I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sayuran bagi masyarakat Indonesia tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan sehari hari karena manfaatnya yang begitu banyak diantaranya adalah sebagai sumber vitamin dan protein. Di Indonesia, sayuran hampir dijumpai pada semua makanan. Cabai merupakan sayuran buah yang kebanyakan ditemui dalam masakan Indonesia sehingga dapat membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sangat menyukai cabai. Cabai rawit sangat banyak digemari karena rasanya yang lebih pedas dibandingkan dengan cabai merah biasa sehingga banyak petani yang tertarik untuk membudidayakannya. Namun, sifat cabai yang tidak begitu tahan lama untuk disimpan menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam proses pendistribusiannya sehingga akan menyebabkan kerugian pada petani. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan mencoba untuk memproduksi cabai kering untuk pembuatan bubuk cabai (Prajnanta, 2007). Pengeringan merupakan cara yang paling sering digunakan untuk memperpanjang masa simpan komoditi hasil pertanian dan sangat penting untuk penanganan pascapanen. Pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan kadar air dari bahan yang ingin dikeringkan dengan cara penguapan. Namun, ada berbagai macam pengeringan tradisional yang masih dilakukan hingga saat ini oleh masyarakat yaitu dengan menjemur cabai rawit di tengah terik matahari atau hanya mengangin-anginkan saja hingga kering (Prajnanta, 2007). Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu diadakan penelitian untuk mengidentifikasi perubahan warna cabai selama proses pengeringan sehingga diperoleh informasi warna yang dapat dijadikan acuan untuk pengolahan bubuk cabai. 1

2 I.2 Tujuan dan Kegunaan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan warna cabai dengan perlakuan perendaman air panas (blanching) dan tanpa perlakuan (non blanching) selama proses pengeringan. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan pertimbangan bagi petani dan industri-industri pengolahan cabai rawit kering untuk pembuatan bubuk cabai. 2

3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Cabai Tanaman cabai (Capsicum sp.) merupakan tanaman dari famili terungterungan (Solanaceae). Keluarga ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan sekitar spesies yang terdiri dari tumbuhan herba, semak, dan tumbuhan kerdil lainnya. Dari banyaknya spesies tersebut, hampir dapat dikatakan sebagian besar merupakan tumbuhan negeri tropis. Namun, secara ekonomis yang sudah dapat dimanfaatkan yaitu baru beberapa spesies saja (Setiadi, 2008). Cabai sendiri diperkirakan ada sekitar 20 spesies yang sebagian besarnya tumbuh di tempat asalnya, Amerika. Diantaranya yang sudah akrab dengan kehidupan manusia baru beberapa spesies saja, yaitu cabai besar (C. annum) dan cabai kecil/rawit (C.frutescense) (Setiadi, 2008). Berdasarkan Prajnanta (2007), cabai pada dasarnya terdiri atas dua golongan utama yaitu cabai besar (capsicum annuum L) dan cabai rawit (Capsicum frutencens L). Cabai besar terdiri atas cabai merah (hot pepper/cabai pedas), cabai hijau, dan paprika (sweet pepper/cabai manis). Tinggi tanaman cabai kecil pada umunya dapat mencapai 150 cm. Tangkai daunnya hanya separo panjang tangkai daun cabai besar. Daunnya pun lebih pendek dan lebih sempit. Posisi bunganya tegak dengan panjang tangkai bunganya hampir sepanjang cabai besar. Mahkota bunganya berwarna kuning kehijauan dengan jumlah cuping sama dengan pada cabai besar. Namun, panjang cupingnya hanya 0,6-0,8 cm dan lebar hanya 0,3-0,4 cm. Warna tangkai putik mirip warna mahkota bunganya dengan panjang kurang dari 0,5 cm (Setiadi, 2008). Selain berguna sebagai bahan penyedap masakan, cabai juga mengandung zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia. Cabai mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin vitamin (salah satunya adalah vitamin C) (Prajnanta, 2007). 3

4 2.2 Varietas Cabai Rawit Varietas cabai rawit yang beredar dipasaran sangat terbatas karena petani lebih banyak menanam bibit sendiri dari buah hasil panen. Berdasarkan Prajnanta (2007), daerah yang kira-kira memiliki ketinggian tempat m dpl sangat cocok ditanami bebrapa varietas cabai berikut: Sky Hot. Merupakan cabai rawit hibrida yang akan segera dirilis oleh distributornya di Indonesia (Tirta Mas). Cabai introduksi dari Hungnong Seed, Korea ini memiliki warna hijau segar pada saat muda dan merah cerah pada saat masak. Pertumbuhan tanamannya seragam, buahnya banyak dan sangat bagus untuk dijual segar. Cakra putih (cengkek). Buah varietas ini berwarna putih kekuningan yang berubah merah cerah pada saat masak. Pertumbuhan tanaman sangat kuat dengan membentuk banyak percabangan. Posis buah tegak ke atas dengan bentuk agak pipih dan rasa amat pedas. Varietas in mampu menghasilkan 12 ton per ha dengan rata-rata 300 buah per tanaman. Varietas ini dapat dipanen pada umur HST serta tahan terhadap serangan penyakit. Cakra Hijau (ceplik). Varietas ini mampu beradaptasi baik di dataran rendah maupun tinggi. Saat masih muda buahnya berwarna hijau dan setelah masak berubah merah. Potensi hasilnya 600 gram per tanaman atau 12 ton per ha. Rasa buahnya pedas. Varietas ini tahan terhadap serangan hama dan penyakit yang biasa menyerang cabai. Panen berlangsung pada umur 80 HST. Cakra hijau maupun cakra putih merupakan varietas cabai rawit yang bermerk Kapal terbang ex-thailand. Permintaan terhadap cabai terus meningkat, sehingga perlu didukung alih teknologi budidaya intensif dan penanganan pasca panen yang memadai. Komoditas cabai sangat besar peranannya dalam menunjang usaha pemerintah meningkatkan usaha pendapatan taraf hidup petani, memperluas kesempatan kerja, menunjang pengembangan agribisnis, meningkatkan ekspor sekaligus mengurangi impor, dan melestarikan sumber daya alam. 4

5 Berdasarkan Rukmana (1996), Cabai mengandung gizi cukup tinggi. Dalam setiap 100 gram nilai gizinya terdiri dari: Tabel 1. Kandungan gizi buah cabai dalam tiap 100 gram Komposis Gizi Proporsi Kandungan Gizi Segar Kering Kalori (Kal) 103,00 - Protein (g) 4,70 15,00 Lemak (g) 2,40 11,00 Karbohidrat (g) 19,90 33,00 Kalsium (mg) 45,00 150,00 Fosfor (mg) 85,00 - Vitamin A (Si) 11,050,00 1,000,00 Zat besi (mg) 2,50 9,00 Vitamin B1 0,08 0,50 (mg) Vitamin C (mg) 70,00 10,00 Air (g) 71,20 8,00 Bagian yang dapat dimakan (Bdd,%) 85,00 - Sumber : Rukmana (1996). 2.3 Pasca Panen Cabai Berdasarkan Setiadi (2008), bahwa pascapanen merupakan salah satu kegiatan penting dalam menunjang keberhasilan agribisnis. Meskipun hasil panennya melimpah dan baik, tanpa penanganan pasca panen yang benar maka resiko kerusakan dan menurunnya mutu produk akan sangat besar. Produk holtikultura bersifat mudah rusak, mudah busuk, dan tidak tahan lama, hal ini menyebabkan pemasarannya sangat terbatas dalam waktu maupun jangkauan pasarnya sehingga butuh penanganan pasca panen yang baik dan benar. Penanganan pascapanen dilakukan segera setelah buah dipetik. Kemudian ditebar (diangin anginkan) (Setiadi, 2008). Setelah itu dilakukan sortasi (pemilahan), dalam sortasi ini dipilah pilah antara cabai yang masih utuh dan sehat, cabai utuh tetapi abnormal, cabai yang rusak sewaktu pemanenan, dan cabai yang terserang hama dan penyakit. Setelah melakukan pemilahan selanjutnya dilakukan grading yaitu penggolongan buah berdasarkan kualitas dan ukuran 5

6 buah setelah itu buah dimasukkan ke dalam karung goni dan langsung dijual ke pasar (Prajnanta, 2007). Salah satu cara menjaga agar tetap segar dalam waktu yang agak lama adalah dengan menekan kerja enzim. Hal itu dilakukan dengan cara menyimpan pada suhu rendah (Sumoprastowo, 2004). Suharto (1991), menambahkan dengan menyimpan dalam suhu rendah dapat menghambat aktivitas pertumbuhan mikroba. Jumlah uap air di sekitar buah mempunyai pengaruh besar terhadap kondisi fisiologis buah, udara yang hampir jenuh menyebabkan kulit buah pecah abnormal, sedangkan penyimpanan dalam udara yang terlalu kering menyebabkan kulit buah berkerut sehingga bentuknya abnormal (Susanto, et al., 1994 ). 2.4 Blanching (perendaman air panas) Blanching merupakan proses pemanasan bahan pangan dengan menggunakan uap air dengan suhu tinggi dalam waktu yang singkat. Blanching bertujuan untuk mencegah perkembangan bau dan warna yang tidak dikehendaki selama pengeringan dan penyimpanan. Blanching akan menyebabkan udara dalam jaringan keluar dan pergerakan air tidak terhambat sehingga proses pengeringan menjadi cepat. Menurut Sebayang (2005), perlakuan sebelum pengeringan cabai yang umum dilakukan adalah blanching, yang bertujuan untuk menonaktifkan enzim yang terdapat pada permukaan bahan tersebut, dan juga untuk mempermudah pengeringan. Dari hasil penelitian blanching dapat mencegah kehilangan vitamin C selama pengeringan dan penyimpanan. Perlakuan blanching yang baik yaitu suhu sekitar C. Cabai dibiarkan di dalam air panas selama 5-10 menit. Setelah itu, cabai yang telah direndam diangkat dan ditiriskan (Nursani, 2008). 2.5 Pengeringan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan dengan cara menyerapkannya dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air bahan dikurangi sampai 6

7 batas tertentu dimana mikroba tidak dapat tumbuh lagi pada bahan tersebut (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Berdasarkan Estiasih dan Ahmadi (2009), pengeringan merupakan metode pengawetan dengan cara pengurangan kadar air dari bahan pangan sehingga daya simpan menjadi lebih panjang. Perpanjangan masa simpan terjadi karena aktivitas mikroorganisme dan enzim menurun sebagai akibat dari air yang dibutuhkan untuk aktivitasnya tidak cukup. Pengawetan makanan dengan menurunkan kadar air telah dilakukan sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Secara tradisional, makanan dikeringkan dengan sinar matahari tetapi sekarang beberapa makanan didehidrasi di bawah kondisi pengeringan yang terkendali dengan menggunakan ragam metode pengeringan. Walaupun demikian, pengeringan dengan sinar matahari tetap menjadi cara pengolahan yang penting di negara-negara yang sedang berkembang (Buckle et al., 2010). Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air pada level tertentu untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan serangga serta mengurangi volume bahan pangan sehingga mengefisienkan proses penyimpanan dan distribusi. Kombinasi suhu dan lama pemanasan selama proses pengeringan pada komoditi biji-bijian dilakukan untuk menghindari terjadinya kerusakan biji. Suhu udara, kelembaban relatif udara, aliran udara, kadar air awal bahan dan kadar akhir bahan merupakan faktor yang mempengaruhi waktu atau lama pegeringan (Brooker, et al., 1974). Menurut Supryono (2003), pengeringan juga bertujuan agar volume bahan pangan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah pengangkutan, menghemat biaya angkut dan ruang untuk pengangkutan, pengepakan maupun penyimpanan. Pada pengeringan, walaupun secara fisik atau kimia masih terdapat molekulmolekul air yang terikat, air ini tidak dapat dipergunakan untuk kepentingan mikroba. Demikian pula enzim tidak mungkin aktif pada bahan yang dikeringkan, karena reaksi biokimia memerlukan air sebagai medianya. Jadi pada pengeringan diusahakan bahwa kadar air yang tertinggal tidak memungkinkan enzim dalam mikroba menjadi aktif, sehingga bahan yang dikeringkan dapat disimpan lebih lama. 7

8 Berdasarkan Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010) dalam buku Teknologi Proses Pengolahan Pangan, adapun keuntungan dan kerugian dari proses pengeringan sebagai berikut: Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi tahan lama. Tahan lama disimpan dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan. Berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan transpor, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah. Kecuali itu banyak bahan pangan yang hanya dapat dikonsumsi setelah dikeringkan misalnya kopi dan teh. Kerugian proses pengeringan disebabkan oleh sifat asal bahan yang dikeringkan berubah misalnya bentuk dan penampakan sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan lain-lain. Kerugian lain disebabkan karena beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum digunakan misalnya harus dibasahkan kembali (rehidratasi) A. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengeringan Kecepatan pengeringan maksimum dipengaruhi oleh percepatan pindah panas dan pindah massa selama proses pengeringan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pindah panas dan massa tersebut adalah sebagai berikut (Estiasih, 2009) : 1. Luas permukaan Pada pengeringan umumnya, bahan pangan yang akan dikeringkan mengalami pengecilan ukuran, baik dengan cara diiris, dipotong, atau digiling. Proses pengecilan ukuran akan mempercepat proses pengeringan. Hal ini disebabkan pengecilan ukuran akan memperluas permukaan bahan, air lebih mudah berdifusi. 2. Suhu Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan pangan semakin cepat pindah panas ke bahan pangan dan semakin cepat pula penguapan air dari bahan pangan. Dalam arti lain, semakin tinggi suhu yang digunakan, maka proses pengeringan akan semakin cepat, begitu pula sebaliknya. 8

9 3. Kecepatan Aliran Udara Pengeringan Kecepatan aliran udara pengeringan berfungsi membawa energi panas yang selanjutnya akan mentransfer ke bahan pangan dan membawa uap air keluar ruang pengering. Semakin cepat kecepatan udara pengeringan maka proses pengeringan akan semakin cepat. 4. Kelembaban Udara Pengering Kelembaban relatif (RH) merupakan kemampuan udara untuk menyerap uap air. Semakin kering udara (kelembaban rendah), maka kemampuan menyerap air semakin besar, dan kecepatan pengeringan semakin besar/tinggi pula, begitu pula sebaliknya, semakin tinggi kelembaban udara, maka kecepatan pengeringan semakin rendah. 5. Penguapan Air Penguapan atau evaporasi merupakan penghilangan air dari bahan pangan yang dikeringkan sampai diperoleh produk kering yang stabil. Penguapan yang terjadi selama proses pengeringan tidak menghilangkan semua air yang terdapat dalam bahan pangan. Berdasarkan Buckle, et al., (2010). faktor-faktor utama yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dari suatu bahan pangan adalah: 1. Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, dan kadar air) 2. Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban, dan kecepatan udara) 3. Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan panas). Pengeringan hasil pertanian menggunakan aliran udara pengering yang baik antara 45 C sampai dengan 75 C. Pengeringan pada suhu dibawah 45 C, mikroba dan jamur yang merusak produk masih hidup, sehingga daya awet dan mutu bahan rendah. Sebaliknya pengeringan diatas suhu 75 C akan menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk rusak karena perpindahan panas dan massa air yang cepat yang berdampak pada struktur sel bahan (Buckle et al., 2010). 9

10 B. Pengeringan Lapis Tipis (Thin Layer Drying) Pengeringan lapis tipis (Thin layer drying) adalah proses pengurangan kadar air (pengeringan) dengan evaporasi dimana udara pengeringan dilewatkan pada lapis tipis bahan hingga diperoleh kadar air kesetimbangan (Equilibrium Mosture Content). Pengeringan komoditi pertanian sangat bergantung pada suhu pengeringan, kecepatan udara, kelembaban udara relatif, dan tingkat kematangan (A.R Yadollahinia, 2007). Salah satu model pengeringan yang dikenal saat ini adalah model pengeringan lapisan tipis. Pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan bahan yang seluruh permukaan bahan dalam lapisan tersebut dapat menerima langsung aliran udara pengering. Pengeringan lapisan tipis didasarkan pada pengeringan bahan yang sepenuhnya terbuka pada hembusan udara yang menyebabkan semua bahan dalam lapisan tersebut mengalami pengeringan secara seragam (Hall, 1957). Henderson dan Perry (1976) menambahkan, pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan dimana seluruh bahan dalam lapisan tersebut dapat menerima langsung aliran udara pengering yang melewatinya dengan kelembaban relatif dan suhu konstan. Pengeringan lapisan tipis dimasudkan untuk mengeringkan produk sehingga pergerakan udara dapat melalui seluruh permukaan yang dikeringkan yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar air dalam proses pengeringan. Pengeringan lapisan tipis merupakan suatu pengeringan yang dilakukan dimana bahan dihamparkan dengan ketebalan satu lapis. Pengeringan lapisan tipis mempunyai beberapa kelebihan yaitu: penanganan kadar air biji dapat dilakukan sampai minimum, biji dengan kadar air maksimun dapat dipanen dan periode pengeringan dapat lebih pendek untuk kadar air yang sama (Brooker, et al.,1974). Pengeringan lapisan tipis tidak hanya diterapkan pada komoditi biji-bijian, tetapi sudah mulai diterapkan pada komoditi buah dan sayuran seperti apel, kiwi, strawberry, kentang dan jahe. Pengeringan lapisan tipis mempunyai beberapa kelebihan yaitu penanganan kadar air dapat dilakukan sampai minimum, biji dengan kadar air maksimum dapat dipanen dan periode pengeringan dapat lebih pendek untuk kadar air yang sama (Brooker et al., 1981). 10

11 C. Kadar Air dan Laju Pengeringan Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kadar air, pengeringan itu sendiri bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terkandung di dalam suatu bahan untuk menghambat perkembangan organisme pembusuk yang nantinya akan merusak bahan itu sendiri. Kadar air suatu bahan berpengaruh terhadap banyaknya jumlah air yang diuapkan dan lamanya proses pengeringan (Taib et al., 1988). Kadar air suatu bahan menunjukkan jumlah air yang dikandung dalam bahan tersebut, baik berupa air bebas maupun air terikat. Selama proses pengeringan, kadar air bahan mengalami penurunan, besarnya penurunan kadar air tersebut berbeda-beda sesuai dengan banyaknya air yang diuapkan. Dengan demikian pada awal proses penurunan kadar air sangat besar dan semakin menurun sampai kadar air seimbang (Henderson dan Perry, 1976). Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) dan berat kering (dry basis) kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat melebihi 100 persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Fachruddin dan Cahyana, 1997). Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah (wet basis) (Brooker et al., 1981). 11

12 Struktur bahan secara umum dapat didasarkan pada kadar air yang biasanya ditunjukkan dalam persentase kadar air basis basah atau basis kering. Kadar air basis basah (M wb ) banyak digunakan dalam penentuan harga pasar sedangkan kadar air basis kering (M db ) digunakan dalam bidang teknik (Brooker, et al.,1974). Persamaan dalam penentuan kadar air adalah sebagai berikut : MC w.b =... (1) Dimana : MC w.b = kadar air basis basah (%) Wa = berat bahan (g) Wb = bobot bahan kering mutlak (g) Untuk menentukan bobot kering suatu bahan, penimbangan dilakukan setelah bobot bahan tersebut tidak berubah lagi selama pengeringan berlangsung. Untuk itu biasanya dilakukan dengan menggunakan suhu 105 C. Berdasarkan Brooker, et al,. (1981), perhitungan kadar air basis kering (dry basis) berlaku rumus: MC d.b = atau Dimana : MC d.b = kadar air basis Kering (%) MC w.b = kadar air basis basah (%) Wa Wb = berat bahan (g) = bobot bahan kering mutlak (g)... (2) Dalam suatu proses pengeringan, dikenal adanya suatu laju pengeringan. Proses pengeringan dengan laju menurun sangat tergantung pada sifat-sifat alami bahan yang dikeringkan. Laju perpindahan massa selama proses ini dikendalikan oleh perpindahan internal bahan (Istadi dan Sitompul, 2002). Periode laju pengeringan menurun meliputi 2 proses yaitu perpindahan air dari dalam bahan ke permukaan dan perpindahan uap air dari permukaan ke udara sekitar (Henderson and Perry, 1976). 2.6 Tray Dryer Dalam memilih alat pengering yang akan digunakan, serta menentukan kondisi pengeringan harus diperhitungkan jenis bahan yang akan dikeringkan. Juga harus diperhitungkan hasil kering dari bahan yang diinginkan. Setiap bahan 12

13 yang akan dikeringkan tidaklah sama kondisi pengeringannya, karena ikatan air dan jaringan ikatan tiap bahan akan berbeda (Rachmawan, 2001). Pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan alat mekanis (pengering buatan) akan mendapatkan hasil yang baik bila kondisi pengeringan dapat ditentukan dengan tepat dan selama pengeringan dikontrol dengan baik. Setiap alat pengeringan digunakan untuk jenis bahan tertentu, mislanya tray dryer untuk pengeringan bahan padat atau lempengan yang dikeringkan dengan system batch (Rachmawan, 2001). Tray dryer atau alat pengering berbentuk rak, mempunyai bentuk persegi dan di dalamnya berisi rak-rak, yang digunakan sebagai tempat bahan yang akan dikeringkan. Bahan diletakkan di atas rak (tray) yang terbuat dari logam dengan alas yang berlubang-lubang. Kegunaan dari lubang-lubang ini untuk mengalirkan udara panas dan uap air. Pada alat pengering ini, bahan ditempatkan langsung pada rak-rak dapat juga ditebarkan pada wadah lain misalnya baki atau nampan. Kemudian baki atau nampan ini disusun di atas rak yang ada di dalam alat pengering (Rachmawan, 2001). Prinsip kerja alat pengering tipe rak adalah udara pengering dari ruang pemanas dengan bantuan kipas akan bergerak menuju dasar rak dan melalui lubang-lubang yang terdapat pada dasar rak tersebut akan mengalir melewati bahan yang dikeringkan dan melepaskan sebagian panasnya sehingga terjadi proses penguapan air dari bahan. Dengan demikian, semakin ke bagian atas rak suhu udara pengering semakin turun. Penurunan suhu ini harus diatur sedemikian rupa agar pada saat mencapai bagian atas bahan yang dikeringkan, udara pengering masih mempunyai suhu yang memungkinkan terjadinya penguapan air. Di samping itu kelembaban udara pengering pada saat mencapai bagian atas harus dipertahankan tetap tidak jenuh sehingga masih mampu menampung uap air yang dilepaskan. Di dalam penggunaan alat pengering ini perlu diperhatikan pengaturan suhu, kecepatan aliran udara pengering, dan tebal tumpukan bahan yang dikeringkan sehingga hasil kering yang diharapkan dapat tercapai (Rachmawan, 2001). 13

14 2.7 Warna Peranan Warna Pada Bahan Pangan Peranan warna dalam mutu bahan pangan adalah sangat penting, karena umumnya konsumen atau pembeli sebelum mempertimbangkan nilai gizi dan rasa, pertama-tama akan tertarik oleh keadaan warna bahan. Bila warna bahan makanan kurang cocok dengan selera atau menyimpang dari warna normal, bahan makanan tersebut tidak akan dipilih oleh konsumen, walaupun rasa, nilai gizi dan faktor-faktor lainnya normal (I Gusti, 1996). Selama proses grading dan pengemasan produk-produk makanan, warna seringkali menjadi indikator untuk menunjukkan tingkat kualitas produk. Oleh karena itu, penentuan warna dalam industri makanan tidak hanya untuk alasan ekonomi, tetapi juga untuk kualitas merek dan standarisasi. Ketika bahan mengalami penyimpangan dalam proses pengolahannya, baik proses pemanasan, pengeringan atau proses lainnya maka secara fisik selain terjadi perubahan tekstur, warna dari bahan juga akan mengalami perubahan. Selama proses pengolahan, warna bahan akan mengalami perubahan yang cepat terhadap waktu, suhu dan cahaya. Standarisasi warna fisik (pigmen) juga penting untuk industri dimana kualitas ditentukan oleh nilai warna produk tersebut (Culver, et al., 2008) Pengukuran Warna Instrument yang sangat berguna dalam mengukur warna adalah kamera digital. Kamera digital memiliki tangkapan warna yang jelas dari setiap pixel dari gambar objeknya. Dengan jenis kamera tertentu, cahaya yang dipantulkan oleh suatu benda dideteksi oleh tiga sensor per pixel. Model warna yang paling sering digunakan adalah model RGB. Setiap sensor menangkap intensitas cahaya dalam merah (R), hijau (G) atau biru (B) spectrum masingmasing. Dalam menganalisis gambar digital dari suatu objek maka terlebih dahulu dilakukan analisis titik, meliputi sekelompok kecil pixel dengan tujuan mendeteksi karakteristik kecil dari objek dan selanjutnya dilakukan analisis 14

15 global dengan menggunakan histogram warna untuk menganalisis homogenitas dari objek (Leön, 2005). Gambar 1. Diagram yang menggambarkan ruang warna (Color Space) Model CIELAB pada CIELab Color Model CIELAB merupakan model warna yang dirancang untuk menyerupai persepsi penglihatan manusia dengan menggunakan tiga komponen yaitu L sebagai luminance (pencahayaan) dan a dan b sebagai dimensi warna yang berlawanan. Perancangan sistem aplikasi ini menggunakan model warna CIELAB pada proses segmentasi dan proses color moments. Color moments merupakan metode yang cukup baik dalam pengenalan ciri warna. Color moments menghasilkan tiga moments level rendah dari sebuah objek dengan cukup baik. Model warna ini dipilih karena terbukti memberikan hasil yang lebih baik daripada model warna RGB dalam mengukur nilai kemiripan ciri warna terhadap objek. Model warna CIELAB juga dapat digunakan untuk membuat koreksi kesimbangan warna yang lebih akurat dan untuk mengatur kontras pencahayaan yang sulit dan tidak mungkin dilakukan oleh model warna RGB (Isa dan Yoga, 2008). CIELAB juga merupakan ruang warna yang didefinisikan CIE pada tahun Dengan CIELAB kita mulai diberikan pandangan serta makna dari setiap dimensi yang dibentuk, yaitu besaran CIE_L* untuk mendeskripsikan kecerahan warna, 0 untuk hitam dan 100 untuk putih. Dimensi CIE_a* mendeskripsikan jenis warna hijau-merah, dimana angka negative a* mengindikasikan warna hijau dan sebaliknya CIE_a* positif 15

16 mengindikasi warna merah. Dimensi CIE_b* untuk jenis warna biru-kuning, dimana angka negatif b* mengindikasikan warna biru dan sebaliknya CIE_b* positif mengindikasikan warna kuning (Anonim, 2008). Proses pengujian atau pengukuran warna memiliki beberapa kelemahan. Pengujian visual yang akurat membutuhkan kontrol terhadap beberapa faktor, yaitu kualitas pencahayaan, ukuran dan sudut dari sumber cahaya yang digunakan, arah pengamatan sampel, jarak atau antar sampel dan observer (pengamat), serta keamanan persepsi panelis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengukuran warna secara visual sangat sulit dilakukan secara akurat dan efisien. Oleh karena itu diperlukan metode pengujian dan pengukuran yang lebih akurat dengan menggunakan beberapa bantuan alat misalnya Calorimeter, ataupun penggunaan alat yang lebih sederhana seperti kamera digital yang dilengkapi dengan komputer dan software pengolah gambar (Good, 2003). Saat mengambil gambar untuk dianalisis warnanya, sumber pencahayaan yang tepat sangat penting karena warna dari sampel pangan tergantung pada bagian spektrum yang dipantulkan dari cahaya tersebut. Oleh karena itu, distribusi spektral daya pencahayaan harus standar. CIE telah mendefinisikan illuminants standar yang ditentukan oleh warna. Standar illuminants umum digunakan dalam penelitian makanan adalah A (2.856 K), C (6774 K), D65 (6500 K), dan D (7500 K). Sumber cahaya C, D65, dan D dirancang untuk meniru variasi siang hari (Yam dan Papadakis, 2004). Model L*a*b adalah standar internasional untuk pengukuran warna yang dikembangkan oleh Komisi Internationale d Eclairage (KIE) pada tahun Model warna L*a*b terdiri dari komponen luminance. Nilai L*, mulai dari 0 sampai 100, komponen a* (dari hijau hingga merah) dan komponen b* (dari biru hingga kuning) (mulai dari) -120 hingga L*a*b adalah perangkat independen yang memberikan warna yang konsisten terlepas dari masukan atau output seperti perangkat kamera digital, scanner, monitor, dan printer. Model warna L*a*b sering digunakan studi penelitian dalam makanan (Yam dan Papadakis, 2004). 16

17 Sudut antara sumbu lensa kamera dan sumbu pencahayaan sumber harus pada sekitar sekitar 45 0, karena refleksi difusi warna terjadi pada 45 0 dari cahaya. Selain itu, intensitas cahaya di atas sampel makanan harus seragam. Hal ini dapat dicapai melalui percobaan dengan pengaturan berbagai pencahayaan (seperti memvariasikan jarak antara sumber cahaya dan sampel makanan) (Yam dan Papadakis, 2004) Analisis perubahan warna Berdasarkan jurnal mengenai CIELab yang diterbitkan oleh Hunterlab Association Laboratory, 2008 perubahan-perubahan nilai L*,a*,b* dapat dituliskan sebagai berikut: a. Perubahan nilai L* ( L) Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan nilai L* yang dihasilkan. Dimana nilai positif menandakan sampel lebih terang dari sebelumnya dan nilai negatif menandakan sampel lebih gelap dari sebelumnya. L* = L* 0 L*.. (3) Dimana : L* = Perubahan nilai L* selama waktu tertentu L* 0 = Nilai L* untuk sampel pada kondisi awal L* = Nilai L* untuk sampel selama waktu tertentu b. Perubahan nilai a* ( a) Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan nilai a* yang dihasilkan. Dimana nilai positif menandakan sampel lebih merah dari sebelumnya dan nilai negatif menandakan sampel lebih hijau dari sebelumnya. a* = a* 0 a* (4) Dimana : a* = Perubahan nilai a* selama waktu tertentu a* 0 = Nilai a* untuk sampel pada kondisi awal a* = Nilai a* untuk sampel selama waktu tertentu 17

18 c. Perubahan nilai b* ( b) Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan nilai b* yang dihasilkan. Dimana nilai positif menandakan sampel lebih kuning dari sebelumnya dan nilai negatif menandakan sampel lebih biru dari sebelumnya. b* = b* 0 b*.. (5) Dimana : b* = Perubahan nilai b* selama waktu tertentu b* 0 = Nilai b* untuk sampel pada kondisi awal b* = Nilai b* untuk sampel selama waktu tertentu d. Total perubahan nilai Lab* ( E*) Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan/perbedaan nilai Lab* yang dihasilkan. Dimana semakin besar nilai E* maka semakin besar pula perubahan/perbedaan nilai Lab* yang terjadi. Dan begitu pula sebaliknya, semakin kecil nilai E* maka semakin kecil pula perubahan/perbedaan nilai Lab* yang terjadi. E* =.. (6) Dimana : E* = Perubahan nilai Lab* selama waktu tertentu L* = Perubahan nilai L* selama waktu tertentu a* = Perubahan nilai a* selama waktu tertentu b* = Perubahan nilai b* selama waktu tertentu e. Total perubahan tingkat saturasi warna (C* dan C*) Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana tingkat saturasi warna yang dihasilkan. Dimana semakin tinggi nilai C*, maka semakin tinggi pula saturasi warna yang dihasilkan. Dan begitu pula sebaliknya, semakin rendah nilai C*, semakin rendah pula nilai saturasi yang dihasilkan. C* =.. (7) C* = C* 0 C*.. (8) Dimana : C* = Nilai saturasi sampel selama waktu tertentu 18

19 a* = Nilai a* untuk sampel selama waktu tertentu b* = Nilai b* untuk sampel selama waktu tertentu C* = Perubahan nilai C* selama waktu tertentu C* 0 = Nilai saturasi sampel pada kondisi awal f. Perubahan warna/hue ( H*) Parameter yang digunakan untuk melihat perubahan warna yang dihasilkan. Dimana semakin besar nilai H* maka semakin besar pula perubahan warna yang terjadi. Dan begitu pula sebaliknya, semakin kecil nilai H* maka semakin kecil pula perubahan warna yang terjadi. H*=.. (9) Dimana : H* = Perubahan warna selama waktu tertentu E* = Perubahan nilai Lab* selama waktu tertentu L* = Perubahan nilai L* selama waktu tertentu C* = Perubahan nilai C* selama waktu tertentu 19

20 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 bertempat di Laboratorium Prosessing Program Studi Teknik Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pengering tray dryer model EH-TD-300 Eunha Fluid Science, desikator, timbangan digital (ketelitian 0,01 gram), anemometer, kamera digital (Sony Cyber-shot 12,1 Mega Pixels), lampu Philips, software Adobe Photoshop CS3, thermometer, dan wadah plastik. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah cabai varietas Cakra Putih, plastik kedap udara,kertas label dan air. 3.3 Perlakuan dan Parameter Pengamatan a. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah: 1. Perendaman dengan air panas (blanching) dan tanpa perlakuan (non blanching) 2. Kecepatan udara pengeringan, yakni 1,0 m/s dan 1,5 m/s b. Parameter pengamatan dalam penelitian ini adalah: 1. Kadar air, meliputi kadar air basis basah dan kadar air basis kering. Berat cabai pada setiap jam pengeringan dikonversi ke kadar air basis basah dan basis kering dengan menggunakan rumus sebagai berikut: a. Rumus kadar air basis basah MC w.b = Dimana : MC w.b = kadar air basis basah (%) Wa Wb = berat bahan (g) = bobot bahan kering mutlak (g) 20

21 b. Rumus kadar air basis kering MC d.b = atau Dimana : MC d.b = kadar air basis Kering (%) MC w.b = kadar air basis basah (%) Wa Wb = berat bahan (g) = bobot bahan kering mutlak (g) c. Berat kering diperoleh melalui proses oven cabai pada akhir pengeringan. 2. Perubahan warna selama proses pengeringan berlangsung 3.4 Prosedur Penelitian 1. Persiapan Bahan Persiapan bahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: A. Cabai a) Menyiapkan cabai rawit varietas Cakra Putih sebanyak lima puluh biji. b) Sampel dibagi menjadi dua bagian, satu bagian untuk direndam ke dalam air panas (blanching) selama 10 menit, serta satu bagian lain tanpa perlakuan (non blanching). c) Setelah dilakukan perendaman dengan air panas selama 10 menit, cabai kemudian dimasukkan ke dalam tray dryer. 2. Proses Pengeringan Penelitian ini menggunakan satu level suhu pada dua kecepatan udara. Suhu pengeringan ditetapkan sekitar 47 C dan kecepatan udara masing-masing sebesar 1.0 m/s dan 1.5 m/s. Proses pengeringannnya dilakukan seperti berikut ini: 1. Menyiapkan sampel cabai yang telah direndam pada air panas (blanching) selama 10 menit dan cabai tanpa perlakuan (non blanching). 21

22 2. Menyiapkan dua buah kawat kasa yang berukuran 10 x 10 cm Menimbang masing-masing kawat kasa tersebut. 4. Menghamparkan cabai di atas wadah kawat kasa, masing-masing untuk cabai yang telah direndam dengan air panas dan tanpa perlakuan 5. Menimbang cabai dengan kawat kasa sebagai berat awal. 6. Menyiapkan alat pengering dengan suhu 47 C. 7. Mengatur kecepatan udara pengeringan sesuai dengan level kecepatan yang ditetapkan pada penelitian ini (1.0 m/s dan 1.5 m/s). 8. Kawat kasa yang berisi sampel cabai hasil rendaman air panas (blanching) dan cabai tanpa perlakuan (non blanching) dimasukkan ke ruang pengeringan alat pengering. 9. Sampel dikeluarkan dari alat pengeringan, kemudian ditimbang dan diukur perubahan warnanya pada setiap selang waktu satu jam. Untuk menghindarkan beban yang berlebihan pada alat, pengeringan dihentikan pada setiap interval pengeringan delapan jam. Selama penghentian pengeringan, sampel dimasukkan ke dalam plastik kedap udara kemudian disimpan di dalam desikator agar tidak terjadi pertukaran udara antara sampel dan lingkungannya. 10. Setelah berat sampel konstan selama sekitar 27 (dua puluh tujuh) jam, pengeringan dihentikan dan sampel tersebut dioven selama 72 jam pada suhu 115 C untuk mendapatkan berat kering sampel. 3. Proses Pengukuran Perubahan Warna Pengukuran perubahan warna dilakukan melalui pemotretan dengan menggunakan kamera digital yang tersedia di Laboratorium Prosessing Program Studi Teknik Pertanian. Hasil pemoteratan sampel kemudian diinterpretasi dengan menggunakan software Photoshop CS3. Langkah pengukuran perubahan warna ini diuraikan sebagai berikut: 1. Sampel cabai (blanching dan non blanching) pada masing-masing kecepatan udara pengeringan dipotret setiap jamnya sesuai dengan jam pengamatan pengeringan. 22

23 2. Untuk menjamin konsistensi pemotretan, maka setiap kali pemotretan dilakukan sampel diberikan tanda yang terkait dengan kecepatan udara pengeringan, dan jam pengeringan. 3. Hasil pemotretan disimpan pada file untuk selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software Photoshop CS3. 4. Proses analisis pada software Photoshop CS3 dilakukan sebabagi berikut: a. Setiap foto ditetapkan pada posisi yang dianalisis pada setiap jam dan posisi pengamatan harus konsisten. Untuk memudahkan pengaturan posisi, maka setiap photo di-crop pada setiap sampel. b. Untuk memudahkan pengamatan, sebaiknya pada foto yang diamati, diberi grid yang tersedia pada fasilitas software photoshop. cara menampilkannya yakni memilih show pada menu view, kemudian klik grid Gambar 2. Cara Menampilkan Grid Pada Software Adobe Photoshop c. Kemudian untuk melihat nilai L*a*b pada foto yang diamati, caranya memilih histogram pada menu window, jendela histogram akan muncul. Di dalam jendela histogram terdiri dari tiga menu, yakni histogram, navigator yang memuat gambar yang akan diamati, info yang memuat nilai-nilai seperti RGB, Lab, XY, dan WH. Di menu info inilah kita dapat melihat nilai Lab gambar yang diamati. 23

24 Gambar 3. Cara Menampilkan Histogram Pada Software Adobe Photosop d. Setelah mendapatkan nilai Lab, masukkan ke dalam rumus untuk menghitung nilai Perubahan nilai L,a,b ( L, b, a), Total perubahan nilai Lab ( E), Total perubahan tingkat saturasi warna (C/ C). e. Selanjutnya, hasil perhitungan warna secara numerik (nilai L*, a* dan b*) diinput pada Color Picker dalam Adobe Photoshop CS3. Kemudian pilih menu Color Libraries. Menu ini akan menampilkan secara otomatis warna yang sesuai atau mendekati dengan data numerik yang telah diinput sebelumnya. Color Libraries dilengkapi dengan beberapa panduan buku warna untuk menciptakan kesesuaian warna yang tinggi. Gambar 4. Input Nilai L*, a* dan b* Pada Color Picker 24

25 Gambar 5. Pengidentifikasian Warna Pada Color Libraries 25

26 Mulai Persiapan Bahan ± 50 biji Penimbangan wadah sampel Perendaman sampel cabai dengan air panas (blanching) dan tanpa perlakuan (non blanching) Pengisian sampel bahan blanching dan non blanching ke dalam wadah Penimbangan wadah yang telah berisi sampel cabai Pengambilan gambar awal dengan alat pencahayaan objek dengan sudut pencahayaan 45 o Pengeringan dengan tray dryer, suhu 47 o C dengan kecepatan udara 1 m/s dan 1,5 m/s Pengukuran berat bahan setiap 60 menit Pengukuran Dry Bulb dan Wet Bulb Temperatur Ruang Pengering Setiap 1 jam Berat Bahan= Konstan Tidak Bahan dimasukkan dalam oven selama 72 jam pada suhu 105 o C untuk menentukan berat akhir bahan Pengukuran Berat Akhir Analisa warna Selesai Gambar 6. Bagan Alir Prosedur Penelitian 26

27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Ruang dan RH Udara Pengering Suhu Ruang Pada Gambar 7 terlihat suhu ruangan selama proses pengeringan. Pada perlakuan 1,0 m/s yakni pada tanggal 7-12 Desember 2012 terlihat pada jam 0 sampai 20 selama proses pengeringan suhu ruang yakni 29 0 C kemudian naik menjadi 30 0 C sampai akhir pengeringan. Sedangkan pada kecepatan 1,5 m/s yakni pada tanggal Desember terlihat pada jam 0 sampai 15 selama proses pengeringan suhu ruang yakni 28 0 C kemudian mengalami penurunan suhu hingga mencapai suhu 26 0 C dan diakhir pengeringan suhu ruang mencapai 30 0 C. Naik turunnya suhu pada level kecepatan 1,5 m/s disebabkan oleh keadaan RH lingkungan. Dimana pada level kecepatan 1,5 m/s RH lingkungan tinggi dan suhu ruangan rendah. Suhu ( 0 C) Waktu (Jam) 7-12 Desember v=1,0 m/s Desember v=1,5 m/s Gambar 7. Grafik Suhu Ruang terhadap Waktu RH Udara Pengering Pada Gambar 8 grafik RH menunjukkan pada perlakuan kecepatan 1,0 m/s yakni pada tanggal 7-12 Desember 2012 terlihat pada jam 0 dan 1 RH rendah yakni sekitar 38.5 %, kemudian naik menjadi 88,9% sampai 94,4%. 27

28 Sedangkan pada 1,5 m/s yakni pada tanggal Desember 2012 terlihat pada jam ke 8 pengeringan RH sebesar 94,1% kemudian turun menjadi 40,1% kemudian naik menjadi 94,1% sampai akhir pengeringan. RH pada perlakuan kecepatan udara 1,5 m/s yakni pada tanggal Desember 2011 umumnya terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan RH pada perlakuan kecepatan udara 1,0 m/s yakni pada tanggal 7-12 Desember Tingginya RH pada level kecepatan 1,5 m/s disebabkan oleh kelembaban udara disekitar lingkungan pengeringan relatif tinggi, dimana cuaca lingkungan pada saat proses pengeringan tidak menentu sehingga mempengaruhi RH udara pengering. RH (%) Desember 2011 v=1,0 m/s Desember 2011 v=1,5 m/s Waktu (Jam) Gambar 8. Grafik RH terhadap Waktu 4.2 Kadar Air Basis Kering Analisis kadar air dimaksudkan untuk mengetahui perubahan kadar air pada cabai selama pengeringan. Perilaku penurunan kadar air basis kering (KaBK) cabai. Hasil perhitungan kadar air cabai dapat dilihat pada Gambar 9: 28

29 KaBK (%) KABK Blanching v=1m/s KABK Non Blanching v=1m/s KABK Blanching v=1,5m/s KABK Non Blanching v=1,5m/s Waktu (Jam) Gambar 9. Grafik Kadar Air Basis Kering Cabai Terhadap Waktu Gambar 9 di atas jelas menunjukkan bahwa dari hasil pengamatan yang telah diakukan, kadar air selama proses pengeringan akan mengalami penurunan. Penurunan kadar air selama proses pengeringan mengikuti pola exponensial sebagaimana lazimnya dijumpai pada komoditi pertanian lainnya. Pada kadar air basis kering, perlakuan perendaman cabai dengan air panas (blanching) dan kecepatan udara 1,0 m/s, penurunan kadar air terjadi dari 590,5% bk hingga 48,6% bk sedangkan pada cabai tanpa perlakuan (non blanching), kecepatan udara 1,0 m/s, terjadi penurunan nilai kadar air dari 475,5% bk hingga 46,9% bk. Sementara itu, pada perlakuan perendaman cabai dengan air panas (blanching), kecepatan udara 1,5 m/s, terjadi penurunan nilai kadar air dari 344,6% bk menjadi 11,4% bk dan pada cabai tanpa perlakuan (non blanching), kecepatan udara 1,5 m/s, penurunan nilai kadar air dari 357,6% bk hingga 11,2% bk. Pada grafik di atas nampak bahwa penurunan nilai kadar air yang signifikan terjadi mulai dari awal sampai pada lama pengeringan 27 jam. Perubahan kadar air hingga pada jam ke 27 relatif kecil. Fenomena ini mengindikasikan bahwa setelah jam ke 27, laju pengeringan berlangsung sangat lambat dan bahan mulai mendekati kadar air kesetimbangan dengan lingkungan pengeringan. 29

30 Gambar 9 juga menunjukkan bahwa tidak nampak adanya pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan laju pengeringan akibat perbedaan kecepatan udara pengeringan 1,0 m/s dan 1,5 m/s. Hal ini kemungkinan disebabkan pada saat dilakukan pengeringan dengan kecepatan udara 1,5 m/s, kelembaban udara pada lingkungan pengeringan relatif tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran RH dari data pengukuran dry bulb dan wet bulb temperature ruangan, RH pada saat dilakukan pengeringan dengan kecepatan udara 1,5 m/s tinggi dan relatif konstan pada 94%, sedangkan RH untuk kecepatan udara 1 m/s berkisar antara 80 % sampai 94%. Seperti yang dikatakan Estiasih (2009), kelembaban udara berpengaruh pada saat pengeringan. Semakin kering udara (kelembaban semakin rendah) maka kecepatan pengeringan semakin tinggi. Kelembaban udara akan menentukan kadar air akhir bahan pangan setelah dikeringkan. 4.3 Laju Penguapan Air Selama proses pengeringan, dikenal adanya laju penguapan air. Laju penguapan air menjelaskan banyaknya air pada bahan mengalami penguapan selama proses pengeringan. Pada Gambar 10 terlihat bahwa terjadi laju penguapan air pada cabai dengan perlakuan perendaman air panas (blanching) maupun tanpa perlakuan (non blanching) mengalami penurunan. Pada cabai dengan perlakuan perendaman air panas (blanching) dan kecepatan 1,0 m/s pada awal pengeringan 0,03060 g H 2 O/menit menjadi 0,00008 g H 2 O/menit sedangkan pada cabai tanpa perlakuan (non blanching) pada awal pengeringan 0,02072 g H 2 O/menit menjadi 0,00043 g H 2 O/menit. Sementara itu pada cabai (blanching) dan kecepatan 1,5 m/s pada awal pengeringan 0,01812 g H 2 O/menit pada cabai tanpa perlakuan (nonblanching) pada awal pengeringan 0,01523 menjadi 0, Perubahan laju penguapan terlihat fluktuatif selama periode akhir pengeringan namun cenderung terus mengalami penurunan. Penurunan kadar air yang fluktuatif menjelaskan bahwa air dalam bahan masih berpotensi untuk mengalami penguapan selama periode akhir pengeringan. Hal tersebut terjadi selama proses pengeringan. Selain adanya air bebas yang cenderung lebih mudah menguap selama periode awal pengeringan, adapula air terikat yaitu air yang sulit untuk bergerak naik ke 30

