Bab IV Analisis Hasil Penelitian. Tabel IV.1 Alih Fungsi Lahan Sawah di Wilayah Kajian Tahun

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab IV Analisis Hasil Penelitian. Tabel IV.1 Alih Fungsi Lahan Sawah di Wilayah Kajian Tahun"

Transkripsi

1 58 Bab IV Analisis Hasil Penelitian Secara umum, bab ini akan mengkaji mengenai alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan non sawah di wilayah Pantai Utara jawa Barat. Kemudian hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah dan hubungan antara luas lahan sawah dengan produksi padi dan pemodelan prediksi pencadangan kebutuhan beras. IV.1 Analisis Alih Fungsi Lahan Sawah Hasil pengolahan data dengan melakukan tumpang susun antara peta penggunaan lahan tahun 1998 dengan tahun 2006 didapat peta alih fungsi lahan tahun selanjutnya dibuat turunan petanya yaitu peta alih fungsi lahan sawah tahun untuk mendapatkan alih fungsi lahan sawah dengan metode reklasifikasi. Alih fungsi lahan yang terjadi di wilayah Kajian sebagaimana terlihat pada tabel IV.1 sebagai Tabel IV.1 Alih Fungsi Lahan Sawah di Wilayah Kajian Tahun Alih Fungsi Lahan Sawah Tahun Menjadi Kabupaten Wilayah Sawah Tahun 1998 Industri Kebun Lahan terbuka Padang Permukiman/ Perairan Perkampung darat an Tegalan/ Ladang Bekasi , ,81 45, ,18 0, ,01 587, , , ,81 Karawang , ,20 1,96 898,59-922, , ,43 993, ,09 Subang , ,34 2, , ,45 363, , , ,73 Indramayu , ,54 0, ,98-916, , , , ,60 Cirebon , ,35 24, ,92 15, ,00 632, , , , , ,24 74, ,47 15, , , , , ,09 Dari tabel IV.1 terlihat bahwa luas sawah terbesar di Kabupaten Indramayu seluas ,54 Ha atau 66,57% dari luas wilayah dan luas sawah terkecil di Kabupaten Cirebon seluas ,35 atau 65,18% dari luas wilayah. Alih fungsi lahan sawah yang terjadi diwilayah kajian selama kurun waktu terbesar di Kabupaten Cirebon seluas ,86 Ha atau 34,80% dari luas sawah sebelumnya dan yang terkecil di Kabupaten Karawang seluas 6.971,09 Ha atau 6,09% dari luas sawah sebelumnya. Jenis alih fungsi lahan sawah yang terjadi

2 59 paling besar adalah sawah menjadi kebun seluas ,92 Ha terjadi di Kabupaten Cirebon dan yang paling kecil adalah sawah menjadi lahan terbuka seluas 0,05 Ha terjadi di Kabupaten Bekasi. Selama kurun waktu tahun 1998 sampai dengan tahun 2006 di wilayah kajian telah terjadi alih fungsi lahan sawah yaitu seluas ,09 Ha, dengan luas sawah tahun 1998 seluas ,24 Ha pengurangannya mencapai 15,03% selama delapan tahun atau rata-rata 1,88% pertahun. Dengan asumsi hasil sensus pertanian tahun 2003 menunjukan hasil yang cukup mengejutkan pengurangan luas sawah akibat alih fungsi lahan rata-rata 2,42% pertahun (Irawan, 2005) dan berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 ingin mempertahankan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan, maka alih fungsi lahan sawah yang terjadi untuk wilayah kajian rata-rata 1,88% pertahun merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan dan diperkirakan alih fungsi lahan sawah akan terus terjadi. Dalam beberapa hal alih fungsi lahan sawah bersifat dilematis ini disebabkan karena pertumbuhaan penduduk dan pertumbuhan kegiatan ekonomi memerlukan jumlah lahan non pertanian yang mencukupi. Namun demikian, pertumbuhan jumlah penduduk juga memerlukan penyediaan bahan pangan yang lebih besar yang berarti lahan sawah juga lebih luas. Dari hasil overlay antara peta kepadatan penduduk dengan peta alih fngsi lahan sawah yang hasilnya terlihat pada lampiran Q, R, S T dan U. Untuk Kabupaten Bekasi kecamatan dengan kepadatan penduduk terpadat yaitu Kecamatan Tambun Selatan jiwa/km 2 terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman terbanyak seluas 534,81 Ha, sementara kecamatan dengan kepadatan penduduk tidak padat yaitu Kecamatan Muaragembong 274 jiwa/km 2 terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman paling sedikit seluas 106,80 Ha. Kabupaten Karawang kecamatan dengan kepadatan penduduk terpadat yaitu Kecamatan Majalaya jiwa/km 2 terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman terbanyak seluas 278,42 Ha, sementara kecamatan dengan kepadatan penduduk tidak padat yaitu Kecamatan Ciampel 296 jiwa/km 2 terjadi alih fungsi

3 60 lahan sawah menjadi pemukiman seluas 39,27 Ha. Alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman paling sedikit seluas 25,21 Ha terjadi di Kecamatan Tirtajaya dengan kepadatan penduduk 866 jiwa/km 2. Kabupaten Subang kecamatan dengan kepadatan penduduk terpadat yaitu Kecamatan Subang jiwa/km 2 terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman terbanyak seluas 453,68 Ha, sementara kecamatan dengan kepadatan penduduk tidak padat yaitu Kecamatan Legonkulon 249 jiwa/km 2 terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman seluas 174,76 Ha. Alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman paling sedikit seluas 6,00 Ha terjadi di Kecamatan Purwadadi dengan kepadatan penduduk 656 jiwa/km 2. Kabupaten Indramayu kecamatan dengan kepadatan penduduk terpadat yaitu Kecamatan Indramayu jiwa/km 2 terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman seluas 495,78 Ha, alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman terbanyak seluas 661,74 Ha di Kecamatan Juntinyuat dengan kepadatan penduduk jiwa/km 2. Sementara kecamatan dengan kepadatan penduduk tidak padat yaitu Kecamatan Pasekan 310 jiwa/km 2 terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman paling sedikit seluas 121,55 Ha. Kabupaten Cirebon kecamatan dengan kepadatan penduduk terpadat yaitu Kecamatan Weru jiwa/km 2 terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman seluas 138,33 Ha, alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman terbanyak seluas 580,95 Ha di Kecamatan Klangenan dengan kepadatan penduduk jiwa/km 2. Sementara kecamatan dengan kepadatan penduduk tidak padat yaitu Kecamatan Pasaleman 524 jiwa/km 2 terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman 185,54 Ha. Alalih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman paling sedikit 59,41 Ha terjadi di Kecamatan Waled dengan kepadatan penduduk jiwa/km 2. Persoalan alih fungsi lahan sawah sangat rumit sehingga upaya pemecahannya tidak mungkin dilakukan secara parsial, diperlukan pendekatan yang menyeluruh

4 61 dengan melibatkan pihak terkait secara aktif. Berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih fungsi lahan sawah sudah banyak dibuat, beberapa peraturan perundangan yang berkenaan dengan hal tersebut antara lain : - Undang-Undang nomor 26 tahun 2007, Penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan untuk pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan. Dalam undang-undang ini terdapat sanksi administratif dan sanksi pidana bagi setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. - Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 53 tahun 1989, pembangunan kawasan industri tidak boleh mengkonversi sawah irigasi teknis/lahan pertanian subur. - Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 33 tahun 1990, pelarangan pemberian ijin perubahan fungsi lahan basah dan pengairan beririgasi bagi pembangunan kawasan industri. - SE MNA/Ka. BPN /1994, pencegahan penggunaan lahan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian melalui penyusunan rencana tata ruang. - SE MNA/Ka. BPN /1994, ijin lokasi tidak boleh mengkonversi sawah irigasi teknis. - SE Ka. Bappenas 5334/MK/1994, pelarangan konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non pertanian. - SE Ka. Bappenas 5335/MK/1994, penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota melarang konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non pertanian. - SE Mendagri 474/4263/SJ/1994, mempertahankan sawah irigasi teknis untuk mendukung swasembada pangan - SE MNA/Ka. BPN /1996, mencegah konversi lahan sawah irigasi teknis menjadi lahan kering. Peraturan perundangan tersebut dalam pelaksanaannya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai, seharusnya dapat

5 62 dilaksanakan dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah agar tidak terus terjadi. Dengan terjadinya alih fungsi lahan sawah maka diperlukan upaya langkahlangkah pengendalian, dimana pengendalian mengandung makna melakukan sesuatu tindakan tertentu agar proses, hasil dan akibat yang terjadi sesuai dengan yang diharapkan. Upaya melakukan pengendalian dilakukan beberapa pendekatan yaitu : 1) melakukan identifikasi permasalahan empiris yang terkait dengan penyebab, pola, dan dampak alih fungsi lahan sawah. Dengan alasan bahwa setelah diketahui penyebab, pola dan dampak terjadinya alih fungsi lahan sawah maka dapat dilakukan upaya pencegahan dengan menekan penyebabnya, menghentikan pola yang terjadi dan mengurangi dampak negatif terjadinya alih fungsi lahan sawah. 2) Regulasi, pemerintah menetapkan aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada, berdasarkan pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial. Selain itu diperlukan mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua stakeholder yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dengan alasan bahwa pemerintah telah membuat peraturan perundangan yang berkenaan dengan alih fungsi lahan sawah, hal ini seharusnya dalam pelaksanaannya dilakukan secara tegas tanpa kompromi yaitu mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah dan tetap mempertahankan lahan sawah yang ada dan disertai sanksi yang tegas. 3) incentive and charges, pemberian subsidi (insentif) kepada petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang dimilikinya, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian. Dengan alasan bahwa adanya insentif dan penerapan pajak yang menarik bagi petani diharapkan dapat mempertahankan lahan sawahnya sehingga tidak tertarik untuk melakukan alih fugsi dan menjual lahan sawahnya yang mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan sawah.

6 63 Pengendalian alih fungsi lahan sawah sangat perlu dilakukan, disamping itu terhadap lahan sawah yang sudah terjadi alih fungsi seharusnya dilakukan upaya penggantian lahan sawah di daerah lain yang cocok dilihat dari aspek fisik lahan, sosial dan ekonomi. Pengantian lahan sawah ini diterapkan dengan melakukan pencetakan sawah baru, namun hal ini memerlukan biaya yang sangat tinggi. Sehingga pencetakan sawah baru ini menjadi alternatif yang terakhir dengan tetap mengutamakan upaya pencegahan terjadinya alih fungsi lahan sawah melalui pengendalian alih fungsi lahan sawah. Peranan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah salah satunya adalah dalam rangka pemberian ijin lokasi. Melalui Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota diminta pertimbangan dalam rangka pemberian ijin lokasi yaitu dengan membuat pertimbangan teknis penatagunaan tanah yang juga turut dalam rapat koordinasi pemberian ijin lokasi. Dalam hal ini peranan BPN dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah bisa mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah dengan tidak memberikan rekomendasi dalam pertimbangan teknis penatagunaan tanahnya. Selain itu dalam penyusunan neraca penggunaan lahan yang dibuat memperhatikan lahan sawah agar tetap dapat dipertahankan fungsinya. IV.2 Hubungan antara Penduduk, Sawah dan Padi Data jumlah penduduk, luas lahan sawah dan jumlah produksi padi seperti pada tabel lampiran K dan L. Untuk mengetahui korelasi masing-masing variabel maka dilakukan melalui analisis statistik yaitu metode korelasi dengan menggunakan rumus korelasi Pearson Product Moment, yang perhitungannya dilakukan dengan bantuan SPSS 11.5 for Windows. Pengujian korelasi dilakukan utuk masingmasing kabupaten di wilayah kajian. IV.2.1. Data Tahun 1998 Kabupaten Bekasi dengan hasil perhitungan analisis korelasi antara jumlah penduduk, luas sawah dan produksi padi adalah seperti pada tabel IV.2 sebagai

7 64 Tabel IV.2 Hasil Perhitungan Korelasi Kabupaten Bekasi Data Tahun 1998 Penduduk Penduduk Sawah Padi Pearson Correlation 1,001 -,134 Sig. (2-tailed).,998,634 N Sawah Pearson Correlation,001 1,636** Sig. (2-tailed),998.,011 N Padi Pearson Correlation -,134,636** 1 Sig. (2-tailed),634,011. N * Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Untuk pengujian koefisien korelasi Pearson Product Moment dengan perumusan hipotesis statistiknya adalah : 1. H 0 : ρ = 0 : tidak ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas lahan sawah H a : ρ 0 : ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas lahan sawah 2. H 0 : ρ = 0 : tidak ada hubungan antara luas lahan sawah dengan produksi padi H a : ρ 0 : ada hubungan antara luas lahan sawah dengan produksi padi maka digunakan uji-t dengan pengujian t hitung dengan t tabel, sebagai 1. Untuk korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan luas sawah t hitung = 0,004 < t tabel = 1,771 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah. 2. Untuk korelasi antara variabel luas sawah dengan produksi padi t hitung = 2,972 > t tabel = 1,771 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara luas sawah dengan produksi padi. Untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap dari koefisien korelasi (r) maka dilakukan melalui koefisen determinasi yang merupakan kuadrat dari koefisen korelasi besarnya prosentase perubahan pada Y yang bisa diterangkan oleh X melalui hubungan linier Y dan X atau d = r 2 xy. Setelah dilakukan pengujian hipotesis dan hasil signifikannya, untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap

8 65 dari koefisien korelasi (r) maka dilakukan melalui koefisien determinasi dengan hasil perhitungan sebagai 1. Untuk korelasi variabel antara jumlah penduduk dengan luas sawah karena H 0 diterima artinya tidak ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah, maka tidak perlu dilakukan interpretasi. 2. Untuk korelasi variabel antara luas sawah dengan produksi padi d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada produksi padi 40,45% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada luas sawah, sisanya 59,551% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara luas sawah dengan produksi padi mempunyai hubungan yang moderat. Kabupaten Karawang dengan hasil perhitungan analisis korelasi antara jumlah penduduk, luas sawah dan produksi padi adalah seperti pada tabel IV.3 sebagai Tabel IV.3 Hasil Perhitungan Korelasi Kabupaten Karawang Data Tahun 1998 Penduduk Penduduk Sawah Padi Pearson Correlation 1,451*,471* Sig. (2-tailed).,061,048 N Sawah Pearson Correlation,451 1,901** Sig. (2-tailed),061.,000 N Padi Pearson Correlation,471*,901** 1 Sig. (2-tailed),048,000. N * Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Untuk pengujian koefisien korelasi digunakan uji-t dengan pengujian t hitung dengan t tabel, sebagai 1. Untuk korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan luas sawah t hitung = 2,021 > t tabel = 1,746 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah.

9 66 2. Untuk korelasi antara variabel luas sawah dengan produksi padi t hitung = 8,308 > t tabel = 1,746 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara luas sawah dengan produksi padi. Untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap dari koefisien korelasi (r) maka dilakukan melalui koefisen determinasi dengan hasil perhitungan sebagai 1. Untuk korelasi variabel antara jumlah penduduk dengan luas sawah d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada luas sawah 20,34% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada jumlah penduduk, sisanya 79,66% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah mempunyai hubungan yang moderat. 2. Untuk korelasi variabel antara luas sawah dengan produksi padi d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada produksi padi 81,18% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada luas sawah, sisanya 18,82% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara luas sawah dengan produksi padi mempunyai hubungan yang sangat erat. Kabupaten Subang dengan hasil perhitungan analisis korelasi antara jumlah penduduk, luas sawah dan produksi padi adalah seperti pada tabel IV.4 sebagai Tabel IV.4 Hasil Perhitungan Korelasi Kabupaten Subang Data Tahun 1998 Penduduk Penduduk Sawah Padi Pearson Correlation 1,620**,636** Sig. (2-tailed).,004,003 N Sawah Pearson Correlation,620** 1,918** Sig. (2-tailed),004.,000 N Padi Pearson Correlation,636**,918** 1 Sig. (2-tailed),003,000. N ** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

10 67 Untuk pengujian koefisien korelasi digunakan uji-t dengan pengujian t hitung dengan t tabel, sebagai 1. Untuk korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan luas sawah t hitung = 3,353 > t tabel = 1,734 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah. 2. Untuk korelasi antara variabel luas sawah dengan produksi padi t hitung = 9,821 > t tabel = 1,734 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara luas sawah dengan produksi padi. Untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap dari koefisien korelasi (r) maka dilakukan melalui koefisen determinasi dengan hasil perhitungan sebagai 1. Untuk korelasi variabel antara jumlah penduduk dengan luas sawah d = 0,3844 artinya bahwa varian yang terjadi pada luas sawah 38,44% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada jumlah penduduk, sisanya 61,56% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah mempunyai hubungan yang moderat. 2. Untuk korelasi variabel antara luas sawah dengan produksi padi d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada produksi padi 84,27% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada luas sawah, sisanya 15,73% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara luas sawah dengan produksi padi mempunyai hubungan yang sangat erat. Kabupaten Indramayu dengan hasil perhitungan analisis korelasi antara jumlah penduduk, luas sawah dan produksi padi adalah seperti pada tabel IV.5 sebagai

11 68 Tabel IV.5 Hasil Perhitungan Korelasi Kabupaten Indramayu Data Tahun 1998 Penduduk Penduduk Sawah Padi Pearson Correlation 1,521**,393* Sig. (2-tailed).,013,071 N Sawah Pearson Correlation,521** 1,718** Sig. (2-tailed),013.,000 N Padi Pearson Correlation,393*,718** 1 Sig. (2-tailed),071,000. N * Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Untuk pengujian koefisien korelasi digunakan uji-t dengan pengujian t hitung dengan t tabel, sebagai 1. Untuk korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan luas sawah t hitung = 2,730 > t tabel = 1,725 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah. 2. Untuk korelasi antara variabel luas sawah dengan produksi padi t hitung = 1,911 > t tabel = 1,725 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara luas sawah dengan produksi padi. Untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap dari koefisien korelasi (r) maka dilakukan melalui koefisen determinasi dengan hasil perhitungan sebagai 1. Untuk korelasi variabel antara jumlah penduduk dengan luas sawah d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada luas sawah 27,14% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada jumlah penduduk, sisanya 72,86% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah mempunyai hubungan yang moderat. 2. Untuk korelasi variabel antara luas sawah dengan produksi padi d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada produksi padi 15,44% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada luas sawah, sisanya 84,56% dijelaskan oleh

12 69 variabel lain. Hubungan antara luas sawah dengan produksi padi mempunyai hubungan yang tidak erat. Kabupaten Cirebon dengan hasil perhitungan analisis korelasi antara jumlah penduduk, luas sawah dan produksi padi adalah seperti pada tabel IV.6 sebagai Tabel IV.6 Hasil Perhitungan Korelasi Kabupaten Cirebon Data Tahun 1998 Penduduk Penduduk Sawah Padi Pearson Correlation 1,439*,240 Sig. (2-tailed).,036,270 N Sawah Pearson Correlation,439* 1,785** Sig. (2-tailed),036.,000 N Padi Pearson Correlation,240,785** 1 Sig. (2-tailed),270,000. N * Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Untuk pengujian koefisien korelasi digunakan uji-t dengan pengujian t hitung dengan t tabel, sebagai 1. Untuk korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan luas sawah t hitung = 2,239 > t tabel = 1,721 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah. 2. Untuk korelasi antara variabel luas sawah dengan produksi padi t hitung = 5,807 > t tabel = 1,721 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara luas sawah dengan produksi padi. Untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap dari koefisien korelasi (r) maka dilakukan melalui koefisen determinasi dengan hasil perhitungan sebagai

13 70 1. Untuk korelasi variabel antara jumlah penduduk dengan luas sawah d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada luas sawah 19,27% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada jumlah penduduk, sisanya 80,73% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah mempunyai hubungan yang moderat. 2. Untuk korelasi variabel antara luas sawah dengan produksi padi d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada produksi padi 61,62% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada luas sawah, sisanya 38,38% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara luas sawah dengan produksi padi mempunyai hubungan yang erat. IV.2.2. Data Tahun 2006 Hasil perhitungan analisis korelasi antara jumlah penduduk, luas sawah dan produksi padi untuk masing-masing kabupaten di wilayah kajian adalah sebagai Kabupaten Bekasi dengan hasil perhitungan analisis korelasi antara jumlah penduduk, luas sawah dan produksi padi adalah seperti pada tabel IV.7 sebagai Tabel IV.7 Hasil Perhitungan Korelasi Kabupaten Bekasi Data Tahun 2006 Penduduk Penduduk Sawah Padi Pearson Correlation 1 -,330 -,299 Sig. (2-tailed).,124,166 N Sawah Pearson Correlation -,330 1,860** Sig. (2-tailed),124.,000 N Padi Pearson Correlation -,299,860** 1 Sig. (2-tailed),166,000. N ** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

14 71 Untuk pengujian koefisien korelasi digunakan uji-t dengan pengujian t hitung dengan t tabel, sebagai 1. Untuk korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan luas sawah t hitung = -1,602 < t tabel = 1,721 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah. 2. Untuk korelasi antara variabel luas sawah dengan produksi padi t hitung = 7,723 > t tabel = 1,721 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara luas sawah dengan produksi padi. Untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap dari koefisien korelasi (r) maka dilakukan melalui koefisen determinasi dengan hasil perhitungan sebagai 1. Untuk korelasi variabel antara jumlah penduduk dengan luas sawah karena H 0 diterima artinya tidak ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah, maka tidak perlu dilakukan interpretasi. 2. Untuk korelasi variabel antara luas sawah dengan produksi padi d = 0,7396 artinya bahwa varian yang terjadi pada produksi padi 73,96% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada luas sawah, sisanya 26,04% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara luas sawah dengan produksi padi mempunyai hubungan yang erat. Kabupaten Karawang dengan hasil perhitungan analisis korelasi antara jumlah penduduk, luas sawah dan produksi padi adalah seperti pada tabel IV.8 sebagai

15 72 Tabel IV.8 Hasil Perhitungan Korelasi Kabupaten Karawang Data Tahun 2006 Penduduk Penduduk Sawah Padi Pearson Correlation 1 -,147 -,138 Sig. (2-tailed).,437,466 N Sawah Pearson Correlation -,147 1,873** Sig. (2-tailed),437.,000 N Padi Pearson Correlation -,138,873** 1 Sig. (2-tailed),466,000. N ** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Untuk pengujian koefisien korelasi digunakan uji-t dengan pengujian t hitung dengan t tabel, sebagai 1. Untuk korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan luas sawah t hitung = -0,786 < t tabel = 1,721 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah. 2. Untuk korelasi antara variabel luas sawah dengan produksi padi t hitung = 9,472 > t tabel = 1,721 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara luas sawah dengan produksi padi. Untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap dari koefisien korelasi (r) maka dilakukan melalui koefisen determinasi dengan hasil perhitungan sebagai 1. Untuk korelasi variabel antara jumlah penduduk dengan luas sawah karena H 0 diterima artinya tidak ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah, maka tidak perlu dilakukan interpretasi. 2. Untuk korelasi variabel antara luas sawah dengan produksi padi d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada produksi padi 76,21% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada luas sawah, sisanya 23,79% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara luas sawah dengan produksi padi mempunyai hubungan yang erat.

16 73 Kabupaten Subang dengan hasil perhitungan analisis korelasi antara jumlah penduduk, luas sawah dan produksi padi adalah seperti pada tabel IV.9 sebagai Tabel IV.9 Hasil Perhitungan Korelasi Kabupaten Subang Data Tahun 2006 Penduduk Penduduk Sawah Padi Pearson Correlation 1,489*,482* Sig. (2-tailed).,021,023 N Sawah Pearson Correlation,489* 1,937** Sig. (2-tailed),021.,000 N Padi Pearson Correlation,482*,937** 1 Sig. (2-tailed),023,000. N * Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level 1-tailed). Untuk pengujian koefisien korelasi digunakan uji-t dengan pengujian t hitung dengan t tabel, sebagai 1. Untuk korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan luas sawah t hitung = 2,507 > t tabel = 1,725 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah. 2. Untuk korelasi antara variabel luas sawah dengan produksi padi t hitung = 11,996 > t tabel = 1,725 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara luas sawah dengan produksi padi. Untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap dari koefisien korelasi (r) maka dilakukan melalui koefisen determinasi dengan hasil perhitungan sebagai 1. Untuk korelasi variabel antara jumlah penduduk dengan luas sawah d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada luas sawah 23,91% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada jumlah penduduk, sisanya 76,09% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah mempunyai hubungan yang moderat.

17 74 2. Untuk korelasi variabel antara luas sawah dengan produksi padi d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada produksi padi 87,80% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada luas sawah, sisanya 12,20% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara luas sawah dengan produksi padi mempunyai hubungan yang sangat erat. Kabupaten Indramayu dengan hasil perhitungan analisis korelasi antara jumlah penduduk, luas sawah dan produksi padi adalah seperti pada tabel IV.10 sebagai Tabel IV.10 Hasil Perhitungan Korelasi Kabupaten Indramayu Data Tahun 2006 Penduduk Penduduk Sawah Padi Pearson Correlation 1,488**,333* Sig. (2-tailed).,005,067 N Sawah Pearson Correlation,488** 1,808** Sig. (2-tailed),005.,000 N Padi Pearson Correlation,333*,808** 1 Sig. (2-tailed),067,000. N ** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (1 -tailed). Untuk pengujian koefisien korelasi digunakan uji-t dengan pengujian t hitung dengan t tabel, sebagai 1. Untuk korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan luas sawah t hitung = 3,011 > t tabel = 1,699 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah. 2. Untuk korelasi antara variabel luas sawah dengan produksi padi t hitung = 7,385 > t tabel = 1,699 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara luas sawah dengan produksi padi.

18 75 Untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap dari koefisien korelasi (r) maka dilakukan melalui koefisen determinasi dengan hasil perhitungan sebagai 1. Untuk korelasi variabel antara jumlah penduduk dengan luas sawah d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada luas sawah 23,81% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada jumlah penduduk, sisanya 76,19% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah mempunyai hubungan yang moderat. 2. Untuk korelasi variabel antara luas sawah dengan produksi padi d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada produksi padi 65,28% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada luas sawah, sisanya 34,71% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara luas sawah dengan produksi padi mempunyai hubungan yang erat. Kabupaten Cirebon dengan hasil perhitungan analisis korelasi antara jumlah penduduk, luas sawah dan produksi padi adalah seperti pada tabel IV.11 sebagai Tabel IV.11 Hasil Perhitungan Korelasi Kabupaten Cirebon Data Tahun 2006 Penduduk Penduduk Sawah Padi Pearson Correlation 1,463**,453** Sig. (2-tailed).,004,005 N Sawah Pearson Correlation,463** 1,835** Sig. (2-tailed),004.,000 N Padi Pearson Correlation,453**,835** 1 Sig. (2-tailed),005,000. N ** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Untuk pengujian koefisien korelasi digunakan uji-t dengan pengujian t hitung dengan t tabel, sebagai

19 76 1. Untuk korelasi antara variabel jumlah penduduk dengan luas sawah t hitung = 3,090 > t tabel = 1,690 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah. 2. Untuk korelasi antara variabel luas sawah dengan produksi padi t hitung = 8,978 > t tabel = 1,690 dengan α = 0,05 uji satu pihak, maka H 0 ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara luas sawah dengan produksi padi. Untuk melihat interpretasi yang lebih lengkap dari koefisien korelasi (r) maka dilakukan melalui koefisen determinasi dengan hasil perhitungan sebagai 1. Untuk korelasi variabel antara jumlah penduduk dengan luas sawah d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada luas sawah 21,44% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada jumlah penduduk, sisanya 78,56% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara jumlah penduduk dengan luas sawah mempunyai hubungan yang moderat. 2. Untuk korelasi variabel antara luas sawah dengan produksi padi d = 0, artinya bahwa varian yang terjadi pada produksi padi 69,72% dapat dijelaskan melalui varian yang terjadi pada luas sawah, sisanya 30,28% dijelaskan oleh variabel lain. Hubungan antara luas sawah dengan produksi padi mempunyai hubungan yang erat. IV.3 Analisis Pemodelan Prediksi Pencadangan Kebutuhan Beras Dari hasil simulasi seperti pada tabel III.8 pada bab sebelumnya terlihat bahwa pencadangan beras dari tahun ke tahun semakin menurun dengan rata-rata pengurangannya setiap tahun 3,84%, sehingga pada titik tertentu akan terjadi defisit dalam pencadangan kebutuhan beras. Hasil Simulasi yang dibuat dilakukan validasi berdasarkan data pada tabel III.9 pada bab sebelumnya, dengan hasil validasi seperti pada tabel IV.12 sebagai

20 77 Tahun Tabel IV.12 Validasi Hasil Simulasi dengan Kondisi Berdasarkan Data Wilayah Kajian Total Konsumsi Beras Hasil Simulasi Kondisi Berdasarkan Data Simpangan Beras PencadanganK ebutuhan Beras Total Konsumsi Beras Beras PencadanganK ebutuhan Beras Total Konsumsi Beras Beras Pencadangan Kebutuhan Beras , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Sumber Hasil Pengolahan Data Dari tabel IV.12 di atas terlihat bahwa pencadangan kebutuhan beras rata-rata simpangannya adalah 2,25% dengan simpangan yang terbesar pada tahun 2003 sebanyak ,81 ton/tahun atau 18,84% dan simpangan yang terkecil pada tahun 2002 sebanyak ,20 ton/tahun atau 0,73%. Berdasarkan hasil validasi dengan data yang diperoleh, kondisinya tidak sesuai dengan prediksi yang dilakukan dengan simulasi karena model dibangun hanya dengan menggunakan dua parameter yaitu prosentase pertumbuhan penduduk dan prosentase pertumbuhan produksi padi. Dengan memasukkan parameterparameter tambahan seperti luas lahan sawah, faktor kekeringan, serangan Hama, bencana alam dan lain-lain model yang dibangun akan memberikan hasil yang mendekati kondisi nyata. Secara sederhana model ini dapat dijadikan dasar dalam memperkirakan proyeksi kebutuhan beras di masa yang akan datang. Apabila model dijalankan unuk tahun 2021 dan 2022 maka didapat hasil sebagai

21 78 Tabel IV.13 Hasil Simulasi Prediksi Pencadangan Kebutuan Beras Wilayah Kajian Tahun 2021 dan 2022 Tahun Total Konsumsi Beras Beras Pencadangan Kebutuhan Beras , , , , , ,58 Sumber Hasil Pengolahan Data Dari tabel IV.13 terlihat bahwa untuk tahun 2022 akan terjadi defisit pencadangan kebutuhan beras di wilayah kajian dimana jumlah produksi beras yang dihasilkan lebih kecil dibanding total konsumsi beras. Namun bila kita melihat perbandingan antara jumlah produksi padi nasional, wilayah kajian dan hasil simulasi model wilayah kajian seperti pada tabel IV.14 sebagai Tabel IV.14 Perbandingan Padi Nasional, Wilayah Kajian dan Hasil Simulasi Model Wilayah Kajian Tahun Nasional Padi Wilayah Kajian % Hasil Simulasi Model Wilayah Kajian ,62 8,01% ,05 8,21% ,56 8,08% ,19 8,08% ,57 9,16% ,95 8,47% ,35 8,52% ,83 8,46% ,78 7,42% ,82 8,54% ,41 8,82% ,94 8,36% Sumber BPS dan Hasil Pengolahan Data % Dari tabel IV.14 terlihat bahwa jumlah produksi padi wilayah kajian dibanding produksi padi nasional rata-rata sebesar 8,39% dan jumlah produksi padi hasil simulasi model wilayah kajian dibanding produksi padi nasional rata-rata sebesar 8,31%.

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab III Pelaksanaan Penelitian 24 Bab III Pelaksanaan Penelitian Secara garis besar, bab ini akan menjelaskan uraian pelaksanaan penelitian. Tahap kegiatan pada pelaksanaan penelitian ini meliputi empat tahap utama antara lain persiapan,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS ASPEK PENGENDALIAN

BAB V ANALISIS ASPEK PENGENDALIAN 5-1 BAB V ANALISIS ASPEK PENGENDALIAN Dalam RTRW Propinsi Jawa Barat salah satu substansi pokok dalam rencana pola pemanfaatan ruang adalah mempertahankan keberadaan sawah teknis. Seperti yang telah diketahui

Lebih terperinci

Gambar III.19 Peta Produksi Padi Kabupaten Bekasi Tahun 2006

Gambar III.19 Peta Produksi Padi Kabupaten Bekasi Tahun 2006 44 Gambar III.19 Peta Produksi Padi Kabupaten Bekasi Tahun 2006 Jumlah produksi padi Kabupaten Bekasi untuk tahun 2006 sebanyak 551.479 ton, dengan jumlah produksi padi terbanyak di Kecamatan Pebayuran

Lebih terperinci

Bab V Kesimpulan. Dari hasil penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

Bab V Kesimpulan. Dari hasil penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 79 Bab V Kesimpulan Dari hasil penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Selama kurun waktu tahun 1998 sampai dengan tahun 2006 di wilayah kajian alih fungsi lahan sawah yang terjadi

Lebih terperinci

Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Swasembada Beras di Kabupaten Bekasi

Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Swasembada Beras di Kabupaten Bekasi Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: 2460-6480 Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Swasembada Beras di Kabupaten Bekasi 1 Robbinov Dwi Ardi, 2 Ina Helena Agustina 1,2 Prodi Perencanaan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Kabupaten karawang sebagai lumbung padi mempunyai peran penting dalam menjaga swasembada beras nasional tentunya demi menjaga swasembada beras nasional

Lebih terperinci

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA 6-1 BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA Kecenderungan dan pola spasial alih fungsi lahan sawah yang telah terjadi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang merupakan modal dasar bagi pembangunan di semua sektor, yang luasnya relatif tetap. Lahan secara langsung digunakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Abstrak... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... viii Daftar Gambar... xii

DAFTAR ISI. Abstrak... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... viii Daftar Gambar... xii DAFTAR ISI Abstrak... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... viii Daftar Gambar... xii BAB 1 BAB 2 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1-1 1.2 Perumusan Masalah... 1-3 1.2.1 Permasalahan

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 8 1.3 Tujuan dan Manfaat... 8 1.4 Ruang Lingkup...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan papan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia pasti

Lebih terperinci

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran 151 Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran V.1 Analisis V.1.1 Analisis Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi Dalam analisis alih fungsi lahan sawah terhadap ketahanan pangan dibatasi pada tanaman pangan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua,

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua, IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Alih fungsi lahan pertanian merupakan salah satu permasalahan yang sedang dihadapi dalam bidang pertanian di Indonesia. Luas lahan pertanian sawah di Indonesia saat

Lebih terperinci

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang

Lebih terperinci

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada 47 Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada Abstrak Berdasarkan data resmi BPS, produksi beras tahun 2005 sebesar 31.669.630 ton dan permintaan sebesar 31.653.336 ton, sehingga tahun 2005 terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Dengan jumlah. penduduk yang semakin meningkat maka kebutuhan akan pangan juga akan

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Dengan jumlah. penduduk yang semakin meningkat maka kebutuhan akan pangan juga akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat maka kebutuhan akan pangan juga akan semakin meningkat, dengan kata lain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DIKAITKAN DENGAN KETAHANAN PANGAN (STUDI KASUS WILAYAH PANTAI UTARA JAWA BARAT) TESIS YOGA MUNAWAR NIM :

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DIKAITKAN DENGAN KETAHANAN PANGAN (STUDI KASUS WILAYAH PANTAI UTARA JAWA BARAT) TESIS YOGA MUNAWAR NIM : ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DIKAITKAN DENGAN KETAHANAN PANGAN (STUDI KASUS WILAYAH PANTAI UTARA JAWA BARAT) TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut

Lebih terperinci

Tugas Akhir PW Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP

Tugas Akhir PW Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP Tugas Akhir PW 09-1333 Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Sawah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit dikabupaten Siak-Riau Ikhlas Saily NRP 3607 100 027 Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

Statistik Nonparametrik:

Statistik Nonparametrik: ANALISIS KORELASI B Ali Muhson, M.Pd. Jenis Analisis Korelasi Statistik parametrik: Korelasi Product Moment (Pearson) Korelasi Parsial Korelasi Semi Parsial Korelasi Ganda, dsb Statistik Nonparametrik:

Lebih terperinci

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng wiwifadly@gmail.com ABSTRAK Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah enganalisis dan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi tanah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi tanah merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia di permukaan bumi. Dengan tanah manusia dapat hidup, berkembang, dan melakukan aktifitasnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, menghadapi tantangan yang berat dan sangat kompleks. Program dan kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KORELASI KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU PAI DENGAN MOTIVASI BELAJAR PAI SISWA SMP MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN

BAB IV ANALISIS KORELASI KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU PAI DENGAN MOTIVASI BELAJAR PAI SISWA SMP MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN BAB IV ANALISIS KORELASI KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU PAI DENGAN MOTIVASI BELAJAR PAI SISWA SMP MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN A. Analisis Data Kompetensi Kepribadian Guru PAI SMP Muhammadiyah Pekajangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam masalah yang dihadapi pada saat ini. Masalah pertama yaitu kemampuan lahan pertanian kita

Lebih terperinci

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia Kebijakan Penguasaan Lahan (Land Tenure) : Pentingnya kebijakan land tenure bagi pertanian Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember www.adamjulian.net

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN Oleh : Muchjidin Rachmat Chairul Muslim Muhammad Iqbal PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dikaruniai Tuhan dengan keanekaragaman hayati, ekosistem, budaya yang sangat tinggi, satu lokasi berbeda dari lokasi-lokasi lainnya. Kemampuan dan keberadaan biodiversitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN. telah disebarkan di lingkungan SMK Telkom Sandy Putra Jakarta dan telah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN. telah disebarkan di lingkungan SMK Telkom Sandy Putra Jakarta dan telah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 4.1. Deskripsi Hasil Penelitian Pada bagian ini, penulis akan menguraikan mengenai hasil analisis data dari angket yang berbentuk pertanyaan yang diberikan kepada

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN.

DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN. DAFTAR ISI DAFTAR ISI.. DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN. iv viii xi xii I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Perumusan Masalah 9 1.3. Tujuan Penelitian 9 1.4. Manfaat Penelitian 10

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar untuk Provinsi Jawa Timur setelah Bojonegoro, Lamongan, dan Banyuwangi. Kontribusi beras

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 3A TAHUN 2014 TENTANG ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI KABUPATEN BLORA

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 3A TAHUN 2014 TENTANG ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI KABUPATEN BLORA BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 3A TAHUN 2014 TENTANG ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI KABUPATEN BLORA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

(Studi Kasus di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu)

(Studi Kasus di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu) ANALISIS PERUBAHAN LAJU KONVERSI LAHAN SAWAH KE PENGGUNAAN NON-SAWAH DI WILAYAH PANTAI UTARA JAWA BARAT (Studi Kasus di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu) Oleh : DAUD MUSTOFA A 27.0836

Lebih terperinci

(Studi Kasus di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu)

(Studi Kasus di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu) ANALISIS PERUBAHAN LAJU KONVERSI LAHAN SAWAH KE PENGGUNAAN NON-SAWAH DI WILAYAH PANTAI UTARA JAWA BARAT (Studi Kasus di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu) Oleh : DAUD MUSTOFA A 27.0836

Lebih terperinci

KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH

KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH Bambang Irawan Dalam pembangunan nasional, peningkatan ketahanan pangan selalu menjadi prioritas. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I. I.1.Latar Belakang PENDAHULUAN

BAB I. I.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Salah satu dari sekian banyak sumber daya alam yang diciptakan oleh Allah SWT untuk kelangsungan hidup manusia adalah tanah atau lahan. Pengertian tanah menurut Sumaryo

Lebih terperinci

HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI

HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Oryza sativa L) (Suatu Kasus di Desa Kabupaten Ciamis) Oleh: Yogi Rosdiawan 1, Dedi Herdiansah S, Muhamad Nurdin Yusuf 3 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat yang dilakukan di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat yang dilakukan di seluruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat yang dilakukan di seluruh wilayah baik

Lebih terperinci

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan Pertanian merupakan pembangunan yang terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi yang ada di Indonesia, apalagi semenjak sektor pertanian menjadi penyelamat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana

TINJAUAN PUSTAKA. dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana TINJAUAN PUSTAKA Manfaat Lahan Sawah Lahan sawah dapat dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan manfaat yang bersifat sosial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah sedang berupaya menjaga ketahanan pangan Indonesia dengan cara meningkatkan produksi tanaman pangan agar kebutuhan pangan Indonesia tercukupi. Ketidak tersediaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan utama dalam pemenuhan kebutuhan bangan pangan adalah berkurangnya luas lahan karena adanya alih fungsi lahan sawah ke non sawah. Konversi lahan pertanian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. kuisioner adalah untuk mengetahui ketepatan waktu, jumlah, jenis, tepat (sasaran),

III. METODE PENELITIAN. kuisioner adalah untuk mengetahui ketepatan waktu, jumlah, jenis, tepat (sasaran), III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data 1. Data Primer Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan penyebaran kuisioner kepada kelompok petani yang menerima subsidi pupuk. Tujuan penyebaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia (Ganesha Enterpreneur Club, Pola Tanam Padi Sri, Produktifitas

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia (Ganesha Enterpreneur Club, Pola Tanam Padi Sri, Produktifitas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara agraris, yaitu negara yang penghasilan penduduknya sebagian besar berasal dari hasil bercocok tanam padi sawah dan kebanyakan penduduknya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pangan bagi dirinya sendiri. Kegiatan pertanian tersebut mendorong suatu

PENDAHULUAN. pangan bagi dirinya sendiri. Kegiatan pertanian tersebut mendorong suatu PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian muncul sejak manusia mampu untuk menjaga ketersediaan pangan bagi dirinya sendiri. Kegiatan pertanian tersebut mendorong suatu kelompok manusia untuk bergantung dan

Lebih terperinci

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH Joko Sutrisno 1, Sugihardjo 2 dan Umi Barokah 3 1,2,3 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek Penelitian dan Data Deskriptif 1. Deskripsi Subjek Obyek Penelitian Kelurahan Tingkir Lor terletak satu kilometer di sebelah timur Terminal Bis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari lahan fungsi budidaya. Keberadaanya sangat penting dalam menyokong kedaulatan pangan baik untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Obyek Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Butik Kharisma Indonesia yang berlokasi di Jalan Gajahmada No. 134, Semarang. Obyek penelitian ini adalah karyawan

Lebih terperinci

Contoh Kasus Regresi sederhana

Contoh Kasus Regresi sederhana Contoh Kasus Regresi sederhana Kasus : Seorang mahasiswa akan meneliti apakah terdapat pengaruh promosi terhadap volume penjualan pada perusahaan-perusahaan di Kabupaten Malang, untuk kepentingan penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menentukan obyek-obyek penelitian yang akan diteliti dan besarnya

BAB III METODE PENELITIAN. menentukan obyek-obyek penelitian yang akan diteliti dan besarnya 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Sebelum penelitian dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti harus menentukan obyek-obyek penelitian yang akan diteliti dan besarnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KORELASI ANTARA PEMBERIAN INSENTIF DENGAN KINERJA GURU MADRASAH IBTIDAIYAH DI KECAMATAN KARANGANYAR KABUPATEN PEKALONGAN

BAB IV ANALISIS KORELASI ANTARA PEMBERIAN INSENTIF DENGAN KINERJA GURU MADRASAH IBTIDAIYAH DI KECAMATAN KARANGANYAR KABUPATEN PEKALONGAN BAB IV ANALISIS KORELASI ANTARA PEMBERIAN INSENTIF DENGAN KINERJA GURU MADRASAH IBTIDAIYAH DI KECAMATAN KARANGANYAR KABUPATEN PEKALONGAN Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan melalui skala yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan/ menyalurkan air,yang biasanya ditanami padi sawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERUSAHAAN (Studi Kasus Pada PDAM Tirta Sukapura Kabupaten Tasikmalaya)

PRODUKTIVITAS PERUSAHAAN (Studi Kasus Pada PDAM Tirta Sukapura Kabupaten Tasikmalaya) PRODUKTIVITAS PERUSAHAAN (Studi Kasus Pada PDAM Tirta Sukapura Kabupaten Tasikmalaya) ERSHAD AULIA GUNTARI NPM : 083403163 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

Arahan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian di Kabupaten Gresik

Arahan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian di Kabupaten Gresik Arahan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian di Kabupaten Gresik Oleh: Fajar Firmansyah 3604100031 Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP. Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang merupakan bagian dari wilayah pantai utara Pulau Jawa, dalam hal ini kabupaten yang termasuk dalam wilayah tersebut yaitu Kabupaten

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Hasil akhir dari kajian ini akan dibahas dalam bab ini yaitu mengenai kesimpulan yang secara umum berisi tentang pokok-pokok substansi kajian dari keseluruhan studi mengenai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI DI KABUPATEN BEKASI TERHADAP ALIH FUNGSI LAHAN DAN MATA PENCAHARIAN PENDUDUK

DAMPAK PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI DI KABUPATEN BEKASI TERHADAP ALIH FUNGSI LAHAN DAN MATA PENCAHARIAN PENDUDUK DAMPAK PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI DI KABUPATEN BEKASI TERHADAP ALIH FUNGSI LAHAN DAN MATA PENCAHARIAN PENDUDUK Oleh : Djakaria M.Nur *) Abstrak Wilayah kabupaten Bekasi yang letaknya berbatasan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa

Lebih terperinci

1-1 BAB I PENDAHULUAN

1-1 BAB I PENDAHULUAN 1-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia dengan luas wilayah daratan sekitar 1.466.972 km 2 terdiri dari 32 propinsi berupa wilayah dengan beraneka ragam fungsi, yaitu kawasan lindung dan

Lebih terperinci

JUDUL RUMUSAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN GIANYAR

JUDUL RUMUSAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN GIANYAR JUDUL RUMUSAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN GIANYAR OLEH : NGAKAN GEDE ANANDA PRAWIRA 3610100004 DOSEN PEMBIMBING : PUTU GDE ARIASTITA ST., MT. JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan penduduk ditinjau dari segi kuantitatif maupun kualitatif dapat dikategorikan sangat tinggi. Pertumbuhan tersebut akan menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan

Lebih terperinci

ANALISA DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK PENYEDIAAN PANGAN DI WILAYAH JAWA TIMUR BAGIAN TENGAH

ANALISA DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK PENYEDIAAN PANGAN DI WILAYAH JAWA TIMUR BAGIAN TENGAH JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN 1412-6982 e-issn : 2443-3977 Volume 15 Nomor 1 Juni 2017 ANALISA DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK PENYEDIAAN PANGAN DI WILAYAH JAWA TIMUR BAGIAN TENGAH Bambang Hariyanto

Lebih terperinci

21 Januari 2017 PENYEDIAAN LAHAN UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN

21 Januari 2017 PENYEDIAAN LAHAN UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL Pontianak, 21 Januari 2017 SEMINAR NASIONAL DALAM RANGKA RAPAT KERJA NASIONAL TAHUNAN PERHIMPUNAN EKONOMI PERTANIAN INDONESIA (PERHEPI) TAHUN

Lebih terperinci

III. GAMBARAN UMUM. 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun )

III. GAMBARAN UMUM. 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun ) III. GAMBARAN UMUM 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi 2011-2031 (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031) Berdasarkan Perpres No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam beragam bentuk, maksud, dan tujuan. Mulai dari keluarga, komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. dalam beragam bentuk, maksud, dan tujuan. Mulai dari keluarga, komunitas, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan hal yang penting bagi siapapun manusia dan dimanapun ia berada. Kebutuhan manusia akan pangan harus dapat terpenuhi agar keberlansungan hidup manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor yang penting yaitu sebagian besar penggunaan lahan. Pertanian di Indonesia dapat berjalan dengan baik karena didukung adanya

BAB I PENDAHULUAN. sektor yang penting yaitu sebagian besar penggunaan lahan. Pertanian di Indonesia dapat berjalan dengan baik karena didukung adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting di Indonesia. Hal ini dikarenakan pertanian berperan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian sebagai Upaya Sinergis Program Lumbung Pangan Nasional di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian sebagai Upaya Sinergis Program Lumbung Pangan Nasional di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian sebagai Upaya Sinergis Program Lumbung Pangan Nasional di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan Rizky Rangga Wijaksono 1 Ardy Maulidy Navastara 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian suatu daerah harus tercermin oleh kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak ketahanan pangan. Selain

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PADI SAWAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PADI SAWAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PADI SAWAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Studi Kasus: Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat) Ade Rezkika Nasution*),

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAERAH PERI-URBAN DENGAN PENDEKATAN MODEL DINAMIS (Studi Kasus : Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta)

POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAERAH PERI-URBAN DENGAN PENDEKATAN MODEL DINAMIS (Studi Kasus : Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta) POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAERAH PERI-URBAN DENGAN PENDEKATAN MODEL DINAMIS (Studi Kasus : Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta) TUGAS AKHIR Oleh: PANGI L2D 002 426 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. penulisan dalam rangka menulis sebuah laporan. Penelitian ini dilakukan untuk

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. penulisan dalam rangka menulis sebuah laporan. Penelitian ini dilakukan untuk 39 BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian merupakan suatu permasalahan yang dijadikan sebagai topik penulisan dalam rangka menulis sebuah laporan. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA 76 BAB IV ANALISIS DATA A. Pengujian Hipotesis 1. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya masih harus diuji terlebih dahulu melalui data atau bukti empiris.

Lebih terperinci