OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG PROVINSI SULAWESI SELATAN HASNI YULIANTI AZIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG PROVINSI SULAWESI SELATAN HASNI YULIANTI AZIS"

Transkripsi

1 OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG PROVINSI SULAWESI SELATAN HASNI YULIANTI AZIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari Hasni Yulianti Azis NIM. C65

3 ABSTRACT HASNI YULIANTI AZIS. Optimized seaweed resources management in the coastal region of Bantaeng Regency, South Sulawesi Province. Supervised by FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G. BENGEN and WIDODO FARID MA RUF. Seaweed culture has been growing fast in Bantaeng Regency as it creates benefits with small capital and low risks, making fishermen and fish farmers change their works to be seaweed farmers. Main problem in seaweed culture management is high enthusiasm of coastal community cause the uncontrolled seaweed culture development without concerning suitability principles and capacity region for seaweed culture. Besides un-optimum harvesting. The aims of the study were to evaluate suitability and carrying capacity of region; to study sustainability of seaweed culture management; to optimize seaweed culture management. The study was conducted in two disctricts within Bantaeng Regency, namely Bantaeng District and Bissapu District. Survey method was applied to evaluate biophysic characteristic of seaweed culture region as a basis for suitability and capacity determination of seaweed culture. Region suitability was analyzed by GIS and carrying capacity was measured based on two approaches, that are region capacity approach and N assimilation approach; optimized utilization with dynamic system and sustainability analysis with RAP-RL, modification of RAPFISH. Results of the study revealed that suitable region for seaweed culture in the study area was 33.9 ha, consisted of highly suitable region of 45.3 ha and conditional suitable region of ha. Aquatic carrying capacity with marine waters capacity approach was 3.3 ha, which was equal to 5 94 units. Meanwhile, with assimilation capacity approach was ha or 6 63 units for brown Kappaphycu alvarezii (doty) and 73.7 ha or 8 95 culture units for green Kappaphycu alvarezii (doty). Optimization analysis showed in optimistic scenario was anthropogenic waste input to the coastal waters environment of Bantaeng and Bissapu Districts increased 5% from beginning condition (current condition), and this provided best result compared to increased % and 5% anthropogenic waste input from beginning condition, either in production, income, income contribution to the government, and labour use aspects. Analysis results from RAP-RL showed that sustainability value index of ecology dimension was 67.95% and economy dimension was 67.95% (enough sustainable); socio-culture dimension was 56.47% (enough sustainable); technology dimension was 3.4% and institution dimension was 39.83% (less sustainable). While, index value of sustainable multidimensions was 54.% (enough sustainable). Key words: seaweed cultivation, area suitability, carrying capacity, Optimized and sustainable.

4 RINGKASAN HASNI YULIANTI AZIS. Optimasi Pengelolaan Sumberdaya RL di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G BENGEN, dan WIDODO FARID MA RUF. Potensi budidaya rumput laut wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng tidaklah terlalu besar jika dibandingkan dengan potensi beberapa Kabupaten lain di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun mempunyai kontribusi yang besar bagi masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat umumnya bahkan Pemda Kabupaten Bantaeng dan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu produsen Kappaphycus alvarezii. Panjang garis pantainya secara keseluruhan hanya km dan khusus untuk wilayah kajian panjang garis pantainya hanya.6 km. Permasalahan utama dalam pengelolaan usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng adalah antusiasme masyarakat yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan pengembangan usaha budidaya rumput laut sangat pesat sehingga tidak terkendali akibatnya hampir semua wilayah pesisir telah ditanami rumput laut, menjorok ke laut hingga 3-4 km. Dan yang mengkhawatirkan bagi keberlanjutan usaha budidaya rumput laut ini adalah pengelolaan yang tidak memperhitungkan azas kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya. Hal ini dapat diatasi dengan pemanfaatan lahan yang optimal dan pengelolaan budidaya rumput laut lebih ke arah peningkatan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lahan yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut, menentukan daya dukung lingkungan, optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut untuk keberlanjutan usaha budidaya rumput laut. Metoda dalam penelitian meliputi : (i) survei lapang untuk menilai kelayakan biofisik wilayah kajian; (ii) kesesuaian lahan dengan Sistem Informasi Geografis (GIS); (iii) daya dukung kawasan menggunakan pendekatan; (iv) optimasi dengan sistem dinamik; dan (v) keberlanjutan dengan Rapfish. Hasil pengukuran parameter kualitas air masih layak atau mendukung untuk kegiatan budidaya rumput laut. Sementara kondisi oseanografi (kec.arus dan gelombang) hanya layak pada musim Barat dan musim Transisi. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori kesesuaian diperoleh hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 33.9 ha yang terdiri dari S (sangat sesuai) = 45.3 ha dan S (sesuai bersyarat) = ha. Kawasan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada lokasi kajian telah dikelola seluas 4.7 ha atau sekitar 5.5 % dari 33.9 ha. Daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut di kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dengan menggunakan pendekatan kapasitas perairan adalah 3.3 ha. Dan jumlah unit usaha budidaya rumput laut yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut sebanyak 5 94 unit. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi, diperoleh daya dukung kawasan sebesar ha atau 6 63 unit untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 73.7 ha atau 8 95 unit budidaya untuk K.alvarezii (doty) hijau. Penggunaan dua varietas rumput laut yakni

5 rumput laut berwarna coklat dan berwarna hijau karena nelayan rumput laut membudidayakan kedua jenis rumput laut tersebut. Untuk analisis kelayakan usaha budidaya rumput laut digunakan Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BC Ratio). Biaya investasi Rp ; biaya operasional Rp ; biaya pemeliharaan Rp38 5; Pendapatan Rp Perhitungan analisis NPV menggunakan asumsi discount rate 7.75% memberikan nilai Rp Hasil perhitungan BCR memberikan nilai 9.58 Skenario yang paling optimal adalah skenario ke 4. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir wilayah kajian mulai hari ke- sampai akhir pemeliharaan sebesar ton. Luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal maksimal) untuk K.alvarezii jenis coklat seluas ha 85.6 ha atau 7 9 unit 6 unit sedangkan untuk jenis hijau seluas ha ha atau 9 94 unit 4 47 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan menjadi 3.94 ton/hari ton N/hari. Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 5 cm sebesar ton, jarak tanam 35 cm sebesar ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan jarak tanam 5 cm sebesar ton, jarak tanam 35 cm sebesar ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar ton. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat: jarak tanam 5 cm sebesar Rp Rp ; jarak tanam 35 cm sebesar Rp Rp ; jarak tanam 45 cm sebesar Rp Rp dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing sebesar Rp Rp ; Rp Rp ; Rp Rp Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk K.alvarezii hijau: jarak tanam 5 cm sebesar Rp ; jarak tanam 35 cm sebesar Rp Rp ; jarak tanam 45 cm sebesar Rp Rp dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing sebesar Rp Rp ; Rp Rp ; dan Rp Rp Tingkat serapan tenaga kerja untuk K.alvarezii jenis coklat sebanyak orang atau HOK/th. Sedangkan K.alvarezii jenis hijau sebanyak orang atau HOK/th. Hasil analisis Rap-RP (adaptasi dari Rapfish) diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 67.95%, ekonomi sebesar 67.95%, sosial-budaya 56.47% dengan status cukup berkelanjutan, teknologi sebesar 3.4% dan kelembagaan 39.84% dengan status kurang berkelanjutan. Sedangkan nilai indeks multi-dimensi sebesar 54. % dengan status cukup berkelanjutan. Kata kunci: rumput laut, kesesuaian kawasan, daya dukung perairan, Optimasi dan keberlanjutan

6 Hak Cipta milik IPB, tahun Hak Cipta dilindungi Undang Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG, PROVINSI SULAWESI SELATAN HASNI YULIANTI AZIS Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

8 Ujian Tertutup Tanggal November Penguji Luar Komisi:. Dr. Ir. Etty Riani, MS (Staf Pengajar Departemen MSP IPB). Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si (Staf Pengajar Departemen MSP IPB) Ujian Terbuka Tanggal 4 Januari Penguji Luar Komisi:. Dr. Ir. Etty Riani, MS (Staf Pengajar Departemen MSP IPB). Prof. Ir. Nurdin Abdullah, MSc., Ph.D (Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bantaeng)

9 Judul Disertasi : Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan Nama : Hansi Yulianti Azis NIM : C65 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Anggota Ir. Widodo Farid Ma ruf, M.Sc. Ph.D Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian November Tanggal Lulus...

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia- Nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Disertasi ini memuat 9 bab yang terdiri atas pendahuluan; tinjauan pustaka; metodologi penelitian; kondisi lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi; kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya; optimasi pemanfaatan wilayah pesisir; keberlanjutan usaha budidaya rumput laut; arahan pengelolaan sumberdaya rumput laut dan kesimpulan dan saran. Bagian dari disertasi ini akan dimuat pada buletin penelitian Seri Sosial Budaya dan Humaniora serta jurnal Nusa Esda. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : o Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing serta Prof.Dr.Ir.Dietriech G. Bengen, DEA dan Bapak Ir. Widodo Farid Ma ruf, M.Sc., Ph.D masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas segala kebaikan dan kesabarannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. o Keluarga Bapak Drs.H.Nurland/Prof. Dr. Ir. Hj. Farida Nurland, MSi, Ketua Pusat Studi Gender Universitas Hasanuddin dan Keluarga Prof. Dr. Ir. H. Restu, Msi. Dekan Fak. Kehutanan Universitas Hasanuddin atas segala doa, semangat dan bantuan materi selama penulis dalam proses pendidikan Doktoral. o Bapak Prof. Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Sc. sekeluarga, Bupati Bantaeng atas segala fasilitas dan bantuan dana selama penulis melaksanakan penelitian di Kabupaten Bantaeng. o Bapak Ir. Muh. Kasang, Msi, mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelauatan Kabupaten Bantaeng; Bapak Ir. Edy Wahyudi, KaSubdin Perikanan Kabupaten Bantaeng, atas segala bantuan dan kemudahan yang penulis alami selama penelitian. o Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS selama tiga tahun. o Coremap yang telah memberikan bantuan penulisan disertasi o Pimpinan Universitas Hasanuddin dan Dekan FIKP Unhas yang telah memberikan izin studi. o Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan atas perkenannya sehingga saya bisa kuliah di sini. o Ketua Departemen MSP dan Ketua Program Studi SPL serta seluruh staf Program Studi SPL atas segala pelayanan akademik yang bersahabat selama penulis mengikuti perkuliahan di Program Studi SPL. o Rekan-rekan di FIKP Unhas yang selalu menyemangati supaya cepat selesai. Juga kepada Nur Ikhsan (Iccank) yang telah membatu selama survey dan pengambilan sampel di Laut serta Baharuddin yang sangat lihay mengendalikan

11 perahunya sehingga penulis tetap bisa mengukur dan mengambil sampel di tengah gelombang. o Rekan rekan pada Program Studi SPL dan terkhusus kepada Pak David Hermawan, Ibu Fatmawati, dan Ibu Nirmala atas segala persaudaraan, persahabatan dan kebersamaan selama mengikuti pendidikan di SPL serta adik Awir, Ir. Muh Yusuf Halim, MSi, Dr. Rahman Kurniawan, Dr. Muhammad Hery Riyadi Alauddin, Dr. Alimuddin Laapo, Ir. Dori Rachmawani, MSi atas segala bantuannya selama proses analisis data serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu selama kuliah dan pelaksanaan penelitian dan penyelesaian penulisan disertasi ini. o Kepada Ibu Nadiarti, Kel. Bapak Haris Bahrun, Kel. Bapak Arif Nasution, Kel. Ibu Rosmawaty Anwar, teman dalam suka dan duka selama pendidikan. o Khusus kepada Pahlawanku dan Teladanku, Ibundaku tercinta, Hanisa (almarhumah), yang single parent, dalam kondisi ekonomi yang sangat jauh dari mencukupi, berjuang dengan sekuat tenaga agar anak-anaknya bisa menempuh pendidikan tinggi semoga semuanya menjadi amal ibadah Ibunda disisinya; untuk Ayahanda tercinta Abd. Azis (almarhum) yang telah pergi mendahului sejak kami kecil, atas semangat juang yang diwariskan kepada anak-anaknya; kepada Bapaknya anak-anak Ir. Syamsul Holiq dan anak-anakku tersayang Arga Probowisesa, Sudewo Were ri Langi dan Rio Priantoro, adik-adikku Ir. Muh. Natsir Azis sekeluarga dan Haslinda Azis, SE sekeluarga; keluarga besar Bapak Mayor (Purnawirawan) H.P. Jaya dan seluruh keluarga yang lain atas dukungan moril/materil, pengertian, kesabaran, doa, dan kasih sayang selama penulis mengikuti pendidikan di IPB serta yang tak kalah besar peranannya, Bi Tinah, yang setia membantu membereskan segala urusan rumah tangga sejak kami di Bogor. Saya menyadari bahwa penelitian dan disertasi ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran untuk perbaikannya sangat kami hargai. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan bisa diaplikasikan oleh masyarakat nelayan rumput laut umumnya dan khususnya nelayan rumput laut Kabupaten Bantaeng. Bogor, Januari Hasni Y. Azis

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan pada 7 Juli 964. Merupakan sulung dari tiga bersaudara, putri pasangan Hanisa (almarhumah) dan Abd. Azis (almarhum). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Perikanan Universitas Hasanuddin dan Magister sains di Program Sistem-Sistem Pertanian Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Kemudian melanjutkan pendidikan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) di IPB sejak tahun 5. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi budidaya Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 99.

13 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... ix DAFTAR TABEL... xvii DAFTAR GAMBAR... xix DAFTAR LAMPIRAN... xxvii I II III PENDAHULUAN.... Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan dan Kegunaan Penelitian..3. Tujuan Penelitian..3. Kegunaan Penelitian..4 Kerangka Pikir.5 Novelty Penelitian TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Wilayah Pesisir... Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu.3 Rumput Laut...3. Deskripsi Kappaphycus alvarezii..3. Kondisi dan Persyaratan Tumbuh Rumput Laut..3.3 Metode Budidaya Rumput Laut.3.4 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Rumput Laut Ketersediaan dan Permintaan Rumput Laut Indonesia.4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut...5 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut..6 Pemodelan Sistem Dinamik METODOLOGI PENELITIAN 3. Lokasi dan Waktu Penelitian 3. Tahapan Penelitian 3.3 Metode Penelitian xv

14 3.3. Sumber Data dan Prosedur Penelitian 3.3. Karakteristik Biofisik Kawasan Pesisir 3.4 Analisis Data 3.4. Analisis Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Analisis Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut Analisis Kelayakan Usaha Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut dengan Pendekatan Sistem Dinamik Analisis Keberlanjutan Usaha Rumput Laut IV KONDISI LINGKUNGAN, SOSIAL-BUDAYA DAN EKONOMI KABUPATEN BANTAENG 4. Aspek Lingkungan (Ekologi) Administrasi Topografi Iklim Kondisi Oseanografi Parameter Kualitas Air Aspek Sosial-Budaya Penduduk Pendidikan Kesehatan Kelembagaan Aspek Perekonomian Sumberdaya Perikanan Kegiatan Usaha Budidaya Rumput Laut V KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT. 5. Kesesuaian Kawasa Budidaya Rumput Laut Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut xvi

15 VI VII OPTIMASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG. 6. Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut. 6. Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut 6.3 Sub Model Ekonomi 6.4 Sub Model Tenaga Kerja. 6.5 Simulasi Skenario Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Optimal Sebagai Dasar Pengambilan Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut. KEBERLANJUTAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT 7. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Status Keberlanjutan Multi-Dimensi VIII IX ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT.. KESIMPULAN DAN SARAN 5. Kesimpulan. 5. Saran DAFTAR PUSTAKA xvii