31 permukaan bahan selama pengeringan sehingga laju penguapan air semakin lama semakin menurun. Laju Penguapan Air (g H 2 O/menit) Laju Pengeringan Blanching v=1,0 m/s Laju Pengeringan Non Blanching v=1,0 m/s Laju Pengeringan Blanching v=1,5 m/s Laju Pengeringan Non Blanching v=1,5 m/s % % % % % % % Kadar Air Basis Kering Gambar 10. Grafik Laju Pengeringan terhadap Kadar Air Basis Kering 4.4 Perubahan Warna Selama Proses Pengeringan Berikut ini disajikan perilaku parameter warna sampel (L*, a*, b*, C*, L*, a*, b*, C*, E* dan H*) selama proses pengeringan cabai rawit. Nilai L* merupakan parameter terang gelap sampel selama proses pengeringan. Nilai L* merupakan besarnya perubahan pada nilai L* selama proses pengeringan. Nilai a* mendeskripsikan warna antara merah dan hijau. Nilai a* merupakan perubahan nilai a* selama proses pengeringan. Nilai b* mendeskripsikan warna antara kuning dan biru. Nilai b* merupakan perubahan warna yang terjadi pada nilai b* selama proses pengeringan. Nilai C* merupakan sejauh mana tingkat saturasi warna. Nilai E* merupakan parameter untuk menilai sejauh mana perubahan nilai Lab* yang terjadi. Nilai C* merupakan perubahan untuk menilai sejauh mana tingkat saturasi warna yang dihasilkan. Nilai H* merupakan merupakan parameter untuk melihat perubahan warna yang dihasilkan. 31

32 4.4.1 Nilai L* terhadap Waktu Pengeringan Dari data hasil pengujian warna cabai pada perendaman dengan air panas (blanching) dan tanpa perlakuan (non blanching) (kecepatan udara 1 m/s dan 1.5 m/s), berdasarkan nilai L*, terjadi perubahan nilai L* yaitu terjadinya penurunan dari awal hingga akhir pengeringan. Hal tersebut menandakan bahwa warna cabai yang semulanya berwarna merah cerah cenderung mengalami perubahan warna ke arah yang lebih gelap selama proses pengeringan. Nilai L* merupakan parameter untuk mengetahui terang gelapnya gambar. Nilai L* mulai dari 0 sampai 100, dimana 0 menghasilkan warna gelap dan 100 menghasilkan warna yang terang (Yam dan Papadakis, 2004). Pola perubahan nilai L* sepanjang waktu pengeringan dan terhadap perubahan kadar air sampel digambarkan berikut ini: Nilai L* Nilai L Blanching v=1m/s Nilai L Non Blanching v=1m/s Nilai L Blanching v=1,5m/s Nilai L Non Blanching v=1,5m/s Waktu (Jam) Gambar 11. Grafik Hubungan Nilai L* Terhadap Waktu Nilai L* Terhadap Kadar Air Basis Kering Hasil pengukuran nilai L* terhadap kadar air basis kering (Gambar 12) menunjukkan penurunan nilai L* yang berbanding lurus dengan penurunan kadar air basis kering pada bahan. 32

33 Untuk cabai dengan perendaman air panas (blanching), kecepatan udara 1,0 m/s, nilai L* pada awal pengeringan sebesar 36.5 dengan kadar air sebesar 590,5% bk, dan nilai L* pada akhir pengeringan sebesar 14,8 dengan kadar air sebesar 48,6% bk. Untuk cabai tanpa perendaman (non blanching), kecepatan udara 1m/s, nilai L* pada awal pengeringan sebesar 40,5 dengan kadar air 475,5% bk dan nilai L* pada akhir pengeringan sebesar 27 dengan kadar air 46,9% bk. Untuk cabai dengan perendaman air panas (blanching), kecepatan udara 1.5m/s, nilai L* pada awal pengeringan sebesar 38, dengan kadar air sebesar 344,6% bk dan nilai L* pada akhir pengeringan sebesar 17 dengan kadar air sebesar 11,4% bk. Untuk cabai tanpa perlakuan (non blanching), kecepatan udara 1.5m/s, nilai L* pada awal pengeringan sebesar 39,3, dengan kadar air 357,6% bk dan nilai L* pada akhir pengeringan sebesar 25 dengan kadar air sebesar 11,2% bk. Penurunan nilai a* yang signifikan nampak terjadi sampai pada lama pengeringan 27 jam. Perubahan nilai a* hingga jam ke 27 terakhir pengeringan relatif kecil, sama halnya dengan perubahan kadar air yang relatif kecil. Sehingga dapat diasumsikan setelah jam ke 27 proses pengeringan berlangsung nilai a* relatif stabil sampai akhir pengeringan. Nilai L* Nilai L Blanching v=1m/s Nilai L Non Blanching v=1m/s Nilai L Blanching v=1,5m/s Nilai L Non Blanching v=1,5m/s Kadar Air Basis Kering (%) Gambar 12. Grafik Hubungan Nilai L* Terhadap Kadar Air Basis Kering 33

34 4.4.3 Nilai a* terhadap Waktu Pengeringan Hasil pengukuran a* terhadap waktu (Gambar 13) menunjukkan bahwa terjadinya perubahan nilai a*, dimana nilai a* mengalami penurunan selama proses pengeringan pada cabai dengan perendaman air panas (blanching) dan tanpa perlakuan (non blanching) pada kedeua level kecepatan (1,0 m/s dan 1,5 m/s). Penurunan nilai a* menyebabkan perubahan warna cabai menjadi coklat kemerahan. Hal ini disebabkan karena kandungan nilai a* pada cabai mengalami penurunan selama proses pengeringan sehingga pada akhir pengeringan menghasilkan warna cabai menjadi coklat kemerahan. Nilai a*, merupakan nilai untuk mencerminkan perubahan warna antara hijau (green) dan merah (magenta). Nilai a* waktu (Jam) Nilai A Blanching v=1 Nilai A Non Blanching v=1 Nilai A Blanching v=1,5 Nilai A Non Blanching v=1,5 Gambar 13. Grafik Hubungan Nilai a* Terhadap Waktu Nilai a* Terhadap Kadar Air Basis Kering Hasil pengukuran nilai a* terhadap kadar air basis kering (Gambar 14) menunjukkan nilai a* mengalami penurunan. Nilai a* berbanding lurus dengan nilai kadar air basis kering pada bahan. Nilai a* untuk cabai dengan perendaman air panas (blanching), kecepatan udara 1 m/s, pada awal pengeringan sebesar 42,6 dengan kadar air 34

I. PENDAHULUAN. disukai dan mempunyai prospek yang baik untuk diusahakan. Salak. Keunggulan buah salak yakni memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi

I. PENDAHULUAN. disukai dan mempunyai prospek yang baik untuk diusahakan. Salak. Keunggulan buah salak yakni memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salak (Salacca edulis) merupakan salah satu tanaman buah yang disukai dan mempunyai prospek yang baik untuk diusahakan. Salak merupakan salah satu buah tropis yang saat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Famili ini memiliki sekitar 90 genus dan sekitar

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nanas (Ananas comosus L. Merr) Nanas merupakan tanaman buah yang banyak dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini mempunyai banyak manfaat terutama pada buahnya.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat 20 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen, Jurusan Teknik

Lebih terperinci

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Bawang merah merupakan komoditas hortikultura yang memiliki permintaan yang cukup tinggi dalam bentuk segar. Meskipun demikian, bawang merah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt menciptakan alam dan isinya seperti hewan dan tumbuh. tumbuhan mempunyai hikmah yang amat besar, semuanya tidak ada yang

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt menciptakan alam dan isinya seperti hewan dan tumbuh. tumbuhan mempunyai hikmah yang amat besar, semuanya tidak ada yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Allah Swt menciptakan alam dan isinya seperti hewan dan tumbuh tumbuhan mempunyai hikmah yang amat besar, semuanya tidak ada yang sia sia dalam ciptaan Nya. Manusia

Lebih terperinci

Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) 1) ISHAK (G ) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK

Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) 1) ISHAK (G ) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) ) ISHAK (G4 9 274) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK Perbedaan pola penurunan kadar air pada pengeringan lapis tipis cengkeh

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2011 sampai dengan Agustus 2011 di Laboratorium Pindah Panas serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di. Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di. Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang perekonomian nasional dan menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kentang Panen

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kentang Panen 4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kentang Kentang (Solanum tuberosum L.) berasal dari wilayah pegunungan Andes di Peru dan Bolivia. Tanaman kentang liar dan yang dibudidayakan mampu bertahan di habitat tumbuhnya

Lebih terperinci

PERUBAHAN WARNA PADA CABAI RAWIT (Capsicum frutescense) SELAMA PENGERINGAN LAPISAN TIPIS

PERUBAHAN WARNA PADA CABAI RAWIT (Capsicum frutescense) SELAMA PENGERINGAN LAPISAN TIPIS PERUBAHAN WARNA PADA CABAI RAWIT (Capsicum frutescense) SELAMA PENGERINGAN LAPISAN TIPIS OLEH : NUZLUL MUSDALIFAH G 621 08 006 Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana pada Jurusan Teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeringan Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga menghambat laju kerusakan bahan akibat aktivitas biologis

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PASCAPANEN BAWANG MERAH LITBANG PASCAPANEN ACEH Oleh: Nurbaiti

