BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN"

Transkripsi

1 BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN 4.1 Metodologi Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan mengidentifikasi tingkat kerentanan suatu tempat tertentu untuk mengalami kejadian longsoran, dengan mengklasifikasikannya berdasarkan faktor-faktor penyebab longsoran. Klasifikasi yang digunakan untuk pengkelasan masing-masing faktor penyebab longsoran, menggunakan klasifikasi Anbalagan (1992). Metode yang digunakan adalah metode proses hirarki analitik atau Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk pembobotan dan pengujian rasio konsistensi, dan sistem informasi geografis atau Geographic Information system (GIS) untuk pengolahan data (Gambar 4.1). PETA TOPOGRAFI DIGITAL BAKOSURTANAL PETA GEOLOGI CITRA SATELIT LANDSAT 7 ETM+ SKEMA PENGKELASAN ANBALAGAN (1992) (LANDSLIDE HAZARD EVALUATION FACTOR) PETA KEMIRINGAN LERENG PETA RELIEF RELATIF PETA GEOLOGI PETA KEBASAHAN LAHAN PETA TUTUPAN LAHAN PROSES HIRARKI ANALITIK SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PETA KERENTANAN LONGSORAN Gambar 4.1. Diagram alir pengolahan data peta kerentanan longsoran. 53

2 4.2 Klasifikasi Anbalagan Klasifikasi Anbalagan adalah klasifikasi untuk menentukan zonasi longsoran dengan cara pengkelasan (rating) pada masing-masing faktor penyebab longsoran. Fakor-faktor yang digunakan sebagai acuan pengkelasan adalah kemiringan lereng, litologi, relief relatif, kebasahan lahan, dan tutupan lahan. Klasifikasi ini cukup sistematis, sederhana, dan efektif sehingga sangat mudah digunakan. Klasifikasi ini dapat berfungsi sebagai investigasi awal untuk mengetahui tingkat kerentanan longsoran. Pendekatan yang dikembangkan untuk mengetahui tingkat kerentanan longsoran pada metode ini adalah skema pengkelasan numerik yang disebut faktor evaluasi bahaya longsoran atau Landslide Hazard Evaluation Factor (LHEF) Skema Pengkelasan Faktor Evaluasi Bahaya Longsor/Landslide Hazard Evaluation Factor (LHEF) LHEF adalah sistem pengkelasan numerikal pada faktor-faktor penyebab longsoran yang utama. Faktor-faktor tersebut meliputi kemiringan lereng, litologi, relief relatif, kebasahan lahan, dan tutupan lahan. Faktor-faktor pemicu seperti curah hujan dan seismik tidak termasuk faktor yang digunakan dalam metode ini. Nilai maksimum untuk masing faktor berbeda, tergantung seberapa besar faktor tersebut dapat mempengaruhi suatu lereng untuk mengalami longsoran. Nilai maksimum untuk jumlah seluruh faktor (total bobot) adalah 1 atau 100 % yang diperoleh dari hasil proses hirarki analitik atau Analytic Hierarchy Process (AHP). Nilai 1 atau 100% menunjukkan kondisi yang memiliki tingkat kerentanan longsoran sangat tinggi. Berikut ini adalah uraian mengenai rincian faktor-faktor yang digunakan dalam skala pengkelasan LHEF: a. Kemiringan Lereng Sudut kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk antara bidang permukaan tanah dengan bidang normal. Besar kecilnya kemiringan lereng di suatu area dipengaruhi oleh sejarah proses geomorfologi. Setiap unit kemiringan lereng menunjukkan proses dan kontrol yang terjadi di daerah tersebut. Peta kemiringan lereng dibuat dari peta topografi yang dibagi berdasarkan banyaknya garis kontur yang melewati satu lereng. Kemiringan lereng pada metode ini dikelaskan menjadi lima kelas yaitu sangat terjal (> 45 derajat), terjal 54

3 (35 45 derajat), sedang (25 35 derajat), landai (15 25 derajat) dan sangat landai (< 15 derajat). b. Litologi Kondisi litologi diperoleh dari peta geologi yang telah dipetakan langsung di lapangan oleh peneliti. Jenis litologi sangat berpengaruh terhadap kemungkinan suatu lereng untuk longsor. Sebagai contoh, batuan seperti kuarsit, batugamping, dan batuan beku merupakan batuan yang keras, kompak, dan tahan terhadap erosi sehingga kecil kemungkinan terjadi longsoran pada daerah dengan litologi ini. Sebaliknya, batuan sedimen campuran lunak dan sangat mudah tererosi memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk longsor. c. Relief Relatif Relief relatif adalah besaran yang menunjukkan kekasaran morfologi permukaan suatu daerah. Pada metode ini relief relatif ditunjukkan dengan selisih ketinggian antara puncak tertinggi dan lembah yang paling rendah pada satu individu faset. Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (<100 m), sedang ( m) dan tinggi (> 300 m). d. Kebasahan Lahan Airtanah pada daerah berbukit umumnya mengalir pada saluran jalur diskontinuitas, sehingga air tanah di daerah berbukit tidak memiliki pola aliran yang seragam. Analisis perilaku air tanah pada daerah yang sangat luas dan pada kondisi seperti ini sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu untuk melakukan analisis kondisi airtanah dengan dengan alokasi waktu yang lebih kecil, maka dilakukan analisis terhadap kondisi keairan permukaan. Analisis kondisi keairan pada permukaan diharapkan dapat mempresentasikan kondisi air tanahnya. Kondisi keairan permukaan pada metode ini dikelaskan menjadi lima yaitu kering, lembab, basah, jenuh dan merembes. e. Tutupan Lahan Tutupan lahan adalah salah satu indikasi tidak langsung dari kestabilan lereng. Lahan gundul dan lahan yang jarang tanaman akan cepat tererosi sehingga menyebabkan lereng menjadi tidak stabil. Sebaliknya, lahan yang ditanami banyak tumbuhan akan lebih resisten terhadap erosi, sehingga lerengnya lebih stabil. Hutan secara umum dapat mengurangi akibat dari pengaruh iklim terhadap lereng, dan melindunginya terhadap erosi. Akar yang tertanam kuat 55

4 dapat membuat permukaan menjadi lebih sukar untuk bergerak. Pertanian secara umum dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng yang rendah walaupun terkadang juga dilakukan pada lereng yang sedikit terjal. Bagaimanapun, lahan pertanian adalah area yang mengalami pengairan berulang yang diperkirakan stabil. 4.3 Metode Proses Hirarki Analitik/Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode AHP dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan bobot dan nilai maksimum untuk jumlah semua faktor yang diperoleh dari penilaian perbandingan antara satu faktor dengan faktor lainnya dalam sebuah matriks perbandingan atau matriks pairwise comparison. Penilaian matriks perbandingan dilakukan oleh para ahli geologi teknik yang telah berpengalaman meneliti longsoran di berbagai tempat. Dalam penelitian ini peneliti memakai pendapat Ercanoglu et al. (2005), yang telah memakai metode AHP dalam penentuan tingkat kerentanan longsoran di kawasan Laut Hitam, Turki. Ercanoglu et al. (2005) melakukan penelitian tingkat kerentanan longsoran dengan memberikan penilaian ke dalam tujuh buah matriks perbandingan yang diambil dari tujuh pendapat para ahli longsoran. Masing-masing dari tujuh ahli longsoran tersebut, memberikan penilaian tingkat kerentanan longsoran dalam sebuah matriks perbadingan. Untuk proses yang dilakukan pada daerah penelitian dengan metode AHP ini, dilakukan perhitungan rata-rata dari tujuh pendapat para ahli, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah matriks perbandingan (Tabel 4.1). Dalam perhitungan metode AHP ini digunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Tabel 4.1. Matriks perbandingan pengaruh faktor kerentanan longsoran, yang diambil dari pendapat tujuh ahli longsoran setelah dirata-ratakan. 56

5 Keterangan: A = Kemiringan Lereng B = Litologi C = Relief Relatif D = Kebasahan Lahan E = Tutupan Lahan Matriks perbandingan dibuat untuk menentukan bobot prioritas masing-masing faktor yang merupakan inti dari AHP. Dalam penentuan bobot prioritas dilakukan lagi pengolahan data dari suatu matriks baru hasil normalisasi. Matriks normalisasi didapat dari individu elemen dibagi total kolom pada matriks perbandingan. Penentuan bobot prioritas didapat dari penjumlahan tiap baris matriks dibagi dengan jumlah n matriks. Total bobot prioritas yang didapat adalah 1 atau 100% yang merupakan nilai maksimum untuk jumlah seluruh faktorfaktor penyebab longsoran(tabel 4.2). Bobot prioritas yang telah didapatkan akan diolah didalam metode berikutnya yaitu Sistem Informasi Geografis yang berfungsi sebagai alat pengolahan data. Tabel 4.2. Normalisasi dari matriks perbandingan dan penentuan bobot prioritas. Keterangan: A = Kemiringan Lereng B = Litologi C = Relief Relatif D = Kebasahan Lahan E = Tutupan Lahan 57

6 Konsistensi pebandingan ditinjau per matriks perbandingan untuk memastikan bahwa urutan prioritas yang dihasilkan dari suatu rangkaian perbandingan masih berada dalam preferensi yang logis. Setelah melakukan perhitungan bobot prioritas langkah selanjutnya adalah pengujian konsistensi matriks perbandingan. Dalam perkembangan akan dilakukan pengujian rasio konsistensi. Pengujian rasio konsistensi dimulai dengan mengetahui principal eigen value maksimum. Untuk mendapatkan nilai tersebut harus didapatkan nilai eigen dengan prinsip perkalian matriks yaitu baris dikali kolom. Matriks perbandingan dikali dengan matriks bobot priroritas yang akan menghasilkan matriks nilai eigen. Nilai eigen ini merepresentasikan kisaran angka dari masing-masing elemen principal eigen dan frekuensi maksimum. Setelah didapatkan nilai eigen, akan ditentukan nilai principal eigen yang didapat dari pembagian tiap elemen matriks nilai eigen dengan tiap elemen matriks bobot prioritas pada baris yang sama. Matriks principal eigen yang telah didapat berupa matriks n baris dan 1 kolom, selanjutnya matriks tersebut dirata-ratakan berdasarkan jumlah baris. Nilai rata-rata ini merupakan principal eigen value maksimum (λ maks ). Perhitungan principal eigen value maksimum (λ maks ) adalah sebagai berikut. 2, : 0, = 5, , : 0, = 5, , : 0, = 5, , : 0, = 5, , : 0, = 5, = 26,7129 λ maks = 26,7129/5 = 5, Tahapan berikutnya setelah mendapatkan principal eigen value maksimum adalah menentukan indeks konsistensi yang didapat dari rumus λ maks n/n 1. Setelah didapat indeks konsistensi, maka peneliti dapat menentukan rasio konsistensi. Rasio konsistensi merupakan pembagian indeks konsistensi dengan Random Index. Untuk melakukan 58

7 perhitungan ini diperlukan bantuan tabel Random Index (RI) yang nilainya untuk setiap n matriks dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.3 Random Index untuk tiap n matriks Indeks Konsistensi = λ maks n/n 1 = 5, /5 1 = 0, Rasio Konsistensi = Indeks Konsistensi/Random Index = 0, /1,12 untuk matriks n = 5 maka RI = 1,12 = 0, hasil cukup konsisten Hasil pengujian rasio konsitensi didapat nilai 0, yang merepresentasikan nilai yang konsisten dari suatu matriks perbandingan. Hal ini didasarkan pada matriks perbandingan yang memiliki faktor-faktor kerentanan longsoran dengan intensitas pengaruh suatu faktor terhadap faktor lainnya masih logis. Hal ini akan berbeda hasilnya jika intensitas pengaruh suatu faktor terhadap faktor lainnya memiliki intensitas yang sama atau dalam matriks perbandingan semua elemen akan bernilai 1, maka rasio konsistensi yang didapat akan bernilai 0 yang merepresentasikan tidaknya suatu pengaruh terhadap pengaruh lainnya. Selain itu, jika intensitas pengaruh suatu faktor terhadap faktor lainnya memiliki intensitas yang mutlak lebih berpengaruh daripada faktor lainnya atau dalam matriks perbandingan akan membentuk sebuh diagonal bernilai 1 sementara elemen lain memiliki nilai tinggi yang relatif sama, maka akan didapat nilai rasio konsistensi lebih dari 0,1 yang merepresentasikan suatu faktor mutlak lebih berpengaruh daripada faktor lainnya, artinya faktor yang lain tidak memiliki pengaruh apapun atau tidak dapat dibandingkan dengan faktor lainnya sehingga terdapat sebuah inkonsistensi (Saaty, 1988). 59

8 4.4 Sistem Informasi Geografis/Geographic Information System (GIS) Metode ini merupakan bagian dari pengolahan data yang telah diperoleh dari klasifikasi Anbalagan (1992) dan metode AHP. Data-data yang telah didapat dari dua metode sebelumnya diolah dengan menggunakan perangkat lunak GIS seperti ArcGIS 9.3, Er Mapper 7.0, dan Global Mapper Pengolahan Data Data yang digunakan dan diolah dalam penelitan ini adalah data-data spasial. Data spasial tersebut berupa peta-peta tematik dan citra satelit. Peta-peta tematik yang digunakan sebagai data adalah peta kemiringan lereng, peta geologi, peta relief relatif. Peta-peta tematik ini tdak didapatkan murni sebagai data sekunder, tetapi sebagai data mentah yang harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan peta-peta tematik data yang dibutuhkan dalam zonasi kerentanan longsoran dengan klasifikasi Anbalagan (1992). Sedangkan citra satelit digunakan untuk membuat peta tutupan lahan dan peta kebasahan lahan melalui proses remote sensing. Proses-proses remote sensing tersebut meliputi metode NDVI (Normalized Difference Vegetation index) dan Tasseled Cap. Keseluruhan data-data mentah ini diperoleh dari berbagai sumber antara lain Bakosurtanal dan Pusat Survei Geologi, USGS dan sebagainya. Data yang didapatkan dari Bakosurtanal adalah peta digital yang berisikan data ketinggian (topografi), dan data tata guna lahan. Data citra satelit didapat dari USGS dan Pusat Survei Geologi. Data yang didapatkan dari pemetaan langsung di lapangan adalah data geologi. Peta-peta tematik yang telah diproses, disamakan terlebih dahulu menjadi skala 1 : agar tidak terjadi kesalahan data pada saat tumpang tindih, dan juga dilakukan penyamaan sistem koordinat peta menjadi sistem koordinat Universal Tranverse Mercator (UTM), Zona 48S, WGS Data diolah dengan menggunakan metode GIS, sehingga data yang akan diolah sebelumnya harus dikalibrasi, disamakan, dan disesuaikan ke dalam format digital yang sama, yaitu ke dalam format ESRI Shape (.shp) pada perangkat lunak ArcGIS. Pengolahan data yang dilakukan adalah pengolahan data menjadi faktor-faktor yang mengontrol terjadinya longsoran dengan menggunakan klasifkasi pengkelasan LHEF (Landslide Hazard Evaluaton Factor). Data-data yang digunakan, dijumlahkan nilai bobot penyebab longsoran, sehingga memiliki satu nilai dari kelima faktor. Faktor-faktor tersebut adalah : 60

9 1. Kemiringan lereng, yang diolah dari peta topografi. 2. Litologi, yang diolah dari peta geologi. 3. Relief relatif, yang diolah dari peta topografi. 4. Tutupan lahan, yang diolah dari citra satelit. 5. Kebasahan lahan, yang diolah dari citra satelit. Proses yang dilakukan setelah mendapat peta-peta faktor penyebab longsoran adalah memasukkan nilai-nilai hasil pembobotan dari AHP pada dengan metode weighted overlay pada spatial analyst tools yang ada pada perangkat lunak ArcGIS. Setelah itu, akan didapatkan peta kerentanan longsoran di daerah penelitian, seperti yang ditunjukkan pada diagram alir (lihat Gambar 4.1) Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng pada klasifikasi Anbalagan (1992) didefinisikan dengan derajat lereng. Derajat lereng adalah rasio antara tinggi lereng (vertikal) dan panjang lereng (horizontal). Data yang digunakan dalam pembuatan peta kemiringan lereng ini adalah peta topografi dan administrasi digital dari Bakosurtanal tahun Perangkat lunak yang digunakan untuk menghasilkan peta kemiringan lereng adalah ArcGIS. Fasilitas yang digunakan pada perangkat lunak ini adalah konversi peta digital topografi menjadi peta kemiringan lereng dengan metode Triangulated Irregular Network (TIN). TIN adalah metode penentuan besar dan arah kemiringan lereng dengan menggunakan tiga titik data. Dari tiga titik tersebut dihitung arah dari lereng beserta kemiringannya. Hasil akhirnya adalah sebuah peta kemiringan lereng. Pada peta tersebut telah dikelaskan nilai-nilai kemiringan sesuai dengan skema pengkelasan LHEF pada klasifikasi Anbalagan (1992). Terdapat lima kelas kemiringan lereng yaitu di bawah 15 derajat, 16 sampai 25 derajat, 26 sampai 35 derajat, 36 sampai 45 derajat, dan lebih besar dari 45 derajat (Gambar 4.2). 61

10 BT PETA KEMIRINGAN LERENG Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT LS Desa Kanangasari KETERANGAN: = <15 = Desa Sumur Bandung = = Desa Nyalindung = >45 = Jalan Raya = Jalan Tol = Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan = Sungai = Garis Kontur = Titik Ketinggian Gambar 4.2. Peta faktor kemiringan lereng Litologi Litologi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam hal kerentanan longsoran. Dalam hal ini yang berpengaruh adalah tingkat kekerasan dan kesolidan litologi tertentu. Batuan yang memiliki sifat keras, kompak dan masif seperti batuan beku akan memilki faktor kerentanan longsoran yang rendah. Sebaliknya batuan yang cenderung bersifat lunak, tidak solid dan mudah terkikis seperu batulempung, batulanau, dan serpih akan memiliki faktor kerentanan yang tinggi. Data yang digunakan untuk faktor litologi adalah peta geologi yang dipetakan langsung di lapangan (Gambar 4.3). Informasi yang didapat dari peta geologi untuk faktor litologi adalah satuan batuan di daerah penelitian. Dalam pengolahan data faktor litologi, peneliti mengolah peta geologi ke dalam bentuk peta digital yang terdiri dari batas area, koordinat dan informasi daerah tersebut. Kondisi litologi tersebut menjadi sumber peninjauan pengkelasan yang disesuaikan dengan pengkelasan LHEF pada klasifikasi Anbalagan (1992). Pada pengkelasan ini, batuan yang tidak solid dan mudah bergerak seperti batulempung, batulanau, serpih, dan tuf diberi nilai pengkelasan tinggi, yang menandakan daerah tersebut memiliki kerentanan tinggi terhadap longsoran jika ditinjau dari sudut pandang litologi. Sebaliknya, batuan-batuan yang solid dan masif seperti andesit memiliki nilai pengkelasan yang rendah, yang menunjukkan bahwa daerah tersebut jika ditinjau dari sudut pandang litologinya memiliki kerentanan yang rendah terhadap longsoran. 62

11 BT PETA PENYEBARAN LITOLOGI Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT LS Desa Kanangasari KETERANGAN: = Tuf = Lava Andesit Desa Sumur Bandung = Breksi Piroklastik = Batulempung II Desa Nyalindung = Batupasir = Breksi = Batulempung I = Jalan Raya = Jalan Tol = Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan = Sungai = Garis Kontur (interval 50 m) = Titik Ketinggian Gambar 4.3. Peta Faktor Penyebaran Litologi Relief Relatif Relief relatif adalah besaran yang menunjukkan kekasaran morfologi permukaan suatu daerah. Pada metode ini relief relatif ditunjukkan dengan selisih ketinggian antara puncak tertinggi dan lembah yang paling rendah dalam satu faset. Data yang digunakan untuk relief relatif ini adalah peta topografi digital bakosurtanal tahun Dari data garis topografi tersebut diambil nilai titik tingginya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Proses ini dilakukan dengan cara mengekstrak data-data vektor berupa point dari peta topografi digital yang menunjukkan titik ketinggian daerah penelitian. Data vektor berupa point yang telah diekstrak memiliki data tabulasi berupa koordinat x, koordinat y, dan ketinggian titik tersebut. Data titik ketinggian yang telah diekstrak selanjutnya dioverlay dengan data face slope dan face elevation untuk mengetahui puncak punggungan dan lembah terendah serta mendapatkan faset-faset kecil yang berupa data TIN. Setiap faset-faset kecil memiliki nilai titik-titik ketinggian yang berbeda, oleh karena itu peneliti mengintegrasikan titik ketinggian tersebut ke dalam atribut faset sehingga satu faset kecil hanya memiliki satu buah titik data. Setelah didapat atribut faset, dilakukan penyelisihan nilai ketinggian antara puncak 63

12 punggungan dan lembah terendah dalam satu faset yang datanya diambil dari atribut fasetfaset kecil. Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (<100 m), sedang ( m) dan tinggi (> 300 m), untuk di daerah penelitian hanya memiliki dua kelas yaitu rendah dan sedang (Gambar 4.4). Dapat dilihat daerah baratlaut penelitian memiliki relief yang kasar pada kelas sedang, karena memiliki punggungan yang membentang dengan timurlaut barat daya dan di antara punggungan tersebut terdapat lembah yang memiki nilai ketinggian yang cukup rendah BT PETA RELIEF RELATIF Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT LS Desa Kanangasari KETERANGAN: = <100 m = >100 m Desa Sumur Bandung Desa Nyalindung = Jalan Raya = Jalan Tol = Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan = Sungai = Garis Kontur = Titik Ketinggian Gambar 4.4. Peta faktor relief relatif Kebasahan Lahan Kebasahan lahan dikontrol oleh seberapa besar kadar air yang terdapat pada permukaan lahan. Untuk mendapatkan kebasahan, pendekatan dilakukan menggunakan citra satelit. Pengolahan data yang digunakan adalah menggunakan Metode Tasseled Cap. Citra satelit yang sebelumnya memiliki delapan band panjang gelombang sebagai atributnya, diproses untuk mendapatkan atribut Tasseled cap dengan perangkat lunak Er Mapper. Atribut tersebut adalah greenes, wetness, dan brightness. Atribut yang diambil adalah wetness diambil untuk mengetahui kebasahan lahan daerah penelitian. Atribut wetness pada citra satelit yang telah diolah, diidentifikasi dengan metode klasifikasi unsupervised classification dengan sebelumnya melakukan koreksi radiometrik citra untuk objek air. 64

13 Citra satelit yang telah diklasifikasi dan diidentifikasi menghasilkan peta kebasahan lahan yang selanjutnya dikelaskan menurut pengkelasan LHEF dari klasifikasi Anbalagan (1992). Terdapat lima kelas yaitu merembes, jenuh, basah, lembab dan kering (Gambar 4.5) BT LS Desa Kanangasari Desa Mandalasari PETA KEBASAHAN LAHAN DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT KETERANGAN: = Merembes = Jenuh Desa Sumur Bandung = Basah = Lembab Desa Nyalindung Gambar 4.5. Peta faktor kebasahan lahan = Kering = Jalan Raya = Jalan Tol = Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan = Sungai = Garis Kontur (interval 50 m) = Titik Ketinggian Tutupan Lahan Peta tutupan lahan ini menggunakan pengkelasan seberapa besar kerapatan tutupan tumbuhan pada suatu area. Data yang digunakan pada pengolahan faktor tutupan lahan ini adalah berupa data raster yaitu Citra Satelit Landsat ETM+ 8 band dari USGS (2003) dengan band 3 dan 4 sebagai data olahan. Citra yang beratribut 8 band diolah dengan menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Perangkat lunak yang digunakan untuk metode NDVI adalah Er Mapper. Metode NDVI menggunakan data olahan band 4 yang memiliki kemampuan aplikasi mengetahui survei biomassa dan delineasi tubuh air, sedangkan band 3 memiliki kemampuan aplikasi membedakan tingkat absorbsi klorofil pada vegetasi. Setelah itu dilakukan klasifikasi citra dengan metode identifikasi berupa supervised classification menggunakan peta tata guna lahan digital Bakosurtanal (2002), Google Earth, dan observasi vegetasi peneliti selama melakukan pemetaan geologi di lapangan. Citra satelit yang telah diklasifikasi dan diidentifikasi menghasilkan peta tutupan lahan, selanjutnya dikelaskan menurut pengkelasan LHEF dari klasifikasi Anbalagan (1992). 65

14 Terdapat empat kelas yaitu vegetasi rapat, vegetasi sedang, vegetasi jarang, dan lahan gundul (gambar 4.6) BT LS Desa Kanangasari Desa Mandalasari PETA TUTUPAN LAHAN DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT KETERANGAN: = Vegetasi Rapat = Vegetasi Sedang Desa Sumur Bandung = Vegetasi Jarang = Lahan Gundul Desa Nyalindung = Jalan Raya = Jalan Tol = Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan LS = Sungai = Garis Kontur (interval 50 m) = Titik Ketinggian Gambar 4.6 Peta faktor tutupan lahan Peta Kerentanan Longsoran Peta kerentanan longsoran merupakan hasil penjumlahan dari peta-peta faktor menurut LHEF pada klasifikasi Anbalagan. Kelima faktor yang ada dilakukan pembobotan yang didapat dari hasil proses hirarki analitik, kemudian dilakukan metode tumpang tindih pada pengolahan data di GIS, sehingga membentuk satu peta kerentanan longsoran dengan empat atribut.pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS dengan fasilitas weighted overlay pada spatial analysis tools. Fasilitas yang tersedia pada perangkat lunak dapat membuat satu penggabungan peta dari kelima faktor yang telah diproses. Kemudian, kelima faktor tersebut dijumlahkan dan dipersentase untuk mendapat tingkat kerentanan longsoran daerah penelitian. Peta kerentanan longsoran kemudian diklasifikasikan berdasarkan nilai dan persentase. Setiap daerah-daerah kecil pada daerah penelitian memiliki nilai dan persentase yang berbeda. Nilai dan persentse yang tinggi menunjukkan tingkat kerentanan longsoran yang sangat tinggi. Tingkat kerentanan longsoran diklasifikasikan ke dalam 4 tingkat kerentanan yaitu kerentanan sangat tinggi, kerentanan tinggi, kerentanan sedang dan kerentanan rendah. Hasil akhir dari keseluruhan pengolahan data adalah peta kerentanan longsoran dari 66

15 perpaduan klasifikasi Anbalagan (1992) untuk pengkelasan dan metode proses hirarki analitik untuk pembobotan yang diolah dan dianalisis dengan menggunakan sistem informasi geografis BT PETA KERENTANAN LONGSORAN Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT LS Desa Kanangasari KETERANGAN: = Kerentanan Sangat Tinggi = Kerentanan Tinggi Desa Sumur Bandung = Kerentanan Sedang = Kerentanan Rendah Desa Nyalindung = Jalan Raya = Jalan Tol = Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan = Sungai = Garis Kontur (interval 12,5 m) = Titik Ketinggian Gambar 4.7. Peta kerentanan longsoran. 4.5 Tingkat Kerentanan Longsoran Proses pengolahan data yang dimulai dari pengkelasan dengan klasifikasi Anbalagan (1992), dilanjutkan dengan pembobotan dengan metode AHP, dan pengolahan data dengan GIS telah sampai pada tahap zonasi tingkat kerentanan longsoran di daerah penelitian. Terdapat empat tingkat kerentanan longsoran, yaitu kerentanan longsoran sangat tinggi, kerentanan longsoran tinggi, kerentanan longsoran sedang, dan kerentanan longsoran rendah. 1. Tingkat Kerentanan Rendah Tingkat kerentanan ini memiliki luas sekitar 9,15 km 2 atau 28,15% daerah penelitian. Daerah ini secara umum dikontrol oleh litologi breksi piroklastik dan memiliki kemiringan lereng yang relatif landai (kurang dari 15 hingga 25 ), kondisi relief yang relatif halus, kondisi kebasahan yang agak lembab, serta kerapatan vegetasi yang sedang hingga rapat. 2. Tingkat Kerentanan Sedang Tingkat kerentanan ini memiliki luas sekitar 11,5 km 2 atau 35,3% daerah penelitian. Daerah ini secara umum dikontrol oleh berbagai litologi seperti breksi 67

16 piroklasik, andesit, batulempung, dan tuf. Kemiringan lereng pada daerah ini juga bervariasi mulai dari 15 hingga lebih dari 45 dan relief yang bergelombang. Kondisi kebasahan relatif lembab hingga basah, serta kerapatan vegetasi yang sedang hingga rapat. 3. Tingkat Kerentanan Tinggi. Tingkat kerentanan ini memiliki luas sekitar 10, 8 km 2 atau 33,2% daerah penelitian. Daerah ini secara umum dikontrol oleh berbagai litologi seperti tuf, batulempung, andesit, dan batupasir. Kemirngan lereng di daerah ini umumnya di atas 25 dan dominan daerah terjal, serta relief yang kasar. Kondisi kebasahan relatif basah hingga jenuh, bahkan di bagian timur laut sudah mulai area merembes. Kerapatan vegetasi sedang, tetapi di beberapa tempat terdapat lahan gundul karena terjadinya pembukaan lahan. 4. Tingkat kerentanan tinggi Tingkat kerentanan ini memliki luas sekitar 1,05 km 2 atau 3,2% daerah penelitian. Daerah ini secara umum dikontrol oleh litologi batupasir, breksi, dan breksi piroklastik. Kemiringan lereng pada daerah ini umumnya di atas 35 dan sangat didominasi daerah terjal, serta relief yang kasar. Kondisi kebasahan di daerah ini merupakan daerah yang basah hingga jenuh. Kerapatan vegetasi umumnya jarang hingga sedang. Dari hasil tingkat kerentanan longsoran yang dihasilkan, dapat dilihat bahwa kemiringan lereng merupakan pengontrol utama terjadinya suatu longsoran dan menentukan tingkat kerentanan longsoran di suatu daerah. Lereng yang terjal serta relief yang kasar akan memudahkan batuan atau tanah mengalami gelinciran, aliran, ataupun jatuhan akibat adanya gaya gravitasi. Litologi juga merupakan salah satu pengontrol yang menyebabkan terjadinya suatu longsoran. Litologi yang lunak, mudah lapuk, dan rentan hancur akan menyebabkan suatu daerah rentan mengalami kejadian longsoran. Akan tetapi, tidak semua litologi yang lunak rentan terhadap longsoran apabila kemiringan lereng landai, dan kondisi keairan cukup kering. Kebasahan lahan akan membuat pengaruh yang cukup kuat terhadap kerentanan suatu daerah untuk longsor. Daerah yang jenuh dan memiliki rembesan air akan rentan terhadap longsoran, dan hal ini akan sangat mendukung terjadinya longsoran apabila berada pada lereng yang terjal atau litologi lunak, karena air apabila sudah jenuh dan merembes akan 68

17 mendesak tanah atau batuan untuk bergerak. Akan tetapi, kondisi keairan ini dapat dapat diimbangi dengan rapatnya vegetasi. Vegetasi yang rapat dengan tumbuhan yang keras akan membuat air diserap oleh akar tanaman. Meskipun demikian, rapatnya vegetasi tidak mutlak dapat menahan terjadinya longsoran apabila litologi yang ada dominan lunak, lereng terjal dan kondisi keairan mulai jenuh, karena banyak kasus kejadian longsoran juga terjadi pada daerah hutan. 4.6 Verifikasi Lapangan Verifikasi lapangan pada penelitian ini dilakukan untuk melihat dan memvalidasikan peta tingkat kerentanan longsoran yang telah dibuat dengan kondisi-kondisi yang ada di lapangan. Hal ini dilakukan dengan meninjau dan melihat langsung ke lapangan. Lokasi yang memilki tingkat kerentanan longsoran yang sangat tinggi berada di timurlaut daerah penelitian (Gambar 4.8). Lokasi tersebut merupakan area persawahan, perkebunan, hutan, dan sebagian pemukiman penduduk. Longsoran yang ditemukan pada daerah timurlaut cukup banyak, dan umumnya berada di area perkebunan dan persawahan. Secara umum, peta kerentanan longsoran yang telah dibuat menunjukkan hasil yang hampir sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan, seperti yang ada di bagian barat laut hingga utara daerah penelitian (Gambar 4.9). Daerah-daerah lain yang diidentifikasi memiliki kerentanan tinggi dan sedang, terdapat lereng kritis dan tidak stabil yang memungkinkan untuk longsor (Gambar 4.10). Sedangkan pada daerah yang diidentifikasi memilki kerentanan rendah, umumnya memiliki lereng yang tidak terjal dan terlihat lereng yang stabil, serta kejadian longsoran yang jarang terjadi (Gambar 4.11). Gambar 4.8. Longsoran pada zonasi tingkat kerentanan tinggi di Kampung Tapos Girang yang berada di timur laut daerah penelitian. Longsoran yang terjadi sering mengakibatkan rusaknya area persawahan masyarakat. 69

18 Gambar 4.9. Lereng yang menggantung dan rentan untuk terjadi longsoran pada zonasi tingkat kerentanan tinggi di kampung Cihuni (gambar kiri) yang berada di baratlaut daerah penelitian, dan lereng kritis yang berada di Perkebunan Maswati yang berada di utara daerah penelitian. Gambar Lereng kritis pada zonasi tingkat kerentanan sedang yang berada di Kampung Ciasri (gambar kiri) dan di Perkebunan Maswati (gambar kanan). 70

19 Gambar Contoh lereng yang stabil pada bagian persawahan yang berada pada zona tingkat kerentanan rendah di Kampung Cinangsi. Lereng yang tidak terjal menjadi salah satu faktor area ini jarang mengalami longsoran. 71

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1. Zonasi Kerawanan Longsoran Proses pengolahan data sampai ke tahap zonasi tingkat kerawanan longsoran dengan menggunakan Metode Anbalagan (1992) sebagai acuan zonasi dan SIG

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang paling sering mengalami kejadian longsoran di Indonesia. Kondisi iklim tropis yang mempengaruhi tingginya curah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN

BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN 4.1. ANALISIS GEOMORFOLOGI 4.1.1 Pola Aliran Sungai dan Tipe Genetik Sungai Interpretasi pola aliran dapat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Metodologi Penelitian ini bertujuan untuk melakukan zonasi kerawanan longsoran. Zonasi kerawanan longsoran adalah sebuah sistem untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Berikut adalah metode penelitian yang diusulkan : Pengumpulan Data Peta Curah Hujan tahun Peta Hidrologi Peta Kemiringan Lereng Peta Penggunaan Lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geomorfologi adalah salah satu hal yang menjadi dasar dalam ilmu geologi, karena geomorfologi dapat dijadikan panduan dalam pemetaan geologi, selain itu pengamatan

Lebih terperinci

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tugas akhir merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tingkat sarjana (S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan oleh : Andhika Eky Saputra NIM

SKRIPSI. Diajukan oleh : Andhika Eky Saputra NIM GEOLOGI DAN PETA KERENTANAN LONGSORAN DENGAN METODE PROSES HIRARKI ANALITIK DI DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG BARAT, PROVINSI JAWA BARAT SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

Analisis Kerentanan Longsoran Menggunakan Proses Hirarki Analitik di Daerah Sukatani dan Sekitarnya, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat

Analisis Kerentanan Longsoran Menggunakan Proses Hirarki Analitik di Daerah Sukatani dan Sekitarnya, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat JLBG JURNAL LINGKUNGAN DAN BENCANA GEOLOGI Journal of Environment and Geological Hazards ISSN: 2086-7794, e-issn: 2502-8804 Akreditasi LIPI No. 692/AU/P2MI-LIPI/07/2015 e-mail: jlbg_geo@yahoo.com - http://jlbg.geologi.esdm.go.id/index.php/jlbg

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat merugikan manusia. Kebencanaan geologi mengakibatkan kerusakan infrastruktur maupun korban manusia,

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG PETA KERAWANAN LONGSORAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANBALAGAN DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI : STUDI KASUS DI BAGIAN BARAT KECAMATAN CILILIN, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT TUGAS AKHIR Disusun sebagai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pulau Jawa merupakan busur gunungapi memanjang barat-timur yang dihasilkan dari pertemuan lempeng Eurasia dan Hindia-Australia. Kondisi geologi Pulau Jawa ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di Kecamatan Salaman mencapai 68.656 jiwa dengan kepadatan penduduk 997 jiwa/km 2. Jumlah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo DATA DEM DALAM ANALISIS MORFOMETRI (Aryadi Nurfalaq, S.Si., M.T) 3.1 Morfometri Morfometri merupakan penilaian kuantitatif terhadap bentuk lahan, sebagai aspek pendukung morfografi dan morfogenetik, sehingga

Lebih terperinci

Suryanti Nur M. Farda

Suryanti Nur M. Farda APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KERAWANAN LONGSOR LAHAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG Suryanti suryanti93@mail.ugm.ac.id Nur M. Farda farda@geo.ugm.ac.id Abstract Many

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gununghalu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung Barat yang terletak di bagian selatan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Cianjur. Bentang alamnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 18 BAB III METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah cara yang digunakan peneliti dalam menggunakan data penelitiannya (Arikunto, 2006). Sedangkan menurut Handayani (2010), metode

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Tanah longsor adalah salah satu bencana yang berpotensi menimbulkan korban jiwa masal. Ini merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. Berbagai potensi bencana alam seperti gempa, gelombang tsunami, gerakan tanah, banjir, dan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi di daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi peta topografi, citra SRTM, citra DEM,

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Rembang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang terdiri dari endapan Neogen silisiklastik dan karbonat. Stratigrafi daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir adalah matakuliah wajib dalam kurikulum pendidikan sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah PENDAHULUAN 1.1 Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI 13-7124-2005 Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Sleman mencapai 1.939 jiwa/km 2. Di

Lebih terperinci

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya gravitasi. Tanah longsor sangat rawan terjadi di kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seorang ahli geologi merupakan salah satu sumber daya manusia yang berperan sebagai pemikir untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Lokasi yang menjadi objek penelitian adalah Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) sapi perah Kabupaten Bogor seluas 94,41 hektar, berada dalam dua wilayah yang berdekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kawasan Bandung Utara terbentuk oleh proses vulkanik Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Perahu pada kala Plistosen-Holosen. Hal tersebut menyebabkan kawasan ini tersusun

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424, 021-5228371

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA PENENTUAN ZONA ANCAMAN GERAKAN TANAH PADA JALAN TOL SEMARANG SOLO RUAS SEMARANG UNGARAN KM 5+600 KM 8+500 MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Devina Trisnawati 1,2*, Wahyu Wilopo 2, Agung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN SURVEY RAWAN BENCANA DI WILAYAH PEMBANGUNAN III KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA

PEMETAAN DAN SURVEY RAWAN BENCANA DI WILAYAH PEMBANGUNAN III KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA PEMETAAN DAN SURVEY RAWAN BENCANA DI WILAYAH PEMBANGUNAN III KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI BIDANG BINA PENGEMBANGAN GEOLOGI DAN SUMBERDAYA MINERAL Latar Belakang Secara

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut Pemetaan titik-titk longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Titik-titik longsor yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perencanaan pembangunan, pendekatan wilayah merupakan alternatif lain dari pendekatan sektoral yang keduanya bisa saling melengkapi. Kelebihan pendekatan wilayah

Lebih terperinci

ZONASI DAERAH BAHAYA LONGSOR DI KAWASAN GUNUNG TAMPOMAS KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT

ZONASI DAERAH BAHAYA LONGSOR DI KAWASAN GUNUNG TAMPOMAS KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT ZONASI DAERAH BAHAYA LONGSOR DI KAWASAN GUNUNG TAMPOMAS KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT Lucky Lukmantara, Ir. Laboratorium Geologi Lingkungan, Jurusan Geologi, FMIPA, Universitas Padjadjaran ABSTRACT Research

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

Zonasi Tingkatan Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis Kemiringan Lereng dan Analisis Kelurusan Sungai di Daerah Salopa, Kabupaten Tasikmalaya

Zonasi Tingkatan Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis Kemiringan Lereng dan Analisis Kelurusan Sungai di Daerah Salopa, Kabupaten Tasikmalaya Zonasi Tingkatan Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis Kemiringan Lereng dan Analisis Kelurusan Sungai di Daerah Salopa, Kabupaten Tasikmalaya Putra Perdana Kendilo 1, Iyan Haryanto 2, Emi Sukiyah 3, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Batasan Penelitian...

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Batasan Penelitian... DAFTAR ISI Halaman Lembar Pengesahan... ii Abstrak... iii Kata Pengantar... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I PENDAHULUAN... 1.1 Latar Belakang... 1.2

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di kawasan agropolitan Cendawasari, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Kegiatan analisis data dilakukan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama semakin meningkat. Seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia. Dengan kata lain

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif rapat dan terjal. Ketinggian di daerah penelitian berkisar antara 1125-1711 mdpl. Daerah penelitian

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang harus ditanggulangi. Fenomena alam ini menjadi penyebab utama terbentuknya lahan kritis, terutama jika didukung

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas. lampung kepada CV.

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas. lampung kepada CV. BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK 3.1. Persiapan 3.1.1.Persiapan Administrasi a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas lampung kepada CV. Geoplan Nusantara b. Transkrip nilai semester

Lebih terperinci

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep) Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten ) Arfina 1. Paharuddin 2. Sakka 3 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Unhas Sari Pada penelitian ini telah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH LAMPIRAN III KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1452 K/10/MEM/2000 TANGGAL : 3 November 2000 PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH I. PENDAHULUAN Keperluan informasi

Lebih terperinci