BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Profil Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin. Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Syaifuddin merupakan salah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Profil Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin. Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Syaifuddin merupakan salah"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Profil Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Syaifuddin merupakan salah satu kawasan konservasi yang ada di Kabupaten Batang Hari. Menurut Anonim (2016:3), kawasan ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan sejak Zaman Pemerintahan Belanda melalui Keputusan Gubernur Belanda Nomor : 18 tahun 1933 tanggal 15 Juli Saat itu, status kawasan hutan ditetapkan sebagai hutan Lindung dan Produksi. Dalam rangka mengoptimalkan fungsi kawasan hutan Senami upaya pelestarian, pengawetan dan pemanfaatan sebagai sarana objek wisata alam, Gubernur KDH Tk. I Jambi dengan suratnya Nomor : /1151/1996 tanggal 14 Februari 1996 telah mengusulkan kepada Menteri Kehutanan agar Kawasan Hutan Senami dikelola menjadi Taman Hutan Raya. Kawasan ini diresmikan sebagai Taman Hutan Raya pada tanggal 15 Maret 2001, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 94/Kpts-II/2001 yang mengatur tentang Penetapan Kelompok Hutan Senami Bulian seluas (lima belas ribu delapan ratus tiga puluh) hektar di Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi sebagai Kawasan Hutan. Berlakunya peraturan ini menyebabkan perubahan fungsi dari kawasan hutan Produksi terbatas menjadi Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Syaifuddin. Untuk kelancaran tugas pengelolaan TAHURA maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 107/Kpts-II/2003 tentang 6

2 7 Penyelenggara Tugas Pembantuan Pengelolaan Taman Hutan Raya oleh Gubernur atau Bupati/Walikota (Anonim, 2016: 3). Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 25 Oktober 2016, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari mengemukakan bahwa secara geografis kawasan Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin terletak antara 01º º57 31 LS dan 103º º16 40 BT. Sementara itu, secara administrasi kawasan TAHURA Sultan Thaha Syaifuddin masuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Muara Bulian, Kecamatan Bajubang, Kecamatan Muara Tembesi dan Kecamatan Batin XXIV. Kawasan ini dikelilingi oleh beberapa desa yaitu: Desa Bungku, Pompa Air, Mekar Jaya, Singkawang, Tenam, Jebak, Ampelu, Jangga Baru, Bulian Baru dan Kelurahan Sridadi serta Dusun Senami Baru yang berada persis di dalam kawasan Tahura tersebut. Bapak Suhanan selaku Kepala UPTD Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Syaifuddin pada wawancara tanggal 25 Oktober 2016 memaparkan bahwa kawasan hutan ini mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Timur Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Muara Bulian : Berbatasan dengan Kecamatan Bajubang dan Batin XXIV : Berbatasan dengan Kecamatan Bajubang : Berbatasan dengan Kecamatan Muara Tembesi dan Batin XXIV.

3 8 Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Syaifuddin mempunyai fungsi pokok untuk perlindungan, sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Secara khusus, Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Syaifuddin merupakan habitat pengawetan tanaman Bulian (Eusideroxylon zwagerii) merupakan tanaman langka dan dilindungi. Selain itu untuk ke depannya TAHURA dimanfaatkan terutama sebagai areal untuk kepentingan pengembangan ekowisata (Komunikasi pribadi, 2016). Menurut Anonim (2016: 5), Di dalam kawasan bahwataman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Syaifuddin terdapat beraneka jenis satwa yang sudah dinyatakan langka dan dilindungi diantaranya harimau sumatra (Panthera tigrissumatrae), beruang madu (Healarctos malayanus), trenggiling (Manis javanicus), napu (Tragulus napu) dan kijang (Muntiacus muncak) yang hidup liar di alam. Sementara itu, di kawasan ini (sesuai hasil inventarisasi flora tahun 2013) terdapat sebanyak lebih kurang 149 jenis pohon. Hasil inventarisasi potensi tersebut menunjukkan bahwa Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Syaifuddin ini memilik kekayaan hayati yang khas di Provinsi Jambi yang memerlukan upaya konservasi. Sayangnya, di kawasan ini kerap terjadi kebakaran hutan yang menyebabkan sebagian wilayah hutan mengalami banyak perubahan seperti yang terlihat pada Gambar 2.1.

4 9 Gambar 2.1 Kondisi hutan pasca kebakaran (Dokumentasi Pribadi, 2017). 2.2 Keanekaragaman Jenis Capung Moore (1997: 3) menyatakan bahwa ada lebih dari jenis Odonata yang telah diidentifikasi semenjak tahun Sejak saat itu, semakin banyak Odonata yang berhasil ditemukan, terutama di wilayah tropis seperti Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Tennesen (Resh & Cardé, 2003:816) menambahkan bahwa hingga saat ini sudah ada sekitar 5500 jenis Odonata yang berhasil dideskripsikan. Laju penemuan jenis-jenis baru pun semakin cepat dan konstan dalam 10 tahun terakhir (rata-rata 350 jenis baru ditemukan setiap dekadenya). Hal ini menandakan bahwa ordo ini masih bisa dikatakan belum dikenali sepenuhnya. Capung sejatinya adalah hewan yang hidup di kawasan beriklim tropis dan tersebar luas di Amerika Selatan, Asia Tenggara, Wilayah Tropis Afrika dan Australasia. Jumlah jenis yang hidup di bagian bumi yang beriklim lebih dingin relatif sedikit tetapi jumlah capung yang hidup di bagian bumi beriklim sedang bisa

5 10 jadi jauh lebih banyak. Jumlah jenis capung bahkan bisa menjadi sangat banyak di belahan bumi manapun mereka hidup (Moore, 1997: 4). 2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keanekaragaman Jenis Capung Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis capung di suatu wilayah adalah sebagai berikut: a. Kondisi air dan udara Van Hoeve (1992: 39) menjelaskan bahwa capung memerlukan udara yang hangat, air yang tidak terlampau panas, asam atau asin (seperti yang banyak terdapat di perairan tropis) untuk meletakkan telur-telurnya, dan hutan sebagai wilayah untuk berlindung. Apabila semua syarat ini terpenuhi secara terus-menerus, maka pembiakan akan berlangsung tanpa terputus. b. Keseimbangan energi dalam ekosistem perairan Keil dkk (Harabis dan Dolny, 2010: 571) berpendapat bahwa keseimbangan energi dalam ekosistem air adalah faktor lingkungan terkuat yang mempengaruhi kelimpahan dan distribusi jenis-jenis capung. Antara populasi capung dan lingkungannya memiliki hubungan yang kuat dalam skala global tetapi tidak terlalu kuat jika dalam skala lokal dan regional karena meningkatnya efek dari faktor ekologi lainnya. c. Tutupan vegetasi makrofit Salah satu faktor lokal yang cukup berperan terhadap distribusi capung adalah vegetasi yang tumbuh di tepi badan air. Foote dan Hornung (Harabis dan Dolny, 2010:

6 11 571) telah membuktikan bahwa kelimpahan jenis capung akan berkurang dengan cepat seiring dengan berkurangnya tutupan vegetasi makrofit. d. Spesifikasi habitat Harabas dan Dolny (2010: 574) menambahkan bahwa spesifikasi habitat secara signifikan mempengaruhi ekologi populasi dan berasosiasi negatif dengan distribusi capung. Jenis yang tidak bersifat pemilih dalam hal menentukan habitat akan memiliki tingkat penyebaran yang tinggal pada ketinggian tempat yang berbeda dan memiliki kemampuan menyebar yang tinggi. Sementara itu, jenis-jenis yang cenderung bersifat pemilih dalam menentukan habitat memiliki ruang penyebaran yang sempit dan lama kelamaan bisa menjadi jenis endemik di daerah tertentu. e. Perubahan musim Perubahan musim adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi siklus perkembangbiakan capung. Hal ini dijelaskan oleh Van Hoeve (1992: 40) yang menyatakan bahwa jika terdapat musim dingin atau musim kering yang teratur, maka riwayat hidup capung akan mengalami modifikasi khusus agar bisa mencakup suatu tahap adaptasi. Hal ini bertujuan untuk menyelamatkan diri dengan cara melampaui musim yang tidak menguntungkan. Akan tetapi, apabila musim kering berlangsung terlalu lama dan tidak teratur seperti yang sering terjadi di kawasan tropis, maka capung dewasa yang harus menumbuhkan resistensi dalam dirinya.

7 Kajian Biologi Capung (Odonata) Morfologi Capung (Odonata) Gambar 2.2 Penampang tubuh capung tampak samping (Samways, 2008: 25). Karakteristik capung secara umum dapat diamati pada Gambar 2.2. Pada gambar ditunjukkan bahwa capung memiliki kepala besar dengan seperangkat mulut pengunyah, mata majemuk yang besar, 3 osellus serta antena kecil yang menyerupai rambut. Protoraks pada capung berukuran kecil sedangkan mesotoraks dan metatoraksnya menyatu dan membentuk pterorotaks yang besar. Kaki-kakinya relatif panjang dengan tarsus bersegmen tiga sedangkan dua pasang sayap yang berbentuk memanjang tumbuh di bagian dorsal. Bagian abdomen biasanya memanjang. Pada

8 13 jantan, terdapat organ genitalia termasuk organ kopulasi pada bagian tengah segmen abdomen kedua. Selain itu, terdapat juga satu segmen serkus (Resh & Cardé, 2003:817). Capung mengalami dimorfisme seksual dari segi bentuk atau warna tubuh antara jantan dan betina. Borror dkk (1996: 242) menyatakan bahwa dua jenis kelamin pada subordo Anisoptera biasanya serupa dari segi warna, hanya warna pada jantan biasanya lebih terang. Pada beberapa Libellùlidae, antara dua jenis kelamin memiliki perbedaan pada pola warna sayap. Sementara itu, pada kebanyakan Zygoptera, dua jenis kelamin memiliki perbedaan warna yang mencolok karena individu jantan biasanya memiliki warna yang lebih cemerlang. Bahkan pada kebanyakan Coenagriónidae, dua jenis kelamin memiliki pola warna yang berbeda. Beberapa capung jarum bahkan memiliki dua atau lebih fase warna yang berbeda pada betina, misalnya pada Ischnùra verticàlis. A. Kepala Bagian pertama yang bisa dilihat dari kepala capung adalah mata majemuknya. Samways (2008: 25) mengemukakan bahwa masing-masing mata majemuk capung tersusun oleh lebih dari faset yang sangat kecil. Faset-faset ini dapat mendeteksi cahaya dengan sangat cepat, sinar ultraviolet, dan pola dari cahaya terpolarisasi. Organ sensori ini memungkinkan capung untuk mengenali mangsa yang kecil dan pasangan yang potensial selama melakukan manuver di udara, bahkan dalam kondisi cahaya yang redup. Sebagai tambahan, terdapat pula tiga mata

9 14 sederhana (oselli) yang berbentuk seperti manik-manik di bagian atas kepala. Area kepala di belakang mata dinamakan ossiput. Tennesen (Resh & Cardé, 2003:817) menambahkan bahwa Zygoptera dan Anisoptera memiliki perbedaan signifikan pada bagian kepala. Pada Zygoptera, bagian kepala berukuran lebih lebar daripada toraks sedangkan kepala Anisoptera tidak lebih lebar dari toraks jika dilihat dari sisi dorsal. Perbedaan-perbedaan lain dapat diamati pada gambar 2.3. Gambar 2.3 Penampang kepala capung jarum tampak atas (kiri atas), tampak depan (kiri bawah), jika dibandingkan dengan kepala capung tampak atas (kanan atas), capung tampak depan (kanan bawah) (Samways, 2008: 26).

10 15 Gambar 2.3 menunjukkan tampilan kepala capung dan capung jarum yang dilihat dari dua arah yang berbeda. Jika dilihat dari depan, maka akan terlihat bagian wajah yang letaknya di antara kedua mata. Bagian ini dibagi menjadi 4 wilayah yaitu labrum dan mandibula, antiklipeus, postklipeus serta frons (dahi). Sisi samping wajah yang berada di bawah mata dinamakan genae (pipi). Sementara itu, di bagian bawah kepala, tepatnya di belakang labrum dan mandibula, terdapat bibir kedua yang dinamakan labium (Samways, 2008: 26). B. Toraks Toraks adalah bagian sentral tubuh capung yang ukurannya paling besar dan menjadi tempat melekatnya tiga pasang kaki dan dua pasang sayap. Toraks tersusun atas otot-otot yang menyokong kemampuan bergerak capung. Di antara toraks dan kepala, terdapat sebuah bagian yang dinamakan leher atau protoraks. Sebenarnya protoraks merupakan segmen pertama dari tiga segmen toraks (dua segmen yang lain telah berfusi menjadi sintoraks. Bagian leher ini penting untuk identifikasi beberapa capung jarum. Pada toraks terdapat dua alat gerak utama yang menunjang pergerakan serangga ini, yaitu 3 pasang kaki dan 2 pasang sayap. Samways (2008: 26) menyatakan bahwa kaki terdiri dari beberapa segmen utama. Segmen yang letaknya paling dekat dengan toraks dan paling panjang dinamakan femur, sementara segmen selanjutnya dinamakan tibia. Setiap pertemuan antar segmen besar terdapat segmensegmen kecil yang memberikan kemampuan pada kaki untuk bergerak dengan lentur.

11 16 Pada ujung masing-masing kaki terdapat cakar-cakar kecil untuk mencengkram. Struktur kaki secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Penampang kaki capung; (A) kaki depan Hemicordulia tau, (B) kaki belakang Platycnemis pennipes yang terdiri dari cakar (cl), tarsus (ts), tibia (tb), femur (fm), trochanter (tr) dan koksa (cx) (Tillyard, 1917: 27). Sayap capung terdiri dari sayap depan dan sayap belakang. Samways (2008: 27) menyatakan bahwa selain berfungsi untuk mempercepat pergerakan, sayap pada capung juga memiliki penanda dan poin yang berbeda di antara masing-masing individu. Selama penerbangan, sayap depan dan sayap belakang akan melakukan manuver-manuver luar biasa seperti menukik lebih cepat dari yang bisa diamati oleh mata manusia. Kemampuan ini diperoleh dari pembuluh darah ekstra kuat yang menyokong membran super tipis dan nyaris transparan yang melapisi sayap-sayapnya.

12 17 Gambar 2.5 Penampang sayap depan capung jarum (atas) dan sayap capung (bawah) beserta bagianbagiannya (Samways, 2008: 27). Pada Gambar 2.5 ditunjukkan bahwa pada bagian tepi sayap capung dacan capung jarum memiliki fitur-fitur struktural yang signifikan dan juga penting untuk dinamika penerbangan. Pada bagian tengah, terdapat terdapat perlekukan yang tajam yang dinamakan nodus. Dekat dengan ujung sayap terdapat struktur berpigmentasi yang bentuknya membulat atau bersegi yang dinamakan pterostigma. Ukuran, bentuk dan warna pterostigma adalah ciri-ciri penting yang digunakan dalam proses identifikasi (Samways, 2008: 27). C. Abdomen Capung memiliki 10 segmen abdomen (uromeres) yang lengkap dan benarbenar terpisah. Heymons (Tillyard, 1917:28) menyatakan bahwa segmen kesebelas

13 18 dan dua belas sudah mengalami reduksi. Dari segi bentuk, abdomen selalu sempit dan kebanyakan jauh lebih panjang jika dibandingkan dengan rentang sayapnya. Kemungkinan besar, bentuk primitif dari capung memiliki bentuk yang benar-benar silindris tanpa perluasan lebih lanjut. Pada bagian ujung abdomen, terdapat seperangkat cantol kelamin (anal appendages) yang bentuknya dapat dilihat pada Gambar 2.6. Gambar 2.6 Bentuk-bentuk cantol kelamin (anal appendages) pada individu betina dan jantan (Samways, 2008: 28). Pada abdomen juga terdapat struktur tambahan yang dinamakan genitalia sekunder. Samways (2008: 28) berpendapat bahwa baik capung biasa maupun capung jarum memiliki struktur genitalia sekunder pada segmen kedua dan ketiga abdomennya. Pada kebanyakan jenis capung, struktur ini sangat menonjol dan sangat penting untuk identifikasi spesies, khususnya spesies dengan warna yang mirip. Bagian paling depan dari genitalia sekunder ini dinamakan lamina anterior yang sering terlihat seperti gigi jika dilihat dari samping. Di belakangnya terdapat dua pasang pengait, hamula anterior dan hamula posterior. Pada Aeshnidae, hamula posterior tereduksi sehingga yang tertinggal hanya hamula anterior yang berfungsi untuk mencengkram ovipositor betina selama kawin. Pada Cordullidae dan

14 19 Libellulidae, hamula anteriornya seringkali tereduksi atau tidak ditemukan. Bentuk dari struktur-struktur tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 Struktur genitalia sekunder pada capung (Samways, 2008: 28) Siklus Hidup dan Metamorfosis Odonata adalah salah satu ordo serangga yang mengalami metamorfosis untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Fase metamorfosis yang dilalui capung dan capung jarum tergolong ke dalam jenis hemimetabola. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan bentuk yang signifikan antara larva dan individu dewasa tetapi tidak mengalami fase pupa dalam prosesnya. A. Fase Telur Siklus hidup capung dimulai dari fase telur. Telur-telur capung berukuran 0,5 mm dengan bentuk bulat telur dan jumlahnya bervariasi, tergantung pada jenisnya. Telur-telur yang sudah dibuahi biasanya akan berubah warna menjadi cokelat kemerahan dalam waktu 24 jam setelah oviposisi sementara telur-telur yang steril akan berwarna krem (Corbet, 1962: 29).

15 20 Borror dkk (1996: 244) menjelaskan bahwa telur-telur dari capung ini biasanya diselipkan tepat di bawah permukaan air. Ada pengecualian pada beberapa jenis Léstes yang meletakkan telurnya dalam cabang-cabang tumbuhan di atas air dan beberapa jenis Enallágma yang menyelipkan telur-telurnya dalam tumbuhan yang cukup jauh dari permukaan air. Lain halnya dengan capung betina dari famili Gómphidae, Macromìidae, Cordulìidae dan Libellùlidae yang tidak memiliki ovipositor. Telur-telur dari capung ini biasanya diletakkan di permukaan air oleh induk dengan cara mencelupkan abdomennya di dalam air lalu melepaskan telurnya. Sementara itu, Cordulegástridae yang memiliki ovipositor yang agak menyusut meletakkan telurnya dengan cara terbang di atas permukaan air yang dangkal dengan posisi tubuh agak tegak lurus sambil terus menancapkan perutnya hingga telurtelurnya tersebar di dasar air. Telur-telur yang telah dipisahkan dari tubuh induknya akan mengalami fase perkembangan menjadi nimfa dalam waktu yang berbeda-beda, tergantung pada jenis dan kondisi lingkungannya. Telur-telur capung yang sudah menetas dengan cepat akan melepaskan kutikula embrionalnya dan menjadi prolarva. Hal ini bertujuan agar prolarva dapat berubah menjadi nimfa yang bebas bergerak. Selain itu, prolarva yang baru menetas akan segera bergerak mencari air tawar dan memulai tahapan pradewasanya sebagai organisme akuatik (Corbet, 1962: 32).

16 21 B. Fase Nimfa Fase nimfa adalah tahapan terlama yang dialami serangga dari ordo Odonata. Pada beberapa jenis, nimfa hidup selama musim dingin, sementara beberapa jenis yang lebih besar mengalami fase nimfa hingga 2-3 tahun. Fase ini ditandai dengan terjadinya adaptasi morfologi dan tingkah laku yang ditunjukkan oleh nimfa terhadap lingkungannya, seringkali diasosiasikan dengan proses-proses yang vital dalam kehidupan serangga yaitu respirasi, feeding dan corak tubuh (concealment). Nimfa-nimfa Odonata hidup sebagai individu akuatik dan bernapas dengan menggunakan insang yang juga berfungsi sebagai alat gerak layaknya sirip ekor pada ikan. Untuk urusan makan, nimfa capung makan berbagai organisme akuatik yang kecil seperti larva serangga air hingga telur ikan. Namun, pada beberapa nimfa yang berukuran lebih besar (terutama Aéshnidae) biasanya juga mengkonsumsi kecebong dan ikan kecil sebagai menu makanannya (Borror dkk., 1996: 241). Gambar 2.8 Exuviae (kulit terakhir yang ditinggalkan capung dewasa setelah menyelesaikan fase nimfa) dari salah satu jenis capung (Dokumentasi pribadi, 2016).

17 22 Borror dkk (1996: 241) menambahkan bila nimfa sudah tumbuh sepenuhnya, maka nimfa akan merayap keluar dari air dan mengalami pergantian kulit terakhir. Setelah proses pergantian kulit selesai, maka akan muncul individu baru dengan struktur morfologi mirip capung dewasa tetapi warnanya lebih pucat. Imago yang baru keluar dari kulit terakhirnya ini dinamakan individu teneral sementara kulit terakhir yang tertinggal dinamakan Exuviae seperti yang terlihat pada Gambar 2.8 C. Fase Dewasa (Imago) Serangga dewasa yang baru saja selesai melalui fase nimfa memiliki struktur yang masih rapuh dan relatif agak lemah. Walaupun lebih mudah untuk ditangkap, serangga dewasa yang masih baru ini tidak cocok untuk dijadikan spesimen karena belum berwarna sepenuhnya dan tubuhnya masih lunak. Butuh waktu beberapa hari hingga serangga imago bisa melakukan penerbangan. Sementara itu, butuh waktu satu atau dua minggu hingga pola warna terbentuk sepenuhnya (Borror dkk, 1996: 241). Buchholtz dan Wolfe (Corbet, 1962: 120), menambahkan bahwa pematangan gonad akan berlangsung selama minggu pertama ketika nimfa berubah menjadi serangga imago. Jika dibandingkan, capung jantan lebih cepat mengalami pematangan gonad ketimbang capung betina. Setelah memasuki periode reproduktif, capung dewasa tetap melakukan aktivitas makan tetapi sudah mulai mengunjungi situs pembiakan (breeding cite) secara berkala untuk memulai aktivitas reproduksi. Periode ini dicirikan dengan banyaknya capung jantan yang berkeliaran di sekitar

18 23 wilayah perairan. Lamanya periode ini bergantung pada dua faktor yaitu bentuk kurva emergensi (emergence curve) dan daya tahan capung dewasa (Corbet, 1962: 121). Sejatinya, imago capung memiliki rentang waktu hidup (life span) yang berbeda-beda. Hal ini dijelaskan dalam Borror dkk (1996: 242) yang menyebutkan bahwa beberapa jenis capung menjalani fase imago hanya dalam jangka waktu beberapa minggu saja dalam satu tahun. Sementara itu, beberapa jenis yang lainnya dapat dilihat sepanjang musim panas bahkan hingga lebih dari 3 bulan. Pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata capung jarum mampu hidup selama 3-4 minggu sedangkan capung besar selama 6-8 minggu. Pada masa singkat inilah, individu dewasa menghasilkan telur-telur untuk meneruskan keturunannya Perilaku Capung Capung memiliki beberapa perilaku yang khas, antara lain: A. Perilaku Harian Salah satu perilaku harian pada capung adalah terbang. Mazzacano dkk (2014: 5) menyatakan bahwa capung dan capung jarum merupakan penerbang handal yang memiliki sayap-sayap berstruktur kompleks yang mendukung kemampuannya bermanuver di udara. Masing-masing sayap pada capung dapat bekerja secara independen. Hal ini menyebabkan capung dapat terbang hingga kecepatan lebih kurang 48 km/jam, berhenti dan melayang di udara, menukik secara instan, menyerang mangsa tepat saat berada di udara dan bahkan sangat mendukung untuk penerbangan jarak pendek.

19 24 Untuk dapat melakukan aktivitas hariannya, seekor capung perlu melakukan pemanasan terlebih dahulu. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat suhu tubuh capung dikontrol oleh suhu lingkungan. Itulah sebabnya, Mazzacano dkk (2014: 5) menyatakan bahwa capung senang berjemur di tempat yang mampu memantulkan cahaya saat pagi hari guna menghangatkan dirinya sendiri. Panas yang ia serap digunakan capung untuk memanaskan otot-ototnya sehingga bisa digunakan untuk terbang. Agar terhindar dari paparan sinar matahari yang berlebihan, capung seringkali bersembunyi di tempat yang remang tiap kali suhu tubuhnya mencapai titik kritis. Sementara itu, beberapa jenis yang lain hinggap di dahan dengan perut terangkat (obelisking) tepat saat tengah hari atau bergelantungan di bawah dedaunan untuk mengurangi paparan sinar matahari. B. Perilaku Kawin Van Hoeve (1992: 37) menyatakan bahwa capung memiliki cara kawin yang terbilang unik. Hal ini disebabkan oleh letak organ penyampai (penis) dan cantolcantol pelengkap berada di dasar perut pada segmen kedua dan ketiga sehingga capung jantan harus mencengkeram kepala betina (pada Anisoptera) atau bagian depan (pada Zygoptera) untuk memulai perkawinan. Cengkeraman tersebut dilakukan dengan memanfaatkan umbai ekor yang melekat di ujung perut jantan. Setelah berlekatan, jantan merangsang betina untuk meliuk-liukan ujung perutnya ke bawah dan ke depan agar dapat mencengkeram alat kelamin pihak jantan yang telah disaluri kapsul sperma. Ketika alat kelamin betina dan alat kelamin jantan bertemu maka terbentuklah jantera sanggama.

20 25 Van Hoeve (1992: 38) menambahkan bahwa selama masa pembiakan, pejantan akan berkumpul di tempat kawin seperti di kolam-kolam, sungai, dan sepanjang tepian air yang akan digunakan untuk meletakkan telur. Setiap ekor mempertahankan teritorium masing-masing dengan batas yang jelas. Jenis yang besar memiliki teritorium yang lebih luas dibandingkan daripada milik jenis yang kecil. Selama musim kawin, daerah perairan akan berubah menjadi medan perang bagi para pejantan yang saling bersaing memperebutkan teritorium terbaik. Setelah berhasil mendapatkan teritorium, para pejantan hanya perlu menunggu waktu yang tepat. Bila seekor betina terbang mendekati suatu teritorium tertentu, maka capung jantan yang berkuasa di daerah tersebut akan mencoba mengawininya. Pada beberapa jenis, masa perkawinan didahului dengan percumbuan. Jantan Calopteryx virgo, misalnya, akan menunggu di depan betina terlebih dahulu untuk mengetahui apakah capung betina tersebut menerimanya atau tidak. Pada jenis yang lain, perkawinan justru dilakukan secara langsung tanpa membuang-buang waktu dan umumnya pasangan itu terbang meninggalkan perairan masih dalam keadaaan saling berangkulan untuk menempati pemukiman Klasifikasi Capung (Odonata) Walaupun sistematika klasifikasi pada ordo Odonata dikatakan relatif lebih berkembang dibandingkan ordo serangga lain, klasifikasi pada tingkat subordo dan famili ternyata masih kontroversial. Hingga saat ini, Tennesen (Resh &Cardé, 2003:816) menyatakan bahwa ada tiga subordo yang diterima keberadaannya oleh para ahli, yaitu Anisoptera, Zygoptera dan Anisozygoptera (hanya diwakili oleh dua

21 26 jenis Epiophlebiidae di Asia). Namun demikian, analisis terkini mengindikasikan bahwa Anisozygoptera bukanlah sebuah kelompok monofiletik dan seluruh taksa di dalamnya seharusnya ditempatkan pada kelompok capung yang sudah punah. Alhasil, dua jenis Epiophlebidae yang masih hidup dimasukkan ke dalam subordo Anisoptera. Tennesen (Resh & Cardé, 2003:816) menambahkan bahwa klasifikasi di tingkat famili juga tidak stabil. Hingga saat ini, ada 31 famili yang diterima secara umum, walaupun ada beberapa argumen yang berbeda terhadap sistematika tersebut, terutama pada subordo Zygoptera. Untuk selanjutnya, metode DNA mungkin digunakan untuk menciptakan perubahan pada klasifikasi capung dan dapat dipertimbangkan sebagai sarana untuk memahami hubungan taksonomik antarjenis. Ordo Odonata dibagi menjadi dua subordo, yaitu Zygoptera dan Anisoptera. Kedua subordo tersebut dapat dibedakan dengan ciri fisik dan tingkah lakunya. Borror dkk (1996: 248) menyatakan bahwa anggota subordo ini memiliki sayapsayap belakang yang lebih lebar pada bagian dasarnya jika dibandingkan dengan sayap-sayap depan. Selain itu, sayap-sayap ini akan berada dalam keadaan horizontal pada waktu istirahat. Sayap-sayap pada individu jantan (kecuali Libellùlidae) memiliki sudut anal yang agak berlekuk sedangkan sayap dari semua individu betina memiliki sudut anal yang membulat. Sementara itu, anggota subordo Zygoptera memiliki sayap depan dan belakang yang sama bentuknya, menyempit pada bagian dasar dan berada pada posisi vertikal pada waktu istirahat. Untuk semua jenis kelamin, bentuk sayap depan maupun sayap belakang akan sama (Borror dkk, 1996: 254).

22 27 Rincian mengenai famili-famili yang tergolong dalam kedua subordo tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2. Tabel 2.1 Persebaran dan Keanekaragaman Genus dan Jenis pada Subordo Zygoptera di Dunia (Resh & Cardé, 2003:816). No. Famili Penyebaran berdasarkan benua Genus Jenis 1 Amphipterygidae Afrika, Asia, Amerika Utara dan Selatan Calopterygidae Afrika, Asia, Eropa, Amerika Utara dan Selatan Chlorocyphidae Afrika, Asia Chorismagrionidae Australia Coenagrionidae Tersebar di seluruh penjuru bumi Dicteriadidae Amerika Selatan Diphlebiidae Asia, Autralia Euphaeidae Asia Hemiphlebiidae Australia Isostictidae Australia Lestidae Tersebar di seluruh penjuru bumi Lestoideidae Australia Megapodagrionidae Afrika, Asia, Australia, Amerika Utara dan Selatan Perilestidae Afrika, Amerika Utara dan Selatan Platycnemididae Afrika, Asia, Australia, Eropa Platystictidae Asia, Amerika Utara dan Selatan Polythoridae Amerika Utara dan Selatan Protoneuridae Afrika, Asia, Autralia, Amerika Utara dan Selatan Pseudostigmatidae Amerika Utara dan Selatan Synlestidae Afrika, Asia, Autralia, Amerika Utara 7 33 Tabel 2.2 Persebaran dan Keanekaragaman Genus dan Jenis pada Subordo Anisoptera di Dunia (Resh & Cardé, 2003:816). No. Famili Penyebaran berdasarkan benua Genus Jenis 1 Aeshnidae Tersebar di seluruh penjuru bumi Autropetaliidae Australia, Amerika Selatan Chlorogomphidae Asia Cordulegastridae Asia, Eropa, Amerika Utara Corduliidae Tersebar di seluruh penjuru bumi Epiophlebiidae Asia Gomphidae Tersebar di seluruh penjuru bumi Libellulidae Tersebar di seluruh penjuru bumi Neopetaliidae Amerika Selatan Petaluridae Asia, Australia, Amerika Utara dan Selatan Synthemistidae Australia 7 42

23 28 A. Subordo Zygoptera Subordo Zygoptera atau capung jarum dapat dibedakan menjadi 20 famili. Namun demikian hanya 11 famili yang dapat ditemukan di Indonesia, antara lain: a. Famili Amphipterygidae Anonim (2017a) menyebutkan bahwa hingga saat ini ada dua jenis dari famili Amphipterygidae terdata keberadaannya di Indonesia, yaitu Devadatta argyoides dan Devadatta podolestoides. b. Famili Calopterygidae Calopterygidae merupakan famili capung yang terdiri dari 160 jenis dengan ukuran medium hingga besar dan bersifat kosmopolitan. Famili ini dikenal juga dengan sebutan broad-winged damselflies dan memiliki karakteristik berupa warna metalik yang mencolok pada tubuhnya. Pada jantan, bagian sayap juga akan berwarna metalik. Kondratieff (Capinera, 2008: ) menambahkan bahwa ada dua genus yang terkenal dari famili ini yaitu Calopteryx (Jewelwings) dan Haetarina (Rubyspots). Imago dari kedua genus ini berukuran besar dan memiliki tubuh berwarna hijau metalik. Jika dilihat dari habitatnya, Calopteryx akan mudah dijumpai di sungai berukuran sedang sementara Haetarina akan lebih mudah dijumpai di sekitar sungai yang lebih besar. Dari segi perkembangbiakan, jenis ini hanya menghasilkan satu generasi per tahunnya.

24 29 c. Famili Chlorocyphidae Chlorocyphidae terdiri dari 120 jenis dan merupakan famili yang hidupnya terbatas di wilayah tropis Asia dan Afrika, walaupun pernah dilaporkan kalau famili ini juga ditemukan di Australia bagian Utara (Gillot, 2005: 142). d. Famili Coenagrionidae Gillot (2005:141) menyatakan bahwa famili Coenagrionidae merupakan famili Zygoptera yang paling sukses bertahan hidup karena memiliki lebih dari 1000 jenis. Famili ini bersifat kosmopolitan dan beberapa genus seperti Coenagrion dan Ischnura dapat dengan mudah ditemukan di seluruh dunia. Larvanya dapat ditemukan di vegetasi yang hidup di tepi perairan yang mengalir lambat. Imago dari famili ini biasanya berukuran kecil dan merupakan penerbang yang lemah. Oleh karena itu, imago sering ditemukan sedang dalam kondisi beristirahat dengan posisi sayap yang dikatupkan di atas permukaan tubuh. Perbedaan jenis kelamin akan menimbulkan perbedaan warna pada tiap jenis dari famili Coenagrionidae. Individu jantan biasanya berwarna lebih cerah dan umumnya memiliki pola warna biru tua yang kompleks dan bintik-bintik hitam pada permukaan dorsalnya. Sementara itu, individu betina biasanya memiliki warna-warna yang pucat. Pada beberapa jenis, ada kemungkinan munculnya dua warna atau lebih. e. Famili Euphaeidae Euphaeidae atau sering juga disebut Epallaginidae adalah famili capung jarum yang hanya terdiri dari 70 jenis yang hidup di kawasan tropis. Ukurannya besar dan kebanyakan berwarna metalik sehingga tidak heran kalau famili ini dijuluki

25 30 gossamerwings (sayap berkilau). Nimfa dari famili ini memiliki tujuh pasang insang pada abdomennya sementara individu dewasa memiliki sayap depan dan sayap belakang yang sama panjang dengan pterostigma yang lebih lebar pada sayap belakang. f. Famili Isostictidae Dulunya, Isosistictidae adalah famili capung jarum yang hanya terdapat di Australia, Kaledonia Baru dan Guinea Baru serta pulau-pulau di sekitarnya. Akan tetapi, Anonim (2017b) menjelaskan bahwa sudah ada 4 jenis dari capung ini yang terdata keberadaannya di Indonesia, antara lain: Selysioneura capreola, Selysioneura phasma, Selysioneura stenomantis, dan Tanymecosticta fissicollis. g. Famili Lestidae Lestidae terdiri dari 140 jenis yang bersifat kosmopolitan. Capung-capung dari famili ini berukuran sedang dan berwarna metalik. Capung-capung ini dapat dijumpai di dekat perairan berarus tenang. Telur-telurnya diletakkan di vegetasi di permukaan. Larvanya berbentuk memanjang dengan tubuh yang streamline dan dapat berkamuflase dengan baik (Gillot, 2005: 142). Kondratieff (Capinera, 2008: 1244) menambahkan bahwa kebanyakan capung dari famili ini hidup di rawa, genangan air dan sungai yang berarus tenang. Imagonya mudah dikenali dari posturnya saat sedang hinggap yang jika dilihat dari sudut tertentu akan terlihat sedikit merentangkan sayapnya. Dua genus dari famili ini, yaitu Archilestes dan Lestes justru lebih adaptif, dimana Archilestes dapat ditemukan

26 31 di sungai berarus pelan bahkan di ngarai dan gurun yang terisolasi di wilayah Barat Daya Amerika. h. Famili Megapodagrionidae Megapodagrionidae adalah salah satu famili yang mudah ditemui, terutama di kawasan tropis. Dengan jumlah anggota mencapai 200 jenis, famili ini dapat dengan mudah ditemukan di kawasan hutan dan meletakkan telur-telunya di sekitar sungai, tempat-tempat lembab dan terkadang di lubang-lubang pada pohon. Nimfa dari famili ini pendek dan bertubuh tebal dengan lamella ekor yang memanjang secara horizontal, tidak seperti Zygoptera yang lain (Gillot, 2005: 142). i. Famili Platycnemididae Gillot (2005: 141) menyatakan bahwa Platycnemididae terdiri dari 150 jenis. Famili ini mudah ditemukan di kawasan Paleartik, Oriental dan wilayah tropis di Afrika. Jenis dari famili ini meletakkan telurnya di rawa, hutan, sungai dan sungai berarus deras. Anonim (2017e) menambahkan bahwa ada 47 jenis dari famili ini yang terdata keberadaannya di Indonesia. j. Famili Platystictidae Gillot (2005:141) menyebutkan bahwa kebanyakan jenis dari famili Platystictidae merupakan jenis endemik kawasan oriental. Anonim (2017f) menambahkan bahwa ada 29 jenis dari famili ini yang terdata keberadaannya di Indonesia. Umumnya, jenis dari famili ini dapat ditemukan di kawasan hutan. Namun demikian, kebanyakan dari mereka akan meletakkan telur-telurnya di sungai berarus deras.

27 32 k. Famili Protoneuridae Protoneuridae adalah famili capung yang tersebar luas. 220 jenis yang tergolong dalam famili ini mudah ditemukan dimanapun kecuali kawasan paleartik. Kebanyakan dari mereka dapat ditemukan di lokasi yang kondisi cahayanya redup, termasuk hutan dan kawasan di sekitar sungai berarus tenang yang menjadi tempatnya berkembangbiak (Gillot, 2005:11). B. Subordo Anisoptera Subordo Anisoptera atau capung dapat dibedakan menjadi 11 famili. Namun demikian, hanya 5 famili yang dapat ditemukan di Indonesia, antara lain : a. Famili Aeshnidae Aeshnidae merupakan famili besar yang bersifat kosmopolitan dengan jumlah anggota mencapai 375 jenis. Anggota dari famili ini merupakan serangga penerbang yang kuat dengan tubuh berukuran besar dan memiliki karakteristik berupa mata yang sangat besar hingga bertemu di tengah-tengah kepala. Nimfanya kebanyakan berbentuk memanjang dan agak gemuk dan mudah ditemukan di sekitar vegetasi yang hidup pada tepi perairan yang mengalir (Gillot, 2005: 143). b. Famili Chlorogomphidae Tillyard (1917: 262) mengelompokkan Chlorogomphidae sebagai subfamili dari Cordulegasteridae. Akan tetapi, atas dasar pertimbangan adanya pembeda dengan Cordulegasteridae, maka akhirnya Chlorogomphidae naik tingkat menjadi famili. Chlorogomphidae betina tidak memiliki ovipositor seperti Cordulegasteridae.

28 33 c. Famili Corduliidae Gillot (2005:143) menyebutkan bahwa Corduliidae terdiri dari 360 jenis yang berkembangbiak di daerah yang memiliki perairan, baik yang mengalir maupun tidak, termasuk kolan dan rawa. Nimfa dari beberapa jenis mampu bertahan hidup dalam kondisi kondisi kering. Kebanyakan jenis justru memiliki nimfa yang hidup di habitat terestrial. d. Famili Gomphidae Gomphidae merupakan salah satu famili primitif yang terdiri dari lebih kurang 800 jenis. Imagonya memiliki mata yang terpisah satu sama lain dan biasanya berwarna hitam dan kuning dengan salah satu warna mendominasai warna yang lain, sesuai dengan habitatnya. Anggota famili ini memiliki ovipositor yang tidak berkembang dengan baik sehingga telur-telurnya diletakkan ke dalam air dengan cara mencelupkan abdomennya. Namun demikian, beberapa jenis justru gemar meletakkan telurnya di air yang mengalir. Ini bukanlah masalah karena telur-telur Gomphidae diselimuti oeleh eksokorion yang bersifat lengket sehingga mencegah telur-telur tersebut tercerai berai karena arus. Gillot (2005, 143) menambahkan bahwa nimfa Gomphidae adalah penggali sehingga sebagian besar memiliki segmen abdomen kesepuluh yang memanjang untuk menjaga kontak dengan air sehingga pernapasan tetap dapat berlangsung. e. Famili Libellulidae Tillyard (1917: 265) menjelaskan bahwa Libellulidae adalah salah satu jenis capung dengan segitiga sayap depan dan sayap belakang yang sangat berbeda.

29 34 Tubuhnya memiliki corak yang merupakan perpaduan dari dua warna atau satu warna saja. Anonim (2017c) menambahkan bahwa famili ini memiliki jumlah jenis terbanyak yang di Indonesia, yaitu 175 jenis Peranan Capung Di Dalam Ekosistem Peranan capung di dalam ekosistem antara lain sebagai berikut: a) Pemangsa Sebagai pemangsa, capung memiliki peranan untuk mengendalikan jumlah hewan lain dalam suatu ekosistem. Moore (1997: 1) menyebutkan bahwa capung memangsa sejumlah besar serangga yang menggantungkan hidupnya pada tumbuhan berbunga. Dalia & Leksono (2014: 28) sudah membuktikan bahwa capung berperan sebagai pemangsa bagi sejumlah famili Arthropoda seperti Nymphalidae, Hesperiidae, Crambidae, Ichneumonidae, Syrphidae, Alydidae, Aleyrodidae, Pentatomidae, Culicidae, Muscidae, Chironomidae, Tephritidae, Acrididae dan Tetrigidae. b) Mangsa Dalia & Leksono (2014: 28) menambahkan bahwa capung juga merupakan mangsa bagi amfibi (Ranidae dan Bufonidae), Arthropoda (Arachnidae, Tetragnathidae, Oxyopidae), Reptil (Halcyonidae) dan Aves (Scincidae). c) Pengendali biologis Sebagai pengendali biologis, Tennesen (Resh & Cardé, 2003: 815) menyebutkan bahwa capung mengkonsumsi serangga-serangga yang merugikan bagi manusia dan hewan ternak, seperti nyamuk (Culicidae), lalat rusa (Tabanidae), lalat hitam (Simulidae) dan anggota ordo Diptera yang lain. Hal ini berlaku pada capung

30 35 saat masih berada pada tahapan nimfa ataupun imago. Sebastian (Moore, 1997: 5) turut menambahkan bahwa saat ini nimfa dari famili Libellulidae sedang dikembangkan sebagai biological control bagi serangga vektor demam berdarah dengue. d) Bioindikator Moore (1997: 5) menyatakan bahwa capung juga berperan sebagai bioindikator bagi polusi udara dan polusi air. Walaupun tingkat kepekaan capung tidak setinggi serangga akuatik lainnya, kehadiran mereka tetap bernilai untuk melakukan perkiraan cepat (quick assessment) terhadap kualitas air bagi habitathabitat yang diwakilinya. Jumlah jenis yang teramati di suatu danau ataupun sungai dapat dibandingkan dengan sampel yang teramati pada lingkungan dengan tipe habitat yang sama dan belum tercemar polusi. Hasil perhitungan ini dapat menyediakan data berupa indikasi tingkat kesehatan danau atau sungai secara cepat dan hemat biaya. e) Pemetaan cepat Beberapa jenis capung merupakan penanda bagi beberapa habitat sehingga dapat digunakan untuk pemetaan cepat (rapid mapping) habitat-habitat yang mereka wakili (Moore, 1997: 5). 2.5 Teknik-teknik Menangkap Capung Jaring Serangga Ada beberapa teknik pengambilan sampel yang dapat dilakukan, salah satunya dengan menggunakan jaring serangga. Millar dkk (2000, 37) menjelaskan bahwa

31 36 jaring serangga dapat digunakan untuk menangkap serangga penerbang. Jaring yang digunakan harus ringan, terbuat dari material yang lembut, kuat, tahan lama, dan biasanya berwarna putih. Jaring serangga memiliki kerangka bulat yang terbuat dari kawat aluminium sebagai tempat melekatnya jaring. Lubang yang ada di tengah kerangka akan menjadi jalan masuk bagi serangga sebelum terperangkap. Serangga yang telah tertangkap lalu dimasukkan ke dalam cairan alkohol 70% agar sampel segera mati. Millar dkk (2000: 60) menambahkan bahwa spesimen serangga bersayap lebar dapat disimpan dalam amplop kertas yang dilipat khusus untuk melindungi spesimen agar tidak rusak. Penampang jaring serangga dapat dilihat pada Gambar 2.9 sedangkan cara menggunakannya dapat dilihat pada Gambar Gambar 2.9 Tampilan jaring serangga (Millar dkk, 2000:37).

32 37 Gambar 2.10 Teknik menangkap serangga dengan memutar kerangka jaring (Millar dkk, 2000:38) Penangkapan Langsung (Hand collecting) Tidak hanya dengan menggunakan jaring, capung juga dapat ditangkap dengan menggunakan tangan (hand collecting). Cara ini dilakukan dengan menangkap langsung capung yang sedang hinggap di atas dahan atau ranting. Millar (2000: 36) menambahkan bahwa banyak spesimen yang bisa ditangkap dengan cara ini, terutama serangga yang senang hinggap pada tumbuhan saat sedang mencari makan, berlindung atau bertelur Perangkap Lekat (Sticky trap) Cara lain untuk menangkap capung adalah dengan menggunakan perangkap lekat (sticky trap). Millar dkk (2000: 44) memaparkan bahwa perangkap ini terdiri dari silinder kuning dengan diameter sekitar 15 cm dan panjang 20 cm. Silinder tersebut ditutupi oleh cairan lengket seperti Flytac sebelum letakkan pada sebuah tiang. Cairan lengket yang dilarutkan dengan menggunakan pelarut seperti xilen atau etil asetat akan terurai sehingga spesimen yang tertangkap dapat dilepaskan.

TINJAUAN PUSTAKA. Capung

TINJAUAN PUSTAKA. Capung TINJAUAN PUSTAKA Capung Klasifikasi Capung termasuk dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, klas Insecta, dan ordo Odonata. Ordo Odonata dibagi ke dalam dua subordo yaitu Zygoptera dan Anisoptera. Kedua

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ordoodonata, danmemiliki 2 sub ordoyakni sub ordoanisoptera (dragonflies)

TINJAUAN PUSTAKA. ordoodonata, danmemiliki 2 sub ordoyakni sub ordoanisoptera (dragonflies) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Morfologi Capung Capungdiklasifikasikankedalam kingdom animalia, kelasinsekta, ordoodonata, danmemiliki 2 sub ordoyakni sub ordoanisoptera (dragonflies) dansubordozygopteraa (damselflies)

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengamatan

HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengamatan Keempat tempat penelitian terletak di Kebun Raya Bogor. Posisi masingmasing lokasi tertera pada Gambar 1. a. Taman Lebak Sudjana Kassan Taman ini berada di pinggir

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Klasifikasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013)

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013) II. TELH PUSTK Nyamuk edes spp. dewasa morfologi ukuran tubuh yang lebih kecil, memiliki kaki panjang dan merupakan serangga yang memiliki sepasang sayap sehingga tergolong pada ordo Diptera dan family

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga (Kelas Insekta) merupakan kelompok makhluk hidup yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari separuh jumlah spesies makhluk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis-Jenis Predator pada Tanaman Padi Hasil pengamatan predator pada semua agroekosistem yang diamati sebagai berikut: 1. Tetragnatha sp. Klas : Arachnida Ordo : Araneae

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

Fokus Lahan Basah Eksploitasi Satwa Liar di Perairan Hulu Mahakam 3. Konservasi Lahan Basah Potensi Ekowisata Mangrove Pesisir Sawah Luhur 4

Fokus Lahan Basah Eksploitasi Satwa Liar di Perairan Hulu Mahakam 3. Konservasi Lahan Basah Potensi Ekowisata Mangrove Pesisir Sawah Luhur 4 Dari Redaksi Daftar Isi Fokus Lahan Basah Eksploitasi Satwa Liar di Perairan Hulu Mahakam 3 Salam redaksi, Salam sejahtera bagi kita semua. Cukup lama tak bersua, semoga tidak memutuskan ikatan silahturahmi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Serangga predator adalah jenis serangga yang memangsa serangga hama atau serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan serangga predator sudah dikenal

Lebih terperinci

DAUR HIDUP HEWAN ILMU PENGETAHUAN ALAM KELAS IV SD. Disusun oleh: Taufik Ariyanto /

DAUR HIDUP HEWAN ILMU PENGETAHUAN ALAM KELAS IV SD. Disusun oleh: Taufik Ariyanto / DAUR HIDUP HEWAN ILMU PENGETAHUAN ALAM KELAS IV SD Disusun oleh: Taufik Ariyanto / 101134063 P ernahkah kamu melihat perkembangan hewan yang hidup di lingkunganmu? Jika kamu memelihara hewan, kamu pasti

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Predator Pada Tanaman Jagung Jenis-jenis predator yang tertangkap pada tanaman jagung dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari adalah sama yakni sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Kelas Bangsa : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Mahkota Dewa 1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., dengan nama sinonim Phaleria papuana. Nama umum dalam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan

Lebih terperinci

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2.1 Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakan 1. Mengaitkan perilaku adaptasi hewan tertentu dilingkungannya

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penangkapan serangga malam dilakukan di Kawasan Pinggiran Hutan

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penangkapan serangga malam dilakukan di Kawasan Pinggiran Hutan 63 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Lokasi Penelitian Penangkapan serangga malam dilakukan di Kawasan Pinggiran Hutan Bumi Perkemahan Nyaru Menteng. Hutan Bumi Perkemahan Nyaru Menteng merupakan kawasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang 5 4 TINJAUAN PUSTAKA A. Kutu Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk ke dalam kulit inangnya. Bagian-bagian mulut

Lebih terperinci

Pengertian. Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

Pengertian. Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan Adaptasi Pengertian Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan Adaptasi dibedakan menjadi 3 jenis 1. Adaptasi Morfologi Proses adaptasi yang dilakukan dengan menyesuaikan bentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Culex sp Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit yang penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St Louis encephalitis.

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu. Jenis sapi perah yang paling

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Menurut Fachruddin (2000) tanaman kacang panjang termasuk famili leguminoceae. Klasifikasi tanaman kacang panjang

Lebih terperinci

Menurut Borroret al (1992) serangga berperan sebagai detrivor ketika serangga memakan bahan organik yang membusuk dan penghancur sisa tumbuhan.

Menurut Borroret al (1992) serangga berperan sebagai detrivor ketika serangga memakan bahan organik yang membusuk dan penghancur sisa tumbuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga masuk dalam filum Arthropoda dan kingdom Animalia yang memiliki keragaman Spesies terbesar dibandingkan dengan binatang yang lain yaitu hampir 75% dari total

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

F. Kunci Identifikasi Bergambar kepada Bangsa

F. Kunci Identifikasi Bergambar kepada Bangsa MILLI-PEET, kunci identifikasi dan diagram alur, Page 1 F. Kunci Identifikasi Bergambar kepada Bangsa 1A Tubuh lunak, tergit mengandung rambut seperti kuas atau rambut sikat, sepasang kuas terdapat bagian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS Test Seleksi alon Peserta International Biology Olympiad (IBO) 2014 2 8 September

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) 1. PENDAHULUAN Kata Belut merupakan kata yang sudah akrab bagi masyarakat. Jenis ikan ini dengan mudah dapat ditemukan dikawasan pesawahan. Ikan ini ada kesamaan dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Aedes aegypti Nyamuk Ae. aegypti termasuk dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dan masuk ke dalam subordo Nematocera. Menurut Sembel (2009) Ae. aegypti dan Ae. albopictus

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berada dalam sebuah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah sudah seharusnya menjadikan suatu hal yang membanggakan dan patut untuk disyukuri,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

Musca domestica ( Lalat rumah)

Musca domestica ( Lalat rumah) PARASITOLOGI LALAT SEBAGAI VEKTOR PENYAKT Musca domestica ( Lalat rumah) Oleh : Ni Kadek Lulus Saraswati P07134013007 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN D-III

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kupu-kupu merupakan satwa liar yang menarik untuk diamati karena keindahan warna dan bentuk sayapnya. Sebagai serangga, kelangsungan hidup kupu-kupu sangat

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum TINJAUAN PUSTAKA Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur diletakkan pada permukaan daun, berbentuk oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian dan Konsep Dasar Prahasta (2001) menyebutkan bahwa pengembangan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Serangga Hama pada Tanaman Cabai Berdasarkan hasil pengamatan tanaman Cabai di Tiga Varietas Berbeda selama 10 minggu terdapat 5 famili yakni Famili Aphididae, Famili

Lebih terperinci

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

JENIS_JENIS TIKUS HAMA JENIS_JENIS TIKUS HAMA Beberapa ciri morfologi kualitatif, kuantitatif, dan habitat dari jenis tikus yang menjadi hama disajikan pada catatan di bawah ini: 1. Bandicota indica (wirok besar) Tekstur rambut

Lebih terperinci

Klasifikasi Udang Air Tawar Peranan Udang Air Tawar dalam Ekosistem

Klasifikasi Udang Air Tawar Peranan Udang Air Tawar dalam Ekosistem TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Udang Air Tawar Secara garis besar Crustacea dibagi menjadi enam kelas, yaitu Branchiopoda, Cephalocarida, Malacostraca, Maxillopoda, Ostracoda dan Remipedia (Martin 2001).

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

DOKUMENTASI PENELITIAN

DOKUMENTASI PENELITIAN DOKUMENTASI PENELITIAN 182 PRODUK PANDUAN IDENTIFIKASI SPESIES CAPUNG SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BELAJAR BERDASARKAN PENELITIAN KEANEKARAGAMAN CAPUNG DI RAWA JOMBOR 183 184 185 186 187 188 Lampiran 3.1.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran besar dan memiliki warna sayap yang menarik sehingga sering diambil dari alam untuk dijadikan

Lebih terperinci

Tinjauan Mata Kuliah. Materi pengembangan bahan ajar mata kuliah ini akan disajikan dalam 9 (sembilan) modul sebagai berikut.

Tinjauan Mata Kuliah. Materi pengembangan bahan ajar mata kuliah ini akan disajikan dalam 9 (sembilan) modul sebagai berikut. ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini memberikan dasar pengetahuan tentang serangga dan manusia. Selain itu, juga memberikan pengetahuan tentang struktur, anatomi, dan perkembangan serangga, serta siklus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk Nyamuk merupakan serangga yang memiliki tubuh berukuran kecil, halus, langsing, kaki-kaki atau tungkainya panjang langsing, dan mempunyai bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 1. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANLatihan Soal 1.5. Metagenesis. Metamorfosis. Regenerasi

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 1. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANLatihan Soal 1.5. Metagenesis. Metamorfosis. Regenerasi SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 1. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANLatihan Soal 1.5 1. Pada siklus hidup hewan tertentu, terjadi perubahan bentuk tubuh dari embrio sampai dewasa. Perubahan bentuk tubuh ini disebut...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi E. furcellata (Hemiptera : Pentatomidae) Menurut Kalshoven (1981) E. furcellata diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum Klass Ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis 16 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Ada 2 tipe akar ubi jalar yaitu akar penyerap hara di dalam tanah dan akar lumbung atau umbi. Menurut Sonhaji (2007) akar penyerap hara berfungsi untuk menyerap unsur-unsur

Lebih terperinci