KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH"

Transkripsi

1 KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH Bambang Irawan Dalam pembangunan nasional, peningkatan ketahanan pangan selalu menjadi prioritas. Hal ini dapat dipahami karena kekurangan pangan dapat menimbulkan dampak yang luas secara ekonomi, sosial, dan politik. Dalam kaitan tersebut, Provinsi Jawa Barat memiliki peranan penting karena merupakan salah satu lumbung padi nasional. Selama 30 tahun terakhir, Provinsi Jawa Barat rata-rata menyumbang sekitar 22% produksi padi nasional dan lebih dari 95% produksi padi tersebut dihasilkan dari lahan sawah sementara sisanya dihasilkan dari lahan kering. Mengingat besarnya peranan lahan sawah dalam menghasilkan padi, peningkatan produksi padi sawah merupakan upaya penting untuk memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat. Namun, akhir-akhir ini upaya tersebut semakin sulit diwujudkan. Hal tersebut tercermin dari laju pertumbuhan produksi padi sawah yang terus mengalami penurunan dari 5,51% per tahun selama , kemudian turun menjadi 2,69% per tahun selama , dan pada tahun hanya mencapai 0,83% per tahun (Irawan et al. 2004). Secara agronomis, terdapat tiga kondisi yang menyebabkan turunnya laju pertumbuhan produksi padi tersebut, yaitu (1) peningkatan intensitas panen padi yang dapat dirangsang melalui pembangunan jaringan irigasi semakin sulit diwujudkan akibat keterbatasan anggaran pemerintah, (2) peningkatan luas panen padi yang dapat dirangsang melalui pencetakan sawah semakin sulit diwujudkan akibat keterbatasan anggaran pemerintah dan keterbatasan sumber daya lahan yang dapat dijadikan sawah, dan (3) upaya peningkatan produktivitas padi sawah per hektare semakin terkendala oleh stagnasi inovasi dan diseminasi teknologi budi daya padi. Pada ketiga kondisi tersebut, pengurangan luas sawah akibat dikonversi ke penggunaan non-pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, kawasan industri, dan sebagainya akan memperbesar masalah pangan. Bagi ketahanan pangan, konversi lahan sawah tersebut merupakan ancaman yang serius karena dampak negatif yang ditimbulkan terhadap produksi padi cenderung bersifat permanen. Oleh karena itu, pengendalian konversi lahan sawah merupakan upaya penting yang harus ditempuh dalam rangka mendukung ketahanan pangan. Pengendalian konversi lahan sawah yang dilaksanakan secara efektif dan

2 KONVERSI LAHAN efisien memang tidak mampu meningkatkan produksi beras dan bahan pangan lainnya, tetapi sangat dibutuhkan untuk menekan permasalahan pangan. Upaya pengendalian konversi lahan sawah selama ini terkesan terabaikan dan hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya konversi lahan sawah beririgasi teknis meskipun tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan kondisi tersebut adalah sikap para pengambil kebijakan yang cenderung menilai konversi lahan sawah sebagai masalah kecil bagi ketahanan pangan. Banyak faktor yang mendorong munculnya sikap seperti ini, salah satunya adalah kurangnya pemahaman tentang besarnya dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan yang dapat memengaruhi pengambil kebijakan dalam menangani masalah konversi lahan sawah. Tulisan ini mengungkapkan besarnya dampak konversi lahan sawah terhadap luas panen dan produksi padi di Jawa Barat selama tahun Di samping itu, diungkapkan pula beberapa aspek terkait lainnya, seperti sifat dampak konversi lahan, karakteristik desa lokasi konversi lahan sawah, kecenderungan jangka panjang konversi lahan sawah, dan sebaran daerah konversi lahan sawah di Jawa Barat. Sifat Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Produksi Padi Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Produksi Padi Bersifat Permanen Penurunan produksi padi sawah dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti terjadinya serangan hama, kekeringan, banjir, rusaknya jaringan irigasi, turunnya harga padi, dan konversi lahan sawah. Berbagai faktor tersebut dapat menimbulkan masalah pangan akibat hilangnya peluang produksi padi sawah baik akibat penurunan luas panen atau akibat penurunan produktivitas usaha tani. Namun, peluang produksi yang hilang tersebut ada yang bersifat temporer dan ada pula yang bersifat permanen. Pada peristiwa serangan hama, penurunan harga padi, kekeringan atau banjir masalah pangan yang ditimbulkan dapat dikatakan bersifat temporer dalam pengertian bahwa masalah pangan hanya muncul manakala peristiwa tersebut terjadi. Tetapi pada kasus konversi lahan masalah pangan yang ditimbulkan bersifat permanen, artinya, masalah pangan yang ditimbulkan tetap akan terasa dalam jangka panjang meskipun konversi lahan sudah tidak terjadi lagi. Gambar 1 mengilustrasikan dampak konversi lahan sawah yang bersifat permanen dan dampak serangan hama/kekeringan/banjir/penurunan harga padi yang bersifat temporer. Kuantitas kebutuhan padi diasumsikan tetap selama t 0 sampai tn sehingga dapat digambarkan sebagai garis horizontal Qd. Pada tahun t 0 (sebelum terjadinya serangan hama/ kekeringan/banjir/konversi lahan sawah) kuantitas kebutuhan padi tersebut (Qd) sama besar dengan kuantitas produksi padi (Qs 0 ) sehingga pemerintah tidak harus mengimpor padi. 126

3 KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH Misalkan pada tahun t 1 terjadi serangan hama sehingga produksi padi pada tahun t 1 turun menjadi Qs 1. Pada tingkat produksi tersebut pemerintah harus mengimpor beras sebesar M 1 untuk memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri. Seandainya pada tahun T 2 tidak terjadi lagi serangan hama maka produksi padi akan kembali pada kondisi semula atau mencapai Qs 0 sehingga pada tahun T 2 tidak lagi diperlukan impor beras. Hal ini berarti masalah pangan yang disebabkan oleh serangan hama tersebut hanya bersifat temporer dalam pengertian bahwa masalah kekurangan pangan tersebut hanya muncul pada saat terjadinya serangan hama. Akan tetapi, jika terjadi konversi lahan sawah pada tahun t 1 maka produksi padi pada tahun t 2 tidak akan kembali menjadi Qs 0 atau tetap sebesar Qs 1 meskipun pada tahun t 2 tidak terjadi konversi lahan. Hal ini karena lahan sawah yang sudah dikonversi ke penggunaan non-pertanian tidak pernah berubah kembali menjadi lahan sawah atau bersifat irreversible (Agus dan Syaukat 2004; Simatupang dan Irawan 2003; Pakpahan dan Anwar 1989). Konsekuensinya adalah impor beras sebesar M 1 masih tetap diperlukan pada t 2 meskipun pada tahun t 2 tidak terjadi konversi lahan. Dengan demikian, konversi lahan sawah yang terjadi pada tahun t 1 menyebabkan pemerintah harus mengimpor beras sebesar 2 M 1 untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun t 1 dan t 2. Hal ini menunjukkan bahwa dampak konversi lahan tersebut cenderung bersifat permanen, artinya, dampak konversi lahan yang terjadi pada tahun tertentu tidak hanya dirasakan atau muncul pada tahun terjadinya konversi lahan tetapi juga pada tahun-tahun berikutnya. Dengan demikian, jika terjadi konversi lahan pada tahun tertentu, dampak yang harus diperhitungkan bukan hanya yang terjadi pada tahun tersebut tetapi juga pada tahun-tahun berikutnya. Seandainya pada tahun t 2 terjadi lagi konversi lahan yang berdampak pada penurunan produksi padi sebesar dk 2,kebutuhan impor beras sejak tahun t 2 hingga tn akan naik menjadi M 2. Kuantitas kebutuhan impor tersebut (M 2 ) sama besarnya dengan dk 1 + dk 2 yang merupakan dampak konversi lahan yang terjadi pada tahun t 1 dan t 2. Artinya, masalah pangan pada tahun tertentu yang disebabkan oleh konversi lahan pada dasarnya merupakan akumulasi dampak konversi lahan yang terjadi pada tahun yang bersangkutan dan tahun-tahun sebelumnya. Dengan kata lain, dampak konversi lahan tersebut selama periode tertentu akan bersifat kumulatif. Sifat dampak konversi sawah seperti diuraikan di atas, dapat dianalogikan dengan sifat dampak pencetakan sawah terhadap masalah pangan yaitu bersifat permanen. Perbedaannya hanya terletak pada arah dampak yang ditimbulkan, di mana pencetakan sawah menimbulkan dampak positif sedangkan konversi sawah menimbulkan dampak negatif terhadap masalah pangan. Mengingat dampak konversi dan pencetakan sawah bersifat permanen, dapat dikatakan bahwa masalah pangan yang terjadi pada saat ini tidak mungkin terlepas dari pencetakan sawah dan konversi lahan sawah yang terjadi pada masa lalu. Dengan kata lain, dinamika ketersediaan pangan dan produksi padi akan sangat terkait dengan dinamika pencetakan sawah dan konversi lahan sawah. 127

4 KONVERSI LAHAN Produksi, permintaan, dan impor beras Qs0=Qd dk1=m1 dk2 Qs1 dk1+dk2 =M2 Qs2 Tahun t0 t1 t2 tn Lintasan produksi akibat serangan hama Lintasan produksi akibat konversi lahan Gambar 1. Ilustrasi dampak serangan hama yang bersifat temporer dan dampak konversi lahan sawah yang bersifat permanen terhadap masalah pangan Pengukuran Empiris Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Produksi Padi Untuk menggambarkan dampak permanen konversi lahan sawah terhadap kehilangan produksi padi, diperlukan kajian dengan menggunakan data deret waktu. Dengan menggunakan jenis data tersebut, dapat digambarkan: (a) dinamika produksi padi sawah pada kondisi luas sawah yang tetap atau tidak terjadi konversi lahan, dan (b) dinamika produksi padi sawah setelah terjadi konversi lahan. Selisih produksi padi pada kedua kondisi tersebut untuk tahun tertentu mencerminkan besarnya dampak konversi lahan. Dengan pendekatan yang sama dapat diperkirakan pula dampak pencetakan lahan sawah terhadap produksi padi dan luas panen padi. 128

5 KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH Produksi padi di setiap kabupaten dan pada tahun tertentu pada dasarnya sangat tergantung pada luas baku sawah tersedia (L), intensitas panen padi (I) dan produksi padi per hektare per musim (Y). Hubungan antara produksi padi dan ketiga variabel di setiap kabupaten i dan tahun t dapat digambarkan sebagai persamaan berikut: Qt i = Lt i. It i. Yt i...(1) di mana: Qt i = produksi padi pada tahun t di kabupaten i Lt i = luas baku sawah pada tahun t di kabupaten i Yt i = produktivitas padi per musim tanam pada tahun t di kabupaten i It i = intensitas panen padi per tahun pada tahun t di kabupaten i t = tahun 0.. n Pada data serial waktu variabel Yt i dan It i cenderung meningkat dari tahun ke tahun akibat peningkatan teknologi usaha tani dan pembangunan jaringan irigasi. Intensitas panen padi (It i ) dapat meningkat akibat penggunaan varietas padi berumur pendek dan/ atau akibat pembangunan jaringan irigasi yang memungkinkan ketersediaan air sepanjang tahun. Sedangkan produktivitas padi per hektare dapat meningkat akibat perbaikan teknologi budi daya padi seperti cara penanaman, penggunaan pupuk, dan sebagainya. Fluktuasi tahunan dari kedua variabel tersebut tidak terkait dengan luas sawah yang tersedia karena tidak ada mekanisme teoritis yang dapat mengaitkannya. Pada kondisi luas sawah yang tetap selama periode t 0 hingga t n, produksi padi per tahun akan meningkat akibat peningkatan produktivitas usaha tani dan peningkatan intensitas tanam padi per tahun yang dirangsang oleh perbaikan teknologi usaha tani dan pembangunan jaringan irigasi. Pada kondisi luas sawah tersebut maka besarnya produksi padi setiap tahun adalah: Q 0i = L 0i. I 0i. Y 0i, untuk t = 0...(2) Q 1i = L 1i. I 1i. Y 01, untuk t = 1...(3) Q 2i = L 2i. I 2i. Y 2i, untuk t = 2...(4) Q ni = L ni. I ni. Y ni, untuk t = n...(5) atau Q ti = L ei. I ti. Y ti, di mana L ei = L 0i = L ni...(6) Apabila terjadi pengurangan luas sawah akibat konversi lahan dan tidak terjadi pencetakan sawah selama periode pengamatan, produksi padi akan berkurang akibat berkurangnya luas sawah yang tersedia untuk usaha tani padi. Jika konversi lahan tersebut 129

6 KONVERSI LAHAN terjadi pada t=1 dan t=2 masing-masing sebesar k 1i dan k 2i, besarnya produksi padi setelah konversi lahan pada kedua tahun pengamatan tersebut adalah: QK 1i = LK 1i. I 1i. Y 1i = (L 0i K 1i ). I 1i. Y 1i...(7) QK 2i = LK 2i. I 2i. Y 2i = (LK 1i K 2i ). I 2i. Y 2i = (L 0i K 1i K 2i ). I 2i. Y 2i...(8) di mana QK 1i dan QK 2i serta LK 1i dan LK 2i masing-masing adalah produksi padi dan luas sawah di kabupaten i setelah terjadi konversi lahan pada t=1 dan t=2. Selisih produksi padi antara persamaan (7) dan (3) serta antara persamaan (8) dan (4) masing-masing menggambarkan dampak konversi lahan pada t=1 dan t=2 terhadap produksi padi. Besarnya dampak konversi lahan tersebut pada t=1 adalah: QK 1i Q 1i = (L 0i K 1i ). I 1i. Y 1i L 1i. I 1i. Y 1i...(9) Oleh karena pada kondisi luas sawah yang tetap besarnya L 0i = L 1i = L ei (persamaan 6), maka dampak konversi lahan pada t=1 terhadap pengurangan produksi padi di kabupaten i dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan : DK 1i = -K 1i. I 1i. Y 1i...(10) Sedangkan dampak konversi lahan pada tahun t=2 terhadap pengurangan produksi padi adalah: Dk 2i = Qk 2i - Q 2i = (L 0i - K 1i K 2i ). I 2i. Y 2i L 2i. I 2i. Y 2i = -(K 1I + K 2I ). I 2I. Y 2I...(11) Persamaan (10) dan (11) menggambarkan besarnya dampak konversi lahan yang terjadi di setiap kabupaten i. Untuk mengestimasi total dampak konversi lahan pada agregat provinsi Jawa Barat (DKT) maka dapat digunakan persamaan sebagai berikut : DKT = DK ti...(12) Konversi Lahan Sawah di Jawa Barat Perubahan Pemanfaatan Lahan di Jawa Barat Tahun Pada tahun 2003, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan sensus pertanian. Salah satu data yang dikumpulkan dalam sensus pertanian tersebut adalah perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi selama 3 tahun sebelum pelaksanaan sensus, yaitu selama tahun Data perubahan pemanfaatan lahan tersebut dikumpulkan di seluruh desa di Jawa 130

7 KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH Barat yang secara total berjumlah desa. Di samping itu, dikumpulkan pula data profil desa yang mencakup berbagai aspek pembangunan. Tabel 1 memperlihatkan perubahan pemanfaatan lahan di Jawa Barat selama tahun Tampak bahwa secara total seluas hektare/tahun lahan di Jawa Barat mengalami perubahan pemanfaatan selama tahun Perubahan pemanfaatan lahan paling luas terjadi pada lahan sawah yaitu seluas hektare/tahun atau sekitar 62% dari total lahan yang mengalami perubahan pemanfaatan. Hal ini menunjukkan bahwa lahan sawah paling cepat berubah atau paling dinamis dibanding lahan pertanian bukan sawah (tegalan/tambak/kebun) dan hutan rakyat. Tabel 1. Perubahan pemanfaatan lahan selama tahun di Provinsi Jawa Barat (hektare/tahun) Jenis lahan Sawah Pertanian bukan sawah Nonpertanian Dikonversi menjadi Perumahan Industri Perkantoran/ pertokoan Lainnya Total perubahan Sawah ,6% 67,4% 36,0% 20,0% 3,8% 7,6% 100,0% Pertanian bukan 0 sawah 31,0% 69,0% 41,6% 15,6% 2,7% 9,1% 100,0% Hutan rakyat 13,3% 71,8% 14,9% 2,5% 3,8% 3,6% 5,0% 100.0% Total ,3% 30,4% 60,3% 32,6% 16,6% 3,5% 7,6% 100,0% Sumber: Sensus Pertanian 2003 (diolah) Konversi lahan sawah pada umumnya ditujukan untuk aktivitas sektor non-pertanian (67,4%), meskipun ada pula yang dikonversi menjadi lahan pertanian bukan sawah (32,6%). Konversi lahan sawah ke sektor non-pertanian paling banyak ditujukan untuk pembangunan kompleks perumahan (36,0%) dan kawasan industri (20,0%). Hal yang sama juga terjadi pada lahan pertanian bukan sawah di mana luas lahan yang dikonversi ke sektor non-pertanian sebesar 69,0% dan sekitar 56,2% ditujukan untuk pembangunan kompleks perumahan dan kawasan industri. Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan pertanian, baik lahan sawah maupun lahan pertanian bukan sawah akan terus berkurang akibat digunakan untuk kegiatan non-pertanian. Di samping mengalami pengurangan luas lahan akibat dikonversi ke penggunaan non-pertanian, lahan sawah juga mengalami peningkatan akibat adanya perubahan lahan pertanian bukan sawah dan hutan rakyat menjadi lahan sawah. Sebagian besar penambahan luas sawah tersebut (79,8%) berasal dari perubahan lahan pertanian bukan sawah yang berubah menjadi lahan sawah. Namun, penambahan luas sawah tersebut jauh lebih kecil 131

8 KONVERSI LAHAN dibanding pengurangan luas sawah. Pengurangan luas sawah rata-rata ha/tahun sedangkan penambahan luas sawah rata-rata hanya seluas ha/tahun atau sekitar 15% dari luas sawah yang dikonversi ke penggunaan lain (Tabel 2). Konsekuensinya adalah luas sawah mengalami pengurangan rata-rata seluas ha/tahun. Tabel 2. Neraca perubahan luas pemanfaatan lahan selama tahun di Provinsi Jawa Barat (hektare/tahun) Jenis lahan Pengurangan luas lahan (ha) Penambahan luas lahan (ha) Total perubahan (ha) Sawah Pertanian bukan sawah Hutan rakyat Non-pertanian Total Sumber: Sensus Pertanian 2003 (diolah) Konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu: (a) keterbatasan sumber daya lahan, (b) pertumbuhan penduduk, dan (c) pertumbuhan ekonomi. Di setiap daerah, luas lahan yang tersedia relatif tetap atau terbatas sehingga pertumbuhan penduduk akan meningkatkan kelangkaan lahan yang dapat dialokasikan untuk kegiatan pertanian dan non-pertanian. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian dengan laju lebih tinggi dibanding permintaan lahan untuk kegiatan pertanian karena permintaan produk non-pertanian lebih elastis terhadap pendapatan. Meningkatnya kelangkaan lahan (akibat pertumbuhan penduduk), yang dibarengi dengan meningkatnya permintaan lahan yang relatif tinggi untuk kegiatan non-pertanian (akibat pertumbuhan ekonomi) pada akhirnya menyebabkan terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian. Kajian empiris yang memperlihatkan fenomena tersebut dapat disimak dalam hasil penelitian Pakpahan dan Anwar (1989) di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa konversi lahan pertanian dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan PDRB dan kepadatan penduduk, sedangkan total luas lahan yang tersedia memiliki pengaruh negatif. Begitu pula Hakim (1989) dan Ilham (2004) mengungkapkan fenomena yang senada, yaitu konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh PDRB sektor pertanian, PDRB per kapita dan kepadatan penduduk. Sedangkan hasil kajian mikro yang dilakukan oleh Irawan et al. (2000) mengungkapkan bahwa konversi lahan yang ditujukan untuk pembangunan kompleks perumahan di kawasan Pantura 132

9 KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH umumnya mendekati daerah-daerah pusat pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan tersebut dapat dirangsang oleh berkembangnya kegiatan ekonomi di suatu daerah. Tabel 3. Neraca perubahan luas sawah selama tahun di Jawa Barat menurut kabupaten Kabupaten Luas sawah (000 ha) Pengurangan luas sawah akibat konversi (ha/th) Nonpertanian bukan Pertanian Total sawah Penambahan luas sawah (ha/ th) Perubahan (ha/th) Persentase (%) Konversi ke Penyusutan non-pertanian luas sawah Bogor 55, ,39% -1,73% Sukabumi 66, ,19% -0,24% Cianjur 76, ,34% -0,31% Bandung 60, ,04% -1,58% Garut 53, ,13% -0,09% Tasikmalaya 54, ,15% 0,05% Ciamis 66, ,06% 0,14% Kuningan 98, ,12% -0,13% Cirebon 57, ,38% -0,42% Majalengka 52, ,14% -0,04% Sumedang 35, ,30% -0,21% Indramayu 107, ,35% -1,18% Subang 85, ,09% -0,39% Purwakarta 18, ,65% -0,60% Karawang 87, ,29% -1,34% Bekasi 56, ,27% -2,33% Total 1.033, ,53% -0,67% Sumber: Sensus Pertanian 2003 (diolah) Ketiga faktor determinan konversi lahan tersebut (keterbatasan lahan, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi) memiliki pengaruh terhadap pola penyebaran spasial konversi lahan sawah di provinsi Jawa Barat. Dalam Tabel 3 dapat dilihat bahwa pengurangan luas sawah akibat konversi ke pemanfaatan non-pertanian paling banyak terjadi di kabupaten Karawang (1.119 hektare per tahun) dan kabupaten Bekasi (1.293 hektare per tahun) karena kedua kabupaten tersebut relatif dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah DKI. Di kabupaten Bogor dan Bandung, luas konversi sawah ke pemanfaatan non-pertanian juga relatif tinggi yaitu lebih dari 600 hektare per 133

10 KONVERSI LAHAN tahun. Secara keseluruhan luas sawah yang dikonversi ke pemanfaatan non-pertanian di Jawa Barat seluas ha/tahun atau 0,53% dari luas sawah yang tersedia. Lahan sawah yang sudah dikonversi ke penggunaan non-pertanian tersebut umumnya tidak pernah berubah kembali menjadi lahan sawah sehingga dapat dikatakan bahwa luas sawah di Jawa Barat sedikitnya akan berkurang sebesar 0,53% per tahun. Untuk menanggulangi pengurangan luas sawah akibat dikonversi ke penggunaan non-pertanian, di setiap kabupaten umumnya dilakukan pencetakan sawah baru yang berasal dari lahan pertanian bukan sawah atau hutan rakyat. Namun, karena keterbatasan sumber daya lahan yang tersedia, luas pencetakan sawah tersebut umumnya lebih kecil dibanding luas sawah yang dikonversi. Konsekuensinya adalah luas sawah di Jawa Barat berkurang sebesar hektare/tahun atau mengalami penyusutan sebesar 0,67% per tahun. Penyusutan luas sawah tersebut relatif tinggi di kabupaten Bogor, Bandung, Indramayu, Karawang, dan Bekasi di mana penyusutan luas sawah sekitar 1% 2% per tahun. Sebaliknya, di kabupaten Tasikmalaya dan kabupaten Ciamis terjadi peningkatan luas sawah sekitar 0,1% per tahun. Sebaran Desa dan Karaketristik Desa Lokasi Konversi Lahan Sawah Jumlah desa di Jawa Barat pada tahun 2003 sebanyak desa (Tabel 4). Dari total desa tersebut sebanyak desa atau 40,7% desa mengalami konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian (perumahan, industri, perkantoran/pertokoan, dan lainnya). Sedangkan luas sawah yang dikonversi rata-rata seluas 2,54 ha/desa/tahun, dan berkisar antara 0,33 ha/desa/tahun hingga 17,47 ha/desa/tahun menurut kabupaten. Desa yang mengalami konversi lahan sawah banyak tersebar di kabupaten Sumedang, Garut, dan Purwakarta yaitu lebih dari 53% desa. Di kabupaten Bogor, Kuningan, dan Indramayu kasus konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian juga cukup banyak tersebar yaitu lebih dari 45% desa. Hal ini menunjukkan bahwa desa lokasi konversi lahan sawah di kabupaten Sumedang, Garut, Purwakarta, Bogor, Kuningan dan Indramayu relatif tersebar dibanding kabupaten lainnya. Namun, rata-rata luas sawah yang di konversi relatif sempit yaitu sekitar 0,33 1,17 ha per desa per tahun, kecuali di kabupaten Indramayu dan Bogor yang mencapai 2,61 ha dan 3,99 ha per desa per tahun. Sebaliknya, di kabupaten Cianjur, Bandung, Cirebon, Karawang, Subang, dan Bekasi, desa lokasi konversi lahan sawah relatif terkonsentrasi, sekitar 30% 40% desa. Namun, rata-rata luas konversi lahan sawah di kabupaten tersebut relatif tinggi yaitu lebih dari 1,40 ha/desa/tahun. Di kabupaten Karawang dan Bekasi luas konversi lahan sawah tersebut bahkan mencapai 17,47 ha dan 8,77 ha per desa per tahun. 134

11 KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH Tabel 4. Sebaran desa lokasi konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian di Jawa Barat menurut kabupaten Kabupaten Jumlah desa Desa lokasi konversi lahan sawah Luas konversi (desa) (%) (ha/desa/tahun) Bogor ,0 3,99 Sukabumi ,7 0,88 Cianjur ,0 2,48 Bandung ,0 4,15 Garut ,0 0,33 Tasikmalaya ,4 0,73 Ciamis ,0 0,33 Kuningan ,3 0,70 Cirebon ,7 1,45 Majalengka ,9 0,57 Sumedang ,9 0,70 Indramayu ,9 2,61 Subang ,7 1,45 Purwakarta ,5 1,17 Karawang ,3 8,77 Bekasi ,0 17,47 Total ,7 2,54 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (diolah) Desa yang mengalami konversi lahan sawah umumnya memiliki karakteristik yang berbeda dibanding desa yang tidak mengalami konversi lahan sawah. Untuk memahami faktor pendorong konversi lahan dan potensi pengaruhnya terhadap produksi pangan, dalam Tabel 5 hingga Tabel 9 diperlihatkan karakteristik desa lokasi konversi lahan sawah dibanding desa lainnya. Karakteristik desa dalam hal ini dibagi atas 5 kategori yaitu: (1) karakteristik lokasi desa, (2) karakteristik sarana perkotaan, (3) karakteristik sumber daya lahan, (4) karakteristik sosial masyarakat desa, dan (5) karakteristik pertanian tanaman pangan khususnya padi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian cenderung terjadi di desa dengan karakteristik sebagai berikut. (1) Karakteristik lokasi desa Wilayah di Jawa Barat secara keseluruhan terdiri atas 74,6% daerah pedesaan dan 25,4% daerah perkotaan. Desa lokasi konversi lahan sawah lebih banyak merupakan daerah perkotaan (30,6% desa) dibanding desa yang tidak mengalami konversi lahan sawah (21,8% desa). Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah cenderung terjadi 135

12 KONVERSI LAHAN di daerah perkotaan. Konversi lahan sawah tersebut juga cenderung terjadi di sekitar daerah perkotaan dan hal ini ditunjukkan oleh jarak desa lokasi konversi lahan ke kota kecamatan atau kabupaten yang lebih dekat dibanding desa lain yang tidak mengalami konversi lahan sawah. Kondisi demikian dapat terjadi karena salah satu faktor pendorong terjadinya konversi lahan adalah pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi umumnya lebih tinggi di daerah kota daripada daerah pedesaan. Tabel 5. Karakteristik lokasi desa yang melakukan konversi lahan sawah di Jawa Barat Karakteristik lokasi desa Desa konversi Desa lain Seluruh desa Daerah pedesaan (% desa) 69,4% 78,2% 74,6% Daerah perkotaan (% desa) 30,6% 21,8% 25,4% Rata-rata ketinggian desa (m) 372,8 389,1 382,5 Rata-rata jarak ke kecamatan (km) 5,2 6,3 5,9 Rata-rata jarak ke kabupaten (km) 28,9 37,1 33,7 Rata-rata jarak ke kabupaten lain terdekat (km) 44,6 47,6 46,4 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (diolah) (2) Karakteristik sarana perkotaan Salah satu faktor pendorong terjadinya konversi lahan sawah adalah tingginya permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian yang dirangsang oleh pertumbuhan ekonomi. Secara fisik, pertumbuhan ekonomi tersebut dicerminkan oleh semakin banyaknya sarana kegiatan non-pertanian yang umumnya identik dengan sarana di daerah kota. Desa lokasi konversi lahan sawah umumnya memiliki sarana perkotaan (hotel, restoran, supermarket, bank) yang lebih banyak dibanding desa lainnya. Desa lokasi konversi lahan sawah tersebut juga lebih dekat ke sarana perkotaan lainnya seperti rumah sakit, gedung bioskop, kompleks pertokoan dan pasar permanen. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan sarana perkotaan cenderung mendorong terjadinya konversi lahan sawah. Tabel 6. Karakteristik sarana perkotaan di desa yang melakukan konversi lahan sawah di Jawa Barat Karakteristik sarana perkotaan Desa konversi Desa lain Seluruh desa Jarak ke rumah sakit (km) 18,6 26,5 23,3 Jarak ke gedung bioskop (km) 26,6 30,0 28,6 Jarak ke kompleks pertokoan (km) 6,1 8,2 7,3 Jarak ke pasar permanen (km) 5,0 7,4 6,4 Jumlah supermaket/restoran/hotel/bank (unit/ desa) 4,99 3,79 4,28 Jumlah toko/warung (unit/desa) 76,2 57,8 65,3 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (diolah) 136

13 KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH (3) Karakteristik sumber daya lahan Konversi lahan sawah cenderung terjadi di pedesaan yang sumber daya lahannya didominasi oleh lahan sawah (Tabel 7). Konversi lahan sawah tersebut juga cenderung terjadi di desa yang memiliki lahan sawah irigasi relatif luas dibanding desa yang tidak mengalami konversi lahan sawah. Konsekuensinya adalah konversi lahan sawah akan mengancam keberadaan lahan sawah irigasi. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan antara sertifikasi lahan di desa lokasi konversi lahan dan desa lainnya, artinya sertifikasi lahan belum tentu efektif untuk mencegah konversi lahan. Alokasi lahan untuk sektor non-pertanian (perumahan, industri, perkantoran/ pertokoan) di desa lokasi konversi lahan juga lebih tinggi dibanding desa lainnya, artinya keberadaan kawasan non-pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan industri dan kompleks pertokoan cenderung mendorong terjadinya konversi lahan sawah. Hal ini dapat terjadi karena adanya kawasan non-pertanian di suatu lokasi tertentu cenderung menyebabkan dua kondisi yang saling terkait yaitu: (1) sejalan dengan pembangunan kawasan non-pertanian maka infrastruktur transportasi di lokasi sekitarnya cenderung semakin baik sehingga mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian lainnya, dan (2) naiknya permintaan lahan tersebut menyebabkan harga lahan di sekitarnya naik berlipat ganda sehingga merangsang petani untuk menjual lahan sawahnya. (4) Karakteristik sosial masyarakat desa Salah satu ciri umum di daerah perkotaan adalah kepadatan penduduknya relatif tinggi dibanding di daerah pedesaan, dengan kata lain kelangkaan lahan pertanian dan non-pertanian relatif tinggi di daerah perkotaan. Begitu pula lapangan kerja non-pertanian umumnya lebih tersedia di sekitar daerah perkotaan dibanding daerah pedesaan. Desa lokasi konversi lahan sawah lebih banyak yang merupakan daerah kota atau terdapat di sekitar daerah perkotaan maka kelangkaan lahan pertanian atau kepadatan penduduk agraris di desa lokasi konversi lahan (74 jiwa/hektare) jauh lebih tinggi dibanding desa yang tidak melakukan konversi lahan (39 jiwa/hektare). Sebaliknya, persentase keluarga pertanian dan keluarga buruh tani di desa lokasi konversi lahan sawah relatif kecil karena kesempatan kerja non-pertanian di sekitar daerah perkotaan umumnya relatif tersedia. Akibat kelangkaan lahan pertanian yang relatif tinggi, persentase petani penggarap/ penyewa lahan di desa lokasi konversi lahan lebih tinggi dibanding di desa yang tidak melakukan konversi lahan. Jumlah keluarga miskin atau keluarga prasejahtera di desa lokasi konversi lahan (545 keluarga/desa) juga lebih tinggi dibanding di desa lainnya (512 keluarga/desa) karena kemiskinan penduduk di daerah pedesaan umumnya sangat terkait dengan kelangkaan lahan pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa ancaman konversi lahan sawah cenderung tinggi di daerah miskin dan kelangkaan lahan pertanian yang tinggi. Dengan kata lain, kemiskinan penduduk dan kelangkaan lahan pertanian cenderung mendorong terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian. 137

14 KONVERSI LAHAN Tabel 7. Karakteristik sumber daya lahan di desa yang melakukan konversi lahan sawah di Jawa Barat Karakteristik sumber daya lahan Desa konversi Desa lain Seluruh desa Persentase desa dominan lahan sawah (%) 47,8% 37,2% 41,5% Persentase desa dominan lahan tegalan/ tambak (%) 29,1% 30,1% 29,7% Persentase desa dominan lahan perkebunan (%) 10,8% 16,5% 14,2% Persentase desa dominan lahan hutan rakyat (%) 12,2% 16,2% 14,6% Rata-rata persentase sawah irigasi (%) 86,9 68,1 75,8 Rata-rata persentase lahan bersertifikat (%) 24,42 24,40 24,4 Rata-rata luas sawah (ha/desa) 183,8 206,9 197,5 Rata-rata luas tegalan/tambak (ha/desa) 120,4 184,0 158,1 Rata-rata luas hutan rakyat (ha/desa) 20,6 40,3 32,3 Rata-rata luas lahan perkebunan (ha/desa) 33,7 75,0 58,2 Alokasi lahan untuk non-pertanian (%) 23,9 21,3 22,4 Alokasi lahan untuk perumahan (%) 14,5 12,6 13,4 Alokasi lahan untuk industri (%) 1,1 0,7 0,9 Alokasi lahan untuk perkantoran/pertokoan (%) 1,1 0,9 1,0 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (diolah) Tabel 8. Karakteristik sosial masyarakat di desa yang melakukan konversi lahan sawah di jawa Barat Karakteristik sosial Desa konversi Desa lain Seluruh desa Kepadatan penduduk terhadap total lahan (jiwa/ha) 19,5 15,0 16,8 Kepadatan penduduk terhadap lahan pertanian (jiwa/ha) 74,0 38,5 53,0 Persentase keluarga pertanian (%/desa) 63,8 68,0 66,3 Persentase keluarga buruh tani (%/desa) 23,5 25,5 24,7 Persentase keluarga penggarap/penyewa lahan (%/desa) 24,7 23,9 24,2 Jumlah keluarga prasejahtera (kk/desa) 545,0 518,9 529,5 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (diolah) (5) Karakteristik pertanian tanaman pangan Lahan sawah di pedesaan umumnya dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar), dan sayuran. Di desa lokasi konversi lahan, pemanfaatan lahan sawah lebih didominasi oleh tanaman padi dibanding di desa yang 138

15 KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH tidak melakukan konversi lahan sawah. Indeks pertanaman padi per tahun (IP padi) dan produktivitas padi di desa lokasi konversi lahan (136% per tahun dan 5,11 ton/ha) juga lebih tinggi dibandingkan dengan desa lainnya (125% per tahun dan 5,04 ton/ha). Begitu pula jumlah mesin pengolah padi dan pangsa produksi padi di desa lokasi konversi lahan lebih tinggi dibandingkan dengan desa lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa konversi lahan sawah cenderung terjadi di daerah sentra produksi padi yang umumnya memiliki pangsa produksi, produktivitas, luas tanam, IP padi dan industri pengolahan padi relatif tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ancaman konversi lahan sawah relatif tinggi di daerah sentra produksi padi sehingga fenomena konversi lahan sawah dapat menimbulkan dampak yang serius bagi ketahanan pangan. Tabel 9. Karakteristik pertanian tanaman pangan di desa lokasi konversi lahan sawah di Jawa Barat Karakteristik pertanian tanaman pangan Desa konversi Desa lain Seluruh desa Persentase desa dominan padi (%) 57,4% 53,0% 54,8% Persentase desa dominan palawija (%) 26,9% 26,3% 26,6% Persentase desa dominan sayuran (%) 12,8% 16,2% 14,8% IP padi per tahun (%) Produktivitas padi (ton/ha) 5,11 5,04 5,06 Pangsa produksi padi terhadap provinsi Jabar (%/desa) 0,020% 0,018% 0,019% Jumlah mesin pengolah padi (unit/desa) 5,14 4,66 4,85 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (diolah) Kecenderungan Konversi dan Pencetakan Sawah Tahun Konversi lahan sawah pada dasarnya dapat dilakukan oleh petani sendiri, para investor yang menguasai lahan sawah, dan pemerintah. Konversi lahan yang dilakukan oleh petani biasanya meliputi area yang relatif sempit dan ditujukan untuk pembangunan perumahan pribadi. Konversi lahan yang dilakukan oleh investor umumnya meliputi hamparan lahan yang luas dan ditujukan untuk berbagai kegiatan non-pertanian seperti pembangunan kawasan industri, kompleks perumahan, kompleks pertokoan, dan perdagangan. Begitu pula konversi lahan yang dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan sarana publik seperti pembangunan jalan, pasar, gedung sekolah, dan sebagainya biasanya meliputi hamparan yang cukup luas. Oleh karena jenis penggunaan lahan yang dikonversi sangat beragam dan dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang berbeda maka pendataan luas konversi lahan sawah sejauh ini belum ada yang akurat (Sumaryanto et al. 1995; Mariadi dan Suryanto 1997; 139

16 KONVERSI LAHAN Jamal dan Djauhari 1998). Kesulitan pendataan luas konversi tersebut terutama dijumpai pada konversi lahan yang dilakukan oleh petani sendiri mengingat jumlah kasusnya sangat banyak dan tersebar walaupun luas lahan yang dikonversi pada setiap kasus tersebut relatif sempit. Sedangkan konversi lahan yang dilakukan dalam skala besar oleh swasta atau pemerintah biasanya lebih mudah dipantau dan tercatat di dalam arsip instansi pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan dan pemanfaatan lahan pertanian seperti Dinas Kimpraswil dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Secara umum, terdapat dua sumber data yang dapat dimanfaatkan untuk mengkaji luas konversi lahan sawah, yaitu (a) kompilasi data konversi lahan yang dilakukan oleh Dinas Kimpraswil, Dinas Pertanian dan BPN, atau (b) data tahunan luas lahan sawah yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan konversi lahan sawah yang ditunjukkan oleh perubahan luas sawah antartahun yang bertanda negatif. Komplilasi data konversi lahan sering kali memiliki kelemahan dalam hal konsistensi data akibat adanya organizational interest yang berbeda antarinstansi dan perbedaan metoda yang digunakan dalam memantau perkembangan luas konversi lahan. Kelemahan tersebut tidak begitu intens pada data yang diterbitkan oleh BPS karena sebagai lembaga yang menangani masalah data, BPS sangat termotivasi untuk menerbitkan data luas sawah yang sesuai dengan kondisi lapangan. Di samping itu, selain data luas lahan sawah, BPS juga menerbitkan data luas panen dan produksi padi sawah sehingga dapat dilakukan verifikasi konsistensi data yang dilihat dari segi perkembangan teknologi usaha tani padi. Pendugaan luas konversi lahan sawah berdasarkan data tahunan luas sawah yang diterbitkan oleh BPS dapat dilakukan dengan melihat perubahan luas sawah antara dua tahun pengamatan. Perubahan luas sawah yang bertanda negatif menunjukkan luas konversi sawah, sedangkan yang bertanda positif menunjukkan luas pencetakan sawah baru. Pendugaan luas konversi dan luas pencetakan sawah tersebut pada lingkup provinsi dapat dilakukan dengan menggunakan data luas sawah pada tingkat provinsi. Akan tetapi, penggunaan data provinsi tersebut dapat menghasilkan luas konversi dan luas pencetakan sawah yang underestimate. Hal ini disebabkan perubahan luas sawah antartahun yang dihitung berdasarkan data tingkat provinsi pada dasarnya merupakan hasil bersih dari luas pencetakan sawah dan luas konversi sawah yang terjadi di kabupaten-kabupaten yang termasuk ke dalam wilayah provinsi tersebut. Dengan demikian, jika pada tahun yang sama terjadi konversi lahan sawah di kabupaten tertentu sedangkan di kabupaten lainnya terjadi pencetakan sawah dengan luasan yang sama, konversi lahan dan pencetakan sawah tidak terpantau pada data agregat provinsi karena keduanya saling menetralisir. Untuk menghindari kelemahan tersebut, pendugaan luas konversi dan luas pencetakan sawah dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data luas sawah per kabupaten. Tabel 10 memperlihatkan bahwa selama tahun luas konversi lahan sawah di Jawa Barat sekitar 300 ribu hektare atau rata-rata sekitar 11 ribu hektare per tahun. Jika selama periode tersebut tidak dilakukan pencetakan sawah baru, luas sawah di Jawa 140

17 KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH Barat akan menyusut dari ribu hektare pada tahun 1980 menjadi 709 ribu hektare pada tahun 2008, atau menyusut sebesar 29,7 persen. Namun, pada periode yang sama dilakukan pula pencetakan sawah seluas 201 ribu hektare sehingga penyusutan luas sawah yang terjadi antara tahun 1980 dan tahun 2008 hanya sebesar 98 ribu hektare atau sebesar 9,7%. Dengan kata lain, penyusutan luas sawah selama tahun rata-rata seluas 3,5 ribu hektare per tahun atau sebesar 0,35% per tahun. Uraian di atas mengungkapkan bahwa lahan sawah yang dikonversi ke penggunaan non-pertanian sebenarnya sangat besar jika dibandingkan dengan luas sawah yang tersedia yaitu sebesar 29,7%. Kalaupun luas penyusutan lahan sawah antara tahun 1980 dan 2008 dapat ditekan menjadi 9,7%, hal itu membutuhkan adanya pencetakan sawah baru yang dilakukan pemerintah sekitar 200 ribu hektare. Artinya, diperlukan mobilisasi dana masyarakat yang sangat besar untuk menanggulangi pengurangan lahan sawah akibat konversi lahan karena pencetakan sawah baru umumnya didanai oleh anggaran pemerintah. Tabel 10. Neraca perubahan luas sawah di Jawa Barat, Variabel Luas (000 ha) Luas sawah tahun ,2 Konversi lahan sawah selama ,1 Persentase terhadap luas sawah ,7% Luas sawah tahun 2008 jika tidak ada pencetakan sawah baru 709,1 Pencetakan sawah selama tahun ,8 Luas sawah tahun 2008 setelah konversi dan pencetakan sawah 910,9 Penyusutan luas sawah antara 1980 dan Luas penyusutan -98,3 - Persen penyusutan terhadap luas sawah ,7% - Penyusutan luas sawah per tahun (ha/th) -3,51 - Penyusutan luas sawah per tahun (%/th) -0,35% Jika dikaji menurut periode 5 tahunan, luas konversi lahan sawah mengalami penurunan antara tahun yaitu dari sekitar 16 ribu hektare/tahun pada periode menjadi sekitar 3 ribu hektare/tahun pada periode (Tabel 11). Dengan kata lain, luas konversi lahan sawah cenderung turun dari sekitar 1,62% per tahun menjadi 0,32% tahun. Sejalan dengan penurunan luas konversi lahan tersebut, luas pencetakan sawah juga turun dari sekitar 11 ribu hektare/tahun pada tahun menjadi sekitar 3 ribu hektare/ tahun pada tahun Akan tetapi, luas pencetakan sawah tersebut selalu lebih kecil dibandingkan dengan luas konversi sawah, artinya pencetakan sawah yang dilakukan selama ini belum mampu menetralisir pengurangan luas sawah yang disebabkan oleh konversi lahan. Luas pencetakan sawah yang ditujukan untuk menanggulangi pengurangan luas sawah akibat 141

18 KONVERSI LAHAN konversi lahan rata-rata hanya sekitar 79% dari luas sawah yang dikonversi. Konsekuensinya adalah luas sawah di Jawa Barat selama tahun mengalami penyusutan rata-rata sebesar 0,36% per tahun. Tabel 11. Luas konversi dan pencetakan sawah di Jawa Barat menurut periode, Variabel Periode Luas sawah (000 ha/tahun) 989,9 984,4 967,5 939,0 918,0 911,4 Luas konversi (000 ha/tahun) -16,0-10,4-11,5-10,6-9,4-2,9 Persentase (%/tahun) -1,62% -1,05% -1,19% -1,13% -1,02% -0,32% Luas pencetakan sawah (000 ha/tahun) 11,2 8,7 9,3 4,8 4,1 2,8 Persentase (%/tahun) 1,13% 0,89% 0,96% 0,51% 0,44% 0,30% Rasio luas pencetakan / luas konversi 0,70 0,84 0,81 0,45 0,43 0,96 Luas sawah setelah konversi dan pencetakan sawah (000 ha/tahun) 985,1 982,8 965,3 933,2 912,7 911,3 Penyusutan luas sawah (000 ha/tahun) -4,79-1,62-2,24-5,80-5,30-0,11 Persentase (%/tahun) -0,48% -0,16% -0,23% -0,62% -0,58% -0,01% Dampak Konversi dan Pencetakan Sawah terhadap Luas Panen dan Produksi Padi Sawah Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4 memperlihatkan perkembangan luas sawah yang tersedia, luas panen padi dan produksi padi sawah di Jawa Barat selama tahun pada empat kondisi luas sawah yaitu: (1) luas sawah tetap atau tidak terjadi konversi dan pencetakan sawah, (2) luas sawah berkurang akibat konversi lahan, (3) luas sawah bertambah akibat pencetakan sawah baru, dan (4) luas sawah aktual atau luas sawah setelah terjadi konversi dan pencetakan sawah. Perbedaan produksi padi sawah per tahun antara kondisi luas sawah (1) dan (2) dalam Gambar 4 mencerminkan besarnya dampak konversi lahan terhadap produksi padi sementara perbedaan antara kondisi luas sawah (1) dan (3) menunjukkan besarnya dampak pencetakan sawah. Sedangkan perbedaan antara kondisi luas sawah (1) dan (4) mencerminkan besarnya dampak total konversi dan pencetakan sawah terhadap produksi padi sawah. Pada kondisi luas sawah tetap atau kondisi (1), luas panen padi per tahun akan meningkat akibat peningkatan intensitas panen padi per tahun yang dirangsang oleh pembangunan/ rehabilitasi jaringan irigasi dan penggunaan varitas padi berumur pendek. Pada kondisi luas sawah tetap, produksi padi sawah di Jawa Barat juga akan meningkat akibat peningkatan luas panen per tahun dan akibat peningkatan produktivitas padi per hektare yang dirangsang oleh inovasi teknologi budi daya padi. Pada tahun peningkatan luas panen dan produksi padi tersebut rata-rata sebesar 1,60% dan 4,96% per tahun (Tabel 12). Tetapi pada 142

19 KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH tahun , laju pertumbuhan tersebut turun menjadi 0,85% dan 2,43% per tahun dan hal ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan produksi padi sawah yang dapat ditempuh melalui pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi dan inovasi teknologi budi daya padi sawah semakin sulit diwujudkan. Luas sawah tersedia (000 ha) Luas sawah tetap Akibat konversi Gambar 2. Perkembangan luas sawah di Jawa Barat jika luas sawah tetap atau berubah akibat konversi dan pencetakan sawah, Luas panen (000 ha) Luas sawah tetap Akibat konversi Gambar 3. Perkembangan luas panen padi sawah di Jawa Barat jika luas sawah tetap atau berubah akibat konversi dan pencetakan sawah,

20 KONVERSI LAHAN Produksi padi (juta ton) Luas sawah tetap Akibat konversi Gambar 4. Perkembangan produksi padi sawah di Jawa Barat jika luas sawah tetap atau berubah akibat konversi dan pencetakan sawah, Jika tidak ada konversi lahan dan pencetakan sawah (atau kondisi luas sawah tetap) selama tahun , luas panen padi sawah di Jawa Barat akan meningkat rata-rata sebesar 0,97% per tahun akibat meningkatnya intensitas panen padi yang dirangsang oleh pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi dan penggunaan varietas padi berumur pendek. Sedangkan produksi padi sawah di Jawa Barat pada periode tersebut akan naik rata-rata sebesar 2,40% per tahun akibat peningkatan intensitas panen padi dan inovasi teknologi. Namun, akibat konversi lahan, pertumbuhan produksi padi tersebut hanya mencapai 0,25% per tahun, artinya, lebih dari separuh pertumbuhan produksi padi sawah yang diupayakan pemerintah melalui pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi dan inovasi teknologi budi daya padi telah hilang akibat konversi lahan. Akibat konversi lahan tersebut, pertumbuhan produksi padi sawah pada tahun dan bahkan negatif sebesar -0,50% per tahun dan -1,21% per tahun, seandainya pada kurun waktu tersebut tidak dilakukan pencetakan sawah. Akan tetapi, meskipun terjadi konversi lahan, pertumbuhan produksi padi pada tahun masih positif sebesar 3,37% per tahun akibat adanya peningkatan intensitas panen dan produktivitas padi yang relatif tinggi pada periode tersebut sejalan dengan pembangunan/ rehabilitasi irigasi dan inovasi teknologi budi daya padi. Berkebalikan dengan dampak konversi lahan, pencetakan sawah akan menimbulkan dampak positif terhadap luas panen dan produksi padi. Akibat pencetakan sawah yang dilakukan selama tahun , luas panen dan produksi padi sawah di Jawa Barat naik rata-rata sebesar 2,24% dan 3,65% per tahun. Namun, akibat adanya konversi lahan yang menimbulkan dampak negatif, pertumbuhan luas panen dan produksi padi sawah aktual (akibat konversi dan pencetakan sawah) hanya mencapai 0,66% dan 2,08% per tahun. Laju pertumbuhan luas panen dan produksi padi tersebut lebih rendah dibanding pertumbuhan luas panen dan produksi padi pada kondisi luas sawah tetap yang dapat mencapai 0,97% dan 2,40% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pencetakan sawah 144

21 KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH yang dilakukan selama ini belum mampu menetralisir sepenuhnya dampak negatif konversi lahan sawah terhadap luas panen dan produksi padi sawah. Tabel 12. Pertumbuhan luas panen dan produksi padi sawah akibat konversi dan pencetakan sawah di Jawa Barat menurut periode, (%/tahun) Variabel Periode Pertumbuhan luas panen a. Jika luas sawah tetap 1,60% 0,51% 0,85% 0,97% b. Akibat konversi 0,04% -0,83% -2,73% -1,16% c. Akibat pencetakan sawah 2,69% 1,16% 3,00% 2,24% d. Aktual (akibat konversi dan pencetakan sawah) 1,25% 0,13% 0,65% 0,66% Pertumbuhan produksi a. Jika luas sawah tetap 4,96% 0,82% 2,43% 2,40% b. Akibat konversi 3,37% -0,50% -1,21% 0,25% c. Akibat pencetakan sawah 6,06% 1,48% 4,49% 3,65% d. Aktual (akibat konversi dan pencetakan sawah) 4,60% 0,50% 2,18% 2,08% Tabel 13 memperlihatkan besarnya dampak konversi dan pencetakan sawah terhadap produksi padi sawah di Jawa Barat. Dalam Gambar 4 besarnya dampak konversi terhadap produksi padi pada tahun tertentu ditunjukkan oleh perbedaan antara produksi padi pada kondisi luas sawah tetap (kondisi 1) dan produksi padi pada kondisi luas sawah berkurang akibat konversi lahan (kondisi 2). Sedangkan perbedaan antara produksi padi pada kondisi 1 dan kondisi 3 (luas panen bertambah akibat penectakan sawah) menunjukkan besarnya dampak pencetakan sawah terhadap produksi padi. Tabel 13. Dampak konversi dan pencetakan sawah terhadap luas panen dan produksi padi sawah di Jawa Barat menurut periode, Variabel Periode Luas sawah (000 ha/th) 989,9 984,4 967,5 939,0 918,0 911,4 953,1 Luas panen padi sawah (000 ha/th) 1.529, , , , , , ,0 Produksi padi sawah (juta ton GKG/th) 6,43 7,89 8,54 8,39 9,07 9,59 8,28 Dampak konversi dan pencetakan sawah terhadap luas sawah tersedia (000 ha/th) a. Konversi -39,9-109,7-165,6-225,6-273,2-295,7-181,2 b. Pencetakan sawah 20,7 85,0 124,0 155,4 182,1 197,9 125,1 c. Total dampak -19,2-24,7-41,6-70,2-91,1-97,8-56,1 d. Persentase (%/th) -1,9% -2,5% -4,3% -7,5% -9,9% -10,7% -5,9% 145

22 KONVERSI LAHAN Tabel 13. Dampak konversi dan pencetakan sawah terhadap luas panen dan produksi padi sawah di Jawa Barat menurut periode, (lanjutan) Variabel Periode Dampak konversi dan pencetakan sawah terhadap luas panen padi (000 ha/th) a. Konversi -59,5-178,9-272,5-385,8-684,0-875,9-393,4 b. Pencetakan sawah 30,6 140,8 209,4 274,2 421,1 698,2 281,8 c. Total dampak -28,9-38,1-63,1-111,6-263,0-177,7-111,5 d. Persentase (%/th) -1,89% -2,32% -3,86% -6,78% -14,85% -9,92% -6,69% Dampak konversi dan pencetakan sawah terhadap produksi padi (juta ton GKG/th) a. Konversi -0,253-0,850-1,412-1,943-3,455-4,652-2,006 b. Pencetakan sawah 0,134 0,668 1,086 1,387 2,121 3,691 1,439 c. Total dampak -0,119-0,182-0,326-0,556-1,335-0,961-0,567 d. Persentase (%/th) -1,85% -2,31% -3,81% -6,62% -14,71% -10,02% -6,85% Selama tahun , peluang produksi padi sawah yang hilang akibat konversi lahan sawah rata-rata sebesar 2,006 juta ton GKG per tahun. Peluang produksi padi yang hilang tersebut sangat besar karena konversi lahan sawah akan menimbulkan dampak yang bersifat permanen, artinya, peluang produksi yang hilang akibat konversi yang terjadi pada tahun tertentu bukan hanya terjadi pada tahun yang bersangkutan tetapi tetap harus diperhitungkan pada tahun-tahun berikutnya. Sebaliknya, pencetakan sawah yang dilakukan selama tahun menyebabkan penambahan produksi padi rata-rata sebesar 1,439 juta ton per tahun. Dengan demikian, dampak total konversi dan pencetakan sawah terhadap produksi padi sawah rata-rata sebesar -0,567 juta ton per tahun. Dengan kata lain, produksi padi sawah yang hilang akibat konversi lahan rata-rata sebesar 567 ribu ton per tahun atau 6,85% dari rata-rata produksi padi sawah selama tahun Jika dikaji menurut periode 5 tahunan, dampak total konversi dan pencetakan sawah selalu negatif. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan produksi padi akibat konversi lahan sawah merupakan fenomena yang tak terhindarkan. Peluang produksi padi yang hilang akibat konversi lahan tersebut juga mengalami peningkatan secara konsisten dari 0,12 juta ton atau 1,85%/tahun pada , kemudian naik menjadi 0,33 juta ton atau 3,81%/tahun pada tahun , dan pada tahun mencapai 0,96 juta ton atau 10,02%/tahun. Kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa konversi lahan sawah merupakan ancaman yang semakin serius bagi ketahanan pangan di Jawa Barat. 146

KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN

KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN Bambang Irawan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161 ABSTRACT Conversion

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011] BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Indonesia. Sektor pertanian yang meliputi pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PRODUKSI PANGAN INDONESIA 65 PRODUKSI PANGAN INDONESIA Perkembangan Produksi Pangan Saat ini di dunia timbul kekawatiran mengenai keberlanjutan produksi pangan sejalan dengan semakin beralihnya lahan pertanian ke non pertanian

Lebih terperinci

A. Latar Belakang. ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian

A. Latar Belakang. ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan pertanian dapat memberikan banyak manfaat seperti dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan papan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia pasti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan ruang darat yang dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia memanfaatkan lahan dalam wujud penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH LAPORAN AKHIR KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH Oleh : Bambang Irawan Herman Supriadi Bambang Winarso Iwan Setiajie Anugrah Ahmad Makky Ar-Rozi Nono Sutrisno PUSAT SOSIAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, menghadapi tantangan yang berat dan sangat kompleks. Program dan kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah. Sektor pertanian sampai

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sumberdaya Lahan Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang artinya masyarakat banyak yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

DINAMIKA PRODUKSI PADI SAWAH DAN PADI GOGO : IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI. Bambang Irawan

DINAMIKA PRODUKSI PADI SAWAH DAN PADI GOGO : IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI. Bambang Irawan DINAMIKA PRODUKSI PADI SAWAH DAN PADI GOGO : IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PENDAHULUAN Bambang Irawan Pada peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian IPB Presiden

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan, I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh setiap negara di dunia. Sektor pertanian salah satu sektor lapangan usaha yang selalu diindentikan dengan kemiskinan

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis LAPORAN AKHIR TA. 2013 STUDI KEBIJA AKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAUU JAWAA (TAHUN KE-2) Oleh: Bambang Irawan Gatoet Sroe Hardono Adreng Purwoto Supadi Valeriana Darwis Nono Sutrisno

Lebih terperinci

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS KEBIJAKAN KONVERSI LAHAN. Improving the Effectivity of Land Conversion Policy

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS KEBIJAKAN KONVERSI LAHAN. Improving the Effectivity of Land Conversion Policy MENINGKATKAN EFEKTIFITAS KEBIJAKAN KONVERSI LAHAN Improving the Effectivity of Land Conversion Policy Bambang Irawan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Jl. K.H. ZA. Pagar Alam No. 1A Rajabasa,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA Oleh : Bambang Irawan Adreng Purwoto Frans B.M. Dabukke Djoko Trijono PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi

7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi 7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Komoditi padi sebagai bahan konsumsi pangan pokok masyarakat, tentunya telah diletakkan sebagai prioritas dan fokus kegiatan program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 46/08/32/Th. XVII, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 TAHUN 2014, PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 253.296 TON, CABAI

Lebih terperinci

LAND CONVERSION AND NATIONAL FOOD PRODUCTION

LAND CONVERSION AND NATIONAL FOOD PRODUCTION Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian Penyunting: Undang Konversi Kurnia, F. Lahan Agus, dan D. Produksi Setyorini, Pangan dan A. Setiyanto Nasional KONVERSI LAHAN DAN PRODUKSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan sawah memiliki manfaat sebagai media budidaya yang menghasilkan bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki manfaat bersifat fungsional

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk melakukan kegiatan ekonomi di dalamnya. Kota Bandung juga memiliki jumlah penduduk yang banyak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam lokasi kawasan komoditas unggulan nasional pada komoditas padi

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam lokasi kawasan komoditas unggulan nasional pada komoditas padi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka peningkatan produksi pertanian komoditas unggulan di Kabupaten Bekasi, pembangunan pertanian berskala ekonomi harus dilakukan melalui perencanaan wilayah

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan produksi dan memperluas keanekaragaman hasil pertanian. Hal ini berguna untuk memenuhi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 36/07/32/Th XIX, 3 Juli PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN NILAI TUKAR PETANI JUNI SEBESAR 104,46 (2012=100) Nilai Tukar Petani

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN, DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT

V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN, DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN, DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT 5.1. Kondisi Wilayah Provinsi Jawa Barat Jawa Barat merupakan provinsi yang dibentuk pertama kali di wilayah Indonesia (staatblad

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan memberikan kesimpulan hasil penelitian berdasarkan teori dan temuan studi yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu, juga akan diberikan rekomendasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada 47 Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada Abstrak Berdasarkan data resmi BPS, produksi beras tahun 2005 sebesar 31.669.630 ton dan permintaan sebesar 31.653.336 ton, sehingga tahun 2005 terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG, KEDELAI, UBI KAYU DAN UBI JALAR (TAHUN 2014: ANGKA TETAP, 2015 : ARAM I)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, KEDELAI, UBI KAYU DAN UBI JALAR (TAHUN 2014: ANGKA TETAP, 2015 : ARAM I) No. 40/07/13/Th.XVIII, 1 Juli 2015 PRODUKSI PADI, JAGUNG, KEDELAI, UBI KAYU DAN UBI JALAR (TAHUN 2014: ANGKA TETAP, 2015 : ARAM I) A. PADI Produksi padi tahun 2014 tercatat sebesar 2.519.020 ton GKG (ATAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya beli masyarakat berkaitan erat dengan pendapatan perkapita, Sedangkan pendapatan perkapita dipengaruhi oleh penyediaan lapangan kerja dan distribusi pendapatan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

Seuntai Kata. Bandung, Mei 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Gema Purwana

Seuntai Kata. Bandung, Mei 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Gema Purwana Seuntai Kata ensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik S(BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

Katalog BPS

Katalog BPS Katalog BPS. 5214.32 PRODUKSI TANAMAN PADI DAN PALAWIJA JAWA BARAT TAHUN 2010-2014 ISSN: - Nomor Publikasi: 32.530.15.01 Katalog BPS: 5214.32 Ukuran Buku: 19 cm x 28 cm Jumlah Halaman: vii + 71 halaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, sehingga sering disebut sebagai negara agraris yang memiliki potensi untuk mengembangkan

Lebih terperinci

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang saat ini telah menjadi penyebab berubahnya pola konsumsi penduduk, dari konsumsi pangan penghasil energi ke produk penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kokoh dan pesat. Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kokoh dan pesat. Pertanian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian sebagai penunjang utama kehidupan masyarakat Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kokoh dan pesat. Pertanian untuk pembangunan (agriculture

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian suatu daerah harus tercermin oleh kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak ketahanan pangan. Selain

Lebih terperinci

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG 5.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.1.1. Jawa Timur Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, pertama, sektor pertanian merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. masa yang akan datang. Selain sebagai sumber bahan pangan utama, sektor pertanian

BAB I PENGANTAR. masa yang akan datang. Selain sebagai sumber bahan pangan utama, sektor pertanian 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang. Pertanian menjadi sektor primer sejak dahulu sebelum manusia mengembangkan sektor ekonomi. Pertanian telah menjadi pemasok utama sumber kehidupan manusia. Kondisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian istilah tanah dan lahan seringkali dianggap sama. Padahal kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Tanah merupakan kumpulan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 34 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung Lintang Selatan. Disebelah utara berbatasan dengann Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah Selatan

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

Tabel 16. Data Produksi Benih Yang Dihasilkan Oleh UPTD/Balai Lingkup Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Tahun 2014

Tabel 16. Data Produksi Benih Yang Dihasilkan Oleh UPTD/Balai Lingkup Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Tahun 2014 5.1 Penyediaan Benih Unggul Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai tambah proses produksi usaha tani tanaman pangan, unsur teknologi benih unggul bermutu, produsen benih,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III). KATA PENGANTAR Kegiatan SL-PTT merupakan fokus utama program yang dilaksanakan dalam upaya mendorong terjadinya peningkatan produktivitas padi. Kegiatan ini dilaksanakan secara serempak secara nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan bagian pokok didalam kehidupan dimana dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan pemenuhan sandang, pangan, maupun papan yang harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

Perkembangan Ekonomi Makro

Perkembangan Ekonomi Makro Boks 1.2. Pemetaan Sektor Pertanian di Jawa Barat* Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB (harga berlaku) tahun 2006 sebesar sekitar 11,5%, sementara pada tahun 2000 sebesar 14,7% atau dalam kurun waktu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan penduduk ditinjau dari segi kuantitatif maupun kualitatif dapat dikategorikan sangat tinggi. Pertumbuhan tersebut akan menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI...... i 1. GEOGRAFI Tabel : 1.01 Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat Dan Kabupaten/Kota... 1 Tabel : 1.02 Jumlah Kecamatan Dan Desa Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011... 2 2. KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi pertanian dari kondisi yang kurang menguntungkan menjadi kondisi yang lebih menguntungkan (long

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam beragam bentuk, maksud, dan tujuan. Mulai dari keluarga, komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. dalam beragam bentuk, maksud, dan tujuan. Mulai dari keluarga, komunitas, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan hal yang penting bagi siapapun manusia dan dimanapun ia berada. Kebutuhan manusia akan pangan harus dapat terpenuhi agar keberlansungan hidup manusia

Lebih terperinci

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016 EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016 ISSUE PEMBANGUNAN KOTA PERTUMBUHAN EKONOMI INFLASI PENGANGGURAN

Lebih terperinci

tersebut hanya ¼ dari luas lahan yang dimiliki Thailand yang mencapai 31,84 juta ha dengan populasi 61 juta orang.

tersebut hanya ¼ dari luas lahan yang dimiliki Thailand yang mencapai 31,84 juta ha dengan populasi 61 juta orang. ELABORASI Letak geografis yang strategis menunjukkan betapa kaya Indonesia akan sumber daya alam dengan segala flora, fauna dan potensi hidrografis dan deposit sumber alamnya yang melimpah. Sumber daya

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali

Lebih terperinci

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * Oleh: Kecuk Suhariyanto, Badan Pusat Statistik Email: kecuk@mailhost.bps.go.id 1. PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015) No. 78/11/33, Th. IX, 2 NOVEMBER 2015 PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015) Berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II, produksi padi Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015 diperkirakan sebesar

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 No. 30/05/Th. XIX, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016

Lebih terperinci