V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 71 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan dan Tingkat Perkembangan Wilayah Adanya ketimpangan (disparitas) pembangunan antarwilayah di Indonesia salah satunya ditandai dengan adanya wilayah-wilayah tertinggal. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki cukup banyak daerah tertinggal, yaitu sebanyak 199 daerah dimana sebesar 43 persen Kabupaten tertinggal, dengan konsentrasi kawasan timur Indonesia 62 persen, dan kawasan barat Indonesia 38 persen. (Menteri, 2008) Sulawesi Selatan memiliki 13 Kabupaten yang dikategorikan tertinggal, yaitu Jeneponto, Luwu, Selayar, Enrekang, Pangkajene Kepulauan, Luwu Timur, Sinjai, Takalar, Tana Toraja, Bulukumba, Bantaeng, Barru, dan Pinrang. Daerah ini memiliki permasalahan aspek pengembangan ekonomi lokal, permasalahan aspek pengembangan sumber daya manusia, permasalahan aspek kelembagaan, permasalahan aspek sarana dan prasarana dan permasalahan aspek karakteristik daerah (Soetomo, 2008). Namun sebaliknya di Sulawesi Selatan juga terdapat beberapa daerah yang cenderung maju dengan kecenderungan aktivitas perekonomian yang berkembang cepat. Perbedaan kondisi geografis, sasaran program, serta kebijakan, dan juga kondisi sarana dan prasarana mengakibatkan terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah. Hal tersbut selanjutnya dapat memicu terjadinya ketimpangan wilayah. Untuk mengetahui sejauh mana ketimpangan wilayah yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, maka dilakukan analisis melalui pendekatan keterkaitan sektoral-spasial (sektoral-spatial linkages approach). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) indeks Williamson dan (2) indeks Theil. Indeks Williamon mempunyai keunggulan ukuran nilai ketimpangan wilayah yang jelas terutama antar subwilayah, sedangkan indeks Theil mampu menjelaskan penyebab ketimpangan wilayah yang terjadi. Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan dalam mengukur disparitas antar wilayah (Rustiadi et al, 2007). Indeks Williamson ini digunakan untuk mendeskripsikan ketimpangan wilayah dengan

2 72 menggunakan nilai PDRB per kapita dapat digunakan untuk mendeskripsikan ketimpangan wilayah. Indeks Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika dihasilkan nilai indeks sama dengan nol, berarti tidak ada disparitas antar wilayah yang terjadi, sedangkan indeks lebih besar dari nol menunjukkan adanya disparitas perekonomian atau pembangunan antarwilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan maka semakin besar tingkat ketimpangan antarwilayah di suatu tempat yang lebih luas. Analisis indeks Williamson ini menggunakan data PDRB per kapita dan jumlah penduduk tiap kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu dari tahun 2004 hingga tahun 2008, dengan tingkat disparitas dapat dilihat di Tabel 16. Tabel 16. Indeks Ketimpangan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun No Tahun Indeks Williamson Perubahan , ,70 0, , ,71 0, ,67-0, ,69 0,02 Sumber: Hasil Analisis Indeks Williamson, data diolah Nilai indeks Williamson Provinsi Sulawesi Selatan masih di bawah nilai Indeks Williamson Indonesia sebesar 0,836 dan Indeks Williamson Kawasan Barat 0,6625 di tahun Terlihat bahwa ketimpangan Provinsi Sulawesi Selatan berada di bawah ketimpangan Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia. Tahun 2009 terjadi ketimpangan yang lebih tinggi yaitu sebesar 0,69. (BPS, 2007)

3 73 Gambar 15. Nilai Indeks Williamson dari tahun Terdapat ketimpangan dari nilai indeks williamson Sulawesi Selatan, terlihat dari perjalanan 5 tahun tahun memiliki nilai indeks lebih dari nol. Meski di bawah Indeks Williamson Indonesia sebesar 0,836, dan berada di atas ketimpangan kawasan barat Indonesia 0,66 di tahun Berdasarkan hasil analisis tersebut, tingkat disparitas Provinsi Sulawesi Selatan mengalami kecenderungan peningkatan di tahun 2004 hingga 2005 terlihat dari hasil analisis dari 0,57 menjadi 0,70. Terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2005 sebesar 0,13 pada tahun Namun setelah 2005 tidak terjadi peningkatan maupun penurunan di tahun 2006 berada pada 0,70 pada tahun 2006, dan terus mengalami peningkatan sebesar 0,01 pada tahun 2007 menjadi 0,71. Pada tahun 2008 terjadi penurunan sebesar 0,04 menjadi 0,67 dan naik sebesar 0,02 di tahun 2009 menjadi 0,69. Nilai Indeks Williamson yang berada di atas nol ini menunjukkan telah terjadi ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan, dan besarnya nilai Indeks Williamson menunjukkan tingginya ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, jika melihat ketimpangan yang ditunjukkan Provinsi Sulawesi Selatan selama 5 tahun terakhir dengan mengeluarkan 3 kota besar di Provinsi Sulawesi Selatan, terlihat kecenderungan penurunan ketimpangan. Tetapi besaran Indeks Williamson di Provinsi Sulawesi Selatan tetap berada lebih dari nol. Jadi secara umum, peningkatan ketimpangan atau memburuknya ketimpangan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan lebih dikarenakan kehadiran tiga kota tersebut. Seperti terlihat pada Gambar 16.

4 74 Gambar 16. Perbandingan Indeks Willimson tanpa 3 kota di Sulawesi Selatan Indeks Williamson dapat menunjukkan tingkat ketimpangan suatu wilayah, namun analisis ketimpangan ini dirasa kurang mendalam dalam melihat hubungan antarwilayah penyebab ketimpangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini juga digunakan analisis indeks Theil untuk lebih jauh mengkaji besarnya disparitas (disparitas total) yang dikomposisi menjadi dua, yaitu disparitas antar Kabupaten/kota (between) dan disparitas dalam Kabupaten/kota (within). Dimana diperoleh bahwa disparitas di Provinsi Sulawesi Selatan sebagian besar disebabkan oleh ketimpangan yang terjadi intern kabupaten/kota yang ditunjukkan nilai theil within yang lebih besar. Seperti terlihat lebih rinci pada Tabel 17. Tabel 17. Indeks Theil Within dan Between Tahun Nilai (persen) Nilai (persen) Nilai (persen) Nilai (persen) Nilai (persen) Nilai (persen) Theil Within (Sektoral) Theil Between (Regional) Indeks Theil (Total) Sumber : Hasil Analisis Indeks Theil, data dioleh, 2010 Hasil perhitungan indeks Theil menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan dengan tingkat ketimpangan sebesar 0,06 untuk tahun 2004, 0,22 untuk tahun 2005, 0,20 untuk tahun 2006, 0,19 untuk tahun 2007, dan 0,16 untuk tahun 2008 serta 0,17 untuk tahun Dari hasil perhitungan Theil within dan Theil between, diketahui bahwa proporsi theil within lebih besar dari

5 75 theil between. Dimana nilai indeks theil within sebesar 0,052 atau 94,1838 persen sedangkan theil between 0,0032 atau 5,8162 persen untuk tahun Untuk tahun 2005, theil within sebesar 0,1387 atau 62,2068 persen sedangkan untuk indeks theil between sebesar 0,0842 atau 37,7932 persen. Untuk tahun 2006, indeks theil within sebesar 0,1168 atau 58,3614 persen sedangkan indeks theil between sebesar 0,0834 atau 41,6386 persen. Untuk tahun 2007, indeks theil within sebesar 0,1110 atau 57,2319 persen sedangkan untuk theil between sebesar 0,0830 atau 42,7681 persen. Untuk tahun 2008, indeks theil within sebesar 0,0835 atau 53,2834 persen sedangkan indeks theil between sebesar 0,0733 atau 46,7166 persen. Ditinjau dari besarnya persentase dekomposisi Indeks Theil dapat diketahui bahwa sumber disparitas yang berasal dari disparitas dalam Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Seperti terlihat Gambar 17. Gambar 17. Komposisi Indeks Theil Provinsi Sulawesi Selatan Tahun

6 76 Tabel 18. Indeks Theil Between Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, Tahun No Kabupaten/Kota Theil Between 2004 Theil Between 2005 Theil Between 2006 Theil Between 2007 Theil Between 2008 Theil Between Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur * Makassar Parepare Palopo Tabel 18 dan Gambar 19 menunjukkan bahwa Kota Makassar mempunyai konstribusi terbesar terhadap terjadinya ketimpangan antar Kabupaten/kota, yaitu sebesar 0,0753 di tahun 2004, 0,0834 di tahun 2005, 0,0863 di tahun 2006, 0,0896 di tahun 2007 dan 0,0898 di tahun 2008 dan untuk tahun Selanjutnya diikuti oleh daerah lainnya, yaitu Luwu Timur, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Palopo dan Kota Pare-Pare dan Sidrap. Khusus untuk Sidrap ini menjadi pemberi proporsi ketimpangan antara Kabupaten/kota pada tahun 2009 berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk daerah lainnya, menunjukkan belum optimal atau belum berkembangnya pembangunan di Kabupaten/kota tersebut.

7 77 Gambar 18. Peta Ketimpangan Daerah Dari Gambar 18, dapat diketahui bahwa ada 6 daerah yang memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Kota Makassar, Kabupaten Pangkajene dan Kep, Kota Pare-Pare, Kabupaten Pinrang, Kota Palopo dan Kabupaten Luwu Timur.

8 78 Tabel 19. Indeks Theil Within Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan No Kabupaten/Kota Theil Within Theil Within Standardized Theil Within Theil Within Standardized Theil Within Theil Within Standardized Theil Within Theil Within Standardized Theil Within Theil Within Standardized Theil Within Theil Within Standardized 1 Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur * * Makassar Parepare Palopo Sumber : Hasil Analisis Indeks Theil, data diolah Dari data pada tabel 19 diatas menunjukkan bahwa nilai indeks Theil Within Provinsi Sulawesi Selatan adalah 0,0522 di tahun 2004, 0,1387 di tahun 2005, 0,1168 di tahun 2006, 0,1110 di tahun 2007, 0,0835 di tahun 2008 dan 0,0931 di tahun Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan di Internal kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Daerah dengan ketimpangan terbesar di tahun 2004 di dalamnya adalah Kabupaten Pangkep (0,201) dan Kota Makassar (0,0146). Untuk Kabupaten Pangkep sendiri, sektor yang memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan adalah sektor industri pengolahan dan sektor lainnya, begitu pula

9 79 untuk Kota Makassar, sektor yang memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan adalah sektor industri pengolahan dan sektor lainnya. Tahun 2005, daerah dengan ketimpangan internal terbesar adalah Kabupaten Luwu Timur (0,0696), Kabupaten Pangkep (0,0241) dan Kota Makassar (0,0211), begitupula untuk tahun 2006, 2007 dan Sektor yang memberikan proporsi ketimpangan terbesar di Kabupaten Luwu Timur adalah sektor lainnya yang terdiri dari pertambangan, penggalian, transportasi, komunikasi, keuangan asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, asuransi, dan bisnis jasa. Kabupaten Luwu Timur terkenal dengan pertambangan nikel yang besar. Oleh sebab itu, sektor lainnya ini yang menjadi sektor dengan penyumbang terjadinya ketimpangan internal di kabupaten tersebut. Sektor lainnya ini terdiri dari pertambangan, penggalian dan transportasi, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, asuransi dan bisnis jasa. Sedangkan untuk Kabupaten Pangkep dan Kota Makassar, sektor yang menjadi proporsi ketimpangan dalam kota ini adalah industri pengolahan dan sektor lainnya yang menjadi pemicu ketimpangan. Untuk Kabupaten Pangkep, sektor industri pengolahan yang sangat berkembang adalah pengolahan industri semen Tonasa. Sedangkan untuk melihat seberapa besar perkembangan aktivitas perekonomian pada suatu wilayah dapat dianalisis dengan menghitung diversifikasi dengan konsep entropi. Prinsip indeks entropi ini adalah semakin beragam aktivitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah, yang berarti bahwa wilayah tersebut semakin berkembang. Aktivitas suatu wilayah dapat dicerminkan dari perkembangan sektor-sektor perekonomian dalam PDRB. Semakin besar indeks entropinya maka dapat diperkirakan semakin berkembang dan proporsional komposisi antara sektor-sektor perekonomian, dan sebaliknya semakin kecil indeksnya maka dapat diperkirakan terdapat sektor tidak beragam di wilayah tersebut. Hasil analisis indeks entropi total untuk seluruh Kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Selatan pada tahun ditunjukkan pada Tabel 27. Dari hasil entropi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 27 dapat diketahui bahwa nilai entropi total provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2004 hinggga 2009 meskipun besarnya peningkatan nilai indeks tersebut tidak terlalu signifikan (yaitu sebesar 4,1497 menjadi 4,2125 di tahun

10 ). Namun hal tersebut mencerminkan perekonomian di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami perkembangan, khususnya dilihat dari keberagaman jenis aktivitasnya. Tabel 20 No Indeks Entropi Kabupaten/Kota Berdasarkan PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Kabupaten/ Kota Indeks Entropi Rata- Rata 1 Selayar 0,0586 0,0577 0,0573 0,0575 0,0576 0,0584 0, Bulukumba 0,1649 0,1639 0,1643 0,1644 0,1609 0,1672 0, Bantaeng 0,0836 0,083 0,0826 0,082 0,0794 0,0828 0, Jeneponto 0,1054 0,1022 0,1005 0,0991 0,0947 0,0972 0, Takalar 0,1036 0,1033 0,1028 0,1026 0,0986 0,102 0, Gowa 0,1807 0,1807 0,1806 0,181 0,1757 0,1843 0, Sinjai 0,1119 0,1114 0,1119 0,1115 0,1088 0,1131 0, Maros 0,1317 0,1291 0,1272 0,1257 0,1205 0,1247 0, Pangkep 0,2253 0,2239 0,223 0,2226 0,2163 0,2234 0, Barru 0,0875 0,0871 0,0861 0,0852 0,0827 0,0852 0, Bone 0,2705 0,2677 0,2676 0,2695 0,2627 0,2742 0, Soppeng 0,1321 0,1297 0,1304 0,1298 0,1262 0,1309 0, Wajo 0,2345 0,2343 0,2336 0,233 0,2263 0,2327 0, Sidrap 0,1512 0,1535 0,1547 0,1539 0,1504 0,1562 0, Pinrang 0,218 0,219 0,2169 0,2162 0,2102 0,2191 0, Enrekang 0,0882 0,0884 0,0868 0,0862 0,083 0,0865 0, Luwu 0,1583 0,1595 0,161 0,1613 0,1557 0,1611 0, Tana Toraja 0,1421 0,1416 0,1395 0,1392 0,0757 0,0784 0, Luwu Utara 0,1289 0,1349 0,1393 0,1411 0,1396 0,1454 0, Luwu Timur 0,3168 0,3184 0,319 0,318 0,2951 0,2887 0, Toraja Utara ,0779 0,0804 0, Kota Makassar 0,8651 0,8706 0,8799 0,8889 0,8841 0,9233 0, Kota Pare-pare 0,088 0,0879 0,0883 0,0887 0,0851 0,0901 0, Kota Palopo 0,1026 0,1039 0,104 0,1045 0,1021 0,1071 0,1040 Total Provinsi Sulawesi Selatan 1,93 1,94 1,95 1,96 1,96 1,97 1,95 Sumber : Hasil Analisis Indeks Entropi data diolah Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari tahun 2004 hingga tahun 2009, nilai entropi tertinggi dan terendah dimiliki oleh daerah yaitu tertinggi oleh kota Makassar dan terendah oleh Kabupaten Selayar. Dengan angka terendah berturutturut dari 2004 hingga 2007 adalah , , , dan 0,0584.

11 81 Nilai tertinggi berturut-turut dari tahun 2004 hingga 2009 di Makassar adalah , , , dan 0,9233. Sedangkan untuk tahun 2008 terdapat perubahan untuk daerah dengan nilai entropi terendah yaitu pada Kabupaten Bantaeng sebesar , dan di tahun 2009 Kabupaten Selayar menjadi yang terendah dengan nilai entropi 0,0584. Hal ini menunjukkan bahwa kota Makassar merupakan kota/ daerah yang paling berkembang dari wilayah lainnya dari aspek perekonomiannya dan tiap sektor perekonomiannya berkembang dengan baik (relatif merata) sehingga tidak didominasi oleh sektor-sektor tertentu saja, sedangkan untuk Kabupaten Selayar merupakan Kabupaten/daerah yang kurang berkembang sektor-sektor perekonomiannya, dan cenderung didominasi oleh sektor tertentu saja, yaitu sektor pertanian sebesar 39,34 persen dari total PDRB wilayahnya. Daerah yang memiliki nilai indeks entropi tinggi selain Makassar pada tahun 2008 adalah Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo. Sedangkan daerah yang memiliki nilai entropi rendah selain Kabupaten Selayar dan Kabupaten Tana Toraja, adalah Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Barru dan Kabupaten Enrekang. Secara umum perkembangan indeks entropi kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan tahun dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Perkembangan Entropi Kabupaten/Kota Tahun 2004 hingga 2009 Untuk melihat tingkat penyebaran setiap sektor yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun 2004 hingga 2009 dapat dilihat dari tabel

12 82 Tabel 21 Penyebaran Setiap Sektor Hasil Analisis Entropy Tahun No Sektor Rata- Rata 1 Pertanian 1,3249 1,3055 1,2745 1,2472 1,2429 1,2291 1, Pertambangan dan Penggalian 0,2753 0,2742 0,275 0,275 0,261 0,2471 0, Industri Pengolahan 0,514 0,5143 0,5128 0,5101 0,5108 0,5062 0, Listrik, Gas dan Air Minum 0,0646 0,0637 0,0636 0,0639 0,0658 0,067 0, Bangunan/Konstruksi 0,2482 0,2541 0,2622 0,2719 0,2871 0,2982 0, Sumber Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Perusahaan dan Jasa Perusahaan 0,5773 0,5845 0,5927 0,5991 0,616 0,6305 0,6000 0,3209 0,3251 0,3242 0,3303 0,3359 0,342 0,3297 0,2956 0,2962 0,3001 0,3095 0,319 0,3325 0, Jasa-Jasa 0,5288 0,5343 0,5522 0,5547 0,5543 0,5597 0,5473 Hasil Analisis Indeks Entropi, data diolah Tabel 21 diatas menunjukkan bahwa perkembangan aktivitas di sebagian besar sektor cenderung belum merata. Sektor pertanian pada tahun 2009 memiliki nilai indeks entropi yang lebih besar dari yang lain yaitu sebesar 1,2291 menunjukkan bahwa penyebaran aktifitas setiap Kabupaten/kota di sektor pertanian cenderung merata dibanding sektor lainnya. Sektor yang paling tidak merata penyebaran aktivitasnya dapat dilihat pada tahun 2009 adalah sektor listrik, gas dan air minum, indeks entropi menunjukkan sebesar adalah nilai yang terendah diantara semua sektor. Pertanian sebagai sektor yang merupakan sektor utama negeri ini, sektor yang merupakan sektor yang lebih dulu dikenal oleh masyarakat Indonesia memiliki tingkat penyebaran yang cenderung merata di setiap Kabupaten/kota, sedangkan listrik, gas dan air minum cenderung tidak merata penyebaran aktivitasnya di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk melihat perkembangan seberapa maksimalkah perkembangan aktivitas ekonomi dan penyebaran ekonomi provinsi Sulawesi Selatan, dapat dilihat pada Tabel 22.

13 83 Tabel 22. Nilai Entropi Tahun Tahun Entropi Total Entropi Maksimum Perkembangan Wilayah (Indeks Diversitas Entropy) Sumber : Hasil Analisis Entropi, data olah Perkembangan maksimal yang dapat diperoleh Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebesar 5,3327 untuk tahun 2004 hingga 2007 dan 5,3753 untuk tahun 2008 dan 2009, dimana hingga saat ini Provinsi Sulawesi Selatan memiliki total nilai entropi berkisar antara 4,1497 hingga 4,2125, menunjukkan belum maksimalnya perkembangan wilayah yang dilakukan. Meski dari tahun ke tahun ada peningkatan nilai total entropi yang ada tetapi perkembangan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan masih berkisar antara hingga 0,7838. Hal ini menunjukkan masih perlunya Provinsi Sulawesi Selatan untuk mengembangkan aktivitas perekonomian setiap Kabupaten/kota. Hasil ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Gambar 20. Nilai Entropi Total dari tahun 2004 hingga tahun 2009

14 Analisis Keuangan Provinsi Sulawesi Selatan Analisis sumber disparitas di Provinsi Sulawesi Selatan. Terkait dengan belanja yang digunakan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang mencakup Rasio Belanja setiap sektor, baik yang terkait sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor sosial, sektor ekonomi dan infrastruktur umum. Gambar 21. Perkembangan Persentase Alokasi Belanja per Urusan/Bidang Prov. Sulawesi Selatan 2007 hingga Rasio Belanja Sektor Pendidikan Rasio belanja yang terkait dengan sektor pendidikan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan masih belum memberikan belanja yang cukup dan memenuhi kebutuhan pendidikan. Hal tersebut secara terperinci ditunjukkan pada gambar 21 yang menerangkan perkembangan rasio belanja di urusan pendidikan selama kurun waktu 3 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga Dari gambar 21 pada tahun 2009 pemerintah provinsi Sulawesi Selatan hanya megalokasikan 24,04 persen untuk keperluan belanja yang terkait dengan urusan pendidikan, mengalami penurunan dari tahun 2007 yang

15 85 sebesar 23,93 persen, dimana tahun 2008 dengan persentase terbesar yaitu sebesar 27,55 persen. 2. Rasio Belanja Kesehatan Masalah kesehatan selalu menjadi hal yang penting dalam suatu Negara, karena ini merupakan kebutuhan dasar bagi setiap masyarakat yang ada. Dalam hal ini pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan secara umum dalam melihat kebutuhan dalam hal kesehatan dapat terlihat dari rasio belanja urusan kesehatan ini yang terkait dengan belanja dalam kurun waktu 3 tahun dapat terlihat dari gambar 21. Dari Gambar 21 terlihat persentase belanja kesehatan untuk Provinsi Sulawesi Selatan yang pada tahun 2007 sebesar 8,35 persen, meski mengalami peningkatan di tahun 2008 tetapi alokasi untuk urusan kesehatan ini masih cukup kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran secara keseluruhan. Dimana untuk tahun 2008 dengan alokasi belanja kesehatan terkecil yaitu 9,2 persen dan di tahun 2009 sebesar 9,8 persen. 3. Rasio Belanja Ekonomi Rasio belanja urusan ekonomi juga mengalami fluktuasi yang cukup besar yang terjadi dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, dimana kecenderungannya mengalami peningkatan di tahun Persentase terkecil berada di tahun 2007 sebesar 9,025 persen masih lebih besar daripada persentase urusan kesehatan. Dimana pada tahun 2008 mengalami kenaikan lagi menjadi 9,4210 persen. Perkembangan Rasio Belanja Ekonomi selama 3 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2009 dapat dilihat pada Gambar Rasio Belanja Sosial Rasio belanja urusan sosial juga mengalami fluktuasi meski kecil yang terjadi dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, dimana kecenderungannya mengalami penurunan di tahun Persentase terkecil berada di tahun 2008 sebesar 1,6260 persen. Dimana pada tahun 2009 mengalami kenaikan lagi menjadi 1,8515 persen. Perkembangan Rasio Belanja ekonomi selama 3 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2009 dapat dilihat pada Gambar 21.

16 86 5. Rasio Belanja Infrastruktur Selain itu Rasio belanja infrastruktur selama tiga tahun terakhir menunjukkan kecenderungan penurunan dari 19,98persen di tahu 2007, naik di tahun 2008 menjadi 20,06persen dan turun lagi di tahun 2009 menjadi 17,84persen. Secara terperinci di tunjukkan pada gambar 21. Yang kemudian dalam permodelan ekonometrika, faktor-faktor yang dibahas diatas yang dianggap menjadi sumber disparitas. Variabel-variabel yang diduga menjadi sumber-sumber disparitas pembangunan wilayah adalah pertumbuhan PDRB (Y), rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, rasio belanja kesehatan, rasio belanja sosial,dan rasio belanja ekonomi. Disparitas pembangunan wilayah akan menggunakan indikator Indeks Williamson yang menunjukkan disparitas atau ketimpangan dari sisi pendapatan PDRB per kapita di Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun estimasi permodelan secara matematis dapat dilihat dibawah ini Iw = 2,12-0,190 Pertumbuhan PDRB - 0,0101 Rasio Infrastruktur - 0,0241 Rasio Pendidikan + 0,0836 Rasio Kesehatan - 0,03 Rasio Sosial + 0,181 Rasio Ekonomi Tabel 23 Analisis Ekonometrika Regresi Berganda Sumber Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan Variabel Coef t-stat Prob (t-stat) Constant 2,1209 3,38 0,000 Pertumbuhan PDRB -0, ,34 0,000 Infrastruktur -0, ,72 0,000 Pendidikan -0, ,00 0,000 Kesehatan 0, ,98 0,298 Sosial -0,0312-2,38 0,000 Ekonomi 0, ,48 0,244 R2 88,6 F-Stat 15,6 Prob (F-Stat) 0,000 Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2011

17 87 Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diperoleh bahwa F-hitung untuk model sumber disparitas pembangunan 15,6, jika dibandingkan dengan nilai t-tabel pada tingkat signifikan 5 persen (2,447), nilai F-hitung yang diperoleh untuk model tersebut adalah lebih besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan PDRB, rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, rasio belanja kesehatan, rasio belanja sosial dan rasio belanja ekonomi secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat disparitas yang dinilai melalui indeks Williamson di Prov Sulawesi Selatan. Pada perhitungan model dapat diketahui bahwa variabel laju pertumbuhan PDRB memberikan pengaruh paling besar terhadap menurunnya angka disparitas, yakni 0, Jadi jika terjadi peningkatan laju pertumbuhan PDRB 1 persen maka Indeks Williamson akan menurun sebesar 0, Variabel independen lainnya yang juga mempengaruhi penurunan indeks Williamson adalah rasio belanja infrastruktur (0,01011), rasio belanja pendidikan (0,02411), dan rasio belanja sosial (0,0312). Pertumbuhan PDRB di Provinsi Sulawesi Selatan secara sistematis oleh pertumbuhan PDRB akan ikut menurunkan tingkat disparitas pembangunan wilayah (Indeks Williamson). Ketimpangan proporsional pada PDRB per kapita secara signifikan menjadi salah satu sumber ketimpangan pembangunan yang diukur dengan Indeks Williamson di Provinsi Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, tingkat ketimpangan pembangunan mampu ditekan sekecil mungkin dengan cara meningkatkan pertumbuhan PDRB dan juga memperkecil tingkat proporsional pada PDRB per kapita tiap-tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, rasio belanja sosial juga menjadi salah satu sumber disparitas, kurang diperhatikannya masalah-masalah sosial khususnya di daerah-daerah tertentu dibanding Kabupaten/kota yang lebih maju menjadi salah satu penyebab utama disparitas yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Rasio belanja pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan menjadi salah satu sumber utama terjadinya ketimpangan pembangunan. Perbedaan rasio belanja ini juga berimplikasi pada kondisi IPM daerah-daerah di sebelah utara dan sebelah selatan Sulawesi Selatan. Kondisi daerah-daerah di sebelah utara memiliki tingkat kualitas sumber daya manusia yang lebih baik jika dibandingkan daerah-daerah di

18 88 sebelah selatan. Maka salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk menekan angka disparitas ini adalah dengan meningkatkan belanja pendidikan khususnya di daerah-daerah selatan dengan tingkat IPM-nya yang cenderung lebih rendah. Selain variabel-variabel diatas, rasio belanja infrastruktur juga merupakan salah satu penyebab terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan. Infrastruktur yang dimaksud berupa jalan, jembatan, listrik, saluran irigasi dan sumberdaya air bersih. Semakin baiknya kondisi infrastruktur yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini akan meningkatkan akses transportasi antar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan sehingga ini akan berdampak pada perbaikan pola interaksi dan meningkatkan pula investasi yang terjadi di daerah tersebut. Tumbuhnya investasi ini akan mendorong peningkatan kapasitas ekonomi lokal yang akan mampu meningkatkan PDRB setiap Kabupaten/kota. Rasio belanja kesehatan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat disparitas pembangunan wilayah yang diukur dengan Indeks Williamson Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga rasio belanja kesehatan ini bukan sumber utama terjadinya ketimpangan pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan, begitu pula halnya dengan rasio belanja ekonomi, tidak berpengaruh nyata terhadap disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan. 5.3 Analisis Ketersediaan Infrastruktur Kabupaten/Kota Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengetahui perkembangan suatu wilayah, dapat dilakukan dengan menganalisis pencapaian hasil pembangunan melalui indikator-indikator kinerja di bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan. Analisis skalogram merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi pusat perkembangan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya, dengan demikian dapat ditentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu

19 89 wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang lengkap akan menjadi daerah belakang (hinterland). Berdasarkan data Podes yang dianalisis, tingkat perkembangan wilayah dapat dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota (IPK). Pada analisis skalogram, semakin tinggi IPK maka semakin berkembang atau maju kabupaten/kota tersebut, sehingga dapat menjadi pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya atau bagi wilayah yang memiliki nilai IPK yang lebih rendah. Pusat wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat konsentrasi penduduk (permukiman); pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri; (3) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland, dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi; (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur umumnya terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma; (4) penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis. Setiap pemusatan itu akan menghasilkan pengaruh positif dan negatif. Adanya pemusatan yang berlebihan pada daerah-daerah, disamping akan menimbulkan masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup juga akan menyebabkan dana dan sumber daya untuk pembangunan wilayah menjadi terbatas (Tarigan, 2002).

20 90 Tabel 24. Nilai IPK dan Jumlah Jenis Hasil Perhitungan Skalogram 2003 No. Kabupaten/ Jumlah Jumlah Jenis IPK Kota Penduduk Fasilitas/Infrastruktur 1 Pare-pare , Palopo , Makassar , Soppeng , Maros , Sidrap , Wajo , Gowa , Bone , Bulukumba , Luwu Utara , Barru , Takalar , Pinrang , Jeneponto , Selayar , Pangkajene , Enrekang , Bantaeng , Sinjai , Luwu , Tana Toraja ,68 67 Sumber : Data diolah, 2010 Berdasarkan jumlah jenis Kota Pare-Pare, Kota Palopo dan Kota Makassar memiliki jumlah jenis yang lebih besar jika dibandingkan Kabupaten lainnya. Ketiga kota ini memiliki perkembangan yang lebih maju jika dilihat dari banyaknya jumlah fasilitas. Ketiga kota ini cenderung menjadi daerah yang bersifat pusat kegiatan bagi daerah-daerah di sekelilingnya maupun daerah yang dapat memberikan pelayanan bagi daerah di sekelilingnya. Baik itu pelayanan dari segi pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Pola ketersediaan infrastruktur yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini dapat dilihat pada Gambar 22.

21 91 Gambar 22. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2003 Peta skalogram berdasarkan jumlah jenis dapat terlihat (Gambar 22) daerahdaerah yang memiliki jumlah fasilitas yang ada di kelas kedua yaitu yang tersebar merata mengelilingi Kota Pare-Pare dan Kota Makassar, sedsangkan Kota Palopo dikelilingi daerah-daerah yang terkategori di kelas ketiga. Kecuali daerah-daerah seperti Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Selayar, Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Sinjai yang berada di sebelah selatan Pulau Sulawesi ini cenderung memiliki jumlah fasilitas yang lebih sedikit jenisnya. Daerah-daerah ini memiliki jarak yang jauh dari ibukota Provinsi. Sedangkan untuk melihat ketersediaan infrastruktur berdasarkan sektor aktivitas pendidikan, kesehatan, sosial dan

22 92 ekonomi ini dapat dilihat Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota bidang yang dominan seperti yang ditunjukkan Gambar 23. Gambar 23. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2003 Berdasarkan jumlah jenis yang dominan di tahun 2003 dari data yang berasal dari IPK sosial, sebagian besar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki jumlah IPK sosialnya dominan dibandingkan IPK lainnya, kecuali Kota Makassar yang didominasi oleh IPK kesehatan, Kabupaten Enrekang oleh IPK pendidikan serta Kota Pare-Pare dan Kota Palopo IPK pendidikan. Ketersediaan IPK kesehatan dan pendidikan lebih baik dimiliki oleh ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan di Kabupaten/kota lainnya

23 93 perkembangan IPK Sosial belum diimbangi oleh IPK pendidikan, kesehatan maupun ekonomi. Sedangkan ketersediaan infrastruktur berdasarkan jumlah jenis yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan di tahun 2006 berdasarkan hasil perhitungan Skalogram 2006 adalah dapat terlihat pada peta di bawah (Gambar 24). Gambar 24. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2006 Ketersediaan infrastruktur di setiap Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan tahun 2006 dengan jumlah jenis fasilitas yang masuk pada kelas pertama dengan total berkisar antara jenis berada hampir di sebagian besar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebanyak 13 Kabupaten dan 2 kota. Sedangkan untuk Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Selayar, Kabupaten Tana Toraja, dan Kabupaten

24 94 Enrekang menjadi daerah yang memiliki jumlah jenis fasilitas yang lebih sedikit atau berada pada kelas 2 dimana daerah-daerah ini merupakan daerah-daerah yang memiliki produktivitas rendah terlihat dari nilai kontribusi PDRB terhadap Sulawesi Selatan secara keseluruhan. Yang menarik terjadi di Kabupaten Maros meskipun Kabupaten Maros merupakan daerah yang berbatasan dengan Kota Makassar dan berjarak 21 Km dan menjadi lebih dekat dengan adanya fasilitas jalan TOL menuju Maros-Makassar, tidak serta merta membuat Maros di tahun 2003 dan 2006 memiliki jumlah jenis fasilitas yang tinggi. Dikarenakan masyarakat Kabupaten Maros sendiri lebih sering menikmati fasilitas di Kota Makassar dibanding di Kabupaten Maros sendiri. Sementara untuk melihat Ketersediaan Infrastruktur berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota yang dibagi kedalam 4 sektor, yaitu: IPK pendidikan, IPK kesehatan, IPK sosial dan IPK ekonomi dapat terlihat dari pada peta di bawah ini (Gambar 25). Gambar 25. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2006

25 95 Dari peta mengenai Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota yang terkait 4 sektor IPK pendidikan, IPK kesehatan, IPK sosial dan IPK ekonomi dapat dilihat bahwa kondisi yang mendominasi pembangunan infarastruktur di sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah dengan melihat IPK ekonomi yang dominan di 14 Kabupaten/kota yang ada. Dan IPK Pendidikan memperlihatkan kondisi yang semakin membaik dengan munculnya 8 daerah yang dominan nilai IPK pendidikannya. Sementara untuk IPK kesehatan yang dominan berada di Kabupaten Soppeng. Terlihat masih rendahnya fokus pembangunan di Bidang Kesehatan hampir di seluruh Kabupaten/kota yang ada. Kondisi ketersediaan infrastruktur yang ada di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 dipetakan berdasarkan jumlah jenis infrastruktur yang ada (Gambar 26). Gambar 26. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2008 Berdasarkan jumlah jenisnya ketersediaan infrastruktur di Kota Pare-Pare, Kota Palopo dan Kabupaten Sidrap memiliki jumlah yang lebih lengkap

26 96 dibandingkan dengan Kabupaten/kota lain yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan jika dilihat dari sisi jumlah jenis. Sementara 9 Kabupaten/kota berada di kelas 2 dengan jumlah jenis berkisar dan sebanyak 11 Kabupaten yang berada di kelas dengan jumlah jenis yang paling sedikit. Jumlah infrastruktur yang paling sedikit umumnya berada di bagian paling utara yang berada di sekitar kota Palopo dan di bagian Selatan yang berada di sekitar kota Makassar. Dari daerah-daerah yang memiliki ketersedian infrastruktur ini dapat diamati sektor apa yang kemudian di tahun 2008 dominan, seperti terlihat pada peta di bawah (Gambar 27). Gambar 27. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2008 Dari peta diatas terlihat ketersediaan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan terkait IPK pendidikan, kesehatan dan IPK ekonomi cenderung lebih

27 97 merata. IPK Pendidikan didominasi di 13 Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan. Kondisi IPK pendidikan yang semakin membaik, IPK ekonomi di dominasi di 8 Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan dan Kesehatan hanya sebanyak 2 Kabupaten 5.4 Analisis Pola Interaksi Antar Kabupaten/Kota Pendugaan keterkaitan antar wilayah ditinjau berdasarkan asal-tujuan perjalanan orang, digunakan variabel jarak (dalam satuan kilometer) dengan memperhitungan pengaruh infrastrukur pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Setelah dilakukan pemrosesan data dengan menggunakan analisis entopi interaksi spasial dengan sowtware statistica, dengan melakukan 5 kali pemrosesan, maka diperoleh hasil estimasi untuk setiap model. Maka peningkatan fasilitas ekonomi tidak mendorong terjadinya interaksi yang berlebih karena pada angka di bawah nilai estimasi untuk ekonomi bernilai negatif (-11,2144). Dari hasil ini juga dapat dilihat bahwa adanya kecenderungan pemusatan ekonomi pada wilayah tertentu sehingga tidak memberikan nilai interaksi yang lebih untuk sektor ekonomi (bernilai negatif). Sedangkan peningkatan infrastruktur pendidikan, peningkatan infrastruktur kesehatan dan peningkatan infrastruktur sosial memberikan nilai estimasi yang cenderung lebih baik jika ketiga infrastruktur ini diberikan perhatian khusus. Karena dengan mengembangkan ketiga sektor ini maka akan meningkatkan pola interaksi diantara Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara umum, motif pola interaksi di Provinsi Sulawesi Selatan adalah faktor ekonomi. Dari hasil analisis Interaksi spasial ini akan diperoleh dugaan bernilai negatif maupun positif. Nilai negatif di setiap dugaan baik daerah asal maupun daerah tujuan mengindikasikan bahwa penambahan daya tarik atau daya dorong tidak akan memperluas atau menambah interaksi secara kesuluruhan berbeda halnya dengan dugaan yang bernilai positif di daerah asal maupun daerah tujuan maka penambahan daya tarik ataupun daya dorong di Kabupaten/kota tersebut maka akan meningkatkan interaksi secara keseluruhan di Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil analisis secara rinci terlihat pada Tabel 25.

28 98 Tabel 25. Hasil Dugaan Analisis Entropi Interaksi Spasial No Kabupaten/Kota Dugaan Asal Kabupaten/Kota Dugaan Tujuan 1 Jeneponto Luwu Utara Selayar Bone Luwu Timur Luwu Timur Wajo 0,967 Gowa Bone 0,9667 Tana Toraja Tana Toraja 0,6279 Bulukumba Luwu Utara 0,5711 Wajo 0, Barru 0,4845 Takalar 0, Soppeng 0,4636 Luwu 0, Pinrang 0,1922 Bantaeng 0, Palopo 0,0000 Maros 0, Gowa -0,0475 Enrekang 0, Pangkep -0,1123 Pinrang 0, Makassar -0,6322 Jeneponto 0, Enrekang -0,772 Pangkep 0, Bantaeng -0,8631 Sinjai 0, Bulukumba Palopo 0, Takalar Soppeng -0, Sidrap Pare-pare -0, Pare-pare Barru -0, Sinjai Sidrap -0, Maros Makassar Luwu Selayar Sumber data : Hasil Analisis Entropi Interaksi Spasial, 2009 Hasil interaksi tersebut juga menunjukkan bahwa Kota Makassar dan Kota Pare-Pare, serta Kabupaten Sidrap memiliki daya dorong (-) dan daya tarik (-) kota ini dikatakan mandiri, maka kedua kota ini telah tumbuh menjadi pusat pertumbuhan sendiri sehingga peningkatan kapasitas supply dan demand tak akan mempengaruhi interaksi. Kota Makassar yang merupakan ibukota provinsi dari Sulawesi Selatan kemudian telah berkembang lebih dahulu dibandingkan daerah lainnya, kondisi sektor-sektor yang berkembang pun cenderung lebih merata dibandingkan daerah lainnya. Sedangkan untuk kabupaten Sidenreng Rappang memiliki hasil yang sama dengan Kota Makassar dan Kota Pare-Pare. Daerah ini telah berkembang dan menjadi pusat pertumbuhan sendiri dan cenderung menjadi daerah yang lebih

29 99 mandiri. Sehingga peningkatan supply dan demand tidak akan mempengaruhi interaksi. Sedangkan untuk daerah-daerah yang bernilai (+) pada perkiraan daerah asal, seperti Jeneponto, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Pinrang, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur dan Palopo adalah daerah-daerah yang perlu adanya peningkatan daya dorong, karena dengan daya dorong ini akan meningkatkan pola interaksi antara daerah-daerah ini dengan daerah-daerah lainnya. Bila interaksi spasial atau pengembangan wilayah di Kabupaten/kota tersebut ditingkatkan, maka pengaruh pengembangan di wilayah penelitian secara keseluruhan dapat terlihat pada Gambar 28. Gambar 28. Peta Interaksi Kabupaten/Kota (Dugaan Asal) Jeneponto yang memiliki nilai dugaan tertinggi, dikaitkan dengan rendahnya PDRB per kapita, dan terbatasnya kemampuan wilayahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Oleh karena itu, apabila di wilayah ini

30 100 dilakukan kegiatan yang dapat meningkatkan daya dorong, maka akan terjadi peningkatan interaksi spasial dan diduga wilayah penelitian secara keseluruhan akan semakin berkembang. Pada Kabupaten Luwu Timur, kehadiran pertambangan nikel di daerah ini, diduga hasil dari nilai tambah pertambangan ini tidak mengalir menuju wilayah bersangkutan, tetapi di luar wilayah, dimana PDRB per kapita Luwu Timur yang tertinggi tahun 2008 (Rp ,-) di duga pendapatan tersebut tidak mengalir ke wilayah sekitarnya. (Kabupaten Luwu Utara yang mempunyai PDRB per kapita jauh lebih kecil Rp ,-). Sedangkan untuk daerah-daerah dugaan asal (+) seperti Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Selayar memiliki karakteristik daerah yang kurang berkembang untuk 2 wilayah ini sehingga peningkatan daya dorong di daerah ini bisa meningkatkan interaksi yang ada secara keseluruhan. Sedangkan daerah seperti Kabupaten Tana Toraja yang memiliki jarak daerah yang cukup jauh dimana pariwisata di daerah ini berkembang cukup pesat tetapi dari segi pembangunan dan aktivitas daerahnya daerah ini masih kurang berkembang, sehingga peningkatan daya dorong dapat meningkatkan interaksi yang ada. Begitupula halnya yang terjadi di Kabupaten Bone, Kabupaten Barru, Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Wajo, dimana sektor yang berkembang adalah sektor pertanian yang berkisar 40 persen hingga 50 persen. Jika daya dorong di daerah ini ditingkatkan maka akan terjadinya peningkatan interaksi. Untuk daerah-daerah yang memiliki nilai (+) pada perkiraan tujuan seperti Bulukumba, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkajene, Bone, Wajo, Pinrang, Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo daya tariknya ditingkatkan, maka akan meningkatkan interaksi. Apabila kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan daya tarik tujuan perjalanan penumpang (misalnya penyediaan lapangan kerja) lebih dikonsentrasikan pada wilayah dengan nilai dugaan (+) maka akan terjadi peningkatan interaksi. Gambaran daerah-daerah ini dapat kita lihat pada peta dugaan tujuan Gambar 29.

31 101 Gambar 29. Dugaan Daerah Tujuan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Lebih lanjut, untuk daerah Kabupaten Selayar, Kabupaten Barru, Kabupaten Soppeng jika daya tarik ditingkatkan tidak membawa peningkatan interaksi pada daerah ini. Ketiga kabupaten ini tergolong daerah dengan kondisi yang kurang berkembang dimana sumbangan Kabupaten Selayar dan Kabupaten Barru ini terhadap PDRB Sulawesi Selatan juga sangat kecil. Selain itu untuk daerah dengan nilai (+) ini memiliki potensi daerah yang baik untuk dikembangkan sehingga peningkatan daya dorong ini akan meningkatkan interaksi yang ada.

32 Analisis Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan Pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan yang terjadi secara umum telah menimbulkan ketimpangan dalam prosesnya yang jika diamati dalam 6 tahun terakhir 2004 hingga 2009 memberikan gambaran yang sangat fluktuatif dengan kecenderungan yang terus meningkat. Ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki nilai yang cukup tinggi berada di atas ketimpangan yang terjadi di KBI (Kawasan Barat Indonesia) meski berada di bawah ketimpangan nasional untuk tahun Kecenderungan ini jika tidak cepat diminimalisir akan cenderung semakin memburuk dan membahayakan stabilitas pembangunan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketimpangan yang secara umum terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan ini tidak terlepas dari andil 3 kota besar yang memperparah kondisi ketimpangan yang ada yaitu Kota Makassar, Kota Pare-Pare, dan Kota Palopo. Hadirnya 3 kota besar ini menyebabkan ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki kecenderungan peningkatan selama 6 tahun terakhir. Meski ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan nilai yang relative tetap, namun hal ini perlu diatasi. Ketimpangan terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan yang memberikan proporsi terhadap ketimpangan yang ada adalah ketimpangan antar sektor dalam kabupaten/kota tersebut. Hal ini diperkuat dengan melihat perkembangan aktivitas ekonomi yang belum mencapai maksimal untuk Provinsi Sulawesi Selatan dan perkembangan setiap sektor yang cenderung kurang merata. Sektor pertanian merupakan sektor yang lebih merata dibandingkan sektor lainnya. Sedangkan sektor listrik, gas dan air minum adalah sektor yang paling tidak merata penyebaran aktivitasnya di seluruh kabupaten/kota yang ada. Hadirnya ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan selain dilihat dari aktivitas ekonominya juga bisa dilihat dari realisasi alokasi dana belanja pemerintah daerah yang tertuang dalam APBD setiap kabupaten/kota. Alokasi dana belanja ini merupakan stimulus setiap daerah dalam mewujudkan pembangunan daerahnya yang dapat diukur dengan pertumbuhan PDRB. Alokasi belanja yang kemudian disederhanakan menjadi beberapa urusan/bidang yang umum dibutuhkan dalam

33 103 menciptakan pembangunan yaitu terkait belanja infrastruktur, belanja pendidikan, belanja kesehatan, belanja sosial dan belanja ekonomi. Dari urusan/bidang yang ada ini kemudian dapat disimpulkan bahwa yang memiliki pengaruh yang besar terhadap menurunnya angka disparitas selain pertumbuhan PDRB adalah rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, dan rasio belanja sosial. Meskipun rasio belanja kesehatan tidak signifikan memberikan pengaruh terhadap menurunnya angka disparitas tetapi dari hasil yang ditunjukkan dapat diketahui bahwa Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan ini masih memiliki jumlah infrastruktur kesehatan sangat minim yang terlihat dari nilai IPK kesehatan yang dimiliki di setiap Kabupaten/kota. Tiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar, Kota Palopo, dan Kota Pare-Pare memiliki perkembangan yang lebih baik dari Kabupaten yang ada. Dilihat dari besarnya kontribusi PDRB terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, perkembangan aktivitas ekonomi yang terkait aktivitas setiap sektor yang lebih merata dan berimbang, ketidakberimbangan yang terjadi ini kemudian menjadi hal yang dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan. Begitupula halnya dengan ketersediaan infrastruktur yang ada di ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini. Ketiganya memiliki jumlah jenis fasilitas yang lebih lebih baik dengan kategori paling banyak jumlah jenisnya jika dibandingkan dengan seluruh kabupaten yang ada. Ketersediaan infrastruktur yang lebih baik ini merupakan hal yang dapat memicu terjadinya ketimpangan. Diperkuat dengan melihat pola interaksi di Provinsi Sulawesi Selatan yang cenderung masih sangat kuat motif ekonominya, hadirnya infrastruktur ekonomi di suatu daerah tidak mempengaruhi interaksi yang ada karena urusan ekonomi ini hanya difokuskan pada daerah-daerah tertentu saja, hal ini akan mengakibatkan eksploitatif yang besar. Hadirnya ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini ternyata tidak memberikan hasil yang baik bagi daerah-daerah di sekitarnya seperti Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros yang ada di sekitarnya. Karakteristik kedua daerah ini yang masih dominan oleh sektor pertanian, membuat perkembangan aktivitas ekonomi per sektornya tidak lebih baik dari daerah-daerah yang berada di utara Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Pinrang, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana Pemerintah Daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Disparitas antar Kabupate/kota di Provinsi Sulawesi Selatan :

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Disparitas antar Kabupate/kota di Provinsi Sulawesi Selatan : 57 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian dan pembahasan terhadap Disparitas antar Kabupate/kota di Provinsi Sulawesi Selatan : 1. Pada periode pengamatan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 41 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1.Profil Umum Provinsi Sulawesi Selatan 4.1.1 Keadaan Fisik Provinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak antara 0 0 12 8 0 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

PERSATUAN AHLI GIZI INDONESIA (INDONESIAN NUTRITION ASSOCIATION) PROVINSI SULAWESI SELATAN

PERSATUAN AHLI GIZI INDONESIA (INDONESIAN NUTRITION ASSOCIATION) PROVINSI SULAWESI SELATAN rektur RS. Kab/Kota Se-Sulsel (daftar terlampir) dalam kegiatan Akreditasi Pelayanan RS dan khususnya yang Pelayanan Kesehatan, : Gedung Fajar, Graha Pena Makassar Narasumber : 1. DR. Minarto, MPS ( DPP

Lebih terperinci

Lampiran 1. Nilai Indeks Williamson PDRB per. (fi/ fi)/(yi- ỳ)^2. Kabupaten/K ota PDRB (000) (fi/ fi) (yi-ỳ) (yi-ỳ)^2.

Lampiran 1. Nilai Indeks Williamson PDRB per. (fi/ fi)/(yi- ỳ)^2. Kabupaten/K ota PDRB (000) (fi/ fi) (yi-ỳ) (yi-ỳ)^2. Lampiran 1. Nilai Indeks Williamson 2004 Kabupaten/K ota PDRB (000) 2004 PDRB per Jumlah kapita Penduduk (fi/ fi) (yi-ỳ) (yi-ỳ)^2 (fi/ fi)/(yi- ỳ)^2 Selayar 317.241 111.458 2,8463 0,0151-0,9043 0,8178

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/06/73/Th. I, 15Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Sulawesi Selatan Tahun 2015 Pembangunan manusia di Sulawesi Selatan pada tahun 2015 terus mengalami

Lebih terperinci

Kesenjangan Sektor Riil dan Keuangan di Sulsel

Kesenjangan Sektor Riil dan Keuangan di Sulsel Pokok Pikiran: Marsuki Kesenjangan Sektor Riil dan Keuangan di Sulsel Disampaikan pada Seminar Nasional (LP2M Unhas, Yayasan Bakti dan SMERU Reseach Institute) Gedung IPTEKS UNHAS, 9 Mei 2018 Pertumbuhan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN AGUSTUS 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN AGUSTUS 2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 65/1/73/Th. VIII, 5 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN AGUSTUS 2014 Jumlah angkatan kerja di Provinsi Sulawesi Selatan pada Agustus 2014 mencapai 3.715.801

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 22/04/73/Th.II, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Sulawesi Selatan Tahun 2016 Pembangunan manusia di Sulawesi Selatan pada tahun 2016 terus

Lebih terperinci

Pengantar Diskusi Kinerja APBD Sulsel. Oleh. Syamsuddin Alimsyah Koor. KOPEL Indonesia

Pengantar Diskusi Kinerja APBD Sulsel. Oleh. Syamsuddin Alimsyah Koor. KOPEL Indonesia 04/03/2012 Pengantar Diskusi Kinerja APBD Sulsel Oleh Syamsuddin Alimsyah Koor. KOPEL Indonesia Latar Belakang Provinsi Sulsel sebagai pintu gerbang Indonesia Timur?? Dari segi kesehatan keuangan suatu

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Analisis Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah

BAB V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Analisis Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah BAB V SIMPULAN DAN SARAN 1.1 Simpulan 5.1.1 Simpulan Analisis Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Berdasarkan analisis rasio ketergantungan daerah, semua pemerintah daerah di Pulau Sulawesi, memiliki

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Sulawesi Selatan Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Sulawesi Selatan Agustus 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI SELATAN Keadaan Ketenagakerjaan Sulawesi Selatan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,61 persen Jumlah angkatan kerja pada sebanyak 3.812.358 orang, berkurang

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014

Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 16/02/73/Th. I, 16 Februari 2015 Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014 Pendataan Potensi Desa (Podes)dilaksanakan 3 kali dalam 10 tahun. Berdasarkan

Lebih terperinci

Tinjauan Ekonomi. Keuangan Daerah

Tinjauan Ekonomi. Keuangan Daerah KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN Tinjauan Ekonomi & Keuangan Daerah Provinsi SULAWESI Selatan Peta Sulawesi Selatan 2 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Daerah

Lebih terperinci

BOX UMKM : PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN KOMODITAS 'GERBANG EMAS' OLEH PERBANKAN SULAWESI SELATAN

BOX UMKM : PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN KOMODITAS 'GERBANG EMAS' OLEH PERBANKAN SULAWESI SELATAN BOX UMKM : PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN KOMODITAS 'GERBANG EMAS' OLEH PERBANKAN SULAWESI SELATAN PENDAHULUAN Dalam mendorong ekonomi kerakyatan, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan mengembangkan Gerakan Pembangunan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Wilayah Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek yang penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 29 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Cakupan wilayah penelitian adalah seluruh Kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Selatan. Meliputi 20 wilayah Kabupaten dan 3 kotamadya. Penelitian

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 Provinsi Sulawesi Selatan No. 31/05/Th., 24 Mei 2017 BERTA RESM STATSTK BADAN PUSAT STATSTK PROVNS SULAWES SELATAN Hasil Pendaftaran (Listing)

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI SELATAN 2014

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI SELATAN 2014 OUTLINE ANALISIS PROVINSI 1. Perkembangan Indikator Utama 1.1 Pertumbuhan Ekonomi 1.2 Pengurangan Pengangguran 1.3 Pengurangan Kemiskinan 2. Kinerja Pembangunan Kota/ Kabupaten 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI SELATAN

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI SELATAN Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. LKPJ Gubernur Sulawesi Selatan Tahun

BAB I PENDAHULUAN. LKPJ Gubernur Sulawesi Selatan Tahun BAB I PENDAHULUAN LKPJ Tahun 2011 ini merupakan LKPJ tahun keempat dari pelaksanaan RPJMD Sulawesi Selatan tahun 2008-2013. Berangkat dari keinginan Pemerintah agar Sulawesi Selatan sebagai Provinsi sepuluh

Lebih terperinci

DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI SULAWESI SELATAN DEVELOPMENT OF DISPARITIES SOUTH SULAWESI PROVINCE

DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI SULAWESI SELATAN DEVELOPMENT OF DISPARITIES SOUTH SULAWESI PROVINCE DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI SULAWESI SELATAN DEVELOPMENT OF DISPARITIES SOUTH SULAWESI PROVINCE 1 Muhammad Ahadismal, 2 Muslim Salam, 3 I Made Benyamin 1 Perencanaan Pengembangan Wilayah, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

Tantangan dalam Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Sulawesi Selatan

Tantangan dalam Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Sulawesi Selatan Tantangan dalam Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Sulawesi Selatan the SMERU Research Institute Dipaparkan pada Forum Pembangunan Daerah Makassar, 8 Mei 2018 Garis Besar Presentasi Perkembangan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Identifikasi Sektor-Sektor Basis di Provinsi Kepulauan Riau Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya peranan sektor-sektor perekonomian dalam memproduksi

Lebih terperinci

STRATEGI DAN KESIAPAN SEKTOR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN SULAWESI SELATAN MENGHADAPI AEC 2015

STRATEGI DAN KESIAPAN SEKTOR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN SULAWESI SELATAN MENGHADAPI AEC 2015 STRATEGI DAN KESIAPAN SEKTOR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN SULAWESI SELATAN MENGHADAPI AEC 2015 Disampaikan Oleh DR. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, MSi, MH (GUBERNUR SULAWESI SELATAN) Biro Bina Perekonomian Setda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN Pembangunan perekonomian suatu wilayah tentunya tidak terlepas dari kontribusi dan peran setiap sektor yang menyusun perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

Indikator Sosial Ekonomi Makro Kabupaten Pinrang 2015

Indikator Sosial Ekonomi Makro Kabupaten Pinrang 2015 Indikator Sosial Ekonomi Makro Kabupaten Pinrang 2015 Indikator Sosial Ekonomi Makro Kabupaten Pinrang 2015 ISBN : No. Publikasi : Katalog BPS : 1301001.7315 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah) 3.14. KECAMATAN NGADIREJO 3.14.1. PDRB Kecamatan Ngadirejo Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Ngadirejo selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.14.1

Lebih terperinci

1. Perkembangan Umum dan Arah Perencanaan

1. Perkembangan Umum dan Arah Perencanaan Ringkasan Eksekutif Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur 1. Perkembangan Umum dan Arah

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN KETIMPANGAN REGIONAL DI PROPINSI SULAWESI SELATAN TAHUN SKRIPSI

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN KETIMPANGAN REGIONAL DI PROPINSI SULAWESI SELATAN TAHUN SKRIPSI ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN KETIMPANGAN REGIONAL DI PROPINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2006-2010 SKRIPSI Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajad Sarjana Ekonomi OLEH: ASDAR K. NIM. 08.630.006

Lebih terperinci

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI SULAWESI SELATANTAHUN Disusun Oleh: Denis Jakson Bimbin

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI SULAWESI SELATANTAHUN Disusun Oleh: Denis Jakson Bimbin ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI SULAWESI SELATANTAHUN 2001-2011 Disusun Oleh: Denis Jakson Bimbin Dosen Pembimbing Rini Setyastuti Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

Klasifikasi Kabupaten-Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Menggunakan Logika Fuzzy

Klasifikasi Kabupaten-Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Menggunakan Logika Fuzzy SEMINAR MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2017 Klasifikasi Kabupaten-Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Menggunakan Logika Fuzzy Rifaldy Fajar,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

Metodologi Quick Count

Metodologi Quick Count PRESS RELEASE: QUICK COUNT dan EXIT POLL PEMILIHAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN 22 JANUARI 213 Jl. Lembang Terusan D57, Menteng, Jakarta Pusat Telp. (21) 3919582, Fax (21) 3919528 Website: www.lsi.or.id,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 No. 44/10/31/Th. XIV, 1 Oktober 2012 PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 Laju pertumbuhan ekonomi yang diukur dari PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan total PDRB Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

FORUM PEMBANGUNAN DAERAH MENUJU PEMBANGUNAN EKONOMI SULAWESI SELATAN YANG LEBIH INKLUSIF

FORUM PEMBANGUNAN DAERAH MENUJU PEMBANGUNAN EKONOMI SULAWESI SELATAN YANG LEBIH INKLUSIF FORUM PEMBANGUNAN DAERAH MENUJU PEMBANGUNAN EKONOMI SULAWESI SELATAN YANG LEBIH INKLUSIF oleh: A. M. YAMIN, SE., MS. Kepala DPM-PTSP Prov. Sulawesi Selatan Makassar, 8 Mei 2018 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Kesenjangan Berdasarkan data PDRB per kapita, diketahui bahwa nilai PDRB per kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENGATURAN RUANG LINGKUP TUGAS INSPEKTUR PEMBANTU WILAYAH I, II, III, DAN IV PADA INSPEKTORAT PROVINSI SULAWESI

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya peranan sektor-sektor perekonomian dalam memproduksi

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDRB, Penyerapan Tenaga Kerja, dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Aceh 5.1.1. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDRB, dan Penyerapan

Lebih terperinci

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013 i ANALISIS PENDAPATAN REGIONAL KABUPATEN PULAU MOROTAI 2013 ii KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas terbitnya publikasi Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai

Lebih terperinci

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah. HERTANTI SHITA DEWI. Kinerja Pembangunan Daerah : Suatu Evaluasi terhadap Kursus Keuangan Daerah. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAMBANG JUANDA. Sejak diberlakukan otonomi daerah di bidang keuangan,

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dokumen RPJP Provinsi Riau tahun , Mewujudkan keseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. dokumen RPJP Provinsi Riau tahun , Mewujudkan keseimbangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan misi pembangunan daerah Provinsi Riau yang tertera dalam dokumen RPJP Provinsi Riau tahun 2005-2025, Mewujudkan keseimbangan pembangunan antarwilayah

Lebih terperinci

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan merupakan daerah bagian paling selatan dari pulau Sulawesi yang terhampar luas di sepanjang koordinat 0 o 12 8 o Lintang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Kondisi Fisik Daerah Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan antara 110.00-110.50 Bujur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki kontribusi terhadap pembangunan terutama di daerah, salah satunya di Provinsi Jawa Barat. Pembangunan ekonomi daerah erat kaitannya dengan industrialisasi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 BPS KABUPATEN TAPANULI UTARA No. 08/07/1205/Th. VI, 06 Oktober 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara yang diukur

Lebih terperinci

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN 102 VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN Adanya otonomi daerah menuntut setiap daerah untuk dapat melaksanakan pembangunan daerah berdasarkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO TREND KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH OTONOM PROPINSI SULAWESI SELATAN TAHUN

ANALISIS RASIO TREND KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH OTONOM PROPINSI SULAWESI SELATAN TAHUN ANALISIS RASIO TREND KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH OTONOM PROPINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2005 2007 Amirullah *) Abstract : The research method used in this study is a quantitative method of trend analysis.

Lebih terperinci

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 1 indikator kesejahteraan DAERAH provinsi sulawesi selatan sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Sulawesi Selatan Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Sulawesi Selatan Tahun 2013 sebanyak rumah tangga Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Sulawesi Selatan Tahun 2013 sebanyak 980.604 rumah tangga Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum di Sulawesi Selatan Tahun 2013 sebanyak 118 Perusahaan Jumlah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2012 BPS KABUPATEN PADANG LAWAS PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2012 No. 01/07/1221/Th. V, 8 Juli 2013 Pertumbuhan ekonomi Padang Lawas tahun 2012 yang diukur berdasarkan kenaikan laju pertumbuhan Produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi kemiskinan (Madris, 2010). Indikator ekonomi makro (PDRB)

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi kemiskinan (Madris, 2010). Indikator ekonomi makro (PDRB) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi perekonomian menjadi salah satu indikator kemajuan suatu daerah. Pembangunan ekonomi daerah tidak hanya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melainkan

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

BAB V ANALISA PEREKONOMIAN ANTAR KABUPATEN/KOTA

BAB V ANALISA PEREKONOMIAN ANTAR KABUPATEN/KOTA BAB V ANALISA PEREKONOMIAN ANTAR KABUPATEN/KOTA 5.1. PEREKONOMIAN MASING-MASING KABUPATEN/KOTA. Nilai tambah yang dihasilkan dari seluruh aktivitas ekonomi di suatu daerah selama satu tahun sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan pendekatan regional dalam menganalisis karakteristik daerah yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan,

Lebih terperinci

Laporan Pembayaran Iuran Kehutanan DR Bulan Januari Tahun 2015 BPPHP Wilayah XV Makassar

Laporan Pembayaran Iuran Kehutanan DR Bulan Januari Tahun 2015 BPPHP Wilayah XV Makassar Laporan Iuran Kehutanan DR Bulan Tahun 2015 BPPHP Wilayah XV Makassar No LHP/LP/DKB/LHC SPP DR Realisasi Kekurangan Tagihan Tgl Bank A SULAWESI SELATAN I BANTAENG II BARRU III BONE IV BULUKUMBA V ENREKANG

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN DINAS PERKEBUNAN Jalan Perkebunan No. 7 Makassar Tujuan Penyelenggaraan Perkebunan 1. Meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007.

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007. 31 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini seluruhnya adalah data sekunder. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diterbitkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. P r o f i l K e s e h a t a n P r o v. S u l s e l T a h u n Hal :1

BAB I PENDAHULUAN. P r o f i l K e s e h a t a n P r o v. S u l s e l T a h u n Hal :1 BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 34 menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum

Lebih terperinci

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014 GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN 2013 Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014 Statistik Dasar UU NO. 16 TAHUN 1997 (TENTANG STATISTIK) Statistik yang pemanfaatannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan atas sumber daya air, sumber daya lahan, sumber daya hutan, sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. P r o f i l K e s e h a t a n P r o v. S u l s e l T a h u n Hal :1

BAB I PENDAHULUAN. P r o f i l K e s e h a t a n P r o v. S u l s e l T a h u n Hal :1 BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 34 menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian Pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini sebagian telah menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan sarana untuk mendorong kemajuan daerahdaerah. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu wilayah dengan wilayah yang lain,

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi 4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci