BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN"

Transkripsi

1 27 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN A. Persyaratan Permohonan Pernyataan Pailit Dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor kepada pengadilan niaga, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi. Ketentuan hukum mengenai persyaratan tersebut telah diatur dalam UUK dan PKPU. Ketentuan hukum tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU menyatakan bahwa: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap debitor hanya dapat diajukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Debitor harus mempunyai dua atau lebih kreditor. Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah debitor harus mempunyai dua atau lebih kreditor. Dengan demikian, undang-undang hanya memungkinkan seorang debitor dinyatakan pailit apabila debitor tersebut memiliki paling sedikit dua kreditor. Syarat mengenai

2 28 keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorum. 36 Dengan kata lain, bahwa permohonan pernyataan pailit tidak dapat dilakukan apabila debitor hanya memiliki satu orang kreditor. Dalam hal seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor, maka eksistensi undang-undang kepailitan kehilanganraison d etre-nya. Apabila terhadap debitor yang hanya memiliki seorang kreditor dibolehkan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit, maka harta kekayaan debitor, yang menurut Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 37 merupakan jaminan utangnya, tidak perlu diatur cara membagi hasil penjualannya, karena sudah pasti seluruhnya menjadi sumber pelunasan bagi kreditor tunggal itu. 38 Dengan demikian, persyaratan pertama yang mensyaratkan debitor harus mempunyai lebih dari seorang kreditor ini selaras dengan ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 39 yang menentukan pembagian secara teratur semua harta pailit kepada para kreditornya, yang dilakukan berdasarkan prinsip pari passu pro rata parte. Dalam hal ini, yang dipersyaratkan bukan berapa besar piutang yang mesti ditagih oleh seorang kreditor dari debitor yang bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang menjadi kreditor dari debitor 36 Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2008), hal Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. 38 Aco Nur, Op.Cit., hal Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besarkecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

3 29 yang bersangkutan. Disyaratkan bahwa debitor mempunyai utang kepada minimal dua orang kreditor Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Syarat lain yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah syarat debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam Pasal 1 angka 6 UUK dan PKPU menyatakan bahwa: Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Utang yang dimaksud dalam syarat ini adalah utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Suatu utang dikatakan jatuh waktu dan dapat ditagih jika utang tersebut sudah waktunya untuk dibayar. Dalam suatu perjanjian biasanya diatur kapan suatu utang harus dibayar. Jika suatu perjanjian tidak mengatur ketentuan mengenai jatuh waktu utang, utang tersebut sudah waktunya untuk dibayar setelah pemberitahuan adanya kelalaian diberikan kepada debitor. Dalam pemberitahuan tersebut, suatu jangka waktu yang wajar harus diberikan kepada debitor untuk melunasi utangnya. 41 Terhadap istilah jatuh waktu dan dapat ditagih, Sutan Remy Sjahdeni berpendapat bahwa kedua istilah itu berbeda pengertian dan kejadiannya. Suatu 40 Aco Nur, Op.Cit., hal Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 26.

4 30 utang dapat saja telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu. Utang yang telah jatuh waktu dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih, namun utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu. Utang hanyalah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit atau perjanjian utang piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitor sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian tersebut. 42 Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, yang dimaksud utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah: Kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau mejelis arbitrase. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka pengertian utang diberikan batasan secara tegas, demikian pula pengertian jatuh waktu dan dapat ditagih, hal ini semata-mata untuk menghindari adanya berbagai penafsiran. 3. Atas Permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Permohonan pernyataan pailit dapat dimohonkan oleh debitor itu sendiri maupun oleh satu atau lebih kreditornya. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, yang dimaksud dengan kreditor adalah: Baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing- 42 Ibid., hal Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, (Jakarta: Kencana, 2009), hal

5 31 masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2. Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU menyatakan bahwa: Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3), (4), dan (5) UUK dan PKPU, apabila debitor adalah bank, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Dan dalam hal debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Serta apabila debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. 4. Debitor harus berada dalam keadaan insolvent, yaitu debitor tidak membayar lebih dari 50% utang-utangnya. Debitor harus telah berada dalam keadaan berhenti membayar, bukan sekedar tidak membayar kepada satu atau dua kreditor. 44 Dalam syarat ini, debitor harus dalam keadaan insolvent, yaitu debitor telah berada dalam keadaan berhenti membayar kepada para kreditornya, bukan hanya tidak membayar kepada satu atau dua orang kreditor saja, sedangkan kepada kreditor lainnya debitor masih melaksanakan kewajiban pembayaran 44 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hal.32. Dalam Eva Krisnawati, Op.Cit., hal. 82.

6 32 terhadap utang-utangnya dengan baik. Dalam hal debitor hanya tidak membayar kepada satu atau dua orang kreditor, sedangkan kepada kreditor lainnya debitor masih membayar utang-utangnya, maka terhadap debitor tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga tetapi diajukan gugatan secara perdata kepada pengadilan negeri. 45 Dalam UUK dan PKPU, pengaturan tentang syarat kepailitan diatur dengan lebih tegas, hal ini semata-mata untuk menghindari adanya: 46 a. Perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor. b. Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya. c. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor. B. Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit Dalam UUK dan PKPU telah ditentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Pihak-pihak tersebut adalah: 45 Agnes W. Samosir, Skripsi: Analisis Yuridis Putusan Pailit tehadap PT. Telkomsel Tbk., (Medan: Fakultas Hukum, 2013), hal Rahayu Hartini, Op.Cit., hal. 78.