TEKNOLOGI PASCAPANEN BAWANG MERAH LITBANG PASCAPANEN ACEH Oleh: Nurbaiti TEKNOLOGI PASCAPANEN BAWANG MERAH LITBANG PASCAPANEN ACEH Oleh: Nurbaiti Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang memiliki arti penting bagi masyarakat, baik dilihat dari penggunaannya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGERINGAN BIJI KOPI BERDASARKAN VARIASI KECEPATAN ALIRAN UDARA PADA SOLAR DRYER

KARAKTERISTIK PENGERINGAN BIJI KOPI BERDASARKAN VARIASI KECEPATAN ALIRAN UDARA PADA SOLAR DRYER KARAKTERISTIK PENGERINGAN BIJI KOPI BERDASARKAN VARIASI KECEPATAN ALIRAN UDARA PADA SOLAR DRYER Endri Yani* & Suryadi Fajrin Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Andalas Kampus Limau Manis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengasapan Ikan Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan untuk mempertahankan daya awet ikan dengan mempergunakan bahan bakar kayu sebagai penghasil

Lebih terperinci

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak Firman Jaya OUTLINE PENGERINGAN PENGASAPAN PENGGARAMAN/ CURING PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama dalam penyimpanannya membuat salah satu produk seperti keripik buah digemari oleh masyarat. Mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan bahan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah digantikan oleh senyawa lain. Sebuah molekul air terdiri dari sebuah atom

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENYIMPANAN KOPI Penyimpanan kopi dilakukan selama 36 hari. Penyimpanan ini digunakan sebagai verifikasi dari model program simulasi pendugaan kadar air biji kopi selama penyimpanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Keluarga ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan

Lebih terperinci

PENINGKATAN KUALITAS PRODUK DAN EFISIENSI ENERGI PADA ALAT PENGERINGAN DAUN SELEDRI BERBASIS KONTROL SUHU DAN HUMIDITY UDARA

PENINGKATAN KUALITAS PRODUK DAN EFISIENSI ENERGI PADA ALAT PENGERINGAN DAUN SELEDRI BERBASIS KONTROL SUHU DAN HUMIDITY UDARA PENINGKATAN KUALITAS PRODUK DAN EFISIENSI ENERGI PADA ALAT PENGERINGAN DAUN SELEDRI BERBASIS KONTROL SUHU DAN HUMIDITY UDARA Jurusan Teknik Elektro, Fakultas. Teknik, Universitas Negeri Semarang Email:ulfaharief@yahoo.com,

Lebih terperinci

dengan optimal. Selama ini mereka hanya menjalankan proses pembudidayaan bawang merah pada musim kemarau saja. Jika musim tidak menentu maka hasil

dengan optimal. Selama ini mereka hanya menjalankan proses pembudidayaan bawang merah pada musim kemarau saja. Jika musim tidak menentu maka hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk didalamnya agribisnis. Kesepakatankesepakatan GATT, WTO,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman pertanian yang strategis untuk dibudidayakan karena permintaan cabai yang sangat besar dan banyak konsumen yang mengkonsumsi

Lebih terperinci

Pengawetan pangan dengan pengeringan

Pengawetan pangan dengan pengeringan Pengawetan pangan dengan pengeringan Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengeringan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi selama pengeringan serta dampak pengeringan terhadap

Lebih terperinci

PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG Oleh : Sugeng Prayogo BP3KK Srengat Penen dan Pasca Panen merupakan kegiatan yang menentukan terhadap kualitas dan kuantitas produksi, kesalahan dalam penanganan panen dan pasca

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan mutu yang diamati selama penyimpanan buah manggis meliputi penampakan sepal, susut bobot, tekstur atau kekerasan dan warna. 1. Penampakan Sepal Visual Sepal atau biasa

Lebih terperinci

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI Oleh : Ir. Nur Asni, MS Peneliti Madya Kelompok Peneliti dan Pengkaji Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea. sistimatika tanaman jagung yaitu sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea. sistimatika tanaman jagung yaitu sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jagung Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Secara umum, menurut Purwono dan Hartanto (2007), klasifikasi dan sistimatika tanaman

Lebih terperinci

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI 1. PENGERINGAN Pengeringan adalah suatu proses pengawetan pangan yang sudah lama dilakukan oleh manusia. Metode pengeringan ada dua,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memiliki lahan pertanian cukup luas dengan hasil pertanian yang melimpah. Pisang merupakan salah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan salah satu komoditi pertanian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein, karena daging mengandung protein yang bermutu tinggi, yang mampu menyumbangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik Usahatani Cabai Tanaman cabai (Capsicum sp.) merupakan tanaman dari famili terung terungan (Solanaceae). Keluarga ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan sekitar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pelet Daun Indigofera sp. Pelet daun Indigofera sp. yang dihasilkan pada penelitian tahap pertama memiliki ukuran pelet 3, 5 dan 8 mm. Berdasarkan hasil pengamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai merah besar (Capsicum Annum L.) merupakan komoditas yang banyak mendapat perhatian karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Buahnya dapat digolongkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah-buahan. Iklim di

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah-buahan. Iklim di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah-buahan. Iklim di Indonesia memungkinkan berbagai jenis buah-buahan tumbuh dan berkembang. Namun sayangnya, masih banyak

Lebih terperinci

Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Ditingkat Petani

Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Ditingkat Petani Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Ditingkat Petani Oleh: Ir. Nur Asni, MS PENDAHULUAN Tanaman kopi (Coffea.sp) merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan sebagai

Lebih terperinci

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

Peluang Usaha Budidaya Cabai? Sambal Aseli Pedasnya Peluang Usaha Budidaya Cabai? Potensinya terbuka, baik pasar bebas maupun industri. Kebutuhan cabai perkapita (2013) adalah 5 Kg/ tahun. Dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa, maka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Parameter Fisik dan Organoleptik Pada Perlakuan Blansir 1. Susut Bobot Hasil pengukuran menunjukkan bahwa selama penyimpanan 8 hari, bobot rajangan selada mengalami

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA AgroinovasI TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA Dalam menghasilkan benih bermutu tinggi, perbaikan mutu fisik, fisiologis maupun mutu genetik juga dilakukan selama penanganan pascapanen. Menjaga mutu fisik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) ABSTRAK

MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) ABSTRAK MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) Dwi Santoso 1, Djunaedi Muhidong 2, dan Mursalim 2 1 Program Studi Agroteknologi,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG 1. DEFINISI Panen merupakan pemetikan atau pemungutan hasil setelah tanam dan penanganan pascapanen merupakan Tahapan penanganan hasil pertanian setelah

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama 38 III. METODELOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama adalah pembuatan alat yang dilaksanakan di Laboratorium Mekanisasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN Dari penelitian pendahuluan diperoleh bahwa konsentrasi kitosan yang terbaik untuk mempertahankan mutu buah markisa adalah 1.5%. Pada pengamatan

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS. Nafi Ananda Utama. Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017

PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS. Nafi Ananda Utama. Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017 7 PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS Nafi Ananda Utama Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017 Pengantar Manggis merupakan salah satu komoditas buah tropika eksotik yang mempunyai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah,(3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka Berpikir, (6) Hipotesa penelitian dan (7)

Lebih terperinci

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan tepat untuk mengurangi terbawanya bahan atau tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih bertumpu pada beras. Meskipun di beberapa daerah sebagian kecil penduduk

BAB I PENDAHULUAN. masih bertumpu pada beras. Meskipun di beberapa daerah sebagian kecil penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cakupan pangan di Indonesia secara mandiri masih merupakan masalah serius yang harus kita hadapi saat ini dan masa yang akan datang. Bahan pokok utama masih bertumpu

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Konsentrasi KMnO 4 Terhadap Susut Berat Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap susut berat cabai merah berbeda nyata

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KENTANG (SOLANUM TUBEROSUM L.) Tumbuhan kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas sayuran yang dapat dikembangkan dan bahkan dipasarkan di dalam negeri maupun di luar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS Menurut Brooker et al. (1974) terdapat beberapa kombinasi waktu dan suhu udara pengering dimana komoditas hasil pertanian dengan kadar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cabai (Capsicum sp.) merupakan jenis tanaman holtikultura (budidaya) yang banyak ditanam di Indonesia, karena memiliki nilai ekonomi dan permintaan yang tinggi.

Lebih terperinci

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN II Disusun oleh : Nur Aini Condro Wibowo Rumpoko Wicaksono UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan

Lebih terperinci

Sumber Pustaka Hilman. Y. A. Hidayat, dan Suwandi Budidaya Bawang Putih Di Dataran Tinggi. Puslitbang Hortikultura. Jakarta.

Sumber Pustaka Hilman. Y. A. Hidayat, dan Suwandi Budidaya Bawang Putih Di Dataran Tinggi. Puslitbang Hortikultura. Jakarta. PANEN BAWANG PUTIH Tujuan : Setelah berlatih peserta terampil dalam menentukan umur panen untuk benih bawang putih serta ciri-ciri tanaman bawang putih siap untuk dipanen 1. Siapkan tanaman bawang putih

Lebih terperinci

Analisis Distribusi Suhu, Aliran Udara, Kadar Air pada Pengeringan Daun Tembakau Rajangan Madura

Analisis Distribusi Suhu, Aliran Udara, Kadar Air pada Pengeringan Daun Tembakau Rajangan Madura Analisis Distribusi Suhu, Aliran Udara, Kadar Air pada Pengeringan Daun Tembakau Rajangan Madura HUMAIDILLAH KURNIADI WARDANA 1) Program Studi Teknik Elektro Universitas Hasyim Asy Ari. Jl. Irian Jaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biji nangka merupakan salah satu limbah organik yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal biji nangka memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi yaitu karbohidrat

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Percobaan Percobaan pendahuluan dilaksanakan pada bulan Juli 011 di Laboratorium Pasca Panen D3 Agribisnis, Fakultas Pertanian, dan Laboratorium Keteknikan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PASCA PANEN MKB 604/3 SKS (2-1)

TEKNOLOGI PASCA PANEN MKB 604/3 SKS (2-1) TEKNOLOGI PASCA PANEN MKB 604/3 SKS (2-1) OLEH : PIENYANI ROSAWANTI PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA 2016 KONTRAK PERKULIAHAN KEHADIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup murah. Selain itu, jambu biji juga memiliki khasiat untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup murah. Selain itu, jambu biji juga memiliki khasiat untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Jambu biji merupakan salah satu buah yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Jambu biji ini sangat populer karena mudah didapat dan memiliki harga yang cukup murah.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman

I PENDAHULUAN. Tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman 2 I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman sayuran yang penting karena memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Setiap 100 gram kacang

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan September - November 2012 di Laboratorium

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan September - November 2012 di Laboratorium 19 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan September - November 2012 di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penanganan Pasca Panen Lateks Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang masih segar 35 jam setelah penyadapan. Getah yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan PROSES PEMBUATAN TELUR ASIN SEBAGAI PELUANG USAHA Oleh : Andi Mulia, Staff Pengajar di UIN Alauddin Makassar Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat, mudah dicerna, dan

Lebih terperinci

OLEH HARI SUBAGYO BP3K DOKO PROSES PENGOLAHAN BIJI KOPI

OLEH HARI SUBAGYO BP3K DOKO PROSES PENGOLAHAN BIJI KOPI OLEH HARI SUBAGYO BP3K DOKO PROSES PENGOLAHAN BIJI KOPI Secangkir kopi dihasilkan melalui proses yang sangat panjang. Mulai dari teknik budidaya, pengolahan pasca panen hingga ke penyajian akhir. Hanya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karet Alam Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet termasuk tanaman tahunan yang tergolong dalam famili Euphorbiaceae, tumbuh baik di dataran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi tinggi. Tanaman cabai dapat tumbuh di berbagai tipe tanah dan tanah yang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi tinggi. Tanaman cabai dapat tumbuh di berbagai tipe tanah dan tanah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Cabai (Capsicum annuum L) merupakan salah satu jenis sayuran buah yang penting di konsumsi setiap hari sebagai bumbu penyedap masakan dan bernilai ekonomi

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG

PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG Balai Besar Pelatihan Pertanian Ketindan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementerian Pertanian (2017) TUJUAN PEMBELAJARAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ditingkatkan dengan penerapan teknik pasca panen mulai dari saat jagung dipanen

I. PENDAHULUAN. ditingkatkan dengan penerapan teknik pasca panen mulai dari saat jagung dipanen I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman jagung ( Zea mays L) sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan. Jagung merupakan komoditi tanaman pangan kedua terpenting setelah padi. Berdasarkan urutan

Lebih terperinci

PEMBUATAN SAOS CABE MERAH Nurbaiti A. Pendahuluan Cabe merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi

PEMBUATAN SAOS CABE MERAH Nurbaiti A. Pendahuluan Cabe merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi PEMBUATAN SAOS CABE MERAH Nurbaiti A. Pendahuluan Cabe merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi dan dikembang secara luas oleh petani di Propinsi Aceh.

Lebih terperinci

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk Penanganan pascapanen sangat berperan dalam mempertahankan kualitas dan daya simpan buah-buahan. Penanganan pascapanen yang kurang hati-hati dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penyusunan Buah Dalam Kemasan Terhadap Perubahan Suhu Penelitian ini menggunakan dua pola penyusunan buah tomat, yaitu pola susunan acak dan pola susunan teratur. Pola

Lebih terperinci

Pengeringan. Shinta Rosalia Dewi

Pengeringan. Shinta Rosalia Dewi Pengeringan Shinta Rosalia Dewi SILABUS Evaporasi Pengeringan Pendinginan Kristalisasi Presentasi (Tugas Kelompok) UAS Aplikasi Pengeringan merupakan proses pemindahan uap air karena transfer panas dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Tinjauan Pustaka Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN CABAI Oleh: Masnun, S.Pt., M.Si.

PENANGANAN PASCA PANEN CABAI Oleh: Masnun, S.Pt., M.Si. PENANGANAN PASCA PANEN CABAI Oleh: Masnun, S.Pt., M.Si. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai segar mempunyai daya simpan yang sangat singkat. Oleh karena itu, diperlukan penanganan pasca panen mulai

Lebih terperinci

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I.

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Suhu Ruang Pengering dan Sebarannya A.1. Suhu Lingkungan, Suhu Ruang, dan Suhu Outlet Udara pengering berasal dari udara lingkungan yang dihisap oleh kipas pembuang, kemudian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

Gambar. Diagram tahapan pengolahan kakao

Gambar. Diagram tahapan pengolahan kakao PENDAHULUAN Pengolahan hasil kakao rakyat, sebagai salah satu sub-sistem agribisnis, perlu diarahkan secara kolektif. Keuntungan penerapan pengolahan secara kolektif adalah kuantum biji kakao mutu tinggi

Lebih terperinci

PERSEMAIAN CABAI. Disampaikan Pada Diklat Teknis Budidaya Tanaman Cabai. Djoko Sumianto, SP, M.Agr

PERSEMAIAN CABAI. Disampaikan Pada Diklat Teknis Budidaya Tanaman Cabai. Djoko Sumianto, SP, M.Agr PERSEMAIAN CABAI Disampaikan Pada Diklat Teknis Budidaya Tanaman Cabai Djoko Sumianto, SP, M.Agr BALAI BESAR PELATIHAN PERTANIAN (BBPP) KETINDAN 2017 Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)/ Kompetensi Dasar :

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGERINGAN GABAH PADA ALAT PENGERING KABINET (TRAY DRYER) MENGGUNAKAN SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN BAKAR

KARAKTERISTIK PENGERINGAN GABAH PADA ALAT PENGERING KABINET (TRAY DRYER) MENGGUNAKAN SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN BAKAR KARAKTERISTIK PENGERINGAN GABAH PADA ALAT PENGERING KABINET (TRAY DRYER) MENGGUNAKAN SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN BAKAR Ahmad MH Winata (L2C605113) dan Rachmat Prasetiyo (L2C605167) Jurusan Teknik Kimia, Fak.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1.Tinjauan Aspek Agronomi Cabai Cabai adalah tanaman tahunan dengan tinggi mencapai 1 meter, merupakan tumbuhan perdu yang berkayu, buahnya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan utama dalam pascapanen komoditi biji-bijian adalah susut panen dan turunnya kualitas, sehingga perlu diupayakan metode pengeringan dan penyimpanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) TINJAUAN PUSTAKA Tanaman dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Manggis (Garcinia mangostana L.) termasuk buah eksotik yang digemari oleh konsumen baik di dalam maupun luar negeri, karena rasanya yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

TEKNIK PENGERINGAN HASIL PERTANIAN ( SMTR VII)

TEKNIK PENGERINGAN HASIL PERTANIAN ( SMTR VII) TEKNIK PENGERINGAN HASIL PERTANIAN ( SMTR VII) AINUN ROHANAH SAIPUL BAHRI DAULAY PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN FP - USU Evaluasi 1. jumlah kehadiran dalam kuliah 10% 2. Quiz/Tugas 10% 3. Ujian tengah

Lebih terperinci

PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN

PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN Perbaikan mutu benih (fisik, fisiologis, dan mutu genetik) untuk menghasilkan benih bermutu tinggi tetap dilakukan selama penanganan pasca panen. Menjaga mutu fisik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia karena merupakan salah satu jenis sayuran buah

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGANAN PASCA PANEN R i n i Y u l i a n i n g s i h

TEKNIK PENANGANAN PASCA PANEN R i n i Y u l i a n i n g s i h TEKNIK PENANGANAN PASCA PANEN R i n i Y u l i a n i n g s i h Tujuan Instruksional Umum Mahasiswa memahami hal-hal yang menyebabkan kerusakan dan kehilangan serta memahami teknologi penanganan pasca panen

Lebih terperinci

MODEL PENGERINGAN LAPISAN TIPIS dan PERUBAHAN WARNA SELAMA PROSES PENGERINGAN KACANG MERAH (Phaseoulus vulgaris L) VARIETAS HAWAIAN WONDER

MODEL PENGERINGAN LAPISAN TIPIS dan PERUBAHAN WARNA SELAMA PROSES PENGERINGAN KACANG MERAH (Phaseoulus vulgaris L) VARIETAS HAWAIAN WONDER MODEL PENGERINGAN LAPISAN TIPIS dan PERUBAHAN WARNA SELAMA PROSES PENGERINGAN KACANG MERAH (Phaseoulus vulgaris L) VARIETAS HAWAIAN WONDER Oleh : A. EVI ERFIANI G 621 08 001 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hardware Sistem Kendali Pada ISD Pada penelitian ini dibuat sistem pengendalian berbasis PC seperti skema yang terdapat pada Gambar 7 di atas. Pada sistem pengendalian ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai sifat mudah rusak. Oleh karena itu memerlukan penanganan pascapanen yang serius

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting di Indonesia. Buah-buahan memiliki tingkat permintaan yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. penting di Indonesia. Buah-buahan memiliki tingkat permintaan yang tinggi. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Buah-buahan merupakan salah satu kelompok komoditas pertanian yang penting di Indonesia. Buah-buahan memiliki tingkat permintaan yang tinggi. Permintaan domestik terhadap

Lebih terperinci