KOEFISIEN ABSORPSI DAN ATENUASI CAHAYA DI PERMUKAAN AIR LAUT PADA BERBAGAI MUSIM DENNY ARDLY WIGUNA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KOEFISIEN ABSORPSI DAN ATENUASI CAHAYA DI PERMUKAAN AIR LAUT PADA BERBAGAI MUSIM DENNY ARDLY WIGUNA"

Transkripsi

1 KOEFISIEN ABSORPSI DAN ATENUASI CAHAYA DI PERMUKAAN AIR LAUT PADA BERBAGAI MUSIM DENNY ARDLY WIGUNA DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya di Permukaan Air Laut pada Berbagai Musim adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013 Denny Ardly Wiguna NIM C

4 ABSTRAK DENNY ARDLY WIGUNA. Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya di Permukaan Air Laut pada Berbagai Musim. Dibimbing oleh BISMAN NABABAN dan RISTI ENDRIAN ARHATIN. Pengukuran koefisien absorpsi dan atenuasi cahaya dapat berguna dalam memperkirakan kualitas perairan, karakteristik optik perairan, serta digunakan dalam permodelan bio-optik kelautan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai dan variabilitas koefisien absorpsi dan atenuasi permukaan laut di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko berdasarkan perbedaan musim. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data hasil survei pada tiga musim (semi, panas, dan gugur) antara tahun 1999 dan 2000 dengan menggunakan instrumen AC-9. Pola distribusi spasial dan nilai rata-rata antar wilayah menunjukkan bahwa koefisien absorpsi dan atenuasi secara umum relatif tinggi di sekitar Mississippi dan Mobile, kemudian relatif rendah di sekitar wilayah offshore. Variabilitas yang terjadi disebabkan karena besarnya pengaruh fitoplankton, CDOM, dan detritus terhadap koefisien absorpsi dan atenuasi, terutama di sekitar wilayah Mississippi dan Mobile. Nilai rata-rata koefisien menunjukkan bahwa secara umum koefisien absorpsi dan atenuasi di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko relatif tinggi pada musim panas tahun 1999 (Su-99) dan relatif rendah pada musim semi tahun 2000 (Sp-00). Kata kunci: atenuasi, absorpsi, musim, perairan Timur Laut Teluk Meksiko. ABSTRACT DENNY ARDLY WIGUNA. Absorption and Beam Attenuation Coefficient of Surface Water in Various Seasons. Supervised by BISMAN NABABAN dan RISTI ENDRIAN ARHATIN. Absorption and beam attenuation coefficients measurement can be used in estimating water quality, optical characteristic of water column, also used in marine bio-optical models. This research aimed to determine values and variability of sea surface absorption and attenuation coefficients in northeastern Gulf of Mexico based on various seasons. The research was performed in three different seasons (spring, summer, and fall) between 1999 and 2000 with AC-9 instrument. The spatial distribution and mean values inter-regions showed that absorption and attenuation coefficients were generally relatively high in Missisippi and Mobile, then relatively low in offshore region. The variability were caused by high influence of phytoplankton, CDOM, and detritus toward the absorption and attenuation coefficients, especially in Mississippi and Mobile region. The mean values of coefficients showed that absorption and attenuation coefficients in northeastern Gulf of Mexico generally were relatively high on summer 1999 (Su-99) and relatively low on spring 2000 (Sp-00). Keywords: attenuation, absorption, seasons, northeastern Gulf of Mexico

5 KOEFISIEN ABSORPSI DAN ATENUASI CAHAYA DI PERMUKAAN AIR LAUT PADA BERBAGAI MUSIM DENNY ARDLY WIGUNA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

6

7 Judul Skripsi : Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya di Permukaan Air Laut pada Berbagai Musim Nama : Denny Ardly Wiguna NIM : C Disetujui oleh Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. Pembimbing I Risti E. Arhatin, S.Pi., M.Si. Pembimbing II Diketahui oleh Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Ketua Departemen Tanggal Lulus: 29 Mei 2013

8 PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi. Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan dan motivasi. Selain itu, kepada Bapak Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. dan Ibu Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si selaku Dosen Pembimbing, teman-teman, serta semua pihak yang telah memberikan bimbingan, bantuan, dan sarannya demi kelancaran penyusunan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi bidang ilmu dan teknologi kelautan. Bogor, Mei 2013 Denny Ardly Wiguna

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 3 METODE 3 Waktu dan Lokasi Penelitian 3 Bahan 4 Alat 5 Metode Perolehan Data 6 Metode Pengolahan Data 6 Filter data 7 Koreksi nilai air murni (millique) 8 Koreksi hamburan (scattering correction) 8 Analisis statistik 9 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Variabilitas dan Distribusi Spasial Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya 9 Musim Semi 10 Musim Panas 12 Musim Gugur 16 Variabilitas Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya Antar Musim 19 Gelombang biru 25 Gelombang hijau 27 Gelombang merah 28 SIMPULAN DAN SARAN 32 Simpulan 32 Saran 33 DAFTAR PUSTAKA 33 LAMPIRAN 35 RIWAYAT HIDUP 44

10 DAFTAR TABEL 1 Pelaksanaan cruise research 6 2 Perbandingan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi cahaya antar musim pada panjang gelombang 440, 510, dan 676 nm. 27 DAFTAR GAMBAR 1 Peta lokasi penelitian 4 2 Skema instrumen AC Diagram alir perolehan data 6 4 Diagram alir pengolahan data 7 5 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim gugur tahun Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim gugur tahun Perbandingan spektral nilai rata-rata koefisien absorpsi (gambar atas) dan atenuasi (gambar bawah) antar musim Perbandingan spektral nilai rata-rata koefisien absorpsi (kolom kiri) dan atenuasi (kolom kanan) per wilayah pada tiap musim Pola distribusi spasial & temporal nilai koefisien absorpsi (kolom kiri) dan atenuasi (kolom kanan) pada panjang gelombang 440 nm pada musim berbeda Pola distribusi spasial & temporal nilai koefisien absorpsi (kolom kiri) dan atenuasi (kolom kanan) pada panjang gelombang 510 nm pada musim berbeda Pola distribusi spasial & temporal nilai koefisien absorpsi (kolom kiri) dan atenuasi (kolom kanan) pada panjang gelombang 676 nm pada musim berbeda. 31 DAFTAR LAMPIRAN 1 Listing program koreksi nilai air murni (millique) 35 2 Contoh program MATLAB untuk melakukan koreksi hamburan (scattering correction) 36 3 Rentang dan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi tiap musim 37 4 Box & Whisker plot koefisien absorpsi dan atenuasi 39 5 Tabel uji statistik Kruskal-Wallis 42

11

12 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Absorpsi merupakan proses penyerapan cahaya oleh medium air, komponen terlarut berwarna (colored dissolved organic matter (CDOM)), partikulat (fitoplankton dan non-fitoplankton), dan bahan organik lainnya di dalam air (Babin et al. 2003; D sa and Miller 2002; Jacobson 2005; Kirk 1994; Mobley 1994; Nelson and Guarda 1995; Varkey et al. 2004). Dalam mendefinisikan absorpsi secara kuantitatif, dapat menggunakan kuantitas absorptance (A) yang dirumuskan sebagai berikut (Kirk 1994; Mobley 1994): dimana : A = absorptance a = fluks radiansi yang diserap (W) 0 = fluks radiansi datang (incident) (W) a...(1) Koefisien absorpsi menunjukkan sebagian kecil dari incident light (cahaya datang) yang berinteraksi dengan suatu lapisan pada medium, yang kemudian menyebabkan proses penyerapan (Jacobson 2005; Kirk 1994). Koefisien absorpsi sendiri didefinisikan sebagai absorptance (A) per satuan jarak (Δr), yang secara matematik dirumuskan sebagai berikut (Mobley 1994): a lim Δ Δ... (2) dimana: panjang gelombang (nm), r = ketebalan medium (m). Atenuasi cahaya merupakan akumulasi dari proses kehilangan energi cahaya akibat penyerapan dan penghamburan dari cahaya langsung (direct beam) yang masuk ke medium. Oleh karena itu, penggabungan nilai koefisien absorpsi dan hamburan adalah sama dengan koefisien atenuasi (Jacobson 2005; Kirk 1994; Varkey et al. 2004) yang dirumuskan sebagai berikut: c a b... (3) dimana: a = koefisien absorpsi (m -1 ), b = koefisien hamburan (scattering) (m -1 ). Proses penyerapan dan penghamburan (atenuasi cahaya) termasuk ke dalam inherent optical properties (IOPs). Inherent optical properties tersebut menunjukkan sifat optik perairan yang hanya dipengaruhi oleh keberadaan komponen atau medium dalam perairan (Jacobson 2005; Kirk 1994; Mobley 1994). Ada tiga komponen utama yang mempengaruhi sifat optik di perairan, diantaranya fitoplankton, nonphytoplankton particulate matter (detritus), dan