7 33 1. Debitor sendiri Ketentuan Pasal 2 ayat (1)UUK dan PKPU menyatakan bahwa: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga adalah pihak debitor sendiri dan satu atau lebih kreditor. Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menytakan bahwa: Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Sedangkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UUK dan PKPUmenyatakan bahwa: Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. Dalam hal debitor yang mengajukan permohonan pernyataan pailit telah terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan pernyataan pailit tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUK dan PKPU. Persetujuan dari suami atau istri tersebut berkaitan dengan harta bersama yang diperoleh selama pernikahan.

8 34 Debitor mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk dirinya sendiri (Voluntary Petition) biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh kewajibannya terutama dalam melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap para kreditornya. Dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor itu sendiri, kadang kala hakim mewajibkan pembuktian melalui audit pejabat publik meskipun jika dilihat dari sudut pandang hukum yang berlaku tidaklah tepat, karena hal tersebut hanya akan mempersulit debitor yang akan mengajukan permohonan pernyataan pailit. Akan tetapi, dalam Voluntary Petition ini terdapat kekhawatiran bahwa debitor dapat beritikad buruk dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagai alasan untuk menghindari pembayaran utang-utangnya kepada para kreditornya. Dalam sejarahnya Voluntary Petition ini banyak dilakukan sebagai rekayasa debitor yang telah membuat utang sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk tidak membayar utang tersebut. 47 Berkaitan dengan Voluntary Petition tersebut, Retno Wulan Sutantio mengemukakan kemungkinan terjadinya masalah-masalah sebagai berikut: 48 a. Permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor yang dilakukan dengan sengaja setelah membuat utang kanan kiri dengan maksud untuk tidak membayar, maka permohonan tersebut akan ditolak oleh pengadilan niaga. Perbuatan tersebut dalam bahasa Belanda disebut knevelarij dan diancam dengan Pasal 79a KUHP dengan hukuman penjara empat tahun. 47 Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal Ibid.

9 35 b. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh teman baik atau keluarga debitor dengan alasan yang tidak kuat sehingga permohonan itu akan tidak diterima atau ditolak oleh pengadilan niaga. Tindakan ini dilakukan dengan maksud untuk menghambat agar kreditor lain tidak mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor tersebut atau setidak-tidaknya akan menghambat kreditor lain mengajukan permohonan pernyataan pailit. Menurut Sutan Remy Syahdeini, bahwa rekayasa yang dilakukan debitor tersebut dapat pula dilakukan untuk menghilangkan jejak-jejak kecurangan (fraud) yang telah dilakukan oleh pengurus dari perusahaan debitor. Bahkan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor seringkali menimbulkan penafsiran sebagai upaya untuk menghindar dari tuntutan pidana. 49 Meskipun permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor sendiri (Voluntary Petition) menimbulkan kekhawatiran dengan menafsirkan permohonan tersebut sebagai upaya debitor untuk menghindari pembayaran utang-utangnya kepada para kreditornya, undang-undang secara tegas telah memberikan hak kepada debitor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya kepada pengadilan niaga. Oleh karena itu, hak tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 2. Satu atau lebih kreditor Ketentuan mengenai satu atau lebih kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga adalah ketentuan Pasal 49 Ibid., hal

10 36 2ayat (1) UUK dan PKPU sebagaimana debitor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri. Selama berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, permohonan pernyataan pailit pada umumnya diajukan oleh kreditor, baik kreditor yang merupakan perusahaan maupun kreditor perorangan. Dalam hukum kepailitan dikenal prinsip paritas creditorum, artinya bahwa semua kreditor konkuren mempunyai hak yang sama atas pembayaran piutangnya. Hasil kekayaan debitor yang telah dijual akan dibagikan secara seimbang dan proporsional menurut besarnya piutang mereka masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditor tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan karena kreditor tersebut memiliki hak jaminan kebendaan (secured creditor) atau kreditor tersebut memiliki preferensi untuk diistimewakan. 50 Mengenai seorang kreditor dapat mengajukan permohonan agar debitor dinyatakan pailit, ketentuan ini dalam praktiknya, baik yang terjadi di negeri Belanda maupun di peradilan Indonesia (sebelum dibentuknya pengadilan niaga) bila hanya seorang kreditor saja tidak boleh mengajukan kepailitan. Namun demikian, ada juga sarjana yang berpendapat bahwa seorang saja kreditor boleh mengajukan kepailitan debitornya, asalkan debitor tersebut memiliki lebih dari seorang kreditor, bila tidak, kepailitan akan kehilangan rasionya karena tujuan kepailitan adalah untuk melindungi para kreditor yaitu untuk mengadakan pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor. Sementara itu yang dimaksud dengan kreditor adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis, 50 Ibid., hal

11 37 maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan. Apabila terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU. 51 Ketentuan Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU menyatakan bahwa: Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Pada dasarnya kepailitan dapat diajukan oleh semua jenis kreditor. Tidak ada batasan mengenai kualifikasi kreditor yang dapat mengajukannya. Sepanjang kreditor tersebut dapat membuktikan secara sederhana bahwa ada lebih dari satu utang, dan salah satunya telah jatuh waktu, maka secara formil, hakim wajib menyatakan debitor pailit. Meskipun akhirnya secara logis, kepailitan idealnya lebih banyak dimanfaatkan oleh kreditor bersaing (konkuren) yang tidak memiliki hak prioritas apapun terhadap aset debitor, sehingga memerlukan mekanisme kepailitan untuk mengamankan kepentingan tagihan-tagihan mereka terhadap harta debitor. Sementara itu, kreditor yang dijamin (kreditor separatis maupun preferen) karena hak mereka relatif telah terjamin dari alokasi hasil penjualan harta debitor (misalnya pemegang hak tanggungan/fidusia-pelunasan yang diambil dari penjualan barang jaminan), maka bagi mereka, kebutuhan untuk mengajukan 51 Rahayu Hartini, Op.Cit., hal

12 38 kepailitan tidak semendesak kreditor konkuren dalam menjamin pelunasan piutang-piutang mereka. 52 Adapun golongan kreditor dalam kepailitan sebagaimana yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah: a. Kreditor Konkuren Kreditor konkuren diatur dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kreditor konkuren adalah para kreditor dengan hak pari passu dan pro rata parte; artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan besarnya piutang masing-masing dibanding piutang mereka secara keseluruhan dan seluruh harta kekayaan debitor. Dengan demikian, para kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan piutang dari harta debitor tanpa ada yang didahulukan. 53 Dengan kata lain, kreditor konkuren adalah kreditor yang tidak termasuk dalam golongan kreditor separatis dan preferen. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dari hasil penjualan atau pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan kreditor separatis dan preferen. 54 b. Kreditor preferen Kreditor preferen adalah kreditor yang diistimewakan, yaitu kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai hak istimewa. Hak istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1134 Kitab 52 Sunarmi, Op.Cit., hal Aco Nur, Op.Cit., hal Eva Krisnawati, Op.Cit. hal. 67.

13 39 Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang yang berpiutang, sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. 55 Dengan demikian, kreditor preferen merupakan kreditor yang pelunasan piutangnya lebih didahulukan dari kreditor separatis dan konkuren dalam proses kepailitan. 56 c. Kreditor separatis Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Saat ini sistem hukum jaminan Indonesia mengenal beberapa macam jaminan. Pertama, jaminan gadai, diatur dalam Bab XX Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. Dalam sistem jaminan gadai, seorang pemberi gadai (debitor) wajib melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada penerima gadai (kreditor). Kedua, jaminan hipotek, diatur dalam Bab XXI Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal dua puluh meter persegi dan sudah terdaftar di syahbandar, serta pesawat terbang. Ketiga, jaminan hak tanggungan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah. Dan keempat, jaminan hak fidusia, diatur dalam Undang- 55 Aco Nur, Op.Cit., hal Eva Krisnawati, Op.Cit., hal. 67.

14 40 Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek, dan hak tanggungan. 57 Kreditor separatis merupakan kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dapat dikatakan sebagai kreditor yang tidak terkena kepailitan. Artinya, para kreditor separatis ini tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debitornya telah dinyatakan pailit. Tergolong sebagai kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Dari hasil penjualan benda-benda jaminan tersebut, kreditor akan mengambil pelunasan atas piutangnya dan sisanya akan dikembalikan pada harta pailit. Apabila ternyata hasil penjualan benda jaminan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka terhadap sisa piutang yang belum terbayar tersebut kreditor akan menggabungkan diri dengan kreditor lain sebagai kreditor konkuren Kejaksaan untuk kepentingan umum Permohonan pernyataan pailit juga dapat diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum sebagaimana yang telah diatur dalam UUK dan PKPU juncto PeraturanPemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum. Dalam UUK dan PKPU terdapat beberapa kewenangan kejaksaan dalam kepailitan. Pertama, Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPUjuncto Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000, bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan 57 Aco Nur, Op.Cit., hal Eva Krisnawati, Op.Cit., hal

15 41 pernyataan pailit demi kepentingan umum. Kedua, Pasal 10 ayat (1) UUK dan PKPU, bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan agar pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor dalam perkara kepailitan. Ketiga, Pasal 93 ayat (1) dan Pasal 93 ayat (2) UUK dan PKPU, bahwa pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih setelah mendengar hakim pengawas dapat memerintahkan supaya debitor pailit ditahan, baik ditempatkan di rumah tahanan maupun di rumahnya sendiri, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Perintah penahanan dilaksanakan oleh Kejaksaan yang ditunjuk oleh hakim pengawas. 59 Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, tidak merinci dan menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Menurut Peter Mahmud Marzuki, kepentingan umum dapat diartikan sebagai kepentingan yang bukan merupakan kepentingan kreditor ataupun pemegang saham. Kepentingan umum tersebut dapat saja masyarakat umum dalam pengguna jasa. Dalam hal yang sedang diajukan untuk pailit adalah suatu perusahaan transportasi atau perusahaan yang mengelola bahan-bahan yang sedang dalam proses kepailitan apalagi bila permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh pihak debitor. Sekalipun prosedur telah dilengkapi, hendaklah masalah kepentingan umum perlu dipertimbangkan Sunarmi, Op.Cit., hal Rahayu Hartini, Op.Cit., hal. 82.

16 42 Apabila dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak menjelaskan mengenai kepentingan umum, maka dalam UUK dan PKPU telah diatur dengan jelas sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU, bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit. Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, misalnya: a. Debitor melarikan diri; b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat; d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas; e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Ketentuan-ketentuan yang dikategorikan sebagai kepentingan umum tersebut di atas belum bersifat limitatif, khususnya ketentuan yang disebutkan dalam huruf c, d, e, dan f. Bahkan dalam penjelasan mengenai kepentingan umum tersebut justru sarat dengan ketidakpastian. Tidak adanya pengertian kepentingan umum yang bersifat limitatif memberikan kebebasan kepada hakim

17 43 untuk memberikan penafsiran yang lebih luas, sehingga rumusan dengan blanconorm 61 sangat diperlukan. Namun, pembentuk undang-undang dapat menggunakannya sehemat mungkin dan dapat pula menggunakan blanconorm secara boros. 62 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, kepentingan umum sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU sungguh sangat luas dan tidak berbatas. Dalam penjelasan tersebut dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Sementara dalam contohnya dikemukakan dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Dengan demikian, bukankah kejaksaan dapat memberikan pengertian yang subjektif terhadap apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Dengan kata lain, kejaksaanlah yang memiliki otoritas untuk menentukan apa yang dimaksud dengan kepentingan umum berkaitan dengan haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor. 63 Lebih lanjut menurut Sutan Remy Sjahdeini, bahwa dari contoh termasuk kepentingan umum tersebut adalah debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat, berarti kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap setiap debitor yang memperoleh kredit dari bank BUMN. Kemudian dari 61 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal Blanketnorm atau blanconorm (terjemahan secara harfiah dalam bahasa Indonesia: norma kosong atau kaidah kosong ) adalah kelonggaran yang diberikan oleh perundang-undangan kepada hakim dengan menunjukkan kepada pengertian kewajaran, keadilan dan kesusilaan, itikad baik, alasan mendesak dan sebagainya. Dalam Sunarmi, Op.Cit., hal Ibid. 63 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal. 110.

18 44 contoh termasuk kepentingan umum adalah debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu, berarti memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap setiap debitor dari setiap bank yang dianggap tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan utang piutang yang telah jatuh waktu. 64 Sutan Remy Sjahdeini juga berpendapat bahwa sehubungan dengan penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU tersebut, bahwa dalam pengertian umum termasuk pula dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum, maka berarti UUK dan PKPU telah memberikan blank check kepada kejaksaan. Hal yang demikian membuka peluang atau kemungkinan terjadinya abuse of power oleh pihak kejaksaan. Oleh karena itu, menurutnya perlu diadakan perubahan mengenai ruang lingkup kepentingan umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU dengan pengertian yang spesifik, bukan seperti yang diberikan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU tersebut. 65 Dalam latar belakang lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 disebutkan bahwa untuk mempertegas mekanisme bagi kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum, dipandang perlu mengaturnya dalam peraturan pemerintah. Dengan adanya pengaturan tersebut, diharapkan dapat membantu menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap penyelesaian utang piutang dunia 64 Ibid., hal Ibid., hal. 111.

19 45 usaha dan mendorong minat para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. 66 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan bahwa: Wewenang kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah untuk dan atas nama kepentingan umum. Kemudian penjelasan Pasal 1 tersebut menyatakan bahwa: Apabila kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit, maka dengan sendirinya kejaksaan bertindak demi dan untuk mewakili umum. Selanjutnya penjelasan Pasal 2 peraturan pemerintah tersebut menyatakan bahwa: Dalam permohonan pernyataan pailit tersebut, kejaksaan dapat melaksanakannya atas inisiatif sendiri atau berdasarkan masukan dari masyarakat, lembaga, instansi pemerintah dan badan lain yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan. Sejak pemerintahan Hindia Belanda sampai setelah kemerdekaan, dalam perkara-perkara kepailitan, belum pernah terjadi kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit berdasarkan kepentingan umum. Oleh karena itu, belum dijumpai adanya penafsiran oleh hakim tentang kepentingan umum dalam kepailitan. Tidak adanya rumusan kepentingan umum merupakan salah satu factor yang menyebabkan kejaksaan pada masa berlakunya Faillissement Verordening dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, belum pernah mengajukan permohonan pernyataan pailit. Kondisi ini tentu dapat menghilangkan 66 Sunarmi, Op.Cit., hal. 51.

20 46 kepercayaan masyarakat khususnya investor dalam penyelesaian utang piutang mereka. Sebab filosofinya adalah bahwa bila seseorang tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka hal ini merupakan dasar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, apalagi bila hal ini berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas. 67 Setelah berlakunya UUK dan PKPU, barulah dijumpai adanya satu perkara kepailitan untuk kepentingan umum yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam v. PT. Aneka Surya Agung, dengan nomor 02/Pailit/2005/PN.Niaga/Mdn. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga mengutip ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU, serta penjelasan ketentuan pasal tersebut yang mencantumkan keadaan-keadaan yang memungkinkan kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum. 68 Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU juga dinyatakan bahwa tata cara pengajuan permohonan pernyataan pailit oleh kejaksaan untuk kepentingan umum adalah sama dengan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor atau kreditor, dengan ketentuan bahwa permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan tanpa menggunakan jasa advokat. 4. Bank Indonesia Permohonan pernyataan pailit terhadap debitor yang merupakan bank hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU. Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (3) tersebut, 67 Ibid., hal Ibid.

21 47 yang dimaksdud dengan bank adalah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Lebih lanjut penjelasan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut menjelaskan bahwa pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, penjelasan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut tidak mengemukakan apa yang menjadi alasan mengapa hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal debitor adalah bank. Dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut, maka UUK dan PKPU telah memberlakukan standar ganda (double standard). Ketentuan bahwa hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal debitor adalah suatu bank, telah merampas hak

22 48 kreditor dari bank. Kreditor dari bank selain para nasabah penyimpan dana juga terdiri atas banyak bank, yang memberikan fasilitas kepada bank-bank tersebut melalui interbank money market. Bank sebaga kreditor dalam menghadapi debitor non bank dapat mandiri menjalankan haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, tetapi apabila bank sebaga kreditor menghadapi debitor yang merupakan bank, haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit tersebut hilang berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut. 69 Sutan Remy Sjahdeini juga berpendapat bahwa untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan agar dapat diberikan putusan oleh pengadilan untuk menyatakan suatu bank pailit harus melibatkan Bank Indonesia. Akan tetapi, dalam hal menyangkut debitor yang merupakan bank, untuk menghindari adanya standar ganda dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit, hendaknya permohonan pernyataan pailit tetap dapat diajukan oleh pihak-pihak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, yaitu bank itu sendiri selaku debitor, kreditor, dan kejaksaan untuk kepentingan umum, namun permohonan tersebut hanya dapat diajukan setelah sebelumnya memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. 70 Bank Indonesia sudah sewajarnya melaksanakan kewenangannya dalam kepailitan untuk menunjang perekonomian nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam UUK dan PKPU perlu diatur dengan tegas dalam kondisi bagaimana Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga. Oleh karena pengaturan tersebut tidak ada dalam UUK 69 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal Ibid., hal

23 49 dan PKPU, maka kondisi itu sebaiknya didasarkan pada ukuran yang terdapat pada Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yaitu keadaan suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya bila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, keadaan usahanya semakin memburuk antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas dan rehabilitasi, serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Dengan adanya ukuran yang jelas ini, maka Bank Indonesia akan aman dalam menggunakan kewenangannya dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga. 71 Menurut Sunarmi, permohonan kepailitan terhadap bank perlu ditinjau kembali, sebab bank adalah lembaga keuangan yang memiliki peranan sentral dalam perekonomian nasional. Hendaknya bank dikeluarkan dari sistem kepailitan dan memasukkannya dalam sistem likuidasi. Hal ini mengingat bahwa Bank Indonesia merupakan regulator yang memiliki otoritas moneter yang bertugas dan bertanggungjawab terhadap pembinaan dan pengawasan bank-bank serta stabilitas moneter. Kepailitan bank yang bersangkutan akan dapat membahayakan sistem perbankan. 72 Sunarmi juga berpendapat bahwa apabila kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada debitor yang merupakan bank tanpa melalui Bank Indonesia, dikhawatirkan bahwa setiap saat bank akan senantiasa dibayangbayangi pengajuan permohonan pernyataan pailit. Bila kondisi ini terjadi, maka 71 Ramlan Ginting, Kewenangan Tunggal Bank Indonesia dalam Kepailitan Bank, Buletin Bank Sentral dan Kebanksentralan, Volume 2 Tahun 2003, hal. 14. Dalam Sunarmi, Op.Cit., hal Sunarmi, Op.Cit., hal. 55.

24 50 jelas akan mengganggu kinerja perbankan nasional, yang selanjutnya tentu akan berkaitan dengan kelangsungan hidup perbankan tersebut. Dampak selanjutnya adalah akan mengganggu perekonomian nasional, karena sebagaimana diketahui bahwa bank merupakan agent of modernitation. 73 Menurut Undang-Undang Perbankan, suatu badan hukum perbankan dapat mengalami kepailitan. Hal itu dapat diketahui dalam Pasal 9 ayat (3) Undang- Undang Nomor 10 Tahun Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua harta yang dititipkan kepada bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada yang bersangkutan. 74 Dalam hal debitor merupakan bank, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU, karena besar sekali kepentingan masyarakat terhadap eksistensi suatu bank. Bubarnya suatu bank tidak sekedar menyangkut para pemegang sahamnya saja tetapi menyangkut pula kepentingan sistem keuangan negara serta kepentingan masyarakat penyimpan dana yaitu kepentingan yang jauh lebih besar daripada sekedar kepentingan para pemegang saham. 75 Dilibatkannya Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan dalam kepailitan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUK dan PKPU adalah untuk memberikan kepastian pemberlakuan yang semestinya kepada bank sebagai lembaga keuangan yang memegang peran penting dan sensitif dalam aktivitas 73 Ibid. 74 Rahayu Hartini, Op.Cit., hal Ibid., hal. 87.

25 51 masyarakat dan negara. Oleh karena itu, hadirnya Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut secara ideal dimaksudkan antara lain untuk: 76 a. Menjaga citra perbankan di mata masyarakat dan dunia, serta menghindarkan efek beruntun terhadap keberadaan bank lainnya. b. Menghindari permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap bank, seperti pihak-pihak yang sebenarnya bukan kreditor, ataupun pihak-pihak yang sebenarnya hanyalah untuk mempermalukan ataupun untuk menghancurkan citra bank tersebut di dalam maupun di luar negeri, atau termasuk juga pihak-pihak dari bank itu sendiri yang ingin melakukan penekanan terhadap para kreditornya untuk tunduk kepada langkah yang diinginkan oleh bank ataupun grup bank tersebut dengan ancaman akan mempailitkan bank tersebut jika para kreditornya tetap memaksa bank tersebut untuk membayar utang-utangnya. c. Memaksimalkan fungsi dari Bank Indonesia dalam melakukan tugas pengawasan dan pembinaan, sehingga dalam hal adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditor terhadap suatu bank, diharapkan Bank Indonesia yang memegang kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap bank tersebut, terlebih dahulu secara maksimal melakukan fungsinya sebagai otoritas untuk memeriksa permasalahan tersebut dan melihat apakah persoalan utang piutang tersebut memang benar, dan apakah terhadap kewajiban tersebut anggotanya telah melakukan aktivitas perbankannya secara prudent. Dalam hal ini, Bank Indonesia juga 76 Ibid., hal

26 52 akan menjalankan peran sebagai pihak ketiga ataupun mediator untuk memediasi masalah ini, sehingga diharapkan akan lebih membangun langkahlangkah penyelesaian secara damai di luar pengadilan (ut of court settlement). Perkara yang berkaitan dengan diajukannya permohonan pernyataan pailit terhadap bank adalah perkara Bank IFI sebagai pemohon pailit terhadap Bank Danamon sebagai termohon pailit. Dalam perkara tersebut, pengadilan niaga menolak untuk memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit tersebut karena tidak diajukan melalui Bank Indonesia. Hal ini berarti, selama Bank Indonesia tidak memohonkan pailit terhadap bank yang tidak membayar utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka terhadap bank tersebut tidak dapat dipailitkan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) Berkaitan dengan debitor yang merupakan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh BAPEPAM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU. Karena lembaga tersebut merupakan lembaga yang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan BAPEPAM. Selain itu, BAPEPAM juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya kewenangan Bank Indonesia terhadap bank. 77 Sunarmi, Op.Cit., hal. 56.

27 53 Dalam prakteknya, ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum maupun praktisi. Hal ini berkaitan pada penafsiran terhadap fungsi dan tugas BAPEPAM. Pendapat pertama menyebutkan bahwa terhadap perusahaan yang go public, keterlibatan BAPEPAM mutlak diperlukan. Hal ini mengingat bahwa BAPEPAM merupakan pihak yang bertugas untuk mengawasi jalannya kelancaran pasar modal. Oleh karena itu, BAPEPAM mutlak mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh para emiten yang dikhawatirkan akan mengganggu kinerja pasar modal. Namun pada sudut pandang yang lain, hendaknya keterlibatan BAPEPAM hanya cukup dilaporkan saja. Berdasarkan semangat dan asas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, BAPEPAM tidak diinginkan untuk turut campur, apalagi mengambil alih hak-hak investor dan emiten. 78 Pendapat kedua, ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU menunjukkan bahwa hak untuk mengajukan pailit oleh emiten selaku debitor maupun oleh para investornya selaku kreditor dari emiten yang bersangkutan diambil alih oleh BAPEPAM. Berdasarkan semangat dan asas Undang-Undang Pasar Modal, tugas BAPEPAM adalah memberikan perlindungan bagi investor publik, bukan merampas dan mengambil alih hak-hak dari para investor publik yang harus dilindunginya. Dengan dasar alasan ini, maka terlihat bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU tersebut tidak sejalan dengan universaly accepted 78 Ibid., hal. 57.

28 54 principle dari suatu Bankruptcy Law. Ketentuan ini dapat menghambat pertumbuhan pasar modal. 79 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, sesuai dengan pendirian berkenaan dengan wewenang Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor yang merupakan bank, sebaiknya diambil pendirian bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap suatu perusahaan yang berada di bawah pengawasan BAPEPAM, hanya dapat dipertimbangkan oleh pengadilan niaga apabila untuk permohonan tersebut telah diperoleh persetujuan dari BAPEPAM. Dengan kata lain, pengadilan niaga tidak boleh memutuskan pailit suatu perusahaan efek apabila BAPEPAM tidak menyetujuinya. Lebih lanjut Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa seperti halnya Bank Indonesia dalam hal debitor adalah suatu bank, tidak mustahil BAPEPAM dapat menghadapi potensi untuk digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara apabila menolak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu perusahaan efek. 80 Menurut Rahayu Hartini, sudah tepat apabila hanya BAPEPAM yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan efek, karena pembinaan, pengaturan dan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh BAPEPAM dengan tujuan untuk terciptanya kegiatan pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien. Dan yang lebih penting lagi untuk melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat sesuai ketentuan Pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang Pasar Modal. 81 Setelah dibentuknya OJK berdasarkan UUOJK, maka BAPEPAM secara kelembagaan telah dihapus dan digantikan oleh OJK. Menurut Pasal 1 angka 1 79 Ibid., hal Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal Rahayu Hartini, Op.Cit., hal. 90.

29 55 UUOJK, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UUOJK. Ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUOJK menyatakan bahwa: Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka selain fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal yang beralih dari BAPEPAM ke OJK, secara otomatis pula wewenang BAPEPAM dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga terhadap debitor yang merupakan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU, telah beralih ke OJK. 6. Menteri Keuangan Berkaitan dengan debitor yang merupakan perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU. Perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) tersebut adalah perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian.

30 56 Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi adalah perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai usaha perasuransian. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 2 ayat (5) tersebut dijelaskan bahwa kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian. Selain kepailitan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) tersebut menjelaskan pula terkait dengan kepailitan dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Dana pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal tersebut adalah dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dana pensiun. Kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap dana pensiun, sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap danapensiun, mengingat dana pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah besar dan dana tersebut merupakan hak dari peserta yang banyak jumlahnya. Sedangkan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik

31 57 adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. Kewenangan Menteri Keuangan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk instansi yang berada di bawah pengawasannya sebagaimana yang telah disebutkan di atas adalah sama seperti kewenangan Bank Indonesia dan OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan (4) UUK dan PKPU. Berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU tersebut di atas, maka pihak yang berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik kepada pengadilan niaga adalah Menteri Keuangan. Akan tetapi setelah dibentuknya OJK berdasarkan UUOJK, maka sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian dan dana pensiun telah beralih dari Menteri Keuangan ke OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUOJK. Dengan demikian, beralih pula kewenangan Menteri Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi dan dana pensiun ke OJK. Dengan kata lain, bahwa setelah dibentuknya OJK, Menteri Keuangan hanya berwenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Berkaitan dengan kepailitan, OJK telah mengeluarkan peraturan terkait dengan kepailitan instansi yang berada di bawah pengawasannya. Untuk

32 58 kepailitan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, OJK telah mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 28/POJK.05/2015 tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Akan tetapi, sampai saat ini untuk kepailitan perusahaan efek, OJK belum mengeluarkan peraturan terkait dengan kepailitan perusahaan efek. C. Pihak-Pihak yang Dapat Dinyatakan Pailit Setiap orang, baik orang perseorangan maupun badan atau korporasi dapat dinyatakan pailit apabila telah memenuhi persyaratan kepailitan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, dan syarat tersebut dapat dibuktikan secara sederhana. Ketentuan Pasal 1 angka 11 UUK dan PKPU menyatakan bahwa: Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi. Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa setiap orang baik orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dan dapat diajukan atau dinyatakan pailit oleh pengadilan. 82 Adapun pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit adalah: 82 Sunarmi, Op.Cit., hal. 65.

33 59 1. Orang perseorangan Dalam hal orang perseorangan dinyatakan pailit oleh pengadilan adalah orang perseorangan baik laiki-laki maupun perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah. 83 Apabila debitor yang belum menikah mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri, maka permohonan tersebut dapat secara langsung diajukan kepada pengadilan niaga yang berwenang. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 UUK dan PKPU, terhadap debitor yang sudah menikah atau terikat dalam hubungan pernikahan yang sah mengajukan permohonan pernyataan pailit, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku apabila tidak ada persatuan harta. Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) UUK dan PKPU tersebut, bahwa syarat adanya persetujuan suami atau istri tersebut berlaku apabila pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit tersebut adalah debitor. Persetujuan tersebut diperlukan menyangkut harta bersama. Suatu ikatan pernikahan yang sah harus dibuktikan dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. 2. Perserikatan-perserikatan atau perkumpulan-perkumpulan yang bukan badan hukum Perserikatan-perserikatan atau perkumpulan-perkumpulan yang bukan badan hukum menjalankan suatu usaha berdasarkan perjanjian antar anggotanya, tetapi perserikatan atau perkumpulan ini bukan merupakan badan hukum, artinya 83 Ibid., hal. 64.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 51 BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 3.1 Kepailitan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN. 2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan. failite yang artinya kemacetan pembayaran.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN. 2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan. failite yang artinya kemacetan pembayaran. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN 2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan Menurut Peter Mahmud, kata Pailit berasal dari bahasa Perancis yaitu failite yang artinya kemacetan pembayaran.

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya Lahirnya Undang-Undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN 1.1 Hak Tanggungan 1.1.1 Pengertian Hak Tanggungan Undang-Undang Pokok Agraria menamakan lembaga hak jaminan atas tanah dengan sebutan Hak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT UNTUK KEPENTINGAN UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT UNTUK KEPENTINGAN UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT UNTUK KEPENTINGAN UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN EFEK

KEPASTIAN HUKUM OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN EFEK KEPASTIAN HUKUM OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN EFEK Raden Besse Kartoningrat Fakultas Hukum, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya e-mail: radenbessekartoningrat@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 68-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 1999 PERBANKAN. LIKUIDASI. IZIN USAHA. PEMBUBARAN. LEMBAGA KEUANGAN. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bentuk Hukum Perusahaan Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang perekonomian secara terus menerus, bersifat tetap dan terang-terangan dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT 3.1. Klasifikasi Pemegang Jaminan Fidusia Atas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Bilamana Debitor Pailit 3.1.1. Prosedur Pengajuan

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN MENGAJUKAN PERMOHONAN KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN ASURANSI PASCA LAHIRNYA UU OJK

BAB II KEWENANGAN MENGAJUKAN PERMOHONAN KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN ASURANSI PASCA LAHIRNYA UU OJK 16 BAB II KEWENANGAN MENGAJUKAN PERMOHONAN KEPAILITAN PADA 2.1. Syarat Pemohon Pailit Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor menurut Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN A. Kepailitan 1. Pengertian dan Syarat Kepailitan Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan pailit. Istilah pailit dijumpai

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan.

BAB I PENDAHULUAN. badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997, banyak badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan. Meskipun kondisi

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 15 BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 1. Guarantor dengan Personal Guarantee : 1.1 Definisi Guarantor is a person or entity that agrees to be responsible for another s debt or a

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sektor hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Sektor yang

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sektor hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Sektor yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era modern ini banyak ditemukan permasalahan yang menyangkut berbagai sektor kehidupan terutama pada negara berkembang salah satunya adalah Indonesia, antara

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang

Lebih terperinci

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates Kepailitan Miko Kamal Principal, Miko Kamal & Associates Sejarah Kepailitan Pada masa Hindia- Belanda: Faillissements- verordening Staatblad 1905:217 juncto Staatblad 1906: 348) Masa merdeka: - Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Dalam UUK dan PKPU disebutkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR A. Pengertian Kreditur dan Debitur Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20

2017, No Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.36, 2017 KEUANGAN OJK. Investasi Kolektif. Multi Aset. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6024) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU 21 BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya berada dalam kesulitan sehingga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan pembangunan di bidang perekonomian terlebih setelah krisis moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN RANCANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN RANCANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN BATANG TUBUH PENJELASAN RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAH REASURANSI,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perbankan

Lebih terperinci

BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK

BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK A. Syarat Kepailitan PT. Telkomsel. Tbk Seorang debitor dapat dinyatakan pailit atau dalam keadaan pailit apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA A. Pengertian Keadaan Diam (Standstill) Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam Undang-Undang Kepaillitan Indonesia.

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Putusan pernyataan pailit adalah putusan yang diberikan oleh pengadilan niaga atas permohonan

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet. BAB II 21 TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI 1.1 Kepailitan 1.1.1 Pengertian Kepailitan Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.Kata Failliet itu sendiri

Lebih terperinci

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas.

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG SEKURITISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG SEKURITISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG SEKURITISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Mengingat : bahwa dengan bertambah meningkatnya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, 1999. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Utang-piutang 1. Pengertian utang Pengertian utang pada dasarnya dapat diartikan secara luas maupun secara sempit. Pengertian utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebutuhan yang sangat besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau membayar utangnya kepada kreditor, maka telah disiapkan suatu pintu darurat untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membayar ganti rugi atau disebut dengan penanggung. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik atau wederkerig

BAB I PENDAHULUAN. membayar ganti rugi atau disebut dengan penanggung. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik atau wederkerig 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan lembaga asuransi atau pertanggungan semakin dirasakan baik oleh perorangan maupun badan usaha di Indonesia. Seseorang atau badan usaha secara pribadi

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D 101 09 205 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-undang Kepailitan. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA INVESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PEDAGANGAN BERJANGKA

Lebih terperinci

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA 20 BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR

BAB II PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR BAB II PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR A. Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit 1. Syarat-syarat pengajuan permohonan pailit. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN Danik Gatot Kuswardani 1, Achmad Busro 2 Abstrak Pokok permasalahan yaitu: (1) Bagaimana

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT ( Putusan Pengadilan Niaga Jak.Pst Nomor : 1 / PKPU / 2006. JO Nomor : 42 / PAILIT /2005 ) STUDI KASUS HUKUM Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci