TINJAUAN YURIDIS PEKERJA FREELANCE BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN YURIDIS PEKERJA FREELANCE BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN"

Transkripsi

1 TESIS TINJAUAN YURIDIS PEKERJA FREELANCE BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN YOFRIKO SUNDALANGI P PROGRAM STUDI KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

2 HALAMAN JUDUL TINJAUAN YURIDIS PEKERJA FREELANCE BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister Program Studi Kenotariatan Disusun dan diajukan oleh : YOFRIKO SUNDALANGI P Kepada PROGRAM STUDI KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 ii

3 iii

4 PERNYATAAN KEASLIAN Nama N I M Program Studi : Yofriko Sundalangi : P : Magister Kenotariatan Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan tesis yang berjudul TINJAUAN YURIDIS PEKERJA FREELANCE BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN., adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan merupakan karya saya, dalam penulisan tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Makassar, 7 Maret 2017 Yang membuat pernyataan, (Yofriko Sundalangi) iv

5 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil alaamiin puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tak lupa pula shalawat serta salam terhatur kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan kejujuran di muka bumi ini. Adapun judul tesis ini adalah TINJAUAN YURIDIS PEKERJA FREELANCE BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN dalam penelitian tesis ini, penulis menyadari terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Progra Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penelitian tesis tidak akan terwujud tanpa bantuan dari para pembimbing, dosen-dosen serta berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya. 2. Ibu Prof Dr. Farida Pattitingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya. 3. Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. v

6 4. Ibu Prof. Dr. Marwati Riza, SH., M.Si., dan Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H. selaku penasihat dalam penulisan tesis ini yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan bantuan dalam materi tesis serta memberikan banyak pengetahuan bagi penulis selama penulisan tesis ini. 5. Bapak Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H., Ibu Dr. Sakka Pati, S.H., M.H., Ibu Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A., selaku penguji penulis yang telah memberikan banyak masukan-masukan dan arahan dalam penyusunan tesis ini. 6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya selama perkuliahan berlangsung. 7. Seluruh staf dan karyawan akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Khususnya Staf Kenotariatan Ibu Eppy dan Pak Aksa yang telah membantu dalam pengurusan administrasi. 8. Kedua orang tua Bapak Herman Jaya dan Ibu Lusciana Sodikim atas doa yang tidak pernah putus dan dukungan serta segala kebaikan mereka yang sampai kapanpun takkan pernah bisa untuk terbalaskan. 9. Teman teman Mahasiswa Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (KOMPAR15I) terima kasih atas kebersamaan selama ini. vi

7 10. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis : Kak Tata, Kak Adjie, Awal, Kak Uchi, Kak wen, Pman, Mba Ayu, Putri, Kak Ning, Dandos, Iky, Koval, Try, Tibo, Ndes, Enah, Cece lina, Aswar+, Adli, Kak Heri yang telah menjadi bagian dari keluarga baru penulis selama masa perkuliahan di Kenotariatan. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat yang bernilai jariyah. Aamiin Yaa Rabbal alaamiin. Terima kasih. Makassar, 12 Oktober 2017 Yofriko Sundalangi vii

8 viii

9 ix

10 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN KEASLIAN... iv KATA PENGANTAR... v ABSTRAK... viii ABSTRACT... ix DAFTAR ISI... x BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 7 C. Tujuan Penelitian... 8 D. Manfaat Penelitian... 8 E. Keaslian Penelitian... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan Pengertian Ketenagakerjaan Pihak-Pihak Dalam Hubungan Kerja x

11 3. Hubungan Kerja dan Dasar Hukumnya Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kerja Pengaturan Mengenai Upah Kerja B. Tinjauan Pekerja Freelance C. Landasan Teori Teori Keadilan Teori Perlindungan D. Kerangka Pikir E. Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian B. Lokasi Penelitian C. Jenis dan Sumber Data D. Populasi dan Sampel E. Teknik Pengumpulan Data F. Analisis Data BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Status dan Hubungan Hukum Antara Pengusaha Dengan Freelance B. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Freelance Dalam Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Ditinjau Dari Prinsip Keadilan Dalam Masyarakat BAB V PENUTUP DAFTAR PUSTAKA xi

12 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keadilan adalah harapan yang menjadi cita-cita dan keinginan setiap orang. Keadilan adalah salah satu nilai kemanusiaan yang asasi, sehingga memperoleh keadilan berupa hak asasi bagi setiap manusia. Tegaknya keadilan dalam suatu masyarakat memberikan ketenangan dan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari serta kepercayaan yang timbalbalik antara pemerintah dan rakyat, di samping menumbuhkan kemakmuran dan kesejahteraan. Setiap manusia secara alamiah memiliki kebutuhan dalam kehidupannya, baik kehidupan yang bersifat primer maupun kebutuhan yang bersifat sekunder. Berbagai upaya dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan itu. Salah satunya adalah bekerja sebagai freelance pada perusahaan, dengan memasarkan dan menjualkan produk-produk dari perusahaan tersebut. Hal ini akan melahirkan hubungan hukum antara pemberi kerja dan penerima kerja yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak agar tercapai tujuan yang diharapkan. Hubungan hukum ini diatur dalam Hukum Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan pembangunan nasional. Sehingga diperlukan suatu langkah strategis untuk mengantisipasi setiap masalah ketenagakerjaan agar kelangsungan pembangunan nasional tidak terganggu. Dalam alinea keempat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen

13 2 keempat (selanjutnya disebut UUD 1945) disebutkan bahwa tujuan dari Pembentukan Negara Indonesia adalah: "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial". Penjabaran dari tujuan negara tersebut tertuang dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Demikian pula dalam Pasal 28d ayat 2 UUD 1945, dikatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas dapat diartikan bahwa pemerintah sangat memperhatikan usaha-usaha perlindungan bagi kesejahteraan para pekerja. Hal ini diperkuat dengan pendapat Koko Kosidin yang menyatakan bahwa Indonesia adalah suatu Negara hukum dalam arti luas (Negara kesejahteraan) yang sangat memperhatikan perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya. Indonesia juga sangat memperhatikan upaya-upaya ke arah terciptanya kesejahteraan rakyat. 1 Ketentuan Konstitusional di atas tersebut juga menunjukkan bahwa pekerja sebagai warga negara berhak untuk memperoleh perlindungan dalam melakukan pekerjaan guna mencapai kesejahteraan hidupnya. 1 Koko Kosidin, Aspek-Aspek Hukum Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Perseroan (Persero), Bandung : Disertasi, Universitas Padjadjaran, 1996 hlm. 13

14 3 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UUK), pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah. 2 Sedangkan defenisi pekerja bedasarkan Pasal 1 angka 2 UUK adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Bertolak dari pengertian bahwa pekerja adalah orang yang melakukan pekerjaan untuk orang lain (swasta) berarti sedikitnya harus ada dua pihak yang terlibat dalam hubungan kerja yaitu orang yang melakukan pekerjaan yang disebut pekerja dan orang yang memberikan pekerjaan yang disebut dengan pengusaha. Pengusaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UUK adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. UUK mengatur pula tentang segala hal yang berhubungan dengan pekerja baik sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Hubungan hukum yang terjadi antara pekerja dan pengusaha adalah bentuk suatu perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 UUK yang bunyinya sebagai berikut: 2 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1974 hlm. 6

15 4 Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban para pihak". Hak dan kewajiban antara pemberi kerja dengan pekerja baru akan ada setelah dibuat suatu perjanjian kerja seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 UUK tersebut. Dengan demikian bila seseorang telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja berarti secara pribadi harus bersedia bekerja dibawah perintah orang lain serta menerima upah. UUK akan melekat pada setiap hubungan kerja, sehingga setiap kegiatan yang memenuhi unsur dari hubungan kerja, maka wajib mematuhi ketentuan dalam UUK. Dapat dikatakan bahwa telah terjadi hubungan kerja jika sudah memenuhi unsur-unsur berupa: 3 1. Adanya pekerjaan yang dilakukan. 2. Adanya perintah (bekerja atas perintah atasan). 3. Adanya upah. Hubungan kerja yang dimaksud di dalam Pasal 1 angka 15 UUK adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Pada prinsipnya ketenagakerjaan memiliki banyak keterikatan. Beberapa hal penting yang terkait adalah mengenai Jaminan Pekerja, Waktu Kontrak Kerja, Pemberian Upah, dan sebagainya. Peraturan ketenagakerjaan melarang pengusaha melakukan diskriminasi pemberian upah terhadap para pekerja. Berdasarkan Pasal 88 ayat (1) UUK jo. Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 3 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003 hlm. 83

16 5 Tahun 2015 Tentang Pengupahan menjelaskan upah diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerja. Adapun pembagian jenis pekerja berdasarkan perjanjiannya, yaitu pekerja tetap berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (selanjutnya disebut PKWTT) dan pekerja tidak tetap berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disebut PKWT). PKWT mengenal Perjanjian Kerja Harian atau Lepas yang telah diatur dalam Pasal 10 Keputusan Menteri Pekerja dan Transmigrasi No. 100/men/IV/2004 yaitu untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubahubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas. Jenis pekerja dalam Perjanjian Kerja Harian atau Lepas yaitu pekerja harian atau lepas, yang biasa disebut freelance dalam masyarakat. Istilah freelance berasal dari bahasa Inggris yang pertama kali diperkenalkan oleh Sir Walter Scott ( ) dari Britania Raya. Freelance terdiri dari kata free (bebas) dan lance (tombak) yang artinya tombak yang bebas. Menunjukkan bahwa tombak tidak disumpah untuk melayani majikan apapun, bukan bahwa tombak tersedia gratis. Pengertian lain dari freelance adalah seseorang yang bekerja sendiri dan tidak berkomitmen kepada majikan jangka panjang tertentu. 4 Jenis pekerja freelance terbagi berdasarkan satuan hasil dan satuan waktu. Freelance berdasarkan satuan hasil umumnya merupakan 4 diakses 8 Desember 2016

17 6 pekerja dengan profesi tertentu dan menawarkan keahliannya sebagai jasa dengan diberikan upah dari hasil kerjanya secara mandiri. Hubungan kerjanya langsung berakhir setelah freelance menyelesaikan pekerjaannya dan tanpa ada perjanjian kerja, contohnya penerjemah. Sedangkan freelance berdasarkan satuan waktu, pada umumnya mereka bekerja pada pengusaha dengan diberikan upah berdasarkan kehadiran. Hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja, contohnya sales marketing. Jika kita perhatikan bahwa antara pengusaha dengan freelance yang dipekerjakannya sudah memenuhi tiga unsur pada Pasal 1 angka 15, sehingga dapat dipastikan bahwa telah terjadi suatu hubungan kerja sesuai dengan apa yang dimaksud di dalam UUK. Secara sosiologis, pekerja memang merupakan pihak yang lebih lemah dibanding pihak pengusaha. Pekerja adalah orang yang tidak bebas dalam menentukan kehendaknya terhadap pengusaha, karena dalam suatu hubungan kerja pengusaha telah memberikan batasanbatasan yang harus diikuti oleh pihak pekerja. 5 Sangat sulit bagi pihak pekerja untuk menentang, dan bila mereka berkeras untuk menentang maka mereka akan kehilangan mata pencaharian. Bagi pengusaha, kehilangan seorang pekerja bukan persoalan karena masih ada ribuan pekerja yang mencari pekerjaan. Melihat kondisi dilapangan, freelance tidak memperoleh hakhaknya sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan, diantaranya hubungan 5 Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan, Jakarta: Dss Publising, 2004 hlm. 2