16 3 DAFTAR TABEL Kondisi dan persyaratan tumbuh Kappaphycus alvarezii... Proyeksi pengembangan rumput laut tahun Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut Indonesia Tahun Halaman Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten. Bantaeng Tahun Jenis, alat/cara analisis dan sumber data dalam rencana penelitian... Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut metode long line.... Analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kab. Bantaeng... Pedoman penilaian prospektif dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal di Kabupaten Bantaeng... Pengaruh antar faktor dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng... Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng... Hasil analisis skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng... Kriteria pembuatan skor atribut usaha rumput laut yang berkelanjutan.. Nilai indeks keberlanjutan usaha rumput laut.. Luas Wilayah Daratan dan Pembagian Wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Bantaeng 7... Penduduk usia tahun ke atas menurut status pendidikan dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 7... Penduduk usia tahun ke atas menurut kemampuan membaca dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 7... Tingkat pendidikan nelayan rumput laut yang menjadi responden, xviii

17 Keluarga pra-sejahtera dan sejahtera menurut Kecamatan di Kabupaten Bantaeng 7... Produksi perikanan di Kabupaten Bantaeng Tahun Lahan potensial dan yang sudah dikelola di Kabupaten Bantaeng 8... Hasil analisis usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng 9. Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo... Hasil analisis Rap-RL untuk nilai stress dan Koefisin determinasi (R²) xix

18 DAFTAR GAMBAR 3 4 Alur Pikir Optimasi Pengelolaanan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng. Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, )... Kappaphycus alvarezii (doty) (Doty, 985)... Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di Indonesia (Sumber gambar: Ma ruf )... Halaman Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun Peta lokasi penelitian... Tahapan rencana penelitian... Skema unit budidaya rumput laut.. Diagam causal loop optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng... Diagram input-output (Hartrisari, 7)... Tahapan analisa sistem (Eriyatno, 998)... Penentuan faktor kunci optimasi pengelolaan sumberdaya rumput lautdi Kabupaten Bantaeng... Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya rumput laut.. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi usaha rumput lautn di Kabupaten Bantaeng. Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun -7 di Kabupaten Bantaeng... Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun -7 di Kabupaten Bantaeng... Peta gelombang di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Peta arus di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Peta kecerahan perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Peta salinitas perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.. Peta suhu perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng xx

19 Peta ph perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.. Peta substrat dasar perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Peta kedalaman perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng menurut jenis kelamin Tahun Persentase penduduk usia ke atas menurut status pendidikannya di Kabupaten Bantaeng Persentase mata pencaharian masyarakat pesisir yang menjadi responden.. Persentase kisaran usia responden. Peta kesesuaian lahan budidaya rumput Laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut... Sub Model Ekonomi Rumput Laut... Sub Model Tenaga Kerja budidaya Rumput Laut.... Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari)... Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng.... Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan xxi

20 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 5 cm).. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm).. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (min maks.). Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal maksimal) Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari)... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng.. Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan xxii

21 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 5cm) Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm)... Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut 5jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal maksimal) Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal maksimal) Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari)... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan... Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam xxiii

22 ( 5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min - maks selama pemeliharaan (jarak tanam 5 cm) Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min- maks selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal maksimal) Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal maksimal) Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari)... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal maksimal) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi kapasitas asimilasi peraira pesisir Kabupaten Bantaeng... Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 5 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan xxiv

23 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitasasimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 5 cm)..... Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm). Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal maksimal) Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal maksimal) Indeks keberlanjutan dimensi ekologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai Root Mean Square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Peran masing-masing atribut dimensi sosial-budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi teknologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.. Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan xxv

24 dalam bentuk nilai root mean square (RMS)... Diagram layang-layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan dari lima dimensi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng... Indeks keberlanjutan multidimensi usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng Peran masing-masing atribut multi-dimensi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) xxvi

25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Produsen dan jumlah produksi K.alvarezii dunia... Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun -7 di Kabupaten Bantaeng... Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun -7 di Kabupaten Bantaeng... Data oseanografi dan kualitas air wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng 9... Unit pelayanan kesehatan menurut Kecamatan di Kabupaten. Bantaeng, 7 Perkembangan personil lingkup kesehatan di Kabupaten Bantaeng Produksi Subsektor Rumput Laut Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Identitas nelayan budidaya rumput laut (responden)... Luas lahan budidaya rumput laut per responden di Kabupaten Bantaeng 9. Layer/peta tematik analisis kesesuaian kawasan budidaya rumput alut di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu... Analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dengan pendekatan kapasitas perairan. Estimasi luas kawasan budidaya ruput laut berdasarkan kapasitas asimilasiperairan pesisir Kabupaten Bantaeng. Biaya investasi budidaya rumput laut.. Biaya operasional budidaya rumput laut. Biaya pemeliharaan budidaya rumput laut per panen xxviii

26 Analisis Biaya usaha budidaya rumput laut. Analisis B/C Ratio budidaya rumput laut. Model matematis sub produksi rumput laut... Model matematis sub daya dukung rumput laut... Model matematis sub ekonomi rumput laut... Model matematis sub tenaga kerja usaha budidaya rumput laut xxix

27 I. PENDAHULUAN. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif jika ditinjau dari berbagai macam peruntukannya (Supriharyono ) dan sumberdaya yang dimilikinya (Dahuri ). Kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir antara lain; pemukiman, industri, pengilangan minyak, rekreasi dan pariwisata, perikanan budidaya dan perikanan tangkap (Bengen 5), dan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi sumberdaya hayati, sumberdaya nir-hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya hayati terdiri dari berbagai jenis ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya nir-hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir (Undang undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 7). Realitas sebagaimana dikemukakan di atas juga dijumpai di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, diantaranya saat ini masyarakat memanfaatkan wilayah pesisir untuk kegiatan budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut berkembang seiring dengan semakin menurunnya hasil tangkapan serta mahalnya biaya operasional akibat harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus naik. Perkembangan kegiatan rumput laut yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng bisa dilihat dari produksi dan area budidaya yang terus meningkat. Pada tahun, luas area yang dimanfaatkan sebesar 55. ha dengan total produksi rumput laut yang dihasilkan sebesar. ton, sedangkan pada tahun 8 luas areal yang dimanfaatkan telah bertambah menjadi 3 79 ha dengan produksi ton (Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng 9). Dengan demikian, dalam kurun waktu dari tahun -8 untuk luas areal budidaya telah bertambah menjadi ha (657%) dan untuk produksi rumput laut yang dihasilkan telah bertambah menjadi ton (63%).

28 Terjadinya peningkatan budidaya rumput laut diantaranya diakibatkan oleh meningkatnya permintaan pasar dunia terhadap karagenan (Ma ruf 5). Karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii (K.alvarezii). Permintaan pasar karagenan pada tahun 5 adalah ton dan diproyeksikan pada tahun 8 permintaan akan mencapai ton. Karagenan diperlukan sebagai stabilizer (penstabil), thickener (bahan pengental), pembentuk gel, pengemulsi pada industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya (Winarno 996) dan menurut Ma ruf (5), dari jumlah kebutuhan tersebut pada saat ini produsen rumput laut dunia baru dapat memenuhi sekitar 7%. Dengan demikian, seiring dengan pertambahan penduduk dunia, yang tentunya diikuti dengan peningkatan kebutuhkan pangan, obat-obatan dan industri lainnya, maka pasar karagenan semakin terbuka lebar baik untuk kebutuhan ekspor maupun domestik. Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di dunia setelah Filipina (Ma ruf ). Adapun Provinsi Sulawesi Selatan merupakan Provinsi penyumbang rumput laut K.alvarezii terbesar di Indonesia, memiliki luas lahan yang potensial untuk budidaya rumput laut sekitar 5 ha dengan prediksi produksi mencapai 5 ton berat kering/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulsel 3). Produksi pada tahun 3 mencapai 58 Ton berat kering. Menurut Subdin Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng 6, dari produksi Provinsi Sulawesi Selatan tersebut, Kabupaten Bantaeng menyumbang sekitar 7.4 ton berat kering yang diproduksi dari lahan seluas 875 ha Hasil penelitian Crawford () di Sulawesi Utara dan Filipina, mendapatkan kegiatan budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir dan nelayan skala kecil. Demikian halnya dengan masyarakat pesisir Kabupaten Bantaeng. Saat ini kegiatan rumput laut bukan lagi hanya sekedar pekerjaan sampingan untuk mendapatkan penghasilan tambahan, akan tetapi telah menjadi salah satu mata pencaharian utama. Bahkan kegiatan rumput laut menjadi tumpuan harapan baru untuk memperbaiki kondisi ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan mereka yang selama ini identik dengan kemiskinan.

29 3 Kegiatan budidaya rumput laut K.alvarezii dipilih oleh masyarakat karena beberapa kelebihannya, antara lain: ) masa panen relatif singkat yaitu 45 hari, tanpa menggunakan pupuk dan bibit yang khusus, mempunyai nilai ekonomis yang tinggi tanpa merusak lingkungan, ) budidaya mudah dan biaya rendah, dan 3) pasar tersedia, terutama melalui ponggawa (Ma ruf 5). Selain itu, antusiasme masyarakat terhadap kegiatan rumput laut juga dipacu dengan tingginya harga rumput laut. Pada bulan Juli 8, harga rumput laut kering di tingkat petani Kabupaten Bantaeng, mencapai Rp8,- /kg berat kering dan naik lagi menjadi sekitar Rp,-/kg berat kering pada Mei (komunikasi pribadi). Kondisi tersebut di atas, mengakibatkan kegiatan rumput laut di pesisir Kabupaten Bantaeng, menjadi tidak terkendali. Masyarakat memanfaatkan setiap jengkal laut pesisir untuk budidaya rumput laut, sehingga sepanjang garis pantai Kabupaten Bantaeng, telah ditanami rumput laut hingga lebih 3 km ke arah laut yang diduga tanpa memperhitungkan azas kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Apabila hal ini terus berlanjut maka kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan yang bisa menurunkan produktivitas dan kualitas rumput laut yang dihasilkan sehingga kegiatan rumput laut yang saat ini telah menjadi harapan baru bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraannya, diduga bisa terancam keberlanjutannya. Karena itu, penelitian tentang kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut, perlu dilakukan.. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah utama dalam upaya optimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, sebagai berikut:. Pengembangan yang tidak terencana dengan baik. Meningkatnya harga rumput laut akibat permintaan pasar 3. Dasar pengelolaan yang belum tepat

30 4.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian yang dilakukan adalah:. Mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk pengembangan rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Mengoptimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. 3. Menelaah keberlanjutan pengelolaan kegiatan rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng..3. Kegunaan Penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:. Ilmu Pengetahuan. Selama ini penelitian tentang kegiatan rumput laut dilakukan secara parsial, sedangkan penelitian ini dilakukan dengan melihat berbagai dimensi secara menyeluruh, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosialbudaya, teknologi dan kelembagaan. Karena itu, diharapkan dapat menjadi acuan yang lebih komprehensif bagi penyelesaian permasalahan yang terjadi dalam pengembangan kegiatan rumput laut yang berkelanjutan.. Nelayan rumput laut. Pengembangan kegiatan rumput laut oleh masyarakat akan disesuaikan dengan daya dukung lahan, sehingga kegiatan mereka dapat optimal dan berkelanjutan. 3. Pengusaha. Akan diperoleh bahan baku yang memiliki kualitas, kuantitas dan kontinyuitas yang terjamin untuk industri pengolahan rumput laut. 4. Pemerintah. Pertama, suatu referensi tentang tata ruang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan; kedua, mendukung pemerintah di dalam penentuan produk unggulan daerah; dan ketiga, sebagai bahan acuan dalam merumuskan kebijakan pada pengembangan kegiatan rumput laut agar menjadi basis yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, utamanya bagi petani rumput laut yang selama ini masih hidup dalam kemiskinan.

31 5.4 Kerangka Pikir Kegiatan rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Hal ini dapat dilihat dari pertambahan luas lahan budidaya rumput laut setiap tahun, yakni pada tahun baru 55. ha; tahun menjadi 885. ha; tahun 3, 875 ha; tahun 4, 95 ha; dan pada tahun 5 telah mencapai 965 ha (Subdin Perikanan dan Kelautan 6). Akan tetapi pengelolaannya belum optimal, baik dilihat dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologinya maupun kelembagaannya. Penanaman rumput laut yang dilakukan di sepanjang wilayah pesisir yang lebarnya mencapai 3-5 km ke arah laut tidak memperhatikan unsur kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan sehingga bisa berakibat terjadinya degradasi lahan budidaya jika dilihat dari dimensi ekologi. Efek selanjutnya kemungkinan produktivitas dan kualitas bisa menurun yang berarti akan mempengaruhi dimensi ekonomi dengan menurunnya pendapatan yang diperoleh petani rumput laut. Menurunnya tingkat pendapatan akan mempengaruhi kesejateraan keluarga petani sehingga sulit memenuhi kebutuhan terhadap pendidikan anak-anaknya dan kesehatan keluarga. Budidaya yang memanfaatkan wilayah pesisir secara maksimal tanpa menyisakan jalur lalu lintas perahu dan ruang untuk kegiatan memancing kadang-kadang menimbulkan konflik diantara stakeholder. Sampai saat ini, belum ada kelembagaan yang bisa memfasilitasi petani rumput laut dalam mengakses modal, keterampilan budidaya, peningkatan kualitas produk dan informasi pasar. Permasalahan rumput laut sampai saat ini di Kabupaten Bantaeng adalah pemanfaatan lahan yang tidak terkendali akibat antusiasme masyarakat yang sangat tinggi terhadap kegiatan rumput laut. Apabila hal ini terus berlanjut tanpa adanya pengaturan, dikhawatirkan akan mengakibatan terlampauinya daya dukung perairan terhadap budidaya rumput laut yang bisa menyebabkan degradasi lahan yang pada akhirnya bisa berpengaruh terhadap produktivitas, kualitas dan kontinuitas produksi rumput laut. Lebih ke belakang lagi, faktor-faktor penyebab permasalahan ini disebabkan karena para stakeholder belum terkoordinir serta belum mempunya visi yang sama pada pengelolaan kegiatan rumput laut, mulai dari petani rumput laut sebagai produsen, pedagang pengumpul (ponggawa),

32 6 pedagang besar hingga ke pengusaha pengolah chip dan powder serta semua jasa pendukungnya dalam rangka kemajuan bersama. Kawasan Pesisir Kabupaten Bantaeng Analisis Pengelolaan RL di Kawasan pesisir Kab. Bantaeng Kesesuaian Biofisik Kesesuaian Oseanografi. Teknologi BD. Pascapanen 3. SDM 4. Kelembagaan Akar Permasalahan. Antusiasme masyarakat. Pengelolaan belum tepat. Konflik Pemanfaatan Tata Ruang. Pencemaran Kesesuaian Kualitas Air Analisis Kesesuaian Analisis:. Kelayakan Kegiatan. Teknologi BD 3. Kelembagaan 4. Kebutuhan Daya Dukung Kawasan Keberlanjutan Ekologi Ekonomi Sosial-Budaya Kelembagaan Teknologi MODEL OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBEDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG Gambar Alur Pikir Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng

33 7 Pengelolaan yang optimal dan terpadu diantara semua stakeholder, merupakan salah satu konsep yang bisa mengatasi permasalahan tersebut dari akarnya. Dan agar semua stakeholder bisa dikoordinir maka konsep pengelolaan tersebut harus bisa memberikan keuntungan secara proporsional kepada setiap stakeholder. Konsep pengelolaan yang terpadu dan bisa memberikan keuntungan secara proporsional kepada setiap stakeholder, dengan dukungan data dari berbagai hasil analisis seperti hasil analisis kesesuaian lahan, daya dukung lingkungan, ekonomi, sosial budaya, supply-demand, teknologi budidaya dan pasca panen, diharapkan akan bisa menjamin keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut masyarakat, baik dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi maupun kelembagaan..5 Novelty Penelitian: Hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, diperoleh informasi bahwa penelitian rumput laut yang telah dilakukan sudah sangat banyak, seperti yang telah dilakukan oleh Syahputra (5) tentang pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K.alvarezii yang dibudidayakan pada kondisi lingkungan dan jarak tanam yang berbeda; tentang pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Tamiang Kabupaten Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii (Amarullah 7); Kajian pertumbuhan, produksi dan kandungan karaginan rumput laut K.alvarezii pada berbagai bobot bibit dan asal tallus di perairan desa Guruaping Oba Maluku Utara (Kusdi HI Iksan 5); Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii di kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang NTT (Kamlasi 8); Kajian ekologi-ekonomi kegiatan pembudidayaan rumput laut di kawasan terumbu karang pulau Nain kabupaten Minahasa Sulawesi Utara (Lukas Lotharius Jansen Josef Mondoringin 5); Kajian pertumbuhan dan tentang kandungan karagenan rumput laut K.alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan pulau Pari Kepulauan Seribu (Amiluddin 7) serta Kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di wilayah pesisir kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sallata 7). Penelitian yang telah dilakukan tersebut, adalah penelitian aspek-aspek budidaya, ekonomi, ekologi, penanganan pascapanen dan pengolahan pasca panen

34 8 yang dilaksanakan secara parsial pada setiap aspek. Belum dilakukan secara menyeluruh pada setiap aspek. Lokasi dari setiap penelitian di atas merupakan daerah terlindung, seperti teluk, sesuai dengan referensi bahwa salah satu kriteria/persyaratan lokasi budidaya rumput laut adalah wilayah yang terlindung atau perairan pulau-pulau kecil yang tidak terlalu dipengaruhi oleh gelombang dan arus kuat, pencemaran antropogenik dan limpasan air tawar dari aliran sungai. Berbeda dengan wilayah kajian yang merupakan peraian terbuka yang berada pada wilayah pesisir pulau besar. Ditinjau dari aspek produksi rumput laut yang dihasilkan, produksi pada perairan terbuka pada musim timur sama atau bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perairan terlindung. Produktivitas pada wilayah kajian adalah -3 ton//ha/panen sementara hasil penelitian Kamlasi 8, menemukan.5 ton/ha/panen; Budiyono 3, mendapatkan 4-6 ton berat basah/ha/tahun; Mondoringi 5, mendapatkan 3 93 ton berat kering/ha/panen Novelty dari penelitian ini adalah:. Dilakukan secara terpadu dan menyeluruh dari berbagai aspek yaitu aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan mulai dari tahap budidaya sampai tahap pemasaran.. Lokasi penelitian yang merupakan perairan terbuka menurut panduan teknis budidaya tidak memenuhi syarat untuk kegiatan budidaya rumput laut ternyata produktivitasnya sama bahkan lebih besar dibandingkan dengan perairan yang terlindung 3. Lokasi penelitian merupakan perairan pulau besar (main land).

35 II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Wilayah Pesisir Menurut Dahuri et al. (996), hingga saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, berdasarkan beberapa literatur terdapat kesepakatan bahwa wilayah pesisir adalah suatu daerah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus pantai (cross shore). Dalam Undang Undang No. 7 Tahun 7, disebutkan bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Hampir sama dengan yang telah didefinisikan oleh Bengen (4a), yakni wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dari daratan, batasnya meliputi daerah-daerah yang tergenang air dan yang tidak tergenang tetapi masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi air laut. Adapun batas di laut berupa daerah-daerah yang dipengaruhi proses-proses laut seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Demikian juga menurut Carter (988) dalam Haslett () bahwa wilayah pesisir adalah area arah ke darat yang masih dipengaruhi laut dan batas ke arah laut yang masih dipengaruhi daratan serta menurut Beatley et al. (994) dalam Dahuri () yang menyatakan bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf). Kay dan Alder (5) melaporkan bahwa ada beberapa definisi yang digunakan oleh berbagai organisasi/pemerintahan internasional dan nasional, yanng secara garis besar dapat dipilah dalam dua kecenderungan, yaitu: definisi berdasarkan pendekatan biofisika dan definisi berdasarkan pendekatan kebijakan. Ditinjau dari berbagai macam peruntukannya, wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif (Supriharyono ). Menurut Rokhmin (), Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi

36 daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar masih terbuka sangat besar karena kecenderungan permintaan pasar global yang terus meningkat. Kekayaan sumberdaya tersebut mendorong berbagai pihak terkait (stakeholders) seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk meregulasi dan memanfaatkannya. Masing-masing pihak terkait tersebut menyusun perencanaannya tanpa mempertimbangkan perencanaan yang disusun pihak lain. Perbedaan fokus rencana tersebut memicu kompetisi pemanfaatan dan tumpang tindih perencanaan yang bermuara pada konflik pengelolaan. Bila konflik ini berlangsung terus akan mengurangi efektivitas pengelolaannya sehingga sumberdaya pesisir akan mengalami degradasi biofisik. Degradasi biofisik sumberdaya pesisir dibeberapa tempat, telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, antara lain: deforestasi hutan mangrove, rusaknya terumbu karang, merosotnya kualitas taman bawah laut, tangkap ikan lebih (overfishing), terancamnya berbagai spesies biota laut seperti penyu dan dugong; meningkatnya laju pencemaran, berkembangnya erosi pantai, meluasnya sedimentasi serta intrusi air laut (Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Tahun tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu). Sebab itu, untuk mengeliminir degradasi biofisik di kawasan pesisir yang terus berlangsung diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu.. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Pengelolaan adalah suatu upaya agar suatu perairan tetap memiliki fungsi/kemampuan memproduksi secara berkelanjutan secara alami maupun melalui pemanfaatan. Sedangkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara

37 ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Undang undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 7). Selanjutnya, Dahuri () mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi, yaitu: sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Untuk mengelola wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas wilayah dipertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan didalamnya termasuk faktor hidrologi, ekologis, maupun administratif. Batas hidrologi dibutuhkan karena aliran air yang berasal dari daratan akan mempengaruhi kawasan perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam pengelolaan wilayah pesisir tidak memotong siklus hewan perairan, sedangkan batas administratif dibutuhkan agar daerah yang terkena peraturan dapat diketahui dengan jelas. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, didefinisikan oleh Cicin-Sain dan Knecht (998), sebagai suatu proses dinamis dan kontinu dalam membuat keputusan untuk pemanfaatan, pembangunan, dan perlindungan kawasan pesisir dan lautan beserta sumberdaya alamnya secara berkelanjutan. Jadi pada dasarnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah bertujuan agar pemanfaatan sumberdaya bisa berkelanjutan, yakni pemanfaatan (pembangunan) yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Secara ringkas Munasinghe () menyatakan bahwa Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 987 dengan laporannya yang berjudul Our Common Future (Cicin-Sain dan Knecht, 998; Kay dan Alder, 5; Chua, 6). Laporan ini sering disebut Laporan Brundtland (The Brundtland Report) karena dibuat oleh tim ahli yang dipimpin oleh Gro Harlem Brundtland. Di dalam laporan tersebut terdapat definisi

38 pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Banyak definisi tentang pembangunan berkelanjutan dalam literatur, mencakup dimensi sosial, ekonomi, lingkungan dan kebijakan (Pizzey, 989; Daly, 994; Dixon dan Fallon, 989; Turner et al., 993; Tiesdal, 99; Cicin-Sain, 993 dalam Haq, 997). Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam, untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen 3). Atau Pembangunan berkelanjutan adalah perubahan sosioekonomi secara positif yang tidak merusak atau mengurangi sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung (Rees 988 dalam Charles ). Pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan pembangunan pesisir dan lautan secara teknis didefinisikan sebagai berikut: Suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia (terutama stakeholders) sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya (Dahuri ). Debat tentang pengertian Pembangunan berkelanjutan melahirkan ratusan definisi. Saat ini telah diterima secara luas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan adalah saling ketergantungan antara sosial, ekonomi dan lingkungan (Chua 6). Young (99) dalam Key dan Alder (5) mengemukakan adanya 3 tema yang mendasari konsep keberlanjutan, yang disarikan sebagai: ) Integritas lingkungan; ) Efisiensi ekonomi; dan 3) keadilan, yang didefinisiskan sebagai mencakup generasi kini dan masa datang serta mempertimbangkan dimensi budaya selain dimensi ekonomi. Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumber daya manusia,

39 3 khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sedangkan sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi (Munasinghe ). Budiharsono (6) juga berpendapat sama, bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi, antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang lebih seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi, pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi sumberdaya alam. Adapun tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ke tiga dimensi yaitu, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance). Sangat sesuai dengan pendapat Bengen dan Rizal () bahwa dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan merupakan tiga dimensi yang harus seimbang dalam pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara garis besar memiliki empat dimensi, yaitu: ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik serta hukum kelembagaan (Dahuri ). ) Dimensi ekologis. Terdapat 3 (tiga) persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) keharmonisan spasial; (ii) Kapasitas asimilasi; (iii) Pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi harus dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi. Dimensi ekologis seperti ini, pada dasarnya menyajikan informasi daya dukung (kemampuan

40 4 suplay) sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia (Dahuri et al., 996). ) Dimensi sosial ekonomi. Secara sosial ekonomi, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama mereka yang termasuk ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. 3) Dimensi sosial politik. Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan hanya akan dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik yang demokratis dan transparan ini, maka niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya. 4) Dimensi hukum dan kelembagaan. Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri dari setiap masyarakat untuk tidak merusak lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang undangan yang berwibawa dan konsisten serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan Munasinghe () menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada empat faktor yaitu () terpadunya konsep equity lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; () dipertimbangkan secara khusus dimensi ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus dimensi lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus dimensi sosial budaya. Selanjutnya Reid (995) dalam Key dan Alder (5) mengemukakan persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu: ) integrasi antara konservasi dan pengembangan; ) pemenuhan kebutuhan dasar manusia; 3) peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non-materi; 4) berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan; 5) penghormatan dan dukungan terhadap keragaman budaya;

41 5 6) memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan menumbuhkan sikap percaya diri; dan 7) memelihara integritas ekologi. Pitcher dan Preikshot () membagi komponen pembangunan berkelanjutan dalam lima dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika. Sedangkan Charles () mengemukakan konsep pembangunan berkelanjutan mengandung dimensi :) Keberlanjutan ekologi, yaitu: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem sebagai perhatian utama, ) Keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan. 3) Keberlanjutan komunitas, yaitu: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan, dan 4) Keberlanjutan kelembagaan, yakni: menyangkut pemeliharaan dimensi finansial dan administrasi yang sehat, seperti digambarkan pada Gambar. KEBERLANJUTAN EKOLOGI KEBERLANJUTAN INSTITUSI KEBERLANJUTAN SOSIAL EKONOMI KEBERLANJUTAN KOMUNITAS Gambar Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, ) Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan jaman, sehingga perlu adanya perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan tempat. Secara ideal pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak

42 6 tersentuh. Karena itu, berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin keberlanjutan sumber daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe ). Bengen dan Rizal () mengusulkan 6 hal yang perlu dikerjakan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan di Indonesia, yaitu: ) rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan; ) internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan; 3) penetapan retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya kelautan; 4) laut dikelola secara co-management; 5) reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat; 6) laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global. Kesimpulan umum yang dapat diambil dari diskusi-diskusi yang sedang berlangsung saat ini bahwa penggunaan berkelanjutan terhadap barang dan jasajasa lingkungan tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan dimensi sosial dan ekonomi (Haq 997). Berbagai pendapat tentang dimensi keberlanjutan yang dijelaskan di atas disarikan menjadi lima dimensi sesuai dengan kebutuhan untuk budidaya rumput laut, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Atribut-atribut dipilih dari setiap dimensi yang mewakili dimensi tersebut secara kuat, tidak tumpang-tindih dengan atribut yang lain dan mudah mendapatkan datanya, yang selanjutnya digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan. Secara umum, kelima dimensi tersebut (diadaptasi dari Susilo 3) diuraikan sebagai berikut: Atribut ekologis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya,

43 7 misalnya untuk usaha budidaya rumput laut, dapat berkelanjutan pula. Sebab praktek pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukungnya akan mengarah kepada ketidakberlanjutan aktifitas tersebut. Tingkat ekploitasi atau tekanan ekploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Tingkat pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya akan membahayakan keberlanjutan sumberdaya tersebut yang ditandai dengan menurunnya produktivitas rumput laut dan timbulnya penyakit ice-ice. Karena itu penurunan produktifitas rumput laut dan penyakit ice-ice yang muncul dalam kondisi lingkungan yang jelek dapat dijadikan indikator ekologis negatif tentang keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Atribut ekonomis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir berdampak secara ekonomi terhadap keberlanjutan usaha rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada keberlanjutan secara ekologis. Suatu kegiatan yang menimbulkan kerugian secara ekonomis, misalnya karena rendahnya produktifitas ataupun karena penyakit ice-ice, pasti tidak akan berlanjut. Hal ini, berpotensi untuk merusak lingkungan sehingga juga berpotensi mengancam keberlanjutan ekologis. Penurunan produktifitas dapat menjadi indikator dimensi ekonomi, juga penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Atribut sosial mencerminkan bagaimana kegiatan budidaya rumput laut berdampak terhadap keberlanjutan sosial budaya komunitas setempat yang pada akhirnya juga akan berdampak terhadap keberlanjutan ekologis. Pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat pendidikan yang tinggi, tingkat kesehatan yang baik, bekerja dalam kelompok akan mendorong ke arah keadilan sosial dan kemudahan pengelolaan pemanfaatan yang mengarah ke keberlanjutan dimensi sosial. Tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik serta tingkat pendapatan yang memadai pada akhirnya juga akan berpengaruh positif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan (ekologis). Sebaliknya, frekuensi konflik yang tinggi baik dalam sektor yang sama maupun dengan sektor lain akan mengancam keberlanjutan sosial. Atribut kelembagaan mencerminkan seberapa jauh tersedia perangkat kelembagaan dan hukum yang dapat mendorong keberlanjutan pemanfaatan dan

44 8 pengelolaan sumberdaya rumput laut. Tersedianya peraturan pemerintah, aturan adat dan agama/kepercayaan tentang pemanfaatan sumberdaya rumput laut, adanya lembaga yang memfasilitasi petani rumput laut dalam mengakses lembaga keuangan, informasi pasar dan peningkatan kapabilitas, secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Bengen dan Rizal () menyatakan bahwa kearifan masyarakat adat telah menjadi pilar yang mampu mempertahankan kelestarian sumberdaya alam. Dimensi ekologi (lingkungan), ekonomi, sosial dan kelembagaan merupakan empat dimensi yang harus seimbang dalam pembangunan berkelanjutan (Charles ). Dan pada akhirnya, keberhasilan suatu pengelolaan wilayah pesisir sangat ditentukan oleh kepatuhan masyarakat terhadap peraturan yang telah dibuat (Susilo, 3). Beberapa indikator ekosistem wilayah pesisir dapat digunakan sebagai salah satu cara memonitor keberhasilan implementasi kebijakan pembangunan berkelanjutan. Menurut OECD (993), indikator-indikator tersebut adalah:. Parameter fisik: luas lahan yang masih alami; luas lahan pemukiman, industri, komersial, dan rekreasi; volume dan luas pembuangan sampah, reklamasi, dan drainase tahunan; tingkat ekstraksi tahunan dari mineral, pasir, kerikil, gas, dan minyak bumi; perubahan volume pasir pantai; tingkat abrasi pantai; perubahan tingkat permukaan laut;. Parameter kimia/biologi: indikator kualitas air; kandungan klorofil; distribusi vegetasi wilayah pesisir; persen habitat alami yang dilindungi; jumlah species terancam punah; 3. Parameter Sosial: kepadatan populasi penduduk; perlindungan terhadap situs yang bernilai budaya dan arkeologi; rasio lahan yang telah dikembangkan terhadap yang belum dikembangkan; tingkat infrastruktur yang ada; peluang akses publik terhadap pantai; partisipasi publik dan dunia usaha (industri) dalam penentuan kebijakan dan tujuan pengelolaan; dan kemauan politik pemerintah dan politikus. Sedangkan yang diadaptasi dari Charles () dan Susilo (3), atribut-atribut untuk rumput laut adalah:

45 9 ) Dimensi Ekologi: biofisik lingkungan, pertumbuhan rumput laut, kandungan karagenan, luasan areal yang sesuai, ketersediaan dan mutu bibit. ) Dimensi Ekonomi: keuntungan, kontribusi terhadap PAD, sistem permintaan pasar (lokal, nasional dan internasional). 3) Dimensi Sosial budaya: kualitas SDM (tingkat pendidikan, persepsi masyarakat), penyerapan tenaga kerja, sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut (gender, kemandirian, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya, jumlah rumah tangga petani rumput laut), alternatif usaha selain menanam rumput laut. 4) Dimensi Kelembagaan: Perda tentang rumput laut, aturan adat/agama, koperasi/kelompok tani rumput laut. Bengen (4) menyatakan bahwa, selain memiliki potensi sumberdaya yang besar, wilayah pesisir juga memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas yang dimaksud adalah ) penentuan wilayah pesisir baik ke arah darat maupun ke arah laut sangat bervariasi tergantung karakteristik lokal kawasan tersebut; ) adanya keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan kawasan lahan atas dan laut lepas; 3) memiliki berbagai jenis sumberdaya dan jasa lingkungan, sehingga menghadirkan berbagai penggunaan/pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor pembangunan; 4) secara sosial ekonomi, wilayah pesisir biasa dihuni oleh lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda; 5) adanya sifat common property dari sumberdaya pesisir yang dapat mengakibatkan ancaman terhadap sumberdaya tersebut; dan 6) sistem sosial budaya masyarakat pesisir memiliki ketergantungan terhadap fenomena alam. Karena kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir cukup tinggi, maka alternatif yang sesuai untuk pengelolaannya adalah pengelolaan secara terpadu. Sebaliknya pengelolaan secara sektoral hanya akan memperbesar ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya pesisir dan laut. Berkaitan dengan pengembangan rumput laut di wilayah pesisir, maka pengelolaan yang dilaksanakan harus terpadu dengan sektor-sektor lain agar tidak saling mematikan sehingga pengembangan rumput laut dapat berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan.