13 2 colored dissolved organic matter (CDOM) (Arnone et al. 2004; Nelson and Guarda 1995). Fitoplankton dan nonphytoplankton particulate matter (detritus) yang disebutkan di atas, dapat dikelompokkan ke dalam particulate matter. Variasi kandungan dalam kolom air yang disebutkan tersebut dapat menyebabkan energi cahaya yang menembus perairan terus berkurang. Oleh karena itu, koefisien atenuasi cahaya total dapat pula dirumuskan sebagai penjumlahan koefisien atenuasi oleh air murni (pure water), materi partikulat, dan materi organik terlarut yang dirumuskan sebagai berikut (Varkey et al. 2004): dimana : w = pure water p = particulate matter dom = dissolved organic matter c c ( ) c p ( ) c dom... (4) Sifat penyerapan cahaya oleh air umumnya sangat lemah dalam spektrum warna biru dan hijau, namun penyerapannya semakin meningkat dengan semakin meningkatnya panjang gelombang dan hampir menyerap maksimal pada spektrum gelombang merah (Kirk 1994; Mobley 1994). Keberadaan fitoplankton yang mengandung klorofil, karotenoid, dan biliprotein dalam kolom air dapat meningkatkan tingkat absorpsi cahaya (Kirk 1994; Smith 1979 dalam Jensen and Jensen 1998). Penyerapan cahaya oleh fitoplankton umumnya tinggi pada spektrum gelombang biru dan merah (Mobley 1994). CDOM memiliki kontribusi absorpsi yang signifikan pada gelombang near ultraviolet dan panjang gelombang pendek pada spektrum cahaya tampak (Babin et al. 2003; D sa and Miller 2002; Markager and Vincent 2000; Nelson and Guarda 1995). Semakin ke arah laut lepas, absorpsi CDOM umumnya akan menurun (Nelson and Guarda 1995). Partikel detritus memiliki absorpsi yang tinggi pada spektrum gelombang biru, dan mengalami penurunan terhadap peningkatan panjang gelombang (Cleveland 1995; Mobley 1994). Area pantai atau pesisir merupakan wilayah yang memiliki kontribusi yang relatif lebih tinggi akan partikel nonphyoplankton, baik dari run off atau dari dekomposisi in situ (Cleveland 1995). Atenuasi cahaya merupakan parameter yang mempengaruhi variasi warna perairan dan perambatan sinyal dalam penginderaan jauh. Terkait hal ini, komposisi kandungan suatu perairan akan mempengaruhi cahaya yang ditransmisikan, diserap, maupun yang dihamburkan dari perambatan sinyal. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku cahaya sangat dipengaruhi oleh sifat dari medium yang dilalui atau karakteristik dari kolom perairan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengetahuan mengenai atenuasi cahaya dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik suatu kolom perairan. Selain itu, proses atenuasi cahaya juga dapat menyebabkan penetrasi cahaya hanya menembus perairan hingga kedalaman tertentu, dan tidak dapat mencapai perairan yang lebih dalam. Hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat fotosintesis fitoplankton, yang juga berpengaruh terhadap tingkat produktivitas primer di perairan (Liu et al. 2005). Produktivitas primer juga berkaitan erat dengan tingkat klorofil, kimia perairan, dan nutrien yang terkandung dalam suatu perairan (Smith

14 1979). Oleh karena itu, pengukuran atenuasi cahaya juga dapat berguna untuk memperkirakan kualitas perairan. Atenuasi cahaya dalam kolom perairan memainkan peran penting dalam menentukan tingkat kedalaman yang masih dijangkau oleh sensor pada penginderaan jauh untuk pendeteksian dan penguraian variasi spektral reflektansi. Selain itu, pengukuran atenuasi cahaya dapat juga digunakan dalam pemodelan bio-optik dan kalibrasi citra ocean color. Pada pemodelan bio-optik atau algoritma ocean color masih perlu dilakukan untuk validasi data secara kontinu (Babin et al. 2003) dan masih diperlukan dalam meningkatkan keakuratan sensor pada citra ocean color generasi berikutnya (Nelson and Guarda 1995). Namun, pembuatan algoritma ocean color masih perlu pemahaman terkait proses-proses dan mekanisme yang mempenga uhi sinyal dalam penginde aan jauh D sa and Miller 2002). Oleh karena itu, penelitian terkait atenuasi cahaya masih sangat penting untuk dilakukan. Teluk Meksiko merupakan laut semi tertutup yang menghubungkan wilayah Samudera Atlantik melalui Selat Florida di sebelah timur dan Laut Karibia melalui Selat Yucatan di sebelah selatan (Oey et al. 2005). Teluk Meksiko terletak di sebelah tenggara Amerika Utara serta terbentang sekitar kilometer dari timur ke barat, dan 900 kilometer dari utara ke selatan (Gulfbase 2012). Kondisi fisik dan kimia perairan Teluk Meksiko sangat bervariasi dengan masukan air tawar dari sungai dan curah hujan, serta sirkulasi massa air yang masuk melalui Selat Yucatan (bersirkulasi sebagai loop current) dan keluar melalui Selat Florida (pada akhirnya membentuk gulf stream). Bagian-bagian dari loop current sering melepaskan diri membentuk pusaran atau 'gyres' yang dapat mempengaruhi pola arus regional (Horn 2012). Aliran sungai, loop current, dan upwelling sangat mempengaruhi variabilitas konsentrasi klorofil dan colored dissolved organic matter (CDOM) di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko (Gilbes et al. 1996; Nababan 2005; Nababan et al. 2011). Selain itu, Perairan Timur Laut Teluk Meksiko memiliki karakteristik perairan yang sangat dinamis dan memiliki variabilitas perairan yang tinggi. Penelitian terkait absorpsi dan atenuasi di perairan ini masih kurang banyak dilakukan sehingga penelitian terkait variabilitas absorpsi dan atenuasi ini sangat penting dilakukan. 3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai dan variabilitas koefisien absorpsi dan atenuasi pada permukaan laut secara spasial dan temporal, pada berbagai musim yang berbeda di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko. METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian menggunakan data hasil survei yang dilakukan Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. bekerja sama dengan College of Marine Science, University of

15 4 South Florida pada tiga musim (semi, panas, dan gugur) antara tahun 1999 dan 2000 di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko ( LU dan BB yang membentang da i Sungai Mississippi hingga Teluk Tampa) dengan mengikuti cruise track seperti terlihat pada Gambar 1. Pengolahan data dilakukan pada bulan Maret hingga Desember 2012 di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Garis pada peta menunjukkan lintasan kapal riset ketika pengambilan data AC-9 dilakukan secara sinambung dan simbol segitiga merupakan stasiun dimana pada saat tertentu dilakukan kalibrasi dan cleaning terhadap alat AC-9. Lokasi pengamatan terbagi menjadi beberapa wilayah lagi yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik perairan terkait pola distribusi koefisien absorpsi dan atenuasi pada wilayah tersebut. Pembagian wilayah pengamatan ini ditunjukkan oleh simbol persegi pada Gambar 1. Wilayah-wilayah tersebut diantaranya merupakan wilayah yang berdekatan dengan sungai-sungai, yaitu sungai Missisipi, Mobile, Escambia, Chochtawhatchee, Apalachicola, dan Suwannee. Selain wilayah yang berdekatan dengan sungai, pembagian wilayah juga meliputi wilayah sekitar Teluk Tampa dan tiga wilayah di sekitar laut lepas (offshore 1, 2, dan 3). Gambar 1 Peta lokasi penelitian Bahan Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Institute of Marine Remote Sensing, College of Marine Science,

16 University of South Florida dengan persetujuan Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. sebagai koordinator pengambilan data lapang. Data yang digunakan yaitu data absorpsi (absorption) dan atenuasi (attenuation) dengan menggunakan instrumen AC-9 pada tiga musim yang berbeda selama 2 tahun. 5 Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah debubbler, GPS (Global Positioning System), instrumen AC-9 (Gambar 2), dan seperangkat komputer. Perangkat lunak yang digunakan dalam pengolahan data diantaranya yaitu WETview, Microsoft Excel 2007, Matlab R2010a, Surfer 9, Statistica 6.0, dan Minitab 14. GPS digunakan dalam navigasi pada saat pengambilan data, sedangkan instrumen AC-9 dan debubbler digunakan pada saat pengukuran data secara in situ di lapangan. Debubbler merupakan perantara yang berfungsi sebagai penampung air laut sebelum diukur dengan instrumen AC-9 dengan tujuan menghilangkan udara yang terperangkap dalam air yang terpompa. AC-9 merupakan instrumen yang digunakan dalam pengukuran in situ pada inherent optical properties perairan, yaitu nilai absorpsi dan atenuasi pada panjang gelombang yang berbeda (Varkey et al. 2004). Instrumen AC-9 merupakan alat dengan sembilan kanal pada panjang gelombang 412, 440, 488, 510, 532, 555, 650, 676, dan 715 nm D sa and Miller 2002; Varkey et al. 2004). Perangkat lunak WETview digunakan dalam proses akuisisi dan penyimpanan data saat pengukuran dengan menggunakan instrumen AC-9. Selanjutnya, pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak Microsoft Excel, Matlab, Statistica, dan Surfer. Perangkat lunak Microsoft Excel digunakan untuk mengolah dan mengatur susunan data, sedangkan Matlab digunakan dalam melakukan filtering data dan mengoreksi nilai hasil pengukuran terhadap scattering error. Perangkat lunak Surfer digunakan untuk visualisasi hasil akhir pengolahan secara spasial. Selanjutnya, menggunakan perangkat lunak Statistica dan Minitab untuk uji statistik dan membuat plot box-whisker. (Non-scale) Gambar 2 Skema instrumen AC-9 ( 2013)

17 6 Metode Perolehan Data Pengukuran sampel air laut dilakukan pada kolom air laut dekat permukaan (kedalaman sekitar 3 meter) di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko menggunakan instrumen AC-9 secara kontinu sepanjang lintasan penelitian (cruise track) dan pencatatan data diambil setiap 5 detik dengan menggunakan kapal riset Gyre yang dilakukan selama dua minggu setiap musim. Setiap pelayaran mengamati sebelas line transect yang tegak lurus terhadap garis pantai dari isodepth 10 meter (dekat pantai) hingga 1000 meter ke arah lepas pantai. Pelaksanaan pelayaran dalam pengambilan data dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Pelaksanaan cruise research No. cruise Tanggal mulai Tanggal selesai CruiseID Musim 1 15 Mei Mei 1999 Sp-99 Semi 2 15 Agustus Agustus 1999 Su-99 Panas 3 13 November November 1999 Fa-99 Gugur 4 15 April April 2000 Sp-00 Semi 5 28 Juli Agustus 2000 Su-00 Panas Air sampel yang akan diukur dipompa dari kedalaman sekitar 3 meter dengan laju 10 liter/menit dan dimasukkan ke debubbler (ukuran 10 liter) untuk menghilangkan gas-gas yang terperangkap dalam air yang kemudian dialirkan ke alat AC-9 dengan laju 1 liter/menit (Gambar 3). Air Laut (Kedalaman 3 m) Air Laut dipompa (10 L/menit) Debubbler AC-9 Instrument Data AC-9 Gambar 3 Diagram alir perolehan data Metode Pengolahan Data Hasil data yang diperoleh dari pengukuran dengan instrumen AC-9 akan disimpan dengan menggunakan perangkat lunak WETview dalam bentuk DAT file

18 (*.dat). Susunan data tersebut kemudian diatur sedemikian rupa dengan Microsoft Excel dan dilakukan koreksi waktu (time lag correction) agar dapat diolah pada tahap selanjutnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Sebelum mengolah dan memvisualisasikan hasil akhir, data hasil pengukuran dengan AC-9 perlu dilakukan proses filtering dan koreksi terhadap beberapa variabel, baik berupa koreksi terhadap nilai air murni (millique) dan koreksi hamburan (scattering correction). Proses filtering tersebut dilakukan dengan menggunakan sebuah tool dari Matlab, yaitu cftool yang berguna dalam mem-filter data. Selanjutnya, koreksi data dilakukan terhadap nilai air murni (millique) dan diikuti dengan koreksi hamburan (scattering correction). Setelah proses filtering dan koreksi dilakukan, maka nilai koefisien absorpsi dan atenuasi tersebut dapat divisualisasikan secara spasial menggunakan perangkat lunak Surfer. Selanjutnya, hasil visualisasi tersebut dapat dianalisis terkait nilai dan variabilitas koefisien absorpsi dan atenuasi pada musim yang berbeda (musim semi, panas, dan gugur) di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko. 7 Data AC-9 Filter Data Koreksi nilai air murni (Millique) Koreksi hamburan (scattering correction) Visualisasi secara spasial di Surfer Gambar 4 Diagram alir pengolahan data Filter data Proses filtering data dilakukan terhadap nilai air murni (millique) dan data AC-9 itu sendiri. Filtering data yang dilakukan untuk nilai air murni (millique) dilakukan dengan menggunakan fungsi logika IF yang digunakan pada perangkat lunak Microsoft Excel. Filtering yang dilakukan dengan fungsi logika IF ini, dilakukan agar dapat menghilangkan nilai yang dianggap pencilan/ menjauhi nilai pada sebaran normal untuk nilai air murni (millique). Formula yang digunakan dalam filter data ini menggunakan nilai batas bawah (BB) dan batas atas (BA) pada nilai sebaran untuk mengganti nilai pencilan yang menjauhi sebaran normal. Formula yang digunakan untuk filter data air murni (millique) ini, yaitu sebagai berikut: F jika nilai data BB BB jika nilai data B B nilai data... (5) dimana: BA = rata-rata + standar deviasi, BB = rata-rata - standar deviasi

19 8 Proses filtering pada data AC-9 dilakukan dengan menggunakan sebuah tool pada Matlab, yaitu menggunakan cftool. Pada tool ini, metode filtering yang digunakan dalam mem-filter data AC-9 yaitu moving average filtering. Rumus dasar untuk perhitungan filter dengan metode moving average yaitu: s i 1 2N 1 y(i N) y(i N-1) y(i-n)... (6) Keterangan: Y s (i) = nilai data ke-i 2N+1 = span N = jumlah data tetangga yang berdekatan dengan Y s (i) Koreksi nilai air murni (millique) Berdasarkan pengukuran AC-9 terhadap air murni yang dilakukan, maka koefisien absorpsi dan atenuasi yang terukur dapat merepresentasikan absorpsi dan atenuasi untuk semua material yang terdapat pada sampel dengan mengurangi nilai pada air. Sehingga, nilai absorpsi dan atenuasi total pada sampel dikurangi dengan nilai pada air murni. Koreksi nilai air murni (millique) ini dilakukan dengan menggunakan listing program yang dibuat pada perangkat Matlab (Lampiran 1). Rumus untuk melakukan koreksi nilai air murni tersebut, yaitu sebagai berikut (Barnard 2011): a m a t a c m c t - c... (7) Keterangan: a m = absorpsi hasil pengukuran (m -1 ) c m = atenuasi hasil pengukuran (m -1 ) a t = absorpsi total pada sampel (m -1 ) c t = atenuasi total pada sampel (m -1 ) a w = absorpsi pada air murni (m -1 ) c w = atenuasi pada air murni (m -1 ) Koreksi hamburan (scattering correction) Tabung (tube) absorption meters pada umumnya tidak dapat mengumpulkan semua cahaya yang terhamburkan atau yang tersebar dari sumber cahayanya. Hamburan cahaya yang tidak terkumpul ini dikenal sebagai eror hamburan (scattering error) dan menyebabkan instrumen mengukur koefisien absorpsi tidak sesuai dari yang semestinya (overestimate). Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengoreksi pengukuran absorpsi terhadap scattering errors. Namun, metode koreksi hamburan yang dipergunakan adalah metode pengurangan nilai data absorpsi terhadap nilai absorpsi pada panjang gelombang yang direferensikan (gelombang near infrared), ketika penyerapan diasumsikan nol. Langkah koreksi ini menggunakan listing program pada Matlab yang tertera pada Lampiran 2. Pada metode ini, koreksi hamburan dilakukan dengan menggunakan rumus (Barnard 2003; Bell 2010) sebagai berikut: a( ) a m ( )- a m ( ef )... (8)

20 9 Keterangan: a = absorpsi hasil koreksi (scattering correction) (m -1 ) a m = absorpsi hasil koreksi nilai air murni (m -1 ) a m ref ) = absorpsi hasil koreksi nilai air murni pada panjang gelombang near infrared (715 nm) (m -1 ) Analisis statistik Dalam membandingkan apakah nilai rata-rata dua atau lebih peubah identik atau paling tidak satu diantaranya berbeda nyata, dilakukan uji nonparametrik Kruskal Wallis. Hipotesis nol (H 0 ) yang diajukan adalah terjadi kesamaan nilai parameter rata-rata dari masing-masing populasi. Hipotesis satu (H 1 ) diterima bilamana nilai rata-rata dari paling tidak salah satu peubah berbeda nyata dari nilai rata-rata peubah lainnya. Pada uji Kruskal-Wallis, uji statistik yang digunakan adalah uji statistik khi kuadrat, yang digunakan untuk menentukan hipotesis diterima atau ditolak dengan rumus (Walpole 1993) sebagai berikut: h 12 k n(n 1) i 2 n i Keterangan: h = nilai uji Kruskal Wallis n = jumlah contoh (n 1 + n 2 n k ) r i = jumlah ranking pada kelompok sampel ke-i n i = jumlah data dalam sampel ke-i k = jumlah kelas i 1-3(n 1)... (9) HASIL DAN PEMBAHASAN Variabilitas dan Distribusi Spasial Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya Variabilitas koefisien absorpsi (a) dan atenuasi cahaya (c) pada permukaan air laut di perairan Timur Laut Teluk Meksiko pada berbagai musim selengkapnya disajikan pada Lampiran 3. Nilai koefisien absorpsi (a) pada panjang gelombang 715 nm tidak ditampilkan, karena pada panjang gelombang ini (near infrared), koefisien absorpsi diasumsikan nol. Hal ini dilakukan sebagai langkah dalam melakukan koreksi hamburan (scattering correction). Nilai koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) antar panjang gelombang setiap musim, secara umum hasilnya menunjukkan nilai yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya panjang gelombang dari panjang gelombang nm. Hal ini terjadi karena secara umum absorpsi oleh komponen air laut itu sendiri akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya panjang gelombang dan mencapai 100% absorpsi pada panjang gelombang near infrared (715 nm) (Kirk 1994; Mobley 1994; Nelson and Guarda 1995). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa koefisien absorpsi dan atenuasi pada panjang gelombang 412 nm lebih tinggi dibanding panjang gelombang lainnya. Hal ini disebabkan karena

21 10 terjadinya absorpsi oleh berbagai komponen seperti colored dissolved organic matter (CDOM), particulate non phytoplankton (detritus), dan fitoplankton yang lebih banyak terjadi pada panjang gelombang ini (Babin et al. 2003; Kirk 1994; Mobley 1994; Nelson and Guarda 1995). Secara umum, kisaran nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 412, 440, 488, 510, 532, 555, 650, dan 676 berturut-turut adalah sebagai berikut m -1, m -1, m -1, m -1, m -1, m -1, m -1, dan m -1. Selanjutnya, kisaran nilai koefisien atenuasi pada panjang gelombang 412, 440, 520, 532, 555, 650, 676, dan 715 nm berturut-turut adalah sebagai berikut m -1, m -1, m -1, m -1, m -1, m -1, m -1, m -1, dan m -1 (Lampiran 3). Pola sebaran spasial koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) tiap musim menunjukkan bahwa daerah sekitar pantai dan muara sungai (nearshore) umumnya memiliki nilai koefisien absorpsi dan atenuasi yang relatif tinggi dibandingkan laut lepas. Wilayah sekitar nearshore umumnya relatif tinggi di sekitar Mississippi dan Mobile, kemudian relatif rendah di wilayah offshore 1, 2, dan 3 hampir tiap musimnya. Relatif tingginya nilai di sekitar Mississippi dan Mobile tersebut mengindikasikan variabilitas partikulat dan materi terlarut di sekitar area tersebut relatif tinggi. Variabilitas tersebut dipengaruhi pula oleh run off dari muara sungai, yang merupakan sumber masukan nutrien, CDOM, dan fitoplankton (Nababan 2005; Nababan et al. 2011) yang dapat mempengaruhi sebaran koefisien di sepanjang pesisir pantai. Besarnya koefisien atenuasi di wilayah nearshore, selain karena relatif tingginya materi CDOM, fitoplankton, dan bahan organik lainnya sebagai faktor absorpsi yang tinggi, juga dipengaruhi faktor hamburan yang lebih banyak terjadi akibat relatif tingginya kandungan klorofil dan bahan partikulate (Nababan 2005; Nababan et al. 2011; Kirk 1994; Mobley 1994). Rendahnya nilai koefisien absorpsi dan atenuasi di laut lepas disebabkan karena relatif kecilnya kandungan CDOM, fitoplankton, dan partikulat di wilayah tersebut. Musim Semi Nilai rata-rata koefisien absorpsi pada musim semi tahun 1999 pada masingmasing panjang gelombang 412, 440, 488, 510, 532, 555, 650, dan 676 nm secara umum mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari ± m -1 hingga ± m -1, kemudian nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412 hingga 715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari ± m -1 hingga ± m -1. Selanjutnya, pada musim semi tahun 2000, nilai rata-rata koefisien absorpsi pada masing-masing panjang gelombang tersebut diatas mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari ± m -1 hingga ± m -1. Kemudian nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412 hingga 715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari ± m -1 hingga ± m -1 (Lampiran 3). Perbedaan nilai koefisien absorpsi dan atenuasi antar kedua tahun tersebut dapat disebabkan karena perbedaan waktu pengambilan meskipun pada musim yang sama. Hal tersebut dapat berpengaruh juga terhadap sirkulasi air laut dan arus, seperti kecepatan dan arah angin (Nababan 2005).

22 Pola sebaran spasial koefisien absorpsi (a) pada musim semi tahun 1999 (Gambar 5) dan tahun 2000 (Gambar 7) menunjukkan bahwa koefisien absorpsi pada panjang gelombang 412 nm hingga 676 nm memiliki pola yang hampir sama, namun berbeda secara nilai. Hal ini terlihat pada nilai koefisien absorpsi antar panjang gelombang, yang menunjukkan penurunan nilai dari panjang gelombang 412 nm hingga 676 nm. Namun, pola sebaran spasial koefisien absorpsi baik pada musim semi tahun 1999 (Gambar 5) maupun tahun 2000 (Gambar 7) menunjukkan bahwa nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 676 nm terlihat sedikit meningkat dibanding panjang gelombang 650 nm. Hal tersebut dapat pula dilihat pada rentang nilai yang ditunjukkan pada Lampiran 3. Peningkatan nilai ini terjadi karena pengaruh absorpsi dari fitoplankton di sekitar panjang gelombang 676 nm (Bricaud dan Stramski 1990; Cleveland 1995; Kirk 1994; Mobley 1994; Nelson and Guarda 1995; Suzuki et al. 1998). Pola distribusi spasial menunjukkan bahwa koefisien absorpsi (Gambar 5) dan atenuasi (Gambar 6) tertinggi pada musim semi tahun 1999 (Sp-99) berada di sekitar Sungai Missisipi dan Mobile, sedangkan wilayah laut lepas (offshore 1, 2 dan 3) nilainya relatif paling rendah. Besarnya nilai koefisien absorpsi dan atenuasi di sekitar muara Sungai Missisipi disebabkan karena besarnya run off dari darat (karena sungai besar), sehingga menyebabkan nutrien maupun materi yang terdapat pada area Sungai Missisipi relatif tinggi dibanding yang lainnya. Seperti yang dijelaskan Nababan (2005), Sungai Missisipi merupakan sungai yang sangat mempengaruhi variabilitas dan distribusi CDOM atau nutrien ke laut lepas (offshore), dan juga memiliki konsentrasi klorofil yang relatif tinggi tiap musimnya. Berbeda dengan wilayah Mississippi, semakin ke arah timur, nilai koefisien di wilayah timur semakin rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabilitas nutrien, CDOM, maupun fitoplankton di wilayah timur tersebut tidak setinggi di Mississippi. Berbeda dengan musim semi tahun 1999 (Sp-99), Gambar 6 menunjukkan bahwa wilayah yang memiliki nilai koefisien absorpsi yang relatif paling tinggi pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) berada di sekitar Sungai Mobile, sedangkan wilayah sekitar Mississippi, Escambia, Choctawhatchee, Teluk Tampa, dan laut lepas (offshore 1, 2, dan 3) memiliki koefisien absorpsi yang relatif lebih rendah. Pola sebaran konsentrasi klorofil dan koefisien absorpsi CDOM di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko yang dilakukan Nababan (2005), hasilnya menunjukkan bahwa di wilayah Mobile memiliki konsentrasi klorofil dan absorpsi CDOM yang relatif tinggi pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) dibanding dengan wilayah lainnya. Kondisi tersebut diduga sebagai faktor yang menyebabkan relatif tingginya koefisien absorpsi di wilayah Mobile pada musim semi ini. Pola sebaran koefisien atenuasi (Gambar 8) pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) relatif tinggi di sekitar wilayah Mississippi, Mobile, Choctawhatchee, dan Apalachicola, sedangkan di sekitar wilayah Escambia, Suwannnee, Teluk Tampa, dan laut lepas relatif lebih rendah. Relatif tingginya koefisien atenuasi di sekitar Mississippi dan Mobile dapat disebabkan oleh tingginya konsentrasi klorofil dan koefisien absorpsi CDOM, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya terkait koefisien absorpsi. Selain itu, dapat juga dipengaruhi oleh keberadan materi tersuspensi yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan koefisien hamburan (scattering coefficient) dan mempengaruhi tingkat koefisien atenuasinya. 11

23 12 Gambar 5 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun 1999 (Sp-99) Musim Panas Nilai rata-rata koefisien absorpsi pada musim panas tahun 1999 pada masing-masing panjang gelombang (412 hingga 676 nm) secara umum mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari ± m -1 hingga ± m -1, kemudian nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412 hingga 715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari ± m -1 hingga ± m -1. Selanjutnya, pada musim panas tahun 2000, nilai rata-rata koefisien absorpsi pada masing-masing panjang gelombang tersebut mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari ± m -1 hingga ± m -1. Kemudian nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412 hingga 715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari ± m -1 hingga ± m -1 (Lampiran 3).

24 13 Gambar 6 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun 1999 (Sp-99) Pola sebaran koefisien absorpsi pada musim panas tahun 1999 (Gambar 9) dan musim panas tahun 2000 (Gambar 11) menunjukkan nilai yang semakin rendah dengan peningkatan panjang gelombang (412 nm hingga 676 nm) dan memiliki pola sebaran yang tidak jauh berbeda antar panjang gelombang. Hasil pada musim panas tahun 1999 (Gambar 9 dan Lampiran 3) menunjukkan bahwa sebaran nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 676 nm mengalami sedikit peningkatan terhadap panjang gelombang 650 nm. Hal ini terjadi seperti pada musim sebelumnya (musim semi) yang disebabkan karena rendahnya nilai

25 14 Gambar 7 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) absorpsi oleh detritus pada panjang gelombang ini (Cleveland 1995), sehingga memungkinkan fitoplankton sebagai faktor utama dalam peningkatan koefisien absorpsi tersebut. Koefisien absorpsi pada musim panas tahun 1999 (Su-99) umumnya memiliki nilai yang relatif paling tinggi di daerah sekitar Sungai Mississippi, Mobile, Escambia, Choctawatchee, dan sebagian wilayah pada laut lepas (offshore 1), sedangkan di wilayah lainnya relatif lebih rendah. Menurut Nababan (2005), pergerakan angin, arus, maupun upwelling sepanjang musim panas mempengaruhi keluaran (nutrien) dari Sungai Mississippi sehingga menyebar dan bergerak ke arah timur, serta dapat menyebar hingga ke arah laut lepas. Kondisi perairan tersebut menyebabkan pergerakan materi dengan kandungan tinggi, sehingga hal tersebut diduga sebagai faktor yang mempengaruhi relatif tingginya koefisien absorpsi di wilayah Mississippi, Mobile, Escambia, choctawatchee, dan sebagian wilayah laut lepas (offshore).

26 15 Gambar 8 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) Gambar 10 menunjukkan bahwa koefisien atenuasi pada musim panas tahun 1999 (Su-99) relatif paling tinggi berada di sekitar wilayah Mississippi, Mobile, Escambia, dan Choctawhatchee, sedangkan pada wilayah Apalachicola, Suwannee, Teluk Tampa, dan laut lepas (Offshore 1, 2, dan 3) relatif lebih rendah. Relatif tingginya koefisien atenuasi sekitar Mississippi, Mobile, Escambia, dan Choctawhatchee masih diduga sebagai akibat pengaruh keluaran (nutrien) dari Sungai Mississipi yang sudah dijelaskan sebelumnya.

27 16 Sedikit berbeda dengan musim panas tahun 1999 (Su-99), pola sebaran koefisien absorpsi pada musim panas tahun 2000 (Gambar 11) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 555 dan 676 nm terhadap nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang sebelumnya (khusus wilayah tertentu). Peningkatan yang terjadi pada panjang gelombang 555 terhadap panjang gelombang 532, diduga sebagai pengaruh blooming fitoplankton yang terjadi pada musim panas, khususnya terjadi di wilayah offshore 2. Blooming fitoplankton yang terjadi di sekitar offshore 2 ini, diduga karena pengaruh sirkulasi permukaan yang terjadi akibat pengaruh angin dan arus yang bergerak dari sekitar Mississippi ke arah timur hingga tenggara (eastsoutheastward : ESE) pada musim panas, membawa kandungan nutrien dan fitoplankton hingga mencapai wilayah offshore. Selain itu, Subramaniam dan Carpenter (1999) menyebutkan bahwa cyanobacteria dapat menyebabkan blooming di wilayah laut oligotropik tropis dan subtropis yang mengandung pigmen phycobilin, sehingga menyebabkan absorpsi yang relatif tinggi pada panjang gelombang 495, 545, dan 565 nm (Shimura and Fujita 1975). Subramaniam dan Carpenter (1999) menyatakan pula bahwa phycoerythrobilin dapat menyerap pada panjang gelombang 555 nm. Nababan (2005) juga telah memetakan pola sebaran konsentrasi fucoxantin di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko, yang menunjukkan sebaran konsentrasi fucoxantin di wilayah sekitar offshore 2 memiliki konsentrasi yang relatif tinggi pada musim panas tahun Peningkatan koefisien absorpsi yang terjadi pada panjang gelombang 676 terhadap panjang gelombang 650 (Gambar 11 dan Lampiran 3), diduga akibat pengaruh absorpsi oleh fitoplankton sebagai faktor utama seperti yang dipaparkan sebelumnya pada musim panas tahun 1999, khususnya terjadi di wilayah Mississippi. Pola sebaran koefisien atenuasi pada musim panas tahun 2000 (Gambar 12) sama seperti halnya pola sebaran koefisien absorpsinya (Gambar 11) yang menunjukkan wilayah Mississippi dan laut lepas (offshore 2) memiliki nilai koefisien yang relatif paling tinggi, sedangkan di wilayah sekitar Mobile, Escambia, Choctawhatchee, Apalachicola, Suwannee, Teluk Tampa, dan wilayah laut lepas (offshore 1 dan 3) relatif lebih rendah. Tingginya koefisien absorpsi dan atenuasi di sekitar Mississippi dan wilayah offshore 2 pada musim ini diduga karena pengaruh blooming fitoplankton seperti yang dijelaskan Nababan (2005). Blooming tersebut menyebabkan sebaran konsentrasi klorofil dan konsentrasi fucoxantin relatif tinggi pada musim ini, terutama di wilayah Mississippi dan offshore 2. Musim Gugur Nilai rata-rata koefisien absorpsi pada musim gugur tahun 1999 pada masing-masing panjang gelombang (412 hingga 676 nm) secara umum mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari ± m -1 hingga ± m -1. Selanjutnya, nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412 hingga 715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari ± m -1 hingga ± m -1 (Lampiran 3). Sebaran koefisien absorpsi pada panjang gelombang 412 nm hingga 676 nm memiliki lokasi sebaran yang tidak berbeda jauh meskipun terjadi penurunan nilai