18 7 kerja yang tidak jelas, pemberian waktu kerja serta melebihi ketentuan, serta masih adanya diskriminatif dari pengusaha. Berdasarkan keterangan dari beberapa freelance, mereka menyebutkan bahwa selama bekerja hanya terikat dengan perjanjian kerja secara lisan. Sehingga mereka memiliki posisi yang lemah, mengakibatkan tidak ada keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban yang telah dilaksanakannya. Selain mengenai perjanjian kerja, mereka belum mendapatkan perlindungan kerja terutama perlindungan upah yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Berdasarkan uraian di atas, maka issue penelitian ini adalah bahwa dalam hubungan kerja yang selama ini dilaksanakan antara pengusaha dengan freelance belum sepenuhnya tunduk pada peraturan Ketenagakerjaan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah status dan hubungan hukum antara pengusaha dengan freelance? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pekerja freelance dalam Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan ditinjau dari prinsip keadilan dalam masyarakat?

19 8 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui status dan hubungan hukum antara pengusaha dengan freelance. 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pekerja freelance dalam Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan ditinjau dari prinsip keadilan dalam masyarakat. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber kepustakaan dalam bentuk sumbangan pemikiran penulis dalam rangka pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai hukum ketenagakerjaan. 2. Manfaat Praktis : Penulis berharap hasil penelitian ini mampu memberikan masukan kepada pemerintah agar dapat menjamin hubungan kerja yang seimbang dalam pengaturan hak dan kewajiban pihak pekerja dan pengusaha, sehingga pada akhirnya pekerja serta pengusaha dapat saling merasakan ketentraman.

20 9 E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi, penelusuran sementara, dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Pekerja Freelance Berdasarkan Prinsip Keadilan Dalam Masyarakat". Oleh sebab itu keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai objektifitas dan kejujuran.

21 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan 1. Pengertian Ketenagakerjaan Perkembangan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan sampai saat ini, telah terjadi pergeseran istilah yang disebabkan oleh berbagai alasan baik yang bersifat sosiologis maupun yuridis. Sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat mengenai pengertian mengenai hukum ketenagakerjaan. Akan tetapi secara umum dapat dirumuskan, bahwa hukum ketenagakerjaan itu adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja atau organisasi pekerja dengan majikan atau pengusaha atau organisasi majikan dan pemerintah, termasuk didalamnya adalah proses-proses dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan untuk merealisasikan hubungan tersebut menjadi kenyataan. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa, hukum ketenagakerjaan itu adalah suatu himpunan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja, majikan atau pengusaha, organisasi pekerja, organisasi pengusaha, dan pemerintah. 7 Didalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UUK menyebutkan bahwa, ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. 7 Darwin Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, hlm. 1

22 11 Menurut Imam Soepomo, perburuhan atau ketenagakerjaan adalah suatu himpunan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian saat seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah. Mr. Soetikno berpendapat bahwa, perburuhan atau ketenagakerjaan adalah keseluruhan peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan dibawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut. 8 Dari pengertian di atas, diketahui bahwa tenaga kerja merupakan unsur yang sangat penting dalam hukum ketenagakerjaan Mengingat faktor tenaga kerja dalam proses pembangunan ini harus diperhatikan, oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk membina, mengarahkan serta perlindungan bagi tenaga kerja untuk menciptakan kesejahteraan yang berkaitan dengan yang dilakukannya. 2. Pihak-Pihak Dalam Hubungan Kerja a. Pekerja atau Buruh Dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat beberapa peristilahan mengenai pekerja. Misalnya ada penyebutan : buruh, karyawan atau pegawai. Terhadap peristilahan yang demikian, Darwan Prinst menyatakan bahwa maksud dari semua peristilahan 8 Hadi Setia Tunggal, Asas-Asas Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Harvarindo, 2014, hlm. 12

23 12 tersebut mengandung makna yang sama; yaitu orang yang bekerja pada orang lain dan mendapat upah sebagai imbalannya. 9 Pasal 1 angka 2 UUK disebutkan bahwa, Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Dalam Pasal 1 angka 3 UUK menyebutkan bahwa,pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Dari pengertian pekerja tersebut jelaslah bahwa hanya tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh, namun memiliki makna yang luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang. b. Pengusaha atau Majikan Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga sangat populer karena perundang-undangan sebelum Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan. Dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian 9 Darwin Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, hlm. 20

24 13 Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa majikan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh. Istilah majikan juga kurang sesuai dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada di atas, padahal antara buruh dan majikan secara yuridis adalah mitra kerja yang mempunyai kedudukan sama, karena itu lebih tepat jika disebut dengan istilah Pengusaha. Perundang-undangan yang lahir kemudian seperti Undang-undang No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek, Undangundang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 25 tahun 1997 yang dicabut dan diganti dengan UUK menggunakan istilah Pengusaha. Pasal 1 angka 5 menjelaskan pengertian Pengusaha yakni: 1) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; 2) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; 3) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pengaturan istilah pemberi kerja ini muncul untuk menghindari orang yang bekerja pada pihak lain yang tidak dapat dikategorikan sebagai Pengusaha.

25 14 3. Hubungan Kerja dan Dasar Hukumnya Tjepi F. Aloewir mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu. 10 Pasal 50 UUK mengatur bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau buruh. Dalam Pasal 1 angka 15 UUK disebutkan bahwa, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau buruh. 11 Hubungan kerja merupakan suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan perjanjian sebelumnya oleh pihak yang bersangkutan. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha menyatakan pula kesanggupannya untuk memperkerjakan pekerja dengan membayar upah. Dengan demikian hubungan kerja yang terjadi antara pekerja dan pengusaha adalah merupakan bentuk perjanjian kerja yang pada dasarnya memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak. 10 Tjepi F. Aloewic, Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Industrial, Cetakan ke-11, Jakarta: BPHN, 1996, hlm Hadi Setia Tunggal, Asas-Asas Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Harvarindo, 2014, hlm. 71

26 15 Dari pengertian diatas dapat ditarik beberapa pengertian perjanjian kerja serta unsur-unsur dalam perjanjian kerja yaitu syarat sah perjanjian kerja, bentuk dan jangka waktu perjanjian kerja. a. Pengertian Perjanjian Kerja Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pasal 1601a KUHPerdata memberikan pengertian perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Pasal 1 angka 14 UUK mengatur bahwa Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Selain pengertian normatif seperti tersebut diatas, menurut Imam Soepomo perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak ke satu (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah. 12 Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut diatas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah dibawah perintah pihak lain, ini menunjukkan bahwa 12 Dr. Lalu Husni, S.H., M.Hum., Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan ke-10, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 64

27 16 hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosialekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh yang secara sosial-ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut UUK sifatnya lebih umum, karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. b. Unsur-Unsur Dalam Perjanjian Kerja Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar perjanjian bisa dinyatakan sah dan mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakat, kecakapan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Demikian juga dalam perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata masih juga menjadi pegangan dan harus diterapkan, agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaannya bisa dianggap sah dan konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, ternyata masih ada unsur-unsur lain yang harus dipenuhi.

28 17 Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian kerja yaitu: 13 1) Adanya unsur Work atau Pekerjaan. Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1603a yang berbunyi: Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikannya dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya. Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. Setiap pekerjaan dilakukan oleh pekerja dan sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian yang telah disepakati dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUK. Bahkan pada Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, menyatakan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan. Ketentuan tersebut diatas, bisa diartikan jika seseorang tidak mau bekerja, maka berarti seseorang tersebut tidak berkehendak untuk mendapatkan upah. 13 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 55

29 18 2) Adanya unsur Service dan Perintah. Pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai manifestasi adanya perjanjian kerja, haruslah tunduk dan berada di bawah perintah orang lain, yaitu pemberi kerja atau majikan. Pekerja di dalam melakukan pekerjaannya/kewajibannya harus bermanfaat bagi si pemberi kerja, dan sesuai dengan apa yang dimuat di dalam isi perjanjian kerja. Jika suatu pekerjaan yang tujuannya bukan untuk memberikan manfaat bagi si pemberi kerja, tetapi mempunyai tujuan untuk kemanfaatan si pekerja itu sendiri, maka perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian kerja. 3) Adanya unsur Time atau Waktu Tertentu. Bahwa dalam melakukan hubungan kerja haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja, dalam melakukan pekerjaan, pekerja tidak boleh melakukan pekerjaan sekehendaknya dan pelaksanaan pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dan ketertiban umum. Jangka waktu saat ini dikenal dua jenis yaitu PKWT dan PKWTT. 4) Adanya unsur Upah. Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama orang bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika

30 19 tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Pekerja harus melakukan pekerjaan dibawah perintah orang lain yaitu majikan, maka majikan sebagai pihak pemberi kerja wajib pula memenuhi prestasinya, yaitu pembayaran upah, upah adalah imbalan prestasi yang wajib dibayar oleh majikan kepada pekerja. c. Syarat Sah Perjanjian Kerja Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No 13. Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar : 1) Kesepakatan kedua belah pihak; Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya, bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, mengenai hal-hal yang diperjanjikan. 2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian (tidak terganggu kejiwaan/waras) dan cukup umur minimal 18 Tahun.

31 20 3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 KUHPerdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak. 4) Tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Objek perjanjian haruslah yang halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Suatu perjanjian kerja harus secara tegas menyebutkan jenis pekerjaan yang akan dikerjakan oleh pihak pekerja, untuk menghindari permasalahan yang mungkin timbul kemudian hari. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan harus halal, disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

32 21 Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan. d. Bentuk Dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja Perjanjian kerja berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UUK, dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis. Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian. Namun dalam kenyataannya masih banyak pengusaha yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena kelaziman sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 54 UUK, perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat keterangan: 1) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; 2) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; 3) Jabatan atau jenis pekerja; 4) Tempat pekerjaan; 5) Besarnya upah dan cara pembayaran; 6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja; 7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

33 22 8) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; 9) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Berdasarkan Pasal 56 UUK terdapat dua jenis perjanjian kerja, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). 1) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kep.100/Men/VI/2004), yang dimaksud dengan PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Pasal 56 ayat (2) UUK, mengatur pula bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57 ayat (1) UUK). Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. Dalam pasal 59 ayat (1) UUK menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yakni:

34 23 Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga (3) tahun; Pekerjaan yang bersifat musiman; dan Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. a) Isi PKWT Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh yang diperjanjikan dalam PKWT diatur dalam Pasal 2 Kep.100/Men/VI/2004 jo. Pasal 54 ayat (2) UUK, mensyaratkan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan Pasal 54 ayat (2) UUK, bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan

35 24 atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. b) Persyaratan pembuatan PKWT Sesuai ketentuan Pasal 56 - Pasal 59 UUK, pembuatan PKWT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 14 Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Harus dibuat secara tertulis dan menggunakan Bahasa Indonesia. Tidak boleh ada masa percobaan. Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertertu. Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Pekerjaan bersifat musiman. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun. Penjelasan Pasal 59 ayat (2) UUK, bahwa yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. 14 Hidayat Muharam, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 6

36 25 Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak bergantung pada cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terusmenerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi bergantung pada cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu, pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu. c) Perpanjangan dan Pembaruan PKWT Berdasarkan Pasal 59 UUK, PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun (PKWT I) dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun (perpanjangan PKWT pertama atau PKWT kedua). Dalam hal pengusaha ingin melakukan perpanjangan PKWT, maka paling lama tujuh hari sebelum PKWT berakhir perusahaan telah memberikan pemberitahuan secara tertulis maksud mengenai perpanjangan PKWT tersebut kepada pekerja yang bersangkutan. Pembaruan PKWT (PKWT ketiga) hanya boleh dilakukan 1 kali paling lama 2 tahun dan pembaruan PKWT ini baru dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama. Dalam masa tenggang waktu tiga

37 26 puluh hari ini tidak boleh ada hubungan kerja apa pun antara pengusaha dan pemberi kerja. d) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat sementara Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sifatnya sementara diatur dalam Pasal 3 Kep.100/Men/VI/2004 yaitu perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu dan dibuat untuk waktu paling lama tiga tahun. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, perjanjian kerja waktu tertentu tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. Pasal 3 Kep.100/Men/VI/2004 juga menentukan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu, dalam hal dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu. Pembaruan dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu tiga puluh hari tidak boleh ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.

38 27 e) PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman Pengertian pekerjaan yang bersifat musiman diatur dalam Pasal 4 Kep.100/Men/VI/2004, yaitu pekerjaan yang pelaksanaannya bergantung kepada musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. Berdasarkan Pasal 5 Kep.100/Men/VI/2004, pekerjaanpekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman ini tidak dapat dilakukan pembaruan berdasarkan ketentuan Pasal 7 Kep.100/Men/VI/2004. f) Perjanjian kerja harian/lepas Menurut Pasal 10 ayat (1) Kep.100/Men/VI/2004, pekerjaanpekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dibuat perjanjian kerja harian/lepas. Pasal 10 ayat (2) Kep.100/Men/VI/2004 pula mengatur tentang waktu kerja untuk perjanjian kerja pekerja harian/lepas, yaitu pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian/lepas berubah menjadi PKWTT.

39 28 Perjanjian kerja harian/lepas yang memenuhi ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud di atas menurut Pasal 11 ayat (1) Kep.100/Men/VI/2004, dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu PKWT pada umumnya. Maksud dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu PKWT pada umumnya adalah jangka waktu perjanjian kerja harian/lepas tidak dibatasi oleh hanya satu kali perpanjangan dan/atau satu kali pembaruan sebagaimana PKWT pada umumnya. g) Peralihan PKWT menjadi PKWTT Apabila syarat-syarat PKWT tidak terpenuhi maka secara hukum PKWT dapat berubah menjadi PKWTT, hal ini diatur pada Pasal 15 Kep.100/Men/VI/2004 yaitu apabila: PKWT yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) Kep.100/Men/VI/2004, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Kep.100/Men/VI/2004, maka PKWTT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.

40 29 Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Kep.100/Men/VI/2004, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam 4 point di atas, maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PKWTT. 2) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) PKWTT diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Kep.100/Men/VI/2004, yaitu perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. UUK juga mengatur tentang masa percobaan, yaitu dalam Pasal 60 UUK bahwa PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan selama tiga bulan. Hal ini salah satunya dilatar belakangi oleh karena sifat perjanjian yang bersifat berkelanjutan dan jangka panjang sehingga perusahaan memerlukan waktu untuk evaluasi pekerja tersebut sebelum menjadi pekerja tetapnya. Selama masa percobaan tersebut

41 30 pengusaha dilarang membayarkan upah di bawah upah minimum yang berlaku. Penjelasan Pasal 60 ayat (1) UUK, bahwa syarat masa percobaan kerja dalam PKWTT harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Apabila tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Selanjutnya dalam Pasal 63 UUK ditentukan, PKWTT yang dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan. Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat: Nama dan alamat pekerja; Tanggal mulai bekerja; Jenis pekerjaan; dan Besarnya upah. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1603L KUHPerdata, jika diperjanjikan mengenai masa percobaan dalam PKWTT, selama waktu itu (tiga bulan) masing-masing pihak berhak mengakhiri seketika hubungan kerjanya dengan pemberitahuan penghentian. Berakhirnya hubungan kerja terhadap PKWTT

42 31 umumnya pada usia pensiun yakni sampai dengan pekerja berusia 55 tahun. 4. Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kerja Setiap hubungan hukum yang lahir baik dari perikatan maupun peraturan perundang-undangan selalu mempunyai dua aspek yaitu hak dan kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. 15 Hak dan kewajiban bukan merupakan kumpulan peraturan atau kaidah, melainkan merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak lawan. Hak dan kewajiban merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum. 16 Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atau statusnya Ikhwan Fahrojih, Hukum Perburuhan, Malang: Setara Press, 2016, hlm Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm Darwan Prints, Hukum Perburuhan Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004, hlm

43 32 a. Hak dan Kewajiban Pekerja Mengenai hak-hak bagi pekerja adalah sebagai berikut: 1) Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUHPerdata, Pasal UUK, Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan); 2) Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 4 UUK); 3) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya (Pasal 5 UUK); 4) Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian dan keterampilan lagi (Pasal 9-30 UUK); 5) Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 3 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek); 6) Hak mendirikan dan menjadi anggota Perserikatan Tenaga Kerja (Pasal 104 UUK, Undang-undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh); 7) Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi majikan (Pasal 79 UUK); 8) Hak atas upah penuh selama istirahat tahunan (Pasal UUK);

44 33 9) Hak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan, bila pada saat diputuskan hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikit-dikitnya 6 bulan terhitung dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang terakhir, yaitu dalam hal bila hubungan kerja diputuskan oleh majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh buruh, atau oleh buruh karena alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh majikan (Pasal UUK); 10) Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan penyelesaian melalui pengadilan (Pasal Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Di samping mempunyai hak-hak sebagaimana diuraikan di atas, pekerja juga mempunyai kewajiban sebagai berikut: 18 1) Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan; 2) Wajib mematuhi peraturan perusahaan; 3) Wajib mematuhi perjanjian kerja; 4) Wajib mematuhi perjanjian perburuhan; 5) Wajib menjaga rahasia perusahaan; 6) Wajib mematuhi peraturan majikan; 7) Wajib memenuhi segala kewajiban selama izin belum diberikan dalam hal ada banding yang belum ada putusannya; 18 Ibid, hlm. 23

45 34 8) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda, jika pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik disengaja atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum, pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda. b. Hak dan Kewajiban Pengusaha Hak pengusaha adalah sesuatu yang harus diberikan kepada pengusaha sebagai konsekuensi adanya pekerja yang bekerja padanya atau karena kedudukannya sebagai pengusaha. Adapun hak-hak dari pengusaha yang harus dipenuhi oleh pekerja adalah sebagai berikut: 19 1) Mendapat hasil pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja; 2) Pekerja harus mentaati aturan atau petunjuk pengusaha; 3) Mendapatkan ganti rugi dari pekerja, apabila pekerja melakukan perbuatan atau merugikan perusahaan; 4) Kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja. Adapun yang menjadi kewajiban pengusaha dengan adanya hubungan kerja adalah: 20 1) Kewajiban membayar upah, dalam hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secara tepat waktu. 2) Kewajiban memberikan istirahat atau cuti, pihak majikan atau pengusaha diwajibkan untuk memberikan istirahat dan cuti tahunan kepada pekerja secara teratur. 19 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm Ibid, hlm

46 35 3) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan, majikan atau pengusaha wajib mengurus perawatan atau pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan. Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan kewajiban ini tidak hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan, tetapi juga bagi pekerja yang tidak bertempat tinggal dirumah majikan. 4) Kewajiban mamberikan surat keterangan, kewajiban ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1602a KUHPerdata yang menyebutkan bahwa majikan atau pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan. 5. Pengaturan Mengenai Upah Kerja a. Pengertian upah Upah merupakan hak dari pekerja yang diterimanya sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Hak untuk menerima upah itu timbul pada saat dimulainya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Edwin B. Flippo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan upah adalah harga untuk jasa yang telah diterima atau diberikan oleh orang lain bagi kepentingan seseorang atau badan hukum. 21 Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menentukan pengertian upah adalah 21 G. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Jakarta: Bina Aksara, 1986, hlm. 93

47 36 hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Pasal 1 angka 30 UUK juga memberikan pengertian tentang upah, yaitu hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk yang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Dari pengertian di atas jelaslah bahwa sesungguhnya upah dibayarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, namun untuk menjaga agar jangan sampai upah yang diterima terlampau rendah, maka pemerintah turut serta dalam menetapkan standar upah terendah melalui peraturan perundang-undangan yang dikenal dengan upah minimum. Eggi Sudjana memberikan pengertian upah dari sudut pandang ekonomi yakni segala macam bentuk-bentuk penghasilan yang diterima buruh/pegawai (tenaga kerja), baik berupa uang

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) 1.1 Tenaga Kerja 1.1.1 Pengertian Tenaga Kerja Hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum masa kerja,

Lebih terperinci

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA copyright by Elok Hikmawati 1 PENDAHULUAN Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK 2.1 Perjanjian Kerja 2.1.1 Pengertian Perjanjian Kerja Secara yuridis, pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian kerja dalam Bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkomst, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK), maka keberadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA. Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA. Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA 2.1. Tenaga Kerja Perempuan Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar 1945Pasal 27 ayat (2) berbunyi

Lebih terperinci

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA, PEMBERI KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA 2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja 2.1.1. Pengertian pekerja rumah tangga Dalam berbagai kepustakaan

Lebih terperinci

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Hubungan Kerja Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB IX HUBUNGAN KERJA Pasal 50 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal 51 1. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN KERJA SEBAGAI LANDASAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA. A. Pengertian dan Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja

BAB II PERJANJIAN KERJA SEBAGAI LANDASAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA. A. Pengertian dan Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja BAB II PERJANJIAN KERJA SEBAGAI LANDASAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA A. Pengertian dan Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja 1. Pengertian perjanjian kerja Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA. Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA. Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA 2.1 Pengertian Tentang Tenaga Kerja Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja 1. Pengertian Tenaga Kerja Pengertian Tenaga Kerja dapat di tinjau dari 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa, Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu

Lebih terperinci

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi Modul ke: Hubungan Industrial Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Rizky Dwi Pradana, M.Si Daftar Pustaka

Lebih terperinci

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Taufiq Yulianto Staf Pengajar Teknik Elektro Politeknik Negeri Semarang ABSTRACT: A work agreement

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.100/MEN/VI/2004 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Kenyataan telah membuktikan bahwa faktor ketenagakerjaan

Lebih terperinci

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013 MK. ETIKA PROFESI ETIKA BISNIS Smno.tnh.fpub2013 Pengertian Etika Pengertian; Etika kata Yunani ethos, berarti adat istiadat atau kebiasaan. Etika flsafat moral, ilmu yang membahas nilai dan norma yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2 TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 1 Oleh : Ruben L. Situmorang 2 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja 25 BAB II PEMBAHASAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud

Lebih terperinci

JURNAL HUKUM ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DI UD NABA JAYA SAMARINDA ABSTRAKSI

JURNAL HUKUM ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DI UD NABA JAYA SAMARINDA ABSTRAKSI JURNAL HUKUM ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DI UD NABA JAYA SAMARINDA ABSTRAKSI RISMAN FAHRI ADI SALDI. NIM : 0810015276. Analisis Terhadap Perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak 2.1.1 Pengertian pekerja Istilah buruh sudah dipergunakan sejak lama dan sangat

Lebih terperinci

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011 Oleh: Arum Darmawati Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011 Hukum Ketenagakerjaan Seputar Hukum Ketenagakerjaan Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan Hubungan Kerja (Perjanjian

Lebih terperinci

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (dienstverhoeding), yaitu

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (dienstverhoeding), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjanjian kerja merupakan awal dari lahirnya hubungan industrial antara pemilik modal dengan buruh. Namun seringkali perusahaan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Hubungan Kerja Hubungan antara buruh dengan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah

Lebih terperinci

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN BAB 1 PERJANJIAN KERJA 1.1. DEFINISI Pasal 1 UU No. 13/2003 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masing-masing memiliki cirri khusus yang membedakan dengan yang lainya, perjanjian, subjek serta obyek yang diperjanjikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masing-masing memiliki cirri khusus yang membedakan dengan yang lainya, perjanjian, subjek serta obyek yang diperjanjikan. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Perjanjian Kerja Perjanjian kerja merupakan salah satu turunan dasri perjanjian yang dimana masing-masing memiliki cirri khusus yang membedakan dengan yang lainya, yang keseluruhan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peran Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan patokan patokan perilaku, pada kedudukan kedudukan tertentu dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA 1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA 2.1 Perlindungan Hukum Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian A.1 Pengertian perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, hal ini berdasarkan bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian dan undang undang. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA A. Pengertian Perjanjian Kerja Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja menunjukkan kedudukan kedua belah

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN U M U M

BAB I KETENTUAN U M U M UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG K E T E N A G A K E R J A A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULULAN. lain melindungi segenap bangsa dan seluruh tanah tumpah da rah Indonesia,

BAB I PENDAHULULAN. lain melindungi segenap bangsa dan seluruh tanah tumpah da rah Indonesia, BAB I PENDAHULULAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia mempunyai tujuan Negara sebagaimana tersurat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan antara perusahaan dengan para pekerja ini saling membutuhkan, di. mengantarkan perusahaan mencapai tujuannya.

BAB I PENDAHULUAN. hubungan antara perusahaan dengan para pekerja ini saling membutuhkan, di. mengantarkan perusahaan mencapai tujuannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan adagium ini nampaknya biasa saja, seperti tidak mempunyai makna. Tetapi kalau dikaji lebih jauh akan kelihatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA 2.1 Serikat Pekerja 2.1.1 Pengertian Serikat Pekerja Pengertian serikat pekerja/buruh menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN

BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN 37 BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN A. Pengaturan tentang Hubungan Kerja Pada dasarnya hubungan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang 11 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang banyak, sehingga membutuhkan lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk menyerap tenaga

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 30 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBUATAN PERATURAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang Disebabkan Karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di PT. Planet Electrindo Berdasarkan Putusan Nomor 323K/Pdt.Sus-PHI/2015

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN KERJA, PERJANJIAN KERJA DAN JAMINAN SOSIAL KECELAKAAN KERJA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN KERJA, PERJANJIAN KERJA DAN JAMINAN SOSIAL KECELAKAAN KERJA 23 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN KERJA, PERJANJIAN KERJA DAN JAMINAN SOSIAL KECELAKAAN KERJA 2.1 Hubungan Kerja 2.1.1 Pengertian hubungan kerja Manusia selalu dituntut untuk mempertahankan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang sangat sering dihadapi oleh negara-negara seperti halnya Indonesia. Persoalan yang paling mendasar

Lebih terperinci

Miftakhul Huda, S.H., M.H

Miftakhul Huda, S.H., M.H Miftakhul Huda, S.H., M.H Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap Dapat mensyaratkan masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam memenuhi kebutuhan hidup keseharian semua manusia yang telah memiliki usia produkuktif tentunya membutuhkan pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidupnya

Lebih terperinci

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2099, 2014 KEMENAKER. Peraturan Perusahaan. Pembuatan dan Pendaftaran. Perjanjian Kerja Sama. Pembuatan dan Pengesahan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA DI LEMBAGA PEMERINTAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA DI LEMBAGA PEMERINTAHAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA DI LEMBAGA PEMERINTAHAN 1.1 Tenaga Kerja 1.1.1 Pengertian tenaga kerja Dalam Bab I Pasal 1 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengenai tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan suatu negara berkembang yang mempunyai tujuan dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negaranya. Konstitusi bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hakikat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hakikat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu melainkan juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hakikat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu melainkan juga makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat bertahan hidup secara utuh tanpa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 102 1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwa Negara menjamin keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berkembang yang sedang giat melakukan pembangunan. Pembangunan di Indonesia tidak dapat maksimal jika tidak diiringi dengan

Lebih terperinci

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.237, 2015 TENAGA KERJA. Pengupahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5747). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi Tiap-tiap warga negara. pernyataan tersebut menjelaskan bahwa negara wajib memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi Tiap-tiap warga negara. pernyataan tersebut menjelaskan bahwa negara wajib memberikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan membutuhkan bantuan dari orang lain. Untuk dapat mempertahankan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG MENTERI KETENAGAKERJAAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA PUBLIKDONESIA PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia merupakan proses dari kelangsungan hidup yang. uang yang digunakan untuk memenuhi tuntutan hidup mereka akan

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia merupakan proses dari kelangsungan hidup yang. uang yang digunakan untuk memenuhi tuntutan hidup mereka akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia merupakan proses dari kelangsungan hidup yang berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang layak. Pada dasarnya manusia selalu berjuang dengan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG N0. 13 TAHUN 2003 DI PT. BATIK DANAR HADI SOLO

PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG N0. 13 TAHUN 2003 DI PT. BATIK DANAR HADI SOLO 0 PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG N0. 13 TAHUN 2003 DI PT. BATIK DANAR HADI SOLO Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Baik pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti kebutuhan pangan, sandang serta kesempatan kerja. Selain itu, jumlah masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. seperti kebutuhan pangan, sandang serta kesempatan kerja. Selain itu, jumlah masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu syarat untuk keberhasilan pembangunan nasional adalah kualitas masyarakat Indonesia. Jumlah penduduk yang besar menggambarkan kebutuhan masyarakat

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara yang sedang giat-giatnya. membangun untuk meningkatkan pembangunan disegala sektor dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara yang sedang giat-giatnya. membangun untuk meningkatkan pembangunan disegala sektor dengan tujuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara yang sedang giat-giatnya membangun untuk meningkatkan pembangunan disegala sektor dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum pada dasarnya tidak membedakan antara pria dan perempuan, terutama dalam hal pekerjaan. Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi

Lebih terperinci

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok.

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok. PENGANTAR Pembahasan MSDM yang lebih menekankan pada unsur manusia sebagai individu tidaklah cukup tanpa dilengkapi pembahasan manusia sebagai kelompok sosial. Kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saing ketat sehingga membuat perusahaan-perusahaan berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. saing ketat sehingga membuat perusahaan-perusahaan berusaha untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia usaha di Indonesia semakin berkembang dan berdaya saing ketat sehingga membuat perusahaan-perusahaan berusaha untuk meningkatkan kualitas kinerja

Lebih terperinci

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA UNTUK WAKTU TERTENTU DI PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA UNTUK WAKTU TERTENTU DI PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA 0 PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA UNTUK WAKTU TERTENTU DI PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja. Dalam melakukan pekerjaan harus dibedakan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja. Dalam melakukan pekerjaan harus dibedakan yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya menuntut setiap orang untuk bekerja. Dalam melakukan pekerjaan harus dibedakan yaitu pelaksanaan pekerjaan untuk kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas buruh, dan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas buruh, dan peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buruh mempunyai peranan yang penting dalam rangka pembangunan nasional tidak hanya dari segi pembangunan ekonomi namun juga dalam hal mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU Oleh Suyanto ABSTRAK Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai

Lebih terperinci

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum Rahasia Dagang 1. Penjelasan Rahasia Dagang Rahasia Dagang (Trade Secret) memegang peranan penting dalam ranah Hak Kekayaan Intelektual. Rahasia Dagang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu berkebutuhan dan selalu memiliki keinginan untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. selalu berkebutuhan dan selalu memiliki keinginan untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sesuai kodratnya menjadi seseorang yang dalam hidupnya selalu berkebutuhan dan selalu memiliki keinginan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) sudah mulai dikenal dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK A. Perjanjian pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata (Burgerlijke Wetboek) menyatakan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Gambaran hasil penelitian dalam Bab mengenai Hasil Penelitian dan Analisis ini akan dimulai dari pemaparan hasil penelitian terhadap peraturan perundangundangan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun antar negara, sudah sedemikian terasa ketatnya. 3

BAB I PENDAHULUAN. maupun antar negara, sudah sedemikian terasa ketatnya. 3 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi dan pasar bebas belum berjalan sepenuhnya. Akan tetapi aroma persaingan antar perusahaan barang maupun jasa, baik di dalam negeri maupun antar negara,

Lebih terperinci

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM I-7 BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN I-8 BAB III PEMBENTUKAN I-10 BAB

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan konstitusi. Di dalam

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan konstitusi. Di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan konstitusi. Di dalam Konstitusi terdapat peraturan peraturan yang mengatur mengenai hak hak seorang warga Negara.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang. dalam mendukung pembangunan nasional. Berhasilnya perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang. dalam mendukung pembangunan nasional. Berhasilnya perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, baik material maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di bidang ketenagakerjaan, pihak-pihak yang terlibat didalamnya, yaitu pekerja, pengusaha dan

BAB I PENDAHULUAN. Di bidang ketenagakerjaan, pihak-pihak yang terlibat didalamnya, yaitu pekerja, pengusaha dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bidang ketenagakerjaan, pihak-pihak yang terlibat didalamnya, yaitu pekerja, pengusaha dan pemerintah akan menimbulkan terselenggaranya hubungan industrial. Tujuan

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN SERTA PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN SERTA PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; 7. Keputusan Menteri

Lebih terperinci

HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN III) HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 HUBUNGAN KERJA Hubungan Kerja adalah suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 2/Mar/2015/Edisi Khusus

Lex et Societatis, Vol. III/No. 2/Mar/2015/Edisi Khusus KAJIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TENTANG KONDISI KERJA, HUBUNGAN KERJA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN PERBURUHAN/ INDUSTRIAL DI INDONESIA 1 Oleh : Noveria Margaretha Darongke 2 ABSTRAK Obyek dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Peraturan Kepala

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unjuk rasa. Penanganan pengupahan ini tidak hanya menyangkut aspek teknis dan

BAB I PENDAHULUAN. unjuk rasa. Penanganan pengupahan ini tidak hanya menyangkut aspek teknis dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengupahan merupakan masalah yang sangat krusial dalam bidang ketenagakerjaan bahkan apabila tidak profesional dalam menangani tidak jarang akan menjadi potensi

Lebih terperinci

HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003

HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003 HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003 PENGUSAHA PEMERINTAH UU NO 13 TAHUN 2003 UU KETENAGAKERJAAN PEKERJA MASALAH YANG SERING DIHADAPI PENGUSAHA - PEKERJA MASALAH GAJI/UMR MASALAH KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimana perlindungan tersebut menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Karena pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimana perlindungan tersebut menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Karena pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perlindungan Hukum Di dalam Kamus Umum khususnya bidang hukum dan politik hal. 53 yang ditulis oleh Zainul Bahry, S.H., Perlindungan Hukum terdiri dari 2 suku kata yaitu: Perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN pada alinea keempat yang berbunyi Kemudian dari pada itu untuk

BAB I PENDAHULUAN pada alinea keempat yang berbunyi Kemudian dari pada itu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang sedang mengalami fase Berkembang menuju Negara maju yang sesuai dengan tujuan Negara Indonesia yaitu kesejahteraan, adil, dan makmur

Lebih terperinci