BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 67 BAB II LANDASAN TEORI II.A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS II.A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryff (1989) meramu pandangan mengenai pemfungsian positif manusia dan kemudian mengemukakan bahwa individu dengan kesejahteraan psikologis yang positif tidak sekedar terbebas dari hal-hal yang berkaitan dengan afek negatif, seperti bebas dari rasa cemas atau merasa bahagia, melainkan lebih menekankan pada pemfungsian positif serta bagaimana pandangannya terhadap potensi-potensi positif dalam dirinya. Menurutnya, kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan tingkah lakunya sendiri, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan hidup. II.B.2. Dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis sebagai berikut: a. Penerimaan diri (self-acceptance) Penerimaan diri merupakan ciri utama dari konsep kesehatan mental dan juga merupakan karakteristik dari orang yang teraktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan matang (Ryff, 1989). Penerimaan diri yang baik

2 68 ditandai dengan kemampuan menerima diri seperti apa adanya dari segi positif dan negatif (Jahoda, dalam Ryff, 1989). Dengan menerima diri apa adanya, seseorang dimungkinkan untuk bersikap positif terhadap diri sendiri yang selanjutnya dapat meningkatkan toleransi akan frustasi dan berbagai kondisi yang tidak menyenangkan, termasuk keterbatasan diri, tanpa merasa menyesal atau marah yang mendalam. b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Kualitas yang dihubungkan dengan kemampuan membina hubungan yang positif dengan orang lain meliputi kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya, saling mengembangkan pribadi satu dengan yang lain, kemampuan untuk mencintai, berempati, memiliki afeksi terhadap orang lain, serta mampu menjalin persahabatan yang mendalam (Ryff, 1989). c. Otonomi (autonomy) Dimensi otonomi memiliki kualitas-kualitas seperti penentuan diri (selfdetermination), kemandirian, pengendalian perilaku dari dalam diri, dan penggunaan locus of control yang bersifat internal dalam mengevaluasi diri (Ryff, 1989). Dimensi ini melihat kemandirian individu dalam memutuskan dan mengatur perilakunya sendiri yang bebas tekanan dari pihak manapun. d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Kualitas yang tercakup dalam dimensi ini meliputi kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan

3 69 kondisinya, berpartisipasi dalam lingkungan di luar dirinya, mengendalikan dan memanipulasi lingkungan yang kompleks, serta kemampuan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan di lingkungan (Ryff, 1989). Secara umum dapat dikatakan bahwa dimensi ini melihat kemampuan individu dalam menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengatur sesuai dengan keadaan dirinya sendiri. e. Tujuan hidup (purpose in life) Orang yang berkualitas menurut dimensi ini adalah orang yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasa bahwa kehidupan di masa lalu dan masa sekarang memiliki makna, serta memegang keyakinan yang memberikan tujuan dalam hidup. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki tujuan hidup ditandai dengan karakteristik kurang mampu memahami makna hidup, tidak dapat melihat tujuan dari kehidupan di masa lampau, tidak memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dalam hidup. f. Pertumbuhan pribadi (personal growth) Untuk mencapai fungsi psikologis yang optimal, seseorang perlu memiliki aspek-aspek pertumbuhan pribadi yang baik. Hal ini antara lain ditandai dengan adanya keinginan untuk terus berkembang, kemampuan untuk melihat dirinya sebagai sesuatu yang terus bertumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman yang baru, memiliki keinginan untuk merealisasikan potensinya, serta dapat melihat kemajuan dalam diri dan perilakunya dari waktu ke waktu.

4 70 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada enam dimensi kesejahteraan psikologis, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. II.B.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff (1989) menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya mempengaruhi perkembangan kesejahteraan psikologis seseorang. a. Usia Ryff (1989) menemukan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi pengasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. b. Jenis kelamin Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotip gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu, perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman,

5 ). Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat stereotip ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersbeut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya perempuan terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan dengan orang lain. c. Status sosial ekonomi Ryff, dkk. (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya. Menurut Davis (dalam Robinson & Andrews, 1991), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. d. Budaya Ruff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampay terhadap kesejahteraan psikologis yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang

6 72 menjunjung tinggi kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan empat faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu, yaitu usia, jenis kelamin, status social ekonomi, dan budaya. II.B. COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY (CBT) II.B.1. Definisi dan Konsep Dasar Cognitive Behavior Therapy CBT merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi yang dimodifikasi secara langsung, yaitu dengan mengubah pikiran maladaptif dan kemudian secara tidak langsung juga akan mengubah tingkah laku yang nampak (overt action). Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2003) menekankan CBT pada pandangan individu tentang keyakinan (hipotesa) sementaranya dan kemudian menguji validitasnya dengan mengumpulkan bukti-bukti untuk menolak atau mendukung hipotesanya. Pucci (2005) menambahkan bahwa CBT berfokus pada thought dan core beliefs yang menyebabkan distress emosional, yaitu dengan menempatkan kembali pikiran-pikiran yang sehat dan akurat. CBT bertujuan untuk memfasilitasi individu dalam menciptakan situasi emosional positif, sehingga dapat mengimplementasi strategi-strategi spesifik, seperti restrukturisasi kognitif, mengatur jadwal aktivitas dan strategi lainnya (McGinss, 2000). Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2003) menyatakan bahwa salah satu tujuan utama CBT adalah untuk membantu individu dalam mengubah pemikiran atau kognisi yang irasional menjadi pemikiran yang lebih rasional.

7 73 Hackney & Cormier (dalam Cengage Learning, 2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa CBT terbukti lebih efektif untuk mengatasi masalahmasalah emosional dan fisik. CBT juga merupakan terapi yang efektif sebagai treatmen untuk berbagai gangguan psikologis dan juga meningkatkan kesejahteraan psikologis dan emosional (Bortholomew, 2013). Dalam pelaksanaan CBT, perlu dilakukan analisa fungsional berdasarkan prinsip S-O-R-C. Berdasarkan analisa fungsional ini dapat diidentifikasi kognisi yang terdistorsi, serta pola perilaku maladaptifnya. Prinsip S-O-R-C tersebut secara rinci adalah sebagai berikut: S (Stimulus) : peristiwa yang terjadi sebelum individu menunjukkan perilaku tertentu. O (Organism) : individu dengan aspek kognisi (K) dan Emosi (E) di dalamnya. R (Response) : apa yang dilakukan oleh individu atau organism, sering juga disebut dengan perilaku (behavior), baik perilaku yang tampak (overt behavior) ataupun perilaku yang tidak tampak (covert behavior). C (Consequences) : peristiwa yang terjadi setelah atau sebagai hasil dari perilaku atau response. Consequences termasuk apa yang terjadi secara langsung pada individu, pada orang lain, dan pada lingkungan fisik sebagai hasil dari perilaku tersebut. Ketika consequences atas perilaku adalah positif, individu akan lebih cenderung untuk mengulangi perilaku yang sama. Sebaliknya, ketika consequences atas perilaku adalah negatif, individu cenderung mengurangi untuk melakukan perilaku yang sama. Consequences dapat berasal dari dalam (internal)

8 74 ataupun dari luar individu (eksternal). Diagram analisa S-O-R-C dapat dilihat sebagai berikut: S (Stimulus): Peristiwa O (Organism): Kognisi dan Emosi R (Response): Perilaku C (Consequences): Konsekuensi positif atau negatif Gambar 2.1. Diagram Analisa S-O-R-C II.B.2. Proses Kognisi dan Kesalahan yang Umum dalam Cognitive Behavior Therapy Oei (1999) menyatakan bahwa pada situasi stressful, seringkali individu menghadapinya dengan menggunakan pemahaman atau pengalaman masa lalu. Masalahnya, pemahaman tersebut seringkali berupa kognisi yang maladaptif dan memicu emosi negatif, yang kemudian memunculkan perilaku-perilaku yang semakin memperburuk masalah. Beck menyebut hal itu dengan automatic thought, yaitu pikiran yang muncul secara otomatis dan sangat cepat, yang sifatnya repetitif dank has. Mengidentifikasi automatic thought merupakan hal yang perlu dilakukan dalam upaya mengubah pikiran-pikiran yang irasional menjadi pikiran yang rasional (Beck, dalam Spiegler & Guevremont, 2003). Adapun beberapa bentuk distorsi kognitif yang umum ditemui, yaitu: a. Arbitrary inference / jumping to conclusion mengambil kesimpulan tanpa bukti yang relevan atau tanpa pengujian lebih lanjut.

9 75 b. Overgeneralization menggeneralisasikan satu kejadian negative pada kejadian lainnya. c. Selective abstraction memperhatikan detail dengan mengabaikan keseluruhan d. Personalization mengaitkan situasi eksternal pada diri sendiri secara berlebihan. e. Polarized or dichotomous thinking / all or nothing thinking berpikir secara ekstrim, ya atau tidak, hitam atau putih. f. Magnification or minimization memandang sesuatu lebih jauh atau lebih penting dari yang sebenarnya, ataupun mengurangi kepentingan sesuatu dari yang seharusnya. g. Mental filter mengambil pernyataan negative dari situasi dan menggunakannya dengan mengabaikan pertimbangan positif yang lebih besar. h. Automatic discounting sensitifitas terhadap informasi negative yang diserap dan memotong informasi negatif. i. Emotional reasoning menggunakan perasaan sebagai bukti dari kebenaran dalam suatu situasi. j. Should statement kewajiban moral yang berlebihan. k. Labeling & Mislabelling reaksi emosional memberikan label pada seseorang yang berkaitan dengan suatu fenomena.

10 76 II.B.3. Teknik-teknik dalam Cognitive Behavior Therapy Beberapa ahli terapi CBT memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menjalankan terapi CBT. Pendekatan tersebut diterjemahkan dalam teknik-teknik berstruktur yang disesuaikan dengan target terapi. Spiegler & Guevremont (2003) menyatakan bahwa ada 2 model CBT, yaitu: a. Cognitive restructuring : berfokus pada kognitif maladaptif dan bertujuan untuk menggantikan kognisi yang maladaptif dengan kognisi yang adaptif. b. Cognitive behavior coping skills : berfokus pada kogninsi yang kurang adaptif dan bertujuan untuk melatih individu dalam memberikan respon yang adaptif, agar mampu menghadapi situasi secara efektif. McGinn (2000) secara spesifik menyatakan bahwa ada beberapa teknik yang digunakan dalam CBT dan kemudian dibagi atas tiga area, yaitu: a. Area kognitif : cognitice restructuring, yaitu mengoreksi pikiran-pikiran yang terdistorsi secara negative dan diarahkan menjadi lebih logis dan adaptif. b. Area perilaku : activity scheduling, social skills training, dan assertiveness training. c. Area fisiologis : teknik imagery, meditasi, relaksasi. Pada penelitian ini akan digunakan teknik cognitive restructuring yang kemudian akan dikombinasikan dengan social skills training. Cognitive restructuring berfokus pada kognisi yang maladaptif, dan digunakan untuk mengajari individu mengubah distorsi kognisi tersebut, yang merupakan sumber masalah dalam diri individu. Social skills training merupakan teknik yang

11 77 digunakan untuk melatih individu agar lebih mampu dalam mengatur situasi interpersonal secara efektif. Teknik social skills training yang akan digunakan adalah social perception skills training, yaitu mengajarkan individu untuk mampu memonitor, membedakan, dan mengidentifikasi: (a) emosi dan perasaan orang lain, (b) emosi, perasaan, dan perspektif orang lain dalam interaksi, (c) karakteristik dan aturan-aturan sosial dalam konteks sosial yang spesifik (Milne & Spence, dalam Spence, 2003). II.C. GAY DAN PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS SEKSUAL PADA GAY (COMING OUT) II.C.1. Definisi Gay Sebelum mendefinisikan apa yang dimaksud dengan gay, perlu dipahami terlebih dahulu konsep orientasi seksual. Yang dimaksud dengan orientasi seksual adalah ketertarikan seseorang secara emosional, fisik, seksual dan romantis terhadap suatu gender maupun lebih (Carroll, 2005). Individu yang tertarik kepada lawan jenis kelaminnya disebut heteroseksual dan individu yang tertarik pada jenis kelamin yang sama disebut homoseksual. Sementara itu, individu yang tertarik pada kedua jenis kelamin disebut biseksual. Kelompok yang disebut dengan gay adalah kaum laki-laki homoseksual (Kelly, 2001; Carroll, 2005). Menurut Hawkins (dalam Sadock & Sadock, 2003) istilah gay merujuk pada identititas pribadi dan identitas seksual yang dibentuk individu, yang merefleksikan perasaan keterkaitan seseorang terhadap kelompok sosial yang memiliki label yang sama.

12 78 II.C.2. Definisi dan Proses Pembentukan Identitas Seksual (Coming Out) Menurut Klinger dan Cabaj (dalam Sadock & Sadock, 1998) pembentukan identitas seksual merupakan proses dimana individu mengemukakan orentasi seksualnya dihadapan stigma sosial dengan keberhasilan untuk menerima dirinya sendiri. Cass (dalam Carroll, 2005) mengemukakan model enam tahapan dalam pembentukan identitas homoseksual. Tidak semua individu homoseksual mencapai tahap keenam, tergantung seberapa nyaman individu dalam orientasinya di masing-masing tahapan. a. Tahap I: Identity Confusion Individu mulai meyakini bahwa tingkah lakunya dapat diidentifikasi sebagai homoseksual. Mungkin akan ada kebutuhan untuk mendefinisikan ulang konsep individu mengenai tingkah laku homoseksual dengan segala bias dan kesalahan informasi yang dialami kebanyakan orang. Individu mungkin menerima peran tersebut dan mencari informasi, mungkin menekan dan menyembunyikan segala tingkah laku homoseksual (bahkan mungkin menjadi seorang anti homoseksual dan mengutuknya), atau mungkin menyangkal keterkaitannya dengan identitasnya. b. Tahap II: Identity Comparison Individu menerima potensi identitas dirinya sebagai seorang homoseksual, menolak heteroseksual namun tidak memiliki model lain yang dapat menjadi penggantinya. Individu merasa dirinya berbeda dan tersesat. Jika ia kemudian mempertimbangkan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang homoseksual, ia akan mencari seorang model yang sesuai untuk itu.

13 79 c. Tahap III: Identity Tolerance Di tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin homoseksual dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun tetapi identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya individu masih tidak memberitahukan identitas barunya dan menjalani gaya hidup ganda, sebagai homoseksual dan sebagai heteroseksual. d. Tahap IV: Identity Acceptance Terbentuk pandangan positif tentang identitas diri dan mulai mengembangkan jaringan hubungan dengan kaum homoseksual yang lain. Ia mulai membuka diri terhadap teman dan keluarga serta semakin membenamkan diri dalam budaya homoseksual. e. Tahap V: Identity Pride Berkembang kebanggaan akan homoseksualitas sejalan dengan kemarahan akan treatment yang pada akhirnya mengakibatkan penolakan terhadap heteroseksualitas karena dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa gaya hidupnya yang baru adalah sesuatu yang benar dan sesuai. f. Tahap VI: Identity Shynthesis Individu menjalani gaya hidup homoseksual yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi menjadi masalah dan muncul kesadaran bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian dan orentasi seksual hanya salah satu dari aspek-aspek tersebut.

14 80 II.D. Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Gay yang Menjalani Proses Pembentukan Identitas Seksual Salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah membentuk identitas diri (Hurlock, 1999). Sebagian besar remaja dapat memenuhi tugas ini dengan baik, namun tidak bagi remaja gay. Remaja gay harus mengintegrasikan identitas diri mereka sebagai gay (Newman & Muzzognigro, 1993), yang mana hal ini bertentangan dengan norma masyarakat. Di dalam prosesnya, pada awal pencarian jati diri sebagai seorang individu gay, akan banyak konflik batin yang dialami oleh individu. Menurut situs Gay & Lesbian Information (2006), ada 4 elemen yang berkaitan dengan konflik individu dalam membentuk identitas seksualnya sebagai gay, yaitu: (1) perasaan akan persepsi pembentukan diri yang berbeda dengan orang lain; (2) perasaan dan proses menjalani pengalaman tertarik dan terangsang dengan kehadiran individu lain yang memiliki jenis kelamin sama; (3) perasaan sensitif terhadap stigma seputar kehidupan homoseksualitas; dan (4) kurangnya pengetahuan terkait homoseksualitas itu sendiri. Membentuk identitas seksual merupakan proses yang panjang dan menakutkan bagi remaja gay. Mereka dihadapkan dengan ketakutan ditolak oleh masyarakat sosial, terutama oleh keluarga. Banyak situasi seperti lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan lingkungan keluarga, serta agama dan sosial yang menjadi penghalang bagi individu homoseksual untuk membentuk identitas seksualnya sebagai gay atau lesbian (Stevens, 2004). Miller dan Major (2000) juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa proses pembentukan identitas seksual

15 81 menjadi permasalahan yang cukup serius bagi remaja gay dalam menerima kondisinya sendiri. Mengakui dan menerima diri sebagai gay akan membuat mereka distigma dan dinilai sakit oleh masyarakat. Stigmatisasi dan diskriminasi yang mereka terima menjadi salah satu penyebab utama munculnya berbagai masalah selama proses pembentukan identitas seksual (Caroll, 2005). Membuka diri merupakan sesuatu yang sulit, penuh risiko dan dapat menimbulkan risiko dan dapat menimbulkan kecemasan (Savin-Williams, 1996; Maris, 2000; Woolfe, 2003; Carroll, 2004). Terkait dengan kondisi tersebut, tidak sedikit remaja gay yang memutuskan untuk menutup diri dan menyembunyikan kondisinya. Akan tetapi hal ini dapat meningkatkan stres dan berbagai permasalahan psikologis yang dialami oleh remaja gay. Menutup diri dari lingkungan mengenai kebenaran seksualitasnya juga dapat menimbulkan rasa bersalah, ketidakjujuran, keterasingan dari orang lain dan diri sendiri, serta ketakutan bahwa rahasianya akan terungkap (Maris, 2000; Woolfe, 2003). D Augelli (dalam Legate, Ryan, & Weinstein, 2012) menemukan bahwa proses pembentukan identitas seksual akan menimbulkan berbagai dampak negatif, yang salah satunya berdampak pada kesejahteraan psikologis individu. Dalam penelitian, Gottschalk (2007) menemukan bahwa kesadaran dan keyakinan individu gay atau lesbian mengenai stereotip negatif terkait seksualitasnya akan berdampak pada rasa keberhargaan diri (self-worth) dan kesejahteraan psikologisnya. Tugas-tugas yang terkait dengan perkembangan identitas seorang homoseksual juga dapat menuntut sumber psikologis dari individu dan pada akhirnya dapat mengancam kesejahteraan psikologisnya (Woolfe, 2003).

16 82 II.E. Efektifitas Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Gay yang Menjalani Proses Pembentukan Identitas Seksual Selama bertahun-tahun, individu homoseksual telah melakukan konsultasi pada terapis untuk mengubah orientasi seksualnya menjadi heteroseksual dengan terapi reparatif. Banyak sekali terapi reparatif yang mengajarkan bahwa homoseksulitas tidak wajar dan menjijikkan. Hal ini akan meningkatkan kecemasan dan perasaan membenci diri sendiri pada individu homoseksual (Robinson, 2006). Walaupun demikian, menurut beberapa ahli psikologi, tekanan sosial terhadap individu untuk menjadi seorang heteroseksual menimbulkan keraguan bahwa permintaan tersebut memang pilihan yang mereka buat dengan kondisi dimana mereka memiliki kebebasan untuk memilih. Salvin-Williams (1996) melaporkan bahwa individu yang menyadari orientasi seksualnya sebagai seorang homoseksual akan kehilangan kemampuan untuk menghormati dan menghargai dirinya sendiri karena hal tersebut berbeda atau dipandang tidak normal oleh lingkungannya. Individu yang memiliki dugaan bahwa dirinya seorang homoseksual akan berhadapan dengan pesan seksual yang negatif tentang perasaan seksual mereka, yang terbukti bersifat korosif terhadap self-esteem dan psychological well-being (Wolfe, 2003). Beck (dalam LaSala, 2006) menyatakan bahwa distress emosional yang dialami oleh individu bukanlah dampak dari peristiwa dan situasi yang dialaminya, melainkan bagaimana mereka menerima situasi tersebut. Dalam merespon situasi yang penuh stres, beberapa individu mengalami distorsi kognitif,

17 83 yang kemudian menimbulkan berbagai permasalahan psikologis dan emosional dalam dirinya, seperti depresi dan kecemasan. Terapi CBT memungkinkan individu untuk menyadari pikiran dan perasaan yang dimilikinya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran, dan perilaku mempengaruhi emosi, dan meningkatkan perasaan positif dengan mengubah pikiran yang disfungsional dan perilaku individu (Cully & Teten, 2008). Pendekatan CBT dapat diadaptasi untuk membantu individu gay dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka alami terkait dengan orientasi seksualnya. Teknik CBT yang berfokus pada mengembangkan teknik coping yang efektif dan meningkatkan frekuensi klien dalam menilai kejadian positif akan membantu mereka dalam menghadapi berbagai stressor terkait dengan stigma masyarakat terhadap diri mereka (Safren, Hollander, Hart, & Heimberg, 2001).

18 84 Remaja Orientasi Seksual: Ketertarikan secara emosional dan seksual Salah satu tugas perkembangan: Membentuk identiitas diri Heteroseksual Homoseksual Homoseksual Membentuk identitas seksual Gay Lesbi Ketakutan ditolak keluarga dan sosial Menghadapi stigma dan stereotype gay Kesulitan untuk mengembangankan public intimate relationship Menerima tindak kekerasan dan pelecehan Merasakan diskriminasi Tahapan: 1. Identity Confusion 2. Identity Comparison 3. Identity Tolerance 4. Identity Acceptance 5. Identity Pride 6. Identity Synthesis Kesejahteraan psikologis rendah Cognitive Behavior Therapy Cognitive restructuring Social perception skills training Gambar 2.2. Kerangka Berpikir

19 85 II. F. HIPOTESA PENELITIAN Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada pengaruh Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja gay.

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

COGNITIVE BEHAVIOURAL THERAPY (CBT) UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS REMAJA GAY. Ayu Wardani Wiwik Sulistyaningsih

COGNITIVE BEHAVIOURAL THERAPY (CBT) UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS REMAJA GAY. Ayu Wardani Wiwik Sulistyaningsih COGNITIVE BEHAVIOURAL THERAPY (CBT) UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS REMAJA GAY Ayu Wardani Wiwik Sulistyaningsih Universitas Sumatera Utara, Indonesia Email: ayuwardaniusu@yahoo.com wiwiksulistyaningsihusu@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

berbeda saat ia berada di SMA, ia sadar bahwa ia merasakan ketertarikan dengan teman-teman perempuannya, informan merasa wanita itu perlu

berbeda saat ia berada di SMA, ia sadar bahwa ia merasakan ketertarikan dengan teman-teman perempuannya, informan merasa wanita itu perlu 63 BAB V PENUTUP 5.1. Pembahasan Identitas seksual adalah apa yang orang katakan mengenai kita berkaitan dengan perilaku atau orientasi seksual kita, kita benarkan dan percaya sebagai diri kita. Jika seorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik sama dan tidak menyukai orang yang memiliki karakteristik berbeda dengan mereka (Baron, Byrne

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK www.mercubuana.ac.id MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK Aaron Beck adalah psikiater Amerika yang merintis penelitian pada psikoterapi dan mengembangkan terapi kognitif. Ia dianggap sebagai bapak cognitive

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seksualitas merupakan salah satu topik yang bersifat sensitif dan kompleks. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan individu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya diperoleh gambaran bahwa

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya diperoleh gambaran bahwa BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya diperoleh gambaran bahwa keseluruhan subyek yang sedang dalam rentang usia dewasa awal mengalami tahapan pembentukan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan pengertian dari Psychological well-being, dimensi-dimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff BAB II LANDASAN TEORI II.A. Psychological Well-Being II.A.1. Definisi Psychological Well-Being Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff (dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial sekaligus menarik untuk didiskusikan. Di Indonesia sendiri, homoseksualitas sudah meranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini masyarakat mulai menyadari akan adanya keberadaan kaum gay disekitar mereka. Data yang dilansir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyakitkan (Carroll, 2005). Balsam dan Beauchaine (2005) meyakini

BAB I PENDAHULUAN. menyakitkan (Carroll, 2005). Balsam dan Beauchaine (2005) meyakini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH...dalam hatiku yang terdalam aku menjerit, tak pernah sedetikpun dalam hidupku aku menginginkan perasaan ini, aku berusaha membuang naluri gila ini akan tetapi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anxiety 2.1.1 Definisi Anxiety atau kecemasan adalah emosi spesifik yang terkarakterisasi dari timbulnya kewaspadaan yang tinggi, negatif valensi, ketidakpastian, dan rendahnya

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orientasi seksual mengacu pada pola abadi emosional, atraksi romantis, dan seksual dengan laki-laki, perempuan, atau kedua jenis kelamin. Orientasi seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan yaitu : 5.1.1. Indikator Identitas Diri Menurut subjek SN dan GD memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (PWB) atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi yang menjadikan individu dapat mengenali, menggali dan memiliki potensi yang khas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi. Karena manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

KONSELING REMAJA Putri Marlenny P, S.Psi, M.Psi, Psikolog Rumah Duta Revolusi Mental HP/WA :

KONSELING REMAJA Putri Marlenny P, S.Psi, M.Psi, Psikolog Rumah Duta Revolusi Mental HP/WA : KONSELING REMAJA Putri Marlenny P, S.Psi, M.Psi, Psikolog Rumah Duta Revolusi Mental HP/WA : 081-5687-1604 NB : Materi ini telah TIM RDRM persentasikan di Dinas Kesehatan Kota Semarang 2017 About Me Nama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Orientasi Seksual a. Pengertian Orientasi Seksual Setiap individu memiliki suatu ketertarikan, baik secara fisik maupun emosional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia orientasi seksual yang umum dan diakui oleh masyarakat kebanyakan adalah heteroseksual. Namun tidak dapat dipungkiri ada sebagian kecil dari masyarakat

Lebih terperinci

B A B I I. kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah. dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain.

B A B I I. kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah. dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain. B A B I I L A N D A S A N T E O RI I. INTIMACY I. A. Pengertian Intimacy Kata intimacy berasal dari bahasa Latin, yaitu intimus, yang memiliki arti innermost, deepest yang artinya paling dalam (Caroll,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang paling penting yang dihadapi oleh manusia adalah kebutuhan untuk mendefinisikan diri sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran masing-masing yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. Setiap individu, baik pria maupun wanita memiliki peran masing-masing serta mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui psychological well-being pada pasien HIV positif (usia 20-34 tahun) di RS X Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia tersebut tidak dapat hidup sendiri melainkan membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya. Seseorang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada bagian Corrected item-total correlation semua angka diatas 0,300, karena

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada bagian Corrected item-total correlation semua angka diatas 0,300, karena BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengolahan Data 4.1.A Validitas Pada bagian Corrected item-total correlation semua angka diatas 0,300, karena menurut Azwar (1996), suatu item dikatakan valid apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungannya, dan mengenal masyarakat di sekitarnya. Remaja mulai memahami

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian ini. Selanjutnya juga akan dipaparkan hasil diskusi dan saran. 5.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Formation. Marcia menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Formation. Marcia menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Formation 1. Pengertian Identity Formation Marcia (1993) menyatakan bahwa identity formation atau pembentukan identitas diri merupakan: Identity formation involves

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya

BAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya sama dan dari bahasa Latin yaitu sex yang artinya jenis kelamin. Homoseksual biasanya dikonotasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memiliki keluarga yang harmonis adalah harapan setiap orang. Hal tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk berlindung dari tekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dipandang sebagai proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh sifat bakat seseorang dan pengaruh lingkungan dalam menentukan tingkah laku apa yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 16 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Tentang Teknik Cognitive Restructuring 1. Pengertian Teknik Cognitive Restructuring Beck mengatakan bahwa terapi kognitif meliputi usaha memberikan bantuan kepada konseli

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat bersama dengan teman, seorang anak biasanya selalu penuh dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 17 BAB II LANDASAN TEORI A. Konflik 1. Pengertian Konflik Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Kurt Lewin (dalam Hall, Lindzey, Loehlin, Locke, 1985) mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holmes dan Rahe tahun 1967 dengan menggunakan Live Event Scale atau biasa

BAB I PENDAHULUAN. Holmes dan Rahe tahun 1967 dengan menggunakan Live Event Scale atau biasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya menginginkan dirinya selalu dalam kondisi yang sehat, baik sehat secara fisik maupun secara psikis, karena hanya dalam kondisi yang sehatlah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel BAB III METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Hal ini dikarenakan peneliti lebih menekankan pada data yang dapat dihitung untuk mendapatkan penafsiran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi perubahan pertumbuhan dan perkembangan. Masa remaja mengalami perubahan meliputi perubahan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas

BAB II LANDASAN TEORI. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas BAB II LANDASAN TEORI II.A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING II.A.1. Definisi Psychological Well-Being Teori psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being merujuk pada

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muka atau melalui media lain (tulisan, oral dan visual). akan terselenggara dengan baik melalui komunikasi interpersonal.

BAB I PENDAHULUAN. muka atau melalui media lain (tulisan, oral dan visual). akan terselenggara dengan baik melalui komunikasi interpersonal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dan menjalankan seluruh aktivitasnya sebagai individu dalam kelompok sosial, komunitas, organisasi maupun masyarakat. Dalam

Lebih terperinci

LAMPIRAN A. Alat Ukur

LAMPIRAN A. Alat Ukur LAMPIRAN A Alat Ukur A1. Kuesioner PWB Petunjuk pengisian : Di balik halaman ini terdapat sejumlah pernyataan yang berhubungan dengan apa yang Saudara rasakan terhadap diri sendiri dan kehidupan Saudara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Erikson (dalam Lahey, 2009), mengungkapkan individu pada masa remaja akan mengalami konflik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Penelitian Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan yang membutuhkan adaptasi bagi siapa saja yang akan menjalankannya. Setiap individu yang akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mendambakan keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Akan tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik yang tidak

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem

Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem Modul ke: Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem Fakultas Psikologi Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konseling Berbasis Problem Konseling berbasis problem:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat

Lebih terperinci