28 17 Gambar 9 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun 1999 (Su-99) koefisien. Pola sebaran koefisien absorpsi (Gambar 13) dan rentang nilai (Lampiran 3) pada musim gugur tahun 1999, menunjukkan bahwa koefisien absorpsi pada panjang gelombang 676 nm musim ini sedikit berbeda dengan musim semi dan panas tahun Koefisien absorpsi panjang gelombang 676 nm pada musim gugur ini memiliki nilai yang relatif rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa absorpsi oleh fitoplankton pada panjang gelombang ini relatif rendah pada musim tersebut. Pola sebaran koefisien absorpsi (Gambar 13) menunjukkan bahwa wilayah yang memiliki nilai koefisien absorpsi yang relatif tinggi secara umum berada di sekitar Sungai Mississippi, Mobile, Apalachicola, dan Teluk Tampa, sedangkan wilayah lainnya relatif lebih rendah. Koefisien absorpsi yang relatif tinggi di sekitar Sungai Mississippi, Mobile, Apalachicola, dan Teluk Tampa, diduga terjadi karena pengaruh konsentrasi klorofil yang tinggi pada musim tersebut. Hal ini didukung oleh Nababan (2005), yang memetakan sebaran klorofil di Perairan

29 18 Gambar 10 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun 1999 (Su-99) Teluk Meksiko pada musim gugur, yang menunjukkan konsentrasi klorofil di wilayah-wilayah tersebut relatif tinggi. Koefisien atenuasi (Gambar 14) relatif tinggi di sekitar Mississippi, Mobile, Apalachicola, Suwannee, dan Teluk Tampa, sedangkan di sekitar wilayah lainnya relatif lebih rendah. Koefisien atenuasi yang relatif tinggi di sekitar Mississippi, Mobile, Apalachicola, dan Teluk Tampa, diduga karena pengaruh tingginya koefisien absorpsi yang dijelaskan sebelumnya pada musim ini. Menurut Nababan (2005), ada pula pengaruh blooming fitoplankton di wilayah Apalachicola yang

30 19 Gambar 11 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun 2000 (Su-00) terjadi akibat upwelling pada musim ini, sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan koefisien atenuasi. Variabilitas Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya Antar Musim Variabilitas koefisien absorpsi dan atenuasi cahaya antar musim dapat dilihat dari grafik perbandingan spektral nilai rata-rata antar musim yang ditunjukkan pada Gambar 15. Gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi antar musim secara umum paling tinggi pada musim panas tahun 1999 (Su-99) dan paling rendah pada musim semi tahun 2000 (Sp-00). Selanjutnya, perbandingan spektral nilai rata-rata antar wilayah pengamatan dapat dilihat dari grafik yang ditunjukkan pada Gambar 16. Nilai rata-rata pada

31 20 Gambar 12 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun 2000 (Su-00) koefisien absorpsi secara umum paling tinggi ditemui di daerah Mississippi, kecuali pada musim gugur 1999 (Fa-99) dan musim semi 2000 (Sp-00) nilai ratarata koefisien absorpsi paling tinggi ditemui di lokasi Mobile. Hal ini menunjukkan bahwa bahan penyerap cahaya seperti bahan organik dan fitoplankton secara umum lebih banyak ditemukan di daerah Mississippi dibandingkan daerah lain. Hasil pengamatan ini juga sesuai dengan hasil penelitian Nababan (2005; 2009) dan Nababan et al. (2011).

32 21 Gambar 13 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim gugur tahun 1999 (Fa-99) Nilai rata-rata koefisien atenuasi secara umum juga terlihat paling tinggi di daerah Mississippi, kecuali pada musim panas 1999 (Su-99) koefisien atenuasi paling tinggi ditemui di daerah Choctawhatchee dan musim semi 2000 (Sp-00) koefisien atenuasi paling tinggi ditemui di daerah Mobile (Gambar 16). Relatif tingginya koefisien atenuasi di sekitar Choctawatchee (musim panas 1999) ketika koefisien absorpsi rendah, mengindikasikan bahwa pengaruh kandungan fitoplankton, CDOM, dan detritus di wilayah tersebut tidak memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penyerapan cahaya. Oleh karena itu, koefisien atenuasi ini diduga lebih banyak dipengaruhi koefisien hamburan dari materi yang terkandung dalam perairan. Pengaruh koefisien hamburan yang lebih besar dari koefisien absorpsinya dapat terjadi tidak hanya karena pengaruh konsentrasi atau kandungan materi seperti fitoplankton, CDOM, dan detritus dalam perairan, tetapi dapat pula

33 22 Gambar 14 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim gugur tahun 1999 (Fa-99) dipengaruhi oleh biomassa atau ukuran sel materinya. Oleh karena itu, relatif tingginya koefisien atenuasi pada suatu wilayah, dapat pula didominasi oleh pengaruh hamburan akibat adanya perbedaan biomassa atau ukuran sel suatu materi. Biomassa atau ukuran sel materi yang relatif tinggi akan sangat mempengaruhi besarnya koefisien hamburan. Pengaruh biomassa atau ukuran sel materi tersebut diduga terjadi di wilayah Choctawatchee. Hal ini dapat dilihat dari sebaran biomassa fitoplankton yang ditunjukkan dalam penelitian Nababan (2005; 2009). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wilayah Choctawatchee

34 memiliki sebaran mikrofitoplankton (> 20 µm) yang relatif sedang dan nanofitoplankton (2-20 µm) yang relatif tinggi. Hal ini diduga sebagai faktor yang dapat meningkatkan pengaruh koefisien hamburan lebih besar di wilayah tersebut. Relatif tingginya koefisien atenuasi di wilayah Mobile pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) dibanding wilayah lainnya, diduga karena pengaruh sebaran fitoplankton dan CDOM di wilayah tersebut yang relatif tinggi. Hal ini didukung dengan sebaran klorofil dan absorpsi CDOM yang dilakukan Nababan (2005; 2011), yang menunjukkan sebarannya yang tinggi di wilayah Mobile pada musim tersebut. Selain itu, Nababan (20005; 2009) juga menunjukkan bahwa sebaran mikrofitoplankton (> 20 µm) di wilayah Mobile relatif tinggi pada musim semi tahun 2000 (Sp-00). Secara umum nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi paling rendah ditemui pada daerah laut lepas (Offshore 1-3) kecuali pada musim panas 1999 (Su-99) dan 2000 (Su-00) (Gambar 16). Relatif tingginya koefisien absorpsi maupun atenuasi di daerah laut lepas (offshore 1-3) pada musim panas tahun 1999 (Su-99) dan tahun 2000 (Su-00) diduga karena pengaruh tranpor nutrien dari sekitar muara Sungai Mississippi ke arah timur dan tenggara akibat pengaruh pergerakan arus (loop current) yang pernah dijelaskan sebelumnya (Nababan 2005), sehingga menyebabkan terbawanya kandungan materi ke arah laut lepas. Perbandingan antar musim dibahas lebih detail pada perbandingan sebaran koefisien absorpsi dan atenuasi pada gelombang biru, hijau, dan merah yang dapat dilihat pada pembahasan berikutnya. 23 Gambar 15 Perbandingan spektral nilai rata-rata koefisien absorpsi (gambar atas) dan atenuasi (gambar bawah) antar musim

35 24 Gambar 16 Perbandingan spektral nilai rata-rata koefisien absorpsi (kolom kiri) dan atenuasi (kolom kanan) per wilayah pada tiap musim

36 Gelombang biru Panjang gelombang yang termasuk dalam spektrum gelombang biru, yaitu panjang gelombang 412, 440, dan 488 nm. Pola sebaran koefisien absorpsi dan atenuasi antar ketiga panjang gelombang tersebut menunjukkan pola yang hampir sama dalam satu musim, meskipun terlihat berbeda dari segi nilainya dan menunjukkan penurunan. Oleh karena itu, perbandingan antar musim ini hanya dibahas lebih detail pada salah satu panjang gelombang saja. Panjang gelombang yang digunakan yaitu 440 nm. Penggunaan panjang gelombang ini disebabkan karena pada panjang gelombang 440 nm lebih banyak digunakan untuk aplikasi estimasi konsentrasi fitoplankton dari satelit ocean color. Perbandingan pola sebaran koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) pada panjang gelombang 440 nm ditampilkan pada Gambar 17. Pola sebaran dalam Gambar 17, mengindikasikan bahwa run off dari darat sangat mempengaruhi distribusi dari koefisien absorpsi dan atenuasi pada tiap musim. Hal ini dikarenakan run off memungkinkan terjadinya transport sumber nutrien atau CDOM ke muara sungai atau laut lepas. Oleh karena itulah distribusi koefisien absorpsi maupun atenuasi banyak ditemukan di wilayah sekitar pantai, terutama wilayah dekat muara sungai tiap musimnya. Relatif tingginya koefisien absorpsi dan atenuasi di sekitar pantai (nearshore), terutama wilayah dekat sungai, dapat juga dipengaruhi oleh sebaran dan konsentrasi klorofil di sepanjang wilayah tersebut. Morel et al. (2006) menyatakan bahwa konsentrasi klorofil paling banyak ditemukan di perairan pesisir atau pantai yang kompleks. Sebaran konsentrasi klorofil di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko memang memiliki konsentrasi yang relatif tinggi di sekitar pantai dan muara sungai, seperti pola distribusi spasial konsentrasi klorofil yang dilakukan oleh Nababan (2005), yang menyebutkan pula bahwa konsentrasi klorofil memiliki korelasi positif dengan pengaruh run off. Gambar 17 menunjukkan bahwa koefisien absorpsi dan atenuasi secara umum paling tinggi ditemui di sekitar Mississippi, kecuali pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) relatif tinggi di daerah Mobile. Meskipun demikian, kondisi tersebut menunjukkan betapa besarnya pengaruh Sungai Mississippi terhadap transpor partikulat dan materi terlarut, sehingga tingginya koefisien absorpsi maupun atenuasi. Relatif tingginya koefisien absorpsi maupun atenuasi di wilayah Mobile pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) diduga karena pengaruh sebaran klorofil dan absorpsi CDOM yang tinggi seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya oleh Nababan (2005; 2011). Selanjutnya, untuk wilayah laut lepas (offshore 1, 2, atau 3), nilai koefisien absorpsi dan atenuasi relatif rendah hampir pada tiap musim, kecuali pada musim panas (Su-99 dan Su-00). Sebaran koefisien pada musim panas (Su-99 dan Su-00) menunjukkan sebaran koefisien yang lebih menyebar hingga ke laut lepas. Sebaran tersebut menunjukkan bahwa wilayah offshore 1 dan 3 pada musim panas tahun 1999 (Su-99), serta wilayah offshore 2 pada musim panas tahun 2000 (Su- 00) memiliki koefisien yang relatif cukup tinggi. Relatif tingginya koefisien absorpsi atau atenuasi di wilayah laut lepas pada musim panas (Su-99 dan Su-00) dapat disebabkan pengaruh pergerakan arus dan angin pada musim itu, yang menyebarkan nutrien dan materi dari sekitar Mississippi ke wilayah tersebut. Gambar 17 menunjukkan bahwa untuk musim panas tahun 2000 (Su-00), wilayah offshore 2 terlihat memiliki koefisien absorpsi 25

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di bagian timur laut Teluk Meksiko mulai dari delta Sungai Mississippi sampai Teluk Tampa di sebelah barat Florida (Gambar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut,

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut, 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Optik Perairan Penetrasi cahaya yang sampai ke dalam air dipengaruhi oleh intensitas cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut, dan tersuspensi

Lebih terperinci

VARIABILITAS MUSIMAN KOEFISIEN ABSORPSI CAHAYA PADA PERMUKAAN AIR LAUT SEASONAL VARIABILITY OF LIGHT ABSORPTION COEFFICIENT OF SURFACE WATER

VARIABILITAS MUSIMAN KOEFISIEN ABSORPSI CAHAYA PADA PERMUKAAN AIR LAUT SEASONAL VARIABILITY OF LIGHT ABSORPTION COEFFICIENT OF SURFACE WATER Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 2, Hlm. 715-729, Desember 2015 VARIABILITAS MUSIMAN KOEFISIEN ABSORPSI CAHAYA PADA PERMUKAAN AIR LAUT SEASONAL VARIABILITY OF LIGHT ABSORPTION COEFFICIENT

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Musim Panas Tahun 1999 Pola grafik R rs dari masing-masing lokasi pengambilan data radiansi dan irradiansi pada musim panas 1999 selengkapnya disajikan pada Gambar 7.Grafik

Lebih terperinci

REMOTE SENSING REFLEKTANSI PADA BERBAGAI MUSIM DAN TIPE AIR LAUT

REMOTE SENSING REFLEKTANSI PADA BERBAGAI MUSIM DAN TIPE AIR LAUT REMOTE SENSING REFLEKTANSI PADA BERBAGAI MUSIM DAN TIPE AIR LAUT ANAK AGUNG GEDE WIRAPRAMANA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SPASIAL DAN VARIABILITAS KOEFISIEN TOTAL HAMBURAN DI PERMUKAAN PERAIRAN BERBAGAI MUSIM

DISTRIBUSI SPASIAL DAN VARIABILITAS KOEFISIEN TOTAL HAMBURAN DI PERMUKAAN PERAIRAN BERBAGAI MUSIM DISTRIBUSI SPASIAL DAN VARIABILITAS KOEFISIEN TOTAL HAMBURAN DI PERMUKAAN PERAIRAN BERBAGAI MUSIM Oleh: MURJAT HI. UNTUNG NRP: C552100051 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

VARIABILITAS DAN DISTRIBUSI SPASIAL KOEFISIEN TOTAL HAMBURAN DI PERMUKAAN PERAIRAN PADA BERBAGAI MUSIM

VARIABILITAS DAN DISTRIBUSI SPASIAL KOEFISIEN TOTAL HAMBURAN DI PERMUKAAN PERAIRAN PADA BERBAGAI MUSIM Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 429-440, Desember 2013 VARIABILITAS DAN DISTRIBUSI SPASIAL KOEFISIEN TOTAL HAMBURAN DI PERMUKAAN PERAIRAN PADA BERBAGAI MUSIM VARIABILITY

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

SPEKTRAL REMOTE SENSING REFLEKTANSI PERMUKAAN AIR LAUT SPECTRAL OF REMOTE SENSING REFLECTANCE OF SURFACE WATERS

SPEKTRAL REMOTE SENSING REFLEKTANSI PERMUKAAN AIR LAUT SPECTRAL OF REMOTE SENSING REFLECTANCE OF SURFACE WATERS Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Hlm. 69-84, Juni 2013 SPEKTRAL REMOTE SENSING REFLEKTANSI PERMUKAAN AIR LAUT SPECTRAL OF REMOTE SENSING REFLECTANCE OF SURFACE WATERS Bisman Nababan

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

Aplikasi-aplikasi ICV untuk sumber daya air: - Pengukuran luas perairan, - Identifikasi konsentrasi sedimen/tingkat kekeruhan, - Pemetaan daerah

Aplikasi-aplikasi ICV untuk sumber daya air: - Pengukuran luas perairan, - Identifikasi konsentrasi sedimen/tingkat kekeruhan, - Pemetaan daerah ICV APLIKASI UNTUK SUMBER DAYA AIR Aplikasi-aplikasi ICV untuk sumber daya air: - Pengukuran luas perairan, - Identifikasi konsentrasi sedimen/tingkat kekeruhan, - Pemetaan daerah banjir, - Kesuburan perairan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun anorganik (Jassby and Cloern 2000; Andersen et al. 2006). Bahan ini berasal

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENENTUAN ARUS PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT NOAA DAN METODE MAXIMUM CROSS CORRELATION

PENENTUAN ARUS PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT NOAA DAN METODE MAXIMUM CROSS CORRELATION PENENTUAN ARUS PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT NOAA DAN METODE MAXIMUM CROSS CORRELATION Tugas Akhir Disusun untuk memenuhi syarat kurikuler untuk memperoleh gelar sarjana dari Program Studi Oseanografi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH

STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH Studi Konsentrasi Klorofil - a Alifah raini/feny Arafah/Fourry Handoko STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH Alifah raini 1) ; Feny Arafah 1) ; Fourry Handoko 2) 1) Program

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan 20 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan laut yang diteliti adalah wilayah yang ditunjukkan pada Gambar 2 yang merupakan wilayah

Lebih terperinci

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG F1 08 Nurul Latifah 1)*), Sigit Febrianto 1), Churun Ain 1) dan Bogi Budi Jayanto 2) 1) Program Studi

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PROFIL KOEFISIEN DIFFUSE ATENUASI KOLOM PERAIRAN DI TIMUR LAUT TELUK MEKSIKO VERONICA STELLA ANGELIQUE LOUHENAPESSY

PROFIL KOEFISIEN DIFFUSE ATENUASI KOLOM PERAIRAN DI TIMUR LAUT TELUK MEKSIKO VERONICA STELLA ANGELIQUE LOUHENAPESSY PROFIL KOEFISIEN DIFFUSE ATENUASI KOLOM PERAIRAN DI TIMUR LAUT TELUK MEKSIKO VERONICA STELLA ANGELIQUE LOUHENAPESSY DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS SINAR MERAH, HIJAU, DAN BIRU (RGB) UNTUK MENGUKUR KELIMPAHAN FITOPLANKON (Chlorella sp.) Oleh: Merizawati C

ANALISIS SINAR MERAH, HIJAU, DAN BIRU (RGB) UNTUK MENGUKUR KELIMPAHAN FITOPLANKON (Chlorella sp.) Oleh: Merizawati C ANALISIS SINAR MERAH, HIJAU, DAN BIRU (RGB) UNTUK MENGUKUR KELIMPAHAN FITOPLANKON (Chlorella sp.) Oleh: Merizawati C64104004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Ocean Color Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA 1 VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA Nina Miranda Amelia 1), T.Ersti Yulika Sari 2) and Usman 2) Email: nmirandaamelia@gmail.com ABSTRACT Remote sensing method

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

Perhitungan Fluks CO2 di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh dan Pendekatan Empirik

Perhitungan Fluks CO2 di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh dan Pendekatan Empirik Perhitungan Fluks CO2 di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh dan Pendekatan Empirik Agus Setiawan* Mutiara R. Putri** Fitri Suciati** *Balai Riset dan Observasi Kelautan Puslitbang Sumberdaya

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober Survei

3. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober Survei 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober 2010. Survei lapang dilaksanakan pada tanggal 20-27 Maret 2010 dengan mengikuti kegiatan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali Journal of Marine and Aquatic Sciences 3(1), 30-46 (2017) Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali I

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 R. Bambang Adhitya Nugraha 1, Heron Surbakti 2 1 Pusat Riset Teknologi Kelautan-Badan (PRTK), Badan Riset Kelautan

Lebih terperinci

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR Analysis of Upwelling Distribution and Area Enlargement in the Southern of Makassar Strait Dwi Fajriyati Inaku Diterima:

Lebih terperinci

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT Muslim 1), Usman 2), Alit Hindri Yani 2) E-mail: muslimfcb@gmail.com

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fitoplankton adalah tumbuhan laut terluas yang tersebar dan ditemui di hampir seluruh permukaan laut pada kedalaman lapisan eufotik. Organisme ini berperan penting

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Reklamasi

Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Reklamasi Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Ahmad Arif Zulfikar 1, Eko Kusratmoko 2 1 Jurusan Geografi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat E-mail : Ahmad.arif31@ui.ac.id

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian 18 3 METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011 dengan lokasi penelitian yaitu Perairan Selat Makassar pada posisi 01 o 00'00" 07 o 50'07"

Lebih terperinci

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ M. IRSYAD DIRAQ P. 3509100033 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS 1 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Lokasi penelitian adalah Perairan Timur Laut Jawa, selatan Selat Makassar, dan Laut Flores, meliputi batas-batas area dengan koordinat 2-9 LS dan 110-126

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

Perhitungan Fluks CO2 di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh dan Pendekatan Empirik

Perhitungan Fluks CO2 di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh dan Pendekatan Empirik Perhitungan Fluks CO2 di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh dan Pendekatan Empirik Agus Setiawan* Mutiara R. Putri** Fitri Suciati** *Balai Riset dan Observasi Kelautan Puslitbang Sumberdaya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan 22 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan menggunakan citra MODIS. Lokasi untuk objek penelitian adalah perairan Barat-

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Endang Prinina 1, Lalu Muhamad Jaelani 1, Salam Tarigan 2 1

Endang Prinina 1, Lalu Muhamad Jaelani 1, Salam Tarigan 2 1 G206 Validasi Algoritma Estimasi konsentrasi Klorofil-a dan Padatan Tersuspensi Menggunakan Citra Terra dan Aqua Modis dengan Data In situ (Studi Kasus: Perairan Selat Makassar) Endang Prinina 1, Lalu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 7 3. Pengenceran Proses pengenceran dilakukan dengan menambahkan 0,5-1 ml akuades secara terus menerus setiap interval waktu tertentu hingga mencapai nilai transmisi yang stabil (pengenceran hingga penambahan

Lebih terperinci

PEMETAAN ARUS DAN PASUT LAUT DENGAN METODE PEMODELAN HIDRODINAMIKA DAN PEMANFAATANNYA DALAM ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI TUGAS AKHIR

PEMETAAN ARUS DAN PASUT LAUT DENGAN METODE PEMODELAN HIDRODINAMIKA DAN PEMANFAATANNYA DALAM ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI TUGAS AKHIR PEMETAAN ARUS DAN PASUT LAUT DENGAN METODE PEMODELAN HIDRODINAMIKA DAN PEMANFAATANNYA DALAM ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS : PESISIR MUARA GEMBONG, KABUPATEN BEKASI, JAWA BARAT) TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

ANALISIS DISTRIBUSI ARUS PERMUKAAN LAUT DI TELUK BONE PADA TAHUN

ANALISIS DISTRIBUSI ARUS PERMUKAAN LAUT DI TELUK BONE PADA TAHUN ANALISIS DISTRIBUSI ARUS PERMUKAAN LAUT DI TELUK BONE PADA TAHUN 2006-2010 Yosik Norman 1, Nasrul Ihsan 2, dan Muhammad Arsyad 2 1 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Makassar e-mail: yosikbrebes@gmail.com

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: ( Print) 1

JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: ( Print) 1 JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Validasi Algoritma Estimasi konsentrasi Klorofil-a dan Padatan Tersuspensi Menggunakan Citra Terra dan Aqua Modis dengan Data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang terdiri dari proses pembuatan proposal penelitian, pengambilan data citra satelit, pengambilan

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Beberapa hasil pengolahan data simulasi model kopel akan ditampilkan dalam Bab IV ini, tetapi sebagian lainnya dimasukkan dalam lampiran A. IV.1 Distribusi Curah Hujan Berdasarkan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di wilayah perairan barat Sumatera yang secara geografis terletak pada 8 o LU-10 o LS dan 90 o BT-108 o BT. Namun pengamatan

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur

2. TINJAUAN PUSTAKA. Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur 106 20 00 BT hingga 107 03 00 BT dan garis lintang 5 10 00 LS hingga 6 10

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran A. Hasil pengolahan data arus polar current rose disajikan pada Lampiran B. Hasil pengolahan data komponen arus setelah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Suhu Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan

Lebih terperinci

Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun

Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun 1994-2012 Miftah Farid 1 1 Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

MASPARI JOURNAL Juli 2015, 7(2):25-32

MASPARI JOURNAL Juli 2015, 7(2):25-32 MASPARI JOURNAL Juli 2015, 7(2):25-32 AKURASI NILAI KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN PULAU ALANGGANTANG TAMAN NASIONAL SEMBILANG VALUE ACCURACY

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

CONTENT BY USING AQUA MODIS SATELLITE IMAGERY IN MARINE WATERS OF ROKAN HILIR REGENCY RIAU PROVINCE

CONTENT BY USING AQUA MODIS SATELLITE IMAGERY IN MARINE WATERS OF ROKAN HILIR REGENCY RIAU PROVINCE THE STUDY OF CHLOROPHYLL-a CONTENT BY USING AQUA MODIS SATELLITE IMAGERY IN MARINE WATERS OF ROKAN HILIR REGENCY RIAU PROVINCE By Raja Siagian 1), Joko Samiaji 2), Mubarak 2) Fisheries and Marine Science

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Gambaran Umum Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan baik data primer maupun data sekunder. Kedua data ini kemudian digunakan untuk melakukan analisis

Lebih terperinci