46 .3 Rumput Laut Rumput laut merupakan salah satu komoditi sub-sektor perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena menghasilkan alginat, agar-agar dan karaginan. Alginat, agar-agar dan karaginan mempunyai tingkat kegunaan tinggi dalam berbagai bidang, seperti industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Seiring dengan berkembangnya industri tersebut, menyebabkan permintaan rumput laut terus meningkat baik untuk keperluan dalam negeri maupun ekspor. Secara ekonomi rumput laut dapat memberikan sumbangan devisa bagi negara dan meningkatkan pendapatan nasional. Di samping itu budidaya rumput laut ternyata mampu mengubah tingkat sosial-ekonomi masyarakat pantai dan meningkatkan pendapatan serta dapat melindungi sumberdaya pesisir melalui pengalihan kegiatan yang dapat merusak lingkungan misalnya pengambilan karang dan penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan (Madeali et al. 999). Perairan Indonesia memiliki sumberdaya plasma nutfah rumput laut kurang lebih 555 jenis (Basmal ). Beberapa jenis rumput laut tersebut telah mampu dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri. Rumput laut yang dikembangkan di Kabupaten Bantaeng adalah jenis K.alvarezii. Jenis ini mempunyai nilai ekonomis penting karena merupakan penghasil karaginan. Dalam dunia industri dan perdagangan, karaginan mempunyai manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat, yakni digunakan sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain (Mubarak et al. 99)..3. Deskripsi Kappaphycus alvarezii Menurut Doty (985), K.alvarezii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi K.alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut K.alvarezii. Nama daerah cottonii umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Klasifikasi K.alvarezii menurut Doty (985) adalah sebagai berikut :

47 Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieracea Genus : Eucheuma Species : Kappaphycus alvarezii (Doty) Ciri fisik K.alvarezii adalah mempunyai tallus silindris, permukaan licin, cartilogeneus. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan. Duriduri pada tallus runcing memanjang agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari tallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 996) (Gambar 3). Rumput laut bereproduksi dengan tiga cara, yaitu: vegetatif, generatif dan pembelahan sel. Berbagai faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam proses reproduksi rumput laut seperti suhu, salinitas, cahaya, arus, dan unsur hara (Departemen Pertanian ). Gambar 3 Kappaphycus alvarezii (Doty) (Sumber gambar: Yulianda 3).

48 .3. Kondisi dan Persyaratan Tumbuh Rumput Laut Lokasi yang sesuai dengan persyaratan tumbuh merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu budidaya rumput laut. Faktorfaktor lainnya adalah teknis budidaya atau penanaman, bibit unggul, sosial ekonomi dan pemasaran. Wilayah perairan pesisir Kabupaten Bantaeng, secara umum dapat dikatakan cukup memenuhi syarat untuk pertumbuhan rumput laut, walaupun berhadapan langsung dengan Laut Flores sehingga pada bulan Desember-Februari ombak besar. Hal tersebut terbukti dengan semakin berkembangnya usaha rumput laut di wilayah tersebut. Pertumbuhan K.alvarezii membutuhkan kondisi perairan seperti tertera pada Tabel. Tabel Kondisi dan persyaratan tumbuh K.alvarezii No. Parameter Kondisi/Persyaratan Tumbuh. Kec. Arus (m/det.).-.3. Substrat dasar Pasir, pecahan karang 3. Salinitas ( ) Keterlindungan Terlindung 5. Tinggi gelombang (m) Suhu ( C) Kecerahan (%) 8-8. Derajat keasaman Kedalaman (m) - Sumber: Modifikasi dari Puslitbangkan (99); Sulistijo (996); Aslam (998); FAO (8)..3.3 Metode Budidaya Rumput Laut Di dalam teknik budidaya ada dua hal yang perlu diperhatikan. yaitu pemilihan bibit dan metoda budidaya. Dikenal lima metode budidaya rumput laut, yaitu: metode lepas dasar, metode rakit apung, metode long line, metode jalur dan metode keranjang (kantung) (Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya 6). Penerapan metode tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan dimana rumput laut akan dibudidayakan. Di Kabupaten Bantaeng petani rumput laut menggunakan metode long line karena dianggap cocok dengan kondisi

49 3 biofisik perairan serta biaya konstruksinya lebih murah bila dibandingkan dengan metode lainnya. Metode long line menggunakan tali panjang yang dibentangkan, pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap 5 m diberi pelampung utama yang berupa drum plastik/styrofoam. Aji dan Murdjani (986) menyebutkan bahwa dengan sistem pemeliharaan yang baik untuk budidaya tambak dapat dicapai produksi sebanyak sampai dengan 5 kg berat kering/ha/panen atau sekitar 6-9 ton/ha/tahun. Untuk budidaya dengan sistem rakit dapat mencapai produksi sekitar kg/m /tahun. Sedangkan untuk metode long line, rumput laut yang dipanen pada umur 45 hari menghasilkan rumput laut basah antara 5 6 kg-5 kg/ha atau setara dengan kg/ha rumput laut kering (Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya 6)..3.4 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Rumput Laut Secara umum ada beberapa permasalahan pengembangan rumput laut di Indonesia, antara lain: ) sumberdaya manusia yang tersedia walaupun dalam jumlah cukup namun dalam hal mutu masih relatif rendah akibatnya rumput laut yang dihasilkan, produktivitas dan kualitasnya rendah; ) belum menguasai teknologi untuk mengolah rumput laut menjadi karaginan agar bisa memperoleh nilai tambah; dan 3) petani rumput laut umumnya kesulitan dalam hal permodalan karena belum tersentuh oleh lembaga keuangan yang ada sehingga kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Disisi lain, Indonesia sangat berpeluang untuk mengembangkan rumput laut karena didukung oleh potensi kawasan yang sesuai untuk budidaya hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Gambar 4 memperlihatkan total luas lahan perairan yang potensial dapat dimanfaatkan untuk usaha budidaya rumput laut jenis K.alvarezii seluas ha (Ma ruf ). Bahkan Master Plan Budidaya Laut tahun 4 (Nurdjana 6) menyatakan bahwa potensi indikatif mencapai 4 7 ha dan potensi efektif 35 ha. Kemudian, sinar matahari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tersedia sepanjang tahun dan sumberdaya manusia yaitu nelayan juga cukup tersedia, maka Indonesia

50 4 berpotensi besar untuk menimba untung dari bisnis ini. Proyeksi pengembangan rumput Laut 6-9 adalah sebagai berikut (Tabel ). Sulawesi Selatan memiliki potensi budidaya laut sekitar 6 5 Ha. Dari potensi tersebut sekitar 5 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha budidaya rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 5 ton berat kering/tahun (Anonim 4). Jenis K.alvarezii merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan Sulawesi Selatan yang cenderung mengalami peningkatan produksi dan volume ekspor. Pada tahun 3 volume ekspor mencapai ton dengan nilai US$ 5.7 juta dan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar pada sektor produksi, pengolahan dan pemasaran. Gambar 4 Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di Indonesia (Sumber gambar: Ma ruf ). Kabupaten Bantaeng sebagai salah satu produsen rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai potensi lahan sekitar 6 ha dan sudah dikelola seluas 965 ha. Adapun produksi rumput laut yang dihasilkan antara - 5 kg/ha/siklus berat kering pada musim baik (Maret-Juli) dan dari segi kualitas, rendemen yang dihasilkan berkisar 5-3% (Subdiskan Bantaeng 6).

51 5 Tabel Proyeksi pengembangan rumput laut tahun 6-9 No Parameter Tahun Produksi (ton) Gracillaria sp K.alvarezii Luas lahan (ha) Pengembangan Gracillaria sp Pengembangan K.alvarezii Tambahan Pengembangan K.alvarezii Pengembangan Kebun Bibit 3 Rumput Laut Gracillaria sp K.alvarezii Investasi dan Modal Kerja Gracillaria sp. (Rp. Juta) K.alvarezii. (Rp. Juta) Kebutuhan Mesin Pre-Processing 5 (unit) Tenaga kerja (Orang) Sumber: Nurdjana Ketersediaan dan Permintaan Rumput Laut Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di dunia setelah Filipina (Ma ruf ). Peningkatan produksi setiap tahun sangat signifikan. Pada tahun produksi Indonesia baru 5 7 ton, merupakan 5 % dari produksi Filipina tetapi pada tahun 7 produksi K.alvarezii Indonesia sudah hampir menyamai jumlah produksi Filipina (Gambar 5 dan Lampiran ). Produk rumput laut Indonesia mayoritas diekspor dalam bentuk kering tanpa olahan lebih lanjut. Padahal beberapa pabrik pengolahan di dalam negeri masih kekurangan bahan baku dan kebutuhan Indonesia terhadap produk olahan rumput laut baik karaginan, alginat maupun agar-agar sangat tinggi (DKP 6) Kebutuhan karaginan untuk beberapa industri di Indonesia pada tahun adalah sebesar 864 ton dan baru sebagian kecil (74 ton) yang bisa dipasok oleh industri pengolahan karaginan dalam negeri. Sisanya diimpor dari luar negeri (DKP 6). Tingginya pemanfaatan karaginan menyebabkan permintaan terhadap rumput laut juga cenderung meningkat setiap tahun (Tabel 3)

52 6 Produksi (Ton) Gambar 4 Produsen rumput laut (K.alvarezii) tahun Gambar 5 Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun -7. Tabel 3 Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut Indonesia Tahun -4 No. Tahun Produksi (Ton) Volume Ekspor Nilai Ekspor (Ton) (US$ ) Sumber: Nurdjana 6. Potensi lahan budidaya untuk lingkup Provinsi Sulawesi Selatan ± 6 5 Ha, dari potensi tersebut sekitar 5 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha budidaya rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 5 ton berat kering/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulsel 3). Pemanfaatan lahan di Sulawesi Selatan sampai saat ini masih kurang dari 5% dengan produksi pada tahun 3 mencapai 58 ton kering atau baru % dari produksi nasional. Produksi dan luas lahan Kabupaten Bantaeng sejak tahun 8 tertera pada Tabel Tahun,8 Filipina 96, 96,6 9,7 94,96 93, 86, 9, Indonesia 45, 36,5 5,7 6,3 Malaysia Afrika Timur China Vietnam India

53 7 Tabel 4 Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng Tahun -8 No. Tahun Produksi (ton) Luas Lahan (ha) (Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 9)..4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno ). Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian sistematik dari lahan dan menggolong-golongkannya ke dalam kategori berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi suatu usaha atau penggunaan tertentu (Hardjowigeno ). Proses penilaian kesesuaian lahan budidaya rumput laut adalah membandingkan antara syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut dengan kualitas lahan pesisir. Oleh karena itu, perlu dijelaskan syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut. Syarat-syarat penggunaan lahan tersebut kadang-kadang memiliki parameter dengan nilai yang berbeda dan tergantung pada letak geografis (Diadaptasi dari FAO 976). Pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut, klasifikasi kesesuaian lahannya ditujukan untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan, serta menjamin kegiatan budidaya rumput laut tersebut dapat berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan, ditinjau secara ekologis, ekonomis, sosial, teknologi dan kelembagaan.

54 8 Langkah awal yang harus diperhatikan untuk memulai budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi yang sesuai, terutama kesesuaian dari dimensi ekologi. Akan tetapi menurut Aji dan Murdjani (986), sangat sulit untuk menetapkan batas dari masing-masing faktor ekologi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan rumput laut yang optimal. Karena faktor-faktor ekologis ini sangat bervariasi dari suatu daerah dengan daerah lain. Faktor-faktor ekologi yang dimaksud adalah sebagai berikut: ) Terdapat gerakan air yang berbentuk arus. Arus air berperan dalam membawa nutrien yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut dan membersihkan rumput laut dari kotoran yang menempel. ) Perairan terlindung dari tiupan angin dan ombak yang terlalu keras. 3) Airnya jernih dengan kecerahan yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan kebutuhan terhadap sinar matahari untuk proses fotosintesis bagi pertumbuhan rumput laut. 4) Pada saat surut terendah, masih tergenang air dengan kedalaman 3-6 cm agar rumput laut tidak mengalami kekeringan. 5) Dasar perairan terdiri dari pasir dan pecahan karang namun tidak ada endapan dan kotoran. 6) Tidak terdapat hewan-hewan pemangsa (ikan-ikan herbivora, penyu dan bulu babi). 7) Terdapat bentos, teripang, kerang-kerangan dan lain-lain, yang tumbuh dengan baik. 8) Perubahan kadar garam tidak telalu besar. 9) Kaya akan nutrien. ) Derajat keasaman air antara netral sampai agak basa (ph 7-8). ) Bebas dari aliran bahan pencemar. Selain kesesuaian dari dimensi ekologi, penting juga diperhatikan kesesuaian dari dimensi lingkungan sosial ekonomi agar usaha rumput laut bisa optimal dan berkelanjutan. Adapun dimensi sosial ekonomi yang harus diperhatikan (Deptan DKI, ), adalah sebagai berikut: ) lokasi tersebut tidak termasuk dalam wilayah jalur pelayaran lalu lintas laut.

