh anak dapat menciptakan suatu penilaian, pemahaman, dan pengalaman bagi anak. Grych, Seid dan Fincham (1992) menjelaskan bahwa terdapat komponen penting dari persepsi anak mengenai konflik orang tuanya yang mencakup frequency, intensity, resolution, content, self-blame, perceived threat, dan coping efficacy. Berikut penjelasan masing-masing komponen: A. Frequency Menurut Buehler, Krishnakumar, Anthony, Tittsworth, dan Stone (seperti dikutip dalam Gong, 2013) menyatakan bahwa frequency merujuk pada seberapa sering orang tua berselisih pendapat terhadap satu sama lain terkait berbagai masalah keluarga. Semakin sering anak menyaksikan konflik orang tua membuat anak semakin peka terhadap konflik dikemudian hari yang mana akan memperluas masalah pada penyesuaian dirinya (Grych & Fincham, 1990).

3 11 B. Intensity Konflik pernikahan juga bervariasi dari segi intensitasnya, yaitu mulai dari diskusi atau pembicaraan yang tenang sampai dengan munculnya kekerasan secara fisik. Intensitas juga dapat dikonseptualisasikan sebagai tingkat dari afek negatif atau kekerasan yang diekspresikan oleh orang tua (Grych & Fincham, 1990). C. Resolution Menurut Cumming dan Davies (seperti dikutip dalam Gong, 2013) Resolusi konflik mengacu pada bagaimana orang tua memecahkan perselisihan atau konflik yang ada dan bagaimana orang tua berperilaku dan berekspresi setelah konflik tersebut. Orang tua yang secara sukses menangani konflik dapat memberikan contoh problem solving yang positif kepada anak, hal ini dapat mengarah pada meningkatkan kemampuan sosial dan keterampilan coping anak (Grych & Fincham, 1990). D. Content Konten atau isi dari suatu konflik dapat bervariasi, namun isi dari konflik yang berkenaan dengan anak dapat memberikan tekanan tersendiri bagi anak, karena dapat membuat anak mempersoalkan bagaimana perasaan orang tuanya terhadap dirinya atau dapat pula menyalahkan diri sendiri atas perselisihan yang terjadi (Grych & Fincham, 1990). E. Self-blame Self-blame atau perasaan bersalah yang muncul pada diri anak karena merasa sebagai orang yang menyebabkan terjadinya konflik diantara orang tuanya. Self-blame dapat muncul ketika konflik orang tua berkenaan dengan diri anak (Grych & Fincham, 1990). F. Perceived Threat Perceived threat merupakan evaluasi anak terhadap konflik orang tua sebagai sesuatu yang mengancam atau tidak. Konflik orang tua yang intens dapat mengakibatkan anak merasa cemas dan takut bahwa sesuatu yang buruk dapat terjadi baik pada dirinya maupun pada orang tuanya (Grych & Fincham, 1990). G. Coping Efficacy Coping Efficacy merupakan persepsi anak mengenai seberapa terampilnya mereka dalam menghadapi konflik orang tua. Anak berusaha mengetahui apa yang menyebabkan konflik muncul, dan siapa yang bertanggung jawab atas masalah yang

4 12 terjadi, kemudian menggunakan keterampilan yang memadai untuk coping terhadap konflik secara sukses (Grych & Fincham, 1990). 2.2 Strategi Regulasi Emosi Pada bagian tentang strategi regulasi emosi akan dibahas mengenai definisi regulasi emosi, tahap perkembangan regulasi emosi, faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi, dan dua jenis strategi regulasi emosi Definisi Regulasi Emosi Regulasi emosi mempunyai berbagai definisi. Menurut Gross (1998) regulasi emosi mengacu pada kemampuan individu untuk mempengaruhi emosi yang dimiliki, kapan emosi dirasakan, dan bagaimana individu mengalami serta mengekspresikan emosinya. Menurut Campos, Frankel & Camras (2004), regulasi emosi mengacu pada modifikasi reaksi emosional baik dalam proses pembentukan emosi atau manifestasi emosi dalam perilaku. Menurut Thompson (1998) regulasi emosi dapat diartikan sebagai seluruh proses ekstrinsik dan intrisik yang bertanggung jawab untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi regulasi emosi adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi emosi yang dimiliki, kapan emosi dirasakan, dan bagaimana individu mengalami serta mengekspresikan emosinya dengan cara memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosional baik dalam proses pembentukan emosi atau dalam proses mewujudkan emosi kedalam perilaku untuk mencapai tujuan tertentu Tahap Perkembangan Regulasi Emosi Menurut Holodynski dan Friedlmeier (2006) perkembangan regulasi emosi melalui 5 fase, yaitu: A. Fase pertama : usia 0 2 tahun Pada fase ini infant dihadapkan pada tugas untuk membangun kemampuan membedakan berbagai emosi yang diketahui melalui tanda-tanda ekspresi dari caregivers atau pengasuhnya, dan juga menerima berbagai bentuk coping untuk

5 13 membangun regulasi interpersonal dengan pengasuhnya. Pengasuh harus menginterpretasikan ekspresi dan reaksi tubuh yang masih membingungkan bagi infant. Jadi pada fase ini, regulasi emosi infant masih terorganisir secara interpersonal, karena emosi diarahkan pada orang lain. Infant seluruhnya tergantung pada regulasi interpersonal melalui pengasuh, dan masih belum dapat mengontrol emosi. B. Fase kedua : usia 3 6 tahun Anak dihadapkan pada tugas untuk mengurangi dukungan yang menyeluruh dari pengasuh mereka dan berupaya memiliki baik regulasi intrapersonal maupun interpersonal. Pada fase ini anak mulai mampu meregulasi emosi secara independen. Mulai muncul emosi bangga (pride), malu (shame), dan perasaan bersalah (guilt) yang berkaitan dengan meningkatnya kesadaran diri (self-aware) anak terhadap norma dan aturan budaya. Anak mulai mempelajari koordinasi antara motivasi kepuasaan dengan lingkungan sosialnya. C. Fase ketiga : diatas 6 tahun Pada fase ini, individu mengalami perubahan dalam segi ekspresi dan bicara, yang mana hal ini terjadi karena adanya fungsi baru dari regulasi intrapersonalnya yaitu internalisasi, sehingga individu sudah dapat melakukan inner speech atau bisa dikatakan level mental dari ekspresi, bicara dan tindakan sudah mulai muncul. Dengan terjadinya internalisasi, maka semakin mengoptimalkan regulasi, yang selanjutnya memungkinkan optimalisasi dalam mengontrol ekspresi emosi. Saat seseorang merasakan suatu emosi, maka dapat mengadaptasi ekspresi emosinya sesuai tuntutan budaya dan lingkungannya tanpa mengganggu perasaannya. D. Fase ke-empat : usia remaja (adolescence) Tugas pada fase ini tidak hanya mengatur aksi dan emosi saat ini dan sesaat berikutnya, tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan atau memperluas kompetensi kontrol diri ini jauh untuk masa mendatang. Ini berarti, individu mengevaluasi suatu tindakan saat ini dengan maksud mendapatkan konsekuensi yang diinginkan di masa mendatang dan berusaha bertindak dengan tepat. Menurut Santrock (2011), kemampuan mengontrol emosi merupakan aspek penting dalam perkembangan aspek emosi masa remaja ini. Kemampuan regulasi emosi berkaitan pada berbagai keberhasilan atau kegagalan banyak aspek, misalnya akademik.

6 14 Pada masa ini, regulasi emosi di dalam dan melalui interaksi sosial dengan teman sebaya diusulkan sebagai tugas perkembangan utama remaja (Allen & Manning; Allen & Miga, dalam Kivisto, 2011), dengan demikian fondasi regulasi emosi yang telah terbentuk dari lingkungan pengasuhan utama yaitu orang tua akan menentukan sukses atau tidaknya hubungan baru individu dengan teman sebayanya tersebut (Kivisto, 2011). E. Fase ke lima : usia dewasa (adulthood) Cartensen (seperti dikutip dalam Holodynski, 2006) menyatakan bahwa fungsi kemampuan regulasi emosi tidak menurun atau masih dapat bertahan hingga usia lanjut. Cartensen juga menyatakan bahwa optimalisasi kemampuan regulasi emosi terjadi seiring meningkatnya usia, maka individu pada fase ini menunjukkan kemampuan meregulasi emosi negatif yang lebih baik daripada fase sebelumnya dan berupaya mempertahankan emosi positif yang dirasakan Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi Menurut Fox dan Calkins (2003), terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi regulasi emosi individu, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi temperamental disposision, keterampilan kognitif, dan kematangan sistem saraf dan sistem fisiologis individu yang terlibat dalam proses regulasi emosi (Calkins, 1994; Fox, 1994; Fox, Henderson & Marshall, 2001, dalam Fox & Calkins, 2003). Faktor ekstrinsik meliputi ekspektasi budaya terhadap emosi yang ditampilan, hubungan individu dengan saudara dan peers, dan lingkungan pengasuhan atau keluarga (terutama dari orang tua sebagai primary caregiver) (Fox & Calkins, 2003). Orang tua merupakan faktor ekstrinsik yang paling berpengaruh terhadap bagaimana anak mempelajari cara mengelola emosinya (Shelleby, 2010). Morris dkk (2007) menyatakan bahwa orang tua dapat mempengaruhi regulasi emosi anak melalui tiga cara utama. Pertama, emosi dapat dipelajari melalui observasi, mencakup parental modeling, social referencing, dan emotion contagion. Kedua, regulasi emosi dapat dipengaruhi oleh perilaku orang tua yang diasosiasikan dengan sosialisasi emosi seperti parental emotion coaching dan parental reactions to emotions. Ketiga, iklim emosional orang tua yang dipengaruhi oleh attachment dengan anaknya, pola asuh, dan hubungan perkawinan.

7 Dua Jenis Strategi Regulasi Emosi Gross dan John (2003) mengusulkan dua strategi spesifik yang membedakan individu dalam meregulasi emosi yaitu cognitive reappraisal dan expressive suppression. Studi penelitian telah menunjukkan bahwa konsekuensi dari cognitive reappraisal dan expressive suppression jelas berbeda pada setiap individu (Gong, 2013). Berikut penjelasan dari kedua jenis strategi dari regulasi emosi tersebut: A. Cognitive Reappraisal Cognitive reappraisal berarti individu menilai kembali atau mengevaluasi ulang secara kognitif situasi yang berpotensi memunculkan emosi, dengan kata lain strategi ini dilakukan untuk mengurangi dampak emosional (Lazarus & Alfert, dalam Gross & John, 2003). Cognitive reappraisal mengubah cara seseorang berpikir tentang rangsangan emosional tertentu, hal ini dilakukan sebelum respon emosional sepenuhnya muncul, sehingga strategi ini dapat menurunkan perasaan negatif dan ekspresi perilaku yang negatif (Gross, 1998). Menurut Ochsner dan Gross (seperti dikutip dalam Christiany, 2004) mekanisme dari cognitive reappraisal melibatkan (1) reframing secara kognitif peristiwa yang menimbulkan emosi kemudian mempertahankan strategi tersebut sepanjang waktu; (2) membuat interpretasi baru dari interpretasi yang sudah ada mengenai sebuah peristiwa; (3) memaknai kembali keadaan internal, khususnya terhadap stimulus penyebabnya. Contoh dari penggunaan strategi cognitive reappraisal adalah ketika seseorang yang mendengar komentar pedas dari rekannya, hal tersebut diartikan dan dievaluasi kembali sebagai suatu tanda dari insecurity, maka emosi yang muncul bukan kemarahan namun sebaliknya individu merasa iba terhadap rekannya tersebut. Strategi cognitive reappraisal berhubungan dengan tingginya ekspresi dan pengalaman emosi positif, maka individu yang menggunakan strategi ini lebih banyak mengalami dan mengekspresikan emosi positif daripada emosi negatif (Gross & John, 2003). Dalam penelitian Gross & John, (2003) ditemukan bahwa individu yang terbiasa menggunakan cognitive reappraisal menunjukkan sedikit gejala depresi. Selain itu strategi ini berkorelasi positif dengan setiap indikator dari fungsi positif, individuindividu yang menggunakan cognitive reappraisal lebih puas dengan kehidupan, lebih

8 16 optimis, dan memiliki harga diri yang lebih baik. Begitu pula pada setiap domain wellbeing dari Ryff (dalam Gross & John, 2003), individu-individu yang menggunakan cognitive reappraisal memiliki tingkat environmental mastery, personal growth, dan self-acceptance yang lebih tinggi, serta tujuan hidup yang lebih jelas. Hasil penelitian Gross dan John (2003) juga menemukan bahwa individu yang menggunakan strategi cognitive reappraisal memiliki hubungan dekat dengan temantemannya dan juga disukai oleh teman-temannya, hal ini disebabkan individu tersebut mampu secara positif membagi emosi-emosi yang dirasakan kepada teman-temannya, baik emosi positif maupun negatif, sehingga individu lebih banyak menerima dukungan sosial. Meskipun memiliki rasa otonomi yang besar, individu tersebut memiliki skor yang tinggi pada hubungan positif dengan orang lain dan memiliki fungsi sosial yang lebih baik. B. Expressive Supression Expressive suppression adalah bentuk modulasi respon yang melibatkan penghambatan perilaku ekspresi emosi yang sedang berlangsung (Gross, 2001). Expressive suppression merupakan strategi yang menekan atau mengubah cara seseorang menanggapi situasi emosional, dilakukan setelah respon emosional muncul (Gross, 1998). Strategi expressive suppression tidak mengubah jumlah emosi negatif yang dirasakan oleh individu, meskipun ekspresi perilaku berkurang (Gross, 2001). Menurut Richard dan Gross (seperti dikutip dalam Christiany, 2004), ada tiga mekanisme dari expressive suppression, yaitu: (1) penghindaran aktif (active avoidance), individu menghindar dari stimulus yang dapat memunculkan emosi dalam dirinya; (2) pemfokusan diri (self-focus), secara bersamaan individu menurunkan atensi terhadap hal-hal yang ada di luar dirinya dan fokus terhadap stimulus yang dihasilkan di dalam dirinya (misalnya pada perubahan fisiologis); (3) subvocalization, individu secara internal menciptakan dialog pengaturan diri (misalnya individu berkata kepada dirinya, Saya tidak boleh terlihat marah, nanti dia malah semakin menjauh. Tenang, tenang! Ditahan saja kesalnya! ). Contoh dari penggunaan strategi expressive suppresion adalah ketika seseorang berusaha untuk terlihat tidak terkecoh dengan komentar pedas dari seorang teman, hal ini ia lakukan untuk menutupi kemarahannya.

9 17 Individu yang menggunakan strategi ini lebih sering merasakan, mengalami, dan mengekspresikan emosi negatif daripada emosi positif (Gross & John, 2003). Penurunan emosi negatif yang dialaminya dapat berlangsung lambat dan juga dapat terakumulasi menjadi emosi yang tidak terselesaikan, karenanya dibutuhkan lebih banyak sumber kognitif untuk memulihkan emosi dibandingkan dengan individu yang menggunakan cognitive reappraisal (Gross & John, 2003). Aktivasi fisiologis yang lebih besar ditemukan pada individu-individu yang menggunakan expressive suppression (Gross, 1998). Hasil penelitian Gross & John (2003) menunjukkan expressive suppression memiliki asosiasi negatif dengan kesejahteraan diri atau wellbeing. Lebih khusus, individu yang biasanya melakukan expressive suppression dilaporkan memiliki gejala depresi yang lebih tinggi, merasa kurang puas dengan kehidupannya, memiliki harga diri yang lebih rendah, dan kurang optimis. Temuan penelitian menunjukkan bahwa orang yang biasanya menggunakan expressive suppression kurang puas baik dengan diri mereka sendiri dan hubungan mereka dengan orang lain, lebih pesimistis terhadap masa depan, dan lebih rentan terhadap depresi, serta menunjukkan masalah kesejahteraan diri atau well-being. Hasil penelitian Gross dan John (2003) juga menyebutkan bahwa dalam pengukuran domain dukungan sosial, individu yang menggunakan strategi expressive suppression memiliki dukungan sosial yang lebih rendah, hal ini akan berdampak pada dukungan emosi yang dirasakan individu. Gross dan John (2003) menjelaskan individu expressive suppression cenderung tidak membagi emosi-emosi yang dirasakan, lebih avoidance (tidak nyaman dengan kedekatan dan keterbukaan), dan memiliki kedekatan emosional yang rendah dengan orang lain. 2.3 Remaja Definisi remaja Terdapat beberapa definisi remaja menurut para ahli. Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009) masa remaja merupakan peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Masa remaja ini memberikan kesempatan untuk tumbuh, tidak hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial, otonomi, harga

10 18 diri, dan keintiman (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menyatakan rentang usia remaja dimulai dari usia 11 tahun hingga 20 tahun. Santrock (2003) menyatakan masa remaja dimulai kira-kira usia tahun dan berakhir pada usia tahun, dan terbagi kedalam 2 periode utama yaitu remaja awal dan remaja akhir. Masa remaja awal biasanya dimulai ketika anak memasuki usia Sekolah Menengah Pertama yang ditandai dengan munculnya sebagian besar perubahan pubertas, sedangkan masa remaja akhir dimulai kira-kira setelah usia 15 tahun, dimana minat karir, hubungan romantis atau pacaran, dan eksplorasi mengenai identitas seringkali menjadi lebih jelas dibandingkan pada masa remaja awal (Santrock, 2003). Sedangkan Monks (2002) berpendapat mengenai masa remaja terjadi pada rentang usia 12 sampai 21 tahun yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Dari beberapa teori yang telah dijabarkan maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang memasuki masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang mencakup perubahan pada fisik, kognitif, dan psikososial, yang umumnya terjadi kira-kira pada usia 11 hingga 22 tahun Karakteristik Perkembangan Remaja Menurut Santrock (2002) individu pada masa remaja dipengaruhi oleh faktorfaktor genetik, biologis, lingkungan, dan pengalaman berinteraksi. Pengalamanpengalaman dan tugas-tugas perkembangan masih muncul selama masa ini. Pada masa remaja relasi dengan orang tua mengalami perubahan, hubungan dengan teman sebaya semakin intim, dan kencan dilakukan untuk pertama kali, demikian pula penjajakan seksual dan mungkin hubungan seksual. Pemikiran-pemikiran remaja menjadi lebih abstrak dan idealistis. Begitu juga dengan kemunculan perubahan-perubahan biologis yang memicu peningkatan minat terhadap citra tubuh (body image). Berikut adalah penjelasan lebih jauh mengenai karakteristik perkembangan remaja: Perkembangan Fisik Masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas yaitu proses yang pada akhirnya menghasilkan kematangan seksual dan fertilitas, suatu kemampuan untuk

11 19 melakukan reproduksi (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Pubertas merupakan periode kematangan fisik yang terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja yang meliputi perubahan tubuh dan hormonal (Santrock, 2012). Pubertas ditandai dengan kemunculan hormon yang tinggi. Hormon tersebut dibagi kedalam 2 kelas utama yaitu androgen (pada kelamin laki-laki) dan estrogen (pada kelamin perempuan). Testosteron merupakan hormon androgen yang berperan penting dalam perkembangan pubertas laki-laki sedangkan astradiol merupakan hormon estrogen yang berperan penting dalam perkembangan pubertas perempuan. Testosteron berkaitan dengan sejumlah perubahan fisik pada anak laki-laki yang mencakup perkembangan alat kelamin eksternal, meningkatnya berat tubuh, dan perubahan suara (Goji dkk, dalam Santrock, 2012), serta berkaitan dengan hasrat dan aktivitas seksual (Cameron, dalam Santrock, 2012). Sedangkan meningkatnya estradiol memicu munculnya perkembangan payudara, rahim, dan perubahan pada skeletal atau rangka, namun kontribusi terhadap hasrat dan aktivitas seksual masih belum jelas pada perempuan. Terjadinya kematangan pada organ reproduksi ketika masa remaja merupakan awal dimulainya menstruasi pada anak perempuan dan produksi sperma pada anak lakilaki. Ejakulasi pertama anak laki-laki atau disebut dengan spermarche rata-rata terjadi saat usia 13 tahun. Menstruasi pertama yang dialami oleh remaja perempuan disebut dengan menarche, umumnya terjadi pada usia tahun (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Dimensi psikologi dari pubertas pada masa remaja adalah kemunculan citra tubuh (body image). Para remaja menunjukkan perhatian lebih pada perubahan tubuh mereka, dan mengembangkan gambaran seperti apa tubuh mereka (Santrock, 2012). Dalam masa remaja terjadi pula peningkatan perilaku berisiko atau risk-taking (Rao dkk, dalam Santrock, 2012). Menurut Steinberg dkk (dalam Santrock, 2012), sensation seeking meningkat di usia 10 sampai 15 tahun dan kemudian menurun atau tetap stabil di akhir masa remaja dan awal masa dewasa. Bahkan menurut Steinberg (dalam Santock, 2012), individu yang berusia 18 tahun lebih impulsif, memiliki orientasi masa depan yang rendah, dan lebih rentan terhadap perngaruh teman sebaya dari pada individu dewasa.

12 20 Menurut Steinberg (dalam Santock, 2012) hal yang dapat menjelaskan perilaku risk-taking pada remaja adalah perkembangan korteks prefrontal yang lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan amigdala, oleh karena itu orteks prefrontal yang terlibat dalam penalaran, pembuatan keputusan, dan kontrol diri belum berfungsi optimal dibandingkan dengan amigdala yang termasuk dalam struktur emosi sehingga remaja lebih sering bertindak berdasarkan dorongan emosi. Peran orang tua, guru, dan figur yang bertanggung jawab lainnya juga penting dalam memonitor perilaku remaja secara efektif (Fang dkk, dalam Santrock, 2012). Menurut Johnson dkk (dalam Santrock, 2012), ketika remaja berada dalam situasi yang menggoda dan berbahaya namun orang tua tidak cukup memberikan pengawasan yang baik, kecenderung mereka untuk terlibat dalam perilaku berisiko akan tinggi, ketika hal itu bergabung dengan kemampuan regulasi diri remaja yang buruk maka dapat membuat mereka rentan terhadap sejumlah hasil negatif Perkembangan Kognitif Menurut Piaget (dalam Santrock, 2012), para remaja dalam mengkontruksi dunianya menggunakan suatu skema. Skema adalah konsep mental atau kerangka kerja yang berguna dalam mengorganisir dan menginterpretasi informasi. Remaja menggunakan dan mengadaptasi skema melalui dua proses, asimilasi (penggabungan informasi baru dengan pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya), dan akomodasi (penyesuaian skema terhadap informasi baru). Piaget juga mengemukakan remaja telah memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut formal operational stage, yang dikarakteristikan dengan munculnya pemikiran abstrak, idealistis, dan logis. Remaja mulai berpikir mengenai kemungkinan tentang masa depan dan terpesona dengan apa yang mungkin mereka capai. Ketika melakukan problem-solving, pemikiran remaja pada tahap ini lebih sistematis, dan individu mengembangkan hipotesis tentang bagaimana satu hal dapat terjadi (Santrock, 2003). Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009), tahapan formal operational anak remaja rata-rata terjadi pada usia 11 tahun. Pada saat remaja terjadi perubahan fungsi structural dan functional dalam memproses informasi. Perubahan structural meliputi meningkatkan pengetahuan deklaratif, prosedural, dan konseptual, serta meningkatnya kapasitas working memory.

13 21 Perubahan functional mencakup terjadinya kemajuan dalam penalaran deduktif (Papalia, Olds, & Feldman, 2009) Perkembangan Emosi Santrock (2012) mendefinisikan emosi sebagai suatu perasaan atau afek yang muncul ketika individu berada dalam situasi atau interaksi yang penting bagi individu, terutama bagi kesejahteraan diri individu, dicirikan dengan perilaku yang merefleksikan atau mengekspresikan kesenangan atau ketidaksenangan terhadap situasi atau interaksi yang sedang individu alami. Masa remaja ini merupakan masa dimana turun naiknya emosi lebih sering muncul. Perubahan hormon dan pengalaman dari lingkungan terlibat dalam perubahan emosi pada masa remaja (Santrock, 2012). Para remaja yang meningkatkan kemampuan kognitif dan kesadaran terhadap emosi lebih mampu menangani stres dan gejolak emosional secara efektif, namun ada pula remaja yang tidak mampu mengelola emosinya dengan efektif (Somerville dkk, dalam Santrock, 2012). Hal ini membuat individu menjadi mudah depresi dan marah, serta memiliki regulasi emosi yang buruk, dimana dapat mengarah pada berbagai masalah seperti kesulitan akademis, penggunaan obat-obatan, kenakalan remaja, dan gangguan makan (Santrock, 2012) Perkembangan Psikososial Pada Teori Erikson, usia remaja berada pada tahap identity versus identity confusion. Pada tahap ini remaja dihadapkan pada pilihan mengenai siapakah diri mereka, apakah mereka, dan hendak menuju kemana mereka dalam hidup. Remaja dihadapkan pada peran baru yang berkaitan dengan pekerjaan dan asmara (Santrock, 2012). Para remaja yang berhasil mengatasi krisis identitas diri akan mengembangkan fidelity, yakni memiliki loyalitas, keyakinan, atau rasa memiliki terhadap orang yang dicintai atau terhadap teman dan sahabat (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Orang tua merupakan figur penting di dalam perkembangan identitas remaja. Para peneliti telah menemukan bahwa atmosfir keluarga seperti pengasuhan demokratis, individuality, connectedness, dan enabling behavior berhubungan dengan aspek positif dari identitas remaja (Santrock, 2012). Berdasarkan penjelasan Erikson (dalam Papalia,

14 22 Olds, & Feldman, 2009), identitas berfungsi untuk mengatasi tiga isu utama remaja: pilihan terhadap pekerjaan, pengadopsian nilai-nilai yang akan dijalankan dalam hidup, dan perkembangan identitas seksual yang memuaskan. 2.4 Kerangka Berpikir Emosi remaja tidak stabil dan cenderung berlebihan. Regulasi Emosi Faktor Ekstrinsik Strategi regulasi emosi Cognitive reappraisal dan Expressive suppresion. Lingkungan pengasuhan atau keluarga, terutama orang tua. Iklim emosional orang tua yang dipengaruhi oleh: hubungan perkawinan (konflik orang tua). Persepsi anak mengenai konflik orang tua (Conflict Properties, Self-Blame, dan Threat). Sumber : Olahan peneliti Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian Pada masa remaja ini kondisi emosional individu cenderung tidak stabil bahkan ekstrim. Emosi negatif dalam kondisi yang ekstrim berkaitan dengan perilaku antisosial seperti kenakalan remaja. Berdasarkan penelitian Faridh (2008) perilaku kenakalan remaja erat kaitannya dengan kemampuan meregulasi emosi. Ada dua strategi yang

15 23 digunakan individu untuk meregulasi emosi, yaitu cognitive reappraisal dan expressive suppression (John & Gross, 2003). Strategi expressive suppression melibatkan upaya untuk menghambat manifestasi atau perwujudan keadaan emosional internal sedangkan strategi cognitive reappraisal melibatkan pengubahan cara berpikir tentang situasi untuk mengatur dampak emosional dari suatu peristiwa (Gross, 2002). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana individu meregulasi emosi yaitu faktor dari dalam diri individu (instrinsik) dan faktor dari luar individu (ekstrinsik). Faktor ekstrinsik yang paling berpengaruh adalah lingkungan pengasuhan, terutama dari orangtua (Fox dan Calkins, 2003). Menurut Morris dkk (2007) terdapat tiga proses utama yang mendasari bagaimana orang tua dapat mempengaruhi regulasi emosi anaknya. Salah satu prosesnya melalui iklim emosional yang dimiliki orangtua yang dipengaruhi oleh hubungan perkawinan (Morris dkk, 2007). Kualitas hubungan perkawinan dapat terkikis oleh adanya konflik (Grych & Fincham, 2001). Konflik orang tua yang terbuka yang dapat diamati dan dipersepsikan oleh anak dapat menimbulkan dampak pada regulasi emosi anak. Hal ini didukung oleh pernyataan Fincham dkk (seperti dikutip dalam Gong, 2013) bahwa konflik orang tua dapat mempengaruhi dan merubah kemampuan regulasi emosi anak, yang mana dampaknya dapat meluas hingga anak memasuki masa emerging adult. Berdasarkan hal tersebut, konflik orang tua yang dipersepsikan oleh anak mungkin dapat berkaitan dengan cara anak meregulasi emosinya. Beberapa penelitian yang telah ada sebagian besar meneliti tentang hubungan antara persepsi mengenai konflik orang tua dengan regulasi emosi secara umum, bukan dengan strategi regulasi emosi secara spesifik yang mencakup cognitive reappraisal dan expressive suppresion, maka peneliti tertarik ingin mengetahui adakah hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua dengan strategi regulasi emosi pada remaja di DKI Jakarta. 2.5 Hipotesis Hipotesis merupakan pernyataan mengenai hubungan antara dua atau lebih variabel (Kerlinger & Lee, 2000). Hipotesis dalam penelitian ini terdiri dari hipotesis nol ( ) dan hipotesis alternatif (, yang dijabarkan sebagai berikut:

16 24 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala conflict properties dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta. : Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala conflict properties dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta. : Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala conflict properties dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta. : Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala conflict properties dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta. : Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala self-blame dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta. : Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala self-blame dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta. : Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala self-blame dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta. : Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala self-blame dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta. : Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala threat dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta. : Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala threat dengan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal pada remaja di DKI Jakarta.

17 25 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala threat dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta. : Ada hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai konflik orang tua subskala threat dengan strategi regulasi emosi expressive suppression pada remaja di DKI Jakarta.

18 26

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kasus kenakalan remaja menjadi masalah yang diresahkan oleh banyak masyarakat. Tingginya kasus kenakalan remaja sangat memprihatinkan, terutama yang terjadi di kota

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Regulasi Emosi 2.1.1 Definisi Regulasi Emosi Regulasi emosi mempunyai beberapa definisi dari para ahli. Menurut Shaffer, (2005), regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Seksual Pranikah 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah Menurut Sarwono (2005) perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola Asuh Orang Tua dan Persepsi Definisi Menurut Kastutik & Setyowati (2014) orang tua memiliki kecenderungan untuk

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola Asuh Orang Tua dan Persepsi Definisi Menurut Kastutik & Setyowati (2014) orang tua memiliki kecenderungan untuk Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola Asuh Orang Tua dan Persepsi 2.1.1 Definisi Menurut Kastutik & Setyowati (2014) orang tua memiliki kecenderungan untuk membentuk karakteristik-karakteristik tertentu dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesiapan Menikah Pada latar belakang, penulis telah menjelaskan seberapa penting kesiapan menikah untuk individu memasuki jenjang pernikahan. Hal ini dijelaskan oleh Olson dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. identitas ( identity vs identity confusion). Menurut Kroger (dalam Papalia, 2004)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. identitas ( identity vs identity confusion). Menurut Kroger (dalam Papalia, 2004) 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penjelasan Konsep Teoritis 1. Aspek Psikososial Remaja Masa remaja merupakaan masa dimana remaja mencari identitas, dan dalam proses pencarian identitas tersebut tugas utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu memiliki berbagai macam masalah didalam hidupnya, masalah dalam diri individu hadir bila apa yang telah manusia usahakan jauh atau tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress PSIKOLOGI UMUM 2 Stress & Coping Stress Pengertian Stress, Stressor & Coping Stress Istilah stress diperkenalkan oleh Selye pada tahun 1930 dalam bidang psikologi dan kedokteran. Ia mendefinisikan stress

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Fisik dan Kognitif Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut Papalia et, al (2008) adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN LATAR BELAKANG Lerner dan Hultsch (1983) menyatakan bahwa istilah perkembangan sering diperdebatkan dalam sains. Walaupun demikian, terdapat konsensus bahwa yang

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan analisa hasil yang sudah dijabarkan pada bab sebelumnya, secara keseluruhan, hanya faktor conflict properties pada persepsi konflik interparental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, dan dapat menjadi landasan teoritis untuk mendukung penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa perpindahan dari anak-anak ke remaja

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa perpindahan dari anak-anak ke remaja BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masa remaja merupakan masa perpindahan dari anak-anak ke remaja dengan perubahan yang mengacu pada perkembangan kognitif, biologis, dan sosioemosional (Santrock, 2012).

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja Pada umumnya remaja didefiniskan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap pasangan. Saling setia dan tidak terpisahkan merupakan salah satu syarat agar tercipta keluarga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan masa dewasa. Dalam masa ini, remaja itu berkembang kearah kematangan seksual, memantapkan identitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dan membentuk hubungan sosial dengan orang lain, karena pada dasarnya manusia tidak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 15 BAB II LANDASAN TEORI A. Emosi 1. Definisi Emosi Emosi berasal dari bahasa latin yaitu emovere yang berarti luar dan movere dengan arti bergerak. Menurut Lahey (2007), emosi merupakan suatu hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

THE RELATIONSHIP BETWEEN PERCEPTION OF INTERPARENTAL CONFLICT AND EMOTION REGULATION STRATEGY AMONG ADOLESCENT IN DKI JAKARTA

THE RELATIONSHIP BETWEEN PERCEPTION OF INTERPARENTAL CONFLICT AND EMOTION REGULATION STRATEGY AMONG ADOLESCENT IN DKI JAKARTA THE RELATIONSHIP BETWEEN PERCEPTION OF INTERPARENTAL CONFLICT AND EMOTION REGULATION STRATEGY AMONG ADOLESCENT IN DKI JAKARTA Dhelia Sofi Anggani Sofyan Psikologi, Universitas Bina Nusantara, dhelia.sofi@gmail.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Diet 1. Pengertian Perilaku Diet Perilaku diet adalah pengurangan kalori untuk mengurangai berat badan (Kim & Lennon, 2006). Demikian pula Hawks (2008) mengemukakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Istilah remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescence yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Namun saat ini adolescence memiliki arti yang lebih luas mencakup kematangan mental,

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dimana pada masa itu remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sedang mencari jati diri, emosi labil serta butuh pengarahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Emotional Eating 2.1.1 Definisi Emotional Eating Menurut Arnow (1995) emotional eating adalah keinginan untuk makan ketika timbul perasaan emosional seperti frustrasi, cemas

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat MODUL PERKULIAHAN Perkembangan Sepanjang Hayat Adolescence: Perkembangan Psikososial Fakultas Program Studi TatapMuka Kode MK DisusunOleh Psikologi Psikologi 03 61095 Abstract Kompetensi Masa remaja merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang rentang kehidupannya individu mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani untuk tiap masanya. Tugas perkembangan tersebut terbentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hidup manusia dialami dalam berbagai tahapan, yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam setiap tahapan perkembangan terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan merupakan proses yang terjadi secara terus menerus dan berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan yang dialami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena perubahan yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini khususnya bagi remaja merupakan suatu gejala yang dianggap normal, sehingga dampak langsung terhadap perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti melahirkan anak, merawat anak, menyelesaikan suatu permasalahan, dan saling peduli antar anggotanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus penggunaan narkoba pada remaja sudah sering dijumpai di berbagai media. Maraknya remaja yang terlibat dalam masalah ini menunjukkan bahwa pada fase ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang diselenggarakan di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Diet 2.1.1 Pengertian Perilaku Diet Perilaku adalah suatu respon atau reaksi organisme terhadap stimulus dari lingkungan sekitar. Lewin (dalam Azwar, 1995) menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Music Engagement untuk Meregulasi Emosi 1. Defenisi Music engagement untuk meregulasi emosi adalah keterlibatan individu dengan musik yang bertujuan untuk mengelola dan mengarahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja merupakan masa dimana setiap individu mengalami perubahan yang drastis baik secara fisik, psikologis, maupun lingkup sosialnya dari anak usia

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut adalah Ujian Nasional, stres, stressor, coping stres dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumtif 2.1.1 Definisi Perilaku Konsumtif Menurut Fromm (1995) perilaku konsumtif merupakan perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan berlebihan dan menggunakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Interpersonal Sebagaimana diungkapkan Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa dengan bertambahnya usia, setiap wanita dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi dalam beberapa fase,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dari masa kanak-kanak menuju dewasa ditandai dengan adanya masa transisi yang dikenal dengan masa remaja. Remaja berasal dari kata latin adolensence,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya. Beberapa anak dihadapkan pada pilihan bahwa anak harus berpisah dari keluarganya karena sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja ditandai dengan pertumbuhan fisik, pengembangan kepribadian, pencapaian kedewasaan, kemandirian, dan adaptasi peran dan fungsi

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai kesimpulan dari penelitian yang dilakukan serta diskusi tentang hasil-hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescent yang mempunyai arti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep koping 1.1. Pengertian mekanisme koping Koping adalah upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, ancaman, luka, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Identitas Ego 2.1.1 Definisi Identitas Ego Untuk dapat memenuhi semua tugas perkembangan remaja harus dapat mencapai kejelasan identitas (sense of identity) yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres pada Wanita Karir (Guru) 1. Pengertian Istilah stres dalam psikologi menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas mengenai landasan teori variabel yang akan diteliti beserta dimensi, landasan teori mengenai dewasa muda, kerangka berpikir dan asusmsi penelitian. 2.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja akhir merupakan rangkaian terakhir dalam rentang perkembangan remaja yang berkisar antara usia 18-21 tahun (Steinberg, 1993). Masa remaja dikatakan sebagai peralihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I. perkembangan, yaitu fase remaja. Remaja (Adolescence) di artikan sebagai masa

BAB I. perkembangan, yaitu fase remaja. Remaja (Adolescence) di artikan sebagai masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam proses perkembangan dan pertumbuhan sebagai manusia ada fase perkembangan, yaitu fase remaja. Remaja (Adolescence) di artikan sebagai masa perkembangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan suatu kegiatan pengumpulan, pengolahan, penyajian dan analisis data yang dilakukan dengan metode ilmiah secara sistematis yang hasilnya berguna untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap individu pasti mengalami kesulitan karena individu tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan dalam kehidupannya. Kesulitan dapat terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbukanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Regulasi Emosi 2.1.1. Definisi Regulasi Emosi Regulasi emosi adalah, kemampuan dalam menstrategikan bagaimana menyesuaikan intensitas atau durasi dari reaksi emosional ke tahap

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN A. Rangkuman Hasil Penelitian Ketiga subjek merupakan pasangan yang menikah remaja. Subjek 1 menikah pada usia 19 tahun dan 18 tahun. Subjek 2 dan 3 menikah di usia 21 tahun dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jenis Kelamin Tahun Agustus Agustus

BAB 1 PENDAHULUAN. Jenis Kelamin Tahun Agustus Agustus BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan penyalahgunaan Narkoba yang ada saat ini khususnya di kalangan remaja terbilang cukup tinggi. Berdasarkan data yang terhimpun pada Data Direktorat Reserse

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa terjadinya banyak perubahan. Remaja haus akan kebebasan dalam memutuskan dan menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. Erikson (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya berdasarkan cara berpakaian, cara berjalan, cara duduk, cara bicara, dan tampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Emosi remaja sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mayang Wulan Sari,2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mayang Wulan Sari,2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan manusia terbagi menjadi beberapa fase selama rentang kehidupan. Beberapa fase tersebut diantaranya fase bayi, anak-anak, remaja hingga dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai cara yang dilakukan individu untuk bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tertentu tidaklah sama, begitu pun dengan cara dan kapasitas anak jika

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Attachment Attachment atau kelekatan merupakan teori yang diungkapkan pertama kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. Ketika seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi BAB I PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa transisi dari masa anakanak ke masa dewasa yang disertai dengan perubahan (Gunarsa, 2003). Remaja akan mengalami berbagai perubahan dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Salusu (2004), pengambilan keputusan adalah proses memilih

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Salusu (2004), pengambilan keputusan adalah proses memilih BAB II LANDASAN TEORI A. Pengambilan Keputusan 1. Pengertian pengambilan keputusan Menurut Salusu (2004), pengambilan keputusan adalah proses memilih alternatif-alternatif bagaimana cara bertindak dengan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seluruh subjek mengalami stres. Reaksi stres yang muncul pada subjek penelitian antara lain berupa reaksi

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

KOMUNIKASI EFEKTIF ANTARA ORANG TUA DAN REMAJA MENGENAI TEMAN BERGAUL REMAJA. Dra. Muniroh A, M. Pd Afra Hafny Noer, S. Psi, M. Sc

KOMUNIKASI EFEKTIF ANTARA ORANG TUA DAN REMAJA MENGENAI TEMAN BERGAUL REMAJA. Dra. Muniroh A, M. Pd Afra Hafny Noer, S. Psi, M. Sc KOMUNIKASI EFEKTIF ANTARA ORANG TUA DAN REMAJA MENGENAI TEMAN BERGAUL REMAJA Dra. Muniroh A, M. Pd Afra Hafny Noer, S. Psi, M. Sc Remaja Remaja adalah masa transisi antara masa anak dan masa dewasa. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci