MODEL PENGENDALIAN SEDIMENTASI WADUK AKIBAT EROSI LAHAN DAN LONGSORAN DI WADUK BILI-BILI SULAWESI SELATAN AHMAD RIFQI ASRIB

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENGENDALIAN SEDIMENTASI WADUK AKIBAT EROSI LAHAN DAN LONGSORAN DI WADUK BILI-BILI SULAWESI SELATAN AHMAD RIFQI ASRIB"

Transkripsi

1 MODEL PENGENDALIAN SEDIMENTASI WADUK AKIBAT EROSI LAHAN DAN LONGSORAN DI WADUK BILI-BILI SULAWESI SELATAN AHMAD RIFQI ASRIB SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengendalian Sedimentasi akibat Erosi Lahan dan Longsoran di Waduk Bili-Bili Sulawesi Selatan, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2012 Ahmad Rifqi Asrib P

3 ABSTRACT AHMAD RIFQI ASRIB. Model of Sedimentation Control of Reservoir due to Land Erosion and Landslide in Bili-Bili Dam South Sulawesi. Under direction of M. YANUAR JARWADI PURWANTO, SUKANDI SUKARTAATMADJA, and ERIZAL. The main objective of this research is to design the model of sedimentation control of reservoir that has sustainability oriented to improve miner and farmer incomes without dismissing environmental interests. In particular, the general objective is achieved through several phases with their aims as follows; (1) determine the level of soil erosion in the sub watershed Jeneberang, as well as the impact of land management and information to determine the direction of land management in the watershed, (2) determine the impact of caldera landslide at Jeneberang sub watershed to sedimentation rates in the Bili-Bili dam, and (3) formulate the model of sedimentation control of reservoir due to land erosion and landslide. Research is conducted in Bili-Bili dam, South Sulawesi, from Juli 2009 until Pebruari First, research has conducted to determine land erosion using MWAGNPS as a model of cell-based rainfall events with the main components were topographic maps, land use and soil type. This model able to determine the source of erosion and the erosion that occurs. Second, research was conducted based on field survey of caldera landslide at upstream and sedimentation rate in the Bili-Bili dam. And the last, design the dynamical model of sedimentation control of reservoir using Stella program analysis. The Result Showed that Jeneberang sub watershed dominated by steep areas topography is ha (26.22%) and the closure of forested land is ha (31.87%). Simulation MWAGNPS model showed when watershed Jeneberang has mm of rain events with 30-minute rainfall intensity (EI30) can caused erosion tons/ha and the sedimentation rate is 2,22 tons/ha. The source of erosion in the sub watershed Jeneberang from farm/moor caused erosion is 29, tons/ha/year and a total of 4,562, tons of sediment. Caldera landslide in 2004 caused sediment flow from upstream of Jeneberang watershed was 45,027,954 m 3. Sabo dam as a sediment control along the Jeneberang upstream has function effectively. It was seen from the volume flow of sediment that can be controlled up to the year 2008 is 1,915,671 m 3. Sedimentation rate before the event of landslide caldera, sediment deposited in Bili-Bili dam cumulatively is million m 3 (April 2001). Five years after the landslide sediment volume has reached million m3 in Based on Trap efficiency showed that efficiency of Bili-Bili dam was decrease from 90.81% in 1997 to 73.34% in 2005, and then increased in 2007 (92.57%) and in 2008 decrease become 89.79%. Dynamical model simulation of reservoir sedimentation control showed sedimentation in dead storage capacity increase to completed in year of Moderate and optimistic scenario more effective in decreasing sedimentation in reservoir and increasing community income especially for the miner. Finally, moderate scenario can use of sedimentation control of reservoir in Bili-Bili dam, South Sulawesi. Key words: Erosion, landslide, sedimentation, reservoir, dynamic model.

4 RINGKASAN AHMAD RIFQI ASRIB. Model Pengendalian Sedimentasi Waduk Akibat Erosi Lahan dan Longsoran di Waduk Bili-Bili Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh M. YANUAR JARWADI PURWANTO, SUKANDI SUKARTAATMADJA, dan ERIZAL. Waduk Bili-Bili merupakan salah satu waduk terbesar di Propinsi Sulawesi Selatan terletak di bagian tengah DAS Jeneberang mulai diresmikan penggunaannya pada tahun Secara geografis, Waduk Bili-Bili terletak di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Waduk Bili-Bili memiliki luas tangkapan air sebesar 384,4 km 2 dengan perencanaan umur operasi 50 tahun. Waduk serbaguna Bili-Bili dibangun dengan tujuan untuk pengendalian banjir, pemenuhan kebutuhan air irigasi, suplai air baku dan pembangkit listrik tenaga air serta mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air yang ada pada bagian hulu DAS Jeneberang. Namun, dalam perkembangan terakhir terjadi penurunan pemanfaatan fungsi layanan waduk akibat adanya perubahan kondisi daerah tangkapan waduk karena perubahan pemanfaatan lahan dan juga terjadinya longsoran dinding kaldera. Kerusakan daerah tangkapan air waduk, danau atau embung, seperti halnya daerah aliran sungai, merupakan penyumbang dampak negatif yang sangat signifikan. Jika daerah tangkapan rusak, jelas umur waduk akan berkurang. Pada musim hujan, aliran permukaan (run off) dengan membawa kandungan sedimen yang tinggi masuk ke waduk. Sedang aliran dasar (base flow) yang merupakan cadangan musim kemarau cenderung menurun drastis. Dengan demikian umur waduk hanya ditentukan oleh volume tampungan akhir musim hujan saja. Selama ini upaya yang telah dilakukan adalah dengan melakukan konservasi areal penangkapan air hujan di sekitar waduk, mencegah erosi yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dalam mengolah tanah agar tidak menimbulkan erosi, menanam pohon atau menghutankan kembali. Selain itu juga dengan mengeruk sedimen di waduk, membangun sabo dam dan sand pocket sebagai penampung sedimen. Namun demikian untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan suatu kajian model pengendalian yang dapat mensintesis pengetahuan dari sistem dan permasalahan yang ada. Salahsatunya adalah melalui pengembangan model pengendalian sedimentasi waduk yang dapat membantu mengidentifikasi secara cermat permasalahan sebenarnya dan memberikan alternatif penyelesaiannya. Tujuan penelitian ini adalah membangun model pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili yaitu: (1) mengkaji karakteristik sumber sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk dan tingkat sedimentasi di Waduk Bili-Bili; (2) mengidentifikasi pola pengendalian bangunan pengendali sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili; (3) membangun model sistem dinamik untuk efektifitas pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili. Lokasi penelitian ini secara fisik terletak dalam sistem DAS Jeneberang. Dalam penelitian ini batasan yang digunakan adalah batasan yang secara fisik mempunyai pengaruh langsung pada daya dukung waduk Bili-Bili, yakni wilayah DAS Jeneberang. Secara administratif daerah kajian Waduk Bili-Bili terletak di Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan.

5 v Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah memprediksi erosi lahan yang terjadi menggunakan program MWAGNPS. Tahap kedua adalah menganalisis kapasitas bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen akibat longsoran kaldera. Tahap ketiga adalah membangun model dinamik pengendalian erosi dan longsoran terhadap kapasitas waduk menggunakan program Stella Hasil penelitian menunjukkan dari keluaran model MWAGNPS dengan nilai masukan curah hujan harian rata-rata yang terbesar selama 5 tahun sebesar 31,66 mm dengan nilai energi intensitas hujan 30 menit (EI 30 ) sebesar 25,89 diperoleh besarnya laju erosi lahan di outlet sebesar 44,81 ton/ha/thn, laju sedimentasi sebesar 2,22 ton/ha/thn dan sedimen total sebesar ,0 ton. Berdasarkan informasi dari setiap grid/sel untuk berbagai penutupan lahan, ditemukan bahwa laju erosi permukaan yang terbesar terdapat di sel dengan penutupan lahan berupa ladang/tegalan sebesar ,14 ton/ha/thn dan semak belukar sebesar ,38 ton/ha/thn. Sedangkan hutan, sawah dan pemukiman mempunyai laju erosi yang cukup kecil. Arahan pengelolaan lahan untuk sub DAS Jeneberang secara umum adalah penerapan teknik konservasi tanah dan air, pengembalian kawasan hutan sebagai fungsi lindung. Berdasarkan karakteristik sub DAS Jeneberang sebagai daerah tangkapan waduk Bili-Bili didominasi oleh wilayah yang memiliki topografi curam dengan luas ha (26,22%) dan dari penutupan lahan didominasi oleh hutan dengan luas ha (31,87%). Volume aliran sedimen akibat longsoran di hulu sungai Jeneberang sebesar m 3 terjadi pada tahun Bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen yang dibangun sepanjang hulu sungai Jeneberang berfungsi efektif pada tahun 2008 menjadi m 3. Adapun volume sedimentasi yang tertampung di waduk Bili-Bili secara kumulatif adalah sebesar m 3 (April 2001). Lima tahun setelah kejadian longsor tersebut (2008) volume sedimen telah mencapai m 3. Trap Efficiency yang diperoleh berdasarkan kurva Brune menunjukkan data kapasitas waduk dan aliran inflow berkurang dari 90,81% (1997) menjadi 73,34% (2005), namun kemudian meningkat kembali 92,57% pada tahun 2007 dan cenderung menurun kembali 89,79% pada tahun Model sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili dibangun dengan asumsi desain model berdasarkan pada karakteristik sub DAS Jeneberang, alur kejadian longsoran Kaldera dan bangunan pengendalinya, dan pola pengelolaan kegiatan penambangan berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh. Model ini dibangun dengan menggunakan 4 sub model yaitu: (1) sub model pengendalian longsoran, (2) sub model erosi lahan, (3) sub model sosial ekonomi, dan (4) sub model kapasitas waduk. Tindakan koreksi yang dilakukan pada model pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili adalah pengelolaan tingkat sedimentasi waduk dan pengelolaan penambangan hasil sedimentasi. Indikator keberhasilan pengendalian sedimentasi waduk diidentifikasi berdasarkan indeks kapasitas waduk dan pendapatan masyarakat serta partisipasi masyarakat. Berdasarkan tindakan koreksi tersebut dilakukan 3 skenario yaitu pesimis, moderat dan optimis. Kriteria pesimis dilakukan untuk keadaan eksisting dimana tidak dilakukan tindakan koreksi apapun terhadap pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk. Kemudian kriteria optimis yaitu dengan melakukan tindakan koreksi yang maksimal untuk

6 pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk. Adapun kriteria moderat adalah kriteria dimana dilakukan tindakan koreksi yang dilakukan secara lebih bijak dan memperhatikan kemampuan dalam melakukan pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili. Skenario moderat pada indikator keberlanjutan waduk memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi eksisting (pesimis). Indeks kapasitas waduk menunjukkan bahwa kapasitas waduk yang terancam akan dapat dikendalikan dengan baik pada tahun Adapun kondisi eksisting menunjukkan pada tahun 2022 kapasitas tampung sedimentasi waduk akan terlampaui dan terancam tidak akan berfungsi dengan baik. Untuk partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa tenaga kerja yang diserap pada keadaan eksisting masih belum optimal jika dibandingkan dengan keadaan pada skenario moderat. Dengan tindakan koreksi yang moderat diperoleh peningkatan penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi sehingga akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola Pengendalian sedimen dilakukan berdasarkan 4 bagian yaitu di bagian hulu (upper stream), bagian tengah (middle stream), hilir (down stream) dan area waduk Bili-Bili. Bangunan sabo dam yang berada di hulu sungai Jeneberang mampu mengendalikan sedimen sebesar m 3 atau 35% dari total sedimen yang dikendalikan fasilitas sabo dam. Pada bagian tengah bangunan dam konsolidasi sangat signifikan dalam mengendalikan sedimen sebesar m 3 atau 58% dari total sedimen yang dikendalikan oleh fasilitas bangunan sabo dam. Kemudian bangunan sand pocket pada bagian hilir menampung sedimen dalam volume yang besar sehingga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan penambangan dengan total volume sedimen yang ditambang adalah m 3 per tahun. Kemudian, pada bagian hulu waduk dilakukan pengerukan (excavation) yang ditampung pada area spoil bank dengan total volume m 3. Selain itu, dengan melakukan tindakan konservasi di hulu DAS Jeneberang seperti pembuatan teras yang dikombinasikan dengan penanaman memotong arah berlereng atau pembuatan saluran drainase dapat mengendalikan tingkat erosi menjadi 36,30 ton/ha dan sedimentasi sebesar ,2 ton. Berdasarkan hal tersebut disarankan bahwa: (1) perlunya aturan pengendalian sedimen berkaitan dengan pengalokasian dana pemerintah pada program pengendalian baik secara fisik maupun non fisik; aturan yang ketat berkaitan dengan persyaratan dan batasan untuk penambangan material pada areal penambangan yang diizinkan, (2) pada model dengan skenario moderat yang telah dibangun dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan dalam metode pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili melalui pemantauan peningkatan aktifitas penambangan sebesar 30%; menerapkan kriteria Operasional dan Pemeliharaan (OP) berkaitan flushing sedimen di waduk yang mendukung besaran outflow sedimen 3%. Kata kunci: Erosi, longsor, sedimentasi, waduk, model dinamik. vi

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

8 MODEL PENGENDALIAN SEDIMENTASI WADUK AKIBAT EROSI LAHAN DAN LONGSORAN DI WADUK BILI-BILI SULAWESI SELATAN AHMAD RIFQI ASRIB Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. 2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.S. Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Mohamad Hasan, Dipl.HE. 2. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA.

10

11 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini. Rangkaian tahapan penelitian yang berjudul: Model Pengendalian Sedimentasi Waduk Akibat Erosi Lahan dan Longsoran di Waduk Bili-Bili Sulawesi Selatan telah dilaksanakan, mulai dari bulan Juli 2009 hingga Pebruari Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr.Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S., Bapak Prof. Dr. Ir. Sukandi Sukartaatmadja, M.S., Bapak Dr. Ir. Erizal, M.Agr., yang telah memberikan banyak saran dan bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada Ketua Program Studi PSL periode Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S., Ketua Pelaksana Harian periode 2010 Bapak Dr. drh. Hasim, dan periode 2011 hingga saat ini Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar, Rektor Universitas Negeri Makassar dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang S3 di IPB melalui beasiswa BPPS. Demikian pula ucapan terima kasih disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Dirjen DIKTI, Kemendiknas yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Sandwich-Like selama 3 bulan di Tsukuba University, Tsukuba, Japan. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Pemda Kabupaten Gowa, dan Bapak Ir. H. Haeruddin C. Maddi, S.T., M.S. sebagai Pimbagpro PPK Pengendalian Sedimen Bawakaraeng pada Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan - Jeneberang. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pak Bambang, pak Edi dan bu Santi sebagai karyawan Yachio Engineering Co., Ltd., khususnya kepada adik Alfisar dan Kamrullah Ali (Ulla) dan semua pihak yang telah banyak membantu pada saat survey dan pengumpulan data lapangan untuk pelaksanan penelitian ini.

12 xi Penghormatan dan ucapan terima kasih atas doa dan kasih sayang yang tidak pernah putus dari ayahanda dan ibunda (alm.), serta isteri dan putra-putriku tercinta atas pengorbanannya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada rekanrekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), khususnya untuk angkatan 2007 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada segenap karyawan Program Studi PSL yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama menempuh pendidikan S3 di PSL. Penulis menyadari bahwa Disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu saran dan kritikan yang dapat memberikan perbaikan sangat diharapkan untuk menjadikannya lebih baik dan berkualitas. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi yang membutuhkannya. Bogor, Agustus 2012 Ahmad Rifqi Asrib P

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 19 September 1963 sebagai anak ke-2 dari pasangan H. A. Bakry Asrib dan Almh. Hj. Siti Rahmah. Mendapat gelar sarjana Teknik Sipil dari Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar pada tahun Pada tahun 1995 mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Program Studi Teknik Sipil dan mendapatkan gelar Magister Teknik (MT) pada tahun Tahun 2007, penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan pendidikan ke program Doktor (S3) di Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL). Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Negeri Makassar (UNM) sejak tahun 1991 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh terutama berada dalam lingkup Teknik Sipil Keairan Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. Beberapa mata kuliah yang diasuh adalah Hidrolika, Mekanika Fluida, Metode Numerik dan Drainase. Artikel ilmiah penulis sebagai bagian dari Disertasi saat ini telah diterima dan dalam proses penerbitan pada Jurnal Biosainstifika Vol. 3 No.1 dengan ISSN yang berjudul Analisis Tingkat Erosi Lahan Menggunakan MWAGNPS pada sub DAS Jeneberang Propinsi Sulawesi Selatan. Artikel lain yang juga telah diterima dan masih dalam proses penerbitan pada Jurnal Hidrolitan (Jurnal Hidrologi Lingkungan dan Tanah) dengan ISSN yang berjudul Analisis Longsoran Kaldera Terhadap Tingkat Sedimentasi Waduk Bili-Bili Propinsi Sulawesi Selatan.

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Novelty II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Waduk Erosi dan Longsoran Erosi Longsoran Sedimentasi Waduk Laju Sedimen Prediksi Sedimentasi Waduk Bangunan Pengendali Sedimen Sabo Dam dan Fungsinya Bentuk dan Tipe Sabo Dam Upaya Pengendalian Sedimentasi Waduk Cara Vegetatif (Non Struktural) Cara Mekanik (Struktural) Kombinasi Vegetatif dan Mekanik Sistem dan Pendekatan Sistem Pemodelan Sistem Verifikasi dan Validasi Simulasi Model Penelitian Terdahulu yang Terkait Penelitian Sedimentasi Waduk di Waduk Bili-Bili Penelitian Sedimentasi Waduk di Wilayah Lain Penelitian Sedimentasi Waduk dengan Menggunakan Model Posisi Strategis dan Kebaruan Penelitian III. KARAKTERISTIK DAERAH TANGKAPAN WADUK BILI-BILI Letak, Luas dan Keadaan Fisik Kelerengan Tanah Penutupan Lahan Geologi dan Jenis Tanah Temperatur... 55

15 xiv 3.6. Curah Hujan Pola Aliran dan Kemiringan Sungai Jeneberang Data Teknis Waduk Bili-Bili Bangunan Pengendali Sedimentasi Waduk Bili-Bili Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Mata Pencaharian Penduduk IV. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Rancangan Penelitian Analisis Erosi Lahan sub DAS Jeneberang Analisis Longsoran Kaldera dan Tingkat Sedimentasi Waduk Bili-Bili Model sistem dinamik pengendalian Sedimentasi di Waduk Bili-Bili V. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sumber Sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk dan Tingkat Sedimentasi di Waduk Bili-Bili Analisis Tingkat Erosi Lahan sub DAS Jeneberang Analisis Longsoran Kaldera di sub DAS Jeneberang Analisis Tingkat Sedimentasi Waduk Efisiensi Tangkapan Sedimen (Trap Efficiency) Identifikasi Pola Pengendalian Bangunan Pengendali Sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili Kajian Kapasitas Bangunan Pengendali Sedimen Pola Pengelolaan Bangunan Pengendali Sedimen Model Dinamik Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili Pembuatan Model Konseptualisasi Model Spesifikasi Model Evaluasi Model Skenario Model Pengendalian Strategi Model Pengendalian Pembahasan Umum Arahan dan Rekomendasi Kebijakan VI. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Lokasi bangunan Sabo-Dam dan Sand-Pocket sebagai penampung sedimen Dampak Erosi Tanah Penetapan Nilai Batas Toleransi Erosi (T) Kejadian dan Penyebab terjadinya Tanah Gerak dan Longsor Macam dan Fungsi Bangunan Sabo Posisi Strategis Penelitian yang Dilakukan Luas wilayah administratif hulu DAS Jeneberang Kelas Lereng Wilayah sub DAS Jeneberang Ketinggian Elevasi Wilayah sub DAS Jeneberang Penggunaan Lahan Wilayah sub DAS Jeneberang Formasi Geologi Wilayah sub DAS Jeneberang Jenis Tanah Wilayah sub DAS Jeneberang Curah hujan bulanan Daerah Aliran Waduk Bili-Bili Data Teknis Waduk Bili-Bili Jumlah penduduk di wilayah hulu DAS Jeneberang tahun Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Wilayah hulu DAS Jeneberang Keluaran sedimen model di outlet sub DAS Jeneberang Rekapitulasi Laju Erosi dan Sedimen untuk berbagai penutupan lahan Volume sedimen untuk setiap titik Cross Section tahun Volume Aliran Sedimen Tahun Volume Sedimentasi per Penampang dari Tahun Volume Sedimentasi per Elevasi dari Tahun Prosentase total sedimentasi terhadap Kapasitas Waduk Efisiensi Tangkapan Sedimen Kapasitas Bangunan Pengendali Sabo Dam di Upper Stream... 97

17 xvi 26. Kapasitas Bangunan Pengendali Sabo Dam di Middle Stream Aktifitas Penambangan pada bangunan Sand Pocket (SP) Volume Pekerjaan Pengerukan pada Sand Pocket dan Sekitar Waduk Bangunan Pengendali sedimen di hulu Sungai Jeneberang Kapasitas Pengendalian Sedimen di hulu Sungai Jeneberang Jenis Tindakan Pengendalian Erosi Lahan Analisis kebutuhan Pelaku (stakeholders) Variabel dan Parameter pada Sub Model Pengendalian Longsoran Variabel dan Parameter pada Sub Model Erosi Lahan Variabel dan Parameter pada Sub Model Kapasitas Waduk Variabel dan Parameter pada Sub Model Sosial Ekonomi Perbandingan Volume Sedimentasi Waduk Aktual dan Hasil Simulasi Tahun

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Transisi Kapasitas Penampungan pada Waduk Bili-Bili Kerangka Pemikiran Jenis Tanah Longsor Bangunan Sabo Dam Tipe Tertutup Bangunan Sabo Dam Tipe Terbuka Tahapan Pendekatan Sistem Peta Lereng di sub DAS Jeneberang Peta elevasi Wilayah sub DAS Jeneberang Peta Penggunaan Lahan Wilayah sub DAS Jeneberang Peta Geologi Wilayah sub DAS Jeneberang Peta Jenis Tanah Wilayah sub DAS Jeneberang Lokasi stasiun Curah Hujan sub DAS Jeneberang Kemiringan sungai Jeneberang di hulu Waduk Bili-Bili Lokasi Penelitian Diagram alir prediksi sedimentasi waduk dengan AGNPS Ratio Kapasitas Waduk dan Luas DAS terhadap Trap Efficiency Grafik Curah Hujan Bulanan untuk setiap stasiun Grafik rerata Curah Hujan Tahunan dari Tahun Peta DEM elevasi sub DAS Jeneberang Peta arah aliran sub DAS Jeneberang berdasarkan grid Peta penyebaran sedimen total sub DAS Jeneberang Peta penyebaran laju erosi permukaan sub DAS Jeneberang Lokasi survey cross section sepanjang S. Jeneberang hulu Waduk Bili-Bili Grafik Volume aliran Sedimen dari tahun Lokasi 22 titik cross section Waduk Bili-Bili Elevasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun Akumulasi Tingkat Sedimentasi di Waduk Bili-Bili Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun

19 xviii 29. Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun Grafik Kapasitas waduk dan Efisiensi Tangkapan Sedimen di Waduk Bili-Bili Lokasi Penempatan Sabo Dam SD 7-1 SD Sabo dam Tipe Terbuka dan Tipe Tertutup pada bagian tengah sungai Jeneberang Lokasi Penambangan dan tempat Penampungan Material Lokasi Pengerukan dan Penampungan sedimen pada spoil bank Tindakan Konservasi Teras Bangku dengan Penanaman rumput Diagram input-output Model Pengendalian Sedimentasi Waduk Model Pengendalian Sedimentasi Waduk Diagram lingkar causal loop model pengendalian Model Konseptual Sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili Sub Model Pengendali Sedimen Sub Model Erosi Lahan Sub Model Kapasitas Waduk Sub Model Sosial Ekonomi Hasil simulasi volume sedimentasi waduk, sedimen longsor dan Sedimentasi lahan Hasil simulasi volume penambangan, pendapatan dan partisipasi Masyarakat Volume Sedimentasi Waduk Aktual dan Simulasi Tahun Perbandingan simulasi Indeks Kapasitas Waduk Perbandingan simulasi Tingkat Sedimentasi Waduk Perbandingan simulasi Tingkat Partisipasi Masyarakat Perbandingan simulasi Tingkat Pendapatan Masyarakat Perbandingan Tingkat erosi lahan dan Pendapatan petani

20 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Tipikal Sabo Dam Impermeabel Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-1 (SD 7-1) Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-2 (SD 7-2) Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-3 (SD 7-3) Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-4 (SD 7-4) Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-5 (SD 7-5) Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Konsolidasi Dam KD Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Konsolidasi Dam KD Biaya dan Waktu Pembangunan Bangunan Pengendali Sedimen Dan Aktifitas Pengerukan Data Curah Hujan Bulanan untuk setiap stasiun Pengamatan Output General Cell dari MWAGNPS Output Sediment dari MWAGNPS Output equation model dari STELLA

21 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah bangunan air yang berfungsi untuk menampung air sungai yang dibangun dengan jalan membuat bendungan pada bagian hilirnya. Waduk merupakan salah satu bentuk reservoir tempat menampung aliran sungai dalam satu sistem jaringan sungai dalam suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Pada dasarnya Waduk atau bendungan berfungsi sebagai penampung air dan tanah hanyut akibat erosi yang berasal dari daerah di atasnya untuk mengamankan daerah di bawahnya dari banjir dan erosi. Suatu waduk penampung atau waduk konservasi dapat menahan air kelebihan pada masa-masa aliran air tinggi untuk digunakan selama masa-masa kekeringan (Sukartaatmadja, 2004). Waduk dan bendungan juga bermanfaat sebagai konservasi air. Dengan menahan air lebih lama di darat sebelum mengalir kembali ke laut akan memberikan waktu untuk meresap dan memberikan kontribusi terhadap pengisian kembali air tanah. Haregeweyn et al. (2006) telah mengkaji karakteristik dan masalah penumpukan sedimen pada beberapa waduk di Tigray (sebelah Utara Ethiopia). Kajian dilakukan dengan mensurvey dan mengevaluasi karakteristik dan masalah umum pada 54 waduk yang baru dibangun, dan mensurvey secara mendetail karakteristik daerah tangkapan pada 10 waduk. Dijelaskan bahwa masalah penumpukan sedimen cukup signifikan. Dari studi tentang waduk, 70% waduk memiliki masalah endapan sehingga umur operasi waduk akan segera berakhir sebelum umur rencana tercapai. Dengan demikian, pengelolaan sedimen di waduk merupakan pendekatan yang nantinya lebih efektif untuk mempertahankan kapasitas penampungan yang ada. Dari penelitian mengenai tingkat kualitas perairan Danau dan Waduk di Indonesia diperoleh hasil bahwa beberapa danau dan waduk telah mengalami masalah pencemaran, berkurangnya volume, berkurangnya luas dan sedimentasi (berkurangnya kedalaman). Waduk yang sedimentasinya tinggi disebabkan oleh tingkat erosi yang tinggi di DAS-nya. Hal ini disebabkan karena adanya perambahan hutan, sistem pertanian yang kurang memperhatikan konsep-konsep konservasi air dan tanah. Selain faktor tersebut, juga disebabkan oleh perubahan

22 2 tataguna lahan dan tekanan kemiskinan penduduk dan kepadatan penduduk (Puslitbang SDA, 2008). Terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi waduk, sumber sedimen pada umumnya diakibatkan oleh tingginya tingkat erosi yang terjadi di hulu, akibat maraknya pengalihan fungsi lahan hutan menjadi lahan pemukiman atau areal pertanian baru. Penyebab utama pengurangan kapasitas tampungan bendungan-bendungan di Indonesia adalah tingginya laju sedimentasi (Adzan et al., 2008). Terdapat beberapa waduk yang mengalami tingkat sedimentasi tinggi yaitu Sengguruh dan Karangkates di DAS Kalibrantas Hulu, Waduk Wonogiri di DAS Bengawan Solo, Waduk Mrica di DAS Serayu, Waduk Saguling dan Cirata di DAS Citarum Tengah, serta Waduk Bili-Bili di DAS Jeneberang Sulawesi Selatan (Puslitbang SDA, 2008). Waduk Bili-Bili yang merupakan salah satu waduk terbesar di Propinsi Sulawesi Selatan terletak di bagian tengah DAS Jeneberang, diresmikan penggunaannya pada tahun Waduk ini merupakan waduk serbaguna yang dibangun dengan tujuan untuk pengendalian banjir, pemenuhan kebutuhan air irigasi, suplai air baku dan pembangkit listrik tenaga air. Secara geografis, Waduk Bili-Bili terletak di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Waduk Bili-Bili memiliki luas tangkapan air sebesar 384,4 km 2 dengan perencanaan umur operasi 50 tahun (JRBDP, 2004). Waduk serbaguna Bili-Bili dibangun dengan maksud untuk pengendalian daya rusak, mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air yang ada pada bagian hulu DAS Jeneberang. Namun, dalam perkembangan terakhir terjadi penurunan pemanfaatan fungsi layanan waduk akibat adanya perubahan kondisi daerah tangkapan waduk karena perubahan pemanfaatan lahan dan juga terjadinya longsoran dinding kaldera (fitur vulkanik dari gunung). Dari hasil interpretasi citra landsat tahun 1986/1987, tahun 1995/1996, dan tahun 2000/2001, diketahui bahwa telah terjadi penyusutan luas kawasan berhutan pada DAS Jeneberang selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1986/1987 luas kawasan hutan yang bervegetasi hutan adalah seluas ha, sedangkan pada tahun 2003 seluas ha, yang berarti telah terjadi penurunan luas kawasan hutan yang bervegetasi hutan sebesar 21,79% atau rata-rata sebesar 1,5%

23 3 per tahun. Kemudian pada tahun 2002 penggunaan lahan kering telah mendominasi wilayah DAS Jeneberang sebesar 69,4%, dimana luas penutupan hutan hanya 4,4% (Supratman, 2003). Hal ini menunjukkan telah terjadi konversi kawasan hutan menjadi permukiman dan kebun campuran, serta penebangan kayu untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Hasil penelitian Mappa et al. (1987) mengemukakan bahwa luas lahan kritis di DAS Jeneberang adalah ha, dimana ha tererosi berat, ha tererosi sedang dan ha tererosi ringan. Kemudian, berdasarkan hasil penelitian Tangkaisari (1987) tentang tingkat erosi di DAS Jeneberang bagian hulu menunjukkan bahwa total tanah tererosi pada petak pertanaman tanpa konservasi sebesar 80 ton/ha/tahun dan petak pertanaman yang berteras saluran sebesar 9 ton/ha/tahun; keduanya melampaui erosi yang dapat diperbolehkan yaitu 8 ton/ha/tahun. Pada tahun erosi yang terjadi di hulu DAS Jeneberang yaitu 21,53 ton/ha/tahun, dan tahun 1999 erosi yang terjadi meningkat menjadi 25,00 ton/ha/tahun (Makaheming, 2003). Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin (2000) menyebutkan bahwa hasil pengukuran angkutan sedimen pada alur sungai Jeneberang yang pernah dilakukan selama rentang waktu 15 tahun, yaitu dari tahun 1986 sampai dengan tahun 2001 menunjukkan kecenderungan peningkatan sedimen rata-rata sebesar 40 ton/ha/tahun dengan laju rata-rata sebesar 2,67% per tahun. Dari hasil penelitian yang dilakukan Fadiah (2006) ternyata pada Daerah Tangkapan Hujan (DTH) Waduk Bili-Bili juga telah mengalami tingkat erosi lahan sebesar 4,25 ton/ha/tahun. Klasifikasi tingkat bahaya erosi sangat berat terjadi pada lahan tegalan sebesar 33,32 ton/ha/tahun. Zubair (2001) membuat simulasi pendugaan laju sedimen pada DAS Jeneberang berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ada saat ini. Laju sedimen tahun 2001 sebesar 2000 m 3 /km 2 /tahun dan meningkat 24,2% menjadi 2608 m 3 /km 2 /tahun pada tahun 2005, dan sebesar 122,8% atau 4678 m 3 /km 2 /tahun pada tahun 2010, lebih tinggi dari pada laju yang diperkenankan (1500 m 3 /km 2 /tahun) masuk ke Dead Storage Capacity (DSC) bendungan Bili-Bili. Hasil Penelitian menunjukkan jika tanpa upaya pengendalian sedimen, akan berdampak pada berkurangnya umur bendungan dari 50 tahun menjadi 16 tahun.

24 4 Selanjutnya, pada tahun 2004 terjadi bencana berupa runtuhnya dinding kaldera G. Bawakaraeng yang merupakan hulu DAS Jeneberang. Dinding kaldera yang runtuh diidentifikasi sebagai tebing yang termasuk G. Sarongan (Elevasi m dpl). Volume massa yang runtuh diperkirakan antara juta m3 (Hasnawir et al, 2006). Hasil pengukuran echosounding yang dilakukan pada bulan Juni 2004 menunjukkan bahwa volume sedimen yang terendapkan di Waduk Bili-Bili sebesar m 3 (Bapro PSDA, 2004). Peningkatan sedimentasi terjadi pada tahun 2005 dengan masuknya sedimen yang berasal dari longsoran dinding kaldera G. Bawakaraeng yaitu sebesar m 3 (Bapro PSDA, 2005). Zubair (2001) menyatakan bahwa sumber sedimen di waduk Bili- Bili berasal dari erosi tanah (71,22%), erosi akibat longsor dan erosi tebing sungai (28,78%). Potensi sedimen akibat longsoran yang cukup besar akan mengalir ke hilir bila intensitas hujan tinggi sehingga rawan terjadi aliran debris dengan konsentrasi tinggi. Kondisi sungai Jeneberang yang masih kontinyu mengalirkan sedimen pada saat terjadi banjir dan mengendap di sepanjang alur sungai sampai ke Waduk Bili-Bili menyebabkan peningkatan sedimentasi di waduk Bili-Bili sehingga menyebabkan pendangkalan waduk yang pada akhirnya akan mengurangi umur operasi waduk dan mengancam keberlanjutan fungsi waduk. Menurut Maryono (2005), kerusakan daerah tangkapan air waduk, danau atau embung, seperti halnya daerah aliran sungai, merupakan penyumbang dampak negatif yang sangat signifikan. Jika daerah tangkapan rusak, jelas umur waduk atau danau akan memendek. Pada musim hujan, aliran permukaan (run off) dengan membawa kandungan sedimen yang tinggi masuk ke waduk. Sedang aliran dasar (base flow) yang merupakan cadangan musim kemarau cenderung menurun drastis. Dengan demikian umur waduk hanya ditentukan oleh volume tampungan akhir musim hujan saja. Upaya yang telah dilakukan selama ini adalah melakukan konservasi areal penangkapan air hujan di sekitar waduk, mencegah erosi yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dalam mengolah tanah agar tidak menimbulkan erosi, menanam pohon atau menghutankan kembali. Selain itu juga dengan mengeruk sedimen di waduk, membangun sabo dam dan cekdam sebagai penampung sedimen. Waduk Bili-Bili memiliki Sabo-Dam dan Sand-Pocket,

25 5 dimana bangunan ini diperuntukkan menjaga kelestarian multifungsi waduk dengan kapasitas penampungan sedimen. Gambaran lokasi bangunan Sabo-Dam dan Sand-Pocket disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Lokasi dan kapasitas bangunan Sabo-Dam dan Sand-Pocket No Lokasi Jenis Bangunan Kapasitas (m3) 1 S. Jeneberang Sand Pocket No S. Jeneberang Sand Pocket No S. Jeneberang Sand Pocket No S. Jeneberang Hulu Sabo-Dam No S. Malino Sand Pocket No S. Jeneberang Lengese Sand Pocket No S. Malino Sabo-Dam No S. Kunisi Sabo-Dam No S. Kunisi Hulu Sabo-Dam No Sumber: PPLH UNHAS (2001). Hasil kalkulasi kapasitas Sabo-Dam dan Sand-Pocket yang ada dengan sedimen yang berasal dari runtuhan dinding kaldera mencapai 300 juta m 3, ditambah dengan sedimen yang berasal dari erosi lahan setiap tahun yang mencapai 5200 m 3. Hal ini menggambarkan kondisi yang jelas tidak mampu ditampung oleh Sabo-Dam dan Sand-Pocket tersebut sehingga sisa material longsoran dan sedimen yang ada akan bermuara di Waduk Bili-Bili. Keberadaan dan peran sumberdaya hutan sangat erat dengan kehidupan umat-manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Nilsson (1996) dalam Suhendang (2002) mengelompokkan macam-macam fungsi hutan, yaitu sebagai berikut: (1) menghasilkan kayu industri (industrial wood), untuk papan, kertas, kemasan, dan lain-lain; (2) menghasilkan kayu bakar dan arang (fuel wood and charcoal); (3) menghasilkan hasil hutan bukan kayu (non-wood forest products, NWFPs); (4) menyediakan lahan untuk pemukiman manusia (human settlement); (5) menyediakan lahan untuk pertanian (agriculture land); (6) memberikan perlindungan terhadap siklus air dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendalian erosi (watershed protection and erosion control); (7) tempat penyimpanan karbon (carbon storage); (8) pemeliharaan keanekaragaman hayati dan habitat (biodiversity and habitat preservation); dan (9) obyek ekoturisme dan rekreasi alam (ecotourism and recreation).

26 6 Sampai dengan bulan April 2008, akumulasi sedimentasi di waduk telah mencapai 63,96 juta m 3 atau 18,5% dari total kapasitas penampungan sedimen sebesar 346 juta m 3. Kapasitas penampungan sedimen yang tersisa adalah 285 m 3 dan umur rencana waduk menjadi 43 tahun (Hardjosuwarno dan Soewarno, 2008). Posisi kapasitas penampungan sedimen disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Transisi Kapasitas Penampungan pada Waduk Bili-Bili (Hardjosuwarno dan Soewarno, 2008). Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili semakin menghawatirkan karena dapat mengancam keberlanjutan fungsi waduk. Hal ini merupakan masalah yang perlu segera ditangani secara serius agar tidak semakin parah di kemudian hari. Hal ini juga menjadi penting untuk dikaji mengingat waduk tersebut memiliki peranan yang sangat penting dalam konteks pembangunan sosial ekonomi masyarakat, khususnya bagi penduduk kota Makassar dan Kab. Gowa. Fenomena tentang sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili menunjukkan permasalahan yang kompleks dan sulit dipahami jika hanya menggunakan satu disiplin keilmuan. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara holistik (menyeluruh) dan utuh, merupakan suatu alternatif pendekatan baru dalam memahami dunia nyata. Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat dihasilkan suatu operasi sistem yang efektif

27 7 (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Dengan demikian kajian tentang sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dalam membangun model pengendalian sedimentasinya sehingga kapasitas waduk dapat dipertahankan dan pemanfaatan fungsi waduk dapat berkesinambungan dengan tetap menjaga kelestarian alam sekitarnya Kerangka Pemikiran Waduk Bili-Bili merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat baik dari aspek ekonomi, sosial maupun dari aspek ekologi. Waduk Bili-Bili memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat sekitarnya seperti: pengendalian banjir sungai Jeneberang, penyediaan air minum dan air untuk industri, penyediaan air untuk irigasi, Pembangkit Listrik Tenaga Air, perikanan darat dan daerah wisata. Dalam peranannya untuk pengendalian banjir sungai Jeneberang, Waduk serbaguna Bili-Bili dapat mengurangi banjir kiriman dari Kabupaten Gowa ke Kota Makassar yang berdampak pada berkurangnya jumlah luasan banjir di Kota Makassar. Namun demikian, salah satu masalah strategis Waduk Bili-Bili adalah menurunnya kapasitas dan fungsi waduk. Laju sedimentasi di sungai Jeneberang terus meningkat, sehingga memerlukan upaya pengendalian sedimen untuk mempertahankan efektifitas waduk agar tidak terus berkurang dan dapat mengancam keberlanjutan fungsi waduk. Walaupun berbagai upaya penanggulangan sedimentasi telah dilakukan oleh pemerintah, seperti program pengendalian sedimentasi di perairan waduk namun sedimentasi tetap saja terus terjadi. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan suatu kajian model pengendalian yang menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat di daerah aliran waduk. Menurut Jorgensen dan Vollenweider (1989), penggunaan pemodelan dalam pengelolaan danau atau waduk merupakan suatu hal yang bermanfaat. Hal ini disebabkan model dapat mensintesis pengetahuan dari sistem dan permasalahan yang ada. Untuk mewujudkan agar waduk tetap berkelanjutan perlu melibatkan multistakeholder, yaitu: Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya

28 8 Masyarakat/Yayasan Lingkungan Hidup, Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum. Disamping itu juga ditentukan oleh kualitas Sumber Daya Manusia, organisasi, kelembagaan, regulasi dan infrastruktur. Oleh karena itu permasalahan pengendalian sedimentasi waduk merupakan hal yang sangat penting, kompleks dan dinamis. Penting karena waduk memiliki fungsi ekologi, kompleks karena melibatkan multistakeholders dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat sedimentasi selalu berubah seiring dengan perubahan waktu. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa kajian mengenai permasalahan sedimentasi di waduk harus dilakukan dengan suatu pendekatan yang holistik. Permasalahan tersebut berkaitan dengan potensi dan ancaman dalam pemanfaatan waduk oleh masyarakat di sekitarnya. Potensi dan ancaman tersebut dapat diidentifikasi baik secara teknis maupun non teknis. Aspek teknis terdiri dari erosi, sedimentasi, infrastruktur pengendali sedimen maupun berdasarkan aspek non teknis seperti persepsi masyarakat, aturan-aturan dan kelembagaan sesuai kebutuhan stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan waduk. Salah satu pendekatan kesisteman yang memungkinkan teridentifikasinya seluruh variabel terkait, dan memudahkan untuk mengetahui trend/pola pertumbuhan ke depan seiring dengan perubahan waktu adalah dengan model dinamik. Dengan model dinamik juga dapat teridentifikasi faktor pengungkit dalam pengendalian sedimentasi, sehingga kebijakan yang akan diambil akan menjadi lebih efektif. Pendekatan dengan sistem dinamik merupakan bagian dari pendekatan sistem yang dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam masalah pengendalian sedimentasi di waduk, karena pendekatan sistem dinamik dapat merubah cara pandang dan pola berpikir dalam menangani permasalahan dengan menggunakan model yang merupakan penyederhanaan dari sebuah sistem (Hartisari, 2007). Melalui pendekatan sistem dinamik ini seorang pengambil keputusan dapat menggunakan pengalamannya dalam pengambilan keputusan, berdasarkan simulasi model dan perilaku sistem yang dihadapi (Barlas, 2002), sehingga rancangan model pengendalian sedimentasi di waduk yang komprehensif dapat mengakomodasi semua kepentingan pelaku dan kebijakan

29 9 strategis yang perlu dilakukan untuk menciptakan kondisi yang diinginkan dapat diantisipasi lebih dini. Model pengendalian dapat dibangun dengan cara identifikasi secara mendalam tentang permasalahan yang terjadi di waduk serta membangun sistem dan kontrol untuk mencegah atau meminimalisasi dampak atau kerugian lingkungan. Model yang dibangun didasarkan pada beban sedimentasi dari yang berasal dari berbagai sumber serta karakteristik dari waduk itu sendiri. Model yang dibangun juga diharapkan menjadi dasar untuk memformulasi kebijakan oleh pengelola dan para pengambil keputusan dalam pemanfaatan dan pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian Model Pengendalian Sedimentasi di Waduk Bili-Bili diilustrasikan pada Gambar 2. SEDIMENTASI - Erosi lahan - Longsor Pengelolaan Waduk (UU SDA No.7 thn 2004): Konservasi, Pemanfaatan, Pengendalian daya rusak air. Kondisi Eksisting Waduk Bili-Bili: karakteristik Biofisik dan karakteristik sosek Program Pengelolaan Waduk Pemodelan Sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Model Pengendalian Sedimentasi Waduk Model Dinamik Pendekatan Sistem: - Analisis Kebutuhan - Formulasi Masalah - Identifikasi Sistem Alternatif Kebijakan Pengelolaan Waduk Strategi/ Rekomendasi Gambar 2 Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Waduk Bili-Bili memiliki potensi yang sangat penting karena dapat dimafaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya. Selain

30 10 itu Waduk Bili-Bili berada pada DAS Jeneberang yang merupakan salah satu DAS Prioritas Nasional yang dalam pengelolaannya perlu mendapat perhatian khusus. Waduk Bili-Bili dibangun untuk memenuhi kepentingan penyediaan air minum bagi penduduk Kota Makassar, Sungguminasa dan sekitarnya, irigasi sawah di bagian hilir, pembangkit tenaga listrik dan juga sebagai sarana rekreasi. Namun demikian, Waduk Bili-Bili seperti halnya waduk lainnya mengalami masalah yang hampir sama yaitu masalah pendangkalan waduk. Apabila tidak ada usaha pencegahan dan pengendalian sedimen dikhawatirkan proses sedimentasi akan terus-menerus berlangsung, yang selanjutnya akan berpengaruh pada menurunnya nilai atau fungsi dari waduk serta berdampak pada kelangsungan fungsi waduk. Sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili merupakan hasil dari erosi yang berasal dari daerah tangkapan air DAS Jeneberang bagian hulu. Erosi yang tinggi pada daerah tersebut akan terbawa oleh aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap sebagai sedimen di dasar waduk. Selain itu, sedimentasi juga berasal dari longsoran yang terjadi akibat runtuhnya dinding Kaldera Gunung Bawakaraeng. Akumulasi dari erosi dan longsoran yang terjadi terus-menerus akan mengarah pada terjadinya pendangkalan waduk, menurunnya daya tampung sedimen dan penurunan kualitas perairan. Keberadaan Waduk Bili-Bili yang melintang di tengah Sungai Jeneberang yang sangat dibutuhkan terutama masyarakat bagian hilir harus dapat diselamatkan untuk memenuhi keperluan irigasi, air baku, pengendali banjir, maupun untuk keperluan wisata dan nelayan waduk. Disamping itu aktifitas di daerah hulu juga harus ditata tanpa merugikan petani dari apa yang telah diperolehnya. Termasuk aktifitas pertambangan di daerah Sand-Pocket dan Sabo- Dam juga harus diefektifkan pengelolaannya. Oleh karena itu dalam upaya pengendalian sedimentasi di waduk Bili-Bili, visi pembangunan berkelanjutan harus dapat diimplementasikan. Pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat diartikan bahwa apapun bentuknya pembangunan harus dapat melindungi lingkungan dimana ataupun di sekitar pembangunan dilaksanakan, tetapi sebaliknya ketika pembangunan sudah berjalan maka lingkungan juga berkewajiban yang sama yaitu harus dapat menyelamatkan

31 11 pembangunan, terutama proses operasionalnya. Demikian pula dengan keberadaan Waduk Bili-Bili disamping menjalankan fungsinya, juga harus dijaga keselamatannya dari gangguan lingkungan baik itu yang bersumber dari aktifitas manusia maupun yang bersumber dari proses alam. Mengingat banyaknya pihak yang harus terlibat dalam penanganan pengendalian sedimentasi di waduk maka dilakukan pendekatan kesisteman dan kebijakan yang diharapkan dapat diterima oleh semua pihak. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut terlihat bahwa ada keterkaitan fungsi waduk dengan dampak dari sedimentasi yang terjadi di daerah aliran waduk. Oleh karena itu, maka dalam konteks pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili, diajukan beberapa pertanyaan: 1. Bagaimana karakterikstik sumber sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk Bili- Bili? 2. Bagaimana tingkat sedimentasi di Waduk Bili-Bili? 3. Bagaimana pola pengendalian bangunan pengendali sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili? 4. Bagaimana model sistem pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili? 1.4. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah membangun model pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili; untuk mencapai tujuan tersebut, maka dijabarkan beberapa tujuan antara penelitian yaitu: 1. Mengkaji karakteristik sumber sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk dan tingkat sedimentasi di Waduk Bili-Bili 2. Mengidentifikasi pola pengendalian bangunan pengendali sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili 3. Membangun model sistem dinamik untuk efektifitas pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili 1.5. Manfaat Penelitian ini adalah: Manfaat yang dapat diperoleh pemangku kepentingan dari hasil penelitian

32 12 1. Bagi pemerintah merupakan bahan pertimbangan dalam memformulasi kebijakan pengendalian sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili 2. Bagi masyarakat sebagai informasi dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perairan Waduk Bili-Bili 3. Bagi peneliti dan pendidik merupakan stimulus untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah sedimentasi waduk, khususnya di Waduk Bili-Bili Novelty (Kebaruan Gagasan) Penelitian ini bersandarkan pada metode pendekatan sistem dengan mengintegrasikan secara menyeluruh kepentingan para pelaku yang terlibat dalam sistem pengendalian sedimentasi. Oleh sebab itu kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah pola pengendalian bangunan pengendali sedimen yang dapat dijabarkan pada: 1. Sistem pendekatan yang terpadu dengan menggunakan model dinamis, menggunakan teknik hard system methodology (kapasitas waduk, erosi dan beban sedimentasi) dan teknik soft system methodology. 2. Rancangan pola pengendalian sedimentasi waduk dengan mengutamakan mekanisme dan koordinasi antara pengelola waduk, masyarakat sekitar waduk dan masyarakat di hulu waduk.

33 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Waduk Waduk adalah salah satu sumber air tawar yang menunjang kehidupan semua makhluk hidup dan kegiatan sosial ekonomi manusia. Ketersediaan sumber daya air mempunyai peran yang sangat mendasar untuk menunjang pengembangan ekonomi wilayah. Sumberdaya air yang terbatas di suatu wilayah mempunyai implikasi kepada kegiatan pembangunan yang terbatas dan pada akhirnya kegiatan ekonomipun terbatas sehingga kemakmuran rakyat makin lama tercapai. Air waduk/danau digunakan untuk berbagai pemanfaatan antara lain sumber baku air minum, air irigasi, pembangkit listrik, perikanan dan lain-lain. Hal ini menjadikan pentingnya air tawar yang berasal dari waduk bagi kehidupan. Waduk sering juga disebut sebagai danau buatan yang besar. Komisi Dam Dunia menyebutkan bahwa bendungan/waduk adalah besar bila tinggi bendungan lebih dari 15 m. Sedangkan embung merupakan waduk kecil dengan tinggi bendungan kurang dari 15 m (Puslitbang SDA, 2008). Sistim tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk komponen tata airnya umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presipitasi, debit inflow/outflow waktu tinggal air diketahui dengan pasti. Pembangunan waduk diperuntukkan berbagai keperluan antara lain pembangkit listrik, irigasi, pengendalian banjir, sumber baku air minum, air industri, perikanan, tempat pariwisata. Saat ini jumlah tenaga listrik yang dihasilkan dari tenaga air yang berasal dari air waduk ada sebanyak 3,4% dari total kebutuhan nasional (Puslitbang SDA, 2008). Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, terdiri dari 3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Waduk yang merupakan sumberdaya air telah banyak mengalami penurunan fungsi dan kerusakan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh karena pengelolaan waduk yang banyak mengalami kendala. Undang-Undang Sumber Daya Air telah mengamanatkan untuk melakukan pengelolaan waduk dengan melakukan konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada peraturan lain seperti PP. No.13 tahun 2010, tentang Pengelolaan Lingkungan

34 14 Hidup; PP. No. 32 Tahun 2012, tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, PP. No.82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; PP. No.32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung; Kepres No.123/2001, tentang Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada tingkat Propinsi, Wilayah Sungai, Kabupaten dan Kota serta Keputusan Menteri yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air. Di dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2010 Tentang Bendungan disebutkan bahwa waduk dibentuk untuk menyimpan air yang berlebih pada saat musim penghujan agar dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air dan daya air pada waktu diperlukan, serta mengendalikan daya rusak air sebagaimana dimaksud pada pasal 22, pasal 34 dan pasal 58 Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Waduk selain dapat difungsikan sebagai penampung air juga dapat dilakukan untuk menampung limbah tambang (tailing) atau menampung lumpur dalam rangka menjaga keamanan serta keselamatan lingkungan hidup. Selanjutnya disebutkan untuk pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya meliputi: - Bendungan dengan tinggi 15 m atau lebih diukur dari dasar pondasi terdalam - Bendungan dengan tinggi 10 m sampai dengan 15 m diukur dari dasar pondasi terdalam dengan ketentuan: panjang puncak bendungan paling sedikit 500 m; daya tampung waduk paling sedikit m 3 ; atau debit banjir maksimal yang diperhitungkan paling sedikit m 3 /dtk. atau - Bendungan yang mempunyai kesulitan khusus pada pondasi atau bendungan yang didisain menggunakan teknologi baru dan/atau bendungan yang mempunyai kelas bahaya tinggi. Walaupun sudah banyak undang-undang atau peraturan yang diundangkan tentang pengelolaan sumberdaya air dan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air namun konservasi sumberdaya air, pengendalian daya rusak air terhadap sumberdaya air pada waduk, danau, situ, embung dan sungai masih jauh dari harapan baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas airnya.

35 Erosi dan Longsor Erosi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut dan selanjutnya akan diendapkan di tempat lain (Arsyad, 2006). Pada daerah yang beriklim basah menurut Arsyad (2006), faktor iklim yang paling mempengaruhi erosi dan aliran permukaan adalah hujan. Jumlah intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan tumbukan hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan erosi. Menurut Asdak (2004), proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan: pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation). Beberapa tipe erosi yang ditemukan untuk daerah tropis adalah: 1. erosi percikan (flash erosion), yaitu proses terkelupasnya partikel-partikel tanah bagian atas oleh tenaga kinetik air hujan bebas atau air lolos. 2. erosi permukaan (sheet erosion), yaitu erosi yang terjadi ketika lapisan tipis permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan air aliran (run off). 3. erosi alur (rill erosion), yaitu pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh air aliran yang terkonsentrasi di dalam saluran air. 4. erosi parit (gully erosion), yaitu erosi yang membentuk jajaran parit yang lebih dalam dan lebar serta merupakan lanjutan dari erosi alur. 5. erosi tebing (streambank erosion), yaitu pengikisan tanah pada tebing-tebing sungai dan penggerusan dasar sungai oleh aliran air sungai. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya erosi adalah iklim, tanah, topografi, vegetasi dan pengelolaan. Faktor iklim yang besar pengaruhnya adalah hujan yang melalui tenaga kinetiknya menghancurkan partikel-partikel tanah dan kontribusinya terhadap aliran permukaan. Faktor tanah meliputi tekstur, struktur, infiltrasi dan kandungan bahan organik. Faktor topografi umumnya dinyatakan dalam kemiringan dan panjang lereng. Erosi akan meningkat dengan semakin

36 16 besarnya kemiringan dan panjang lereng. Pengaruh vegetasi penutup lahan terhadap erosi adalah melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, menurunkan kecepatan dan volume run off, menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan, serta mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air. Jika intensitas hujan lebih rendah dari kapasitas infiltrasi, maka semua hujan yang mencapai permukaan bumi akan terinfiltrasi. Pada saat intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi, maka akan terjadi aliran permukaan yang menyebabkan terjadinya erosi. Dampak yang ditimbulkan akibat adanya erosi disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Dampak Erosi Tanah Dampak Langsung Tidak langsung Sumber: Arsyad (2006) Dampak di tempat kejadian erosi a. Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman b. Kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah c. Peningkatan penggunaan energi untuk produksi d. Kemerosotan produktifitas tanah atu bahkan menjadi tidak dapat dipergunakan untuk berproduksi e. Kerusakan bangunan konservasi dan bangunan lainnya f. Pemiskinan petani penggarap/ pemilik tanah a. Berkurangnya alternatif penggunaan tanah b. Timbulnya dorongan/tekanan untuk membuka lahan baru c. Timbulnya keperluan akan perbaikan lahan dan bangunan yang rusak Dampak diluar tempat kejadian erosi a. Pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya b. Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan lainnya c. Menghilangkan mata air dan memburuknya kualitas air d. Kerusakan ekosistem perairan (tempat bertelur ikan, terumbu karang dan sebagainya) e. Kehilangan nyawa dan harta oleh banjir f. Meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan a. Kerugian oleh berkurangnya umur waduk b. Meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir Untuk menentukan kebijakan penggunaan tanah dan tindakan konservasi yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat digunakan

37 secara produktif, maka perlu diperkirakan laju erosi yang terjadi dan menetapkan laju erosi yang dapat ditoleransi. Apabila jumlah tanah yang tererosi lebih besar dari jumlah tanah tererosi yang dapat ditoleransikan maka akan terjadi degradasi lahan, tetapi apabila jumlah tanah yang tererosi sama atau lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan maka tidak terjadi degradasi erosif. Prediksi erosi adalah alat bantu untuk mengetahui besarnya erosi yang akan terjadi pada suatu penggunaan lahan dengan pengelolaan tertentu dan untuk mengambil keputusan dalam perencanaan konservasi tanah. Batas Toleransi Erosi adalah nilai laju erosi terbesar yang masih dapat ditoleransikan agar tetap terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman sehingga memungkinkan tercapainya produktifitas yang tinggi. Nilai Batas Toleransi Erosi (T) ditentukan oleh kedalaman tanah, batuan pembentuk tanah, iklim dan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman. Selengkapnya disajikan pada Tabel 3. No. Tabel 3 Penetapan Nilai Batas Toleransi Erosi (T) Sifat Tanah dan Substratum Nilai T (ton/ha/tahun) mm/tahun 1. Tanah dangkal di atas batuan 1,12 0, Tanah dalam, di atas batuan 2,24 0, Tanah dengan lapisan bawah padat, di atas substrata yang telah mengalami pelapukan 4. Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi 5. Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi 6. Tanah dengan lapisan bawahnya permeabel (agak cepat), di atas bahan yang tidak terkonsolidasi Sumber: Arsyad (2006) 4,48 0,448 8,96 0,896 11,21 1,121 13,45 1,345 Besarnya erosi aktual yang terjadi dapat memberikan gambaran apakah tingkat erosi yang terjadi pada suatu DAS sudah dalam tingkatan yang membahayakan atau tidak. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tidak mengalami 17

38 18 perubahan. Penentuan TBE menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang telah ada dan besarnya erosi sebagai dasarnya. Semakin dangkal solum tanahnya berarti semakin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat bahaya erosinya sudah cukup besar, meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar Longsor Salah satu jenis tanah yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil letusan gunung api. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Tanah yang berada diatas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Longsoran (slide) merupakan gerakan material pembentuk lereng diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah. Perpindahan material total sebelum longsoran bergantung pada besarnya regangan untuk mencapai kuat geser puncaknya dan pada tebal zona longsornya (Hardiyatmo, 2006). Longsor adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan atau gerakan tanah terjadi pada saat bersamaan dalam volume yang besar. Berbeda dengan bentuk erosi, pada tanah longsor pengangkutan tanah dalam volume besar terjadi sekaligus. Akan terjadi longsor jika terpenuhi tiga keadaan, yaitu: (1) lereng yang cukup curam sehingga volume dapat bergerak atau meluncur kebawah, (2) terdapat lapisan kedap air dan lunak di bawah permukaan tanah yang merupakan bidang luncur, (3) terdapat cukup air dalam tanah sehingga lapisan tanah tepat di atas lapisan kedap air menjadi jenuh (Arsyad, 2006). Menurut Kementrian ESDM (2008), jenis tanah longsor dibedakan atas 6 jenis, yaitu longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan. Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir yang berbentuk rata atau landai, adapun longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang yang cekung. Jika longsoran

39 19 terjadi karena perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata disebut longsoran pergerakan blok, dan jika bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas disebut runtuhan batu. Longsoran rayapan tanah adalah jenis longsoran yang bergerak lambat sehingga hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon atau rumah menjadi miring ke bawah. Jenis tanah longsor akibat aliran bahan rombakan terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak. Untuk lebih jelasnya beberapa gambar jenis tanah longsor dapat dilihat pada Gambar 3. Longsoran translasi Longsoran rotasi Longsoran pergerakan blok Longsoran runtuhan batu Longsoran rayapan tanah Longsoran aliran bahan rombakan Gambar 3 Jenis Tanah Longsor (Kementerian ESDM, 2008).

40 20 Menurut Hardiyatmo (2006) terdapat banyak faktor penyebab terjadinya longsoran seperti kondisi geologi dan hidrologi, topografi, iklim dan perubahan cuaca dapat mempengaruhi stabilitas lereng. Longsoran jarang terjadi hanya oleh satu sebab saja. Adapun sebab-sebab longsoran lereng alam yang sering terjadi menurut Kementrian ESDM (2008) dijelaskan antara lain: 1. Hujan Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November (awal musim hujan) karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah. 2. Lereng Terjal Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar. 3. Tanah yang Kurang Padat dan Tebal Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.

41 21 4. Batuan yang Kurang Kuat Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. 5. Jenis Tata Guna Lahan Tanah longsor banyak terjadi di daerah penggunaan lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama. 6. Getaran Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak. 7. Adanya Material Timbunan pada Tebing Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman, umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah. 8. Susut Muka Air Danau atau Bendungan Akibat susutnya muka air yang cepat di danau, maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan. 9. Bekas Longsoran Lama Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri: adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda, umumnya dijumpai mata

42 22 air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur, daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai, adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah, adanya tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama, alur lembah dan pada tebingnya memiliki retakan dan longsoran kecil. Masalah stabilitas lereng baik yang secara alami maupun disebabkan oleh penggalian tanah, telah muncul di berbagai bidang kegiatan manusia, yang manakala stabilitas lereng terganggu, berbagai pergerakan tanah akan terjadi. Menurut Suparman et al. (2009) pergerakan tanah secara garis besar terdiri dari tanah gerak (landslide), tanah longsor (slope failure) dan aliran runtuhan (debris flow). Kejadian dan penyebab dari tanah gerak (landslide) dan tanah longsor (slope failure) dapat dibedakan berdasarkan berbagai kondisi melalui pengamatan yang cermat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. No Tabel 4 Kejadian dan Penyebab terjadinya Tanah Gerak dan Longsor Uraian Tanah Gerak (landslide) 1 Kondisi Lahan Seringkali terjadi di tempat-tempat yang kondisi geologisnya spesifik 2 Karakteristik tanah Luncuran terjadi dengan bidang luncur terutama pada tanah lempung 3 Topografi Terjadi pada lereng landai dengan sudut dan sangat sering membentuk suatu bidang datar seperti topografi di bagian hulu 4 Kegiatan luncuran 5 Kecepatan perpindahan/ luncuran Menerus dan berulang kali terjadi Biasanya kecepatannya rendah 0,001 s/d 10 mm/hari 6 Massa tanah Perubahan massa tanah kecil, seringkali bergerak sambil mempertahankan bentuk aslinya 7 Penyebab longsoran 8 Ukuran longsoran Pengaruh dari air tanah sangat besar Ukurannya besar ha 9 Indikasi Perkembangan kejadian mulai dari retakan, penurunan, timbulnya air tanah dapat diamati sebelum longsoran Sumber: Suparman et al. (2009). Tanah Longsor (slope failure) Tidak banyak berhubungan dengan geologi Sering terjadi pada tanah berpasir (decomposed granite, tanah atau vulkanis) Sering terjadi pada lereng curam dengan sudut kemiringan > 20 0 Terjadi mendadak Kecepatan tinggi 10 mm/hari Massa tanah berubah bentuk Disebabkan terutama oleh intensitas curah hujan Kurang dari 1 ha Terjadi mendadak dengan tanda-tanda yang tidak jelas

43 Sedimentasi Waduk Laju Sedimen Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi secara umum disebut sedimen. Sebagian saja dari sedimen yang akan sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa keluar daerah tampung atau daerah aliran sungai. Nisbah jumlah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang tererosi dari daerah tersebut, dinamakan Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) atau Sediment Delivered Ratio (SDR). Nilai NPS yang mendekati satu artinya semua tanah yang tererosi masuk ke dalam sungai hanya mungkin terjadi pada daerah aliran sungai kecil dan yang tidak mempunyai daerah-daerah datar atau yang memiliki lereng-lereng curam, banyak butir-butir tanah halus yang terangkut, kerapatan drainase yang tinggi, atau secara umum dikatakan tidak memiliki sifat yang cenderung menghambat pengendapan sedimen di dalam daerah aliran (Arsyad, 2006). Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh suatu aliran akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti. Proses ini yang dikenal dengan sedimentasi atau pengendapan, atau proses yang menyebabkan terbentuknya dataran-dataran aluvial yang luas yang pada banyak tempat di dunia merupakan pendukung perkembangan pertanian. Namun demikian, sedimen yang dihasilkan oleh tererosinya tanah yang salah dalam pengelolaannya akan menimbulkan masalah. Sedimentasi adalah proses pengendapan sedimen hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit atau erosi tanah lainnya yang terjadi di dasardasar waduk, sungai, muara sungai dan laut. Sedimen yang terbawa sampai masuk ke dalam waduk atau danau sebagian akan terendap dalam waduk atau danau tersebut dan sebagian akan terbawa oleh air yang mengalir keluar. Bagian dari sedimen yang mengendap di dalam waduk menunjukkan efisiensi waduk dalam menangkap sedimen. Kemampuan waduk untuk menahan dan mengendapkan sedimen tersebut disebut keefisienan perangkap atau trap efficiency, yang dinyatakan dalam persen terhadap banyaknya sedimen yang terbawa aliran masuk. Efisiensi perangkap tergantung pada sifat-sifat sedimen (distribusi ukuran butir) dan laju aliran melalui waduk (Arsyad, 2006).

44 24 Volume sedimen yang masuk ke dalam waduk dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini (Sukartaatmadja, 2004): a. Musim, yaitu besarnya curah hujan dan adanya limpasan (runoff). Kemampuan curah hujan menimbulkan erosi pada tanah didasarkan pada besarnya curah hujan, intensitas hujan dan penyebaran hujan. Hal tersebut menentukan kekuatan aliran permukaan, sehingga menyebabkan erosi permukaan yang masuk ke dalam aliran sungai dan akhirnya mengalir dan masuk ke waduk. b. Vegetasi pada daerah pengaliran. Hal ini berkaitan dengan besarnya erosi tanah (erosi permukaan) yang diakibatkan tidak adanya pengelolaan tanaman sebagai pelindung tanah. Penanaman tumbuhan pada daerah aliran sungai dan sekitar waduk yang tidak dikelola dengan baik dan dalam jumlah yang sedikit akan semakin memudahkan terjadinya erosi permukaan akibat adanya pengikisan permukaan tanah secara langsung. c. Geologi dan sifat tanah permukaan. Laju sedimentasi tergantung pada kondisi geologi (sifat batuan) dan erosi permukaan juga tergantung dari sifat tanah permukaan, seperti struktur tanah dan permeabilitas tanah. d. Kemiringan tanah dan sungai, yaitu berkaitan dengan panjang kemiringan dan besarnya kemiringan. Semakin panjang dan besar kemiringan tanah, maka erosi permukaan akan semakin besar, sehingga mengakibatkan bertambahnya sedimen yang masuk ke dalam waduk. e. Aktifitas manusia dan pengelolaan lahan, yaitu kegiatan manusia dengan pembuatan bangunan serta pekerjaan yang dilakukan di dalam alur sungai ataupun yang berhubungan dengan pola penggarapan lahan yang baik, misalnya dengan terasering dan penanaman sejajar (berpola), dimana hal ini dapat mengurangi terjadinya kehilangan tanah akibat erosi permukaan. f. Karakteristik waduk, yaitu kapasitas, kedalaman, fluktuasi permukaan air yang terdapat di dalamnya Prediksi Sedimentasi Waduk Seperti diketahui bahwa proses erosi yang terjadi di daerah hulu DAS akan terangkut oleh air ke dalam alur-alur selanjutnya terbawa ke sungai, danau atau

45 25 waduk dalam bentuk sedimen. Proses pengangkutan sedimen dalam alur sungai terdiri dari tiga tipe sebagai berikut (Mulyanto, 2000): 1. Wash load (sedimen cuci) yang terdiri dari lanau dan debu yang terbawa ke dalam sungai dan tetap melayang sampai mencapai laut atau genangan air lainnya. 2. Suspended load (sedimen melayang) yang terutama terdiri dari pasir halus yang melayang di dalam aliran karena tersangga oleh turbulensi aliran air. 3. Bed load (sedimen dasar) dengan butiran yang lebih besar yang bergerak di bagian dasar sungai. Sedimen yang terangkut dalam alur-alur sungai dapat mencapai laut atau mengendap di tempat lain misalnya pada bendungan atau waduk. Akibat adanya waduk, aliran akan mengalami perlambatan dan terjadi backwater positif yang berakibat mengecilnya kapasitas transpor sedimen sehingga terjadi proses sedimentasi (pengendapan). Jenis sedimen suspended load dapat berubah menjadi tipe bed load, misalnya akibat berkurangnya turbulensi. Dengan demikian potensi suspended load mengendap pada waduk semakin besar, bahkan akibat aliran yang sangat lambat, sedimen tipe wash load pun akan mengendap. Informasi besarnya sedimen yang masuk ke dalam waduk dapat diperoleh dari prediksi yang dilakukan dengan menggunakan berbagai metode sebagai berikut (Kironoto, 2007): 1. Perhitungan berdasarkan angkutan sedimen di sungai. Jumlah sedimen yang masuk ke dalam waduk merupakan jumlah absolut dari bed load dan suspended load. Perhitungan bed load dilakukan dengan pendekatan berdasarkan rumus-rumus empirik atau berdasarkan prosentase suspended load (menggunakan Tabel Meddock). Dapat juga dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan. Perhitungan debit suspensi diperoleh dari kurva durasi debit yang merupakan kurva korelasi debit sedimen suspensi dan debit aliran. Debit sedimen suspensi diperoleh dari pengukuran konsentrasi suspensi pada debit-debit aliran tertentu. 2. Pengukuran Echosounding di waduk. Alat Echosounder digunakan untuk mengukur kedalaman waduk. Pengukuran dilakukan pada berbagai titik dengan pola tertentu. Dengan titik-titik

46 26 kedalaman tersebut dapat diperkirakan volume tampung waduk. Perhitungan sedimentasi waduk dengan metode ini dilakukan dengan membandingkan pengukuran volume waduk dengan pengukuran yang dilakukan sebelumnya. Dengan demikian dari metode ini akan diperoleh besaran aktual sedimentasi yang terjadi di waduk. 3. Perhitungan erosi di daerah tangkapan waduk. Laju erosi lahan daerah tangkapan waduk dapat diperkirakan dengan berbagai rumus pendekatan diantaranya The Universal Soil Loss Equation (USLE), metode Fournier, metode Soil Erosion Design Curve. Persamaan USLE dipengaruhi oleh faktor curah hujan dan aliran permukaan (erosivitas hujan) R, erodibilitas tanah K, faktor kemiringan lereng LS, faktor vegetasi penutup tanah C, dan faktor tindakan- konservasi tanah P. Metode Soil Erosion Design Curve memperhitungkan faktor berupa kemiringan daerah tangkapan, iklim, tipe tanah dan frekuensi pengolahan tanah. Sedimen yang terbawa oleh sungai alam akan lebih sedikit dibandingkan dengan erosi total dari bagian hulu DAS yang ditinjau. Sedimen terdeposit pada lokasi antara sumber dan potongan melintang sungai bilamana kapasitas debit tidak cukup untuk mempertahankan transpor sedimen. Rasio pengantaran sedimen (Sedimen Delivery Ratio) merupakan perbandingan antara hasil (yield) sedimen pada potongan melintang sungai yang diketahui dengan erosi total (gross erosion) dari DAS sebelah hulu potongan tersebut (Kodoatie et al., 2002). Tidak semua sedimen yang masuk ke dalam waduk diendapkan di dasar waduk, akan tetapi sebagian sedimen tersebut (terutama suspended load), akan keluar dari waduk melalui sistem pelepasan air maupun bangunan pelimpah. Sedimen yang masuk ke dalam waduk tidak terdistribusi merata di dasar waduk. Butiran sedimen yang lebih besar cenderung mengendap didekat hulu waduk sedangkan yang lebih halus akan mengendap relatif dekat dengan hilir waduk. Menurut Arsyad (2006) hasil sedimen dari suatu DAS yang masuk ke dalam waduk dapat ditentukan melalui survey sedimentasi pada waduk. Dengan memperkirakan tebalnya endapan pada berbagai tempat di waduk dapat ditetapkan volume sedimen. Selanjutnya dengan menggunakan nilai kemampuan waduk dalam menahan dan mengendapkan sedimen atau efisiensi perangkap waduk

47 27 (Trap Efficiency of Reservoirs) dapat ditentukan banyaknya sedimen yang masuk ke dalam waduk yaitu sedimen yang berasal dari bagian hulu DAS. Sukartaatmadja (2004) juga mengemukakan metode perhitungan untuk memperkirakan volume sedimen-sedimen yang akan ditampung oleh waduk dalam kapasitas matinya, sepanjang umur efektif waduk adalah: 1. Perhitungan perkiraan volume sedimen berdasarkan metode perbandingan. Perhitungan akan dilakukan berdasarkan perbandingan dengan sedimentasi sesungguhnya yang terjadi pada waduk-waduk yang sudah ada, baik pada sungai dimana direncanakan akan dibangun bendungan, maupun sungai yang terdapat di sekitarnya. 2. Perhitungan perkiraan volume sedimen dengan menggunakan data dari waduk-waduk lapangan. 3. Perhitungan perkiraan dengan mengunakan rumus empiris yang mengklasifikan perimbangan susunan geologi di daerah pengaliran, kapasitas curah hujan tahunan, temperatur, kondisi topografi dan lain-lain Bangunan Pengendali Sedimen Sabo Dam dan Fungsinya Pergeseran pemahaman dari bahasa aslinya (Jepang) Sabo yang berarti pencegah pasir menjadi bangunan konservasi air menunjukkan keberhasilan pembangunan bukan saja secara struktural tetapi juga sosial. Fungsi utama bangunan sabo dam adalah untuk mengontrol sedimen, namun demikian dengan sedikit modifikasi dapat difungsikan juga sebagai bendung irigasi, jembatan penghubung dan mikrohidro. Saat ini Sabo sudah menjadi milik masyarakat, karena masyarakat sekitar sabo senantiasa menjaga keberadaan pasir di sabo dari eksploitasi berlebihan untuk menjaga lingkungan. Daerah tangkapan pasir (kantong pasir) yang telah hijau mengandung air yang memicu pertumbuhan tanaman jangka pendek dan jangka panjang. Keberadaan tanaman memungkinkan perkembangan fauna di sekitar daerah sabo. Di sini infrastruktur sabo dikembalikan pada perannya sebagai bentuk pencapaian pemberdayaan lingkungan secara arif dan berkelanjutan.

48 28 Sabo adalah salah satu bangunan pengendali sedimen yang dianggap dapat mengkombinasikan fungsi struktur dan konservasi. Bangunan sabo dikenal sebagai penahan sedimen baik lahar dingin maupun sedimen hasil longsoran tanah atau erosi permukaan. Saat ini keberhasilan sabo untuk sebagai konservasi air dapat diandalkan karena bukan hanya sebagai pengendali sedimen tetapi justru dapat berfungsi sebagai penyimpan air dan mampu menaikkan elevasi muka air sekitarnya (Triatmadja, 2007). Bangunan Sabo atau Sabo Works adalah sistem pengendalian sedimen untuk mengatasi adanya aliran debris atau aliran air yang mempunyai kecepatan tinggi yang membawa bahan-bahan sedimen campuran terdiri dari berbagai material seperti batu, tanah, pasir dan batang kayu. Aliran debris dapat terjadi karena rusaknya lingkungan di daerah tersebut, curah hujan yang tinggi, faktor pengaliran karena daerah tersebut gundul, dan kemiringan lereng yang terjal. Tabel 5 Macam dan Fungsi Bangunan Sabo No Macam Fungsi Utama Lokasi 1. Dam penahan bertingkat (stepped dam) 1. Mencegah erosi vertikal dan horisontal 2. Mencegah perluasan galur - Di daerah hulu pada galur sungai dengan bentuk 2. Dam pengendali (check dam) 3. Dam stabilisator (consolidation dam /bottom controller) 4. Kantong sedimen (sand pocket) 5. Kanalisasi (channel works) 6. Tanggul pengarah (training dike) 7. Lindungan tebing (bank protection) 1. Mengendalikan sedimen: menahan, menampung, mengontrol 2. Memperkecil energi aliran debris 3. Mereduksi debit puncak sedimen 1. Menstabilkan dasar 2. Mengarahkan aliran 1. Mencegah penyebaran aliran sedimen 2. Menampung sedimen - Menstabilkan alur sungai agar tidak berpindah 1. Mencegah limpasan sedimen/ debris 2. Mengarahkan aliran sedimen / debris profil huruf V - Pada palung sungai - Bentuk profil U - Disebelah hilir dasar yang distabilisasi - Kipas alluvial - Kipas alluvial - Tempat-tempat rawan limpasan - Melindungi tebing terhadap erosi - Pada tebing yang rawan terhadap erosi Menurut Subarkah dan Rahayu (2005) prinsip dasar dari usaha pengendalian sedimen adalah mencegah produksi sedimen karena erosi lateral dan

49 29 vertikal, menampung dan mengontrol aliran sedimen, menetapkan dan menstabilkan alur sungai, dan mengelola sedimen yang tertampung pada banguna sabo. Konstruksi banguan sabo pada umumnya menggunakan pondasi mengambang (floating foundation) yaitu pondasi dibangun pada dasar sungai yang terbentuk oleh endapan sedimen lepas yang tidak terkonsolidasi. Adapun penempatan bangunan sabo harus disesuaikan berdasarkan fungsi utama dan lokasinya. Selanjutnya beberapa jenis bangunan sabo dan fungsinya disajikan dalam Tabel 5. Berdasarkan kegiatan struktur bangunan sabo sebagai bangunan pengendali sedimen terdapat berbagai macam tipe bangunan dan fungsinya sebagai berikut (Suparman et al., 2009): a. Sabo Dam / Cekdam (Dam Pengendali Sedimen) adalah bangunan yang dibuat melintang sungai yang fungsinya adalah untuk menahan sedimen yang mengalir dan ada di tempat tersebut, menahan sedimen dan mengendalikan aliran sedimen, mencegah erosi tebing serta dasar sungai, mengurangi kecepatan banjir lahar akibat dasar sungai menjadi lebih landai. Jika cekdam sudah penuh dan kemudian terjadi lagi aliran sedimen maka cekdam akan menahan sementara sebagian material yang mengalir dan pada waktu tidak banjir maka sedimen yang tertahan akan dilepas turun sedikit demi sedikit bersama aliran air. Cek dam dibangun di bagian hulu sungai yang mempunyai tebing yang tinggi sehingga mempunyai daya tamping material yang besar. b. Dam Konsolidasi adalah bangunan sabo dam yang sama seperti dam penahan sedimen, dibuat melintang sungai hanya dengan ukuran yang lebih kecil. Adapun fungsi tipe ini adalah untuk memantapkan elevasi dasar sungai yang ada agar tidak tergerus. Pembuatan Dam Konsolidasi dimaksudkan untuk melindungi bangunan yang ada di bagian hulu misalnya jembatan, perkuatan tebing dan bahkan dapat dipergunakan juga untuk pengambilan air irigasi atau juga dapat digunakan sebagai jembatan diwaktu tidak terjadi banjir. c. Kantong Pasir/Lahar adalah bangunan yang dibuat dengan maksud untuk menampung material. Bangunan ini dibuat lebih ke hilir dari cekdam, ditempat yang agak datar dimana sedimen pernah menyebar karena tebing sungai sudah tidak tinggi lagi.

50 30 Konstruksi Kantong Pasir terdiri dari tanggul di kanan kiri sungai serta tanggul yang melintang sungai. Kemudian dibagian aliran sungai dipasang overflow atau pelimpas yang berfungsi untuk tempat jalannya aliran air sungai yang konstruksinya mirip dengan dam konsolidasi. Apabila isi kantong pasir ini sudah penuh perlu dikosongkan lagi dengan cara melakukan penggalian. Bahan galian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan untuk berbagai keperluan Bentuk dan Tipe Sabo Dam Bentuk sabo dam sangat bervariasi, tergantung kondisi dan situasi setempat, antara lain: konfigurasi palung sungai (sempit, lebar, dalam atau dangkal) dan jenis material sedimen (pasir, kerikil, batau atau tanah) serta fungsi sampingannnya. Bentuk tipikal sabo dam yang banyak dijumpai di Indonesia adalah kategori impermeable, karena air turut tertampung bersama material sedimen terutama yang berdiameter cukup besar seperti batu dalam berbagai ukuran. Bagian-bagian sabo dam antara lain: puncak dam, pelimpah, sayap, apron, sub dam, lubang drip, dinding apron dan cut off (lihat Lampiran 1). Berdasarkan fungsinya, bangunan sabo dibedakan atas dua tipe bangunan yaitu (Subarkah, 2005): 1. Bangunan sabo tipe tertutup Bangunan sabo tipe tertutup sangat efektif untuk menahan, menampung dan mereduksi aliran sedimen. Aliran sedimen mengisi ruang tampung secara cepat maupun lambt tergantung skala dan interval banjir. Namun apabila volume tampung sudah penuh sedimen, fungsi utamanya hanya sebagai penahan dan pereduksi debit puncak sedimen karena fungsi tampung sudah nol. Fenomena pengisian ruang tampung sabo berpengaruh terhadap proses penurunan dasar sungai di bagian hilir karena suplai sedimen berkurang menyebabkan keseimbangan aliran sedimen terganggu. Sketsa bangunan sabo dam tipe tertutup dapat dilihat pada Gambar Bangunan sabo tipe terbuka Bangunan sabo dam tipe terbuka pada umumnya mempunyai dua macam bentuk yaitu slit (celah) dan bentuk grid. Prinsip tipe terbuka adalah maindam diberi lubang sesuai dengan persyaratan agar mampu mengalirkan

51 31 sedimen ke hilir secara perlahan dan bertahap pada saat banjir besar maupun banjir kecil. Sabo dam terbuka dengan bentuk celah sangat efektif untuk mereduksi debit puncak sedimen karena volume control dapat direncanakan dengan menentukan dimensi dan jumlah celah. Sabo dam terbuka dengan bentuk grid pada umumnya dibuat dari pipa baja atau rangka baja. Pada debit kecil dan sedang, material sedimen akan lolos ke hilir. Namun pada saat terjadi aliran debris, sabo dam tipe ini sangat efektif untuk menangkap batu besar dan batang kayu yang terangkut oleh banjir, sedangkan material sedimen berbutir kecil lolos ke hilir. Sketsa bangunan sabo dam tipe terbuka dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 4. Bangunan Sabo Dam Tipe Tertutup Gambar 5 Bangunan Sabo Dam Tipe Terbuka.

52 32 Adapun tipe bangunan sabo untuk daerah non vulkanik sama dengan bangunan untuk daerah vulkanik, dimana bangunan yang dibuat adalah, sabo dam, groundsill, revetment, channel works, dan sebagainya. Bangunan sabo di daerah non vulkanik diklasifikasikan sebagai berikut (Suparman et al., 2009): 1. Bangunan untuk menahan debris/sedimen di daerah sedimen: dam, hillside works 2. Bangunan untuk menahan debris/sedimen di tebing: groundsill, revetment 3. Bangunan untuk menahan debris/sedimen di dasar sungai: dam, groundsill, channel works 4. Bangunan untuk menampung debris/sedimen di sungai: dam, sand pocket 5. Bangunan untuk mengatur aliran debris/sedimen: dam, groundsill 2.5. Upaya Pengendalian Sedimentasi Waduk Permasalahan sedimentasi waduk banyak terjadi di Indonesia yang berdampak pada pengurangan usia operasi waduk. Pemerintah telah memberikan acuan pengelolaan waduk dalam bentuk Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk. Dalam pedoman tersebut, kegiatan pengelolaan sedimentasi waduk dikelompokkan dalam 3 (tiga) kegiatan usaha yaitu (Mukhlisin,2007): 1. Meminimalkan beban sedimen yang masuk ke dalam waduk, 2. Meminimalkan jumlah sedimen yang mengendap (sedimentasi) di dalam waduk, 3. Mengeluarkan endapan sedimen dari waduk. Adapun alternatif penanganan tersebut dapat dilakukan dengan cara: (a) penangkapan sedimen di bagian hulu waduk, (b) pengalihan sedimen yang menuju waduk, (c) pelewatan sedimen yang masuk ke tampungan waduk, (d) penggelontoran sedimen di waduk, (e) pemindahan sedimen dari waduk dengan cara mekanis, (f) penanganan secara vegetatif, dan (g) penanganan secara sosial. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi dampak permasalahan berkaitan dengan sedimentasi pada waduk yang semakin kompleks. Secara umum upaya tersebut dilakukan dengan cara vegetatif dan mekanik. Metode konservasi lahan sebagai salah satu upaya penanganan permasalahan sedimentasi waduk diharapkan mampu mencegah atau mengurangi laju erosi. Erosi tanah di bagian hulu dan bagian pertengahan DAS merupakan sumber utama sedimentasi,

53 33 sehingga konservasi air dan tanah merupakan langkah mendasar untuk mengurangi jumlah sedimentasi yang masuk ke dalam waduk (Jian et al. 2002). Upaya konservasi lahan bukanlah upaya yang mudah, mengingat upaya ini berkaitan langsung dengan masyarakat di daerah tangkapan waduk. Berbagai aspek yang ada dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari upaya konservasi lahan. Aspek ekonomi, sosial budaya dan berbagai aspek lain akan saling terkait. Disamping itu, usaha ini merupakan usaha jangka panjang yang membutuhkan waktu lama dan keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh keberlanjutan (sustainability) usaha ini Cara Vegetatif (Non Struktural) Teknik vegetatif adalah upaya pengendalian sedimentasi waduk dengan menekankan pada kegiatan pencegahan erosi melalui penanaman vegetasi pada daerah hulu waduk. Mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah adalah cara yang paling efektif dan ekonomis dalam usaha mencegah terjadi dan meluasnya erosi permukaan. Secara umum keberhasilan penanaman vegetasi untuk tujuan konservasi tanah akan ditentukan oleh keadaan sebagai berikut (Asdak, 2004): 1. Tanah (antara lain kesuburan, kedalaman) dan curah hujan harus cukup memadai untuk menjamin kelangsungan tumbuh vegetasi. Curah hujan yang lebih tinggi di daerah dengan tipe tanah lempung (clay) umumnya lebih menjamin pertumbuhan tanaman daripada tanah dengan tipe pasir. 2. Jenis tanaman yang mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat atau jenis spesies vegetasi lokal harus diprioritaskan penanamannya. 3. Jumlah biji vegetasi yang akan ditanam harus cukup, disiapkan dengan baik dan ditanam dengan kedalaman yang memadai. Biji kecil ditanam lebih dangkal daripada biji yang besar. Penanaman biji juga harus dilakukan pada saat kelembaban tanah cukup tersedia. Kartasapoetra (2000) menjelaskan bahwa cara vegetatif atau cara memanfaatkan peranan tanaman dalam usaha pengendalian erosi dan atau pengawetan tanah dalam pelaksanaannya dapat meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) Penghutanan kembali (reboisasi) dan penghijauan, yaitu tanah-tanah yang gundul akibat perusakan hutan dan tanaman keras lainnya, diperbaiki dan

54 34 dipulihkan kembali kelestariannya; (2) Penanaman tanaman penutup tanah dengan maksud untuk melindungi permukaan tanah dari daya dispersi dan daya penghancuran dari butir-butir hujan; (3) penanaman secara kontur, yaitu penanaman tanaman yang searah atau sejajar dengan garis kontur; (4) penanaman tanaman secara larikan (strip cropping), yaitu dengan membuat larikan-larikan yang searah dengan garis kontur sehingga dapat memperlambat lajunya aliran permukaan; (5) penggiliran tanaman (crop rotation) yaitu sistem bercocok tanam pada sebidang tanah yang terdiri dari beberapa macam tanaman yang ditanam secara berturut-turut pada waktu tertentu, setelah masa panennya kembali lagi pada tanaman semula; dan (6) penggunaan serasah (mulching) yaitu dengan menutupi permukaan tanah dengan serasah atau sisa-sisa tanaman Cara Mekanik (Struktural) Upaya struktural dilakukan dengan membuat bangunan-bangunan struktur untuk mencegah terjadi erosi atau untuk mencegah masuknya sedimen ke dalam waduk atau untuk membuang sedimen yang masuk ke dalam waduk. Cara ini dilakukan bila secara vegetatif sudah tidak efektif lagi (kemiringan lereng cukup besar, di atas 15 o ). Cara ini bertujuan untuk mengurangi kecepatan aliran yang melalui parit-parit akibat erosi. Mukhlisin (2007) menyebutkan berbagai upaya untuk pengendalian sedimentasi waduk secara mekanik antara lain sebagai berikut: 1. Mengurangi input sedimen dengan bangunan pengontrol erosi, check dam, sand trap dan bangunan sejenisnya. 2. Bypass sediment inflow dengan bypass tunnel atau bypass channel. 3. Pelepasan deposit sedimen melalui pembuangan dengan excavator, dredging, flushing. 4. Mensuplai sedimen ke hilir dengan bypass tunnel, bypass channel, flushing dan dredging. Pendekatan dengan metode penggelontoran (flushing) cocok dilakukan untuk waduk dengan laju sedimentasi tinggi, akan tetapi dampak lingkungan harus dipertimbangkan secara menyeluruh apabila metode ini akan dilakukan (Jian Jiu, 2002).

55 35 Subarkah (2005) menyebutkan bahwa untuk pengendalian sedimen dapat dilakukan beberapa prinsip dasarnya yaitu dengan: (1) melakukan pencegahan produksi sedimen akibat erosi lateral dan vertikal, (2) menampung dan mengontrol aliran sedimen, (3) menetapkan dan menstabilkan alur sungai, (4) mengelola sedimen yang tertampung pada bangunan sabo. Selanjutnya, pengendalian sedimen dengan bangunan pengontrol erosi seperti check dam termasuk sabo mempunyai fungsi untuk mengontrol aliran sedimen pada saat terjadi banjir besar dengan cara mereduksi debit puncak sedimen. Konstruksi check dam yang dibangun melintang sungai akan membentuk dasar sungai yang lebih landai setelah check dam terisi sedimen dan membentuk penampang sungai yang lebih kecil. Pengaruh dari kemiringan dasar yang lebih landai dan penyempitan penampang sungai menyebabkan kecepatan banjir menjadi berkurang. Akibat berkurangnya kecepatan banjir menyebabkan sejumlah sedimen yang mengalir mengendap sementara di bagian hulu check dam sebagai volume kontrol. Kemudian pada saat banjir kecil (banjir tahunan) aliran air akan mengangkut endapan sedimen tersebut ke hilir sedikit demi sedikit secara alami Kombinasi Vegetatif dan Mekanik Teknik pencegahan erosi yang paling efektif adalah kombinasi dari teknik atau cara vegetatif dan cara mekanik (Asdak, 2004). Kedua cara tersebut bersifat saling mendukung. Usaha untuk memantapkan jurang yang disebabkan oleh erosi parit, misalnya, diperlukan penanaman vegetasi. Untuk dapat tumbuh dengan baik, vegetasi tersebut memerlukan pra kondisi, yaitu keadaan tanah yang stabil. Keadaan ini dapat diwujudkan dengan bantuan bangunan mekanik, seperti dinding penahan. Salah satu bangunan pengendali sedimen yang dianggap dapat mengkombinasikan fungsi vegetasi dan mekanik adalah sabo. Kegiatan Sabo Works adalah pekerjaan pengendalian/penanggulangan sedimen perusak dengan membangun beberapa fasilitas bangunan sabo pada alur sungai curam untuk menjaga sungai agar senantiasa dalam kondisi seimbang. Adapun untuk non konstruksi adalah pekerjaan pengendalian/ penanggulangan sedimen perusak dengan cara vegetasi, terasering, pengaturan tata guna lahan.

56 Sistem dan Pendekatan Sistem Manetsch dan Park (1977) mengartikan sistem sebagai suatu interkoneksitas antar elemen-elemen dan terorganisasi menuju satu tujuan atau beberapa tujuan. Secara teoritis komponen dalam suatu sistem saling berhubungan dan memiliki ketergantungan antar komponen. Sistem harus dipandang scara keseluruhan dan bersifat sebagai pengejar sasaran (goal seeking) sehingga terjadi keseimbangan untuk mencapai tujuan. Suwarto (2006) menyatakan bahwa suatu sistem didefenisikan sebagai himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan kompleks. Namun tidak semua kumpulan dan gugus bagian dapat disebut suatu sistem kalau tidak memenuhi syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional, dan tujuan yang berguna. Eriyatno (2003) menjelaskan elemen atau komponen sistem adalah unsur (entily) yang mempunyai tujuan atau realitas fisik. Elemen mempunyai atribut berupa nilai bilangan, formula intensitas atau suatu keadaan fisik seperti seseorang, mesin, organisasi. Muhammadi et al. (2001), menyatakan unsur adalah benda, baik kongkirit maupun abstrak yang menyusun obyek sistem. Interaksi atau hubungan menyatakan apabila ada perubahan pada atribut suatu elemen akan mengakibatkan perubahan dalam atribut elemen yang terkait (Eriyatno, 2003). Muhammadi et al. (2001), interaksi adalah pengikat atau penghubung antar unsur yang memberi bentuk atau struktur kepada objek dan mempengaruhi perilaku dari objek. Menurut Manetsch dan Park (1977) sistem secara garis besar dibagi menjadi dua pengertian yaitu: 1. sistem sebagai entitas (wujud) sistem merupakan suatu himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan. Contoh wujud: alam semesta, manusia, mobil dan lain-lain. Menganggap sistem sebagai suatu entitas pada dasarnya bersifat deskriptif. 2. sistem sebagai suatu metode sistem diartikan sebagai tata cara (prosedur) yang bersifat preskriptif. Selain keteraturan dan ketertiban juga memiliki makna adanya pendekatan rasional dan

57 37 logik dalam mencapai tujuan. Pengertian sistem sebagai suatu metode dikenal dalam pengertian umum sebagai pendekatan sistem (system approach). Untuk dapat bekerja sempurna suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur yang meliputi (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) suatu tim yang multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non-kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi, dan (8) aplikasi komputer. Salah satu unsur yang penting adalah aplikasi manajerial pada metodologi perencanaan, pengendalian, dan pengelolaan sistem. Proses tersebut melalui beberapa tahap yang dimulai dengan mendefenisikan kebutuhan (Suwarto,2006). Mulai Analisis kebutuhan stakeholders tidak Absah? Formulasi masalah ya tidak Absah? Identifikasi sistem ya tidak Absah? Pemodelan sistem ya tidak Absah? Verifikasi dan validasi ya tidak Absah? selesai ya Gambar 6 Tahapan Pendekatan Sistem (Eriyatno, 2003). Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan

58 38 secara lintas disiplin dan komplementer (Eriyatno, 2003). Tahapan dengan metode pendekatan sistem meliputi anaisis kebutuhan, formulasi masalah, edentifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi, implementasi (Gambar 6). Eriyatno (2003) menyatakan pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan identifikasi adanya sejumlah kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Analisis kebutuhan merupakan permulaan dan pengkajian suatu sistem. Pada analisis ini dideskripsikan kebutuhan-kebutuhan stakeholders yang merupakan respon yang timbul dari jalannya sistem. Analisis ini dilakukan melalui survei, pendapat ahli, diskusi dan observasi lapangan. Tahap selanjutnya formulasi masalah yaitu merumuskan masalah-masalah yang dihadapi dari pernyataan kebutuhan stakeholders. Tahap identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataaan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hubungan ini digambarkan dengan diagram lingkar sebab akibat dan diinterpretasikan ke dalam konsep kotak gelap (black box) Pemodelan Sistem Manetsch dan Park (1977) menjelaskan model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata, yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Sedangkan menurut Eriyatno (2003), menyataakan model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Adapun pemodelan menurut Suwarto (2006) merupakan kumpulan aktifitas pembuatan model dimana diperlukan suatu penelaahan tentang model itu sendiri secara spesifik ditinjau dari pendekatan sistem. Menurut Muhammadi et al. (2001) model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Untuk mengetahui bagaimana yang disebut model sistem bekerja, dibangun suatu gambaran sederhana dari sistem. Model yang baik akan memberikan

59 39 gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Pengembangan model dalam pendekatan sistem merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Menurut Muhammadi et al. (2001), model dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu: 1. Model kuantitatif, adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematik, statistik atau komputer. 2. Model kualitatif, adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matriks yang meyatakan hubungan antar unsur. 3. Model ikonik, adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan. Meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Adapun Suwarto (2006), mengelompokkan sebagai: 1. Model Ikonik, adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik mempunyai karakteristik yang sama dengan hal yang diwakili, terutama amat sesuai untuk menerangkan kejadian pada waktu yang spesifik. 2. Model Analog, adalah model yang dapat mewakili situasi dinamik yaitu keadaan berubah menurut waktu. Model ini lebih sering dipakai daripada model ikonik karena kemampuannya untuk mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. 3. Model Simbolik (model matematik), merupakan perwakilan dari realitas yang sedang dikaji dimana pada hakekatnya selalu menjadi pusat perhatian dari ilmu sistem. Model ini umum menggunakan persamaan (equation). Hartisari (2007) menguraikan bahwa secara umum model dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu: model fisik dan model abstrak. Model fisik merupakan model miniatur replika dari keadaan sebenarnya. Model abstrak yang juga disebut model mental merupakan model yang bukan fisik, tetapi dapat menjelaskan kinerja dari sistem. Menurut Handoko (2005) ada tiga yang hal yang perlu diperhatikan dalam membangun model yaitu: (1) memahami proses, untuk menjelaskan proses yang ada dalam sistem berupa model kuantitatif atau deskriptif (2) membuat prediksi,

60 40 yaitu melakukan peramalan sesuai dengan proses yang terjadi dalam sistem, (3) untuk mendukung pengelolaannya, artinya penerapannya dapat memberikan manfaat bagi pengguna model yang akan digunakan untuk kepentingan pengelolaan dan harus dapat diterima atau memenuhi tujuan sebelumnya Verifikasi dan Validasi Suatu model ketika dijalankan secara bebas mungkin sesuai apabila cocok dengan data yang dipublikasi. Verifikasi dan validasi merupakan bagian yang penting pada setiap analisis yang bersifat empirik. Setelah model dibangun dengan pemrograman komputer dan format input-output yang telah dirancang dan memadai, selanjutnya dilakukan tahap pembuktian (verifikasi). Verifikasi berkaitan dengan kesesuaian antara model konseptual dengan model matematik. Verifikasi sebagai suatu uji terhadap model yang disusun sesuai tujuan. Verifikasi suatu model mengindikasikan kepercayaan terhadap konsep. Validasi adalah usaha menyimpulkan apakah model sistem merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji dimana dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 2003). Muhammadi et al. (2001) mengemukakan bahwa validitas atau keabsahan merupakan salah satu kriterai penilaian obyektifitas dari suatu pekerjaan ilmiah. Lebih lanjut dikatakan dalam pekerjaan pemodelan objektif itu ditunjukkan dengan sejauhmana model dapat menirukan fakta. Keserupaan model dengan dunia nyata ditunjukkan dengan sejauhmana data simulasi dan pola simulasi dapat meniru data statistik dan informasi aktual. Uji validitas model terbagi menjadi dua yaitu validasi struktur dan validasi kinerja (output model). Validasi struktur bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Validasi kinerja adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem dan ditujukan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah sesuai fakta (Muhammadi et al., 2001). Validasi kinerja dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) cara kualitatif yaitu dengan membandingkan secara visual antara simulasi dan aktual, dan (2) cara kuantitatif yaitu dengan uji statistik antar simulasi dan aktual.

61 Simulasi Model Menurut Manetch dan Park (1977) simulasi adalah suatu aktifitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan tentang perilaku sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem sebenarnya. Sementara Muhammadi et al. (2001) menjelaskan yang dimaksud dengan simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Simulasi juga adalah proses percobaan dengan menggunakan suatu model untuk mengetahui perilaku sistem dan akibat pada komponen-komponen dari suatu perlakuan. Simulasi berfungsi sebagai pengganti percobaan di lapangan yang akan banyak menggunakan waktu, tenaga dan biaya. Dengan menggunakan model simulasi dapat dilakukan eksperimen terhadap suatu sistem tanpa harus menggangu perlakuan terhadap sistem yang diteliti dan kegagalan yang dialami pada eksperimen tidak terjadi. Menurut Suwarto (2006), terdapat enam tahap yang saling berhubungan dalam proses membangun model simulasi komputer yaitu: (1) identifikasi dan defenisi sistem; (2) konseptualisasi sistem; (3) formulasi model; (4) simulasi model; (5) evaluasi model; dan (6) penggunaan model Penelitian Terdahulu yang Terkait Penelitian sedimentasi waduk di Waduk Bili-Bili Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan masalah sedimentasi di Waduk Bili-Bili dilakukan dengan berbagai tujuan yang berbeda. Fadiah (2006) telah menguraikan besarnya sedimentasi yang terjadi di waduk Bili-Bili ternyata lebih banyak disebabkan oleh erosi lahan yaitu 42,3% (14,09 ton/ha/tahun) dari erosi lahan yang terjadi pada lahan tegalan sebesar 33,32 ton/ha/tahun (klasifikasi TBE sangat berat). Menurut Lubis dan Syafiuddin (1992) bahwa lahan tegalan diluar kawasan hutan DAS Jeneberang Hulu telah mencapai gejala kritis karena tingkat erosi di wilayah DAS tersebut melebihi tingkat erosi yang diizinkan. Oleh karena itu diperlukan tindakan konservasi lahan baik secara mekanik maupun secara vegetatif pada lahan tegalan secara kontinyu untuk menahan kehilangan tanah yang terjadi.

62 42 Selain akibat erosi lahan, sedimentasi waduk juga disebabkan oleh longsoran dinding kaldera di hulu DAS Jeneberang. Hardjosuwarno dan Soewarno (2008) mengemukakan bahwa laju sedimentasi waduk akibat aliran debris pada Waduk Bili-Bili sebesar 9,24 juta m 3 /tahun adalah aliran debris yang berasal dari produksi aktifitas vulkanik (longsoran) dan peningkatan kapasitas penampungan dari kapasitas rencana tidak dapat dilakukan sehingga penanganan sedimentasi hanya untuk mempertahankan kapasitas yang ada. Namun demikian, Binga (2006) telah menganalisis bahwa pengendalian sedimen akibat longsoran tersebut dapat dilakukan dengan berbagai variasi jumlah dan ukuran bangunan check-dam. Adapun aspek teknis yang dikendalikan termasuk jumlah sedimen transpor, kecepatan aliran sedimen dan proses degradasi dan agradasi. Dari segi kelembagaan dan potensi pemanfaatan sumberdaya air di DAS Jeneberang, Sylviani dan Elvida (2006) menguraikan bahwa potensi sumberdaya air di Kab. Gowa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat dari sumber mata air di dalam kawasan hutan lindung dan dari sungai Jeneberang melalui Waduk Bili- Bili. Pengelolaannya melibatkan berbagai stakeholders antara lain: Dinas PU dan Pengairan Kabupaten, BPDAS, UPTD BPSDA dan PDAM. Terdapat pula kelembagaan masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian hutan yang dilakukan oleh kelompok tani sebelum mengajukan perijinan air terutama untuk irigasi. Kemudian, Supratman dan Yudilastiantoro (2001) mengemukakan bahwa adanya kecenderungan yang terjadi pada DAS Jeneberang dan aspek sosial ekonomi masyaarakat wilayah hulu DAS Jeneberang menyebabkan perlunya dibangun sistem kelembagaan perencanaan dan pengelolaan DAS yang terinterkoneksi Penelitian sedimentasi waduk di wilayah lain Beberapa penelitian mengenai sedimentasi waduk dan penanganannya juga telah dilakukan di berbagai wilayah lain. Sudarto (2005) membuktikan bahwa ada pengaruh perubahan tataguna lahan terhadap tingkat erosi daerah tangkapan hujan dan pendangkalan di Waduk Way Rarem. Adapun Anton, et al. (2002) dengan membandingkan peta topografi lama (tahun 1774, 1840, 1930 dan 1990) menemukan bahwa adanya perubahan tataguna lahan dan karakateristik biofik lahan disebabkan oleh adanya keputusan peraturan yang digunakan untuk mengkonversi wilayah hutan. Kemudian, Laoh (2002) menyebutkan adanya

63 43 keterkaitan antara faktor fisik, sosial ekonomi dan tataguna lahan di daerah tangkapan air dengan erosi dan sedimentasi Danau Tondano, Sulawesi Utara. Sedimentasi di waduk yang disebabkan oleh erosi lahan dan longsoran dapat dikendalikan dengan berbagai kombinasi pengendalian. Achmad (2006) telah melakuan kajian pengendalian sedimen Waduk Panglima Besar Soedirman dengan teknologi Sabo. Pengendalian erosi tanah dilakukan dengan merubah pembuatan teras yang model lama ke bentuk teras bangku, tanpa tanaman atau pohon di bagian pembatasnya. Konservasi tanah sama baiknya dengan kombinasi antara pembuatan Sabo Dam dengan penambangan pasir dapat meningkatkan umur operasional waduk dari 34 tahun menjadi 39 tahun. Sedangkan jika dikombinasikan antara konservasi lahan dengan Sabo Dam maka umur operasional waduk menjadi 47 tahun. Adapun Sardi (2008) telah melakukan kajian penanganan sedimentasi dengan waduk penampung sedimen pada bendungan serbaguna Wonogiri. Dengan pengoperasian waduk penampung sedimen dapat menurunkan deposisi netto yang terjadi pada waduk sebesar 30,41% dibandingkan dengan kondisi sebelum ada waduk penampung tersebut. Selanjutnya, peningkatan efektifitas mitigasi dari check-dam terhadap aliran debris telah dilakukan oleh Osti and Egashira (2008). Hasil penelitian menunjukkan metode pendekatan untuk memprediksi karakteristik aliran debris, dan pengusulan teknik untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas mitigasi dari check-dam terhadap aliran debris di gunung yang curam. Diharapkan pula dapat membantu untuk memutuskan mana kombinasi terbaik dari check-dam yang bersama-sama akan cocok untuk mengendalikan secara optimal aliran debris dan sumberdaya yang ada di wilayah perairan sungai. Dari segi penerapan kebijakan pengelolaan DAS, Hasibuan (2005) telah melakukan penelitian mengenai pengembangan kebijakan pengelolan DAS bagian Hulu untuk efektifitas waduk yang berlokasi di DAS Citarum untuk efektifitas waduk Saguling Propinsi Jawa Barat. Disimpulkan bahwa kebijakan saat ini belum memformulasi kebijakan dalam keterpaduan berbagai keputusan dan peraturan perundangan untuk dapat bersinergi satu sama lain. Tetapi malah menimbulkan konflik kepentingan dan melahirkan berbagai persoalan yang dapat menurunkan kualitas lingkungan. Persepsi stakeholders juga menunjukkan bahwa

64 44 aktifitas pemanfaatan ruang belum mengarah pada perpaduan penerapan kebijakan secara konsisten yang didukung dengan penegakan hukum. Akhirnya dirumuskan strategi pengembangan kebijakan pengelolaan DAS menggunakan tiga pilar kebijakan yang terintegrasi, yaitu: satu manajemen DAS terpadu yang diaktualisasikan dalam kelembagaan; kawasan lindung, diaktualisasikan dalam ekosistem; dan fungsi kawasan DAS didukung oleh sosial ekonomi. Ismail (2007) melakukan penelitian mengenai penilaian ekonomi dan kebijakan pengelolaan lingkungan waduk dalam pembangunan di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta menyimpulkan bahwa program kebijakan pengelolaan waduk dalam program jangka pendek adalah tidak memberikan ijin pembuatan Keramba Jaring Apung; revitalisasi penerapan aturan yang berlaku; penebaran ikan pemanfaat limbah dan perbaikan saluran irigasi. Kemudian dengan program jangka panjang yang utama adalah meningkatkan transparansi dalam mekanisme kerja dan pengawasan antara petugas lapangan dan masyarakat petani sawah/ikan dan meningkatkan kerjasama antar lembaga terkait dalam pemanfaatan sumberdaya di era otonomi daerah Penelitian sedimentasi waduk dengan menggunakan Model Penerapan berbagai model juga telah dilakukan untuk meneliti masalah sedimentasi waduk. Abdulah et al. (2003) dengan menggunakan simulasi model tata guna lahan menggunakan GIS mengemukakan bahwa waduk Bili-Bili tanpa melakukan konservasi menghasilkan sedimentasi sebesar 1473,04 m 3 /km 2 /tahun. Adapun jika menggunakan konservasi dengan skenario seperti reforestation pada kemiringan lahan >40% dan lahan yang belum ditanami maka sedimentasi dapat dikurangi menjadi 1022,72 m 3 /km 2 /tahun. Kemudian, Munir, A. et al. (2005) dengan menggunakan model WBCVE-SIG menyebutkan bahwa dengan pengelolaan secara kolaborasi daerah tangkapan hujan terutama pada daerah tangkapan hujan yang dikuasai oleh lebih dari satu otonomi kabupaten, dapat meminimalkan laju sedimentasi pada waduk. Suhartanto (2005) melakukan pendugaan erosi, sedimen dan limpasan berbasis model WEPP dan SIG di sub-das Ciriung, DAS Cindanau. Dari model tersebut diperoleh bahwa pengendalian erosi, sedimen dan limpasan dapat dilakukan dengan mencegah bertambahnya luas ladang dari hilir ke hulu sub-das

65 45 Ciriung. Terdapat 8 Ha lahan yang sebaiknya tidak dikembangkan untuk pertanian karena merupakan sumber terbesar dari erosi dan sedimen. Sukresno et al. (2002) dengan penerapan model ANSWERS melakukan pendugaan erosi-sedimentasi di Sub DAS Keduang Wonogiri. kemudian, Boix- Fayos et al (2008) telah meneliti mengenai dampak perubahan tataguna lahan dan check-dam terhadap hasil tampungan sedimen. dengan penerapan model erosi WATEM-SEDEM menggunakan 6 skenario tataguna lahan: tataguna lahan dari tahun 1956, 1981 dan 1997 dengan dan tanpa bangunan check-dam. Aplikasi model menunjukkan bahwa skenario tanpa check-dam, perubahan tataguna lahan antara tahun 1956 dan 1997 menyebabkan hasil sedimen berkurang secara nyata 54%. Pada skenario tanpa adanya perubahan tataguna lahan tetapi menggunakan check-dam, hasil sedimen 77% tertahan di belakang dam. Check-dam dapat menjadi pengendali sedimen yang efisien, tetapi dampaknya jangka pendek. Ada dampak lain yang ditimbulkan, seperti menyebabkan erosi saluran di bagian hilir. Walaupun juga menimbulkan dampak lain, perubahan tataguna lahan dapat mengakibatkan pengaruh jangka panjang terhadap jumlah sedimen Posisi Strategis dan Kebaruan Penelitian Membangun model pengendalian sedimentasi waduk akibat erosi lahan dan longsoran terutama diarahkan untuk efektifitas pola pengendalian bangunan pengendali sedimen. Penerapan model pengendalian sedimentasi waduk terutama dilakukan untuk mengendalikan sedimen akibat longsoran kaldera yang mengancam keberadaan waduk multi guna dan memiliki fungsi yang sangat vital bagi Kab. Gowa dan kota Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian terkait dengan erosi lahan dan longsoran pada suatu DAS telah banyak dilakukan. Demikian pula penelitian mengenai sedimentasi waduk yang diakibatkan oleh limbah dan pencemaran yang ditimbulkannya serta upaya pengendalian sedimennya. Kajian yang banyak dilakukan juga terutama untuk pengelolaan waduk dan kebijakan dalam mengatasi konflik kepentingan yang terjadi. Terkait dengan upaya pengendalian sedimentasi waduk yang diakibatkan oleh sedimen yang berasal dari aliran debris dan erosi lahan, saat ini masih sedikit yang melakukannya. Posisi strategis penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 6.

66 46 Tabel 6 Posisi Strategis Penelitian Yang Dilakukan Nama Topik Kajian Penelitian waduk dengan Aspek kajian Erosi lahan, longsoran Sedimentasi waduk Bangunan pengendali sedimen Fadiah (2006), Saida (2011) Lubis, R. dan Syafiuddin (1992) Hardjosuwarno dan Soewarno (2008) Binga (2006) Sylviani dan Elvida (2006) Supratman dan C. Yudilastiantoro (2001) Sudarto (2005), Anton et al. (2002) Laoh, O.E.H. (2002) Sosial ekonomi Model Achmad, F.B. (2006) Osti R. and Shinji Egashira (2008) Hasibuan (2005) dan Ismail (2007) Abdulah et al. (2003), Suhartanto, E. (2005), Sukresno et al. (2002) Boix-Fayos et al. (2008) Penelitian yang dilakukan Konsep yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah konsep yang berhubungan dengan pola pengendalian bangunan pengendali sedimen dan strategi pengendalian sedimentasi waduk yang mampu mempertahankan kapasitas waduk dalam rangka keberlanjutan waduk. Simulasi dan modifikasi model dapat dilakukan untuk menemukan pola pengendalian sedimen yang efektif. Hasil penelitian yang dibutuhkan dalam upaya pengendalian sedimentasi waduk adalah penelitian yang membahas tentang strategi pengendalian sedimen yang berorientasi untuk pencapaian keberlanjutan waduk. Dalam mendisain model pengendalian sedimentasi waduk yang bersumber dari erosi lahan dan longsoran memiliki dua kebaruan, yaitu: 1. kebaruan dari segi kajian yang menggunakan pendekatan sistem yang terpadu dengan menggunakan model dinamis, menggunakan teknik hard system methodology (kapasitas waduk, erosi dan beban sedimentasi) dan teknik soft system methodology 2. kebaruan dari segi luaran berupa rancangan pola pengendalian sedimentasi waduk dengan mengutamakan mekanisme dan koordinasi antara pengelola waduk, masyarakat sekitar waduk dan masyarakat di hulu waduk.

67 III. KARAKTERISTIK DAERAH TANGKAPAN WADUK BILI-BILI 3.1. Lokasi dan Luas Waduk Bili-Bili berada di bagian tengah DAS Jeneberang yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Gowa. Berdasarkan Peta Rupa Bumi skala 1: , lembar ,62,63 dan 64, edisi , wilayah penelitian terletak antara 5 o o LS dan 119 o o BT. Daerah tangkapan waduk berada pada hulu DAS Jeneberang dengan luas 384,4 km 2 ( Ha) dan terletak pada ketinggian meter di atas permukaan laut. Hulu DAS Jeneberang terletak di wilayah Kecamatan Tinggi Moncong dan Kecamatan Parangloe. Sebaran luas wilayah administratif hulu DAS Jeneberang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Luas wilayah administratif hulu DAS Jeneberang Kecamatan Desa Luas (Ha) Persentase (%) Tinggi Moncong Sicini Bilanrengi Manimbahoi Majannang Jonjo Parigi Bulutana Gantarang Malino , , , , , , , , ,47 2,98 1,89 7,08 1,30 2,92 11,93 16,42 6,08 5,58 Parangloe Patallikang Moncong Loe Manuju Tamalate Lonjoboko Borisallo Lanna 8.261, , , , , , ,66 2,15 5,52 9,73 9,67 7,85 5,40 3,50 Jumlah , Kelerengan Lahan Nilai kelerengan wilayah Sub-DAS Jeneberang sangat bervariasi, dari datar hingga bergunung. Berdasarkan tingkat kelerengan wilayah, secara umum dapat dibedakan atas 5 bentuk wilayah, yaitu datar ((0~8 %), landai (8~15 %), bergelombang (15~25 %), berbukit (25~40%) dan bergunung (> 40%). Dari keseluruhan wilayah Sub-DAS Jeneberang Hulu, kelerengan 25~40% (berbukit)

68 48 menempati areal terluas yaitu Ha atau 26,22 % dari total luas wilayah sub DAS Jeneberang, dan terletak pada ketinggian mdpl. Secara lebih jelas luas areal dapat dilihat pada Tabel 8. serta peta sebaran kemiringan lereng disajikan pada Gambar 7. Tabel 8 Kelas Lereng Wilayah sub DAS Jeneberang Kemiringa Bentuk Wilayah Luas No n Lereng (%) Ha % datar , landai , agak curam , curam ,22 5 > 40 sangat curam ,26 Jumlah ,00 Adapun ketinggian atau elevasi wilayah sub DAS Jeneberang yang berada pada kisaran mdpl pada umumnya didominasi wilayah dengan ketinggian antara 75 mdpl sampai dengan 1000 mdpl berkisar Ha atau 14,90 19,87%. Secara lebih jelas ketinggian elevasi dapat dilihat pada Tabel 9 serta peta sebaran elevasi disajikan pada Gambar Penutupan Lahan Tabel 9 Ketinggian Elevasi Wilayah sub DAS Jeneberang No Ketinggian Luas (mdpl) Ha % 1 < , , , , , , , , , ,58 11 > ,23 Jumlah Inventarisasi tata guna lahan (Land use) di wilayah hulu DAS Jeneberang menunjukkan dominasi penggunaan untuk kegiatan pertanian, baik berupa sawah, ladang, tegalan, perkebunan dan lain-lain. Penggunaan lahan lainnya adalah

69 49 hutan, permukiman dan waduk multifungsi Bilibili. penggunaan lahan wilayah sub DAS Jeneberang Dari hasil analisis peta sebagian besar wilayahnya didominasi oleh hutan dengan luas Ha (31,87%) kemudian ladang/tegalan seluas Ha (24,32%). Untuk lebih jelasnya luas areal berdasarkan penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 10 dan peta sebaran tutupan berdasarkan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 9. Tabel 10 Penggunaan Lahan Wilayah sub DAS Jeneberang Tahun Geologi dan Jenis Tanah No Penggunaan Lahan Luas Ha % 1 Hutan ,87 2 Ladang/Tegalan ,32 3 Pemukiman 107 0,28 4 Sawah ,17 5 Semak Belukar ,36 Jumlah ,00 Secara umum, kondisi geologi di wilayah sub DAS Jeneberang tersusun dari batuan vulkanik yang mudah lapuk. Satuan batuan yang menutupi daerah ini terdiri dari batuan tufa, batuan bereaksi vulkanik, batuan beku dan batuan alluvial. Batuan penyusun tertua adalah formasi camba (Tmc) seluas Ha yang berumur sekitar Miosen tengah hingga Pilosen yang terdiri dari batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunung api. Batuan yang terdiri dari lava, breksi, tufa dan konglomerat merupakan penyusun Batuan Gunungapi Baturape-Cindako (Tpbv) dan Batuan Gunungapi Lompobattang (Qlv) yang terdiri dari konglomerat, lava, breksi endapan lahar dan tufa. Untuk lebih lengkapnya data Formasi Geologi disajikan pada Tabel 11 dan Gambar 10. Tabel 11 Formasi Geologi Wilayah sub DAS Jeneberang No Formasi Geologi Luas Ha % 1 Qlv Qlvb Qlvp Qlvp Tmc Tpbl Tpbv Jumlah 38,

70 50 Gambar 7 Peta Lereng Wilayah sub DAS Jeneberang.

71 Gambar 8 Peta Elevasi Wilayah sub DAS Jeneberang. 51

72 52 Gambar 9 Peta Penggunaan Lahan Wilayah Sub DAS Jeneberang Tahun 2007.

73 Gambar 10 Peta Geologi Wilayah sub DAS Jeneberang. 53

74 54 Gambar 11 Peta Jenis Tanah Wilayah sub DAS Jeneberang.

75 55 Adapun jenis tanah dari hasil analisis peta digital jenis tanah yang terdapat di wilayah sub DAS Jeneberang sebanyak tujuh jenis tanah. Jenis tanah yang mendominasi adalah Haplortoxs (Latosol coklat kemerahan) seluas Ha (20,99%) dan Humitropepts (Latosol coklat kekuningan) seluas Ha (20,73%). Untuk lebih jelasnya luas areal berdasarkan jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 12 dan peta jenis tanah disajikan pada Gambar 11. Tabel 12 Jenis Tanah Wilayah sub DAS Jeneberang No Jenis Tanah Luas Ha % 1 Dystrandepts (Andosol) ,10 2 Haplortoxs (Latosol) ,99 3 Humitropepts (Latosol) ,73 4 Tropofluvents (Aluvial) ,22 5 Tropohumults (Mediteran) ,11 6 Tropudalfs (Mediteran) ,82 7 Tropudults (Podsolik) ,03 Jumlah Berdasarkan Peta Tanah Tinjau (LPT Bogor, 1973) jenis tanah yang terdapat di wilayah hulu DAS Jeneberang adalah inceptisol (latosol coklat kekuningan) dan andisol (andosol coklat). Wilayah bagian tengah DAS Jeneberang ditemui jenis tanah alfisol (mediteran coklat kemerahan) dan inceptisol (latosol) yang terbentuk dari batuan plutonik basa Temperatur Temperatur bulanan di wilayah hulu DAS Jeneberang berkisar antara 21 o C sampai 24 o C, dimana terdapat variasi temperatur mengikuti elevasi dan ketinggian dari permukaan laut dari lokasi pada wilayah hulu DAS Jeneberang Curah Hujan Di wilayah hulu DAS Jeneberang musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Mei, dan puncak hujan terjadi antara bulan Desember dan Januari. Musim kemarau berlangsung pada bulan Juni sampai Oktober. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmith dan Ferguson, wilayah ini termasuk tipe iklim B dengan rata-rata jumlah bulan basah 9 bulan, bulan lembab 1 bulan dan bulan kering 2 bulan. Adapun data curah hujan untuk stasiun Dam Bili-Bili, Jonggoa dan Malino dapat dilihat pada Tabel 13 dan Gambar 12.

76 56 No. Sta. Tabel 13 Curah hujan bulanan Daerah Aliran Waduk Bili-Bili Lokasi Stasiun 1 Bili-Bili Dam Curah Hujan Rata-Rata Bulanan (mm) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Jonggoa Malino Rata-rata 632,0 549,3 439,0 220,0 95,7 90,0 21,0 11,7 5,7 137,0 281,3 610,7 Sumber: stasiun JRBDP (2006). Gambar 12 Lokasi stasiun Curah Hujan sub DAS Jeneberang Pola Aliran dan Kemiringan Sungai Jeneberang Pada umumnya pola aliran sungai adalah dendritik, setempat menyiku dan sejajar. Dibagian hulu erosi tegak berjalan lebih besar, sehingga lembahnya berbentuk huruf V dan sifat aliran sungainya deras, sehingga aliran erosi berjalan kearah vertikal. Hal ini memperlihatkan bahwa daerah ini mempunyai daur geologi yang muda. Di bagian tengah sungai Jeneberang sampai ke waduk Bili-Bili penampangnya berbentuk huruf U yang dalam, lebar penampang sungai mencapai 620 meter pada Sand Pocket dan 336 meter pada Sabo Dam dan pada bendungan utama mencapai 750 meter. Pola aliran braided (teranyam),

77 57 aliran sering berpindah-pindah, sehingga membentuk gosong-gosong sungai yang merupakan hasil endapan dasar Sungai Jeneberang berupa bongkah, berangkal, kerakal, kerikil dan sebagian kecil pasir. Sungai Jeneberang merupakan jenis sungai yang terbentuk karena aktifitas gunungapi, yaitu dari bekas aliran lava dan lahar letusan G. Lompobattang. Bagian tengah DAS digunakan untuk lahan pertanian terutama digunakan untuk sawah oleh penduduk setempat. Sungaisungai besar yang mengalir bergabung dengan sungai Jeneberang antara lain yaitu sungai Kunisi, sungai Malino, sungai Jenerakikang dan sungai Jenelata. Sungai Jeneberang memiliki panjang 75 km dengan luasan pengaliran 727 km 2 berhulu di Gunung Bawakaraeng. Jika dihitung dari bangunan waduk Bili- Bili, panjang sungai Jeneberang adalah 32 km. Kemiringan sungai bervariasi sesuai ketinggian. Di sekitar waduk kemiringan 1%, kemudian 3% dan 8% di daerah hulu. Selanjutnya dapat dilihat pada Gambar Elevasi (m) s=1/ s=1/30 s=1/ Jarak dari reservoir (km) Gambar 13 Kemiringan sungai Jeneberang di hulu Waduk Bili-Bili Data Teknis Waduk Bili-Bili Waduk Bili-Bili adalah waduk serbaguna yang dibangun dengan tujuan untuk pengendalian banjir terutama untuk kota Makassar, pemenuhan kebutuhan air irigasi, suplai air baku dan pembangkit listrik tenaga air. Waduk Bili-Bili dibangun dengan membendung sungai Jeneberang yang pembangunannya selesai dilaksanakan pada tahun 1997 dan resmi digunakan pada bulan Agustus tahun Waduk dibangun dengan perencanaan dapat beroperasi normal sampai 50 tahun dengan prediksi akumulasi sedimen sebesar 1500 m 3 /km 2 /tahun.

78 58 Waduk Bili-Bili merupakan bendungan tipe urugan batu dengan inti kedap air. Waduk ini memiliki kedalaman efektif 36,6 m dengan luas genangan 18,5 km 2. Adapun volume tampungan totalnya adalah m 3, dengan volume tampungan efektif adalah m 3, dan volume tampungan mati sebesar m 3. Adapun data teknis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14. Jenis Struktur Tabel 14 Data Teknis Waduk Bili-Bili Deskripsi Jumlah/ukuran Jumlah/Ukuran Bendungan Utama Tipe Urugan Batu Tinggi 76 m Panjang 750 m Lebar 10 m Volume m 3 Sayap Kiri Bendung Tinggi 42 m Panjang 646 m Lebar 10 m Volume m 3 Sayap Kanan Bendung Tinggi 42 m Panjang 412 m Lebar 10 m Volume m 3 Waduk Daerah Tangkapan 384,4 Km 2 Kedalaman Efektif 36,6 m Luas genangan 18,5 Km 2 Volume tampungan total m 3 Volume tampungan efektif m 3 Volume tampungan mati m 3 Elevasi puncak EL ,0 m Elevasi muka air normal (NWL) EL. + 99,5 m Elevasi muka air rendah (SWL) EL. + 65,0 m Sumber : JICA (2005) Bangunan Pengendali Sedimentasi Waduk Bili-Bili Pada awalnya sebelum kejadian longsoran Kaldera untuk pengendalian sedimentasi di waduk telah dilengkapi dengan 8 (delapan) unit bangunan pengendali sedimen (BPS) berupa Sabo dam di hulu sungai Jeneberang sampai dengan outlet waduk Bili-Bili. BPS tersebut 2 (dua) unit dibangun pada tahun 1997, 1 (satu) unit pada tahun 2000, dan 5 (lima) unit dibangun pada tahun 2001.

79 59 Terjadinya longsoran Kaldera pada tahun 2004 dengan total volume juta m 3 menyebabkan beberapa bagian dinding Kaldera menjadi tidak stabil. Diperkirakan total volume yang tidak stabil tersebut yang berpotensi untuk terjadinya longsor susulan adalah sebesar 111,073 juta m 3 (Hasnawir, 2006). Berdasarkan hal tersebut maka telah dibangun kembali BPS berupa 7 (tujuh) unit Sabo dam penahan di bagian hulu sungai Jeneberang, di bagian tengah dibangun 4 (empat) unit Sabo dam pengendali dan 4 (empat) unit Konsolidasi dam. Di bagian hilir dilakukan perbaikan pada 5 (lima) unit Kantong Pasir (sand pocket) Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Lokasi penelitian meliputi dua kecamatan dan terdiri dari 16 desa atau kelurahan, dengan laju pertambahan penduduk dari tahun sebesar 0,7% (data hasil registrasi penduduk tahun 2010, BPS Kabupaten Gowa). Laju pertambahan penduduk menurut jenis kelamin di wilayah hulu DAS Jeneberang tahun tersaji dalam Tabel 15. Laju pertambahan penduduk kemungkinan terus meningkat dan akan berimbas pada ketenagakerjaan sehingga mengakibatkan surplus tenaga kerja. Dampaknya semakin kecilnya ratio antara lahan pertanian dengan jumlah penduduk. Tabel 15 Jumlah penduduk di wilayah hulu DAS Jeneberang tahun Tahun Penduduk Laki-Laki Perempuan Total KK Sumber: Kabupaten Gowa dalam Angka, Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Indikator kependudukan yang sangat signifikan untuk mengamati tingkat perkembangan sumberdaya manusia suatu daerah yaitu struktur penduduk berdasarkan tingkat pendidikan masyarakatnya. Berdasarkan data tahun 2010 bahwa 44,85% penduduk di hulu DAS Jeneberang mempunyai tingkat pendidikan rendah yaitu hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD), tamat SD 20,22%, SMP

80 60 9,93%, SMA 8,82% dan perguruan tinggi 2,21%, sedangkan golongan buta huruf sebesar 13,97% (Kabupaten Gowa dalam Angka, 2010). Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak mampu mengadopsi dan menerapkan teknologi. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan adanya usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui program penyuluhan dan pelatihan. Peningkatan mutu sumberdaya manusia dengan dibekali pengetahuan mengenai teknologi akan memberikan pemahaman akan pentingnya menjaga setiap lahan untuk mengurangi tingkat erosi dan sedimentasi di wilayah hulu DAS Jeneberang Mata Pencaharian Penduduk Penduduk di wilayah hulu DAS Jeneberang sebagian besar mengandalkan sektor pertanian sebagai salah satu mata pencahariannya di samping sektor lainnya seperti perdagangan, pegawai negeri, TNI/POLRI dan lainnya. Tatacara bertani yang diterapkan oleh masyarakat di daerah ini tidak terlepas dari tata cara yang dilakukan oleh pendahulu mereka. Sebagian besar petani menggarap lahannya sebagai warisan nenek moyangnya sehingga mereka merasa bebas mengolah lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Data dari BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk masih didominasi oleh bidang pertanian. Walaupun demikian sejak terjadinya longsoran kaldera yang menyebabkan melimpahnya material pasir, batu dan sirtu menyebabkan penduduk sebahagian yang sebelumnya petani beralih bekerja sebagai penambang pasir dan sirtu. Hal ini tentu saja membantu masyarakat dalam berupaya mencari pekerjaan tambahan untuk kesejahteraannya. Perincian jumlah penduduk menurut mata pencahariannya disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di hulu DAS Jeneberang Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (orang) Persentase (%) Pertanian Industri Perdagangan Pegawai Negeri TNI/POLRI Lainnya ,64 1,47 9,19 6,62 3,68 4,41 Sumber: Kabupaten Gowa dalam Angka, 2010.

81 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini secara fisik terletak dalam sistem DAS Jeneberang. Dalam penelitian ini batasan yang digunakan adalah batasan yang secara fisik mempunyai pengaruh langsung pada daya dukung waduk Bili-Bili, yakni wilayah DAS Jeneberang. Secara administratif daerah kajian Waduk Bili-Bili terletak di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Gambar 14 Lokasi Penelitian. Penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu tahap survey awal dilakukan pada bulan April 2009 hingga Mei 2009 dan pengambilan data yang dilanjutkan dengan pengolahan data penelitian dilakukan selama 8 bulan dari bulan Juli 2009 s/d Februari Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Peta dasar dan pendukung dengan skala 1 : yaitu peta topografi, peta geologi, peta penggunaan lahan, peta jaringan sungai, peta jenis tanah, peta curah hujan, peta administrasi wilayah hulu DAS Jeneberang khususnya di daerah tangkapan hujan Waduk Bili-Bili sebagai lokasi penelitian.

82 62 Bahan-bahan kimia yang diperlukan dalam analisis sifat kimia dan fisika tanah sedimen di Laboratorium. Bahan kuesioner yang digunakan untuk pengambilan data primer tentang karakteristik sumberdaya di daerah hulu DAS Jeneberang yang meliputi biofisik lahan, sosial-budaya dan ekonomi. Alat yang digunakan yaitu peralatan untuk survei tingkat sedimentasi waduk terdiri atas perangkap sedimen (sediment trap), penduga kedalaman sedimen (echosounding), global positioning system (GPS), theodolite, skop, cangkul, pisau, meter, kamera, kantong plastik untuk sampel tanah sedimen dan alat tulis Rancangan Penelitian Analisis Erosi Lahan sub DAS Jeneberang a. Jenis dan sumber data Jenis data yang digunakan untuk menganalisis erosi lahan yang terjadi di sub DAS Jeneberang terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikoleksi adalah karakteristik tanah dan kondisi fisik DAS. Adapun data sekunder yang dikoleksi adalah data Topografi dari Badan Pertanahan Nasional, Hidrologi dari Departemen Kimpraswil, tata ruang dan tata guna lahan dari Bapeda dan BPN. b. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan Survey lapangan untuk mendapatkan data primer yang dibutuhkan dengan melakukan pengamatan di beberapa catchment (daerah tangkapan) yang representatif dan pengamatan jenis tanah. Kegiatan pengukuran diarahkan untuk mengambil data primer dan terbaru, seperti laju infiltrasi tanah dan jenis tutupan lahan. Pengambilan data sekunder, dilakukan pada berbagai instansi yang terkait dengan pengelolaan lahan di sub DAS Jeneberang dan melakukan studi literatur. Inventarisasi data menitikberatkan pada kegiatan validasi yang bertujuan untuk menguji kebenaran data erosi lahan yang terjadi dan peta yang dihasilkan menggunakan alat bantu GPS ataupun wawancara dengan masyarakat setempat.

83 63 c. Analisis Data - Prediksi Erosi Lahan dengan MWAGNPS Pendugaan besarnya erosi yang terjadi menggunakan pendekatan persamaan prediksi kehilangan tanah secara komprehensif dengan pendekatan yang dikemukakan dalam The Universal Soil Loss Equation (USLE). USLE merupakan suatu model parametrik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah. USLE memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah). Persamaan USLE yang telah direvisi tersebut menurut Smith, et al. (1978) dalam Asdak (2004) adalah : A = R x K x LS x C x P Dimana : A : Besarnya erosi yang mungkin terjadi (ton/ha/tahun) R : Besarnya faktor curah hujan dan aliran permukaan K : Besarnya faktor kepekaan erodibilitas tanah LS : Besarnya faktor panjang lereng dan kemiringan lereng. C : Besarnya faktor pengelolaan penutup tanah (tanaman). P : Besarnya faktor tindakan pengelolaan tanah (konservasi tanah) Selain dengan pengukuran langsung, penentuan sedimen DAS dapat dilakukan dengan pendugaan. Pendugaan sedimen yang berkembang pada saat ini adalah menggunakan model terdistribusi. AGNPS adalah salah satu model terdistribusi yang dapat memprediksi erosi, puncak aliran permukaan (banjir) dan hasil sedimen yang baik (Guluda, 1996). Komponen dasar model AGNPS adalah hidrologi, erosi, transport sedimen dan unsur hara. Model AGNPS dilakukan dengan melakukan penyelesaian persamaan keseimbangan massa dikerjakan secara simultan seluruh sel dan air serta polutan ditelusuri dalam rangkaian aliran di permukaan lahan dan saluran secara berurutan. Dasar prediksi yang digunakan adalah dalam satuan sel, sehingga areal DAS yang akan diprediksi harus dibagi habis kedalam sel-sel. Setiap sel dapat mencapai luas 4,6 hektar untuk luas DAS yang lebih kecil dari 930 hektar, atau luas sel dapat mencapai 18,6 hektar bila luas DAS yang diprediksi lebih luas dari 930 hektar.

84 64 Model AGNPS dalam operasionalnya melakukan perhitungan-perhitungan beberapa tahap. Tahap pertama, perhitungan inisial untuk seluruh sel dalam suatu DAS. Tahap kedua adalah penghitungan volume aliran permukaan yang meninggalkan sel yang berisi endapan dan impoudment untuk sel utama. Tahap ketiga adalah melakukan penghitungan untuk memperoleh laju aliran terkonsentrasi, untuk menurunkan kapasitas transpor kanal dan untuk menghitung laju aliran endapan dan hara aktual. Kapasitas model AGNPS adalah sebagai berikut: 1) model dapat memprediksi dengan hasil yang akurat di seluruh DAS berdasarkan parameter distribusi yang dipergunakan, 2) model dapat mensimulasi berbagai kondisi biofisik DAS secara bersamaan, 3) hasil prediksi model dapat meliputi aliran permukaan, hasil sedimen, kehilangan N dan P serta kebutuhan oksigen kimiawi, baik yang terjadi didalam setiap sel maupun kontribusi dari sel yang lain (Young dan Onstad, 1990). Secara ringkas diagram alir prediksi sedimentasi waduk dengan AGNPS disajikan paada Gambar 15. Gambar 15 Diagram alir prediksi sedimentasi waduk dengan AGNPS.

85 65 Adapun erosi lahan yang terjadi di wilayah sub DAS Jeneberang dianalisis menggunakan program AGNPS (Young et all 1994) dengan Map Window sebagai interface (MWAGNPS). Analisis erosi menggunakan MWAGNPS dilakukan berdasarkan peta digital topografi, jenis tanah dan penutupan lahan. Dalam model MWAGNPS, prediksi erosi dilakukan dengan metode USLE yang diperoleh dari hubungan antara faktor-faktor penyebab erosi itu sendiri (Leon dan George, 2009). Perhitungan dalam MWAGNPS dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah dengan memberikan inisial kepada semua sel yang dibuat. Tahap ini mencakup perkiraan untuk erosi hulu, volume limpasan, waktu saat aliran permukaan menjadi terkonsentrasi, sedimen dan aliran limpasan yang terjadi, dan polutan yang berasal dari sumber titik input. Tahap kedua menghitung volume limpasan yang meninggalkan sel-sel dan produk sedimen pada sel utama. Sel utama adalah salah satu sel yang tidak mengalir ke sel lain. Sedimen dari setiap sel kemudian dibagi menjadi lima kelas ukuran partikel: tanah liat, lumpur, agregat halus, agregat kasar, dan pasir. Tahap ketiga, proses perhitungan dibuat untuk menetapkan tingkat aliran terkonsentrasi, untuk mengatur kapasitas saluran, dan menghitung laju aliran sedimen aktual yang terjadi. Seluruh data dipresentasikan dalam bentuk grid ber-georeference dengan ukuran sel (500 x 500)m. Data DEM diperoleh dari hasil analisis peta topografi, peta landuse dan jenis tanah dengan skala 1: (BPDAS Jeneberang). Data curah hujan diperoleh dari badan Meteorologi dan Geofisika (BBWS Pompengan-Jeneberang) dengan perwakilan pos hujan dam Bili-Bili, Jonggoa dan Malino. Faktor K, C dan P dibagi per grid/sel yang ditentukan berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan dengan jumlah grid/sel sesuai dengan luas wilayah sub DAS Jeneberang. Prediksi faktor penyebab erosi berdasarkan persamaan USLE diperoleh berdasarkan data curah hujan untuk menentukan nilai erosivitas (R). selanjutnya dari peta jenis tanah digunakan untuk menentukan nilai erodibilitas (K), kemudian data DEM dari peta topografi untuk menentukan nilai kemiringan lereng (LS). Adapun untuk nilai jenis tanaman (C) diperoleh dari data peta penggunaan lahan dan nilai konservasi lahan (P) diambil nilai 1 (tanpa konservasi). Penyeragaman proyeksi semua peta harus dilakukan agar data spasial dari semua peta dapat di

86 66 overlay dan dianalisis. Proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah UTM (Universal Transverse Mercator) dengan datum WGS 84 dan zone 50S. transformasi proyeksi peta dilakukan dengan software ArcView 3.3 dengan bantuan extensions Projection Utility Wizard serta perangkat lunak ArcGIS Prediksi sedimen dengan Sediment Delivered Ratio (SDR) Memperkirakan besarnya hasil sedimen dilakukan dengan menghitung besarnya Sediment Delivered Ratio (SDR) suatu daerah tangkapan air. SDR adalah perbandingan antara hasil sedimen yang terangkut kedalam sungai terhadap jumlah erosi yang terjadi didalam DAS. Apabila SDR mendekati satu artinya semua tanah yang terangkut erosi masuk kedalam sungai (Arsyad, 2006). SDR = 0,41 A -0,3 dimana A = luas DAS (km 2 ) Y = SDR x E Menurut SCS National Engineering Handbook dalama Asdak (2004) untuk luas daerah tangkapan air tertentu, besarnya perkiraan hasil sedimen dapat ditentukan dengan : Y = E. SDR. Ws Dimana : Y = hasil sedimen per satuan luas E = erosi total SDR = perbandingan pelepasan sedimen Ws = luas daerah tangkapan air Analisis Longsoran Kaldera dan Tingkat Sedimentasi Waduk Bili-Bili a. Jenis dan sumber data Jenis data yang digunakan untuk menganalisis longsoran dan tingkat sedimentasi di waduk Bili-Bili terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikoleksi adalah elevasi sedimentasi di sepanjang sungai Jeneberang dan waduk Bili-Bili yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran echosounding di waduk, dan data sekunder berupa karakteristik DAS dan waduk Bili-Bili berdasarkan hasil dari survei lapangan. Adapun data sekunder yang dikoleksi adalah data Infrastruktur Waduk Bili-Bili dari Balai PSDA dan PU, kondisi iklim dan cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika.

87 67 b. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan Survey lapangan untuk mendapatkan data primer yang dibutuhkan dengan melakukan pengamatan sedimen di beberapa titik pengamatan yang representatif. Kegiatan pengukuran diarahkan untuk mengambil data primer seperti elevasi sedimentasi yang terjadi di badan sungai dan waduk. Pengambilan data sekunder, dilakukan pada berbagai instansi yang terkait dengan pengelolaan waduk dan melakukan studi literatur. c. Analisis Data Perhitungan besarnya volume sedimen akibat terjadinya longsoran Kaldera dilakukan beberapa analisis yaitu: uraian deskriptif melalui peta digital kontur dan data sekunder untuk mengetahui keadaan karakteristik daerah tangkapan waduk. selanjutnya, dilakukan analisis disepanjang hulu sungai Jeneberang dan di waduk Bili-Bili serta analisis kapasitas pengendalian sedimentasi menggunakan bangunan Sabo Dam. - Analisis volume sedimen di sepanjang hulu sungai Jeneberang Volume sedimentasi yang terjadi di hulu sungai Jeneberang dianalisis berdasarkan data hidrologi dan data hasil pengukuran lapangan yang dilakukan dengan menggunakan 26 titik potongan melintang (cross section). Volume sedimentasi diperhitungkan berdasarkan elevasi untuk setiap titik potong yang dibandingkan dengan data elevasi awal sebelumnya. - Analisis volume sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili Volume sedimentasi yang terjadi di waduk Bili-Bili dianalisis berdasarkan data pengukuran lapangan (echosounding) tingkat elevasi sedimentasi pada menggunakan 22 titik potongan melintang (cross section). Volume sedimentasi diperhitungkan berdasarkan elevasi untuk setiap titik potong yang dibandingkan dengan data elevasi awal sebelumnya. - Analisis Kapasitas Bangunan Sabo Perhitungan besarnya volume sedimen per tahun (Q s ) di lokasi pembangunan Sabo didekati dengan perkalian antara luas daerah tangkapan air (m 2 ) dengan tingkat sedimentasi di daerah tangkapan air tersebut (mm/thn).

88 68 Tingkat sedimentasi dihitung dari volume sedimen yang terendapkan di waduk setiap tahunnya. Q s = Luas x tingkat sedimentasi / tahun Kapasitas bangunan Sabo tipe tertutup dihitung berdasarkan tinggi bangunan Sabo dan geometri sungainya (Subarkah, 2005). Dimana : V s = ½ HBL 1 L 1 = H / (I 0 I s ) V tot = ½ HBL 2 L 2 = H / (I 0 I d ) V s V tot = volume tampungan mati = V s + volume kontrol B = lebar sungai rata-rata H = tinggi check dam I 0 = kemiringan dasar semula I s = kemiringan statis = ½ I 0 I d = kemiringan dinamis = ¾ I 0 - Analisis Trap Efficiency Waduk Perbandingan antara sedimen yang diendapkan terhadap sedimen yang terbawa masuk adalah menunjukkan efisiensi waduk dalam menangkap sedimen biasa disebut trap efficiency waduk. Berdasarkan EM disebutkan Trap efficiency waduk dinyatakan dalam persentase total sedimen masuk yang terendapkan di waduk dengan persamaan sebagai berikut (EM, 1995): E = (Y s (masuk) - Y s (keluar) ) / Y s (masuk) Dimana : E = Trap efficiency dalam desimal Y s (masuk) = hasil sedimen masuk dalam satuan berat Y s (keluar) = hasil sedimen keluar dalam satuan berat Selanjutnya disebutkan bahwa Brown telah mengembangkan sebuah kurva yang menunjukkan rasio antara kapasitas waduk (C dalam are-ft) dan luas DAS (W dalam mil persegi) terhadap trap efficiency (E dalam %) dalam sebuah persamaan yaitu (EM, 1995): E = 100 [ 1-1 / (1 + KC/W)] Dimana koefisien K adalah antara 0,046 s/d 1,0 dengan nilai median = 0,1.

89 69 Gambar 16 Ratio kapasitas waduk dan luas DAS terhadap trap efficiency Model Sistem dinamik pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili a. Jenis dan sumber data Dalam membangun model pengendalian sedimentasi Waduk Bili-Bili dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari kendala, analisis kebutuhan dan lembaga yang terlibat dalam pengelolaan pengendalian sedimentasi di waduk Bili-Bili. Data sekunder terdiri dari faktor-faktor dan variabel penting yang terdiri dari tingkat sedimentasi waduk, tingkat erosi lahan dan kapasitas longsoran. b. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data dalam penyusunan model pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili dilakukan dengan kuesioner, wawancara, diskusi dan survey lapangan terhadap responden yang terdiri dari stakeholders terkait dan pakar. Data sekunder diperoleh dari beberapa sumber pustaka dan dokumen dari instansi terkait dengan pengelolaan waduk Bili-Bili. c. Analisis data Analisis data yang dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan sistem yaitu suatu metode pemecahan masalah yang dimulai dengan melakukan identifikasi serangkaian kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Eriyatno (2007) menjelaskan bahwa ada beberapa tahapan yang harus dilakukan antara lain menentukan tujuan model,

90 70 penentuan stakeholders, analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem dan pemodelan. Tahap analisis kebutuhan yaitu dengan menentukan komponen-komponen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem pengendalian sedimentasi waduk. Kebutuhan setiap komponen atau stakeholders berbeda sesuai dengan tujuan dan tingkat kepentingan masing-masing, saling berinteraksi satu sama lain dan berpengaruh terhadap sistem pengendalian tersebut. Formulasi masalah disusun berdasarkan sumberdaya dan kepentingan pelaku. Pertama adalah adanya keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Kedua adalah adanya perbedaan kepentingan diantara stakeholders untuk mencapai tujuan dari sistem tersebut. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yag harus diselesaikan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Hubungan tersebut digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop). Selanjutnya diagram lingkar sebab akibat tersebut diinterpretasi kedalam diagram input-output. Berdasarkan analisis kebutuhan, formulasi masalah, dan identifikasi sistem maka rancangan model pengendalian sedimentasi waduk dibangun melalui 4 submodel, yaitu: - Submodel pengendalian erosi lahan dimana komponennya adalah iklim, jenis tanah, panjang dan kemiringan lereng, faktor tanaman, pengelolaan lahan dan tindakan konservasi. Volume sedimen lahan diperoleh berdasarkan tingkat erosi lahan yang dikalkulasi berdasarkan persamaan erosi dari USLE dengan parameter input RKLSCP serta luasan waduk. - Submodel pengendalian longsoran dimana komponennya adalah longsoran kaldera, bangunan sabo dam penahan, bangunan sabo dam konsolidasi, bangunan sand pocket dan penambangan (sand mining). Volume sedimen longsoran dihasilkan berdasarkan massa longsoran kaldera dan efektifitas dari seri bangunan pengendali yang telah ada berdasarkan kapasitasnya serta volume aktifitas penambangan serta pengerukan pada

91 71 wilayah hulu waduk. Massa longsoran diperhitungkan dengan kemungkinan adanya longsoran susulan sebagai antisipasi terhadap keberlanjutan waduk. - Submodel sosial ekonomi dimana komponennya adalah pendapatan penambang, pertumbuhan penambangan, volume penambangan, pajak penambangan. Memperhitungkan dampak sosial melalui partisipasi masyarakat (jumlah pemanfaatan tenaga kerja) dan ekonomi melalui tingkat pendapatan masyarakat terhadap aktifitas penambangan sedimen yang tertampung pada bangunan pengendali Sand Pocket maupun area lainnya. - Submodel kapasitas waduk dimana komponennya adalah tingkat sedimentasi akibat longsoran, tingkat sedimentasi akibat erosi lahan, kapasitas waduk dan outflow sedimentasi. Memperhitungkan indeks kapasitas waduk yang merupakan perbandingan kapasitas mati waduk dan sedimentasi lahan dan longsor yang masuk. Kapasitas waduk dikaitkan dengan aktifitas penambangan material sedimen dan juga aktifitas pengerukan sebagai salah satu pengendali sedimen secara mekanis di bagian hulu waduk. Perumusan rancangan alternatif atau skenario model pengendalian sedimentasi waduk yang dibangun berdasarkan dari empat submodel tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis program Stella Model yang dibangun diuji kebenarannya berdasarkan kondisi objektif dengan melakukan uji validitas dan sensitivitas model. Uji validitas dilakukan melalui uji struktur dan uji kinerja model. Uji validitas struktur dilakukan untuk mengetahui tingkat keyakinan akan struktur model valid secara ilmiah. Apakah konstruksi model yang dibangun sesuai dengan teori dan konsisten. Uji validitas kinerja dilakukan untuk memperoleh keyakinan kesesuaian model dengan keadaan yang sebenarnya atau sesuai dengan data empirik. Uji validitas kinerja dilakukan berdasarkan nilai AME (Absolute Mean Error) dan AVE (Absolute Variation error) dengan nilai penyimpangan yang diizinkan adalah 5-10%. Adapun uji sensitivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekuatan model terhadap waktu. Hal ini dilakukan dengan menguji respon model terhadap stimulus dengan tujuan untuk menemukan tindakan baik untuk mempercepat

92 72 kemungkinan pencapaian positif, atau mengantisipasi dampak negatif. Uji sensitivitas dapat dilakukan dengan memberikan fungsi-fungsi khusus kepada model (intervensi fungsional) atau dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model dengan cara mengubahnya (intervensi struktural). Berdasarkan model yang telah diuji kemudian dilakukan beberapa simulasi melalui skenario yang dibuat untuk memperoleh hasil yang terbaik dari alternatifalternatif yang ada. Faktor sosial disimulasikan berdasarkan dampak dari aktifitas penambangan sedimentasi yang tertampung terhadap penyerapan tenaga kerja baik pada saat pelaksanaan fisik bangunan pengendali maupun pada aktifitas penambangan. Selanjutnya faktor ekonomi tentu saja mengkalkulasi penghasilan yang diperoleh masyarakat setempat dari aktifitas yang dilakukan yaitu sebagai tenaga kerja ataupun sebagai pengusaha pada penambangan material sedimen.

93 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Sumber Sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk dan Tingkat sedimentasi di Waduk Bili-Bili Analisis Tingkat Erosi Lahan pada Sub DAS Jeneberang Erosi tanah merupakan kejadian alam yang pasti terjadi dipermukaan daratan. Besarnya erosi sangat tergantung dari beberapa faktor alam di tempat kejadian erosi tersebut, namun demikian saat ini manusia juga ikut berperan penting atas terjadinya erosi. Adapun faktor alam yang mempengaruhi erosi adalah erodibilitas tanah, karakteristik landsekap dan curah hujan. Akibat dari adanya pengaruh manusia dalam proses peningkatan laju erosi seperti pemanfaatan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan/atau pengelolaan lahan yang tidak didasari tindakan konservasi tanah dan air menyebakan perlunya dilakukan suatu analisis tingkat erosi lahan sehingga bisa dilakukan suatu pengelolaan lahan yang berfungsi untuk memaksimalkan produktivitas lahan dengan tidak mengabaikan keberlanjutan dari sumberdaya lahan. a. Data Curah Hujan Data curah hujan untuk Daerah Aliran Waduk Bili-Bili diambil dari 3 stasiun curah hujan, yaitu Bili-Bili Dam, Jonggoa dan Malino. Ketiga stasiun curah hujan tersebut dipilih karena dapat mewakili data curah hujan yang mempengaruhi jumlah curah hujan di wilayah sub DAS Jeneberang. Dari data curah hujan bulanan sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 menunjukkan bahwa musim hujan diawali pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan Juni. Untuk setiap tahunnya rata-rata terdapat 9 bulan basah dan 3 bulan kering. Pada musim hujan jumlah curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember tahun 2008 yaitu sebesar 1129 mm (stasiun Malino) dan rata-rata bulanan sebesar 259 mm/bulan. Pada bulan basah (Oktober-Juni) curah hujan minimum terjadi pada bulan April tahun 2005 yaitu sebesar 79 mm (stasiun Bili- Bili Dam). Grafik jumlah curah hujan bulanan untuk setiap stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 17.

94 Jumlah Curah Hujan Bulanan Sta. Bili-Bili Dam (mm/bln) Rerata Max Min Curah Hujan (mm ) Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jumlah Curah Hujan Bulanan Sta. Jonggoa (mm/bln) Rerata Max Min Curah Hujan (mm ) Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jumlah Curah Hujan Bulanan Sta. Malino (mm/bln) Rerata Max Min Curah Hujan (mm ) Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Gambar 17 Grafik Curah Hujan Bulanan untuk setiap stasiun. Dari data curah hujan, disajikan bahwa intensitas hujan pada bulan Juli, Agustus dan September sangat rendah dengan jumlah hari hujan rata-rata 5 hari. Curah hujan rata-rata pada bulan tersebut adalah kurang dari 150 mm, dimana

95 75 berdasarkan kriteria BMG (Tjasyono, 2004), bulan ini dikategorikan sebagai bulan kering. Intensitas hujan yang rendah memiliki energi kinetik yang rendah pula sehingga erosi percikan yang terjadi sangat kecil atau bahkan tidak ada, limpasan permukaan juga tidak terjadi karena hujan dengan intensitas yang rendah akan langsung terinfiltrasi kedalam tanah akibat keringnya lapisan tanah yang disebabkan oleh adanya penguapan. Dengan demikian pada bulan Juli, Agustus dan September diperkirakan tidak terjadi erosi. Pada bulan Oktober sampai dengan bulan Juni curah hujan dalam sebulan lebih dari 150 mm, dikategorikan dalam bulan basah. Intensitas hujan yang terjadi sangat besar dan berlangsung rata-rata 25 hari dalam sebulan. Intensitas hujan tersebut menghasilkan energi kinetik yang besar dan aliran permukaan yang lebih banyak sehingga menyebabkan terjadinya erosi yang cukup besar. Evaporasi pada musim hujan tidak terlalu mempengaruhi kandungan air pada lapisan tanah karena kondisi tanah yang selalu basah akibat kejadian hujan yang sering terjadi dengan intensitas tinggi. Curah Hujan (mm) Curah Hujan Tahunan (mm/thn) Bili-Bili Jonggoa Malino Rerata Gambar 18 Grafik rerata Curah Hujan Tahunan dari Tahun Selanjutnya dari grafik data curah hujan tahunan rata-rata (Gambar 18) dari ketiga stasiun pengamatan maka curah hujan di wilayah hulu DAS Jeneberang berkisar antara mm/tahun dengan rata-rata sebesar mm/tahun. Dari rerata curah hujan tahunan selama 7 tahun menunjukkan

96 76 bahwa peningkatan jumlah curah hujan terjadi pada tahun 2004 sampai pada tahun Curah hujan maksimum rata-rata adalah mm/thn. Jika dilihat dari setiap stasiun curah hujan, tingkat curah hujan tertinggi adalah pada stasiun Malino yang berada di hulu DAS Jeneberang dengan curah hujan sebesar mm/thn terjadi pada tahun b. Prediksi Erosi Menggunakan MWAGNPS Model MWAGNPS (Map Windows Agricultural Non-Point Source Pollution) adalah suatu model yang menggunakan Map Window sebagai interface dapat mensimulasikan limpasan permukaan, transpor sedimen, dan unsur hara terutama dari DAS pertanian. Model memiliki kemampuan untuk menghasilkan karakteristik erosi yang terjadi pada setiap titik di seluruh jaringan DAS. Kemampuan ini didasarkan pada penggunaan model sel. Sel-sel persegi yang seragam membagi daerah aliran sungai, dan semua karakteristik daerah aliran sungai dengan input dinyatakan pada tingkat sel. Komponen model menggunakan persamaan dan metodologi yang telah diakui dan banyak digunakan oleh badan peneliti konservasi seperti Konservasi Tanah USDA. Limpasan volume dan laju aliran puncak diperkirakan dengan menggunakan kurva limpasan metode nomor SCS. Erosi lahan dan laju sedimen diperkirakan dengan menggunakan bentuk modifikasi dari Persamaan erosi USLE (Arsyad, 2006). Sedimen disalurkan dari sel ke sel melalui DAS ke outlet menggunakan transport sedimen yang didasarkan pada persamaan kontinuitas. Aplikasi MWAGNPS memerlukan data DEM (Digital Elevation Model) untuk menghasilkan gambaran faktor LS yang lebih spesifik dalam setiap sel. Dalam perkembangannya, ada beberapa formula untuk menentukan nilai faktor LS berbasis DEM dalam MWAGNPS mempertimbangkan heterogenitas lereng serta mengutamakan arah dan akumulasi aliran dalam perhitungannya (Leon and George, 2009). Semua karakteristik DAS dan input lainnya diinformasikan dalam setiap sel. Sebuah sel tunggal dapat dibuat dengan resolusi 2,5 hektar sampai 40 acre (1 acre = m 2 ). Ukuran sel yang kecil seperti 10 hektar (200 x 200 sel) dianjurkan untuk DAS yang kurang dari 2000 hektar (8 km 2 ). Untuk wilayah yang melebihi hektar, biasanya digunakan ukuran sel 40 hektar (400 x 400 m) untuk melakukan diskritisasi di daerah aliran sungai.

97 77 Erosi lahan yang terjadi di wilayah sub DAS Jeneberang dianalisis menggunakan program AGNPS (Young,R.A, et all 1994) dengan Map Window sebagai interface (MWAGNPS). Analisis erosi menggunakan MWAGNPS dilakukan berdasarkan peta digital topografi, jenis tanah dan penutupan lahan (Leon and George, 2009). Peta elevasi hasil dari TIN menghasilkan peta aliran seperti pada Gambar 19 yang telah dikonversi ke bentuk grid dengan bantuan data DEM yang terbentuk. Selanjutnya, arah aliran dari suatu sungai diperoleh berdasarkan kondisi topografi sebagai tempat terakumulasinya aliran dari tempat dengan elevasi yang tinggi ke tempat yang rendah. Untuk lebih jelasnya arah aliran berdasarkan dari AGNPS disajikan pada Gambar 20. Selanjutnya, peta citra sub DAS Jeneberang skala 1: di overlay dengan peta DEM sebagai dasar grid dengan resolusi 500 x 500 m. dari luasan 25 ha per grid menghasilkan 1478 grid. Dari hasil keluaran model dengan nilai masukan curah hujan harian ratarata yang terbesar selama 7 tahun sebesar 31,66 mm dengan nilai energi intensitas hujan 30 menit (EI 30 ) sebesar 25,89 diperoleh besarnya laju erosi di outlet sebesar 44,81 ton/ha/thn, laju sedimentasi sebesar 2,22 ton/ha/thn dan sedimen total sebesar ,00 ton. Selanjutnya disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Keluaran sedimen model di outlet sub DAS Jeneberang Analisis Sedimen Jenis partikel Erosi per satuan luas Sedimen per NPS Sedimen Daratan Saluran satuan luas (%) total (ton) (ton/ha/th) (ton/ha/th) (ton/ha/th) Liat 2, , ,00 Debu 3, , ,98 Aggregat halus 22, ,50 Aggregat kasar 12, ,69 Pasir 3, ,82 Total 44, , ,00 Nilai Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) yang mendekati 100% artinya semua tanah yang tererosi masuk kedalam sungai (Arsyad. 2006). NPS di sub DAS Jeneberang total sebesar 5%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hanya 5% dari total erosi yang terjadi di sub DAS Jeneberang yang masuk ke saluran (sungai) dan menjadi sedimen. Sedangkan sisanya sebesar 95% mengendap di

98 78 tempat lain sebelum sampai ke saluran sungai. Jenis partikel yang mempunyai nilai NPS tertinggi berupa partikel liat sebesar 75%. Sementara aggregat halus yang paling banyak tererosi sebesar 22,79 ton/ha. Selanjutnya sebaran ruang laju sedimentasi total akibat kejadian hujan terbesar dalam bentuk spasial disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar tersebut dapat terlihat penyebaran sedimen total sub DAS Jeneberang setiap sel sebesar ,48 ton. Sedimen total semakin besar pada grid yang terdapat aliran sungai. Laju sedimentasi yang tinggi menyebabkan peningkatan jumlah sedimen yang mengendap di sepanjang sungai. Semakin ke hilir (outlet), sedimen total akan semakin meningkat. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab meningkatnya sedimentasi di waduk Bili-Bili sehingga dapat terancam tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Selanjutnya rekapitulasi laju erosi untuk berbagai penutupan lahan berdasarkan informasi dari setiap grid/sel disajikan pada Tabel 18. Laju erosi permukaan yang terbesar terdapat di sel dengan penutupan lahan berupa ladang/tegalan sebesar ,14 ton/ha/th dan semak belukar sebesar ,38 ton/ha/th. Sedangkan hutan, sawah dan pemukiman mempunyai laju erosi yang cukup kecil. Tabel 18 Rekapitulasi Laju Erosi dan Sedimen untuk berbagai penutupan lahan Penutupan lahan Luas (ha) Jumlah Laju Erosi (ton/ha/th) Jumlah Sedimen total (ton) Hutan , ,07 Ladang/Tegalan , ,84 Pemukiman , ,13 Sawah , ,08 Semak Belukar , ,34 Adapun sebaran laju erosi permukaan akibat kejadian hujan rata-rata terbesar dalam bentuk spasial disajikan pada Gambar 22. Gambar tersebut menunjukkan penyebaran laju erosi permukaan sub DAS Jeneberang setiap sel besarannya antara ton/ha. Dominan kejadian erosi terbesar berada di wilayah hulu dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam.

99 Gambar 19 Peta DEM elevasi sub DAS Jeneberang. 79

100 80 Gambar 20 Peta arah aliran sub DAS Jeneberang berdasarkan grid.

101 Gambar 21 Peta penyebaran sedimen total sub DAS Jeneberang. 81

102 82 Gambar 22 Peta penyebaran laju erosi permukaan sub DAS Jeneberang.

103 83 Erosi merupakan masalah utama di hulu DAS Jeneberang. Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa erosi yang terjadi di hulu DAS Jeneberang sudah sedemikian parah sehingga menimbulkan lahan kritis. Luas lahan kritis di DAS Jeneberang adalah seluas ha dan cenderung terus meningkat (Anonim, 2003). Kondisi tanah yang peka terhadap erosi, topografi wilayah yang pada umumnya miring sampai sangat miring dan intensitas curah hujan yang tinggi menyebabkan laju erosi sangat tinggi. Akibatnya, sedimentasi waduk ikut meningkat. Hasil penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa, di hulu DAS Jeneberang penyebaran erosi sangat berat penyebarannya berada pada bagian atas hulu DAS Jeneberang. Lahan yang mengalami erosi berat penyebarannya beada pada bagian tengah, dan yang mengalami erosi sedang penyebarannya pada bagian bawah hulu DAS Jeneberang (Saida, 2011). Pada wilayah dengan penutupan tanah berupa hutan dapat menahan laju aliran permukaan, sehingga volume dan kecepatan aliran permukaan dapat berkurang (Asdak, 2010) Analisis Longsoran Kaldera di sub DAS Jeneberang Longsoran Kaldera Bawakaraeng yang terjadi tahun 2004 menyebabkan sedimentasi di sepanjang sungai Jeneberang. Analisis sedimentasi akibat longsoran dilakukan berdasarkan hasil survey pengukuran lapangan ( ) dengan 26 titik potong melintang (BP01-BP26) di sepanjang sungai Jeneberang bagian hulu Waduk Bili-Bili seperti terlihat pada Gambar 22. Bili-Bili Bili-Bili Dam BP-01 Bili-Bili Reservoir SB BP-05 Mangempang Jeneberang River BP-10 Salo Rakikang Jonggoa Jeneberang R1 SB Salo Rakikang SB CD-10 BP-15 Salo Malino Salo Malino SB Malino BP-20 Jeneberang River Jeneberang R2 SB CD-13 Salo Takapala SB BP-26 Jeneberang River Daraha Dam SB Limbunga Gambar 23 Lokasi survey cross section sepanjang Sungai Jeneberang Bagian hulu Waduk Bili-Bili.

104 84 Volume sedimentasi di sepanjang sungai Jeneberang dihitung berdasarkan perubahan elevasi dasar sungai dari tahun 2004 sampai tahun 2008 dan selanjutnya dihitung perbedaan luas penampang untuk masing-masing titik potong. Adapun hasil analisis yang telah dilakukan berdasarkan perbandingan luas penampang setiap tahunnya disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Volume sedimen untuk setiap titik Cross Section tahun No. Jarak Akumu lasi Jarak Vol. sedimen (m) (m 3 ) (m 3 ) (m 3 ) (m 3 ) (m 3 ) BP BP Sabo dam BP SP-1 BP SP-2 BP BP SP-3 BP BP BP SP-4 BP BP SP-5 BP BP KD-1 BP BP BP BP BP KD-2 BP BP BP KD-3 BP KD-4 BP CD-1-2 BP CD-3 BP CD-4 BP Total Berdasarkan data diperoleh bahwa total endapan sejak tahun 2004 sampai dengan 2008 adalah m 3. Adapun total volume erosi adalah m 3 sehingga total volume aliran sedimen yang terjadi pada saat itu telah mencapai

105 m 3. Hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan jumlah sedimen secara total terutama pada saat terjadinya longsoran kaldera pada tahun 2004 yang menyebabkan volume endapan sebesar m 3. Secara rinci dapat diperhatikan pada Tabel 20 dan Gambar 24. Tabel 20 Volume Aliran Sedimen Tahun Tahun Volume Endapan Tahunan (m 3 ) Volume Erosi Tahunan (m 3 ) Volume Aliran Sedimen (m 3 ) Total Gambar 24 Grafik Volume aliran Sedimen dari tahun Namun demikian jika diperhatikan perubahan volume aliran sedimen setiap tahun ternyata dapat dikendalikan. Hal ini terlihat dari volume aliran sedimen sampai pada tahun 2008 telah berkurang menjadi m 3. Bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen yang dibangun sepanjang hulu sungai Jeneberang telah berfungsi efektif. Bangunan pengendali sedimen tersebut adalah berupa Sabo dam (SD) sebagai pengendali sedimen utama yang mampu menahan pergerakan sedimen dari kaldera dibangun tujuh buah terletak di bagian

106 86 hulu. kemudian Konsolidasi dam (KD) sebagai pengendali aliran debris dan angkutan sedimen dibangun di bagian tengah sebanyak 6 buah serta bangunan penangkap pasir/sand pocket (SP) untuk meminimalkan masuknya sedimen ke waduk Bili-Bili dibangun sebanyak 5 buah di bagian bawah dekat outlet waduk Bili-Bili. SP dibangun selain untuk pengendali sedimen juga dapat berfungsi untuk penampungan pasir sehingga dapat ditambang oleh penduduk setempat Analisis Tingkat Sedimentasi Waduk Tingkat sedimentasi di waduk Bili-Bili dianalisis dengan menggunakan data pengukuran echosounding yang diambil berdasarkan 22 garis cross section (L1-L22) di sepanjang area waduk Bili-Bili (Gambar 25). Untuk setiap garis melintang diambil data kedalaman dengan menggunakan perahu dan alat echosounding. Data yang dikumpulkan untuk setiap garis melintang rata-rata kali tergantung pada jarak tempuh dan keadaan lokasi. Pada setiap titik juga dilakukan plotting koordinat untuk menentukan letak dan posisi titik pengambilan data. Gambar 25 Lokasi 22 titik cross section Waduk Bili-Bili. Volume sedimentasi waduk yang setiap tahun yang diukur berdasarkan data echosounding selanjutnya dianalisis berdasarkan luas penampang untuk setiap titik penampang. Volume dihitung berdasarkan luas penampang dengan jarak antara setiap titik penampang. Volume untuk setiap tahunnya diperhitungkan berdasarkan data elevasi terakhir.

107 87 Berdasarkan dari hasil analisis data untuk setiap penampang diperoleh bahwa tingkat sedimentasi waduk pada tahun 2009 telah mencapai total m 3. Jika dilihat perubahan tingkat sedimentasi sebelum terjadinya longsoran Kaldera yaitu sebesar m 3 (tahun ) dan m 3 (tahun ) sampai pada tahun 2009, menunjukkan terjadinya peningkatan yang cukup tinggi terutama pada tahun yaitu sebesar m 3. Lebih lengkapnya disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Volume Sedimentasi per Penampang dari Tahun Penampang Volume Sedimentasi ( m³ ) L1 - L L2 - L L3 - L L4 - L L5 - L L6 - L L7 - L L8 - L L9 - L L10 - L L11 - L L12 - L L13 - L L14 - L L15 - L L16 - L L17 - L L L L L21 - L Total

108 Elevasi (m) 88 Berdasarkan data dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2009 menunjukkan adanya peningkatan sedimentasi yang terjadi di waduk Bili-Bili. Peningkatan sedimentasi tersebut terutama pada tahun 2005 telah mencapai elevasi diatas 60 m (pada jarak kurang dari 1 km dari bendung). Jika dibandingkan pada tahun 2004 yang masih di elevasi 50 m. Hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan sedimentasi sekitar 10 m hanya dalam kurun waktu 1 tahun. Peristiwa longsoran kaldera pada tahun 2004 merupakan penyebab terjadinya peningkatan sedimentasi tersebut, namun selanjutnya tingkat sedimentasi di waduk Bili-Bili dapat dikendalikan dengan berkurangnya prosentase peningkatan sedimentasi untuk tahun 2006 sampai dengan Untuk lebih lengkapnya disajikan pada Tabel 22 dan Gambar 26. Elevasi (m) Tabel 22 Volume Sedimentasi per Elevasi dari Tahun Volume Sedimentasi Waduk ( m³ ) Total S.W.L = 101.6m Nov 2007 Nov-08 Apr-08 Apr Jarak memanjang dari Bendung (m) Gambar 26 Elevasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun

109 89 Secara keseluruhan dari hasil pengukuran volume sedimentasi waduk diperoleh bahwa tingkat sedimentasi sebelum kejadian longsor Kaldera, sedimentasi yang tertampung di waduk Bili-Bili secara kumulatif adalah sebesar m 3 (April 2001). Lima tahun setelah kejadian longsor tersebut (2009) volume sedimen telah mencapai m 3 (Gambar 27). Dari gambar tersebut nampak bahwa akumulasi tingkat sedimentasi waduk paling tinggi adalah pada saat setelah kejadian longsoran kaldera tahun 2004, namun kemudian dapat dikendalikan pada tahun berikutnya sampai tahun Volume Sedimentasi (10 3 m 3 ) kapasitas design storage m m Tahun Gambar 27 Akumulasi Tingkat Sedimentasi di Waduk Bili-Bili Volume sedimentasi yang masuk kedalam waduk Bili-Bili terdistribusi berdasarkan elevasi dasar waduk. Berdasarkan data teknis bangunan Waduk Bili- Bili diperoleh bahwa untuk elevasi 101,6 99,5 m adalah kapasitas waduk dengan fungsi sebagai pengendali banjir dan untuk penyediaan air baku batas elevasi adalah pada 99,5 65 m. Adapun untuk kapasitas Daya Tampung Mati (dead storage) pada elevasi 65 m dengan maksimal tampungan adalah m 3. Volume sedimentasi waduk jika dianalisis berdasarkan tinggi elevasi permukaannya menunjukkan bahwa sebagian besar sedimentasi terjadi pada elevasi 65 99,5 m yaitu sebesar m 3 atau 75,7% dari total sedimen yang masuk ke waduk. Kemudian sebesar m 3 (20,1%) yang sampai pada tampungan mati waduk yaitu pada elevasi dibawah 65 m. namun demikian,

110 90 jika dilihat khusus pada dead storage waduk maka dapat diartikan bahwa kapasitas tampungan mati telah terisi lebih dari 50%. Lebih lengkapnya dapat diperhatikan pada Tabel 23. Tabel 23 Prosentase total sedimentasi terhadap Kapasitas Waduk Kapasitas waduk (1000 m 3 ) Pengendalian Banjir Air Baku Daya Tampung Mati Elevasi Sedimentasi Total (m) (1000 m 3 ) (1000 m 3 ) % , , ,1 Total Berdasarkan data elevasi (echosounding) untuk setiap titik cross section (L1-L22) yang diambil disepanjang area waduk Bili-Bili dan data titik koordinat dari setiap titik pengamatan, dilakukan analisis 3 dimensi menggunakan bantuan software Surfer 8 untuk mendapatkan visualisasi perubahan permukaan hasil sedimentasi waduk dari tahun 1997 sampai dengan tahun Dari hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun 1997 permukaan hasil sedimentasi pada kedalaman lebih kecil dari 65 m (daya tampung mati) masih berada dalam keadaan yang normal (Gambar 31). Namun demikian perbedaan terlihat sangat signifikan jika melihat hasil plot untuk tahun 2009 dimana terlihat permukaan sedimen hasil sedimentasi sudah semakin tinggi (perubahan warna merah yang semakin dominan) mencapai batas elevasi maksimum untuk kapasitas daya tampung mati (Gambar 32). Perbandingan keadaan perubahan permukaan hasil sedimentasi waduk yang terjadi pada tahun 1997 dan 2009 menunjukkan peningkatan tingkat sedimentasi yang secara signifikan dapat mengganggu fungsi waduk.

111 91 Gambar 28 Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun Gambar 29 Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 2009.

112 92 Gambar 30 Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun Gambar 31 Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 2005.

113 93 Selanjutnya, jika memperhatikan hasil analisis perubahan permukaan hasil sedimentasi waduk setelah kejadian longsoran kaldera pada tahun 2004 yang ternyata berdampak pada hasil pengukuran pada tahun Perubahan tersebut nampak sekali menunjukkan peningkatan secara cepat terutama pada area dibawah elevasi 65 m (daya tampung mati). Dari hasil analisis visualisasi tiga dimensi juga menggambarkan secara jelas bahwa perubahan permukaan hasil sedimentasi waduk dari tahun 1997 sampai dengan 2009 dengan kapasitas volume 75 juta m 3 terdistribusi ke dalam waduk secara tidak merata. Volume sedimen yang masuk ke waduk lebih dominan terkonsentrasi di area hulu waduk. Namun demikian area dead storage (daya tampung mati) yang berada di dekat bendungan tetap harus dikendalikan walaupun sedimen yang mencapai area tersebut hanya sekitar 20% Efisiensi tangkapan sedimen (trap efficiency) Jumlah sedimen yang tertahan atau mengendap di dalam waduk dapat dihitung yaitu dengan cara mencari besarnya trap efficiency yang didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah sedimen yang mengendap di waduk dengan total angkutan sedimen yang masuk ke dalam waduk. Metode yang digunakan untuk mengestimasi efisiensi tangkapan sedimen (trap efficiency) adalah metode yang diusulkan oleh Brune (EM.1995) yaitu data masukan berupa perbandingan antara kapasitas waduk dengan aliran air rata-rata yang masuk ke dalam waduk tiap tahun. Perhitungan untuk menentukan besarnya trap efficiency yaitu berdasarkan perbandingan antara kapasitas tampungan (C) dengan inflow aliran tahunan (I), kemudian perbandingan itu diplotkan pada grafik trap efficiency yaitu hubungan antara ratio of reservoir capacity to annual inflow (sumbu x) dengan sediment trapped percent (sumbu y), nilai tersebut akan berkurang sejalan dengan umur operasional karena kapasitas waduk akan berkurang akibat sedimen. Data kapasitas waduk diambil dari hasil pengukuran echosounding dari tahun 1997 sampai dengan tahun Adapun data inflow diambil dari rekaman Automatic Water Level Recorder (AWLR) dari tahun 1997 sampai dengan tahun Berdasarkan data tersebut kemudian dihitung perbandingan dari nilai

114 94 kapasitas waduk dan inflow setiap tahun. Hasil perhitungan yang diperoleh berdasarkan data kapasitas waduk dan aliran inflow disajikan pada Tabel 24. Efisiensi Tangkapan Sedimen berkurang dari 90,81% (1997) menjadi 73,34% (2005), namun kemudian meningkat kembali 92,57% pada tahun 2007 dan cenderung menurun menjadi 89,79% pada tahun Tabel 24 Efisiensi Tangkapan Sedimen Tahun C (m 3 ) I (m 3 /tahun) C/I Te (%) , , , , , , , , , , , , , ,79 juta (m3/tahun) C (m3) I (10m3/tahun) Te (%) % Tahun 0 Gambar 32 Grafik Kapasitas waduk dan Efisiensi Tangkapan Sedimen di Waduk Bili-Bili. Dari Gambar 32 mengenai grafik perbandingan kapasitas waduk dan efisiensi tangkapan sedimen di waduk Bili-Bili menunjukkan bahwa dampak dari longsoran kaldera yang terjadi pada tahun 2004 berimplikasi meningkatnya debit inflow secara cepat pada tahun 2005 sebesar m 3 dari tahun sebelumnya yang hanya m 3. Sementara kapasitas waduk terus berkurang dari m 3 (1997) menjadi m 3 (2008). Dengan

115 95 demikian efisiensi tangkapan sedimen secara nyata juga ikut menurun sampai 73,34% pada tahun Namun demikian kemampuan waduk kembali membaik karena adanya usaha pengendalian sedimen yang dilakukan di sepanjang sungai Jeneberang yang turut mempengaruhi masuknya sedimen ke waduk Bili-Bili Identifikasi Pola Pengendalian Bangunan Pengendali Sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili Kajian Kapasitas Bangunan Pengendali Sedimen Runtuhnya dinding Kaldera pada tahun 2004 menyebabkan tingkat sedimentasi sungai Jeneberang meningkat tajam akibat tingginya material longsoran yang masuk ke badan sungai. Berdasarkan data sampai dengan tahun 2008, volume material yang longsor mencapai juta m 3 (JICA, 2005) dan yang berupa sedimen telah mengalir ke sungai Jeneberang sebesar 140 juta m 3 dan selebihnya masih berada di Kaldera. Material longsoran yang tertinggal di bagian Kaldera Gunung Bawakaraeng tersebut bersifat tidak stabil yang berarti sewaktu-waktu akan dapat terbawa ke badan sungai Jeneberang yang merupakan sungai utama menuju waduk Bili-Bili. Dengan demikian erosi longsoran masih berpotensi untuk terjadinya aliran sedimen yang besar. Berdasarkan hal tersebut telah dibangun pengendali aliran sedimen berupa sabo dam, konsolidasi dam, kantong pasir (sand pocket). Pelaksanaan pengendalian sedimentasi akibat longsoran di sepanjang DAS Jeneberang dibuat dalam empat bagian, yaitu di bagian hulu (upper stream), tengah (middle stream), hilir (downstream) dan waduk Bili-Bili. a. Bangunan Sabo di Bagian Hulu (upper stream) Sungai Jeneberang Pembangunan sabo di bagian hulu dilakukan untuk mengendalikan pergerakan sedimen (debris flow). Pengendalian aliran debris di bagian hulu dilakukan dengan membangun sabo dam yang berlokasi paling dekat dengan dinding kaldera gunung Bawakaraeng. Bangunan sabo ini memiliki fungsi utama agar mampu mengantisipasi terjadinya erosi lateral dan tingginya aliran debris yang terjadi. Ada dua tipe struktur yang dibangun yaitu, kombinasi antara tipe

116 96 beton, dan tipe dengan dinding baja ganda. Kedua tipe ini dipilih untuk menghadapi gerakan sedimen yang kuat di bagian hulu (Budiman et al. 2012). Pada bagian ini dibangun 7 (tujuh) unit Sabo Dam dengan initial SD 7-1 sampai dengan SD 7-7. Dari ketujuh seri sabo dam nampak bahwa SD 7-1 yang paling vital sehingga dirancang lebih kuat dan kokoh. Setelah beberapa kali mengalami kerusakan dan perbaikan, akhirnya pada bagian tengah (yang paling lemah) dipasang beton dengan menggunakan metode ISM (insitu site mixing) dan CSG (cemented sand and gravel). Adapun lokasi penempatan dari sabo dam disajikan pada Gambar 33. Gambar 33 Lokasi penempatan sabo dam SD7-1 SD 7-7. Sabo Dam SD 7-1 merupakan bangunan sabo yang memiliki kapasitas tampung sedimen terbesar yaitu m 3. Adapun dari total volume sedimen yang dapat dikendalikan, SD 7-7 merupakan bangunan sabo yang paling mampu menahan sedimen sebesar m 3. Hal ini disebabkan letak SD 7-7 berada paling dekat dengan lokasi longsoran Kaldera sehingga memiliki konstruksi yang lebih kuat khususnya dalam menahan pergerakan sedimen longsoran sebelum berpindah ke bangunan sabo lainnya. Gambar dan spesifikasi teknis dari bangunan SD 7-1 sampai dengan SD 7-7 disajikan pada Lampiran 2-6.

117 97 Berdasarkan hasil analisis dari ketujuh bangunan pengendali SD tersebut menunjukkan bahwa sabo dam efektif mengendalikan volume sedimen sebesar m 3. Dari total tersebut yang dikendalikan secara langsung sebesar m 3 dan tidak langsung sebesar m 3. Pengendalian secara langsung adalah yang tertahan sebagai volume sedimen dan volume dari kapasitas tampung sedimen pada bangunan sabo dam, adapun untuk pengendalian secara tidak langsung adalah volume sedimen yang tidak stabil dan volume tampungan sungai (river bank) pada bangunan sabo dam.. Secara jelas kapasitas untuk masing-masing Bangunan Pengendali Sabo Dam disajikan pada Tabel 25. N o Tabel 25 Kapasitas Bangunan Pengendali Sabo Dam di Upper Stream Sabo Dam Dimensi Sabo Tinggi Dam Utama (m) Lebar Dam (m) Vol. Sedimen (m 3 ) Kapasitas Tampung Sedimen (m 3 ) River Bank (m 3 ) Endapan tidak Stabil (m 3 ) Total vol. sedimen yang dikendalikan (m 3 ) 1 SD ,0 163, SD ,0 102, SD ,5 81, SD ,0 153, SD ,5 121, SD ,5 97, SD ,0 94, total b. Bangunan Sabo di Bagian Tengah (middle stream) Sungai Jeneberang Pada bagian tengah sungai Jeneberang, aliran debris dan angkutan sedimen tetap perlu dikendalikan. Pengendalian sedimen pada bagian tengah bertujuan untuk menstabilkan kembali dasar sungai, dan profil tebing sungai dengan elevasi dasar sungai. Selain itu, juga dilakukan untuk mengendalikan arah aliran debris dan menampung endapan angkutan sedimen. Untuk itu pada bagian tengah sungai Jeneberang dibangun sabo dam berseri dengan fungsi selain menahan sedimen juga menstabilkan dasar sungai, mengurangi gerakan sedimen sekunder, mengendalikan erosi tebing sungai pada saat banjir, menampung dan mengatur endapan aliran debris dari hulu, serta mengarahkan aliran air.

118 98 Pada bagian ini dibangun 4 (empat) unit Sabo Dam dengan initial CD-1 sampai dengan CD-4, dan 4 (empat) unit Konsolidasi Dam dengan initial KD-1 sampai dengan KD-4. Struktur dan tipe yang dipakai adalah sabo dam berseri dan konsolidasi dam. Ada enam tipe sabo dam berseri dengan lima unit diantaranya memiliki tipe tertutup dan satu unit tipe terbuka. Secara jelas disajikan pada Gambar 34. Gambar 34 Sabo dam Tipe Terbuka dan Tipe Tertutup pada bagian tengah sungai Jeneberang Perbedaan kemampuan kedua tipe tersebut dalam mengendalikan sedimen disajikan dari kapasitas simpan dan pengendalian sumber sedimen. Pada tipe terbuka dimensi dan jumlah celah mempengaruhi volume kontrol sedimen. Makin kecil dimensi celah dan makin sedikit jumlah celah maka makin besar volume kontrol sedimen. Gambar dan spesifikasi teknis dari bangunan CD dan KD disajikan pada Lampiran Hasil analisis dari ketujuh bangunan konsolidasi dam menunjukkan bahwa bangunan konsolidasi dapat mengendalikan volume sedimen secara efektif sebesar m 3. Dari total yang dikendalikan secara langsung sebesar m 3 dan tidak langsung sebesar m 3. Pengendalian secara langsung adalah yang tertahan sebagai volume sedimen dan volume dari kapasitas tampung sedimen pada bangunan konsolidasi dam, adapun untuk pengendalian

119 99 secara tidak langsung adalah volume sedimen yang tidak stabil dan volume tampungan sungai (river bank) pada bangunan konsolidasi dam. Selanjutnya kapasitas bangunan pengendali sabo dam disajikan pada Tabel 26. N o Tabel 26 Kapasitas Bangunan Pengendali Sabo Dam di Middle Stream Sabo Dam Dimensi Sabo Tinggi Dam Utama (m) Lebar Dam (m) Vol. Sedimen (m 3 ) Kapasitas Tampung Sedimen (m 3 ) River Bank (m 3 ) Endapan tidak Stabil (m 3 ) Total vol. sedimen yang dikendalikan (m 3 ) 1 CD-3 6,00 104, CD-2 6,00 107, CD-1 12,30 886, KD-4 5,00 143, KD-3 7,00 323, KD-2 9,00 230, KD-1 7,00 186, total c. Bangunan Kantong Pasir di Hilir (downstream) sungai Jeneberang Pada bagian hilir merupakan bagian penanganan pengendapan sedimen, dan pengendalian arah aliran sedimen.untuk itu pada bagian ini dibangun sand pocket yang berfungsi menampung material krakal (gravel) dan pasir dalam volume yang banyak. Beberapa sabo dam dan konsolidasi dam dibangun secara paralel dengan peninggian sand pocket yang ada dan penguatan pekerjaan perlindungan hulu dan hilir untuk membantu meningkatkan kapasitas pengendalian sedimen dan mengarahkan arah aliran air. Tertampungnya sedimen yang berupa material krakal dan pasir membantu masyarakat untuk memanfaatkannya dengan melakukan penambangan. lokasi penambangan dan tempat penyimpanannya disajikan pada Gambar 35. Sebelum terjadi longsoran Kaldera pada bagian ini telah dibangun 5 (lima) unit bangunan sabo berupa Sand Pocket (SP-1 sampai dengan SP-5). Untuk meminimalkan sedimentasi yang masuk ke waduk Bili-Bili telah dilakukan rehabilitasi dari bangunan Sand Pocket. Aktifitas penambangan di SP-5 tidak terlalu banyak karena jaraknya cukup jauh dari lokasi utama konsumen, yaitu kota Makassar (sekitar 60 km). Pada musim hujan rata-rata 20 truk dan musim kering

120 truk (kapasitas 4 m 3 ) setiap hari mengangkut pasir, batu dan sirtu (pasir batu) ke Malino (jarak 16 km) untuk pembangunan perumahan. Estimasi volume yang dihasilkan adalah 80 m 3 pada saat musim hujan dan 120 m 3 pada musim kering. Gambar 35 Lokasi Penambangan dan tempat Penampungan Material. Penambangan yang aktif adalah pada bagian hulu dan hilir bangunan sabo dam SP-3. Pada bagian hulu, hasil tambang berupa pasir, batu dan sirtu diangkut ke Makassar untuk digunakan sebagai bahan pembuatan jalan raya, pondasi bangunan perumahan. Adapun pada bagian hilirnya, terutama batu sungai digunakan sebagai bahan baku dari 7 pabrik pemecah batu di sekitar SP-3. Berdasarkan jumlah dan kapasitas dari pabrik tersebut diperkirakan 1000 m 3 material sedimen diangkut setiap hari. Penambangan pada bagian hilir bangunan sabo SP-2 juga aktif dilakukan khususnya untuk melayani kota Sungguminasa dan Makassar. Volume penambangan adalah sebesar 900 m 3 per hari. Adapun pada lokasi SP-1 merupakan lokasi yang paling banyak melakukan aktifitas penambangan khususnya untuk material pasir. Hal ini karena dekatnya dengan kota Makassar (sekitar 40 km) dan banyaknya material pasir yang tersedia. Ratusan truk dengan kapasitas 10 m 3 sampai 17 m 3 mengangkut pasir ke daerah-daerah konsumen. Berbagai alat berat seperti excavator (backhoes) beroperasi untuk mengambil

121 101 material pasir. Volume penambangan adalah 2000 m 3 per hari. Pada musim kering tidak ada penambangan karena kualitas pasir tidak baik karena tertutupi oleh lumpur yang tebal. Pada lokasi dekat waduk juga dilakukan penambangan karena dekatnya dengan kota Makassar (sekitar 40 km) dan banyaknya material pasir yang tersedia. Ratusan truk dengan kapasitas 10 m 3 sampai 17 m 3 mengangkut pasir ke daerah-daerah Makassar, Kab. Maros, Kab. Gowa dan Kab. Takalar. Lebih lengkapnya aktifitas penambangan untuk setiap bangunan sand pocket (SP) disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Aktifitas Penambangan pada bangunan Sand Pocket (SP) Lokasi Desa/Kec. Jenis Material Tujuan Volume tambang per hari Keterangan SP-5 Lonjoboko/ Parangloe Pasir, Sirtu, Batu Malino 80 m 3 musim hujan 120 m 3 musim kering Truk kecil untuk pembangunan perumahan SP-4 Lonjoboko/ Parangloe Pasir, Batu Penggunaan setempat Sangat terbatas Tidak berfungsi baik SP-3 Lonjoboko/ Parangloe Pasir, Sirtu, Batu Makassar, Stone Crusher dekat SP m 3 musim hujan 980 m 3 musim kering Untuk pembangunan jalan, pemb. Perumahan dan pabrik pemecah batu SP-2 Borisallo/ Parangloe Pasir, Sirtu, Batu Pabrik Stone Crusher di Kec. Bontomarannu 900 m 3 Lebih dari 10 pabrik Stone Crusher dekat Waduk Bili-Bili SP-1 Kel. Lanna/ Parangloe Pasir Makassar, Gowa, Maros, Takalar 2000 m 3 musim hujan Pada musim kering, pasir berkurang karena tertutupi oleh lumpur yg tebal Dekat waduk Kel.Lanna/ Parangloe Pasir Makassar, Gowa, Maros, Takalar 3000 m 3 Total 6000 m 3 = m 3 /tahun

122 102 d. Area Penampungan Sedimentasi (Spoil Bank) Waduk Bili-Bili Untuk mengurangi tingkat sedimentasi di waduk Bili-Bili maka dilakukan pengerukan (excavation) khususnya di bagian hulu waduk yang terus menumpuk yang juga dapat berakibat mengalirnya sedimen memenuhi dasar waduk. Untuk itu disekitar outlet waduk telah dibuat suatu area penampungan sedimen yaitu dengan membuat Spoil Bank di bagian hulu waduk dengan luas 48 Ha. Spoil Bank berfungsi sebagai tanah lapang untuk menampung hasil pengerukan dari dasar waduk Bili-Bili. Lokasi pengerukan dan penampungan sedimen disajikan pada Gambar 36. Gambar 36 Lokasi Pengerukan dan Penampungan sedimen pada spoil bank. Pekerjaan pengerukan dilakukan selain di lokasi outlet waduk Bili-Bili juga dilakukan pada lokasi bangunan pengendali SP. Hal ini adalah untuk mempertahankan fungsinya sebagai penangkap pasir dan juga kapasitas pengendalian banjir dari waduk Bili-Bili. Volume hasil dari pengerukan yang

123 103 ditampung pada area Spoil Bank pada bangunan SP adalah m 3 dan pada outlet waduk adalah m 3. Untuk Lebih jelasnya volume pengerukan pada lokasi sand pocket (SP) dan outlet waduk disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Volume Pekerjaan Pengerukan pada Sand Pocket dan Sekitar Waduk Item Sand Pocket Sekitar Waduk Lokasi SP-5 SP-1,2 dan 3 Kanan bank Kiri bank Ujung waduk Volume Pengerukan m 3 m 3 m 3 m 3 m 3 Lokasi Spoil Bank Sebelah kanan dekat bangunan SP-5 Ujung sebelah selatan Waduk Bili-Bili Ujung sebelah selatan Waduk Bili-Bili Ujung sebelah selatan Waduk Bili-Bili Ujung Waduk Pola Pengelolaan Bangunan Pengendali Sedimen Dari hasil yang dikemukakan sebelumnya menunjukkan beberapa hal seperti masih tingginya ancaman volume massa sedimen yang tidak stabil di bagian hulu dan terus bergerak ke hilir sungai Jeneberang, kejadian curah hujan yang ekstrim sehingga mengakibatkan aliran air yang besar, rendahnya kapasitas angkut normal anak-anak sungai dan tingginya erosi lahan bagian hulu yang terjadi akibat penebangan hutan di kawasan lereng pegunungan. Untuk itu terdapat tiga aktifitas pengendalian sedimen yang telah dilakukan. Ketiga aktifitas tersebut adalah pengendalian aliran debris di bagian hulu, pengendalian aliran debris di bagian tengah, dan pengendapan sedimen. Selanjutnya untuk pengendalian erosi lahan di bagian hulu DAS Jeneberang perlu dilakukan tindakan konservasi seperti pembuatan teras, saluran drainase dan bangunan check dam. Pembangunan sabo dam di bagian hulu sungai Jeneberang berfungsi untuk menahan gerakan longsoran kaldera, selain itu juga untuk mengantisipasi erosi lateral dan aliran debris. Posisi sabo yang paling dekat dengan lokasi longsoran kaldera mengakibatkan perlunya senantiasa dilakukan kontrol terhadap kekuatan

124 104 bangunan sabo. Pada bagian tengah sungai Jeneberang telah dibangun konsolidasi dam yang berfungsi untuk mengendalikan aliran sedimen, juga menstabilkan dasar sungai dan profil tebing sungai. Selanjutya pada bagian hilir sungai Jeneberang telah ada bangunan kantong pasir yang berfungsi untuk menampung sedimen sebelum mencapai waduk. Selengkapnya disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Bangunan Pengendali Sedimen di Hulu Sungai Jeneberang Item Bangunan Pengendali Sedimen Pengerukan (Excavation) Nama Bangunan SD-1, SD-2, SD- 3, SD-4, SD-5, SD-6, dan SD-7 CD-1, CD-2, CD- 3, KD-1, KD-2 KD-3 dan KD-4 SP-1, SP-2, SP-3, SP-4, dan SP-5 Spoil Bank Lokasi Hulu sungai jeneberang dekat kaldera Tengah sungai Jeneberang Hilir sungai Jeneberang dekat Waduk Bili-Bili Hulu Waduk Bili-Bili Fungsi Mengantisipasi erosi lateral dan aliran debris Menstabilkan dasar sungai, profil tebing sungai, mengendalikan arah aliran debris dan menampung sedimen Mengendalikan arah aliran debris dan menampung sedimen Mengurangi sedimentasi waduk Bili-Bili Pengelolaan Kontrol kekuatan dan pemeliharan rutin Kontrol kekuatan dan melakukan pemeliharaan rutin melibatkan masyarakat setempat Dikontrakkan ke swasta Potensi deposit total akibat longsoran kaldera mencapai 230 juta m 3 sebagian besar atau 60% merupakan volume sedimen yang terangkut di sepanjang sungai dan sisanya yang 40% masih tersisa di kaldera (Budiman.2012). Bangunan sabo dam yang di bagian hulu dan bagian tengah sungai Jeneberang mampu mengendalikan sedimen sebesar 21% dari total sedimen yang masuk ke sungai dan 36% berada di alur sungai. Berdasarkan hasil analisis dan pengukuran yang dilakukan menunjukkan bahwa bangunan sabo dam (SD) yang berada di hulu sungai Jeneberang mampu mengendalikan sedimen sebesar m 3 atau 35% dari total sedimen yang dikendalikan fasilitas bangunan sabo dam. Selanjutnya, peran konsolidasi dam (CD, KD) dan sand pocket (SP) sangat signifikan dalam mengendalikan sedimen. Hal ini ditunjukkan dari volume pengendalian sebesar m 3 atau 58%

125 105 dari total sedimen yang dikendalikan oleh fasilitas bangunan sabo dam. Jika dilihat dari fungsinya secara struktural maka efektifitas bangunan pengendali sedimen secara keseluruhan sangat signifikan dalam mengendalikan sedimen. Selanjutnya disajikan secara lengkap pada Tabel 30. Tabel 30 Kapasitas Pengendalian Sedimen di Hulu Sungai Jeneberang Item Bangunan Pengendali Sedimen Pengerukan (Excavation) Lokasi Hulu sungai jeneberang dekat kaldera Tengah sungai Jeneberang Hilir sungai Jeneberang dekat Waduk Bili-Bili Hulu Waduk Bili-Bili Kapasitas kendali tidak langsung Kapasitas kendali langsung Kapasitas total Pengendalian sabo dam Sedimen yg dikendalikan sabo dam Sedimen yang berada di alur sungai m m m m m m m m 3 35% 58% - 7% 21% dari total sedimen 36% dari total sedimen Untuk pengendalian erosi pada daerah hulu DAS Jeneberang dapat dilakukan beberapa tindakan pengendalian. Tindakan pengendalian erosi lahan yang memungkinkan dilakukan seperti guludan, terras dan checkdam (dam penghambat). Guludan dibentuk dari tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong lereng. Terras bangku dibuat dengan cara menggali tanah pada lereng dan meratakan bagian bawahnya sehingga terbentuk deretan seperti tangga atau bangku. Fungsinya adalah untuk mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga dapat mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan penyerapan air oleh tanah dan erosi dapat berkurang. Adapun bangunan checkdam dibuat dengan menempatkan papan,

126 106 balok kayu, batu atau tumpukan tanah untuk mengurangi erosi pada parit atau selokan untuk menghambat kecepatan air dan tanah terendapkan pada tempat tersebut (Tabel 31). Tabel 31 Jenis Tindakan Pengendalian Erosi Lahan Item Jenis Pengendalian Erosi Lahan Nama Guludan Terras Bangku Checkdam Fungsi Mengurangi panjang lereng, menahan air Mengurangi panjang lereng, menahan air Menghambat kecepatan air dan erosi parit Lokasi Lereng < 8% Lereng 2%-30% Area parit Sumber: (Arsyad,2006). Tindakan konservasi yang dilakukan di hulu DAS Jeneberang adalah dengan pembuatan teras yang dikombinasikan dengan penanaman memotong arah berlereng atau pembuatan saluran drainase. Teras yang dibuat berupa teras alami atau tereas bangku. Teras bangku dapat dibuat dengan penanaman rumput dibibir teras atau dapat disangga dengan batuan disamping teras sehingga massa tanah menjadi lebih stabil. Pembuatan teras bangku dengan saluran drainase paling banyak dilakukan seperti terlihat pada Gambar 37. Gambar 37 Tindakan Konservasi Teras Bangku dengan penanaman rumput.

127 Model Dinamik Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Sedangkan yang dimaksud dengan DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau, waduk atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). Keberadaan Waduk Bili-Bili yang melintang di tengah Sungai Jeneberang saat ini telah mulai memainkan perannya sehingga harus dapat diselamatkan untuk memenuhi keperluan irigasi, air baku, pengendali banjir, maupun untuk keperluan wisata dan nelayan waduk. Disamping itu aktifitas di daerah hulu juga harus ditata tanpa merugikan petani dari apa yang telah diperolehnya. Termasuk aktifitas pertambangan di daerah Sand-Pocket dan Sabo-Dam juga harus diefektifkan pengelolaannya. Oleh karena itu dalam upaya pengendalian sedimentasi di waduk Bili-Bili, visi pembangunan berkelanjutan harus dapat diimplementasikan. Pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat diartikan bahwa apapun bentuknya pembangunan harus dapat melindungi lingkungan dimana ataupun di sekitar pembangunan dilaksanakan, tetapi sebaliknya ketika pembangunan sudah berjalan maka lingkungan juga berkewajiban yang sama yaitu harus dapat menyelamatkan pembangunan, terutama proses operasionalnya. Demikian pula dengan keberadaan Waduk Bili-Bili disamping menjalankan fungsinya, juga harus dijaga keselamatannya dari gangguan lingkungan baik itu yang bersumber dari aktifitas manusia maupun yang bersumber dari proses alam. Mengingat banyaknya pihak yang harus terlibat dalam penanganan pengendalian sedimentasi di waduk maka dilakukan pendekatan kesisteman dan kebijakan yang diharapkan dapat diterima oleh semua pihak.

128 Pembuatan Model - Analisis Kebutuhan Pada penelitian ini analisis kebutuhan diarahkan pada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengendalian sedimentasi di waduk. Dalam penelitian ini yang mempunyai kepentingan yaitu: (1) masyarakat lokal, yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar waduk yang memanfaatkan waduk untuk berbagai kepentingan, (2) dinas instansi terkait, yaitu semua dinas instansi pemerintah yang mempunyai hubungan keterkaitan dengan waduk, (3) akademisi (peneliti), yaitu orang yang melakukan penelitian di daerah waduk, (4) lembaga swadaya masyarakat (LSM), yaitu lembaga yang dibentuk masyarakat setempat yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian waduk, dan (5) pihak swasta, yaitu pihak yang melakukan kegiatan usaha yang berkaitan dengan keberadaan waduk.dalam analisis kebutuhan dilakukan inventarisasi kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam sistem. Inventarisasi dilakukan melalui wawancara secara terbatas seperti yang disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Analisis kebutuhan Pelaku (stakeholders) No. Pelaku (stakeholders) Kebutuhan 1. Masyarakat lokal Kuantitas air dan efektifitas waduk tidak menurun Tersedianya lapangan kerja Pendapatan meningkat Kebersihan dan keindahan waduk terjaga 2. Dinas Instansi terkait Sedimentasi dapat dikendalikan Elevasi muka air waduk stabil Kuantitas air dan efektifitas waduk terjaga Peningkatan PAD Kesejahteraan masyarakat meningkat Kebersihan dan keindahan waduk terjaga 3. Akademisi Sedimentasi dapat dikendalikan Kuantitas air dan efektifitas waduk tetap baik Kebersihan dan keindahan waduk terjaga 4. LSM Kelestarian wilayah waduk terjamin Pendapatan masyarakat meningkat 5. Swasta/Pelaku usaha Kuantitas air dan efektifitas waduk baik Elevasi muka air waduk tetap stabil - Formulasi Permasalahan Formulasi ini merupakan aktifitas merumuskan permasalahan dalam pengendalian sedimentasi di waduk berkaitan dengan adanya perbedaan

129 109 kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada. Oleh karena itu, permasalahan dapat diformulasikan sebagai berikut: 1. Tidak diperhatikannya sedimentasi di waduk karena tidak adanya pemahaman mengenai dampaknya terhadap efektifitas waduk 2. Tidak diperhatikannya pola pemanfaatan tata guna lahan di kawasan hulu sehingga menyebabkan tingkat erosi dan sedimentasi yang tinggi 3. Tidak adanya pendekatan untuk melibatkan masyarakat di daerah tangkapan waduk dalam upaya mengendalikan sedimentasi di waduk - Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Eriyatno, 2003). Hal ini digambarkan dalam bentuk diagram causal loop (sebab-akibat). Diagram ini merupakan pengungkapan interaksi antara komponen didalam sistem yang saling berinteraksi dan mempengaruhi dalam kinerja sistem. Meningkatnya populasi penduduk mendorong masyarakat untuk meningkatkan pemanfaatan lahan yang kemudian akan mengurangi tutupan lahan yang ada. Dengan berkurangnya tutupan lahan akan meningkatkan erosi lahan dan terjadinya longsor yang pada akhirnya akan meningkatkan sedimentasi di waduk. Dengan demikian fungsi waduk menjadi tidak maksimal. Erosi yang terjadi selain meningkatkan sedimentasi juga akan menurunkan fungsi konservasi air. Melalui teknologi sabo, sedimentasi dapat dihambat selain itu sabo dapat berfungsi untuk meningkatkan konservasi air di sekitar sabo sehingga kelestarian sumberdaya lahan, air dan hutan dapat terjaga. Fungsi sabo juga dapat menahan sedimen (pasir) menguntungkan penduduk sekitar untuk melakukan penambangan pasir sebagai bahan bangunan. Hal ini tentu saja dapat dijadikan penghasilan tambahan bagi penduduk untuk peningkatan pendapatan mereka. Dengan adanya sedimentasi di waduk dapat menyebabkan menurunkan fungsi daya tampung waduk sebagai penyedia air baku, air irigasi, pembangkit listrik dan pengendali banjir wilayah hilir. Jika tidak berfungsi dengan baik dapat berpengaruh menurunnya produktifitas masyarakat sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat

130 110 juga akan menurun. Selanjutnya diagram lingkar sebab akibat tersebut diinterpretasi ke dalam diagram input-output seperti tertera dalam Gambar 38. INPUT TAK TERKENDALI TINGKAT EROSI DAS VOLUME SEDIMEN IKLIM CURAH HUJAN INPUT LINGKUNGAN PERATURAN PEMERINTAH KEBIJAKAN PEMDA KEBIJAKAN PU OUTPUT YANG DIKEHENDAKI JUMLAH SEDIMEN TERKENDALI FUNGSI UTAMA WADUK TERPENUHI PARTISIPASI MASYARAKAT KESEJAHTERAAN MASY. MENINGKAT KUANTITAS AIR WADUK STABIL MODEL PENGENDALIAN SEDIMENTASI WADUK INPUT TERKENDALI TUTUPAN LAHAN JUMLAH CHECK DAM TINDAKAN KONSERVASI JUMLAH PENDUDUK OUTPUT TAK DIKHENDAKI DEGRADASI LAHAN DI HULU DAS PENINGKATAN LAJU EROSI KERUSAKAN LINGKUNGAN KELESTARIAN WADUK TERANCAM PENGELOLAAN PENGENDALIAN SEDIMENTASI WADUK Gambar 38 Diagram input-output Model Pengendalian Sedimentasi Waduk. Berdasarkan analisis sistem maka rancangan model pengendalian sedimentasi waduk dibangun melalui 4 subsistem, yaitu : (a) subsistem kapasitas waduk, (b) subsistem pengendalian sedimentasi waduk, (c) subsistem erosi lahan, (d) subsistem sosial ekonomi. Subsistem kapasitas waduk adalah dampak dari erosi lahan dan longsoran di wilayah hulu waduk terhadap kemampuan waduk untuk melakukan fungsinya sebagai waduk serbaguna. Subsistem pengendalian sedimentasi waduk adalah sistem pengendalian dari beberapa bangunan pengendali sedimen terhadap kapasitas longsoran kaldera. Subsistem erosi lahan adalah sistem erosi lahan dan tingkat sedimentasi yang terjadi pada wilayah sub DAS Jeneberang. Subsistem sosial ekonomi adalah partisipasi masyararakat dalam melakukan usaha pengendalian sedimentasi waduk melalui penambangan dengan masyarakat di bagian hulu waduk dalam pemanfaatan lahan sehingga dapat mengefektifkan pengendalian sedimentasi waduk. Adapun hubungan antara subsistem dijelaskan pada Gambar 39.

131 111 Populasi Kesejahteraan (-) (+) (+) Penduduk Penduduk Tutupan Lahan (+) Fungsi waduk Volume hasil tambang Pendapatan penambang Sedimentasi Waduk Erosi Lahan dan Longsor (+) Pajak dan retribusi Kapasitas waduk (-) (-) Submodel sosial ekonomi Submodel kapasitas waduk (+) sedimen Erosivitas Erodibilitas tanah pengerukan Petambang (-) (+) topografi Konservasi lahan Massa longsoran Teknologi Sabo Submodel erosi lahan Submodel Pengendalian sedimen Material tambang (+) Gambar 39 Model Pengendalian Sedimentasi Waduk Konseptualisasi Model Dalam memahami perilaku sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili- Bili, dibangun suatu model yang bertujuan untuk menjelaskan perilaku sistem tersebut. Asumsi desain model dibangun berdasarkan karakteristik sub DAS Jeneberang, alur kejadian longsoran Kaldera dan bangunan pengendalinya, pola pengelolaan kegiatan penambangan berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh. Model ini dibangun dengan menggunakan 4 sub model yaitu: (1) sub model pengendalian longsoran, (2) sub model erosi lahan, (3) sub model sosial ekonomi, dan (4) sub model kapasitas waduk. Berdasarkan keempat sub model kemudian dibuat hubungannya berupa kausal loop yang menjelaskan bahwa peningkatan volume longsoran dan erosi lahan menyebabkan peningkatan sedimentasi waduk yang mengakibatkan menurunnya kapasitas waduk. Selain itu, peningkatan sumber sedimen

132 112 mempengaruhi peningkatan kapasitas volume bahan material tambang galian sehingga mendorong peningkatan pendapatan pengelola penambangan. Pada sub model pengendalian longsoran merupakan loop negatif karena peningkatan volume longsoran dapat menyebabkan terjadinya peningkatan sedimentasi waduk yang dapat mengakibatkan menurunnya kapasitas waduk. Pada sub model sosial ekonomi merupakan loop positif karena peningkatan volume sedimen dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan penambangan sehingga mendorong untuk pertumbuhannya. Selengkapnya disajikan pada Gambar 40. Fungsi Waduk (-) Pendapatan Penduduk (+) Kesejahteraan Penduduk (+) (+) (-) (+) (-) Tutupan Lahan Populasi Penduduk Sedimentasi Waduk (-) Erosi Lahan dan Longsor (-) (-) Pemanfaatan Lahan (+) Petambang (-) (-) Kelestarian SD lahan, air dan hutan (+) Konservasi Air (+) Teknologi Sabo (+) (-) Gambar 40 Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) model pengendalian sedimen di waduk. Simulasi model menggambarkan dinamika peningkatan volume sedimen longsoran dan erosi lahan, keuntungan ekonomi terhadap pengelola penambang, serta dampak tingkat sedimentasi di waduk yang ditunjukkan melalui nilai indeks kapasitas waduk yaitu perbandingan antara tingkat sedimentasi waduk dan kapasitas waduk. Kondisi awal dari sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili menggambarkan adanya ancaman peningkatan volume sedimen akibat longsoran dan erosi lahan yang masuk sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan

133 113 sedimentasi di waduk. Dengan demikian untuk mencapai tujuan dari sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili agar dapat berkelanjutan dengan tercapainya umur fungsi waduk menjadi lebih lama mendekati umur rencana, maka konseptual sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili dibangun seperti nampak pada Gambar 41. Skenario Koreksi Tingkat Sedimentasi Pengelolaan Penambangan Sub Model Pengendalian Sedimen Sedimen akibat longsoran Kaldera Sub Model Erosi Lahan Sedimen akibat erosi lahan Sub Model Kapasitas Waduk Kapasitas waduk Tingkat Sedimentasi waduk Koef. Daya Tampung Sub Model Sosial Ekonomi Pendapatan Penambang Pajak Penambang Partisipasi Masyarakat Indikator Indeks Kapasitas Waduk Pendapatan Penambang Pendapatan Pemerintah Partisipasi Masyarakat Gambar 41 Model Konseptual Sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili. Skenario yang dibuat sebagai tindakan koreksi pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili adalah berupa tindakan koreksi pada peningkatan volume sedimen, pengendalian jumlah volume sedimen. Tindakan koreksi terhadap peningkatan volume sedimen adalah tindakan untuk mengendalikan jumlah volume sedimen akibat longsor maupun erosi lahan. Hal ini dimaksudkan agar jumlah sedimen yang masuk ke waduk Bili-Bili dapat dikendalikan sehingga meningkatkan umur waduk. Skenario dilakukan untuk mengupayakan tercapainya indeks kapasitas waduk sehingga Waduk Bili-Bili dapat berfungsi secara berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

134 Spesifikasi Model Konseptual model yang telah dibangun selanjutnya dibuat dalam bentuk stock dan flow. Diagram tersebut dibuat dengan bantuan perangkat lunak Stella Ver.9. Pada tahapan ini model dalam stock dan flow dikuantifikasi untuk selanjutnya dapat disimulasikan. Adapun spesifikasi model adalah sebagai berikut: a. Sub model Pengendalian Longsoran Sedimentasi akibat longsoran Kaldera mengalir melalui sungai Jeneberang terutama pada musim hujan yaitu bulan Oktober sampai dengan bulan Juni. Pada bagian hulu sungai Jeneberang terjadi erosi lateral yang berkembang dengan cepat dan menyebabkan terjadinya pergerakan sedimen (debris flow). Pergerakan tersebut terjadi dalam dua cara, yaitu secara massa (massive movement) dan secara individu (individual movement). Kedua cara pergerakan sedimen tersebut bergantung pada kemiringan dasar sungai, debit aliran dan karakteristik dari material sedimen (Budiman, 2012). Pergerakan sedimen yang terjadi pada Kaldera Gunung Bawakaraeng adalah secara massa yang disebabkan oleh karena gaya gravitasi lebih besar daripada gaya geser. Potensi massa longsoran yang diperhitungkan adalah sebesar m 3. Laju massa longsoran diperoleh berdasarkan fraksi longsoran yang terjadi setiap tahun. Massa tanah longsoran selanjutnya ditampung oleh bangunan sabo penahan yang terdiri dari 7 seri bangunan sabo dam. Kemudian sabo konsolidasi juga terdiri dari 7 seri bangunan sabo. Selanjutnya, bangunan sand pocket sebagai seri bangunan pengendali sedimen dan penampung sedimen terdiri dari 5 seri bangunan sabo. Sedimen longsor diperoleh setelah memperhitungkan aktifitas penambangan dan pengerukan yang dilakukan untuk mengurangi volume sedimen yang masuk ke waduk. Hasil akhir dari sub model menggambarkan jumlah volume sedimentasi yang diakibatkan oleh longsoran Kaldera dan peran bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen serta kapasitas volume penambangan pada bangunan sand pocket. Dari Gambar 42 dijelaskan keterkaitan antara masing-masing variabel yang saling mempengaruhi pada sub model pengendali sedimen. Adapun variabel

135 115 dan parameter yang digunakan pada sub model pengendalian sedimen disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Variabel dan Parameter pada Sub model Pengendalian Longsoran No Variabel dan Parameter Dimensi Nilai Keterangan 1. Massa Longsoran ton Data sekunder 2. Kapasitas Sabo Penahan % 2,65 Hasil Analisis 3. Kapasitas Sabo Konsolidasi % 3,48 Hasil Analisis 4. Kapasitas Sabo Sand Pocket % 1,44 Hasil Analisis 5. Kapasitas Penambangan m Data sekunder 6. Kapasitas Pengerukan m Data sekunder Submodel Pengendali Sedimen ~ f raksi Longsoran Potensi massa tanah longsoran Massa tanah Longsoran Laju Massa tanah Longsor Massa tanah Longsoran kapasitas sabodam penahan Sabo Penahan Kapasitas sabo dam konsolidasi Laju sendimen Penahan Sabo konsolidasi Sabo Penahan Kapasitas kendali sand pocket Laju sedimen konsolidasi sandpocket Laju sedimen sandpocket SP1 SP2 SP3 SP4 SP5 exacav ation EOR laju Sand mining Sand mining Laju Sedimen longsor Laju sedimentasi Longsoran Gambar 42 Sub Model Pengendali Sedimen.

136 116 b. Sub model Erosi Lahan Sub model erosi lahan dibangun berdasarkan persamaan erosi yang umum digunakan yaitu USLE. Melalui persamaan tersebut laju erosi diperhitungkan berdasarkan faktor erosivitas, erodibilitas, intensitas curah hujan, topografi dan tindakan konservasi yang dilakukan. Melalui variabel-variabel tersebut akan diperoleh tingkat erosi lahan yang terjadi. Selanjutnya, tingkat laju sedimen dihitung dengan menggunakan koefisien Sediment Delivered Ratio (SDR) berdasarkan luas daerah tangkapan waduk. volume sedimentasi yang diakibatkan oleh erosi lahan dan melalui beberapa variabel yang teridentifikasi dilakukan intervensi untuk skenario. Dari sub model erosi lahan diperoleh volume sedimen yang diakibatkan dari terjadinya erosi lahan di hulu DAS Jeneberang. Selengkapnya disajikan pada Gambar 43. sub model erosi lahan Sedimentasi Lahan Vegetasi laju sendimentasi Laju erosi Erosi SDR Energi Kinetik Ch HH per bulan Faktor Bertanam Faktor Baris Konserv asi Faktor Erosiv itas Faktor Sedimentasi Teras Kontur Curah Hujan Curah Hujan Max Debu Slope Panjang Lereng Faktor Topograf i Faktor Erodibilitas Ukuran Struktur Tanah Pasir Slope Bahan Organik Liat Kode Struktur Tanah Kelas Permeabilitas Prof il Gambar 43 Sub Model Erosi Lahan. Adapun variabel dan parameter yang digunakan pada Sub model Erosi Lahan disajikan pada Tabel 34.

137 117 Tabel 34 Variabel dan Parameter pada Sub model Erosi Lahan No Variabel dan Parameter Dimensi Nilai Keterangan 1. Curah Hujan bulanan cm/bln 26,15 Data sekunder 2. Curah Hujan maksimum cm/bln 64,8 Data sekunder 3. HH per bulan hari 12 Data sekunder 4. Panjang Lereng m 8 Hasil Analisis 5. Slope % 20 Hasil Analisis 6. SDR - 0,25 Hasil Analisis 7. Pasir % 10,6 Data sekunder 8. Debu % 35,6 Data sekunder 9. Liat % 13,3 Data sekunder 10. Vegetasi - 0,30 Simulasi 11. Koefisien Pengelolaan - 1 Simulasi c. Sub model Kapasitas Waduk Dampak dari erosi lahan dan longsoran di wilayah hulu waduk terhadap kemampuan waduk adalah menurunnya kapasitas waduk untuk melakukan fungsinya sebagai waduk serbaguna. Melalui beberapa variabel yang mempengaruhi laju sedimentasi waduk yang masuk dibandingkan dengan kapasitas waduk menentukan indeks kapasitas waduk. Selanjutnya disajikan pada Gambar 44. Submodel waduk Sedimentasi Lahan Sedimen longsor Indek keberlanjutan waduk Kapasitas waduk Q outf low koef isien kapasitas tampung laju sedimentasi waduk Sedimentasi Waduk outf low sediment Gambar 44 Sub Model Kapasitas Waduk. Adapun variabel dan parameter yang digunakan pada sub model Kapasitas Waduk disajikan pada Tabel 35.

138 118 Tabel 35 Variabel dan Parameter pada Sub model Kapasitas Waduk No Variabel dan Parameter Dimensi Nilai Keterangan 1. dead storage Waduk m Data sekunder 2. Koef. Kapasitas Tampung % 21 Data sekunder 3. Sedimen Lahan ton Dari sub model Lahan 3. Sedimen Longsor ton Dari sub model Longsor d. Sub model Sosial Ekonomi Hasil Analisis Hasil Analisis Sub model ini memperhitungkan komponen-komponen yang berperan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat maupun pemerintah dalam hal penarikan pajak maupun retribusi. Pendapatan masyarakat diperhitungkan berdasarkan pendapatan penambang dan pendapatan petani. Selain itu juga dampak dari aktifitas ini dapat meningkatkan paritisipasi masyarakat untuk ikut berperan atau terlibat untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Untuk mendapatkan gambaran hubungan antara komponen pada sub model sosial ekonomi disajikan pada Gambar 45. sub model sosial dan ekonomi Sand mining laju penambangan Harga Batu pecah per m3 Volume penambangan Laju Penambangan Fraksi Penambang HS Rambutan HS ManggaHS markisa HS Kentang HS Jeruk Partisipasi Masy arakat HS PisangHS Durian HS sawihs wortel Luas lahan HS kubis HS Bawang harga pasir per m3 laju pend penambang Pendapatan kotor pendapatan penambang Pendapatan Pengeluaran Pendapatan Petani Produktiv itas Laju Pendapatan Inf lasi Kelas Erosi SL sawi SL Wortel SL Pisang SL Jeruk SL bawang SL Kubis SL Mangga SL Durian SL Markisa SL Rambutan SL Kentang Pajak Erosi Gambar 45 Sub Model Sosial Ekonomi.

139 119 Dari sub model Sosial ekonomi dibangun berdasarkan besarnya partisipasi masyarakat yang terlibat dan tingkat pendapatan yang diperoleh berasal dari aktifitas penambangan yang dilakukan dalam kaitannya dengan pengendalian sedimentasi waduk dan hasil pertanian di hulu DAS. Aktifitas penambangan (sand mining) terutama dilakukan di SP-1 sampai dengan SP-5. Berbagai jenis hasil tambang berupa pasir dan batu (bolder) diambil menggunakan alat berat dan diproses menggunakan alat pemecah batu (stone crusher). Hasil pertanian diperoleh berdasarkan data sekunder harga satuan komoditi buah dan sayuran dengan satuan lahan pertanian. Adapun variabel dan parameter yang digunakan pada sub model Sosial Ekonomi disajikan pada Tabel 36. Tabel 36 Variabel dan Parameter pada Sub model Sosial Ekonomi No Variabel dan Parameter Dimensi Nilai Keterangan 1. Kapasitas Sand Mining ton Dari sub model Longsor Hasil Analisis 2. Erosi ton/ha Dari sub model Erosi Lahan Hasil Analisis 3. Harga Batu Pecah Rp/m Data sekunder 5. Harga Pasir Rp/m Data sekunder 6. Pajak Retribusi Persen 15 Data sekunder 7. Fraksi Penambang Rp/orang Data sekunder 8. HS Buah Durian Rp/kg Data sekunder 9. HS Buah Rambutan Rp/kg Data sekunder 10. HS Buah Mangga Rp/kg Data sekunder 11. HS Buah Jeruk dan Pisang Rp/kg Data sekunder 12. HS Buah Markisa Rp/kg Data sekunder 13. HS Sayuran Kentang Rp/kg Data sekunder 14. HS Sayuran Bawang, Kubis, Sawi dan Wortel Rp/kg Data sekunder 15. Total SL buah dan sayuran Satuan Lahan 28 Data sekunder 16. SL Kubis Satuan Lahan 7 Data sekunder 17. SL Kentang Satuan Lahan 6 Data sekunder 18. SL Wortel dan Rambutan Satuan Lahan 3 Data sekunder 19. SL Durian dan Bawang Satuan Lahan 2 Data sekunder 20. SL Jeruk, Mangga, Markisa, Pisang dan Sawi Satuan Lahan 1 Data sekunder Data Harga Satuan (HS) Buah dan Sayuran menggunakan data sekunder dari hasil penelitian Saida (2011) yang dilakukan di hulu DAS Jeneberang berdasarkan 28 bagian Satuan Lahan (SL) homogen. Buah yang disurvey adalah mangga, rambutan, jeruk, durian, markisa dan pisang. Adapun sayuran adalah kubis, kentang, sawi, wortel dan daun bawang.

140 Evaluasi Model Untuk mengevaluasi model ada dua jenis evaluasi yang dilakukan yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan akan kesamaan struktur model terhadap kondisi kenyataan yang sebenarnya. 1: 2: 3: 4: 1: Sedimentasi Waduk 2: Sedimen Lahan 3: Sedimen longsor 4: Kapasitas waduk : 2: 3: 4: 1: 2: 3: 4: Page Tahun 2 2 Gambar 46 Hasil simulasi volume sedimentasi waduk, sedimen longsor dan sedimentasi lahan. 1: 2: 3: 1: Pendapatan 2: Volume penambangan 3: Partisipasi Masy arakat 2e+016, 3e+009, : 2: 3: 1e+016, 1.5e : 2: 3: Page Tahun 21:04 06 Agu 2012 Gambar 47 Hasil simulasi volume penambangan, pendapatan dan partisipasi masyarakat.

141 121 Pada model pengendalian sedimentasi waduk secara empiris menunjukkan bahwa peningkatan volume sedimentasi di waduk lebih dipengaruhi oleh volume sedimentasi akibat longsoran kaldera jika dibandingkan dengan sedimentasi yang disebabkan oleh erosi lahan. Selanjutnya, volume penambangan yang diperoleh dari sand mining mempengaruhi tingkat pendapatan dan partisipasi masyarakat. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 46 dan 47. Selain uji validitas struktur juga dilakukan uji validitas kinerja model. Validasi kinerja model adalah aspek pelengkap dalam metode berfikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah dengan membandingkan validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris (Muhammadi dkk., 2001). Validasi perilaku model dilakukan dengan menggunakan Absolute Mean Error (AME) dan Absolute Variation Error (AVE). AME adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual. AVE adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap nilai aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 1-10%. Rumus untuk menghitung nilai AME dan AVE adalah: dimana: AME = S A A x100% ; AVE = Ss Sa Sa x100% S = N Si A = Ai N Ss = (Si S)2 N Sa = (Ai A)2 N S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan nilai interval waktu pengamatan. Ss dan Sa adalah nilai standar deviasi simulasi dan nilai standar deviasi aktual. Struktur model pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili yang menggambarkan interaksi antara komponen sedimentasi waduk dengan sumber sedimen akibat longsoran dan erosi lahan harus bersesuaian dengan keadaan

142 122 nyata. Hubungan antara variabel sedimentasi waduk, longsoran dan erosi lahan serta pendapatan masyarakat yang dihasilkan harus bersifat positif. Kecenderungan keadaan tingkat sedimentasi waduk pada lima tahun terakhir ( ) dengan laju peningkatan sedimen yang bervariasi dan menurun seiring dengan berkurangnya sumber sedimen, tingkat sedimentasi waduk tahun simulasi sampai tahun 2050 mengalami kecenderungan yang bervariasi dan menurun secara eksponensial. Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Data validasi disajikan pada Tabel 37 dan Gambar 48. Tabel 37 Perbandingan Volume Sedimentasi Waduk Aktual dan Hasil Simulasi Tahun Tahun Aktual Simulasi , , , , , ,0 Mean , Var 6,29x ,09x10 12 AME 0,0162 (1,62%) AVE 0,0316 (3,16%) Vol. kumulatif dead storage (juta m3) Aktual Simulasi Tahun Gambar 48 Volume Sedimentasi Waduk Aktual dan Simulasi Tahun

143 123 Hasil validasi berdasarkan volume sedimentasi waduk menunjukkan bahwa, AME menyimpang sebesar 1,62% untuk peningkatan sedimentasi waduk dari data aktual dan AVE menyimpang sebesar 3,16%. Batas penyimpangan variabel tersebut pada parameter AME dan AVE adalah < 10%, menunjukkan bahwa model mampu mensimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan Skenario Model Pengendalian Skenario sistem pengendalian Sedimentasi waduk Bili-Bili dilakukan berdasarkan dari konseptual model yang diperoleh. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan terdiri dari 2 tindakan yaitu pengelolaan tingkat sedimentasi dan pengelolaan penambangan. Tindakan koreksi yang dilakukan kemudian diuji efektifitasnya dengan indikator indeks kapasitas waduk, tingkat pendapatan penambang, pemerintah (pajak) dan partisipasi masyarakat. Berdasarkan tindakan koreksi tersebut kemudian disimulasikan pada model pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili. Adapun untuk melihat efektifitasnya dilakukan dengan melihat dari indikator indeks kapasitas waduk yang mana diidentifikasikan berdasarkan tahun terlampauinya nilai 1 dari indeks kapasitas waduk. Hal ini menunjukkan kapasitas maksimum dari waduk telah terlampaui. Semakin lambat tercapainya nilai 1 maka semakin efektif tindakan tersebut. Untuk partisipasi masyarakat dan tingkat pendapatan penambang tingkat efektifitas koreksinya dapat diidentifikasi dari semakin besar partisipasi masyarakat dan pendapatan penambang, masyarakat dan pajak, maka semakin efektif tindakan koreksi tersebut. Simulasi terhadap model pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili dilakukan dengan menggunakan kriteria pesimis, moderat dan optimis. Kriteria pesimis dilakukan untuk keadaan eksisting dimana tidak dilakukan tindakan koreksi apapun terhadap pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk. Kemudian kriteria optimis yaitu dengan melakukan tindakan koreksi yang maksimal untuk pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk, adapun kriteria moderat adalah kriteria dimana dilakukan tindakan koreksi yang dilakukan secara lebih bijak dan memperhatikan kemampuan dalam melakukan pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili.

144 124 Simulasi dengan menggunakan kriteria pesimis, moderat dan optimis, dilakukan beberapa tindakan koreksi pada kemampuan penambangan (sand mining), aktifitas pengerukan (excavation) dan pengoperasian pintu waduk untuk pengelolaan outflow dari waduk. Skenario model disusun berdasarkan komponenkomponen yang berperan penting pada masing-masing sub model. Komponenkomponen yang diskenariokan adalah aktifitas penambangan, aktifitas pengerukan dan pengoperasian pintu waduk untuk pengelolaan outflow dari waduk. Kombinasi dari ketiga komponen-komponen tersebut menghasilkan tiga skenario pengendalian sedimentasi waduk, yaitu: 1. Skenario pesimis: keadaan eksisting dimana tidak dilakukan perubahan atau kebijakan (do nothing). Pada keadaan ini komponen penambangan yang dilakukan pada SP1 = 2000 m 3, SP2= 900 m 3, SP3= 1230 m 3, SP5= 200 m 3 dan EOR= 3000 m 3. Komponen pengerukan (excavation)= m 3, dan outflow= 0,01. Tidak ada tindakan konservasi di hulu DAS, nilai P=1. 2. Skenario moderat: keadaan dimana dilakukan perubahan atau kebijakan sesuai kemampuan yang ada untuk memperoleh keadaan terbaik dalam mengendalikan sedimentasi waduk. Pada keadaan ini komponen penambangan yang dilakukan pada SP1 = 2600 m 3, SP2= 1200 m 3, SP3= 1600 m 3, SP5= 260 m 3 dan EOR= 3900 m 3. Komponen pengerukan (excavation)= m 3, dan outflow= 0,013. Ada tindakan konservasi di hulu DAS yaitu dengan membuat teras bangku tradisional, nilai P=0,4. 3. Skenario optimis: keadaan dimana dilakukan perubahan atau kebijakan secara maksimal untuk memperoleh keadaan terbaik dalam mengendalikan sedimentasi waduk. Pada keadaan ini komponen penambangan yang dilakukan pada SP1 = 3000 m 3, SP2= 1350 m 3, SP3= 1845 m 3, SP5= 300 m 3 dan EOR= 4500 m 3. Komponen pengerukan (excavation)= 0 m 3, dan outflow= 0,02. Tindakan konservasi di hulu DAS dilakukan secara optimal yaitu dengan membuat teras bangku konstruksi baik, nilai P=0,04. Dari hasil simulasi yang dilakukan diperoleh bahwa pada indikator kapasitas waduk menunjukkan bahwa skenario moderat dan optimis lebih baik dibandingkan dengan kondisi eksisting (pesimis). Pada keadaan pesimis, indeks

145 125 kapasitas waduk bernilai 1 pada tahun Hal ini berarti bahwa pada tahun 2022 kapasitas waduk akan terancam tidak berfungsi lagi karena volume sedimentasi yang masuk sudah maksimal dan sangat bergantung kepada kemampuan debit outflow sedimen yang dilepaskan. Nampak dari gradien grafik yang cenderung menurun tetapi tetap dalam level yang mengkhawatirkan. Hasil simulasi ketiga skenario disajikan pada Gambar 49. Indeks Kapasitas waduk 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 Pesimis Optimis Moderat 0 tahun Gambar 49 Perbandingan simulasi Indeks Kapasitas Waduk. Jika dilakukan skenario moderat maka indeks kapasitas waduk yang merupakan penggambaran kemampuan kapasitas waduk dalam menampung sedimentasi yang terjadi, menunjukkan bahwa kapasitas waduk yang terancam akan dapat dikendalikan dengan baik pada tahun Dengan skenario moderat pada tahun 2017 indeks kapasitas waduk adalah 0,8 dan mencapai nilai tertinggi pada tahun 2022 yaitu 0,83 namun kemudian dapat dikendalikan dan seterusnya menurun lebih cepat dibandingkan dengan keadaan pesimis. Adapun untuk kondisi optimis menunjukkan pada tahun 2016 nilai indeks kapasitas paling maksimal mencapai nilai 0,45. Hal ini berarti kapasitas waduk paling tinggi hanya tertampung 45 persen dari kapasitas maksimum. Selanjutnya, berdasarkan hasil simulasi submodel kapasitas waduk menunjukkan pada skenario moderat dan optimis dapat memberikan keadaan yang lebih baik dari kondisi eksisting. Pada skenario eksisting kapasitas waduk yang secara teknis adalah sebesar m 3 akan terlampaui karena kapasitas

146 126 waduk telah mencapai m 3 pada tahun 2022 dan mencapai titik tertinggi sebesar m 3 pada tahun 2027 sehingga waduk akan terancam tidak akan berfungsi dengan baik. Pada skenario moderat volume kapasitas waduk tertinggi terjadi pada tahun 2023 sebesar m 3 dan pada skenario optimis volume kapasitas waduk terjadi pada tahun 2023 sebesar m 3. Secara lengkap grafik volume sedimentasi waduk disajikan pada Gambar 50. Kapasitas Tampung Mati (juta m3) Pesimis Optimis Moderat Tahun Gambar 50 Perbandingan simulasi Tingkat Sedimentasi Waduk. Kapasitas waduk merupakan parameter yang penting dalam pengendalian sedimentasi waduk, sehingga dari hasil simulasi untuk keadaan yang moderat dengan melakukan tindakan koreksi mampu untuk dikendalikan dengan baik sehingga waduk akan berfungsi dan berkelanjutan. Adapun untuk skenario optimis dibutuhkan usaha yang lebih optimal sehingga tentu saja memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya. Untuk partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa tenaga kerja yang diserap pada keadaan eksisting masih belum optimal jika dibandingkan dengan keadaan yang lebih moderat. Dengan tindakan koreksi yang moderat diperoleh peningkatan penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi sehingga akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada komponen partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa pada skenario pesimis tingkat partisipasi masyarakat yang dilihat dari kemampuan dalam

147 127 penyerapan tenaga kerja adalah sebanyak 827 orang pada tahun 2012, pada tahun 2025 sebanyak orang dan pada tahun 2050 mencapai orang. Untuk skenario moderat, kemampuan dalam penyerapan tenaga kerja sebanyak orang pada tahun 2012, pada tahun 2025 sebanyak orang dan pada tahun 2050 mencapai orang. Untuk skenario optimis, kemampuan dalam penyerapan tenaga kerja sebanyak orang pada tahun 2012, pada tahun 2025 sebanyak orang dan pada tahun 2050 mencapai orang. Hal ini disajikan pada Gambar 51 berdasarkan hasil simulasi untuk keadaan eksisting dan keadaan dengan perlakuan koreksi secara moderat dan optimis. 160 Partisipasi Masyarakat (ribu orang) Pesimis Optimis Moderat 20 0 tahun Gambar 51 Perbandingan simulasi Tingkat Partisipasi Masyarakat. Berdasarkan hasil simulasi model tersebut menunjukkan bahwa pada skenario pesimis tingkat partisipasi masyarakat cenderung rendah. Hal ini jika dilihat dari peningkatan jumlah tenaga kerja yang diserap tidak terlalu banyak untuk jangka waktu sampai dengan tahun Untuk skenario moderat dan optimis nampak lebih baik dalam hal penyerapan tenaga kerja. Pada skenario moderat kemampuan tingkat partisipasi masyarakat mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan skenario pesimis dan skenario optimis bahkan mencapai tiga kali lipat dibandingkan dengan skenario pesimis. Demikian pula pada komponen pendapatan masyarakat menunjukkan bahwa pada skenario pesimis tingkat pendapatan masyarakat yang dilihat dari kemampuan dalam memperoleh penghasilan dari setiap masyarakat adalah sebesar Rp pada tahun 2012, pada tahun 2025 sebesar Rp dan pada tahun 2050 mencapai Rp

148 128 Untuk skenario moderat, kemampuan dalam memperoleh penghasilan sebesar Rp pada tahun 2012, pada tahun 2025 sebanyak Rp dan pada tahun 2050 mencapai Rp Untuk skenario optimis, kemampuan dalam memperoleh penghasilan sebesar Rp pada tahun 2012, adapun untuk tahun 2025 diperoleh sebesar Rp dan kemudian yang diperoleh pada tahun 2050 mencapai Rp selanjutnya, hal ini disajikan pada Gambar 52 berdasarkan hasil simulasi untuk keadaan eksisting dan keadaan dengan perlakuan koreksi secara moderat dan optimis Pendapatan Masyarakat (juta rp) Pesimis Optimis Moderat tahun Gambar 52 Perbandingan simulasi Tingkat Pendapatan Masyarakat. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa pada skenario moderat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan skenario pesimis. Adapun skenario optimis memberikan hasil yang jauh lebih baik dari skenario pesimis. Namun demikian pada skenario optimis perlu diperhatikan kemampuan dalam menjalankannya. Hal ini dikarenakan pada skenario optimis membutuhkan dukungan finansial yang tinggi untuk memperoleh hasil yang maksimal sesuai skenario yang direncanakan. Untuk itu pilihan skenario moderat masih lebih baik karena juga mempertimbangkan hal-hal yang menjadi hambatan dalam menjalankannya. Skenario moderat dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan finansial dan sarana prasarana yang ada sehingga tidak membebani dalam pelaksanaannya namun tetap memperoleh hasil yang maksimal dalam mencapai tujuan untuk mengendalikan sedimentasi waduk.

149 129 Pendapatan petani di hulu DAS Jeneberang secara signifikan dipengaruhi oleh tingkat erosi lahan yang terjadi. Peningkatan erosi yang terjadi secara akumulasi berpengaruh untuk mengurangi pendapatan petani secara nyata. Gradien peningkatan erosi lahan diikuti dengan penurunan gradien pendapatan petani, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi erosi lahan yang terjadi akan menurunkan pendapatan petani. Hal ini disajikan pada Gambar 53. 1: 2: 1: Erosi 2: Pendapatan Petani e+010, 1 1: 2: e+010, : 2: Page Tahun 22:17 06 Agu 2012 Gambar 53 Perbandingan Tingkat erosi lahan dan Pendapatan petani Strategi Model Pengendalian Penggundulan hutan dan perambahan hutan yang merupakan daerah konservasi dan kawasan penyangga di kawasan gunung Bawakaraeng menyebabkan lereng-lereng hutan telah berubah fungsi menjadi kebun. Perambahan hutan memang tidak mudah dicegah karena aktivitas masyarakat akibat desakan membengkaknya jumlah penduduk dan makin sempitnya lahan membuat mereka mendaki membuka lahan-lahan baru. Lahan pertanian, perkebunan, hingga permukiman, semakin mendekati daerah hulu, yang semestinya menjadi daerah hijau. Rusaknya lingkungan di kawasan hulu tersebut merupakan salah satu penyebab longsornya dinding kaldera. Longsornya dinding kaldera yang membawa sisa-sisa material vulkanik tersebut berdampak meningkatnya tingkat sedimentasi waduk yang berada di bagian hilir sungai Jeneberang.

150 130 Pengelolaan daerah tangkapan air sering kali dianjurkan sebagai cara terbaik untuk mengatasi permasalahan sedimentasi waduk. Penekanan laju erosi di daerah tangkapan waduk dapat dilakukan dengan teknik konservasi, baik secara mekanis maupun vegetatif, atau kombinasi dari keduanya. Penekanan laju erosi di daerah tangkapan akan berhasil dengan baik bila gangguan aktivitas manusia terhadap lahan di kawasan hulu dapat dikurangi atau ditekan serendah mungkin. Kecenderungan terjadinya penurunan kapasitas waduk Bili-Bili diakibatkan tingginya laju sedimentasi sehingga volume sedimen yang masuk melebihi kapasitas yang diperkenankan (dead storage). Upaya pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili dapat dilakukan dengan beberapa alternative skenario. Dari tiga skenario yang diusulkan, maka skenario moderat merupakan pilhan yang paling optimal karena dengan menggunakan sumberdaya yang cukup telah dapat memberikan manfaat yang maksimal, khususnya jika dipandang dari aspek sosial ekonomi. Skenario moderat secara praktis akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk terutama berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam hal penyerapan tenaga kerja. Seperti telah dikemukakan bahwa erosi dan produksi sedimen akan mengancam keberlanjutan fungsi waduk. Tanpa mengurangi upaya perbaikan penggarapan lahan di wilayah hulu dan tengah, sektor pertambangan secara signifikan telah turut mempertahankan kapasitas tampung waduk. Selain itu, Peningkatan berbagai aktifitas perekonomian pada sektor pertanian di wilayah hulu dan tengah telah diperkirakan meningkatkan suplai sedimen ke dalam waduk. Untuk itu diperlukan kerjasama antara masyarakat pengguna lahan di wilayah hulu dan tengah dan masyarakat pengguna jasa waduk untuk menjaga agar seluruh fungsi waduk tetap berfungsi. Berdasarkan hasil penelitian ini maka ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi peningkatan produksi sedimen, yaitu pada tingkat sumber erosi lahan, dengan memperbaiki cara-cara penggunaan lahan, dan pada tampungan di sejumlah bangunan pengendali sedimen sabo dam dengan melakukan penambangan pasir dan batu. Kapasitas total tampungan bangunan pengendali direncanakan melampaui intensitas sedimen yang masuk, tetapi dengan adanya penambangan maka kapasitas tersebut tetap dapat dipertahankan.

151 131 Hal ini tentu saja sangat membantu pengendalian sedimentasi yang masuk ke waduk Bili-Bili. Namun demikian aktifitas penambangan tetap harus dijaga dengan memberikan persyaratan-persyaratan yang harus dipatuhi, yaitu penambangan harus terbatas sampai pada dasar dan tebing sungai semula. Hal ini untuk mencegah terjadinya kerusakan pada bangunan pengendali sedimen sabo dam. Selanjutnya, direkomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Gowa selaku pengambil kebijakan khususnya di hulu DAS Jeneberang agar tidak membuka areal baru khususnya bagi kawasan hutan dan perlunya apresiasi yang sangat tinggi terhadap salah satu program utama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel dengan Go Green. Di sisi lain di negeri dengan kesan egosektoral masih terlalu tinggi, padahal terkadang terdapat permasalahan yang harus ditangani secara simultan dan berkesinambungan dan harus multisektor, seperti terjadinya longsoran kaldera di Gunung Bawakaraeng yang mengancam keberadaan waduk Bili-Bili, seharusnya menjadi bagian dari pemikiran semua sektor, sehingga diperoleh suatu formula penangan secara terpadu, baik secara secara struktur (civil engineering), nonstruktur (penangan lanscap), pemacahan masalah geologi, formulasi sistem bercocok tanam pada daerah tangkapan air, sampai kepada perwujudan masyarakat ikut serta dalam satu sistem penanganan secara menyeluruh Pembahasan Umum Waduk Bili-Bili adalah waduk multi guna yang berfungsi sebagai pemasok berbagai kebutuhan air, biak untuk keperluan irigasi, pembangkit tenaga listrik, keperluan domestik, dan industri, untuk daerah sekitarnya seperti kota Makassar, Kab. Gowa dan Kab. Takalar. Waduk Bili-Bili dengan luas tangkapan air sebesar 384,4 km 2 memiliki volume total kapasitas sebesar m 3 dengan volume efektif sebesar m 3 dan kapasitas tampungan sedimen (dead storage) sebesar m 3. Volume yang dialokasikan untuk kepentingan air irigasi adalah m 3 atau 44,8 m 3 /dtk dapat melayani areal irigasi seluas ± ha (DI. Bili-Bili, DI. Bissua dan DI. Kampili). Volume alokasi untuk air baku sebesar

152 m 3 atau 3,3 m 3 /dtk yang dimanfaatkan baru 1,1 m 3 /dtk sesuai kapasitas IPA. Kemudian, volume kapasitas pengendalian banjir m 3 atau 1000 m 3 /dtk dapat mengurangi luasan areal banjir kota Makassar ha. Waduk Bili-Bili terletak di bagian tengah Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang. Namun demikian saat ini DAS Jeneberang merupakan salah satu dari tiga daerah aliran sungai yang terdapat di Sulawesi Selatan yang termasuk DAS prioritas untuk ditangani. Kerusakan lahan di DAS Jeneberang karena adanya berbagai faktor termasuk adanya alih fungsi lahan dan sistem pertanian yang dilakukan masyarakat yang tidak mengikuti teknik konservasi tanah dan air terutama di wilayah hulu DAS Jeneberang. Selain itu, terjadinya longsoran kaldera membuat tingkat erosi dan sedimentasi semakin tinggi sehingga mengancam keberadaan waduk Bili-Bili yang berada di bagian hilir sungai Jeneberang. Kejadian longsoran kaldera menyebabkan tingginya laju sedimen yang masuk ke waduk Bili-Bili. Kemudian dibangun fasilitas bangunan pengendali di sepanjang aliran sungai Jeneberang yang terbagi atas penwilayahan antara lain : Upper Watersheed (bagian Hulu), Middle Watersheed (bagian Tengah), Lower Watersheed (bagian Hilir). Pada bagian hulu dibangun 7 seri sabo dam yang berfungsi untuk menahan gerakan longsoran kaldera, di bagian tengah dibangun konsolidasi dam untuk menstabilkan dasar sungai dan lereng sungai. Kemudian di bagian hilir dibangun sand pocket untuk menampung sedimen sebelum masuk ke waduk Bili-Bili. Pada bagian hulu DAS Jeneberang, dengan mengetahui tingkat erosi lahan yang terjadi untuk berbagai penutupan lahan dengan dilengkapi peta lokasi maka dapat dilakukan pemanfaatan lahan yang lebih efektif dalam mengurangi laju aliran erosi. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertahankan penggunaan lahan yang ada sekarang, kecuali untuk ladang/tegalan dan semak belukan yang perlu dikonversi ke bentuk penggunaan lahan yang menyerupai hutan alam produksi. Untuk itu, arahan pengelolaan lahan untuk sub DAS Jeneberang secara umum adalah penerapan teknik konservasi tanah dan air, pengembalian kawasan hutan sebagai fungsi lindung dan penerapan sistem pengendalian sedimentasi dengan sabo dam.

153 133 Seluruh upaya pengendalian sedimentasi waduk baik yang berasal dari erosi lahan maupun longsoran kaldera secara signifikan dapat mengurangi laju sedimen yang masuk ke waduk. Bangunan sabo dam di bagian hulu dan di bagian tengah sungai Jeneberang mampu mengendalikan sedimen sebesar 21% dari total yang masuk ke sungai dan 36% berada di alur sungai. Hal ini menunjukkan pola pengendalian longsoran dengan sabo dam secara signifikan dapat mengendalikan sedimen. Bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen dibangun sebanyak 7 seri pada bagian hulu, 7 seri pada bagian tengah dan 5 seri pada bagian hilir. Secara keseluruhan bangunan pengendali sabo dam telah menggunakan biaya investasi sebesar Rp (452,5 milyar rupiah) dengan biaya operasional dan pemeliharaan (OP) infrastruktur sungai sebesar Rp. 1,852 milyar (2008) dan Rp. 2,917 milyar (2009). Jika dilihat dari hasil pendapatan pemerintah melalui pajak dan retribusi terhadap aktifitas penambangan sebesar Rp. 3,8 milyar setiap tahun (skenario moderat), memiliki nilai yang cukup besar untuk dapat digunakan sebagai pengganti biaya OP bangunan pengendali sebagai infrastruktur sungai. Hal ini tentu saja menunjukkan pentingnya pengelolaan aktifitas penambangan untuk kebelanjutan operasional waduk dan bangunan pengendalinya. Terlebih lagi bahwa ketersediaan alami suplai pasir dan batu sebagai bahan galian golongan C, pada kenyataannya masih melebihi permintaan rata-rata untuk pembangunan wilayah Makassar dan sekitarnya, yaitu m 3 per tahun (JICA,2005). Salahsatu tujuan dari pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili adalah diharapkan juga dapat memberikan dampak peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar waduk. Peningkatan kesejahteraan disebabkan oleh adanya aktivitas ekonomi di sekitar waduk sehingga masyarakat dapat memiliki peluang usaha dan memperoleh penghasilan dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan pengendalian sedimentasi waduk. Selain hal tersebut dari pihak pemerintah juga mendapatkan keuntungan berupa pendapatan dari pajak. Aktifitas penambangan menghasilkan material pasir yang dijual dengan harga Rp /truk kecil, Rp /truk sedang, dan Rp /truk besar. Untuk harga satuan, pasir dijual dengan harga Rp /m 3 untuk truk kecil, Rp.9.160/m 3 truk sedang, dan Rp.8.000/m 3 untuk truk besar. Untuk batu kali

154 134 dijual dengan harga Rp50.000/m 3. Adapun untuk batu pecah dijual berdasarkan ukurannya rata-rata seharga Rp /m 3. Munculnya pabrik pengolah batu pecah tentu saja membutuhkan banyak tenaga kerja lokal. Jumlah tenaga kerja lokal yang digunakan pabrik tersebut adalah orang pada tahun 2005 dan rata-rata orang setiap tahun selama 6 tahun terakhir di Kab. Gowa. Berdasarkan simulasi model dinamik sistem pengendalian sedimentasi waduk yang menggunakan tiga skenario menghasilkan bahwa skenario moderat lebih menguntungkan daripada kedua skenario lainnya. Skenario moderat yaitu skenario yang dijalankan dengan mengoptimalkan aktifitas penambangan di sand pocket dengan biaya pengerukan mencapai total Rp. 257,70 milyar yang sebelumnya dilakukan setiap tahun dapat dilakukan sekali dalam 4 tahun, dan mampu meningkatkan pendapatan untuk tahun 2012 sebesar Rp. 19,3 milyar menjadi Rp. 25,15 milyar dan peningkatan pendapatan pemerintah melalui pajak dari Rp. 2,9 milyar menjadi Rp. 3,8 milyar. Demikian juga partisipasi masyarakat yang direkrut dari 827 orang menjadi orang. Pada skenario moderat dengan pengerukan dilakukan 4 kali setahun, dapat mengurangi biaya pengerukan menjadi Rp.64,425 milyar dengan hasil sedimen mencapai 7,7 juta m 3 /tahun. Namun demikian peningkatan volume aktifitas penambangan sebesar 30% dari yang normal yaitu 2,1 juta m 3 /tahun menjadi 2,84 juta m 3 /tahun, jika dilakukan secara kontinyu selama 4 tahun diperoleh hasil penambangan sedimen sebesar 11,39 juta m 3 /tahun tersebut masih belum mampu menanggulangi laju sedimen berdasarkan hasil pengerukan. Kemudian dengan melihat kapasitas SP yang terbatas berdasarkan spesifikasi struktur bangunannya akan sangat berbahaya jika ditambang terlalu berlebihan. Oleh karena itu dengan melihat volume sedimen pengerukan yang cukup besar, maka dapat dilakukan alternatif pembangunan SP yang baru dengan kapasitas yang lebih besar atau Giant Sand Trap sehingga untuk selanjutnya volume sedimen yang masuk ke waduk semakin kecil dan tidak diperlukan lagi aktifitas pengerukan. Selanjutnya, upaya pengendalian sedimentasi waduk secara optimal dapat dilakukan dengan senantiasa melakukan pemeliharaan dan pengawasan terhadap fasilitas bangunan pengendali sabo dam di sepanjang sungai Jeneberang agar tetap dapat berfungsi secara baik. Kemudian pada area lahan di hulu sub DAS

155 135 Jeneberang senantiasa melakukan tindakan konservasi pada lahan-lahan yang rawan terhadap erosi melalui pembuatan teras ataupun checkdam. Selain itu, pengendalian sedimentasi waduk juga dapat dilakukan dengan memaksimalkan aktifitas penambangan di area yang diizinkan seperti di depan bangunan sand pocket. Selain dapat memperoleh material dengan aman juga dapat melestarikan bangunan tersebut sehingga dapat berfungsi lebih lama. Aktifitas penambangan ini selain dapat mengendalikan sedimen juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar waduk termasuk peningkatan pendapatan pemerintah setempat melalui retribusi dan pajak. Hal ini membuktikan bahwa fungsi keberlanjutan waduk, penambangan dan efektifitas kapasitas waduk memberikan dampak positif kepada masyarakat dan pemerintah Arahan dan Rekomendasi Kebijakan Dari hasil penelitian ini terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil kebijakan ke depan. Salah satunya adalah faktor karakteristik sub DAS Jeneberang dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Jika melihat karakteristik wilayah sub DAS Jeneberang terutama pada bagian hulu yang menjadi arahan pertimbangan kebijakan sebaiknya mengacu pada: kondisi eksisting lahan setempat dikaitkan dengan komoditas tanaman yang ada; tingkat erosi lahan kaitannya dengan pola konservasi yang ada dan/ataupun telah diterapkan oleh masyarakat; kondisi pergerakan tanah pada bagian kaldera; indeks kapasitas waduk yang berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu direkomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Gowa dan khususnya pada Instansi Teknis maupun non Teknis yang terkait sebagai stakeholders penentu kebijakan, mengenai pemanfaatan lahan di hulu DAS Jeneberang dan khususnya terhadap keberlanjutan fungsi waduk Bili-Bili sebagai waduk multiguna, yaitu: - Laju erosi permukaan terbesar adalah penutupan lahan berupa ladang/tegalan sebesar ,14 ton/ha/tahun. Oleh karena itu perlu perlu dievaluasi kembali permasalahan pemanfaatan lahan pada bagian hulu DAS Jeneberang terkait dengan kondisi lahan dengan tingkat erosi yang semakin rawan.

156 136 - Akibat longsoran kaldera maka sampai pada tahun 2009, volume sedimentasi di waduk Bili-Bili telah mencapai m 3. Oleh karena itu, pada wilayah kaldera G. Bawakaraeng yang masih rawan longsor susulan perlu dilakukan pengelolaan secara baik pada lahan yang telah dibuka oleh masyarakat melalui program reboisasi atau sejenisnya. - Perlu diintensifkan dalam bentuk penyuluhan terhadap mengenai pentingnya menjaga struktur pengendali terasering kaitannya dengan pengendalian erosi lahan khususnya kawasan DAS Jeneberang pada bagian hulu dengan mensosialisasikan Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai tindak lanjut dari UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. - Peningkatan aktifitas penambangan sebesar 30% (rata-rata eksisting 2,19 juta m 3 /tahun), dapat menurunkan tingkat sedimentasi waduk sebesar 19,8%. Sehingga dengan adanya signifikansi antara tingkat aktifitas penambangan terhadap tingkat sedimentasi waduk maka perlu dioptimalkan pemanfaatan hasil tambang sedimen namun tetap menjaga kelestarian fasilitas bangunan pengendali sedimen dengan menetapkan aturan-aturan yang ketat terhadap izin dan cara penambangan. - Melibatkan masyarakat dalam mewujudkan kawasan konservasi, memelihara fasilitas struktur bangunan pengendali, pengaturan cara penambangan pasir yang tidak merusak. Dengan demikian diharapkan terbentuknya komunitas yang dapat bertanggung jawab dalam memelihara fasilitas penunjang tersebut sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

157 VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan 1. Karakteristik sumber sedimen dan tingkat sedimentasi waduk a. Karakteristik sub DAS Jeneberang didominasi oleh wilayah dengan topografi curam seluas Ha (26,22%) dan penutupan lahan didominasi oleh hutan dengan luas Ha (31,87%). b. Dari model MWAGNPS diperoleh tingkat erosi lahan total sebesar 44,81 ton/ha (kategori TBE sedang) dan sedimen total sebesar ,0 ton. Laju erosi permukaan yang terbesar adalah penutupan lahan berupa ladang/tegalan sebesar ,14 ton/ha/tahun dan semak belukar sebesar ,38 ton/ha/tahun. Sedangkan hutan (8.138,8 ton/ha/tahun), sawah (471,41 ton/ha/tahun) dan pemukiman (131,2 ton/ha/tahun) memiliki laju erosi yang cukup kecil. c. Volume sedimentasi di waduk Bili-Bili adalah m 3 (April 2001) dan 5 tahun setelah kejadian longsor tersebut (2009) volume sedimen telah mencapai m Kapasitas Bangunan Pengendali dan Pola Pengendalian sedimen a. Bangunan sabo dam yang berada di hulu sungai Jeneberang mampu mengendalikan sedimen sebesar m 3 atau 35% dari total sedimen yang dikendalikan fasilitas sabo dam. Konsolidasi dam sangat signifikan dalam mengendalikan sedimen sebesar m 3 atau 58% dari total sedimen yang dikendalikan oleh fasilitas bangunan sabo dam. Bangunan sand pocket menampung sedimen dalam volume yang besar sehingga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan penambangan dengan total volume yang ditambang adalah m 3 per tahun. b. Aktifitas pengerukan (excavation) pada bagian hulu waduk ditampung pada area spoil bank dengan total volume m 3. c. Tindakan konservasi yang dilakukan di hulu DAS Jeneberang dengan pembuatan teras yang dikombinasikan dengan penanaman memotong arah berlereng atau pembuatan saluran drainase dapat mengendalikan tingkat erosi menjadi 36,30 ton/ha dan sedimentasi sebesar ,2 ton.

158 Rancangan model pengendalian sedimentasi waduk a. Indeks kapasitas waduk menunjukkan bahwa kapasitas waduk yang terancam akan dapat dikendalikan pada tahun Adapun kondisi eksisting menunjukkan pada tahun 2022 kapasitas tampung sedimentasi waduk akan terlampaui dan terancam tidak akan berfungsi dengan baik. b. Skenario moderat yaitu skenario yang dijalankan dengan mengoptimalkan aktifitas penambangan di sand pocket dan menganggap pengerukan yang memakan biaya mencapai total Rp dilakukan sekali dalam 4 tahun. sementara disisi lain dengan meningkatkan volume aktifitas penambangan sebesar 30% dari yang normal mampu meningkatkan pendapatan untuk tahun 2012 sebesar Rp. 19,3 milyar/tahun menjadi Rp. 25,15 milyar/tahun dan peningkatan pendapatan pemerintah melalui pajak dari Rp. 2,9 milyar menjadi Rp. 3,8 milyar. Demikian juga partisipasi masyarakat yang direkrut dari 827 orang menjadi orang c. Aktifitas penambangan ini selain dapat mengendalikan sedimen juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar waduk termasuk peningkatan pendapatan pemerintah setempat melalui retribusi dan pajak. Hal ini membuktikan bahwa fungsi keberlanjutan waduk, penambangan dan efektifitas kapasitas waduk memberikan dampak positif kepada masyarakat dan pemerintah Saran 1. Perlunya aturan pengendalian sedimen berkaitan dengan pengalokasian dana pemerintah pada program pengendalian baik secara fisik maupun non fisik; aturan yang ketat berkaitan dengan persyaratan dan batasan untuk penambangan material pada areal penambangan yang diizinkan. 2. Pada model dengan skenario moderat yang telah dibangun dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan dalam metode pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili melalui pemantauan peningkatan aktifitas penambangan sebesar 30%; menerapkan kriteria Operasional dan Pemeliharaan (OP) berkaitan flushing sedimen di waduk yang mendukung besaran outflow sedimen 3%.

159 139 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M.N., Ahmad M. dan Syamsul Arifin I Land-use Based GIS- Modelling for Sedimentation Reduction at Bili-Bili Dam, Indonesia. Journal IAHS. 279: Achmad, F.B Kajian Pengendalian Sedimentasi Waduk Panglima Besar Soedirman dengan Teknologi Sabo. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Ageng, P Jeneberang River Basin Management Capacity. [Master of Science Thesis]. Industrial Ecology, Royal Institute of Technology. Stockholm, Sweden. Anonim Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang, Propinsi Sulawesi Selatan. BP-DAS Jeneberang Walanae Propinsi Sulawesi Selatan dan LPPM Universitas Hasanuddin. Makassar. Anton, J.J.V., Gerard Govers, and Cindy Puttemans Modelling Land Use Changes and Their Impact on Soil Erosion and Sediment Supply to Rivers.Journal of Earth Surface Processes and Landforms. 27(5): Arsyad, S Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua. IPB Press. Bogor. Asdak, C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Cetakan ketiga. Yogyakarta. Adzan, MD., Candra R.S Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia. Di dalam Seminar Komite Nasional Indonesia untuk Bendungan Besar (KNI- BB). Surabaya. 2-3 Juli Bapro PSDA Laporan Hasil Echosounding Waduk Bili-Bili. Bagian Proyek Pengelolaan Sumber Daya Air Jeneberang. Makassar. Bapro PSDA Laporan Hasil Echosounding Waduk Bili-Bili. Bagian Proyek Pengelolaan Sumber Daya Air Jeneberang. Makassar. Barlas, Y System Dinamics: Systemic Feedback Modelling for Policy Analysis. Encyclopedia of Life Support Systems. UNESCO Publishing-Eols Publishers. Paris, France, Oxford, UK. Budiman dan Haeruddin, C.M Mengendalikan Megalongsoran Gunung Bawakaraeng. PT. Sarana Komunikasi Utama. Bogor. Binga Pengendalian Sedimen Akibat Longsoran Kaldera Gunung Bawakaraeng di Sungai Jeneberang. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

160 140 Boix-Fayos, C., Vente, J., Martinez, M., Barbera, G., and Castillo,V The Impact of Land Use Change and Check-Dams on Catchment Sediment Yield. Journal of Hydrological Processes. 22(25): EM Sedimentation Investigation of Rivers and Reservoirs. Engineering Manual US. Army Corps of Engineers. Washington. Eriyatno Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Eriyatno dan Sofyar F., Riset Kebijakan, Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor. Fadiah Kajian Pengaruh Erosi Lahan terhadap Sedimentasi di Waduk Bili- Bili Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Guluda,D.R., Pengunaan Model AGNPS untuk Memprediksi Aliran Permukaan, Sedimen, dan Hara N,P dan COD di Daerah Tangkapan Citere, sub DAS Citarik, Pangalengan. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Handoko, I Quantitative Modeling of System Dynamics for Natural Resources Management. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Hardiyatmo, H.C Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hardjosuwarno, S., dan Soewarno Reservoir Sedimentation due to Debris Flow and Its Measures in Wlingi, East Java and Bili-Bili, South Sulawesi. Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation. 3 (2): Haregeweyn, N. et al Reservoirs in Tigray (Northern Ethiopia): Characteristics and Sediment Deposition Problems.. Journal of Land Degradation and Development. 17 (2): Hariyadi, R Pengaruh Pencemaran dan Sedimentasi dari Penggunaan Lahan terhadap Dayadukung Waduk. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hartrisari Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan Untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Hasnawir, H. Omura and T. Kubota Landslide Disaster at Mt. Bawakaraeng Caldera, South Sulawesi, Indonesia. Kyushu Journal 59:

161 141 Jian, L., Bingyi Liu and Ashida K Reservoir Sedimentation Management in Asia. [serial online]. Warsaw/ARTICLES/PDF/128C4-SD.pdf [6 April2009] JICA The Study on Capacity Development for Jeneberang River Basin Management in the Republic of Indonesia. Final Report. Volume 1. Japan International Cooperation Agency. Jorgensen, S.E., and R.A. Vollenweider Guidelines of Lakes Management: Principlesof Lakes Management Vol.1. International Lake Environment Foundation. Shiga-Japan. Jorgensen, S.E Use of Model. In Jorgensen, S.E., and R.A. Vollenweider, editor. Guidelines of Lakes Management: Principlesof Lakes Management. International Lake Environment Foundation. Shiga-Japan. 1: JRBDP Country Report-Indonesia. Jeneberang River Basin Development Project. Indonesia. Kartasapoetra, A.G Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta, Jakarta. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Pengenalan Gerakan Tanah. [6 April2011] Kironoto, BA Sedimentasi Waduk dan Erosi Lahan. Program Magister Pengelolaan Bencana Alam(MPBA). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kodoatie, Robert J. Dan Sugiyanto Banjir Beberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Laoh, O.E.H Keterkaitan Faktor Fisik, Faktor Sosial Ekonomi dan Tata guna Lahan di Daerah Tangkapan Air dengan Erosi dan Sedimentasi (Kasus Danau Tondano, Sulawesi Utara). [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Leon, L.F., George, C Map Window Interface for AGNPS (MWAGNPS). Release 1. March LPM UNHAS Laporan Akhir ANDAL Pekerjaan Pengendalian Sedimen akibat Longsor Dinding Kaldera Gunung Bawakaraeng. Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar. Lubis, R., dan Syafiuddin Penghitungan Biaya Erosi (On-Site Cost) di Daerah Aliran Sungai Jeneberang Hulu, Sulawesi Selatan. Jurnal Ekonomi Lingkungan. 2:36-43.

162 142 Makaheming, Y Pola Pengelolaan Hutan pada Hulu DAS Jeneberang Kabupaten Gowa. [Tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin. Makassar. Manetsch, T.J., and G.L. Park System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social System. Part 1. 3 rd edition. Dept. Of Electrical Engineering and System Science. Michigan State University East Lansing. Michigan. Mappa, H., S. Paembonan, R. Mustaqiem Pengembangan Wilayah Terpadu Daerah Aliran Sungai Jeneberang. Bulletin Universitas Hasanuddin. Vol.4. Ujung Pandang. Maryono, A Menangani Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Muhammadi, E. Aminullah, B. Susilo Analisis Sistem Dinamis. UMJ Press. Jakarta. Mukhlisin, M Pengelolaan Sedimen Terpadu. Program Magister Pengelolaan Bencana Alam (MPBA). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Mulyanto, H.R Sungai, Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Program Magister Pengelolaan Bencana Alam (MPBA). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Munir, A., M. Nurdin dan Paharuddin Pengembangan Model WEB-Based Collaborative Visualization Environment (WBCVE)-Sistem Informasi Geongrafi (SIG) untuk Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili Sulawesi Selatan. Didalam Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan. Surabaya, September MAPIN XIV. Surabaya. pp Osti, R. and Egashira, S Method to Improve the Mitigative Effectiveness of a Series of Check-Dams against Debris Flows. Journal of Hydrological Processes. 22(26): PPLH UNHAS Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang Tahap I. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Makassar. PPLH UNHAS Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang Tahap II. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Makassar. Puslitbang SDA Pengelolaan Danau dan Waduk di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. Balai Lingkungan Keairan. Bandung.

163 143 Saida Pengembangan Tanaman Hortikultura Berbasis Agroekologi Pada Lahan Berlereng di Hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sardi Kajian Penanganan Sedimentasi dengan Waduk Penampung Sedimen pada Bendungan Serbaguna Wonogiri. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Subarkah dan Diah Rahayu P Sistem Pengendalian Banjir dan Debris. Program Magister Pengelolaan Bencana Alam (MPBA). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suhartanto Pendugaan Erosi, Sedimen dan Limpasan Berbasis Model Hidrologi WEPP dan SIG di Sub-DAS Ciriung, DAS Cidanau. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhendang, E Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sukartaatmadja, S Perencanaan dan Pelaksanaan Teknis Bangunan Pencegah Erosi. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Sukresno, Murtiono, U.H., dan Pramono, I.B Penerapan Model ANSWERS untuk Pendugaan Erosi-Sedimentasi di Sub-DAS Keduang-Wonogiri. Didalam Ekspose BP2TPDAS-IBB. Prosiding Ilmiah Tahunan. Wonogiri, 1 Oktober BP2TPDAS-IBB Surakarta. Wonogiri. pp Supangat, A.B., dan Paimin Kajian Peran Waduk sebagai Pengendali Kualitas Air Secara Alami. Jurnal Forum Geografi. 21(2): Suparman, M.E., et al SABO untuk Penanggulangan Bencana Akibat Aliran Sedimen. Yayasan Air Edhika bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). Supratman dan C. Yudilastiantoro Analisis Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Jeneberang (Analysis of Institutional System of Jeneberang Watershed Management). Jurnal Sosekhut [serial online]. 2(4): jurnal&di=108 [10 Maret 2009] Supriyatno Pengaruh Perubahan Tataguna Lahan terhadap Erosi Daerah Tangkapan Hujan dan Pendangkalan Waduk Way Rarem. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suripin Pelestarian Sumber Daya Air. Andi. Yogyakarta.

164 144 Suwarto Sistem dan Model. Didalam Pelatihan Penyusunan PDRB Hijau dan Perencanaan Kehutanan berbasis Penataan Ruang. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Bogor.Bogor, 4-9 Juni Sylviani dan Elvida, Y.S Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Air di Daerah Aliran Sungai Jeneberang dan Kawasan Hutan Lindung (Studi Kasus di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan). Jurnal Sosekhut [serial online]. 7(3): publikasi&sub=jurnal&di108 [10 Maret 2009] Tangkaisari, R Tingkat Erosi di Sub DAS Jeneberang. Bulletin Penelitian Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Thontowi, J Pengelolaan Bencana Air dan Sedimen serta Sistem Perundang-undangan. Program Magister Pengelolaan Bencana Alam (MPBA). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tjasyono, B Klimatologi. Penerbit ITB. Bandung. Triatmadja, R Kontroversi Sabo Dam sebagai Bangunan Pengendali Sedimen untuk Mitigasi Bencana Alam. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan. HATHI XXIV. Makassar, 31 Agustus - 2 September pp.1-9. Triatmadja, R. dan Darmanto Konsep dan Implementasi Infrastruktur Ramah Lingkungan. Didalam Seminar Nasional Green Infrastructure as an Emerging Challenge for Indonesian Development. Jakarta, 29 Nopember pp Undang-Undang No.7 Tahun Tentang Sumber Daya Air. Young, R.A, and Onstad, C.A Agricultural Non-Point Source Pollution Model, Version AGNPS user s Guide. North Central Soil Conservation Research Laboratory Morris. MN. Zubair, H Model Pengendalian Sedimen untuk Mempertahankan Kapasitas Waduk. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin. Makassar.

165 Lampiran 1. Tipikal Sabo Dam Impermeabel 145

166 146 Lampiran 2. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-1 (SD 7-1) Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Soil Cement CSG dan ISM Tinggi Main Dam : m Lebar Pelimpah : 40 m Panjang M. Dam : m Jarak sub MDam : m Tebal Apron : 1.50 m Kapasitas Kendali sedimen : 1,25 juta m 3

167 147 Lampiran 3. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-2 (SD 7-2) Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Soil Cement CSG dan ISM Tinggi Main Dam : m Lebar Pelimpah : 40 m Panjang M. Dam : m Jarak sub MDam : m Tebal Apron : 1.70 m Kapasitas Kendali sedimen : 1,08 juta m 3

168 148 Lampiran 4. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-3 (SD 7-3) Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Soil Cement CSG dan ISM Tinggi Main Dam : m Lebar Pelimpah : 40 m Panjang M. Dam : m Jarak sub MDam : m Tebal Apron : 1.70 m Kapasitas Kendali sedimen : 2,11 juta m 3

169 149 Lampiran 5. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-4 (SD 7-4) Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Soil Cement CSG dan ISM Tinggi Main Dam : m Lebar Pelimpah : 40 m Panjang M. Dam : m Jarak sub MDam : m Tebal Apron : 1.50 m Kapasitas Kendali sedimen : 1,08 juta m 3

170 150 Lampiran 6. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-5 (SD 7-5) Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Soil Cement CSG dan ISM Tinggi Main Dam : m Lebar Pelimpah : 40 m Panjang M. Dam : m Jarak sub MDam : m Tebal Apron : 1.80 m Kapasitas Kendali sedimen : 2,11 juta m 3

171 151 Lampiran 7. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-1 Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Pasangan batu dan beton Tinggi Main Dam : m Lebar Pelimpah : 3 m Panjang M. Dam : m Jarak sub MDam : m Tebal Apron : 0.50 m Kapasitas Kendali sedimen : 2,53 juta m 3

172 152 Lampiran 8. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-2 Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Pasangan batu dan beton Tinggi Main Dam : m Lebar Pelimpah : 3.75 m Panjang M. Dam : m Jarak sub MDam : m Tebal Apron : 0.50 m Kapasitas Kendali sedimen :18,83 juta m 3

173 153 Lampiran 9. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-3 Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Pasangan batu dan beton Tinggi Main Dam : 6.00 m Lebar Pelimpah : 1.80 m Panjang M. Dam : m Jarak sub MDam : m Tebal Apron : 1.80 m Kapasitas Kendali sedimen :18,83 juta m 3

174 154 Lampiran 10. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Konsolidasi Dam KD-1 Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Pasangan batu dan beton Fungsi Bangunan : Pengendalian aliran sedimen dan dasar sungai, sarana penyeberangan dan pengambilan air irigasi Tinggi Main Dam : 7.00 m Lebar Pelimpah : m Panjang M. Dam : m Jarak sub MDam : m Tebal Apron : 1.50 m Kapasitas Kendali sedimen :18,83 juta m 3

175 155 Lampiran 11. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Konsolidasi Dam KD-2 Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Pasangan batu dan beton Fungsi Bangunan : Pengendalian aliran sedimen dan dasar sungai, sarana penyeberangan dan pengambilan air irigasi Tinggi Main Dam : 7.00 m Lebar Pelimpah : m Panjang M. Dam : m Jarak sub MDam : m Tebal Apron : 1.50 m Kapasitas Kendali sedimen :12,48 juta m 3

176 156 Lampiran 12. Biaya dan waktu Pembangunan Bangunan Pengendali Sedimen dan aktifitas pengerukan Bangunan Pengendali hari kerja Agust April Okt Nop Juni Juli Agust Sept Des April Juli Des April Juli Agust Nop Jan Feb Maret April Maret Biaya (x10 6 ) Rp SD SD 7-2 dan SD SD 7-4 dan SD SD 7-6 dan SD CD-1 dan CD KD KD KD-3 dan KD Spoil Bank total pembangunan sabo dam pengerukan di SP pengerukan di SP-1,2, pengerukan EOR kiri pengerukan EOR kanan pengerukan EOR kanan total biaya pengerukan

177 157 Lampiran 13. Data Curah Hujan Bulanan untuk setiap stasiun Pengamatan stasiun BILI-BILI Tahun Bulan (mm) Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Total (mm/ thn) Max Rerata Min stasiun JONGGOA Tahun Bulan (mm) Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Total (mm/ thn) Max Rerata Min stasiun MALINO Tahun Bulan (mm) Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Total (mm/ thn) Max Rerata Min

178 158 Lampiran 14. Output General Cell dari MWAGNPS GridNum ber C_ Factor Flow Direc tion K_ Factor Land Slope Manni ngs_n P_ Fact Rec_Ce llno SCS_ No Slope Length Soil_ Text ure Soil Group Surf Cond , ,48 17,564 0, C 0, , ,48 27,079 0, C 0, , ,48 17,472 0, C 0, , ,48 17,842 0, C 0, , ,479 25,276 0, C 0, , ,48 48,415 0, C 0, , ,479 42,555 0, C 0, , ,48 32,426 0, C 0, , ,48 35,518 0, C 0, , ,48 47,144 0, C 0, , ,48 32,116 0, C 0, , ,48 38,277 0, C 0, , ,454 41,499 0, C 0, , ,423 68,921 0, C 0, ,3 5 0,48 35,982 0, C 0, ,3 7 0,479 52,214 0, C 0, , ,48 56,377 0, C 0, , ,48 33,968 0, C 0, , ,48 20,437 0, C 0, , ,48 26,783 0, C 0, , ,48 23,968 0, C 0, , ,48 23,256 0, C 0, , ,48 41,773 0, C 0, , ,48 44,646 0, C 0, , ,48 45,243 0, C 0, , ,412 61,525 0, C 0, , ,28 50,254 0, C 0, , ,48 14,676 0, C 0, , ,48 26,546 0, C 0, ,3 3 0,48 30,058 0, C 0, , ,48 28,384 0, C 0, , ,48 45,94 0, C 0, , ,48 32,998 0, C 0, , ,48 28,146 0, C 0, , ,48 25,138 0, C 0, , ,48 36,881 0, C 0, , ,48 20,134 0, C 0, , ,48 40,778 0, C 0, , ,48 32,13 0, C 0,35

179 , ,48 25,995 0, C 0, , ,479 34,288 0, C 0, , ,302 42,201 0, C 0, , ,28 40,78 0, C 0, , ,28 24,291 0, C 0, , ,479 38,367 0, C 0, , ,48 44,9 0, C 0, , ,48 33,542 0, C 0, , ,48 31,49 0, C 0, , ,48 34,5 0, C 0, , ,479 33,168 0, C 0, , ,48 35,388 0, C 0, , ,48 19,033 0, C 0, , ,48 14,51 0, C 0, , ,479 25,483 0, C 0, , ,479 10,269 0, C 0, , ,479 10,114 0, C 0, , , , C 0, , ,479 19,981 0, C 0, , ,48 26,371 0, C 0, , ,479 28,739 0, C 0, , ,48 29,83 0, C 0, , ,48 37,444 0, C 0, , ,48 49,078 0, C 0, ,3 3 0,48 27,563 0, C 0, ,3 1 0,48 14,78 0, C 0, , ,48 18,776 0, C 0, , ,48 36,938 0, C 0, , , ,448 0, C 0, , ,48 16,851 0, C 0, , ,479 31,652 0, C 0, , ,48 47,08 0, C 0, , ,48 90,356 0, C 0, , ,48 63,816 0, C 0, , ,48 32,892 0, C 0, , ,48 74,069 0, C 0, , ,479 41,184 0, C 0, , ,479 96,144 0, C 0, , ,48 68,442 0, C 0,41

180 160 Lampiran 15. Output Sediment dari MWAGNPS Grid Number Clay CellEro sion LAgg CellEro sion SAgg CellEro sion Sand CellEro sion Silt CellEro sion TotalCe llerosio n TotalCell Yield Total Depo sition ,04 0,28 0,45 0,05 0,07 0,89 3, ,09 0,59 0,94 0,11 0,15 1,89 6, ,04 0,27 0,44 0,05 0,07 0,89 8, ,05 0,28 0,45 0,05 0,07 0,9 3, ,08 0,51 0,83 0,1 0,13 1,65 5, ,96 24,53 39,57 4,75 6,33 79,14 282, ,21 1,33 2,15 0,26 0,34 4,29 13, ,13 0,81 1,3 0,16 0,21 2,6 19, ,15 0,95 1,53 0,18 0,25 3,07 28, ,26 1,6 2,58 0,31 0,41 5,17 51, ,13 0,79 1,28 0,15 0,2 2,56 8, ,18 1,09 1,76 0,21 0,28 3,53 10, ,19 1,19 1,92 0,23 0,31 3,83 11, ,46 2,87 4,63 0,56 0,74 9,27 28, ,9 36,6 59,03 7,08 9,44 118, , ,75 72,84 117,48 14,1 18,8 234, , ,15 31,96 51,54 6,19 8,25 103, , ,14 0,88 1,42 0,17 0,23 2,84 27, ,06 0,36 0,57 0,07 0,09 1,15 43, ,09 0,57 0,93 0,11 0,15 1,85 6, ,08 0,47 0,76 0,09 0,12 1,52 65, ,07 0,45 0,72 0,09 0,12 1,45 49, ,21 1,28 2,07 0,25 0,33 4,14 38, ,23 1,45 2,34 0,28 0,37 4,67 14, ,24 1,48 2,39 0,29 0,38 4,79 51, ,36 2,26 3,64 0,44 0,58 7,29 22, ,34 0,85 1,94 0,07 0,2 3,41 19, ,53 3,31 5,33 0,64 0,85 10,66 107, ,77 4,77 7,7 0,92 1,23 15,39 47, ,27 26,46 42,69 5,12 6,83 85, , ,1 19,21 30,98 3,72 4,96 61, , ,4 2,46 3,97 0,48 0,64 7,95 752, ,13 0,83 1,34 0,16 0,21 2,69 8, ,1 0,62 1,01 0,12 0,16 2,01 70, ,08 0,51 0,82 0,1 0,13 1,65 5, ,16 1,02 1,65 0,2 0,26 3,29 101, ,06 0,35 0,56 0,07 0,09 1,12 64, , ,2 1,22 1,96 0,24 0,31 3,93 59,64 78

181 ,16 1,01 1,63 0,2 0,26 3,26 10, ,31 88,7 143,07 17,17 22,89 286, , ,9 5,59 9,01 1,08 1,44 18, , ,73 4,55 7,34 0,88 1,17 14, , ,83 5,16 8,32 1 1,33 16, ,37 2,29 3,7 0,44 0,59 7,4 6752, ,01 62,08 100,13 12,02 16,02 200, , ,25 1,56 2,52 0,3 0,4 5,05 15, ,15 0,9 1,46 0,17 0,23 2,91 9, ,96 24,53 39,57 4,75 6,33 79,13 315, ,14 38,08 61,43 7,37 9,83 122, , ,13 0,79 1,27 0,15 0,2 2,53 189, ,03 0,2 0,32 0,04 0,05 0,65 164, ,08 0,53 0,85 0,1 0,14 1,69 170, ,02 0,12 0,19 0,02 0,03 0,38 158, ,02 0,11 0,18 0,02 0,03 0,37 187, ,74 16,99 27,41 3,29 4,39 54,82 243, ,85 23,87 38,5 4,62 6,16 77,01 517, ,91 5,61 9,05 1,09 1,45 18,11 100, ,1 0,65 1,05 0,13 0,17 2,09 6, ,11 0,69 1,12 0,13 0,18 2,24 26, ,17 1,05 1,69 0,2 0,27 3,38 10, ,73 41,7 67,25 8,07 10,76 134,51 852, ,66 22,66 36,56 4,39 5,85 73, , ,26 7,81 12,6 1,51 2,02 25, , ,54 9,52 15,36 1,84 2,46 30,71 922, ,3 14,28 23,03 2,76 3,69 46,07 160, ,02 18,71 30,18 3,62 4,83 60,36 192, ,04 0,26 0,42 0,05 0,07 0,84 3, ,12 0,77 1,25 0,15 0,2 2, ,33 2,02 3,26 0,39 0,52 6,53 45, ,01 93,07 150,11 18,01 24,02 300, , ,25 100,73 162,46 19,5 25,99 324, , ,39 8,63 13,91 1,67 2,23 27,83 805, ,61 3,77 6,08 0,73 0,97 12,17 37, ,2 1,25 2,02 0,24 0,32 4,03 12, ,18 118,93 191,83 23,02 30,69 383, , ,96 55,57 89,62 10,75 14,34 179,25 738,46 93

182 162 Lampiran 16. Output equation model dari STELLA sub model erosi lahan Erosi(t) = Erosi(t - dt) + (Laju_erosi) * dtinit Erosi = 1000 INFLOWS: Laju_erosi = Faktor_Erodibilitas*Faktor_Erosivitas*Faktor_Konservasi*Faktor Topografi*Vegetasi Sedimentasi_Lahan(t) = Sedimentasi_Lahan(t - dt) + (laju sendimentasi) * dtinit Sedimentasi_Lahan = INFLOWS: laju sendimentasi = Erosi*SDR Bahan_Organik = (0.35*1.724)/100 Curah_Hujan = Curah_Hujan_Max = 64.8 Debu = 35.6 Energi_Kinetik_Ch = 6.119*((Curah_Hujan^1.21)-(HH_per_bulan^-0.47)- (Curah_Hujan_Max^0.53)) Faktor_Erodibilitas = (2.713*(Ukuran Struktur_Tanah^1.14)*(10^-4)*(12- Bahan_Organik)+3.25*(Kode_Struktur_Tanah-2)+2.5*(Kelas_Permeabilitas_Profil- 3))/100 Faktor_Erosivitas = Energi_Kinetik_Ch*12 Faktor_Konservasi = Faktor Bertanam_Baris*Faktor_Sedimentasi_Teras*Kontur Faktor_Sedimentasi_Teras = 1 Faktor Bertanam_Baris = 0.5 Faktor Topografi = ((Panjang_Lereng* *(Slope^2))+( *Slope) )^0.5

DAMPAK LONGSORAN KALDERA TERHADAP TINGKAT SEDIMENTASI DI WADUK BILI-BILI PROVINSI SULAWESI SELATAN

DAMPAK LONGSORAN KALDERA TERHADAP TINGKAT SEDIMENTASI DI WADUK BILI-BILI PROVINSI SULAWESI SELATAN DAMPAK LONGSORAN KALDERA TERHADAP TINGKAT SEDIMENTASI DI WADUK BILI-BILI PROVINSI SULAWESI SELATAN (ANALYSIS OF CALDERA LANDSLIDE DUE TO THE SEDIMENTATION LEVEL IN BILI-BILI RESERVOIR SOUTH SULAWESI PROVINCE)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS

ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS (Agricultural Non-Point Source Pollution Model) DI SUB DAS CIPAMINGKIS HULU, PROVINSI JAWA BARAT Oleh : Wilis Juharini F14103083 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air permukaan (water surface) sangat potensial untuk kepentingan kehidupan. Potensi sumber daya air sangat tergantung/berhubungan erat dengan kebutuhan, misalnya untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F14101089 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR FANNY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejalan dengan hujan yang tidak merata sepanjang tahun menyebabkan persediaan air yang berlebihan dimusim penghujan dan kekurangan dimusim kemarau. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bendungan atau dam adalah konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, danau, atau tempat rekreasi. Seringkali bendungan juga digunakan untuk mengalirkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah)

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume 9, Issue 2: 57-61 (2011) ISSN 1829-8907 STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) Rathna

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG Suroso, M. Ruslin Anwar dan Mohammad Candra Rahmanto Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I Jl. Surabaya 2 A, Malang Indonesia 65115 Telp. 62-341-551976, Fax. 62-341-551976 http://www.jasatirta1.go.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bencana sedimen didefinisikan sebagai fenomena yang menyebabkan kerusakan baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kehidupan manusia dan kerusakan lingkungan, melalui suatu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna Wonogiri merupakan satu - satunya bendungan besar di sungai utama Bengawan Solo yang merupakan sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah dataran yang dibatasi oleh punggung bukit yang berfungsi sebagai daerah resapan, penyimpanan air hujan dan juga sebagai pengaliran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia memiliki peran penting terhadap suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Setiap aktivitas yang dilakukan manusia sangat berpengaruh terhadap DAS, baik secara langsung

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model)

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model) PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model) Oleh : AI MARLINA F14102084 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 I-1 BAB I 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KEGIATAN PENGERUKAN SEDIMEN WADUK BILI-BILI DITINJAU DARI NILAI EKONOMI

EFEKTIVITAS KEGIATAN PENGERUKAN SEDIMEN WADUK BILI-BILI DITINJAU DARI NILAI EKONOMI EFEKTIVITAS KEGIATAN PENGERUKAN SEDIMEN WADUK BILI-BILI DITINJAU DARI NILAI EKONOMI Wahyu Sejati 1,Pitojo Tri Juwono 2,Runi Asmaranto 2 1) Mahasiswa Magister Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Soewarno (1991), proses sedimentasi meliputi proses erosi, transportasi (angkutan), pengendapan (deposition) dan pemadatan (compaction) dari sedimentasi itu sendiri. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) berfungsi sebagai penampung air hujan, daerah resapan, daerah penyimpanan air, penangkap air hujan dan pengaliran air. Wilayahnya meliputi

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut berasal dari perairan Danau Toba. DAS Asahan berada sebagian besar di wilayah Kabupaten Asahan

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan No Makalah : 1.17 EROSI LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA UMUR WADUK WAY JEPARA Dyah I. Kusumastuti 1), Nengah Sudiane 2), Yudha Mediawan 3) 1) Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini Abstract Key words PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jumlah manusia yang menghuni permukaan bumi kian hari kian meningkat, tetapi kondisi tersebut berlaku sebaliknya dengan habitat hidup manusia, yaitu lahan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensitas kegiatan manusia saat ini terus meningkat dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam ini khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan dalam pembangunan membutuhkan pendekatan perencanaan yang integratif. Dimana komponen pendukung pengelolaan lingkungan memiliki sifat dan ciri

Lebih terperinci

SIMULASI PENGARUH SEDIMENTASI DAN KENAIKAN CURAH HUJAN TERHADAP TERJADINYA BENCANA BANJIR. Disusun Oleh: Kelompok 4 Rizka Permatayakti R.

SIMULASI PENGARUH SEDIMENTASI DAN KENAIKAN CURAH HUJAN TERHADAP TERJADINYA BENCANA BANJIR. Disusun Oleh: Kelompok 4 Rizka Permatayakti R. SIMULASI PENGARUH SEDIMENTASI DAN KENAIKAN CURAH HUJAN TERHADAP TERJADINYA BENCANA BANJIR Disusun Oleh: Kelompok 4 Rizka Permatayakti R.N Galuh Ajeng Septaria Indri Setyawanti Dyah Puspita Laksmi Tari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran Sungai yang mengalir meliputi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Bandung dan Sumedang yang mempunyai

Lebih terperinci

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Oleh : Idung Risdiyanto Permasalahan utama DTA Waduk Saguling adalah tingkat sedimentasi, limpasan permukaan yang tinggi dan kondisi neraca air DAS yang defisit.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi faktor pendukung dalam penyediaan kebutuhan air. Lahan-lahan yang ada pada suatu DAS merupakan suatu

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DESEMBER, 2014 KATA PENGANTAR Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 21/PRT/M/2010

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAAN. A. Latar Belakang. Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di

I. PENDAHULUAAN. A. Latar Belakang. Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di I. PENDAHULUAAN A. Latar Belakang Kabupaten Kulon Progo merupakan bagian dari wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di Barat dan Utara, Samudra

Lebih terperinci

SKRIPSI PEMANFAATAN AIR PADA BENDUNG KECIL DI SUB DAS CIOMAS - DAS CIDANAU, BANTEN. Oleh: RINI AGUSTINA F

SKRIPSI PEMANFAATAN AIR PADA BENDUNG KECIL DI SUB DAS CIOMAS - DAS CIDANAU, BANTEN. Oleh: RINI AGUSTINA F SKRIPSI PEMANFAATAN AIR PADA BENDUNG KECIL DI SUB DAS CIOMAS - DAS CIDANAU, BANTEN Oleh: RINI AGUSTINA F14103007 2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PEMANFAATAN

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Waduk yang sangat strategis di karsidenan Banyumas yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Waduk yang sangat strategis di karsidenan Banyumas yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk yang sangat strategis di karsidenan Banyumas yang terdiri dari empat kabupaten yaitu Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap adalah waduk Mrica atau waduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Di Indonesia banyak sekali terdapat gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Gunung berapi teraktif di Indonesia sekarang ini adalah Gunung

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Merden Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.3 menunjukan bahwa luas DTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kegiatan memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan barang dan jasa khususnya, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Samudera, Danau atau Laut, atau ke Sungai yang lain. Pada beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Samudera, Danau atau Laut, atau ke Sungai yang lain. Pada beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan jalan air alami yang mengalir menuju Samudera, Danau atau Laut, atau ke Sungai yang lain. Pada beberapa kasus, sebuah sungai secara sederhana mengalir

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Embung merupakan bangunan air yang menampung, mengalirkan air menuju hilir embung. Embung menerima sedimen yang terjadi akibat erosi lahan dari wilayah tangkapan airnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konservasi sumber daya air merupakan salah satu pilar pengelolaan sumber daya air sebagaimana tertuang dalam Permen PUPR No. 10/PRT/M/2015. Konservasi sumber daya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk (reservoir) merupakan bangunan penampung air pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian, perikanan, regulator air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan sampai akhirnya bermuara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN Oleh Yudo Asmoro, 0606071922 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat pengaruh fisik dan sosial dalam mempengaruhi suatu daerah aliran sungai.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan unit yang ideal untuk perencanaan dan pengelolaan sumberdaya tanah dan air yang dapat mendukung kebutuhan hidup manusia pada saat

Lebih terperinci

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 1 Makalah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KTMK 613) Program Pasca Sarjana / S2 - Program Studi Manjemen Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Dosen Pengampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya tujuan dari dibangunnya suatu waduk atau bendungan adalah untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi

Lebih terperinci

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006 PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006 Tiny Mananoma tmananoma@yahoo.com Mahasiswa S3 - Program Studi Teknik Sipil - Sekolah Pascasarjana - Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawah Tengah. DAS Garang terdiri dari tiga Sub DAS yaitu Kripik, Kreo

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawah Tengah. DAS Garang terdiri dari tiga Sub DAS yaitu Kripik, Kreo BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Garang merupakan DAS yang terletak di Provinsi Jawah Tengah. DAS Garang terdiri dari tiga Sub DAS yaitu Kripik, Kreo dan Garang, berhulu

Lebih terperinci

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR 5.1. Simulasi di Sub DAS Cisadane Hulu Validasi model dilakukan dengan menggunakan data debit sungai harian tahun 2008 2010. Selanjutnya disusun 10 alternatif

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada sifat-sifat arus tetapi juga pada sifat-sifat sedimen itu sendiri. Sifat-sifat di dalam proses

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan IV.1 Bagan Alir Metodologi Penelitian Bagan alir metodologi penelitian seperti yang terlihat pada Gambar IV.1. Bagan Alir Metodologi Penelitian menjelaskan tentang

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI DENGAN METODE USLE (Universal Soil Loss Equation) DI SITU BOJONGSARI, DEPOK

PENDUGAAN EROSI DENGAN METODE USLE (Universal Soil Loss Equation) DI SITU BOJONGSARI, DEPOK PENDUGAAN EROSI DENGAN METODE USLE (Universal Soil Loss Equation) DI SITU BOJONGSARI, DEPOK Oleh: NURINA ENDRA PURNAMA F14104028 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Sub DAS Cikapundung yang merupakan salah satu Sub DAS yang berada di DAS Citarum Hulu. Wilayah Sub DAS ini meliputi sebagian Kabupaten

Lebih terperinci