55 9 ) lokasi tersebut tidak menjadi sengketa dengan kegunaan usaha lain. 3) tersedia banyak tenaga kerja karena usaha budidaya rumput laut merupakan usaha yang padat karya. 4) Mudah terjangkau dengan alat transportasi. Pemilihan lahan yang tidak sesuai akan berdampak pada berbagai dimensi yang saling terkait, yakni: dari dimensi ekonomi akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan modal dan tingginya biaya operasional; dari dimensi ekologi, kualitas dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan rendah dan kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan; dari dimensi kelembagaan, tersedianya lembaga yang dapat membantu petani rumput laut dalam hal permodalan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, informasi pasar dan lainlain, akan berdampak terhadap pemanfaatan dan pengelolaan rumput laut yang berkelanjutan..5 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Sebagian besar permasalahan yang bertalian dengan pengelolaan pembangunan wilayah pesisir, seperti pencemaran, overfishing, erosi dan sedimentasi pantai, kepunahan jenis, dan konflik penggunaan ruang, merupakan akibat dari terlampau tingginya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh penduduk beserta segenap kiprah kehidupan dan pembangunannya terhadap lingkungan wilayah pesisir yang memiliki kemampuan terbatas (Dahuri ). Daya dukung lingkungan atau kawasan sendiri didefinisikan sebagai kapasitas yang dimiliki oleh suatu area yang penggunaan berbagai sumberdayanya tetap berlanjut (aktivitas pembangunan) (Clark 99). Atau menurut Turner (988), daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang dapat ditampung oleh suatu kawasan atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu. Sedangkan Quano (993), menyatakan daya dukung adalah kemampuan perairan dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan. Mirip dengan pernyataan Krom (986),

56 3 bahwa daya dukung lingkungan adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima sejumlah limbah sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan. Menurut Bengen (), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Daya dukung dibedakan menjadi empat macam, yaitu:. Daya dukung ekologis, yaitu tingkat maksimum (jumlah dan volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi;. Daya dukung fisik, adalah jumlah maksimum pemanfatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan penurunan kualitas fisik; 3. Daya dukung sosial adalah tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan; 4. Daya dukung ekonomi adalah tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu suatu sumber daya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan. Daya dukung lingkungan menurut Scones (993) dalam Asbar (7) dibagi atas dua, yaitu daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomi. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta tidak terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi dari usaha yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh: () kondisi biogeofisik wilayah, dan () permintaan manusia akan sumberdaya alam (SDA) dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan (assessed) dengan cara menganalisis: () kondisi (variabel) biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan SDA dan jasa lingkungan, dan () variabel sosekbud yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi

57 3 berpengaruh terhadap wilayah pesisir, akan SDA dan jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir (Dahuri, ). Lebih lanjut Dahuri () menyatakan bahwa daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis (a fixed amount), tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik (ekologis) wilayah termaksud dan juga kebutuhan (demand) manusia akan SDA dan jasa lingkungan (goods and service). Daya dukung suatu wilayah dapat menurun akibat kegiatan manusia maupun gaya-gaya alamiah (natural forces), seperti bencana alam. Atau, dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat (proper), masukan teknologi, dan impor (perdagangan). Ketika SDA dan jasa lingkungan suatu wilayah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, maka keuntungan pembangunan dari wilayah tersebut secara keseluruhan mulai menurun, yang selanjutnya akan mengakibatkan menurunnya perekonomian (economic decline) wilayah, serta penurunan kesempatan kerja, pendapatan, dan devisa. Fenomena yang terjadi di Kabupaten Bantaeng, dimana masyarakat begitu antusias dalam pengembangan rumput laut menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya. Sehingga kemungkinan hal tersebut di atas, yakni menurunnya keuntungan pembangunan wilayah secara keseluruhan yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan perekonomian wilayah serta penurunan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan devisa, bisa terjadi..6 Pemodelan Sistem Dinamik Sistem didefiniskan sebagai suatu agregasi atau kumpulan objek yang saling menerangkan dalam interaksi dan tergantung satu sama lain (Eriyatno dan Sofyar 7). Menurut Eriyatno (998), sistem adalah totalitas himpunan elemenelemen yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu, dalam upaya mencapai suatu gugus tujuan (goals). Pengertian sistem menurut Marimin (7), adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Menurut Handoko (5), sistem adalah suatu mekanisme dari interaksi berbagai komponen sebagai

58 3 suatu cara untuk membentuk sebuah fungsi. Dalam suatu sistem setiap komponen dan fungsinya dapat diidentifikasi seperti interaksi diantara komponen dan di dalam komponen. Demikian juga menurut Hartrisari (7), bahwa sistem dapat didefinisikan sebagai sekumpulan elemen (komponen) yang saling berinteraksi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dijelaskan bahwa sistem dapat digolongkan pada jenis, yaitu: Sistem terbuka (open system) Sistem tertutup (closed system) Sistem terbuka adalah sebuah sistem di mana output yang dihasilkan merupakan tanggapan dari input, tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap input. Atau Sistem yang tidak menyediakan sarana koreksi, sehingga perlakuan koreksi membutuhkan faktor eksternal. Sedangkan Sistem tertutup adalah sistem di mana output yang dihasilkan akan merupakan tanggapan dari input, dan perilaku sistem akan dipengaruhi output tersebut. Atau sistem yang menyediakan sarana koreksi di dalam sistem itu sendiri dalam rangka pencapaian tujuan sistem Para ahli sistem memberikan batasan permasalahan yang solusinya sebaiknya menggunakan teori sistem adalah yang memenuhi karakteristik, ) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; ) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno dan Sofyar 7). Manfaat utama dari sistem dinamik menurut Coyle (996) dalam Eriyatno dan sofyar (7) adalah mendapatkan kualitas yang dapat diperbandingkan dari rancangan maupun kinerja dan sistem yang dapat dikelola. Langkah pertama untuk melakukan permodelan sistem dinamis adalah dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan gambaran bentuk dan perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan balik (causal loop) yang menyusun struktur model. Perilaku model dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model yang dapat dipahami dari hasil simulasi model. Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses tersebut di masa depan. Dalam pendekatan analisis sistem dinamis, struktur suatu sistem dijelaskan dengan jalan menentukan pengaruh ini akan

59 33 memberikan hubungan sebab akibat antara faktor-faktor yang ada (Eriyatno dan sofyar 7). Hubungan sebab akibat yang dinyatakan dalam suatu diagram (causal loop diagram) dapat menjelaskan dinamika yang berlaku pada sistem tersebut. Hubungan sebab akibat dibedakan dua macam, yaitu:. Hubungan positif, dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula nilai faktor akibat.. Hubungan negatif, yaitu makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai faktor akibat. Dapat pula akibat dari suatu sebab mempengaruhi balik sebab tersebut, sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah berlawanan dengan sebab akibat yang lain. Sehingga terbentuk suatu untaian tertutup, yang disebut loop. Akibat dicatu balikkan ke penyebabnya, maka terbentuk untaian catu balik atau feed back loop. Konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya. Sehingga kaitan antara faktor-faktor ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan politik makin lama makin erat sehingga gerakan disalah satu faktor akan mempunyai pengaruh pada faktor lain (Marimin 7). Model merupakan representasi dari sistem. Model yang dibangun tidak akan sama persis dengan sistem sebenarnya. Semakin banyak variabel yang dimasukkan dalam model, semakin sulit untuk menjelaskan proses yang terjadi (Forrester 965 dalam Hartrisari 7). Pemodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktivitas pembuatan model. Dari terminologi penelitian operasional, secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno 998). Model memperlihatkan hubunganhubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik yang diistilahkan sebab akibat. Karena suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks dari pada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai dimensi dari realitas yang sedang dikaji.

60 34 Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah untuk menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah. Lebih lanjut Eriyatno (998), menyatakan bahwa model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Kategori umum adalah jenis model yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi () model ikonik, adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda misalnya: foto, peta, prototip, alat; () model analog, dapat mewakili situasi dinamik, yaitu keadaan yang berubah menurut waktu, contohnya: kurva permintaan; (3) model simbolik, pada hakekatnya ilmu sistem memusatkan perhatian pada model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji. Format model simbolik dapat berupa angka, simbol dan rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu persamaan (equation). Sedangkan (Handoko 5), membagi tipe model menjadi: () Fisik vs. mental. Model fisik menggambarkan sistem secara nyata (fisik), seperti boneka, prototipe pesawat terbang dan mobil sedangkan model mental menggambarkan sistem melalui penjelasan secara deskriptif atau persamaan matematis; () Deskriptif vs. numerik. Model deskriptif menjelaskan sistem tanpa menggunakan hubungan kuantitatif, umumnya menggunakan diagram atau berupa konsep sementara model numerik menggunakan persamaan matematis sehingga mempunyai kemampuan prediksi; (3) Empirik vs. mekanistik. Model empirik juga disebut model statistik, yang mengandalkan hubungan kausal berdasarkan pengamatan empirik (hubungan input-output). Model ini kadang disebut black box karena tidak menjelaskan mekanisme proses yang terjadi. Sebaliknya model mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi, namun tergantung pada level model tersebut. Model yang tingkatannya lebih tinggi akan menjadi model empirik jika dibandingkan model dengan tingkat yang lebih rendah. Tidak ada model yang benar-benar ( %) mekanistik; (4) Statis vs. dinamis. Model statis tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah, tidak ada fungsi waktu sebaliknya model dinamis memperhitungkan waktu sebagai variabel. Dalam model dinamis, variabel yang tidak berubah dengan waktu disebut parameter

61 35 atau konstanta dan; (5) Deterministik vs. stokastik. Model deterministik menghasilkan keluaran (output) yang pasti (determined) atau tunggal dan tidak memperhitungkan berbagai kemungkinan lain akibat ketidak-pastian berbagai faktor eksternal berbeda dengan keluaran model stokastik, dengan masukan (input) yang sama dapat memiliki berbagai kemungkinan. Pada model semacam ini, biasanya digunakan perhitungan peluang (probability) dari keluaran (output) model. Dalam proses membangun model simulasi komputer, terdapat enam tahap yang saling berhubungan yang perlu diperhatikan (Djojomartono 993), sebagai berikut : ) Identifikasi dan definisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran dan definisi masalah yang dihadapi yang memerlukan pemecahan. Pernyataan yang jelas tentang mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah tersebut merupakan langkah pertama yang penting. Karakteristik pokok yang menyatakan sifat dinamik atau stokastik dari permasalahan harus dicakup. Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan ruang lingkup sistem. ) Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan yang lebih dalam lagi terhadap struktur sistem dan mengetahui dengan jelas pengaruh-pengaruh penting yang akan beroperasi didalam sistem. Dalam tahap ini, sistem dapat dinyatakan diatas kertas dengan beberapa cara, yaitu : (i) diagram lingkar sebab akibat dan diagram kotak; (ii) menghubungkan secara grafis antara peubah dengan waktu dan bagan alir komputernya. Struktur dan kuantitatif dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya akan mempengaruhi efektivitas model. 3) Formulasi model. Berdasarkan asumsi bahwa simulasi model merupakan keputusan, maka proses selanjutnya dalam pendekatan sistem akan diteruskan dengan menggunakan model. Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat dimasukkan kedalam komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok pada tahap formulasi model.

62 36 4) Simulasi model. Tahap simulasi ini, model simulasi komputer digunakan untuk menyatakan serta menentukan bagaimana semua peubah dalam sistem berperilaku terhadap waktu. Ditetapkan periode waktu simulasi. 5) Evaluasi model. Berbagai uji harus dilakukan terhadap model yang telah dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan keluaran model dengan data pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameterparameter yang digunakan dalam simulasi. Analisis sensitivitas dapat dilakukan setelah model divalidasi. 6) Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup penggunaan model dalam menguji dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanakan.

63 III. METODOLOGI PENELITIAN 3. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (Gambar 6). Penelitian dilaksanakan pada Februari 9-Maret PEMERINTAH KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN PETAWILAYAHADMINISTRASI KABUPATENBANTAENG SULAWESI SELATAN Pattaneteang Legenda : Tompobulu Pa'bumbungang Ulu Ere Kayuloe Bonto Daeng 9395 Kampala 9395 Eremerasa Sinoa Mamampang Tanah Loe Gantarangkeke Baji Minasa Bonto Majannang Lonrong Biang Loe Bonto Jaya Bissappu Bonto Lojong Labbo Bonto Karaeng Bonto Bullaeng Barua Bonto Tallasa Onto Gantareng Keke Bonto Maccini Mappilawing Bonto Mate'ne Bonto Rannu Bonto Salluang Bonto Cinde Bonto Loe Bonto Manai Bonto Langkasa Bonto Lebang Bonto Tappalang Balumbung Ereng Ereng Bonto Marannu Bonto Tangnga Bonto Bontoa Parang Loe Campaga Banyorang Bonto Tiro Ulugalung Batu Karaeng Karatuang Bonto Rita Bonto Sunggu Bonto Atu Mallilingi Bantaeng Pallantikang Tappanjeng Biang keke Lamalaka Rappoa Lumpangang Letta Lembang Pa'bentengang Lembang Gantareng Keke Pattallassang Kaloling Tombolo Nipa Nipa Layoa 9385 Pa'jukukang Borong Loe 9385 Papan Loe Bonto Jai W Sungai Batas Kecamatan Batas Desa Jalan N E S L a u t F l o r e s Skala : Kilometers Baruga Lokasi penelitian Kab. Bantaeng Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

64 38 3. Tahapan Penelitian Penelitian akan dilaksanakan dalam beberapa tahap seperti tertera pada Gambar 7 berikut. Analisis Biofisik Penentuan Kesesuaian Lahan Penentuan Daya Dukung Lahan Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut Penentuan Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut Gambar 7 Tahapan rencana penelitian. 3.3 Metode Penelitian 3.3. Sumber Data dan Prosedur Penelitian Penelitian ini akan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui observasi, pengukuran langsung di lapangan maupun analisa di laboratorium dan dari hasil wawancara langsung di lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan penelitian ini Karakteristik Biofisik Kawasan Pesisir. Parameter biofisik yang akan diamati, seperti tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis, alat/cara analisis, dan sumber data dalam rencana penelitian No. Jenis data Alat /cara analisis Sumber I. Data Primer. Kelayakan lahan - Suhu - Kecerahan - Salinitas - ph air - Kecepatan arus - Kedalaman Water Quality Checker Secchi disk Water Quality Checker Water Quality Checker Layang-layang arus Eikman Grab In situ In situ In situ In situ In situ In situ

65 39 No. Jenis data Alat /cara analisis Sumber - Substrat - Tinggi gelombang - Hama/predator rumput laut Eikman Grab/analisis tanah In situ In situ In situ.. Aspek ekologi - mutu dan ketersediaan bibit - pertumbuhan RL - luasan areal yang sesuai Aspek konomi - Kelayakan usaha - Keuntungan - Pendapatan petani - Sistem permintaan Pasar (Domestik dan Ekspor), Aspek Sosial-budaya - Tingkat pendidikan, - Jumlah RT petani - Sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut - Kemandirian petani, - Partisipasi keluarga - Sosialisasi pekerjaan - Alternatif usaha - Pemberdayaan masyarakat Aspek Teknologi - Sarana dan prasarana - Standarisasi mutu - Teknologi pengolahan - Ketersediaan informasi rl - Tingkat penguasaan teknologi budidaya rl Aspek Kelembagaan. - Ada tidaknya kelompok tani - Zonasi peruntukan lahan/perairan - Ketersediaan Perda - Ketersediaan hukum adat/agama - Adanya tokoh masyarakat - Ada tidaknya lembaga keuangan/sosial II. Data Sekunder. Citra Landsat ETM 7 Tahun 5. Peta : - Peta rupa bumi - Peta lingkungan pantai Wawancara langsung (kuesioner) Er Mapper 6. dan Arc View 3.3. Arc View 3.3. Sampling Biotrop,BPPT Bakosurtanal, BPN, BPPT,

66 4 No. Jenis data Alat /cara analisis Sumber (LPI) Puslitanak, - Peta kemampuan lahan BMG - Peta batimetri Maritim - Peta administrasi Makassar, 3. Pustaka yang terkait dengan penelitian ini. Bappeda Instansi terkait 3.4 Analisis Data 3.4. Analisis Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Analisis kesesuaian lahan kawasan pesisir Kabupaten Bantaeng dikhususkan pada kesesuaian lahan bagi peruntukan budidaya rumput laut jenis K.alvarezii melalui analisis kondisi lingkungan perairan. Parameter lingkungan perairan merupakan faktor pembatas dan menjadi pertimbangan utama dalam penentuan tingkat kesesuaian lahan bagi budidaya rumput laut dengan metode long line, seperti di tampilkan pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut metode long line. Kriteria Kesesuaian No. Parameter Tidak Sangat Sesuai Sesuai Bersyarat sesuai. Kec. Arus (m/det.).-.3.-<.; >.3-.4 <.; >.4. Substrat dasar Pasir,pecahan Pasir sedikit berlumpur karang berlumpur 3. Salinitas ( ) <8; >34-35 <5; >35 4. Keterlindungan Terlindung Cukup terlindung terbuka 5. Tinggi gelombang (m).-.3.-<.; >.3-.4 < Suhu ( C) <8; >34-35 <6; >35 7. Kecerahan (%) 8-6- <8 <6 8. Derajat keasaman <7.5 <6.5-> Kedalaman (m) - -<; >- 3 <; >3 Sumber: Modifikasi dari Puslitbangkan (99); Hidayat (994); Sulistijo (996); Aslam (998); Effendi (4); FAO (8). Secara umum terdapat lima tahapan dalam melakukan analisis kesesuaian lahan, yaitu: ). Penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan dan skoring. Parameter yang menentukan diberikan bobot terbesar sedangkan kriteria

67 4 yang sesuai diberikan skor tertinggi; ). Penghitungan nilai dengan skor (S) dijumlah secara keseluruhan sehingga didapat total nilai bobot-skor maksimal dikurangi total nilai bobot-skor minimal, kemudian dibagi tiga kategori skor; 3). Pembagian kelas lahan dan nilainya. Pada penelitian ini kelas kesesuaian lahan akan dibedakan pada tiga tingkatan kelas dan didefinisikan sebagai berikut: Kelas S : Sangat sesuai. Lahan atau kawasan yang sangat sesuai untuk budidaya rumput laut tanpa adanya faktor pembatas yang berarti, dimana parameter-parameter fisika kimia dan biologi perairan memenuhi persyaratan atau ketentuan yang ideal, atau memiliki faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan menurunkan produktivitasnya secara nyata terhadap kegiatan atau produksi hasil. Lahan kelas S memiliki nilai sebesar dari nilai maksimum peruntukan budidaya rumput laut. Kelas S : Sesuai Bersyarat. Lahan atau kawasan mempunyai pembatas (Penghambat) yang serius, pembatas tersebut akan mengurangi aktivitas/produktivitas rumput laut dan keuntungan serta meningkatkan masukan yang diperlukan dimana parameter fisika, kimia dan biologi perairan tidak terlalu memenuhi persyaratan / ketentuan yang ideal. Di dalam pengelolaannya diperlukan tambahan masukan (input) teknologi dan tingkatan perlakuan. Lahan kelas S memiliki nilai sebesar 6-98 dari nilai maksimum peruntukan budidaya rumput laut. Kelas S3 : Tidak Sesuai. Lahan atau kawasan yang tidak sesuai diusahakan untuk budidaya rumput laut yang lestari karena mempunyai faktor pembatas yang berat/bersifat permanen dimana parameter tidak memenuhi persyaratan/ketentuan yang ideal. Lahan kelas S3 memiliki nilai di bawah 6 dari nilai maksimum peruntukan budidaya rumput laut. Sesuai dengan faktor pembatas dan tingkat keberhasilan yang dimiliki oleh masing-masing kelas lahan, semakin kecil faktor pembatas dan semakin besar peluang keberhasilan atau produksi suatu lahan, semakin besar pula nilainya; 4). Membandingkan nilai lahan dengan nilai masing-masing kelas lahan. Pada

68 4 cara ini, kelas kesesuaian lahan untuk penggunaan budidaya rumput laut diperoleh; 5). Pemetaan kesesuaian lahan yang dilakukan dengan program spasial Arc View 3.3. untuk memetakan kawasan ketiga kelas lahan tersebut dilakukan operasi tumpang susun (overlaying) dari setiap tema yang dipakai sebagai kriteria. Hasil perkalian antara bobot dan skor yang diterima oleh masing-masing coverage tersebut disesuaikan berdasarkan tingkat kepentingannya terhadap penentuan kesesuaian budidaya rumput laut. Hasil akhir dari analisa SIG melalui pendekatan indeks overlay model adalah diperolehnya rangking (urutan) kelas kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut tersebut Analisis Daya Dukung Kawasan untuk Budidaya Rumput Laut Analisis daya dukung perairan untuk pengelolaan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kapasitas perairan dan pendekatan kapasitas asimilasi N. Pertama; pendekatan kapasitas lahan sesuai dengan metode budidaya yang diterapkan. Parameter yang menjadi acuan dalam penentuan daya dukung lahan tersebut menurut Rauf (7), adalah: a. Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai dapat diperoleh dari hasil analisis kesesuaian dengan menggunakan SIG. b. Kapasitas perairan Kapasitas perairan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus yang secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologis tidak mengganggu ekosistem pesisir. Besarnya kapasitas lahan yang ditetapkan dalam studi ini dianalisis dengan formula sebagai beriut: Keterangan: KK = Kapasitas Perairan l = lebar unit budidaya l = lebar yang sesuai untuk satu unit budidaya p = panjang unit budidaya p = panjang yang sesuai untuk satu unit budidaya

69 43 P l l p L L m Gambar 8 Skema unit budidaya rumput laut. Kapasitas perairan ditentukan dari selisih antara luas perairan yang sesuai dengan luas unit budidaya dibagi dengan luas perairan yang sesuai kali %. Luas unit budidaya (L) ditentukan berdasarkan luas rata-rata unit budidaya yang ada di Kab. Bantaeng, yaitu 45x45 m. Luas yang sesuai untuk satu unit budidaya (L) ditentukan berdasarkan hasil survey lapang. Daerah yang berwarna biru merupakan jarak antara unit budidaya yang diasumsikan m yaitu x lebar maksimal badan perahu dengan penyeimbangnya yang dipakai petani rumput laut dalam melakukan aktivitasnya di Kab. Bantaeng. c. Luasan unit budidaya Luasan unit budidaya adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu unit budidaya rumput laut dengan setiap luasan unit budidaya berbeda-beda tergantung dari metode budidaya yang diterapkan. Dalam kajian ini luasan satu unit budidaya didasarkan pada metode long line dengan ukuran 45 m x 45 m = 5 m atau.5 ha. d. Daya dukung perairan Daya dukung perairan menunjukkan kemampuan maksimal lahan untuk mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan pendekatan tersebut diatas maka daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut: DDP RL = LPS x KP

70 44 Keterangan: DDP RL LPS KP = Daya dukung perairan budidaya rumput laut (ha) = Luas perairan yang sesuai (ha) = Kapasitas perairan (ha) Perhitungan berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh perairan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, digunakan persamaan, sebagai berikut: JUB RL = DDK/LUB Keterangan: JUB RL = jumlah unit budidaya rumput laut (unit) DDP = daya dukung perairan (ha) LUB = luas unit budidaya (unit/ha) Kedua; pendekatan kapasitas asimilasi N perairan dengan rumus: (N BM x V tot x FT) x Keterangan : N BM = N Baku Mutu (Kep.Men LH 4) :. mg/l V tot = V ps x FT = /D, D=koefisien flushing Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut Analisis kesesuaian ekonomi dilakukan pada pemanfaatan existing sumberdaya di wilayah pesisir. Penekanan tujuan analisis ini pada kelayakan usaha yang dilakukan, meliputi penentuan biaya investasi, biaya operasional, dan penerimaan. Analisis ini menggunakan: - Benefit Cost Ratio (R/C), Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana usaha budidaya rumput laut tersebut menguntungkan, dengan menggunakan rumus : -6 R/C = TR/TC Keterangan: TR = Total penerimaan usaha (Rp/ha/tahun) TC = Total biaya usaha (Rp/ha/tahun) Kriteria pengambilan keputusannya adalah : R/C >, usaha budidaya menguntungkan R/C =, usaha budidaya impas (break even point) R/C <, usaha budidaya rugi.

71 45 Selanjutnya, untuk menetukan kelayakan pengembangan usaha budidaya rumput laut dilakukan penghitungan besar penerimaan (benefit) dan besarnya biaya (cost) yang dihitung berdasarkan nilai kini (present value). Kriteria kelayakan yang digunakan adalah: - Net Present Value (NPV) NPV adalah nilai kini dari keuntungan bersih yang akan diperoleh pada masa yang akan datang, dengan menghitung selisih antara manfaat dan biaya kini. Menggunakan persamaan sebagai berikut : NPV = n t= Bt - C (+ i) Keterangan : B t = benefit kotor tahunan, selama t tahun. Ct = biaya kotor tahunan, selama t tahun. t /(+i) = discount factor (DF) i = tingkat suku bunga bank (Discount rate) n = Umur ekonomis dari unit usaha r = discount rate t =,,, 3, tahun ke n Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut: NPV > ; budidaya rumput laut layak diusahakan NPV = ; budidaya rumput laut impas (break even point) NPV < ; budidaya rumput laut tidak layak diusahakan Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut Analisis optimasi pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng untuk pengembangan budidaya rumput laut dilakukan dengan pendekatan sistem dinamik. Model sistem dinamik ini dibangun dan dikembangkan berdasarkan pada data data empiris sistem teknologi budidaya yang ada, faktor-faktor ekologis perairan yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut, faktor-faktor ekonomi dan sosial yang mempengaruhi pengembangan rumput laut, faktor kelembagaan. Model sistem dinamik ini digunakan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan di Kabupaten Bantaeng. Metode analisis data dalam model sistem dinamik optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut terdiri atas analisis kebutuhan, formulasi masalah, t t

72 46 identifikasi sistem melalui diagram causal loop dan diagram input-output, simulasi model, dan verifikasi dan validasi model. a) Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap pelaku (stakeholders) yang terlibat dalam pemanfataan rumput laut. Berdasarkan observasi dilapangan, stakeholders yang terlibat seperti terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng No. Stakeholders Kebutuhan. Petani/Masyarakat Pemerintah Pedagang pengumpul/ Pedagang besar /Pengusaha Lembaga keuangan Industri pengolahan Penyedia jasa transportasi LSM b) Formulasi Masalah Formulasi masalah merupakan identifikasi dari kebutuhan stakeholders yang kontradiktif, yang dapat menyebabkan konflik pada pencapaian tujuan (Hartrisari, 7). Contoh kebutuhan stakeholders yang kontradiktif sehingga bisa menimbulkan konflik adalah masalah harga komoditas rumput laut. Petani rumput

73 47 laut menginginkan harga yang tinggi sementara disisi lain, pedagang pengumpul/pengusaha menginginkan harga yanng rendah. c) Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem bertujuan untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem. Hubungan antara faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) seperti terlihat pada Gambar 9, kemudian dilanjutkan dengan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box) atau diagram input-output (Gambar ). Dalam menyusun black box, jenis informasi dikategorikan kedalam tiga golongan yaitu peubah input, peubah output dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. salinitas kecerahan kecepatan mutu bibit + + luas lahan yang sesuai + pertumbuhan RL musim pemeliharaan + + daya dukung + berat awal bibit produksi + kuantitas RL kualitas RL jarak tanam luas unit usaha + + pasar domestik + kontribusi terhadap PAD + harga RL + + kontinyuitas pasar ekspor status kesehatan penyerapan tenaga kerja jumlah RT petani RL + penerimaan petani RL tingkat pendidikan + pekerjaan alternatif lama pemeliharaan + pemberdayaan masyarakat + Ket: Sub model ekologi (daya dukung) Sub model ekonomi Sub model sosial Sub model teknologi Gambar 9 Diagam causal loop optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kab. Bantaeng.

74 48 Input Tak Terkendali Pencemaran non-point source Arus dan gelombang Penyakit Input Lingkungan Perda Aturan lokal UU No. 7/7 Pengelolaan Budidaya RL Output yang Dibutuhkan Kualitas RL baik Produksi RL kontinyu Kesejahteraan masy. meningkat Ketrampilan dan wawasan nelayan RL meningkat Input Terkendali Jumlah pop. manusia Limbah domestik Masa tanam Grazing oleh ikan Output yg tidak dibutuhkan Konflik antar stakeholder Produksi RL tidak kontinyu Kualitas produksi RL menurun Umpan Balik Gambar Diagram input-output (Hartrisari 7). d) Simulasi Model Simulasi model merupakan peniruan perilaku dari suatu proses atau kecenderungan yang bertujuan untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis, dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Tahapan-tahapan dalam simulasi model adalah: penyusunan konsep, pembentukan model, simulasi, dan validasi hasil simulasi. e) Verifikasi dan Validasi Model Uji validasi perlu dilakukan untuk memenuhi kaidah keilmuan pada model sistem. Validasi merupakan penilaian keobjektifan dari status pekerjaan ilmiah. Validasi model akan menggambarkan sejauh mana status model dapat menirukan fakta. Tahapan-tahapan pendekatan sistem secara sederhana dapat dilihat pada Gambar.

75 49 Gambar Tahapan analisa sistem (Eriyatno, 998). f) Analisis Prospektif Analisis prospektif dilakukan untuk menghasilkan skenario pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal dengan menetukan faktor yang dominan yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Pengaruh antar faktor diberikan skor dengan menggunakan pedoman penilaian analisis perospektif seperti pada Tabel 8 di bawah ini.

76 5 Tabel 8 Pedoman penilaian prospektif dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal di Kabupaten Bantaeng Skor Keterangan Tidak ada pengaruh Berpengaruh kecil Berpengaruh sedang 3 Berpengaruh sangat kuat Adapun pedoman pengisian pengaruh antar faktor berdasarkan pedoman penilaian dalam analisis prospektif adalah sebagai berikut:. Apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain. Jika ya, beri nilai.. Jika tidak, apakah pengaruhnya sangat kuat. Jika ya, beri nilai Jika tidak, baru dilihat apakah berpengaruh kecil =, atau sedang =. Pengaruh antar faktor, selanjutnya disusun dengan menggunakan matriks seperti pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9 Pengaruh antar faktor dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Dari terhadap A B C D E F A B C D E F Kemungkinan-kemungkinan masa depan yang terbaik dapat ditentukan berdasarkan hasil penentuan elemen kunci masa depan dari berbagai faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut

77 5 yang menuntut untuk segera dilakukan tindakan. Adapun cara menentukan faktor kunci, dapat dilihat seperti Gambar, di bawah ini. P e n g a r u h Faktor penentu INPUT Faktor bebas UNUSED Faktor penghubung STAKES Faktor terikat OUTPUT Ketergantungan Gambar Penentuan faktor kunci optimasi pengelolaan sumberdaya rumput lautdi Kabupaten Bantaeng. Hasil analisis berbagai faktor seperti pada Gambar di atas, menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berada pada kwadran I berupa INPUT dan pada kwadran II berupa STAKES, dapat dijadikan acuan dalam pengambilan tindakan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di masa yang akan datang. Berdasarkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap sistem maka dibangun keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor tersebutsebagai alternatif penyusunan skenario pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal, seperti disajikan pada Tabel. Tabel Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Faktor Faktor Faktor Faktor 3 Faktor n Keadaan A B C A B C 3A 3B 3C na nb nc

78 5 Berdasarkan Tabel di atas, maka dibangun skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Selanjutnya disusun tiga skenario yang mungkin terjadi di masa depan seperti terlihat pada Tabe. Tabel Hasil analisis skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng No. Skenario Urutan faktor. Konservatif-pesimistik A-A-3A-4A. Moderat-optimistik B-B-3B-4B 3. Progresif-optimistik C-C-3C-4C Analisis Keberlanjutan Usaha Rumput Laut Análisis keberlanjutan usaha rumput laut dilakukan dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang disebut RAP-RL yang merupakan pengembangan dari metode RAPFISH yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher dan Preikshot ; Kavanagh and Pitcher 4). Analisis keberlanjutan dinyatakan dalam indeks keberlanjutan budidaya rumput laut (ikb-rl). Analisis dilakukan melalui tiga tahapan: ). Penentuan atribut usaha rumput laut yang mencakup lima dimensi, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan; Pada setiap dimensi dipilih beberapa atribut yang mewakili dimensi yang bersangkutan untuk selanjutnya digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan dari dimensi tersebut. Atribut pada setiap dimensi memang sangat banyak tetapi untuk memudahkan analisis selanjutnya maka dipilih yang benar-benar secara kuat mewakili dimensi yang bersangkutan, tidak tumpang tindih dengan atribut yang lain dan mudah mendapatkan datanya. Adapun atribut-atribut dari setiap dimensi yang akan digunakan untuk menilai keberlanjutan usaha rumput laut adalah sebagai berikut (diadaptasi dari Charles, ) : () Dimensi Ekologi: Kualitas lingkungan Mutu bibit, dan pertumbuhan RL

79 53 Luasan areal yang sesuai () Dimensi Ekonomi: Keuntungan Pendapatan petani rumput laut Sistem permintaan Pasar (domestik dan ekspor), (3) Dimensi Sosial budaya: Kualitas SDM (tingkat pendidikan) Penyerapan tenaga kerja, Sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut (partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya,,jumlah RT petani rumput laut,) Alternatif usaha selain menanam rumput laut, (4) Dimensi Teknologi: Tingkat penguasaan teknologi budidaya RL Ketersediaan informasi RL Ketersediaan industri pengolahan hasil RL Standarisasi mutu produk RL Dukungan sarana dan prasarana (5) Dimensi Kelembagaan: Lembaga ekonomi/sosial yang ada, Adanya kelompok petani rumput laut Ketersediaan Perda/aturan adat/ kepercayaan/agama Adanya tokoh masyarakat yang disegani Zonasi peruntukan lahan/perairan ). Penilaian setiap atribut dalam skala ordinasi berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi; berdasarkan pengamatan di lapangan ataupun data sekunder yang tersedia, yang sesuai dengan scientific judgment dari pembuat skor, maka setiap atribut diberikan skor yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi usaha rumput laut tersebut. Rentang skor berkisar antara -3 atau tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang dimulai dari nilai buruk () sampai baik (3). Nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pembangunan yang berkelanjutan. Sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan bagi keberlanjutan pembangunan. Diantara dua ekstrim nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara, tergantung dari jumlah peringkat pada setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut akan sangat ditentukan oleh tersedia tidaknya literatur yang dapat digunakan untuk menetukan jumlah peringkat.

80 54 Tabel Kriteria pembuatan skor atribut usaha rumput laut yang berkelanjutan Atibut Skor Baik Buruk Keterangan Dimensi Ekologi (bobot: 5) Kualitas lingkungan: Mengacu pada Puslitbangkan, 99. ()tidak sesuai (< m/dtk, - Kecepatan arus ; ; atau >4 m/dtk) () sesuai (-4 m/dtk) - Salinitas (ppt) - Kedalaman air pada saat surut (m) - Substrat Dasar - Kecerahan (m) - keterlindungan ; ; ; ; ; ; ; ; () tidak sesuai (<6; >35); () cukup sesuai (5-<8; >34-35); () sesuai (8-34) () tidak sesuai (<; >3); ()cukup sesuai (-<; >- <3); () sesuai (-) () lumpur; () pasir sedikit berlumpur () pasir, pecahan karang, karang, lamun. ) tidak sesuai (<.6); () cukup sesuai (.6- <.8); () sesuai (.8-.) ) tidak terlindung; () terlindung (Puslitbankan, 99) Mutu bibit ; ; () jelek ; () sedang ; () baik ketersediaan bibit ; ; ; 3 3 () tidak tersedia; () jarang tersedia; () sering tersedia ; (3) selalu tersedia Pertumbuhan RL ; ; () jelek ; () sedang ; () baik Luasan areal yang sesuai untuk RL ; ; ; 3 3 ()<5%; () 6%-%5%; () 5%-75%; (3) >76% Dimensi Ekonomi (bobot: 3,5) Kelayakan usaha ; ; Mengacu pada... () tidak layak Net B/C=< () impas; () untung Kontribusi terhadap ; () rendah; () sedang; () pendapatan asli daerah tinggi Pemasaran ; ; () lokal; () nasional; () internasional (RAPFISH)

81 55 Atibut Skor Baik Buruk Keterangan Rantai pemasaran ; ; () tidak efisien; ()cukup rumput laut efisien; () sangat efisien Dimensi Sosial (bobot: 3,5) Kualitas SDM: - Tingkat pendidikan ; ; ; 3 3 () tidak tamat SD; () tamat SD-SMP; () tamat SMA; (3) jumlah rumah tangga petani rumput laut Sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut: kemandirian petani, Partisipasi keluarga dalam usaha rumput laut S-S ; ; () </3; () /3-/3; () >/3; dari total rumah tangga komunitasnya (RAPFISH) ; ; ; ; ;; Sosialisasi pekerjaan ; ; Alternatif usaha selain menanam rumput laut, ; ; ; 3 3 Pemberdayaan masyarakat Ada tidaknya kelompok tani Zonasi peruntukan lahan/perairan () individual, () melibatkan keluarga; () kelompok () sangat tergantung; () sedang; () mandiri () tidak berpartisipasi; () sebagian berpartisipasi; () semua berpartisipasi () individual; () kerjasama keluarga; () kerjasama kelompok () tidak ada; () sedikit; () sedang; (3) banyak; (RAPFISH) ; ; () tidak ada; () sedikit;() tinggi Dimensi Kelembagaan (bobot: ) ; () tidak ada; () ada ; ; () tidak ada; () ada tapi tidak lengkap () baik/lengkap (RAPFISH) Ketersediaan Perda ; ; () tidak ada; () ada tapi tidak lengkap () baik/lengkap (RAPFISH) Ketersediaan aturan adat dan agama/kepercayaan Adanya tokoh panutan yang disegani Ada tidaknya lembaga keuangan/lembaga sosial ; ; () tidak ada; () ada tapi tidak lengkap; () baik/lengkap (RAPFISH) ; () tidak ada; () ada ; () tidak ada; () ada (Diadaptasi dari Sulistijo (996); Aslan (998); Chales, AT () dan Susilo, 3).

82 56 3). Penyusunan indeks dan status keberlanjutan usaha rumput laut. Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan usaha rumput laut yang dikaji relatif terhadap titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilhat pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai indeks keberlanjutan usaha rumput laut Status Keberlanjutan Nilai Indeks Kategori <5 buruk 5 75 baik >75 Sangat baik Budiharsono () Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor % (buruk) dan % (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan 5% maka sistem dikatakan berkelanjutan dan jika nilai indeks 5% berarti tidak berkelanjutan. Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 3, di bawah ini. % (buruk) 5% %(baik) Gambar 3 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya rumput laut Nilai indeks keberlanjutan dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layanglayang (kite diagram) seperti pada gambar 4.

83 57 Gambar 4 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Análisis sensivitas dapat memperlihatkan atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan usaha rumput laut dengan melihat perubahan bentuk root mean square (RMS) ordinasi pada sumbu x. Semakin besar perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut dalam pengelolaan usaha rumput laut. Dalam análisis tersebut akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena pemahaman terhadap atribut atau kondisi lapangan yang belum sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian peneliti, proses análisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang hilang, dan tingginya nilai stres (nilai stres dapat diterima jika nilainya <5% (Kavangh ; Fauzi dan Anna ). Untuk menganalisis nilai galat pada pendugaan nilai ordinasi optimasi pemanfaatan sumberdaya rumput laut digunakan análisis Monte Carlo.

84 IV. KONDISI LINGKUNGAN, SOSIAL, BUDAYA DAN EKONOMI KABUPATEN BANTAENG 4. Aspek Lingkungan (Ekologi) 4.. Administrasi Kabupaten Bantaeng secara geografis terletak ± km arah selatan Kota Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan dengan posisi o 35 6 lintang selatan dan 9 o 5 4 o 5 7 bujur timur. Wilayah administratifnya di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Kabupaten Bulukumba, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto. Luas wilayahnya km, terdiri atas daratan seluas km dan lautan seluas 44 km yang terbagi dalam 8 kecamatan, Desa dan 4 kelurahan (Tabel 4). Tiga kecamatan diantaranya terletak di wilayah pesisir, yaitu Kecamatan Bissapu, Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Pa jukukang dengan panjang garis pantai ±.5 km. Dalam penelitian ini wilayah yang menjadi kajian adalah wilayah pesisir di Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dengan panjang garis pantai,6 km. Tabel 4 Luas wilayah daratan dan pembagian wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bantaeng 7 No. Kecamatan Luas (km) Jumlah Desa/Kelurahan. Bissapu Bantaeng Tompobulu Uluere Pajjukukang Ere Merasa Sinoa Gantarang Keke Jumlah Sumber : BPS 8. Secara administratif Kecamatan Bantaeng beribu kota di Kelurahan Pallantikang. Kecamatan Bantaeng memiliki batas sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Eremerasa, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Eremerasa dengan Kecamatan Pa jukukang, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bissapu. Sedangkan

85 Kecamatan Bissapu batas wilayah administrasinya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Uluere, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bissapu, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bantaeng dan Laut Flores dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Uluere dan Kabupaten Jeneponto (BPS Kecamatan 8). 4.. Topografi Kondisi topografi Kabupaten Bantaeng terdiri atas pegunungan, lembah, daratan dan pesisir pantai. Ketinggian wilayahnya antara m di atas permukaan laut, mulai dari tepi laut Flores sampai ke pegunungan sekitar Gunung Lompobattang. Wilayah pesisir dengan ketinggian -5 m di atas permukaan laut, berada pada areal bagian selatan dengan luas sekitar.3 %, ketinggian 6-99 m sekitar 9.5%, ketinggian -5 m sekitar 9.6 % dan ketinggian di atas 5 seluas 4.6 % dari luas daratan Kabupaten Bantaeng. Wilayah dengan kelerengan - % hanya seluas 4.9 %, kelerengan 5 % seluas 4.64 %, kelerengan 5-4 %.77 % sedangkan wilayah yang berlereng di atas 4%, tidak diusahakan, seluas.69 % dari wilayah Kabupaten Bantaeng. Wilayah Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu, masing-masing dialiri 6 dan 4 sungai. Sungai yang mengalir di Kecamatan Bantaeng adalah sungai Kassi-Kassi, Kayu Loe, Kariu, Calindu, Bialo dan Sungai Bolong Sikuyu, sedangkan sungai yang mengalir di Kecamatan Bissapu adalah Sungai Tino, Cabodo, Batu Rinring dan Sungai Lamosa Iklim Iklim dipengaruhi oleh musim. Secara umum pergantian musim di Kabupaten Bantaeng berlangsung dua kali, yaitu musim barat pada bulan Oktober-Maret dan musim timur pada bulan April-September. Iklim di daerah ini tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata 7.8 mm/bulan dan jumlah hari hujan berkisar 64 hari pada tahun 7. Berdasarkan pencatatan Subdin Pengairan Dinas PU Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Bantaeng pada tahun 7, khusus untuk Kecamatan Bantaeng curah hujan sekitar 77 mm dengan rataan.4 mm/bulan, jumlah hari hujan 74 hari dan puncak curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Di Kecamatan Bissapu jumlah curah

86 hujan adalah 44 mm dengan jumlah hari hujan 7. Jumlah hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari dan Desember tetapi curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret. Rincian jumlah curah hujan di Kabupaten Bantaeng tahun -7 memperlihatkan pada tahun curah hujan relatif lebih rendah dibandingkan curah hujan tahun yang lain (Lampiran ). Diantara data curah hujan selama enam tahun, curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 5. Curah hujan pada tahun 5 berpuluh kali lipat tingginya dibandingkan dengan curah hujan tiga tahun sebelumnya maupun curah hujan dua tahun setelahnya. Curah hujan tertinggi cenderung terjadi pada Januari, Februari dan Desember. Curah hujan rendah cenderung terjadi pada Agustus, September, Oktober dan November, bahkan pada September tahun, 6 dan 7 tidak ada curah hujan sama sekali (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan berhubungan dengan musim, yang ditunjukkan curah hujan rendah terjadi pada bulan musim timur/kemarau. Pada bulan yang cenderung curah hujan rendah tersebut merupakan musim timur/kemarau. Gambar 5 Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun -7 di Kabupaten Bantaeng. Selain curah hujan, jumlah hari hujan setiap bulan juga berpengaruh terhadap kondisi perairan. Rincian hari hujan dalam enam tahun terakhir (Lampiran ), jumlah hari hujan tertinggi pada tahun 5, jauh lebih tinggi dari pada tahun-tahun yang lainnya. Frekuensi hari hujan umumnya tinggi pada bulan

87 Januari, Februari dan Desember dan cenderung rendah pada bulan Agustus, September, Oktober dan November (Gambar 6). Apabila dicermati, terdapat kesamaan antara jumlah curah hujan dengan jumlah hari hujan, yakni bulan dengan curah hujan cenderung tinggi/rendah maka jumlah hari hujan juga demikian. Fenomena ini terjadi tiap tahun. Akan tetapi tetap ada pergeseran waktu puncak tertinggi curah hujan dan jumlah hari hujan tiap tahun. Informasi tentang jumlah curah hujan, jumlah hari hujan dan pergeseran waktu curah hujan tertinggi yang merupakan prediksi dari hasil analisis Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) wajib disampaikan pemerintah kepada nelayan rumput laut agar mereka bisa mengantisipasi kondisi tersebut. Gambar 6 Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun -7 di Kabupaten Bantaeng. Data curah hujan yang akurat, penting dan sangat dibutuhkan oleh nelayan rumput laut untuk menentukan jadwal tanam. Curah hujan terkait erat dengan salinitas perairan, khususnya di perairan Bantaeng yang menjadi muara banyak sungai. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan salinitas perairan turun ke level yang tidak sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Apabila nelayan menanam pada bulan yang curah hujannya relatif tinggi maka produksinya akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan menanam pada bulan yang curah hujannya lebih rendah. Selain itu, musim hujan menyebabkan peningkatan dinamika laut yang ditunjukkan oleh arus kuat dan gelombang tinggi yang dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Nelayan rumput laut akan menyesuaikan

88 jadwal tanam dengan kondisi alam sehingga tidak akan mengalami kegagalan dalam kegiatan budidaya rumput laut Kondisi Oseanografi Kondisi oseanografi merupakan salah satu faktor yang menjadi persyaratan untuk keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut. Kondisi oseanografi, dalam hal ini gelombang dan arus, terkait dengan konstruksi unit budidaya dan pertumbuhan rumput laut. Arus dan gelombang merupakan bentuk pergerakan air di laut. Namun dibandingkan dengan gelombang, pergerakan air yang disebabkan oleh arus dianggap lebih baik karena arus lebih dapat diprediksi arah dan kekuatannya dan tidak terlalu merusak (Nugroho et al. 986). Pertumbuhan rumput laut yang baik membutuhkan kecepatan arus dan gelombang tertentu Gelombang Ketinggian gelombang yang diperoleh dari hasil pengukuran pada Musim Timur berkisar antara.5 m sampai.45 m (Gambar 7). Pengukuran ini dilakukan pada musim timur. Sedangkan pada musim barat gelombang bisa mencapai ketinggian.5- meter yang berarti 3-4 kali lebih tinggi dari pada musim timur. Tingginya gelombang ini disebabkan wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng posisinya terbuka dan berhadapan langsung dengan Laut Flores tanpa adanya penghalang. Sehingga gelombang yang berasal dari arah laut dalam (Laut Flores) akan berpengaruh pada kondisi perairan pantai. Kondisi ini menyebabkan ketinggian gelombang meningkat pada musim barat. Gelombang yang ketinggiannya melebihi dari persyaratan tumbuh rumput laut bisa merusak budidaya rumput laut dan konstruksi unit budidaya. Budidaya rumput laut membutuhkan gelombang dalam batas ketinggian tertentu. Tinggi gelombang yang sesuai untuk budidaya rumput laut adalah.-.3 m sangat sesuai;. m-<. m; >.3 m-.4 m sesuai dan tidak sesuai adalah, m->.4 m (Puslitbangkan 99; Hidayat 994; Sulistijo 996; Aslan 998; Efendi 4; FAO 8). Di lapangan ditemukan hal yang agak berbeda dengan referensi di atas. Pada lokasi yang tinggi gelombangnya melebihi.4, pertumbuhan rumput laut justru lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Doty 97 dalam Sulistijo bahwa semakin cepat pergerakan air semakin

89 cepat pertumbuhan rumput laut. Pergerakan air dalam bentuk gelombang dan arus, merupakan faktor yang penting dalam mempegaruhi pertumbuhan rumput laut sebab gelombang dan arus memegang peranan penting dalam transportasi unsur hara, menghidari adanya fluktuasi temperatur, ph, salinitas, oksigen terlarut dan lain-lain. Gambar 7 Peta gelombang di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Arus Kecepatan arus yang terjadi di perairan Bantaeng pada musim timur berkisar antara m/detik. Dinamika kecepatan arus berbeda sesuai dengan lokasi titik sampling. Semakin jauh lokasinya ke arah laut semakin tinggi kecepatan arus dan sebaliknya semakin mendekati pantai semakin berkurang kecepatannya. Hal ini terjadi karena pengaruh jarak tempuh arus ke pantai dan teredam oleh hamparan budidaya rumput laut (Gambar 8). Rumput laut memerlukan kecepatan arus tertentu untuk pertumbuhannya. Menurut Sulistijo 997, kecepatan arus antara.-.3 m/detik adalah sangat sesuai, sedangkan.3-.4 m/detik adalah kategori sesuai. Arus yang terlalu cepat akan mematahkan rumput laut dan merusak bentangan sedangkan arus yang sangat lambat bisa menyebabkan rumput laut kekurangan nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan akan menyebabkan kotoran dan organisme pengganggu (hama) gampang menempel. Organisme pengganggu atau hama bisa memakan rumput laut atau bersaing dalam penggunaan nutrien sedangkan kotoran yang

90 menempel akan menyebabkan proses fotosintesa tidak maksimal karena menghalangi penetrasi cahaya matahari sampai ke thallus. Namun yang ditemukan di lapangan, pada kecepatan arus sekitar.57 m/detik pun pertumbuhan rumput laut masih bagus dengan unit budidaya yang juga tetap stabil. Hasil penelitian Mansyur () juga menemukan laju pertumbuhan harian tertinggi rumput laut adalah pada bagian terjauh dari pulau yang berarti lebih tinggi terpapar arus yang kecepatannya lebih tinggi. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara terhadap nelayan rumput laut di wilayah kajian. Menurut para nelayan rumput laut, pada musim timur pertumbuhan rumput laut yang berada pada unit budidaya di bagian luar arah ke laut, lebih bagus pertumbuhannya bila dibandingkan dengan rumput laut yang ditanam di pinggir pantai karena yang terdapat pada bagian luar selalu bergerak terkena arus dan gelombang. Temuan ini sesuai dengan pendapat Doty 97 dalam Sulistijo, bahwa semakin besar pergerakan air akan semakin cepat pertumbuhan rumput laut, karena proses difusi makin banyak sehingga proses metabolisme bertambah cepat. Difusi yang dimaksud adalah masuknya nutrien ke dalam sel tanaman dan keluarnya hasil metabolisme. Gambar 8 Peta arus di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

91 4..5 Parameter Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu penentu utama keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut, selain kondisi oseanografis. Kualitas air juga akan menetukan daya dukung perairan terhadap kegiatan budidaya rumput laut. Kualitas air yang rendah akan menyebabkan daya dukung perairan juga rendah. Pada lokasi penelitian dari hasil pengukuran, didapatkan hasil sebagai berikut: Kecerahan Perairan Kondisi kecerahan daerah penelitian tergolong sangat tinggi, yakni berkisar antara.-.98 m. tingkat kecerahan perairan semakin jauh ke arah laut semakin tinggi. Di beberapa titik sampling terdapat kekeruhan terutama pada daerah yang lebih dekat dengan pantai, hal ini dapat terlihat pada kondisi kecerahan yang paling rendah yaitu hanya. m (Gambar 9). Kecerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, selain absorpsi cahaya itu sendiri oleh air (Nybakken 988). Kecerahan tidak berdampak langsung pada pertumbuhan rumput laut akan tetapi secara tidak langsung melalui penetrasi cahaya. Penetrasi cahaya ke dalam perairan yang menyebabkan proses foto sintesis semakin tinggi jika semakin tinggi tingkat kecerahannya semakin efektif untuk pertumbuhan rumput laut. Tingkat kecerahan di kelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni sangat sesuai.8-. meter, sesuai bersyarat.6-.8 meter dan tidak sesuai jika kecerahan sudah di bawah.6 meter. (Puslitbangkan 99; Hidayat 994; Sulistijo 996; Efendi 4; FAO 8).

92 Gambar 9 Peta kecerahan perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Salinitas. Hasil pengukuran di lapangan diperoleh data salinitas yang berkisar antara Salinitas rendah terdapat pada daerah sekitar muara sungai dan semakin ke tengah perairan salinitas semakin tinggi walaupun perbedaannya relatif kecil (Gambar ). Salinitas pada wilayah perairan Kabupaten Bantaeng penting untuk diperhatikan perubahannya pada musim hujan karena banyaknya aliran sungai yang bermuara pada perairan tersebut. Sepanjang km garis pantai terdapat muara sungai dan khusus untuk wilayah kajian, pada dua kecamatan tersebut mengalir sungai sehingga pada musim hujan salinitas bisa turun sangat rendah khususnya pada muara sungai dan bagian permukaan perairan. Salinitas sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut. Apabila salinitas rendah, jauh di bawah batas toleransinya maka rumput laut akan berwarna pucat, gampang patah dan lunak akhirnya membusuk. Rumput laut jenis K.alvarezii membutuhkan kisaran salinitas untuk pertumbuhan maksimal (doty 987), 8-35 (Ditjenkan Budidaya 5), 3-37 (Kadi dan Atmadja 988, Sulistijo 997).

93 Gambar Peta salinitas perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Suhu Suhu perairan Kabupaten Bantaeng berkisar antara C. Perbedaan suhu diantara titik sampling tidak berbeda jauh, hanya sekitar. C, suhu tertinggi terdapat pada daerah sekitar pantai (Gambar ). Suhu secara tidak langsung berhubungan dengan kedalaman. Makin dangkal perairan maka cenderung semakin cepat terjadi perubahan suhu sebab dengan sumber panas yang sama besarnya, perairan dangkal yang memiliki volume air yang lebih kecil akan lebih cepat panas. Fenomena ini juga terjadi di perairan Bantaeng dimana perairan di dekat pantai yang lebih dangkal memiliki suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam. Nontji (987), menyebutkan bahwa suhu air di perairan nusantara berkisar antara 8 38 C dan suhu di dekat pantai lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di laut lepas. Suhu berpengaruh terhadap kecepatan metabolisme organisme. Setiap organisme memiliki suhu optimal yang berbeda untuk pertumbuhannya. Menurut Yulianda et al, () untuk rumput laut jenis K.alvarezii kisaran suhu air laut antara 7-3 ºC, sesuai dengan pendapat Kadi dan Atmadja (988), bahwa rumput laut, khususnya K.alvarezii tumbuh dengan baik pada suhu 7-3 C. Jadi secara

94 umum suhu perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng berada dalam kisaran yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Gambar Peta suhu perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Derajat Keasaman (ph) Hasil pengukuran ph di perairan pesisir Kabupaten Bantaeng, berkisar antara Pada daerah sekitar muara sungai phnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya (Gambar ). Temuan ini menarik karena umumnya daerah muara sungai mempunyai ph lebih rendah akibat penguraian bahan organik yang biasanya menumpuk pada dasar muara sungai. Hal ini berarti bahwa pada daerah muara sungai tidak terjadi penumpukan dan penguraian bahan organik yang bersifat masam. Kemungkinan hal ini terjadi karena wilayah kajian adalah perairan terbuka yang mempunyai waktu pembilasan (flushing time) relatif cepat sehingga bahan organik tidak sempat menumpuk pada muara sungai sudah mengalami pembilasan. Data substrat dasar juga menunjang penjelasan ini sebab pada muara sungai di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, substrat dasar umumnya berupa karang, pecahan karang dan pasir bukan lumpur (bahan organik). Setiap organisme membutuhkan kondisi ph tertentu untuk kelangsungan hidupnya, kondisi yang sama juga terjadi pada rumput laut jenis K.alvarezii. Untuk pertumbuhan yang optimal, rumput laut K.alvarezii membutuhkan ph

95 antara 7-9 dengan kisaran optimum (Zatnika dan Angkasa 994). Sehingga sebaiknya perairan budidaya mempunyai ph antara (Indriani dan Sumiarsih 999). Gambar Peta ph perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Substrat Dasar Substrat dasar perairan Bantaeng umumnya terdiri dari karang, pecahan karang dan pasir. Hanya sebagian kecil yang berupa lumpur. Hal yang menarik dari hasil pengamatan dan analisis laboratorium adalah substrat dasar pada bagian muara sungai bukan berupa lumpur seperti umummnya muara sungai akan tetapi terdiri atas karang, pecahan karang dan pasir (Gambar 3). Substrat dasar berhubungan dengan kecerahan perairan. Substrat yang berupa lumpur apabila kedalamannya rendah gampang teraduk oleh arus dan gelombang sehingga menyebabkan kekeruhan. Selanjutnya kekeruhan bisa menghambat penetrasi cahaya matahari yang sangat dibutuhkan oleh rumput laut dalam proses fotosintesis untuk pertumbuhan. Karena itu untuk pertumbuhan rumput laut yang baik bagi lokasi budidaya yang tidak terlalu dalam, disyaratkan substrat dasarnya berupa karang, pecahan karang, pasir atau campuran ke tiganya. Sementara untuk lokasi budidaya yang mempunyai kedalaman tinggi, substrat dasar tidak terlalu berpengaruh atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali karena relatif stabil dari pengaruh pengadukan oleh gelombang maupun arus laut.

96 Gambar 3 Peta substrat dasar perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Kedalaman. Hasil pengukuran kedalaman perairan pada kawasan budidaya rumput laut di lokasi penelitian didapatkan kedalaman dari - m. Kedalaman tertinggi cenderung berada pada perairan sebelah Barat kawasan dan perairan yang dangkal berada pada bagian Timur arah ke pantai (Gambar 4). Kedalaman berhubungan dengan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut. Dengan penggunaan metode long line pertambahan kedalaman perairan tidak berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan rumput laut, karena tanaman rumput laut tetap berada disekitar permukaan bagaimanapun dalamnya perairan tersebut, berbeda apabila menggunakan metode lepas dasar. Pada perairan yang dalam, pertumbuhannya malahan lebih baik sebab airnya jernih sehingga penetrasi sinar matahari ke dalam perairan yang sangat dibutuhkan oleh rumput laut untuk proses fotosintesa tidak terhalang. Namun dari aspek ekonomi, tidak terlalu ideal karena membutuhkan biaya investasi, biaya operasional dan biaya pemeliharaan yang relatif lebih tinggi. Setiap metode budidaya rumput laut membutuhkan persyaratan kedalaman yang berbeda. Metode lepas dasar membutuhkan kedalaman.3.6 m, metode rakit.6- m dan metode long line - m (Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI ). Sedangkan menurut Yulianda et al, () kedalaman perairan untuk jenis

97 K.alvarezii yaitu kedalaman air pada waktu surut terendah 5- cm, dan tidak lebih dari -3 cm pada waktu pasang. Gambar 4 Peta kedalaman perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Pada metode long line, kedalaman perairan di kawasan budidaya tersebut merupakan kisaran kedalaman yang masih sesuai untuk budidaya rumput laut dari dimensi ekobiologi. Namun dari aspek ekonomi kisaran kedalaman tersebut tidak terlalu ideal. Kedalaman yang tinggi tidak ekonomis karena membutuhkan biaya investasi, biaya operasional dan biaya pemeliharaan yang relatif lebih tinggi. Kebutuhan terhadap bahan konstruksi bentangan juga lebih banyak seperti tali, pelampung, dan pemberat. Dalam hal aksespun lebih sulit dan lebih jauh dari pantai sehingga membutuhkan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih besar. Namun secara biologis tidak berpengaruh buruk pada pertumbuhan rumput laut. Kedalaman juga berhubungan dengan kecerahan. Pada perairan yang dangkal besar kemungkinan terjadi pengadukan sampai ke dasar oleh gelombang dan arus, sehingga bisa menyebabkan kekeruhan apabila dasar perairan berupa lumpur. Kekeruhan yang terjadi menghambat menetrasi matahari ke dalaam perairan sehingga bisa mengganggu proses fotosintesa pada rumput laut. Hal ini sesuai dengan informasi yang didapatkan dari hasil wawancara bahwa semakin keluar lokasi unit budidaya yang berarti semakin dalam perairannya maka

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) MA SITASARI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA JOSHIAN NICOLAS WILLIAM SCHADUW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

RANCANGBANGUN PENGEL OLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS PEMANFAATAN RUANG (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi)

RANCANGBANGUN PENGEL OLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS PEMANFAATAN RUANG (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi) A-PDF Merger DEMO : Purchase from www.a-pdf.com to remove the watermark RANCANGBANGUN PENGEL OLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS PEMANFAATAN RUANG (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi) MUHAMMAD

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI Antung Deddy Radiansyah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii RINGKASAN H. Antung Deddy R. Analisis Keberlanjutan Usaha

Lebih terperinci

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N

POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2004 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM.

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM. KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI Oleh : Saniatur Rahmah NIM. 071810401011 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi

RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 HALAMAN PERNYATAAN Dengan ini penulis menyatakan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PULAU BATAM. Tjahjo Prionggo

OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PULAU BATAM. Tjahjo Prionggo OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PULAU BATAM Tjahjo Prionggo SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 i PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut (Studi Deskriptif Di Desa Pekan Tanjung Beringin Dan Desa Pantai Cermin Kanan Kabupaten Serdang Bedagai) SKRIPSI Diajukan guna

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara sebagai satu kesatuan wilayah akan memberikan peluang dalam keterpaduan perencanaan serta pengembangan

Lebih terperinci

SKRIPSI PEMETAAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN NATUNA. Oleh : MUH KHOIRUL ANWAR H

SKRIPSI PEMETAAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN NATUNA. Oleh : MUH KHOIRUL ANWAR H SKRIPSI PEMETAAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN NATUNA Oleh : MUH KHOIRUL ANWAR H 0709073. FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 PEMETAAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN NONO SAMPONO SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI

ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang memiliki pulau dengan panjang garis pantai

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang memiliki pulau dengan panjang garis pantai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.504 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup

Lebih terperinci

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO 1 ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO SUDARMIN PARENRENGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI KUSNANDAR C

VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI KUSNANDAR C VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI KUSNANDAR C251020241 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR 17 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR NIRMALASARI IDHA WIJAYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 26 PERNYATAAN

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai 81.000 km dan luas laut 3,1 juta

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PEMBESARAN IKAN MAS PADA KOLAM AIR DERAS DI DESA CINAGARA, KECAMATAN CARINGIN, KABUPATEN BOGOR

EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PEMBESARAN IKAN MAS PADA KOLAM AIR DERAS DI DESA CINAGARA, KECAMATAN CARINGIN, KABUPATEN BOGOR EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PEMBESARAN IKAN MAS PADA KOLAM AIR DERAS DI DESA CINAGARA, KECAMATAN CARINGIN, KABUPATEN BOGOR MEISWITA PERMATA HARDY SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas laut mencapai 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km, serta jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (KKP 2009).

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia Aquatic Science & Management, Vol. 1, No. 2, 188-192 (Oktober 2013) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index ISSN 2337-4403 e-issn 2337-5000 jasm-pn00042

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor. DAFTAR PUSTAKA 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut. 2006. Buku Tahunan. Bogor. 2. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci