RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH"

Transkripsi

1 RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Pebruari 2010 Nunung Parlinah E

3 ABSTRACT PARLINAH, N. Value Chain of Jepara Mahogany Furniture. Under direction of HERRY PURNOMO and BRAMASTO NUGROHO. Furniture industries have an important role in foreign exchange revenue in Jepara district. This study proposes to determine the policy scenarios that can encourage the sustainability of furniture industries in Jepara by applying dynamic models. The specific objectives of this research are to (1) analyze the added value distribution along the mahogany furniture value chain, (2) identify the institutions along the mahogany furniture value chain, and (3) analyze the added value distribution which is more equitable along the chain. This study utilizes secondary and primary data. The secondary data were obtained from literature reviews and statistical reports while the primary data were collected through a survey using a structured questionnaire. The analyses of data involve identification of actors and institutions in the chains, distribution of added value, and benefit cost analysis consisting of Net Present Value, Benefit Cost Ratio and Internal Rate of Return. The software, i.e. Stella 8 is applied in modeling and simulation processes. The results indicates that (1) there is imbalance of value added distribution per m 3 raw material along the value chain; (2) the small and medium enterprises (as agent) produce the furniture relied more on buyer (as principal) orders. In such situation asymmetric information happens causing the position of craftsman and mahogany growers as price takers; (3) the values of NPV, BCR and IRR are not similar for each actor, but those values show that the principal-agent relationship among each actor tends to be effective. There are three scenarios which are possible to be applied, i.e. (1) efficiency in furniture production followed by improving capacity building on the marketing system; (2) the increase of the plantation investment in Perhutani area combined with reducing of forest pressurse and incentive policies on community forest; and (3) fair trade scenario through collective action. Keywords: value chain, mahogany furniture, Jepara, added value, principal-agent

4 RINGKASAN PARLINAH, N. Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO dan BRAMASTO NUGROHO Industri mebel umumnya termasuk dalam industri kecil dan menengah. Penerimaan negara yang berasal dari ekspor mebel terus mengalami peningkatan selama tahun sebesar 17%, dimana pada tahun 2005 jumlah ekspor mencapai US$ 1,01 milyar - 1,78 milyar. Mebel kayu termasuk mebel kayu mahoni merupakan 75% dari nilai ekspor tersebut. Dalam perdagangan global selama tahun , mebel Indonesia menguasai 2,5% dari pangsa pasar dunia. Dengan masuknya semua jenis mahoni dalam Appendix CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) II yang berimplikasi terhadap pembatasan pemanenan mahoni di tempat tumbuh aslinya, maka kondisi ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi mebel mahoni dalam rangka memenuhi pasar. Bisnis di bidang mebel ini juga menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, dimana pada tahun 2005 jumlah industri mebel di Jepara, sebagai sentra industri mebel, mencapai dengan jumlah tenaga kerja orang. Pada tahun 2006, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi terhadap Produk Domestik Regional Bruto) PDRB Kabupaten Jepara yaitu sebesar 27%, dimana 84,8% dari sektor tersebut berasal dari industri kayu dan hasil hutan lainnya. Banyaknya industri mebel di Jepara telah mengakibatkan terjadinya persaingan antar pelaku yang terlibat dalam bisnis mebel. Tantangan yang dihadapi oleh sektor industri mebel antara lain turunnya ketersediaan kayu kualitas bagus serta mekanisme distribusi dan pemasaran kayu, distribusi pendapatan yang tidak seimbang dan tekanan pada kelestarian tanaman. Adanya hubungan principal (pemberi kepercayaan) agent (penerima kepercayaan) yang terjadi antar aktor atau pelaku di dalam rantai juga menentukan besarnya distribusi keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pelaku di sepanjang rantai nilai. Pendekatan rantai nilai dapat menjelaskan distribusi keuntungan yang terjadi dalam suatu rantai, sehingga dapat mengidentifikasi kebijakan yang sesuai untuk memperoleh keuntungan yang lebih baik. Berdasarkan kondisi tersebut, maka tujuan umum dari penelitian adalah mencari skenario kebijakan yang dapat mendorong kelangsungan industri mebel melalui pendekatan sistim dinamik. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian adalah (1) mengetahui besarnya nilai tambah dan distribusinya sepanjang rantai nilai mebel mahoni; (2) mengetahui kelembagaan yang berlaku sepanjang rantai nilai; dan (3) mengetahui distribusi nilai tambah yang lebih adil Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Nopember 2008 di Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Sumedang Propinsi Jawa Barat dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Rantai nilai untuk industri mebel termasuk dalam kategori buyer driven sehingga penelitian ini dilakukan secara backward yaitu melihat keterkaitannya ke belakang. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode snowball, dengan para pelaku yang menjadi responden adalah eksportir, pengecer (retailer) domestik, perusahaan jasa finishing, pengrajin, perusahaan jasa

5 penggergajian, pedagang kayu di Jepara, pedagang kayu di Sumedang, petani di Sumedang dan Perhutani KPH Pati. Analisis data yang dilakukan meliputi: (1) identifikasi para pelaku atau aktor dalam rantai nilai mebel mahoni; (2) analisis distribusi nilai tambah ;(3) identifikasi kelembagaan di sepanjang rantai nilai yang terjadi yang berpengaruh terhadap hubungan principal-agent; (4) analisis manfaat biaya berupa analisis Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal rate of return (IRR) dan (5) analisis sistem (pemodelan) dan simulasi menggunakan software Stella 8. Para pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara pada pasar domestik dan pasar ekspor adalah petani penanam kayu di Sumedang, Perhutani KPH Pati, pedagang kayu di Sumedang, pedagang kayu Jepara, jasa penggergajian, pengrajin, eksportir (+finishing), jasa finishing, dan pengecer/toko domestik (+finishing) dimana para pelaku tersebut memberikan nilai tambah pada setiap prosesnya. Adapun besarnya pertambahan nilai total per m 3 bahan baku pada pasar domestik adalah Rp yang terdistribusi secara tidak merata yaitu 49,83% pengecer/toko (+finishing), pengrajin mebel 27,62%, pedagang kayu di Jepara 9,21%, petani kayu di Sumedang 7,38%, pedagang kayu di Sumedang 3,72%, dan penggergajian 2,23%. Pada pasar ekspor, besarnya pertambahan nilai total per m 3 bahan baku untuk kayu yang berasal dari rakyat adalah Rp , dimana nilai tambah terbesar diperoleh eksportir yaitu 36,79%. Selanjutnya pengrajin 28,48%, pedagang kayu Jepara 16,67%, petani 11,30%, pedagang kayu Sumedang 5,06% dan penggergajian 1,70%. Sedangkan untuk pasar ekspor dengan bahan baku yang berasal dari Perhutani, total pertambahan nilai per m 3 bahan baku adalah Rp dengan eksportir masih memperoleh bagian nilai tambah paling besar yaitu 31%. Selanjutnya diikuti oleh Perhutani 27,74%, pengrajin 24%, pedagang kayu Jepara 15,83% dan penggergajian 1,43%. Nilai tambah yang diperoleh Perhutani lebih tinggi dibandingkan nilai tambah yang diperoleh petani kayu karena pengelolaan yang lebih intensif. Pada kedua pasar tersebut yaitu pasar domestik dan ekspor, yang paling sedikit memperoleh nilai tambah adalah pemberi jasa penggergajian. Banyaknya pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara telah menempatkan pengrajin dan petani pada posisi sebagai price taker. Rantai nilai yang terjadi bersifat buyer driven, dimana para pengrajin (agent) memproduksi mebelnya lebih didasarkan pada order yang spesifikasi produk dan harganya lebih banyak ditentukan oleh principal yaitu pembeli baik pengecer/toko domestik maupun eksportir. Pengrajin sebagai price taker tidak hanya terjadi dalam penjualan produk, tetapi juga terjadi pada pembelian bahan baku dan bahan penolong lainnya. Informasi asimetris yang terjadi antara pedagang kayu dan petani juga telah mengakibatkan posisi petani sebagai price taker. Hasil analisis manfaat dan biaya, pelaku yang paling tinggi nilai NPV nya adalah eksportir dengan nilai Rp , diikuti oleh penggergajian Rp , pedagang kayu Jepara Rp , pedagang kayu di Sumedang Rp pengecer domestik Rp , jasa finishing Rp , pengrajin pada pasar ekspor Rp , pengrajin pada pasar domestik Rp , Perhutani KPH Pati Rp dan petani Rp Untuk nilai BCR yang paling tinggi adalah penggergajian 1,73, jasa finishing 1,59, pengrajin pasar ekspor 1,25, pengecer/toko domestik 1,21,

6 pengrajin pasar domestik 1,19, pedagang kayu Jepara 1,16, eksportir 1,15, petani 1,14, pedagang kayu Sumedang (1,09), dan Perhutani (1,08). Sedangkan parameter IRR menunjukkan seluruh kegiatan masih layak diusahakan pada tingkat suku bunga 18%. Besarnya nilai NPV yang diterima oleh eksportir berkaitan dengan besarnya skala usaha yang dijalankan dibandingkan dengan kegiatan yang lain. Apabila dilihat dari parameter BCR, maka kegiatan usaha yang paling menguntungkan adalah jasa penggergajian. Sedangkan parameter IRR menunjukkan bahwa tingkat pengembalian atas investasi pada kegiatan jasa finishing paling tinggi dibandingkan kegiatan yang lain. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pola kemitraan yang terjadi antar pelaku di dalam rantai nilai mebel mahoni yang terjadi selama ini sudah efektif. Simulasi dasar terhadap model menunjukkan bahwa nilai tambah total pada pasar domestik mengalami peningkatan, sementara nilai tambah total pada pasar ekspor mengalami penurunan. Peningkatan nilai tambah pada pasar domestik terjadi karena peningkatan volume produksi kayu mahoni yang berasal dari hutan rakyat sebagai bahan baku mebel untuk pasar domestik. Sedangkan penurunan yang terjadi pada pasar ekspor disebabkan adanya penurunan volume produksi kayu mahoni yang berasal dari Perhutani, dimana kayu yang berasal dari Perhutani tersebut seluruhnya dipakai untuk bahan baku mebel pasar ekspor. Besarnya kebutuhan kayu untuk industri mebel ini seharusnya merupakan peluang bagi pengembangan usaha kehutanan. Simulasi skenario kebijakan yang dilakukan adalah: (1) peningkatan efisiensi produksi pada proses penggergajian dan proses pembuatan mebel di tingkat pengrajin; (2) peningkatan volume tebang kayu Perhutani melalui penanaman lahan kosong milik Perhutani; (3) penerapan fair trade melalui penghilangan biaya transaksi. Skenario yang paling besar memberikan nilai tambah pada akhir tahun simulasi untuk pasar domestik adalah meningkatkan efisiensi produksi (Rp. 6,70 milyar), diikuti dengan fair trade (Rp. 4,26 milyar). Sedangkan untuk pasar ekspor, skenario yang paling besar memberikan nilai tambah pada akhir tahun simulasi secara berturut-turut adalah penanaman lahan kosong di areal Perhutani (Rp 81,21 milyar), peningkatan efisiensi (Rp. 73,21 milyar) dan fair trade (Rp. 48,99 milyar). Berdasarkan hasil simulasi tersebut, beberapa kebijakan yang dapat diterapkan adalah: (1) Efisiensi pada proses pembuatan mebel melalui diversifikasi produk disertai dengan peningkatan kemampuan pengrajin di bidang pemasaran; (2) Peningkatan volume produksi kayu melalui penanaman lahan kosong di Perhutani disertai dengan penerapan kebijakan pengelolaan yang tepat untuk mengurangi tekanan terhadap hutan. Untuk usaha hutan rakyat perlu kebijakan yang bersifat insentif serta dapat meningkatkan faktor endowment dari petani sehingga bagian keuntungan yang diterima petani dapat meningkat; (3) Penerapan fair trade melalui aksi kolektif (collective action) untuk memanfaatkan pasar mebel dengan harga premium. Aksi kolektif juga dapat diterapkan untuk memperkuat posisi jual pengrajin melalui pengendalian harga jual mebel oleh asosiasi yang telah terbentuk. Pemerintah memiliki peranan penting sebagai pengendali karena aksi kolektif sangat rentan terhadap perilaku oportunis. Kata kunci: rantai nilai, mebel mahoni, Jepara, nilai tambah, principal-agent

7 Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Manajemen Hutan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Judul Tesis : Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara Nama : Nunung Parlinah NIM : E Disetujui Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Herry Purnomo, MComp Ketua Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS Anggota Diketahui: Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB (Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS) (Prof. Dr. Ir. Kairil A. Notodiputro, MS) Tanggal Ujian: 6 Januari 2010 Tanggal Lulus: 4 Pebruari 2010

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara ini dilaksanakan pada bulan Juni Nopember 2008 di Kabupaten Jepara, Kabupaten Sumedang dan KPH Pati. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. selaku komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan pengarahan serta bimbingan dalam penelitian. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Departemen Kehutanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi, serta kepada Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) Project No. FST/2007/119 (CIFOR Project code: R-LIV ACI16) Mahogany and teak furniture: action research to improve value chain efficiency and enhance livelihoods yang telah banyak memfasilitasi penelitian ini. Tidak lupa ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, KPH Pati, Pemerintah Kabupaten Jepara dan Pemerintah Kabupaten Sumedang atas ijin yang diberikan. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat. Bogor, Pebruari 2010 Nunung Parlinah

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 14 Pebruari 1974 dari Bapak Omo Tarsamihardja dan Ibu Katminah. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Pada tahun 1998 penulis menikah dengan Burhanudin Hadisiswoyo dan dikaruniai dua orang putri yaitu Belanida Aldinisalma dan Ghina Ridhatusalma Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan program master diperoleh pada tahun 2006 pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Departemen Kehutanan. Pada tahun 2000, penulis bekerja di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang sampai dengan tahun Pada tahun 2002 sampai dengan saat ini penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi xiii xiv xv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 3 Tujuan Penelitian... 5 Hipotesis... 5 Manfaat Penelitian... 6 Ruang Lingkup Penelitian... 6 TINJAUAN PUSTAKA... 7 Mebel... 7 Potensi, Produksi dan Perdagangan Mahoni Rantai nilai Nilai Tambah Teori Kemitraan dan Biaya Transaksi Pendekatan Sistem METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati Kabupaten Jepara Kabupaten Sumedang HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Aktor Distribusi Nilai Tambah Kelembagaan dan Analisis Pola Kemitraan dalam Rantai nilai Analisis Manfaat dan Biaya (Benefit Cost Analysis) Analisis Perusahaan Pemimpin Analisis Sistem dan Skenario Kebijakan... 61

14 Halaman KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 84

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Produksi kayu mahoni Perhutani Perkembangan luas hutan rakyat di Kabupaten Sumedang Peredaran kayu rakyat dari Kabupaten Sumedang tahun Distribusi nilai tambah kayu mahoni untuk pasar domestik Distribusi nilai tambah kayu mahoni untuk pasar ekspor dari kayu rakyat 45 6 Distribusi nilai tambah kayu mahoni untuk pasar ekspor dari kayu Perhutani Hubungan antar pelaku yang terjadi dalam rantai nilai mebel mahoni Hasil analisis NPV, BCR dan IRR petani, Perhutani dan pedagang kayu Hasil analisis NPV, BCR dan IRR pada penggergajian, pengrajin pasar domestik, pengrajin pasar ekspor dan jasa finishing Hasil analisis NPV, BCR dan IRR pada eksportir dan pengecer domestik Distribusi nilai tambah pasar domestik pada simulasi dasar Distribusi nilai tambah pasar domestik pada skenario efisiensi produksi Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada simulasi dasar Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada skenario efisiensi produksi Luas lahan yang ditanami mahoni pada skenario penanaman lahan kosong Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada skenario penanaman lahan kosong Distribusi nilai tambah pasar domestik pada skenario fair trade Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada skenario fair trade Nilai tambah total pasar domestik dan pasar ekspor pada skenario fair trade Nilai tambah pada akhir tahun simulasi dengan berbagai skenario... 74

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Nilai ekspor mebel kayu Indonesia tahun Rantai nilai secara umum Rantai nilai sederhana Rantai nilai industri mebel kayu Kerangka pemikiran penelitian Pencurian pohon di KPH Pati tahun Produksi kayu di KPH Pati tahun Kontribusi sektor pada PDRB Kabupaten Jepara periode Produksi kayu rakyat di Kabupaten Sumedang Kontribusi sektor pada PDRB Kabupaten Sumedang periode Produksi mebel pesanan untuk pasar luar negeri Produksi mebel pesanan untuk pasar dalam negeri Produksi mebel tidak berdasarkan pesanan Diagram sebab akibat usaha mebel kayu mahoni Dinamika distribusi nilai tambah pasar ekspor (a) dan (b) simulasi dasar, (c) dan (d) skenario efisiensi produksi Dinamika distribusi nilai tambah pasar domestik (a) simulasi dasar, (b) skenario efisiensi produksi Dinamika volume produksi kayu mahoni pada (a) simulasi dasar, (b) skenario penanaman lahan kosong Dinamika distribusi nilai tambah pasar ekspor (a) dan (b) simulasi dasar, (c) dan (d) skenario penanaman lahan kosong Dinamika distribusi nilai tambah pasar domestik (a) simulasi dasar, (b) skenario fair trade... 72

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Susunan kelas hutan KPH Pati Analisis finansial petani penanam pohon mahoni Analisis finansial Perhutani Analisis finansial pedagang kayu Sumedang Analisis finansial pedagang kayu Jepara Analisis finansial industri gergaji Analisis finansial pengrajin (domestik) Analisis finansial pengrajin (ekspor) Analisis finansial industri finishing Analisis finansial eksportir Analisis finansial toko/pengecer domestik Simulasi analisis finansial pengrajin (domestik) Simulasi analisis finansial pengrajin (ekspor) Analisis nilai tambah pengecer luar negeri Analisis Indeks Herfindal untuk pasar ekspor mebel Jepara (Berdasarkan data ekspor periode Januari September 2007) Model utama rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara Spesifikasi model Persamaan model dinamika sistem simulasi dasar Kamus istilah (glossary)

18 PENDAHULUAN Latar Belakang Industri kecil dan menengah, termasuk industri mebel merupakan hal yang penting bagi Indonesia karena selain memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa, juga menciptakan lapangan kerja, serta mensubstitusi barang impor dengan harga murah (Tambunan 2006). Selama tahun , penerimaan negara yang berasal dari ekspor mebel terus mengalami peningkatan yaitu sebesar 17%, dengan nilai ekspor mebel pada tahun 2005 mencapai US$ 1,78 milyar (ASMINDO dalam USAID-SENADA 2007). Kontribusi terbesar dari ekspor mebel tersebut berasal dari mebel kayu yaitu sebesar 75%, sementara mebel rotan dan logam/plastik masing-masing 20% dan 5% (ASMINDO Komda Jepara 2008). Apabila dibandingkan dengan nilai total ekspor mebel dunia pada tahun 2005 yaitu sebesar US$ 82 milyar (ITTO 2006), maka pangsa pasar mebel Indonesia sebesar 2,17%. Data ekspor mebel kayu 1 COMTRADE (2007) menunjukkan nilai yang berbeda, dimana pada tahun 2005 nilai ekspor mebel kayu Indonesia mencapai US$ 1,01 milyar atau sebesar 0,36% 2 dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2005 yaitu sebesar Rp ,2 milyar (BPS 2006). Pada tahun 2006, devisa mebel kayu tersebut mengalami peningkatan sebesar 4,06% atau menjadi US$ 1,051 milyar (COMTRADE 2007). Untuk tahun yang sama, volume perdagangan mebel yang berasal dari Kabupaten Jepara mencapai ,74 ton dan menghasilkan devisa sebesar US$ 111,84 juta (BPS Kabupaten Jepara 2007). Kegiatan di bidang mebel ini tidak hanya menghasilkan devisa, tetapi juga menumbuhkan industri serta menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat antara lain sektor pengusahaan hutan (tanaman dan alam), perdagangan log, industri penggergajian, industri mebel, finishing company, dan ekspor. Menurut Roda et al. (2007), pada tahun 2005 jumlah industri mebel di Jepara, sebagai sentra industri mebel, paling sedikitnya terdapat unit industri dengan menyerap 1 Yang termasuk dalam furniture ini adalah office furniture woodenness (HS ), kitchen furniture woodenness (HS ), bedroom furniture woodenness (HS ) dan furniture woodenness (HS ). 2 1 US$ = Rp

19 orang tenaga kerja. BPS Kabupaten Jepara (2007) melaporkan bahwa pada tahun 2006, jumlah eksportir mebel sebanyak 265 yang mencakup 68 negara tujuan ekspor. Banyaknya jumlah industri tersebut berimplikasi terhadap besarnya konsumsi bahan baku yang dibutuhkan. Menurut Roda et al. (2007) konsumsi kayu di Jepara mencapai 1,5 2,2 juta m³ per tahun dengan jenis-jenis kayu yang digunakan antara lain meliputi kayu jati, mahoni, akasia dan kayu dari hutan alam. Banyaknya konsumsi bahan baku yang diperlukan dalam industri ini, tidak hanya menyediakan lapangan pekerjaan di sektor industri dan perdagangan tetapi juga merupakan peluang bagi pengembangan usaha kehutanan. Konsekuensi lain dari banyaknya industri mebel juga mengakibatkan terjadinya persaingan tidak hanya berupa persaingan antar perusahaan di dalam klaster, tetapi juga persaingan dengan perusahaan pada klaster di tempat yang berbeda. Dengan demikian, keberhasilan suatu perusahaan semakin tergantung pada spesialisasi dan kerjasama dengan perusahaan lainnya di dalam klaster tersebut, untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing (Roda et al. 2007). Dalam perdagangan global, persaingan terjadi bukan hanya antar perusahaan tetapi persaingan juga mencakup seluruh sistem pendukungnya termasuk kebijakan pemerintah, keputusan-keputusan yang dibuat oleh perusahaan pemimpin dan kebijakan lainnya yang berpengaruh terhadap hubungan principal agent antar pelaku dalam rantai. Kaplinsky dan Morris (2000) mengemukakan bahwa untuk dapat sukses dalam perdagangan global, efisiensi saja tidak cukup, tetapi kesuksesan juga dipengaruhi oleh akses terhadap pasar akhir, kebijakan di pasar akhir dan keputusan dari perusahaan pemimpin di dalam rantai perdagangan. Dengan melihat besarnya peranan industri mebel bagi penerimaan negara, banyaknya pihak yang terkait di sektor lain seperti kehutanan, perdagangan dan industri, serta semakin pentingnya persaingan yang sistematis, maka perlu upaya untuk menjamin kelangsungan industri mebel termasuk kelangsungan dari segi pasokan bahan baku. Di sini analisis rantai nilai (value chain) memiliki peranan penting, dimana seluruh siklus produksi diperhatikan termasuk hubungan dengan pasar akhir. Pendekatan rantai nilai berperan dalam membantu menjelaskan kepada siapa saja keuntungan didistribusikan, sehingga mempermudah dalam

20 mengidentifikasi kebijakan mana yang sesuai agar memperoleh bagian keuntungan yang lebih baik (Kaplinsky dan Morris 2000). 3 Perumusan Masalah Dalam perdagangan global, mebel Indonesia selama tahun 2003 sampai 2005 menguasai 2,5 % dari pangsa pasar dunia (USAID-SENADA 2007), sementara perkembangan pangsa pasar China meningkat dari 3% pada tahun 1995 menjadi 17% di tahun 2005 (ITTO 2006). Pesatnya perkembangan mebel China tersebut akan berpengaruh terhadap penurunan pangsa pasar mebel Indonesia. Sementara itu, perkembangan permintaan mebel yang diperkirakan meningkat sebesar lebih dari 3% di beberapa negara (ITTO 2006), merupakan peluang bagi Indonesia untuk terus meningkatkan pangsa pasar produk mebel termasuk mebel mahoni. Di lain pihak, semua jenis mahoni yaitu Switenia macrophylla, S. mahagoni dan S. humilis masuk dalam Appendix CITES II yang berimplikasi pada perlunya ijin ekspor dari negara asal kayu dan perlunya ijin impor di beberapa negara tujuan (CITES 2007). Kondisi ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi mebel mahoni dalam rangka memenuhi pasar, karena pemanenan kayu mahoni di tempat tumbuh aslinya yaitu Benua Amerika dibatasi. Peluang Indonesia tersebut didukung dengan besarnya potensi produksi mahoni yang ada. Walaupun jumlah produksi kayu mahoni dari Perhutani terus mengalami penurunan dimana pada tahun 2000 sebesar m 3 menjadi m 3 pada tahun 2004 (Perhutani 2005), namun potensi produksi mahoni dari hutan rakyat sangat besar. Untuk tahun 2006, produksi kayu mahoni rakyat di Jawa Tengah sebesar ,97 m 3 (Dishut Prov. Jateng 2008), dan Propinsi DIY ,25 m 3 (Dishut Propinsi DIY 2006, diacu dalam Hudaya 2006). Sedangkan produksi kayu pertukangan mahoni di lima kabupaten di Jawa Barat (Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Majalengka) pada tahun 2003 sebesar ,07 m 3 (Pasaribu dan Roliadi 2006). Akan tetapi besarnya peluang pemasaran dari mebel kayu mahoni tersebut mengalami kendala karena adanya kenaikan harga bahan baku kayu yang berasal

21 4 dari Perhutani. Hal ini akan berpengaruh pada peningkatan harga bahan baku kayu secara keseluruhan termasuk yang berasal dari hutan rakyat. Bisnis di bidang mebel merupakan sumber mata pencaharian bagi banyak pekerja di Jepara. Pada masa krisis tahun 1997, industri mebel di Jawa Tengah mengalami peningkatan, dimana peningkatan tersebut tidak hanya meliputi tersedianya lapangan kerja, tetapi juga telah meningkatkan pendapatan. Sayangnya, keuntungan yang diperoleh pekerja dan industri tersebut tidak berkelanjutan karena kegiatan ekspor tergantung pada bahan baku yang sebagian berasal dari sumber yang illegal yang mengancam bagi kelestarian hutan (Loebis dan Schmitz 2005). Turunnya ketersediaan kayu kualitas bagus serta mekanisme distribusi dan pemasaran kayu juga merupakan tantangan yang dihadapi sektor mebel kayu di Jawa Tengah (Ewasechko 2005) disamping terjadinya distribusi pendapatan yang tidak seimbang di sepanjang rantai nilai mebel (jati) dan adanya tekanan pada kelestarian tanaman (Purnomo 2006). Nilai tambah yang diberikan oleh masing-masing pelaku sepanjang rantai nilai jati tersebut terdistribusi tidak merata dimana yang terkecil memperoleh adalah drying kiln 0,2%, dan yang terbesar adalah pengecer internasional 46,7%. Sedangkan petani jati sebesar 5,6%, pedagang kayu 0,9%, penggergajian 0,6%, pengrajin 3,6%, finishing mebel 3,2%, eksportir 11,4%, eksportir di luar negeri 6,1% dan pedagang besar internasional 21,9% (Purnomo 2006). Ketidakseimbangan distribusi margin keuntungan ini tidak hanya terjadi di dalam rantai nilai mebel, tetapi juga terjadi di dalam rantai nilai rotan di Philipina, dimana yang terbesar memperoleh keuntungan adalah industri (14,05 peso/batang), dan yang terkecil adalah organisasi masyarakat dan pemilik ijin pemanenan (0,42 peso/batang). Sedangkan pemungut rotan memperoleh 10,00 peso/batang, dimana mereka memperoleh rotan di hutan sehingga modal yang dikeluarkan hanya berupa tenaga kerja dan waktu (IRG 2006). Besarnya distribusi keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pelaku di sepanjang rantai nilai antara lain ditentukan oleh bentuk hubungan principal (pemberi kepercayaan) agent (penerima kepercayaan) yang terjadi antar aktor di dalam rantai. Hal tersebut terjadi karena masing-masing pelaku ingin memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya. Nugroho (2003)

22 5 mengemukakan bahwa munculnya ketidaksepadanan informasi antara penjual dan pembeli mengakibatkan kemitraan rentan terhadap perilaku oportunistis. Kondisi ini akan menentukan kelembagaan yang terjadi di dalam rantai nilai, sehingga akan berpengaruh pada daya saing produk mebel dalam perdagangan global. Melihat banyaknya pelaku di sepanjang rantai nilai mebel mahoni dan banyaknya tenaga kerja yang hidupnya tergantung dari keberlangsungan pasokan bahan baku, maka perlu dicari skenario kebijakan yang akan mendorong bagi peningkatan kegiatan penanaman mahoni baik di masyarakat maupun Perhutani, keberlangsungan industri tetap terjamin dan hutan tetap lestari. Beberapa hal yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah: (1) bagaimana distribusi nilai tambah di sepanjang rantai nilai mebel mahoni?, (2) bagaimana kelembagaan dalam rantai nilai mebel mahoni? (3) skenario kebijakan apa yang mendorong bagi kelangsungan industri mebel dan kelestarian penanaman mahoni (kelestarian hutan) Tujuan Penelitian Secara umum tujuan dari penelitian mengenai rantai nilai dengan sistim dinamik adalah mencari skenario kebijakan yang mendorong bagi kelangsungan industri mebel dan kelestarian penanaman mahoni. Secara khusus penelitian bertujuan untuk: (1) Mengetahui besarnya nilai tambah serta distribusi nilai tambah di sepanjang rantai nilai mebel mahoni (2) Mengetahui kelembagaan yang berlaku dalam rantai nilai industri mebel mahoni (3) Mengetahui besarnya distribusi nilai tambah yang lebih adil bagi para pelaku dalam rantai nilai mebel mahoni Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Terjadi distribusi nilai tambah yang tidak seimbang di sepanjang rantai nilai mebel mahoni 2. Posisi dari pengrajin dan petani lemah

23 3. Distribusi nilai tambah mebel kayu mahoni yang lebih adil dapat menjadi insentif bagi kelangsungan industri mebel dan upaya pelestarian mahoni. 6 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan alternatif kebijakan dalam upaya mendorong kelangsungan industri mebel dan kelestarian tanaman mahoni. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian mengenai rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara adalah keterkaitan kebelakang mulai dari penjual akhir dari mebel kayu mahoni Jepara yang ada di Jepara sampai ke petani yang menanam mahoni dan Perhutani. Aspek yang diteliti adalah aliran fisik kayu, distribusi nilai tambah sepanjang rantai nilai dan kelembagaan yang terjadi disepanjang rantai nilai.

24 TINJAUAN PUSTAKA Mebel Mebel merupakan salah satu komoditi yang diproduksi dan diperdagangkan secara global. Menurut ITTO (2006), nilai produksi mebel dunia pada tahun 2005 berdasarkan pada data statistik dari 60 negara adalah sebesar US$ 267 milyar, dengan produsen terbesar USA yaitu mencapai US$ 57,4 milyar. Produsen terbesar berikutnya adalah China US$ 37,9 milyar, Italy US$ 23,7 milyar, Jerman US$ 18,9 milyar, Jepang US$ 12,4 milyar, Kanada US$ 11,7 milyar, Inggris US$ 10,1 milyar dan Prancis US$ 9,2 milyar. Kurang lebih 55% dari nilai total produksi mebel dunia tersebut diproduksi oleh negara maju (tidak termasuk China). Negara tertinggi dalam mengkonsumsi mebel per kapita adalah Norwegia, Kanada, Austria, Switzerland, Denmark dan Finlandia. Sedangkan konsumen mebel terbesar pada tahun 2005 adalah USA (US$ 78,2 milyar), China (US$ 24,9 milyar), Jerman (US$20,5 milyar), Inggris (US$15,5 milyar) dan Jepang (US$ 15,5 milyar) (ITTO 2006). Dalam hal perdagangan, 54% ekspor mebel dunia berasal dari negara maju, namun sejak tahun 1990-an, pangsa pasar ini menurun sebesar 22%, dan diambil alih oleh negara-negara penting lain seperti Polandia, Malaysia, Indonesia dan Meksiko. Adapun negara pengekspor mebel terbesar di dunia adalah China, dengan nilai ekspor pada tahun 2005 US$ 13,5 milyar dan besarnya tingkat pertumbuhan ekspor pada tahun 2007 meningkat sebesar 17% (ITTO 2006). Sedangkan mebel Indonesia hanya menguasai 2,5% dari pangsa pasar dunia. Pasar ekspor terbesar bagi Indonesia adalah Amerika Serikat sebesar 29,3%, Jepang 9,6%, Belanda dan Inggris masing-masing 6,47%, dan Jerman 5,79% (USAID-SENADA 2007). Industri mebel di Indonesia sebagian besar termasuk dalam industri kecil dan menengah, telah menyumbangkan devisa yang tidak sedikit. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai ekspor mebel yang terus mengalami peningkatan, dimana selama tahun meningkat 17% dan benilai US$ 1,78 milyar

25 8 pada tahun Sebagian besar ekspor tersebut berasal dari mebel kayu (75%), sementara mebel rotan 20% dan mebel logam/plastik 5% (ASMINDO 2007 dalam USAID-SENADA 2007). Data ASMINDO Komda Jepara (2008) menunjukkan bahwa ekspor mebel kayu Indonesia pada tahun 2005 hampir mencapai US$ 1,351 milyar. Pada tahun-tahun berikutnya, nilai ekspor mebel terus mengalami peningkatan seperti terlihat pada Gambar Nilai (Juta US$) Tahun Sumber: ASMINDO Komda Jepara (2008) Gambar 1 Nilai ekspor mebel kayu Indonesia tahun Selain kontribusinya dalam penerimaan devisa Negara, industri mebel ini juga memiliki peranan yang sangat penting bagi penerimaan daerah terutama di Kabupaten Jepara. Pada tahun 2006, volume perdagangan mebel yang berasal dari Kabupaten Jepara mencapai ,73 ton dan menghasilkan devisa sebesar US$ 111,84 juta (BPS Kabupaten Jepara 2007). Sedangkan Roda et al. (2007) melaporkan bahwa aliran tunai industri mebel di Jepara disinyalir mencapai Rp milyar per tahun. Disamping besarnya penerimaan daerah dari hasil ekspor mebel, kegiatan ini juga telah menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Menurut data Dinas

26 9 Perindustrian Kabupaten Jepara dalam Loebis dan Schmitz (2005), pada tahun 1997 sebanyak tenaga kerja diserap oleh industri, dan pada tahun 2002 jumlah tersebut meningkat menjadi industri dengan menyerap tenaga kerja. Data yang berbeda dikemukakan oleh Roda et al. (2007), dimana pada tahun 2002 paling tidak terdapat industri dan menyerap orang tenaga kerja. Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 2005 paling sedikit terdapat unit industri dengan menyerap orang tenaga kerja. Jumlah eksportir mebel di Kabupaten ini sebanyak 265 yang mencakup 68 negara tujuan ekspor (BPS Kabupaten Jepara 2007). Menurut Roda et al. (2007), hampir semua perusahaan di Jepara mempunyai satu atau lebih perusahaan mitra, sehingga perusahaan sangat terkait satu sama lain melalui ikatan bisnis. Perusahaan di Jepara dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu: (1) perusahaan terpadu yang menghasilkan produk jadi atau setengah jadi dari kayu bulat yang belum diolah; (2) perusahaan (tempat penimbunan kayu dan tempat penggergajian kayu) yang berfokus pada pengolahan awal bahan baku kayu dan menghasilkan kayu gergajian untuk keperluan kelompok ketiga; (3) bengkel yang menggunakan kayu gergajian serta berbagai komponen dan menghasilkan produk jadi. Berdasarkan sumber bahan baku, industri lokal dapat dikelompokkan menjadi (1) bengkel yang memperoleh bahan baku secara langsung dari luar Jepara; (2) bengkel yang memperoleh bahan baku secara tidak langsung dengan membelinya dari tempat penimbunan kayu atau penjual di Jepara. Kelompok kedua ini umumnya tidak memiliki modal untuk membeli semua bahan baku, mereka memperoleh pinjaman dari pembelinya. Bahan baku kayu bulat yang telah dibeli tersebut selanjutnya di sub kontrakkan ke penggergajian awal kemudian membawanya ke tempat kerjanya. Banyaknya jumlah industri mebel tersebut telah mengakibatkan banyaknya bahan baku yang dibutuhkan. Menurut Roda et al. (2007) konsumsi kayu untuk industri mebel di Jepara mencapai 1,5 2,2 juta m³ per tahun. Dengan demikian, kelangsungan dari industri-industri tersebut sangat tergantung dari kelangsungan bahan bakunya itu sendiri.

27 Potensi, Produksi dan Perdagangan Mahoni 10 Adapun jenis-jenis kayu yang biasa digunakan dalam membuat mebel di Jepara antara lain Jati (Tectona grandis), kayu mahoni (Swietenia macrophylla), sonokeling, waru, mangga, suren, duren, akasia dan rimba lainnya (Ewasechko 2005; DEPERIN 2006; Roda et al. 2007). Kayu-kayu tersebut antara lain berasal dari hutan Perhutani, hutan rakyat di Jawa dan hutan di Luar Jawa (Ewasechko 2005; DEPERIN 2006; USAID-SENADA 2007). Mahoni sebagai salah satu jenis kayu yang banyak digunakan dalam pembuatan mebel di Jepara, memiliki potensi yang cukup tinggi. Luas hutan produksi Perum Perhutani adalah ,55 Ha dimana 3,89% atau ,98 Ha merupakan hutan produksi mahoni. Namun demikian, berdasarkan data statistik Perhutani tahun 2005, volume produksi kayu mahoni terus mengalami penurunan seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Produksi kayu mahoni Perhutani Tahun Produksi (m 3 ) Sumber: Perhutani (2005) Penurunan produksi kayu mahoni Perhutani tersebut menjadikan kayu mahoni dari hutan rakyat sebagai alternatif bahan baku. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan (2004), potensi kayu mahoni masyarakat tahun 2003 sebanyak 45,26 juta pohon yang dikuasai oleh 2,31 juta rumah tangga. Tanaman mahoni ini merupakan tanaman ketiga terbesar yang dikuasai oleh masyarakat setelah jati (79,71 juta pohon) dan sengon (59,83 juta pohon). Adapun yang menjadi daerah potensi utama mahoni adalah Jawa Tengah (39,04%), Jawa Barat (27,56%) dan Jawa Timur (11,63%). Produksi kayu rakyat di Jawa Tengah tahun 2006 adalah sebesar ,57 m 3, dimana produksi kayu mahoni sebesar ,97 m 3 (13%) (Dishut Prov. Jateng 2008). Sedangkan produksi kayu bulat asal hutan rakyat di

28 11 Propinsi DIY tahun 2006 adalah ,43 m 3, dan 11,9% (15.361,25 m 3 ) dari kayu tersebut adalah mahoni (Dishut Prov DIY 2006, diacu dalam Hudaya 2008). Sedangkan potensi mahoni rakyat di lima kabupaten di Jawa Barat (Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Majalengka) pada tahun 2003 seluas ,63 ha yang menghasilkan kayu pertukangan mahoni sebesar ,07 m 3 (Pasaribu dan Roliadi 2006). Dalam perdagangan mahoni dunia, kebanyakan kayu yang diperdagangkan berasal dari hutan alam dan sebagian kecil berasal dari hutan tanaman. Ekportir utama kayu ini adalah Brazil, Bolivia dan Peru, dan importir yang paling utama adalah Amerika dan Inggris. Perdagangan kayu mahoni dari hutan tanaman di Asia Tenggara yaitu berasal dari Malaysia, Indonesia dan Philippina (Soerianegara dan Lemmens 1994). Dengan masuknya seluruh jenis mahoni dalam appendix II CITES yaitu Swietenia macrophylla King (mahoni daun besar) pada tahun 2003, S. mahagoni tahun 1992, Jacq (mahoni daun kecil) dan S. humilis Zucc tahun 1975 (CITES 2007; Burley et al. 2004; Grogan dan Barreto 2005), mengandung konsekuensi bahwa perdagangan internasional dari mahoni perlu adanya verifikasi yang menjamin penebangan kayu secara legal dan dengan cara yang tidak menimbulkan kerusakan ekosistemnya (Grogan dan Barreto 2005). Kondisi ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar. Hal ini disebabkan tanaman mahoni di Indonesia merupakan tanaman eksotis. Tanaman mahoni (Swietenia) termasuk dalam famili Meliaceae, secara alami terdapat di daerah tropis Amerika antara 20 LU dan 18 LS. Terdapat di Mexico tengah melalui Amerika Tengah dan India Barat termasuk Florida bagian Barat menuju Bolivia, Peru dan Brazil (Soerianegara dan Lemmens 1994). Tanaman mahoni yang ada di Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu S. macrophylla King dan S. mahagoni Jacq. Besarnya ketergantungan industri mebel terhadap pasokan bahan baku sementara produksi kayu dari Perhutani yang semakin menurun walaupun diimbangi dengan meningkatnya produksi kayu rakyat, telah mengakibatkan persaingan yang tinggi antar pelaku bisnis mebel untuk memperoleh bahan baku yang diperlukannya. Persaingan tersebut tidak hanya terjadi dalam upaya

29 12 pemenuhan bahan baku, tetapi persaingan juga terjadi dalam hal penjualan produk mebel yang dihasilkannya. Kondisi ini telah membentuk para pelaku berhubungan satu sama lain dalam jaringan yang kompleks seperti yang dikemukakan oleh Kaplinsky et al. (2003) mengenai rantai nilai industri mebel kayu. Rantai Nilai Istilah rantai nilai (value chain) banyak digunakan dalam berbagai bidang penelitian dengan menggunakan berbagai terminologi yang berbeda. Istilahistilah seperti global commodity chains, value chains, value systems, production network dan value networks merupakan istilah yang banyak digunakan oleh para peneliti (Gereffi et al. 2001). Penggunaan istilah rantai nilai ini tergantung dari konteks yang digunakan. Menurut Kaplinsky dan Morris (2000) telah terjadi tumpang tindih dengan konsep sejenis yang digunakan dalam konteks yang lain. Rantai nilai ini bervariasi tergantung dari skala kegiatan organisasi (Sturgeon 2001). Istilah rantai nilai pertama kali dikemukakan oleh Michael E. Porter pada tahun 1985 dalam bukunya Competitive Advatage: Creating and Sustaining Superior Performance. Menurut Porter, rantai nilai merupakan alat untuk menguji seluruh kegiatan perusahaan secara sistematik serta bagaimana hubungannya untuk menganalisis daya saing perusahaan. Porter membedakan dua elemen penting dari analisis rantai nilai yaitu (Porter 1985; Kaplinsky dan Morris 2000): a. Berbagai kegiatan yang diselenggarakan dalam hubungan rantai tertentu. Di sini menggambarkan kegiatan transformasi input menjadi output (inbound logistik, operasional, outbound logistik, pemasaran dan penjualan, dan jasa) serta berbagai jasa pendukung perusahaan (infrastuktur perusahaan, sumberdaya manusia, pengembangan teknologi, dan pengadaan) untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kegiatan intra-link ini disebut sebagai rantai nilai (value chain).

30 13 Infrastruktur Perusahaan Kegiatan Pendukung Inbound Logistic Operasi Manajemen SDM Pengembangan Teknologi Procurement Outbound Logistic Penjualan & Pemasaran Pelayanan K e u n t u n g a n Kegiatan Utama Sumber: Porter (1985) Gambar 2 Rantai nilai secara umum. b. Konsep rantai nilai multi-link yang disebut sebagai value system. Value system pada dasarnya merupakan pengembangan dari rantai nilai intra link menjadi hubungan inter-link. Sedangkan Womack dan Jones menggunakan frase value stream untuk merujuk pada istilah rantai nilai (Kaplinsky dan Morris 2000). Konsep lain yang hampir sama mengenai rantai nilai adalah filiere yang digunakan untuk menggambarkan aliran input secara fisik dan jasa dalam memproduksi suatu produk akhir yang intinya tidak ada perbedaan antara Porter atau Womack dan Jones. Konsep rantai nilai yang ketiga adalah yang dikemukanan oleh Gereffi selama pertengahan 1990-an, dimana rantai nilai digambarkan sebagai global commodity chain. Konsep ini memfokuskan pada koordinasi penyebaran global dari sistem produksi (Kaplinsky dan Morris 2000). Gereffi mengemukakan bahwa beberapa rantai terkarakterisasi oleh anggota atau beberapa anggota yang dominan, sehingga anggota tersebut menentukan karakter dari rantai. Sebagai perusahaan pemimpin, mereka menjadi bertanggung jawab untuk meningkatkan kegiatan hubungan individu dan mengkoordinasikan interkasi antar link. Disamping terdapat istilah yang berbeda mengenai rantai nilai, Kaplinsky dan Morris (2000) membedakan rantai nilai menjadi rantai nilai sederhana dan

31 14 rantai nilai kompleks. Dalam hal ini, Kaplinsky dan Morris (2000) mendefinisikan rantai nilai sebagai gambaran kegiatan yang diperlukan untuk menghasilkan suatu barang atau jasa, dimana barang dan jasa tersebut bermula dari sebuah gagasan, selanjutnya melalui beberapa tahap produksi yang berbeda untuk kemudian dibawa ke konsumen dan akhirnya didaur ulang setelah dipergunakan. Gambar dari sebuah rantai nilai sederhana seperti tersaji pada Gambar 3. Disain dan pengembangan produk Produksi -logistik -transformasi -input -pengemasan -dll Pemasaran Pemakaian/ daur ulang Disain Produksi Pemasaran Pemakaian/ daur ulang Sumber: Kaplinsky dan Morris (2000) Gambar 3 Rantai nilai sederhana. Berdasarkan gambar di atas, proses pembuatan sebuah produk bermula dari kegiatan desain dilanjutkan dengan proses produksi untuk kemudian dipasarkan, sehingga produk yang dihasilkan dapat dinikmati oleh konsumen. Produk tersebut pada akhirnya didaur ulang setelah dipergunakan. Dalam dunia sesungguhnya, tentu saja rantai nilai tidak sesederhana seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3. Pada dunia nyata, rantai nilai cenderung lebih kompleks dan banyak link yang saling berhubungan, seperti yang terjadi pada rantai nilai industri mebel kayu yang dikemukakan oleh Kaplinsky dan Morris (2000); Kaplinsky et al. (2003) pada gambar berikut:

32 15 Bibit Mesin Air Kehutanan Kimia Penggergajian Mesin Disain Industri mebel Logistik,k ualitas Mesin Pembeli Cat, perekat, dll Pedagang besar dalam negeri Pedagang besar luar negeri Pedagang pengecer domestik Pedagang pengecer luar negeri Konsumen Daur ulang Dibuang Sumber: Kaplinsky dan Morris (2000); Kaplinsky et al. (2003), dimodifikasi Gambar 4 Rantai nilai industri mebel kayu. Nilai Tambah Masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel tersebut memberikan nilai tambah dalam setiap prosesnya. Nilai tambah adalah selisih antara pendapatan yang diperoleh dari penjualan barang atau jasa dan biaya untuk pembelian barang atau jasa yang diperlukan untuk menghasilkan barang atau jasa (Anonim 1997, diacu dalam Susanty 2000) Pengertian nilai tambah adalah perbedaan antara harga pembelian bahan mentah atau bagian-bagian yang selesai dikerjakan dalam proses produksi dan harga penjualan produk yang bersangkutan. Dalam pengertian nilai tambah di sini, dikenal dua metode untuk menghitung nilai tambah yaitu (1) nilai tambah

33 16 kotor (gross value added), adalah berdasarkan nilai tambah produk yang dicapai dari penjualan pada suatu periode dikurangi harga pokok penjualannya (Sudarsono 1992, diacu dalam Sumaryuwono 2001); (2) nilai tambah bersih (net value added), besarnya nilai tambah ini, sama dengan pendapatan yang berasal dari hasil penjualan suatu produk, dikurangi dengan pengeluaran untuk memiliki/menghasilkan produk tersebut, yang terdiri dari harga pokok penjualan, biaya pemasaran, penyusutan, bunga pinjaman dan pajak pemerintah (Aliludin 1993 dalam Sumaryuwono 2001). Besarnya nilai tambah yang diperoleh masing-masing pelaku dalam rantai nilai mebel menurut Purnomo (2006) terdistribusi tidak merata, dimana yang terkecil memperoleh adalah drying kiln 0,2%, dan yang terbesar adalah pengecer internasional 46,7%. Besarnya keuntungan yang diperoleh masing-masing pelaku tersebut dipengaruhi oleh hubungan kemitraan yaitu hubungan principal agent antar pelaku yang membentuk aturan main (kelembagaan) dan karakteristik dari rantai nilai yang ada. Teori Kemitraan dan Biaya Transaksi Persaingan dalam industri mebel tidak hanya terjadi antar perusahaan di dalam klaster, tetapi persaingan juga terjadi dengan perusahaan lain pada klaster yang berbeda. Dengan demikian maka keberhasilan dalam persaingan tidak hanya ditentukan oleh perusahaan itu sendiri, tetapi juga ditentukan oleh sistem pendukungnya termasuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, kebijakan dari perusahaan pemimpin, dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak lain seperti tuntutan adanya sertifikasi (menurut Kaplinsky dan Morris (2000) fungsi ini termasuk dalam fungsi legislatif). Kebijakan-kebijakan tersebut berpengaruh terhadap hubungan kemitraan antar pelaku di dalam rantai sehingga membentuk kelembagaan dan peta kekuatan yang ada di dalam rantai. Untuk memaksimumkan keuntungan para pelaku yang terlibat, ke dalam perusahaan mengalami permasalahan jaringan kontrak antara pemilik modal dan manajernya, serta manajer dan bawahannya. Ke luar perusahaan menghadapi permasalahan hubungan atau jaringan kontrak antara perusahaan dengan mitra pemasok input (supplier) dan pembeli output (buyer) (Nugroho 2003). Salah satu

34 17 pendekatan yang digunakan untuk mempelajari teori kemitraan adalah pendekatan hubungan yang memberi kepercayaan (principal) dan yang menerima kepercayaan (agents) atau secara umum disebut principal-agent relationship. Analisis principal agent ini merupakan alat yang populer dan sangat berguna dalam ilmu sosial sejak awal 1970-an terutama dalam akutansi, ekonomi, keuangan, management, teori organisasi dan sosiologi (Munro 2001). Eggertsson (1990), diacu dalam Nugroho (2003) menyebutkan bahwa teori kemitraan merupakan teori yang biasanya digunakan utuk menjelaskan hubungan hirarkis, tetapi secara umum dapat dimanfaatkan pula untuk menjelaskan berbagai bentuk pertukaran (exchange). Dalam hubungan hirarkis yang kompleks seseorang dapat memainkan peranan secara simultan baik sebagai agent bagi principal di atasnya, dan sebagai principal bagi agent di bawahnya (Whynes 1993). Hubungan kemitraan yang mungkin terjadi di dalam rantai nilai mebel yaitu antara pembeli produk mebel dengan industri pembuatnya, dan antara pedagang log dengan industri dan petani. Hubungan antara principal (pemberi kepercayaan) dan agent (penerima kepercayaan) selalu memunculkan masalah ketidaksepadanan informasi antara penjual dan pembeli mengakibatkan kemitraan rentan terhadap perilaku oportunitis (Nugroho 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan principal-agent akan efisien jika tingkat harapan keuntungan (reward) kedua belah pihak seimbang dengan korbanan masing-masing serta biaya transaksi sehubungan dengan pembuatan kontrak atau kesepakatan dapat diminimumkan. Hubungan principal-agent yang efisien mejadi sesuatu yang kompleks untuk dipecahkan, karena munculnya informasi asimetris (asymentric information) dan sangat ditentukan oleh derajat penolakan terhadap resiko. Derajat penerimaan terhadap resiko dapat dikelompokkan menjadi: (1) kelompok yang menyukai resiko (risk lover), (2) tidak menyukai resiko (risk averter) dan (3) netral terhadap resiko (risk neutral) (Varian 1992; Silberberg 1990; Beaty dan Taylor 1984; dan Eggertsson 1990, diacu dalam Nugroho 2003). Menurut North (1990), biaya transaksi ialah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa (information cost), biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), biaya untuk menetapkan kontrak (contractual cost) dan biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost). Ostrom et al. (1993),

35 18 mengemukkan bahwa biaya transaksi meliputi: (1) biaya koordinasi (coordination cost) yaitu biaya untuk waktu, dana dan personel dalam negosiasi, pengawasan dan penegakan kesepakatan; (2) biaya informasi (information cost) yaitu biaya untuk mencari dan mengorganisasi data termasuk biaya atas kesalahan informasi; (3) biaya strategis (strategic cost) biaya yang diakibatkan oleh kepemilikan informasi, kekuasaan dan sumberdaya yang tidak sepadan diantara pelaku, umumnya untuk membiayai aktivitas free riding, rent seeking dan corruption. Kegiatan pembuatan mebel yang banyak melibatkan para pelaku (aktor) mulai dari hulu (petani), industri, pedagang sampai pada konsumen, adanya hubungan principal agent dan distribusi nilai tambah yang tidak seimbang antar pelaku menyebabkan perumusan menjadi kompleks. Menurut Eriyatno (2003), karakteristik permasalahan tersebut memerlukan pendekatan sistem, karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh. Pendekatan Sistem Menurut Manetsch dan Park (1979), diacu dalam Eriyatno (2003), secara definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sedangkan Grant et al. (1997) mendefinisikan sistem sebagai kumpulan komponen-komponen fisik yang terorganisasi dan saling berhubungan yang dicirikan oleh suatu batasan dan kesatuan fungsional atau dapat didefinisikan sebagai kumpulan materi-materi dan proses yang saling berhubungan dan bersama-sama membentuk satu set fungsi. Analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan teknik untuk mempelajari, menggambarkan, dan membuat prediksi tentang sesuatu yang kompleks, dimana analisis sistem menekankan pendekatan holistik pada pemecahan masalah dan penggunaan model matematis untuk mengidentifikasi serta mensimulasikan karakter-karakter dalam suatu sistem yang kompleks (Grant et al. 1997). Pemodelan adalah proses membangun sebuah model dari sistem nyata dalam bahasa formal tertentu. Model itu sendiri menurut Simatupang (1994) adalah suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu dari suatu sistem nyata.

36 19 Melalui simulasi, pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, dengan menelaah perilaku dari model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya (Eriyatno 1999). Simulasi menurut Grant et al. (1997) adalah proses penggunaan model untuk meniru atau menggambarkan secara bertahap sistem yang dipelajari. Model simulasi terbentuk dari suatu susunan operasi matematik dan logika yang bersama-sama mewakili struktur dan perilaku dari ruang lingkup sistem. Model-model simulasi tersebut termasuk model dinamis dimana model ini menggambarkan hubungan yang bervariasi oleh waktu. Purnomo (2006) mengemukakan bahwa sistem dinamik adalah metodologi umum yang digunakan terutama untuk mempelajari perilaku dinamis dari berbagai sistem kompleks.

37 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Industri mebel merupakan industri yang memiliki peranan penting dalam penerimaan devisa negara dan penerimaan daerah, terutama Kabupaten Jepara, disamping peranannya dalam penyerapan tenaga kerja. Dari sisi pasokan bahan baku, kelangsungan industri mebel sangat dipengaruhi oleh harga dan kelangsungan dari bahan baku itu sendiri. Bahan baku tersebut selain berasal dari Perhutani juga berasal dari hutan rakyat. Dari sisi penjualan, tujuan penjualan produk mebel dapat berupa pasar domestik dan pasar ekspor. Rantai nilai mebel dapat digolongkan sebagai buyer driven yaitu rantai nilai dimana pengecer atau pedagang besar mendominasi aturan-aturan dalam sistem produksi. Sistem produksi yang dikendalikan antara lain model dan spesifikasi dari produk yang akan dibuat. Karakteristik lain dari rantai nilai mebel adalah banyaknya pelaku atau aktor yang terlibat dalam kegiatan bisnis mebel. Para pelaku berhubungan satu sama lain, sehingga membentuk jaringan yang kompleks. Selain adanya aliran dan perubahan fisik kayu di sepanjang rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara (dimana dalam penelitian ini dibatasi dari petani dan Perhutani sampai kepada eksportir dan pengecer domestik yang berlokasi di Jepara), setiap pelaku di sepanjang rantai nilai juga memberikan nilai tambah pada setiap prosesnya. Sedangkan besarnya keuntungan yang diperoleh masing-masing pelaku sepanjang rantai nilai dan kelayakan finansial dari masing-masing tahap produksi dipengaruhi oleh hubungan principal agent antar pelaku dan membentuk kelembagaan yang terjadi di sepanjang rantai nilai. Besarnya distribusi dari nilai tambah tersebut dapat mempengaruhi pada kelestarian usaha mebel dan kelestarian hutan. Dengan melihat adanya keterkaitan berbagai faktor yang mempengaruhi kelangsungan industri mebel, maka dikembangkan model dinamik dari luas tanaman mahoni dan produksi kayu mahoni sebagai sumber bahan baku, perdagangan kayu (aliran fisik) dan distribusi nilai tambah. Secara

38 ringkas, kerangka pemikiran dari penelitian rantai nilai mebel mahoni seperti terlihat pada Gambar Karakteristik Rantai nilai mebel Identifikasi aktor Pemetaan aktor dalam rantai nilai mebel Analisis distribusi nilai tambah Analisis pola kemitraan Analisis manfaat biaya Distribusi nilai tambah Kelembagaan (institusi) Kelayakan finansial Analisis perusahaan pemimpin ya Distribusi nilai tambah seimbang Posisi tawar seimbang Kegiatan usaha menguntungkan tidak Industri mebel dan hutan lestari Industri mebel dan hutan tidak lestari Analisis sistem (pemodelan) Dipertahankan Skenario Kebijakan Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian.

39 Lokasi dan Waktu Penelitian 22 Lokasi Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Sumedang Propinsi Jawa Barat, dan KPH Pati Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Adapun waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Nopember Kabupaten Jepara dipilih sebagai lokasi penelitian karena Jepara merupakan sentra industri mebel, sedangkan Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kabupaten yang menjadi sumber bahan baku industri mebel di Jepara. Untuk KPH Pati selain merupakan sumber bahan baku bagi industri mebel di Jepara, KPH Pati secara administratif termasuk dalam lima kabupaten yang salah satunya adalah Kabupaten Jepara. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. (1) Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden, antara lain meliputi: (a) identitas responden; (b) identifikasi unit manajemen; (c) data volume pembelian dan penjualan produk, serta data biaya input dan harga penjualan produk; (d) asal pembelian bahan baku dan tujuan penjualan produk; dan (e) informasi mengenai aturan-aturan yang berlaku di sepanjang rantai nilai mebel mahoni Jepara. Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk memperoleh data primer adalah sebagai berikut: Menurut Kaplinsky dan Morris (2000); Kaplinsky et al. (2003), rantai nilai untuk industri mebel termasuk dalam kategori buyer driven. Dengan asumsi ini, maka penelitian dilakukan dengan cara backward yaitu melihat keterkaitannya ke belakang. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode snowball (tidak termasuk KPH Pati dan petani), dimana aktor-aktor yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah: 1. Eksportir (+finishing) sebanyak 3 responden. 2. Pengecer/toko domestik (+finishing) sebanyak 3 responden. 3. Perusahaan jasa finishing sebanyak 3 responden. 4. Pengrajin mebel sebanyak 15 responden. Pengrajin tersebut terbagi menjadi 2 kelompok yaitu pengrajin yang memproduksi mebel untuk

40 23 pasar domestik dan pengrajin yang memproduksi mebel untuk pasar ekspor. 5. Perusahaan jasa penggergajian sebanyak 3 responden. Sampel yang diambil adalah perusahaan jasa penggergajian yang lokasinya berdekatan dengan lokasi pengrajin. 6. Pedagang kayu sebanyak 8 responden (3 responden pedagang kayu di Jepara, dan 5 responden pedagang kayu di Sumedang). Sampel pedagang kayu di Jepara adalah pedagang kayu yang lokasinya dekat dengan penggergajian. Sedangkan sampel pedagang kayu di Sumedang adalah pedagang kayu yang memasok mahoni ke Jepara. 7. Petani yang menanam mahoni di Kabupaten Sumedang sebanyak 21 responden. Pengambilan sampel untuk masyarakat diwilayah ini dilakukan secara purposive terhadap masyarakat yang memiliki tanaman mahoni. 8. Perhutani yang menjadi sampel adalah Perhutani KPH Pati. KPH Pati merupakan salah satu sumber bahan baku bagi industri mebel di Jepara selain secara administratif sebagian dari wilayah KPH Pati merupakan bagian dari Kabupaten Jepara. (2) Data sekunder yang digunakan dalam penelitian antara lain meliputi: (a) data volume dan nilai penjualan mebel di Kabupaten Jepara; (b) data tujuan penjualan mebel dari Kabupaten Jepara; (c) data potensi tegakan mahoni Perhutani KPH Pati; (d) data potensi tegakan mahoni yang berasal dari rakyat di Kabupaten Sumedang. Seluruh data sekunder dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan dengan kegiatan pencatatan. Data tersebut berasal dari instansi terkait antara lain Dinas Perindustrian Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Jepara, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara, Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jepara, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, Perhutani KPH Pati, Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi Kabupaten Sumedang, dan BPS Kabupaten Sumedang.

41 Analisis Data 24 Untuk memahami dinamika rantai nilai dari mebel kayu mahoni Jepara, dalam penelitian ini dilakukan identifikasi para pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel, analisis mengenai distribusi nilai tambah, identifikasi kelembagaan yang ada di sepanjang rantai nilai dan analisis manfaat dan biaya (benefit cost analysis) disetiap kegiatan. Dari hasil analisis tersebut selanjutnya dilakukan analisis mengenai perusahaan pemimpin (leading firm) dalam rantai nilai mebel dan menerapkan berbagai skenario kebijakan dengan menggunakan model dinamik (dynamic modelling). Identifikasi para pelaku (aktor) Identifikasi aktor sepanjang rantai nilai mebel dilakukan melalui penelusuran dan keterkaitan ke belakang dimulai dari eksportir dan pengecer/toko domestik sampai ke penanam mahoni yaitu petani dan Perhutani. Selanjutnya memetakan hubungan antar aktor yang terlibat dalam sebuah diagram. Analisis distribusi nilai tambah Untuk mengetahui besarnya distribusi nilai tambah yang diterima masingmasing aktor sepanjang rantai nilai mebel mahoni Jepara, maka dilakukan analisis dengan tahapan sebagai berikut: (1) Analisis aliran produk di setiap pelaku antara lain meliputi: a) nilai output kotor, b) nilai output bersih, c) aliran fisik dari barang, dan d) tujuan pemasaraan. (2) Langkah berikutnya adalah analisis nilai tambah dan distribusi nilai tambah. Margin keuntungan yang diterima oleh masing-masing aktor (lembaga pemasaran) dirumuskan sebagai berikut: π = P s P b C Dimana, π = Keuntungan yang diterima oleh setiap pelaku (aktor) P s = Harga jual produk di setiap pelaku P b = Harga beli produk di setiap pelaku C = Biaya pemasaran pada setiap pelaku, termasuk biaya transaksi

42 25 Untuk mengetahui distribusi dari margin keuntungan, selanjutnya dilakukan perhitungan berdasarkan persentase keuntungan masing-masing lembaga pemasaran terhadap keuntungan total seluruh lembaga pemasaran Identifikasi kelembagaan Identifikasi kelembagaan atau aturan-aturan yang ada di sepanjang rantai nilai mebel mahoni Jepara. Identifikasi ini dilakukan terhadap kebijakan dari perusahaan pemimpin dan kebijakan lainnya yang berpengaruh terhadap hubungan antar aktor berupa hubungan principal agent yang terlibat di dalam rantai nilai. Analisis manfaat dan biaya (benefit cost analysis) Analisis manfaat biaya yang dilakukan dalam penelitian adalah nilai kini manfaat bersih (Net Present Value NPV), rasio manfaat dan biaya (Benefit Cost Ratio BCR), dan tingkat pengembalian internal (Internal rate of return IRR) (Davis et al. 2001). 1. Nilai kini manfaat bersih (NPV). Menghitung nilai kini manfaat dikurangi biaya pada periode analisis dan tingkat bunga tertentu Rumus: NPV = n t= 1 (R t C t ) (1 + i) -t Keterangan: i = tingkat suku bunga t = periode analisis R t = manfaat pada akhir setiap periode t C t = biaya pada akhir setiap periode t n = jumlah periode pendiskontoan (periode analisis) Dengan kriteria ini, proyek dinyatakan layak dijalankan apabila NPV 0 2. Rasio manfaat dan biaya (BCR), adalah perbandingan antara manfaat dengan biaya saat ini dari aliran kas, pada tingkat bunga dan periode analisis tertentu Rumus: BCR = n t= 0 n R t (1 + i) -t / t= 0 C t (1 + i) -t

43 Keterangan: i = tingkat suku bunga t = periode analisis R t = manfaat pada akhir setiap periode t C t = biaya pada akhir setiap periode t n = jumlah periode pendiskontoan (periode analisis) 26 Dengan kriteria ini, proyek dinyatakan layak dijalankan apabila BCR 1 3. Tingkat pengembalian internal (IRR), adalah tingkat pengembalian (pada tingkat suku bunga tertentu) yang menyebabkan NPV = 0 n Rumus: t= 0 R t (1 + i) -t n = t= 0 C t (1 + i) -t Keterangan: i = tingkat suku bunga t = periode analisis R t = manfaat pada akhir setiap periode t C t = biaya pada akhir setiap periode t n = jumlah periode pendiskontoan (periode analisis) Dengan kriteria ini, proyek dinyatakan layak dijalankan apabila IRR tingkat suku bunga yang berlaku. Analisis sistem (pemodelan) Untuk mengetahui dinamika dari rantai nilai mebel mahoni Jepara, tahap analisis berikutnya adalah analisis sistem dan simulasi dengan menggunakan perangkat lunak Stella 8. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam analisis sistem adalah (Purnomo 2005, 2006; Grant et al. 1997): Identifikasi isu, tujuan dan batasan Tujuan dari tahap ini adalah mengidentifikasi isu-isu permasalahan serta menentukan tujuan dari pemodelan yang dikembangkan. Setelah ditentukan komponen-komponen sistem yang berkaitan dengan pencapaian tujuan model tersebut serta mengidentifikasi keterkaitannya, kemudian merepresentasikan model tersebut dalam diagram kotak-panah (box-arrow). Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keberlangsungan industri mebel (pengrajin) mengalami tekanan, baik dari sisi harga jual, spesifikasi produksi maupun dari sisi harga bahan baku. Selain

44 pengrajin mebel, petani mahoni juga mengalami tekanan dari pedagang kayu. Hal ini tidak terlepas dari adanya informasi yang tidak seimbang yang membentuk aturan-aturan yang berlaku yang berimplikasi terhadap distribusi pendapatan yang tidak seimbang di sepanjang rantai nilai dari mebel. Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian, maka penyusunan model ditujukan untuk mendorong upaya mempertahankan kelangsungan industri mebel. Perumusan model konseptual dan spesifikasi model kuantitatif Tahapan ini bertujuan untuk membangun pemahaman terhadap sistem yang diamati, kemudian dituangkan dalam sebuah konsep untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang model yang dibuat. 27 Tahap selanjutnya adalah membentuk model kuantitatif dari konsep model yang telah ditetapkan, yang terbagi menjadi beberapa sub model Luas hutan mahoni: Analisis luas tanaman mahoni Perhutani diproyeksikan sebagai berikut: A p,t+1 = A p,t + R p +O p M p L p IA p Dimana: A p,t+1 = Luas areal pada masing-masing kelas umur setelah t+1 di Perhutani A p,t = Luas areal pada masing-masing kelas umur pada tahun ke t di Perhutani R p = Luas areal yang masuk ke dalam kelas umur tertentu (karena adanya penanaman) di Perhutani O p = Luas areal yang pindah dari kelas umur tertentu ke kelas umur yang lebih besar karena adanya pertumbuhan di Perhutani M p = Luas areal yang keluar dari kelas umur tertentu dimana tegakannya mati karena kebakaran dan bencana alam di Perhutani L p = Luas areal yang dipanen di Perhutani IA p = Luas areal yang mengalami gangguan seperti kegiatan penebangan ilegal, penyerobotan lahan, penggembalaan liar di Perhutani Sedangkan proyeksi luas tanaman mahoni rakyat adalah sebagai berikut: A r,t+1 = A r,t + R r L r Dimana: A r,t+1 A r,t = Luas areal tanaman mahoni setelah t+1 di hutan rakyat (ha) = Luas areal tanaman mahoni pada tahun ke t di hutan rakyat (ha)

45 R r L r 28 = Penambahan luas areal tanaman mahoni per tahun di hutan rakyat (ha/tahun) = Luas areal tanaman mahoni yang di panen di hutan rakyat (ha/tahun) Struktur tegakan Dinamika struktur tegakan ditujukan untuk menggambarkan banyaknya pohon mahoni yang berasal dari Perhutani pada setiap kelas umur. Jumlah pohon mahoni pada masing-masing kelas umur setiap tahunnya mengalami perubahan, dimana jumlah pohon tersebut dipengaruhi oleh jumlah pohon yang keluar dan masuk dalam kelas umur tertentu. Adapun struktur tegakan dari kayu mahoni Perhutani adalah sebagi berikut: P p,t+1 = P p,t + RP p +OP p MP p LP p IAP p Dimana: P p,t+1 = Jumlah pohon pada masing-masing kelas umur setelah t+1 di Perhutani P p,t = Jumlah pohon pada masing-masing kelas umur pada tahun ke t di Perhutani RP p = Jumlah pohon yang masuk ke dalam kelas umur tertentu (karena adanya penanaman) di Perhutani OP p = Jumlah pohon yang pindah dari kelas umur tertentu ke kelas umur yang lebih besar karena adanya pertumbuhan di Perhutani MP p = jumlah pohon yang keluar dari kelas umur tertentu dimana tegakannya mati karena kebakaran dan bencana alam di Perhutani LP p = Jumlah pohon yang dipanen di Perhutani IAP p = Jumlah pohon yang mengalami gangguan seperti kegiatan penebangan ilegal, penyerobotan lahan, penggembalaan liar di Perhutani Pengaturan hasil (produksi) Perhitungan proyeksi luas tebangan (etat luas) yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Metode Burn dengan mempertimbangkan gangguan hutan. Sedangkan proyeksi produksi per tahun merupakan hasil dari etat luas dikalikan dengan potensi volume tebang kayu aktual Etat luas : El = L D Dimana : El = Etat luas (ha/tahun)

46 L = Luas areal produktif (ha) D = Daur (tahun) 29 Sedangkan proyeksi produksi kayu mahoni yang berasal dari hutan rakyat dihitung sebagai berikut: V r,t+1 = V r, t + (VP r x L r ) Dimana : V r,t+1 = Volume produksi kayu mahoni rakyat setelah t+1 (m 3 ) V r, t = Volume produksi kayu mahoni rakyat pada tahun ke-t (m 3 ) VP r = Potensi produksi kayu mahoni rakyat (m 3 /ha/tahun) = Luas areal tanaman mahoni yang di panen di hutan rakyat (ha/tahun) L r Aliran fisik dari kayu (perdagangan kayu dan mebel mahoni) adalah: V ind,t+1 = V ind,t + V i ((1- RD) x V i ) Dimana, V ind,t+1 = Volume kayu setiap tahap produksi setelah t+1 (m 3 ) V ind,t = Volume kayu setiap tahap produksi pada tahun ke-t (m 3 ) V i = Volume kayu yang masuk ke setiap tahap produksi (m 3 ) RD = Rendemen di setiap tahap produksi Evaluasi model Tujuan dari tahap ini adalah mengetahui keterandalan model yang dibuat dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Proses pengujian dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa. Penggunaan model Model yang telah dibentuk digunakan untuk mencapai tujuan pembentukannya yaitu mempertahankan kelangsungan industri mebel dan kelestarian penanaman mahoni. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah membuat daftar terhadap semua alternatif (skenario) yang mungkin dapat dibuat dari model yang telah dikembangkan. Semua skenario tersebut dijalankan dan hasilnya dicoba untuk dipahami. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dilanjutkan dengan membuat daftar pendek dari skenario yang sesuai dengan tujuan pemodelan yang dikembangkan.

47 30 Langkah selanjutnya adalah menganalisis skenario yang sesuai dengan tujuan pembuatan model, serta membuat urutan prioritas dari skenario yang terpilih. Tahap akhir adalah merumuskan skenario tersebut menjadi sebuah alternatif atau pilihan kebijakan.

48 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati merupakan salah satu KPH yang termasuk dalam wilayah Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, yang secara administratif termasuk dalam 5 (lima) kabupaten yaitu Kabupaten Pati, Kudus, Jepara, Rembang dan Blora (Perhutani Unit I Jawa Tengah 2007). Kawasan hutan KPH Pati memiliki luas ,69 ha (SPH IV Rembang 2003), dimana seluruhnya merupakan kelas perusahaan jati. Berdasarkan hasil risalah pada tahun 1997/1998, KPH Pati terbagi dalam kelas hutan : (1) untuk produksi kayu jati ,4 ha (57,3%) terdiri dari (a) ,3 ha lahan yang cocok untuk perusahaan tebang habis seluas ( ha merupakan hutan produktif, dan 6.502,3 ha merupakan hutan tidak produktif); dan (b) 50,1 ha tidak cocok untuk perusahaan tebang habis 50,1 ha. (2) Bukan untuk produksi kayu jati ,5 ha (32,5%); dan (3) bukan untuk produksi: 3.964,69 ha (10,2%) Selama jangka perusahaan dari tahun 1999 sampai dengan 2003, terdapat perubahan dan pengurangan luas hutan produktif sekitar 23,8% menjadi kelas hutan tidak produktif karena adanya gangguan keamanan dan kegagalan dalam pembuatan tanaman. Sedangkan luas hutan tidak produktif meningkat 54,4%. Besarnya angka kerusakan per tahun sebesar 18,92% atau 2.935,05 ha. Adapun kelas hutan produktif KPH Pati yang semula ha (40,2% dari kawasan hutan KPH Pati) menjadi ,8 ha pada tahun 2003, atau hanya tinggal 30,7% dari luas kawasan hutan KPH Pati. Beberapa gangguan keamanan dan kegagalan pembuatan tanaman antara lain disebabkan oleh bencana alam, kebakaran hutan, perusakan hutan, penggembalaan dan pencurian kayu. Luas lahan yang terkena bencana alam dan kebakaran di KPH Pati pada tahun 2006 adalah 1.367,65 ha dan 2.121,75 ha pada tahun 2007, dengan kerugian mencapai Rp 52,69 juta (2006), dan Rp 334,94 juta tahun 2007 (Perhutani Unit I Jawa Tengah 2007b). Gangguan lain adalah adanya kegiatan perusakan hutan dan penggembalaan. Pada tahun 2006 mencapai luasan 45,5 ha dengan kerugian mencapai Rp 11 juta, dan pada tahun 2007 kerugian mencapai Rp 6,18 juta.

49 32 Sedangkan besarnya kerugian akibat pencurian pohon selama 5 tahun terakhir (tahun ) adalah sebanyak pohon per tahun dengan kerugian mencapai Rp 390,6 juta per tahun. Besarnya kerugian maupun banyaknya pohon yang dicuri, menunjukkan kecenderungan yang makin menurun seperti terlihat pada Gambar Tahun pohon kerugian (Rpx ) Sumber: Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2007); Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2007b) Gambar 6 Pencurian pohon di KPH Pati tahun Jenis-jenis kayu lain yang ditanam di KPH Pati di luar kelas perusahaan jati adalah pinus, sonokeling dan mahoni. Berdasarkan Statistik Perhutani Unit I Jawa Tengah tahun , luas tanaman mahoni di KPH Pati pada tahun 2003 adalah 2.376,20 ha dan 1.177,90 ha pada tahun 2006 (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 2007) dengan struktur tegakan yang didominasi oleh kelas umur muda yaitu KU I dan KU II (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 2004). Tanaman mahoni di KPH Pati tersebut sebagian termasuk dalam kelas hutan tidak produktif berupa Tanaman Kayu Lain (TKL), dan lainnya termasuk dalam kelas hutan bukan untuk produksi kayu jati berupa Tanaman Jenis Kayu Lain (TJKL).

50 33 Produksi dari berbagai jenis kayu yang ditanam di KPH Pati setiap tahunnya berbeda, dimana produksi kayu jati rata-rata selama 5 tahun terakhir sebesar m 3, dan produksi kayu rimba sebesar 910 m 3. Dari grafik yang ditunjukkan dalam Gambar 7, terlihat bahwa terjadi fluktuasi produksi dari m 3 pada tahun 2002 menjadi sebesar m 3 pada tahun Selanjutnya mengalami peningkatan produksi mencapai tiga kali lipat atau m 3 tahun 2005, dan mengalami penurunan kembali pada tahun 2006 menjadi m 3. Produksi kayu tersebut lebih banyak dihasilkan dari hasil tebangan penjarangan (tebangan E) dan tebangan karena adanya gangguan (tebangan B-D) Volume (m3) jati Rimba pinus mahoni sonokeling jenis lain Total Tahun Sumber: Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2007) Gambar 7 Produksi kayu di KPH Pati tahun Kabupaten Jepara Kabupaten Jepara merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Jawa Tengah terletak pada 5 43`20,67 sampai 6 47`25, 83 Lintang Selatan dan `37, 40 Bujur Timur. Di sebelah Barat dan Utara, Kabupaten Jepara berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Sedangkan sebelah Timur

51 34 berbatasan dengan Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Demak. Jepara yang memiliki luas ,189 ha, terbagi dalam 14 kecamatan. Penggunaan lahan di kabupaten ini terdiri dari tanah sawah seluas ,004 ha dan tanah kering ,185 ha. Menurut data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara (2007), luas hutan rakyat pada tahun adalah 5.905,087 ha. Pada tahun 2006, jumlah penduduk di Kabupaten Jepara sebanyak jiwa yang terdiri dari laki-laki (50.32%) dan perempuan (49,68%) (BPS Kabupaten Jepara 2007). Sebagian besar penduduknya berusaha/bekerja di sektor industri (46,99%) dan pertanian (16,15%), selebihnya berusaha/bekerja di sektor pertambangan, listrik, konstruksi, keuangan dan jasajasa. Besarnya kontribusi masing-masing sektor tersebut terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Jepara selama periode disajikan pada Gambar 8. Sektor yang paling besar memberikan kontribusi adalah sektor industri pengolahan sebanyak 27% (barang kayu dan hasil hutan lainnya 84,8% dan industri pengolahan lainnya 15,2%), kemudian sektor pertanian (25%) dan sektor perdagangan, hotel dan pariwisata (22%). Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan BPS Kabupaten Jepara (2007), PDRB Kabupaten Jepara pada tahun 2006 mencapai Rp ,96 juta (Rp. 5,67 triliun) menurut harga berlaku atau Rp ,11 juta (Rp. 3,55 triliun) menurut harga konstan tahun 2000.

52 35 5% 6% 9% 25% 1% 22% 4% 1% 27% pertanian industri pengolahan bangunan pengangkutan dan komunikasi jasa-jasa pertambangan dan penggalian listrik, gas dan air minum perdagangan, hotel dan restoran keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Sumber: BAPPEDA dan BPS Kabupaten Jepara (2007); Berdasarkan harga konstan tahun 2000 Gambar 8 Kontribusi sektor pada PDRB Kabupaten Jepara periode Kabupaten Sumedang Secara administratif, wilayah Kabupaten Sumedang termasuk dalam Propinsi Jawa Barat. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Pada tahun 2006, jumlah penduduk di Kabupaten Sumedang sebanyak jiwa yang terdiri dari laki-laki (49,99%) dan perempuan (50,01%) (BPS Kabupaten Sumedang 2007). Luas Kabupaten Sumedang ha, yang terdiri dari 26 kecamatan. Penggunaan lahan terbagi dalam tanah sawah seluas ha dan tanah kering ha. Penggunaan lahan terbesar berupa hutan negara seluas ha (29,37%), sedangkan untuk hutan rakyat seluas ha (BPS Sumedang 2007). Data yang berbeda dikemukakan oleh Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi Kabupaten Sumedang dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat seperti tersaji pada Tabel 2.

53 36 Upaya untuk mengembangkan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang pada tahun 2007 telah dilakukan melalui upaya pengkayaan hutan rakyat, pembuatan hutan rakyat serta pembangunan gully plug (Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi 2008). Namun demikian, berdasarkan data luas hutan rakyat di Kabupaten Sumedang tidak mengalami perubahan sejak tahun 2004 sampai sekarang yaitu seluas ,7 ha, seperti tersaji pada Tabel 2 berikut: Tabel 2 Perkembangan luas hutan rakyat di Kabupaten Sumedang Tahun Luas (ha) Produksi (m 3 ) , , , , , , , , , ,25 Sumber: Pebruari 2009]; Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi Kabupaten Sumedang. (2008) Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Jawa Barat, luas lahan kritis di Jawa Barat pada tahun 2003 adalah seluas ha, yang terdiri dari lahan kritis hutan negara 26,1%, lahan kritis perkebunan besar 4,5% dan lahan kritis milik masyarakat 69,4%. Dari luas lahan kritis di Propinsi Jawa Barat tersebut, 16,4% nya merupakan lahan kritis di Kabupaten Sumedang atau seluas ha. Penanganan lahan kritis di Jawa Barat ditempuh dengan dua program pokok yaitu dengan program gerakan rehabilitasi lahan kritis (GRLK) dan gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL). Realisasi dari kedua program tersebut sampai dengan tahun 2006 rata-rata 22% per tahun. Produksi kayu rakyat di Kabupaten Sumedang selama tahun mengalami fluktuasi seperti tersaji dalam Tabel 2 di atas. Produksi pada tahun 2003 mencapai ,80 m 3. Pada tahun berikutnya mengalami peningkatan sebesar 21,2% dari tahun sebelumnya dan selanjutnya mengalami penurunan jumlah produksi. Gambar 9 memperlihatkan bahwa produksi kayu rakyat di Kabupaten Sumedang di dominasi oleh kayu jenis mahoni, dengan jumlah produksi mencapai m 3 pada tahun 2006 dan m 3 pada tahun Jenis lain yang mendominasi adalah kayu jati.

54 Vol (m3) Jati Mahoni Pinus RC lainnya Total Tahun Sumber: Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi Kab. Sumedang (2007) Gambar 9 Produksi kayu rakyat di Kabupaten Sumedang. Pada tahun 2007 lebih dari setengah produksi kayu di Kabupaten Sumedang (57,76%) diangkut ke luar kabupaten dimana 47,89% dari kayu yang ke luar merupakan tujuan Kabupaten Jepara. Adapun jenis kayu yang mendominasi dengan tujuan Jepara adalah kayu mahoni. Peredaran kayu rakyat di Kabupaten Sumedang seperti tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Peredaran kayu rakyat dari Kabupaten Sumedang tahun 2007 Produksi dan Peredaran Volume (m 3 ) Persen dari produksi total Produksi kayu rakyat total ,25 100,00 Produksi kayu mahoni ,00 54,25 Peredaran dalam kabupaten 9.165,32 42,24 Peredaran ke luar kabupaten ,92 57,76 Tujuan Kabupaten Jepara 6.000,59 27,66 Jati 2.298,79 10,60 Mahoni 3.686,61 16,99 Rawa 15,19 0,07 Tujuan kabupaten lainnya 6.530,32 30,10

55 38 Apabila dilihat dari kontribusi sektor terhadap PDRB Kabupaten Sumedang, maka sektor yang paling besar memberikan kontribusi adalah pertanian yaitu sebesar 29% (termasuk sektor kehutanan), kemudian sektor industri pengolahan 26%, sektor perdagangan, hotel dan restoran 26%, sektor jasa-jasa 8% dan sektor lainnya sebesar 11% (Gambar 10). Berdasarkan data BAPPEDA dan BPS Kabupaten Sumedang (2007), PDRB Kabupaten Sumedang berdasarkan harga berlaku pada tahun 2006 mencapai Rp ,32 juta (Rp. 8,06 triliun) atau Rp ,20 (Rp. 4,69 triliun) berdasarkan harga konstan tahun % 4% 8% 29% 26% 0% 2% 2% 26% Pertanian indstr pengolahan bangunan/konstruksi pengangkutan&konstruksi jasa-jasa tambang, galian listrik, gas dan air bersih perdag, hotel dan restoran keuangan persewaan&jasa perush Sumber: BAPPEDA dan BPS Kabupaten Sumedang (2007); Berdasarkan harga konstan tahun 2000 Gambar 10 Kontribusi sektor pada PDRB Kabupaten Sumedang periode

56 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Aktor Usaha di bidang mebel kayu mahoni Jepara melibatkan banyak pelaku atau aktor baik yang berada di Jepara maupun yang berada di luar Jepara. Pelaku yang terlibat antara lain penanam kayu (petani dan Perhutani), pedagang kayu di Jepara dan luar Jepara, pemilik penggergajian, pengrajin, pemilik jasa finishing, pengecer atau toko domestik, eksportir dan pembeli global. Beberapa eksportir dan toko domestik selain berperan sebagai pembeli mebel setengah jadi dari pengrajin, kedua pelaku ini juga melakukan kegiatan finishing mebel sendiri sebelum mebel tersebut dijual kembali. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat berbagai cara pengrajin terhubung dengan pembeli mebel dan pemasok bahan baku. Berdasarkan aliran informasi pemesanan mebel, maka proses produksi mebel dapat dikategorikan menjadi (1) produksi mebel berdasarkan pesanan pembeli dan (2) produksi mebel tidak berdasarkan pesanan. Dari kedua kategori tersebut, yang banyak terjadi di Jepara adalah produksi mebel berdasarkan pesanan. Pada produksi mebel berdasarkan pesanan, aliran informasi pemesanan dapat berasal dari pembeli luar negeri dan pembeli dalam negeri. Pembeli luar negeri yaitu pembeli global atau importir umumnya memesan mebel ke eksportir, untuk selanjutnya eksportir mensubkontrakkan kembali pesanan tersebut kepada pengrajin (Gambar 11). Pelaku yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Perhutani, petani, pedagang kayu di luar Jepara, pedagang kayu di Jepara, penggergajian, pengrajin, eksportir dan pembeli global atau importir. Untuk mebel yang dibuat berdasarkan pesanan dari pembeli dalam negeri, pesanan dapat berasal dari pengecer/toko yang melakukan proses finishing sendiri, pengecer/toko yang tidak melakukan proses finishing sendiri atau pesanan langsung dari konsumen akhir (Gambar 12). Para pelaku yang terlibat adalah Perhutani, petani, pedagang kayu di luar Jepara, pedagang kayu di Jepara, penggergajian, pengrajin, jasa finishing, dan toko. Desain dan spesifikasi dari mebel dibuat sesuai dengan keinginan pembeli (bersifat buyer driven).

57 40 Pasar luar negeri Pembeli global/importir Eksportir (+ finishing) Pengrajin Penggergajian Pedagang kayu di Jepara Pedagang kayu Hutan Perhutani Hutan rakyat Aliran informasi pesanan Aliran proses produksi Gambar 11 Produksi mebel pesanan untuk pasar luar negeri.

58 41 Pasar dalam negeri/konsumen Pengecer/ toko Pengecer/toko (+finishing) Finishing Pengrajin Penggergajian Pedagang kayu di Jepara Pedagang kayu Hutan Perhutani Hutan rakyat Aliran informasi pesanan Aliran proses produksi Gambar 12 Produksi mebel pesanan untuk pasar dalam negeri. Sedangkan produksi mebel yang tidak berdasarkan pesanan, biasanya pengrajin membuat dengan desain yang sudah umum untuk memudahkan dalam penjualan. Produk mebel dengan desain umum ini biasanya banyak dibeli oleh pengumpul mebel, untuk selanjutnya dijual kembali ke toko atau pengecer di dalam negeri (Gambar 13). Dalam kategori ini, para pelaku yang terlibat adalah

59 Perhutani, petani, pedagang kayu di luar Jepara, pedagang kayu di Jepara, penggergajian, pengrajin, pengumpul, jasa finishing dan toko. 42 Pasar dalam negeri/konsumen Pengecer/ toko Finishing Pengumpul Pengrajin Pedagang kayu di Jepara Penggergajian Pedagang kayu Hutan Perhutani Hutan rakyat Aliran proses produksi Gambar 13 Produksi mebel tidak berdasarkan pesanan. Distribusi Nilai Tambah Dari hasil studi diperoleh bahwa aliran produk terbagi menjadi aliran produk untuk pasar domestik dan aliran produk untuk pasar ekspor. Perbedaan tersebut terletak pada kualitas dari produk yang dihasilkan. Umumnya kualitas

60 43 mebel yang dihasilkan untuk pasar domestik masuk dalam grade B dan C, sedangkan mebel untuk pasar ekspor masuk dalam grade A dan B. Produksi berbagai grade mebel tersebut terjadi mulai dari awal pembuatan mebel, sehingga ukuran dan kualitas bahan baku yang digunakan juga berbeda. Perbedaan grade tersebut berimplikasi terhadap perbedaan harga jual mebel. Distribusi nilai tambah untuk pasar domestik Aliran dari produk, besarnya efisiensi dan besarnya nilai tambah yang diperoleh masing-masing aktor sepanjang rantai nilai mebel mahoni Jepara untuk pasar domestik disajikan dalam Tabel 4. Masing-masing pelaku tersebut melakukan proses produksi dan mengeluarkan sejumlah biaya untuk memperoleh nilai tambah dari produk yang dihasilkannya. Nilai tambah yang diciptakan masing-masing pelaku tersebut berkontribusi terhadap nilai akhir dari mebel yang diproduksi. Tabel 4 Distribusi nilai tambah kayu mahoni untuk pasar domestik Aktor Rendemen (%) Produk tinggal (m 3 ) Nilai Output (Rp x 1000) Biaya input***) (Rp x 1000) Distribusi nilai tambah per m 3 bahan baku Rp % (x 1000) Distribusi nilai tambah per m 3 produk Rp % (x 1000) Petani ky Sumedang 100 1, , ,75 Pedagang Sumedang 100 1, , ,39 Pedagang ky Jepara 100 1, , ,43 Penggergajian 58*) 0, , ,43 Pengrajin psr dmstk 57*) 0, , ,16 Retlr dmstk + finishing 95**) 0, , ,84 Total , ,00 *) ( **) Purnomo(2006) ***) perincian dari biaya input tersaji dalam Lampiran 2 sampai Lampiran 11 Dari hasil studi diperoleh bahwa besarnya pertambahan nilai yang diperoleh aktor terdistribusi secara bervariasi. Pertambahan nilai terbesar dari mebel kayu mahoni untuk pasar domestik terjadi pada proses finishing dan pemasaran dan yang terkecil pada proses penggergajian. Pertambahan nilai per m 3 bahan baku yang diberikan pada proses finishing dan pemasaran domestik adalah sebesar 49,83% (Rp /m 3 bahan baku) dan pada proses

61 44 penggergajian sebesar 2,23% (Rp /m 3 bahan baku). Sedangkan pertambahan nilai per m 3 bahan baku yang diberikan oleh petani kayu di Sumedang, pedagang kayu di Sumedang, pedagang kayu di Jepara, dan pengrajin mebel berturut-turut adalah 7,38% (Rp ), 3,72% (Rp ), 9,21% (Rp ), dan 27,62% (Rp ). Besarnya pertambahan nilai total per m 3 bahan baku adalah Rp Pada setiap tahapan proses yang dilakukan oleh masing-masing aktor menghasilkan produk tinggal yang berbeda tergantung dari rendemen di setiap prosesnya. Produk tinggal merupakan perkalian antara rendemen dengan input yang digunakan, dimana besaran input tersebut berasal dari proses sebelumnya. Dari Tabel 4 di atas, dapat dilihat bahwa 1 m 3 bahan baku yang berupa kayu log, dapat menghasilkan 0,31 m 3 produk mebel jadi yang siap dipasarkan ke konsumen akhir. Apabila nilai tambah diperhitungkan berdasarkan m 3 produk jadi, maka besarnya distribusi nilai tambah adalah 59,84% pengecer domestik termasuk finishing, 31,16% pengrajin, 3,43% pedagang kayu Jepara, 2,75% petani, 1,43% penggergajian dan 1,39% pedagang kayu Sumedang. Tingginya nilai tambah yang diperoleh pengecer domestik selain berasal dari proses pemasaran dan penguasaan informasi pasar, juga berasal dari keuntungan yang diperoleh pada proses finishing. Berdasarkan hasil penelitian, besarnya keuntungan yang diperoleh dari jasa proses finishing adalah Rp per m 3 bahan baku (31,21% dari total nilai tambah per m 3 bahan baku) atau sebesar Rp per m 3 produk yang dihasilkan (37,48% dari total nilai tambah per m 3 produk). Dengan demikian, besarnya keuntungan yang diperoleh dari proses pemasaran adalah sebesar Rp per m 3 bahan baku (18,62% dari total nilai tambah per m 3 bahan baku) atau sebesar Rp per m 3 produk (22,36% dari total nilai tambah per m 3 produk). Selain pertambahan nilai yang terdistribusi secara tidak merata, faktor lain yang perlu juga menjadi perhatian adalah skala usaha atau kapasitas produksi dari masing-masing kegiatan.

62 Distribusi nilai tambah untuk pasar ekspor Para pelaku yang terlibat dalam pasar ekspor selain melibatkan sebagian para pelaku yang terlibat dalam pasar domestik, juga melibatkan pelaku lain yaitu Perhutani sebagai produsen kayu, eksportir dan para pengrajin sub kontrak yang membuat mebel khusus untuk pasar ekspor sesuai pesanan eksportir. Seperti halnya pada mebel kayu mahoni untuk pasar domestik, nilai tambah untuk mebel kayu mahoni dengan tujuan pasar ekspor juga terdistribusi tidak merata. Aliran dari produk, besarnya efisiensi dan besarnya nilai tambah yang diperoleh masingmasing aktor sepanjang rantai nilai untuk pasar ekspor seperti tersaji dalam Tabel 5 dan 6. Tabel 5 Distribusi nilai tambah kayu mahoni untuk pasar ekspor dari kayu rakyat Aktor Rendemen (%) Produk tinggal (m 3 ) Nilai Output (Rp x 1000) Biaya input***) (Rp x 1000) Distribusi nilai tambah per m 3 bahan baku Rp % (x 1000) 45 Distribusi nilai tambah per m 3 produk Rp % (x 1000) Petani ky Sumedang 100 1, , ,69 Pedagang Sumedang 100 1, , ,10 Pedagang ky Jepara 100 1, , ,92 Penggergajian 58*) 0, , ,22 Pengrajin psr eksp 57*) 0, , ,82 Eksportir + finishing 95**) 0, , ,25 Total , ,00 *) ( **) Purnomo(2006) ***) perincian dari biaya input tersaji dalam Lampiran 2 sampai Lampiran 11 Besarnya pertambahan nilai total per m 3 bahan baku pada mebel mahoni untuk pasar ekspor dari kayu rakyat adalah Rp Pertambahan nilai terbesar dari mebel kayu mahoni untuk pasar ekspor terjadi pada proses finishing di tingkat eksportir, dan yang terkecil pada proses penggergajian. Pertambahan nilai per m 3 bahan baku pada proses finishing di tingkat eksportir adalah sebesar 36,79% (Rp /m 3 bahan baku) dan pada proses penggergajian sebesar 1,70% (Rp /m 3 bahan baku). Sedangkan pertambahan nilai per m 3 bahan baku yang diberikan oleh penanam kayu (petani kayu di Sumedang), pedagang kayu di Sumedang, pedagang kayu di Jepara, dan pengrajin mebel berturut-turut adalah 11,30% (Rp ), 5,06% (Rp ), 16,67% (Rp ), dan

63 46 28,48% (Rp ). Apabila nilai tambah diperhitungkan berdasarkan m 3 produk jadi, maka besarnya distribusi nilai tambah adalah 49,25% eksportir termasuk finishing, 35,82% pengrajin, 6,92% pedagang kayu Jepara, 4,69% petani kayu di Sumedang, 2,10% pedagang kayu Sumedang dan 1,22% penggergajian. Tabel 6 Distribusi nilai tambah kayu mahoni untuk pasar ekspor dari kayu Perhutani Aktor Rendemen (%) Produk tinggal (m 3 ) Nilai Output (Rp x 1000) Biaya input***) (Rp x 1000) Distribusi nilai tambah per m 3 bahan baku Rp % (x 1000) Distribusi nilai tambah per m 3 produk Rp % (x 1000) Perhutani 100 1, , ,68 Pedagang ky Jepara 100 1, , ,23 Penggergajian 58*) 0, , ,13 Pengrajin psr eksp 57*) 0, , ,24 Eksportir + finishing 95**) 0, , ,71 Total , ,00 *) ( **) Purnomo(2006) ***) perincian dari biaya input tersaji dalam Lampiran 2 sampai Lampiran 11 Besarnya pertambahan nilai total per m 3 bahan baku pada mebel mahoni untuk pasar ekspor dari kayu Perhutani adalah Rp Seperti halnya pada pertambahan nilai mebel mahoni pasar ekspor yang berasal dari kayu rakyat, pertambahan nilai terbesar untuk mebel mahoni ekspor yang berasal dari kayu Perhutani juga diterima oleh eksportir yang terintegrasi dengan proses finishing yaitu sebesar 31% (Rp /m 3 ). Pertambahan nilai berikutnya diterima oleh Perhutani (27,74%), pengrajin (24%), pedagang kayu di Jepara (15,83%) dan penggergajian (1,43%). Apabila nilai tambah diperhitungkan berdasarkan m 3 produk jadi, maka besarnya distribusi nilai tambah adalah 45,71% eksportir termasuk finishing, 33,24% pengrajin, 12,68% Perhutani, 7,23% pedagang kayu Jepara, dan 1,13% penggergajian. Nilai tambah yang diperoleh Perhutani lebih tinggi dibandingkan nilai tambah yang diperoleh petani kayu, hal tersebut disebabkan kualitas dari kayu yang dihasilkan Perhutani lebih baik karena pengelolaannya lebih intensif. Seperti halnya pada rantai nilai mebel mahoni untuk pasar domestik, proses finishing pada rantai nilai mebel mahoni untuk pasar ekspor juga umumnya

64 47 dikerjakan oleh para eksportir. Penguasaan informasi tentang pembeli dan keuntungan yang diperoleh pada proses finishing, membuat bagian keuntungan yang diperoleh eksportir lebih tinggi dibanding aktor yang lain. Apabila proses finishing dikerjakan oleh penyedia jasa finishing, maka besarnya keuntungan yang diperoleh eksportir dari proses pemasaran untuk bahan baku yang berasal dari Perhutani adalah sebesar Rp per m 3 bahan baku (10,96% dari total nilai tambah per m 3 bahan baku) atau sebesar Rp per m 3 produk (16,16% dari total nilai tambah per m 3 produk). Berdasarkan hasil perhitungan, apabila diasumsikan nilai FOB untuk mebel seberat 12,72 ton (± 1260 pcs kursi lipat setara dengan 30 m 3 kayu log) adalah US$ , ocean freight untuk kontainer ukuran 20 feet adalah US$ 2.500, banyaknya penjualan per tahun 6 kontainer, penyusutan investasi per tahun 10% (US$ ) dan harga jual mebel sebesar US$ 19,99/pcs, maka keuntungan yang diperoleh pengecer di luar negeri adalah sebesar US$ 267,89 per m 3 bahan baku atau kurang lebih sebesar Rp (1 US$ = RP 9.600) (Lampiran 12). Keuntungan tersebut setara dengan Rp per m 3 produk. Dengan demikian, besarnya nilai tambah per m 3 bahan baku yang dinikmati oleh para pelaku di dalam negeri untuk kayu yang berasal dari Perhutani adalah sebesar 47,21% dan nilai tambah yang dinikmati para pelaku di luar negeri adalah sebesar 52,79%. Nilai tambah yang dinikmati oleh para pelaku di dalam negeri tersebut masih terdistribusi lagi ke beberapa pelaku yaitu penanam kayu, pedagang kayu, pemilik penggergajian, pengrajin dan eksportir. Hasil yang sedikit berbeda dari penelitian Purnomo (2006), dimana nilai tambah yang dinikmati oleh pedagang di luar negeri (pedagang besar dan pengecer internasional) yaitu sebesar 56,1% per m 3 bahan baku atau 68,6% per m 3 produk. Sedangkan hasil penelitian Avdasheva (2006) mengenai rantai nilai mebel kayu di Rusia, yang terbanyak memperoleh nilai tambah adalah tahap produksi material sebesar 20%, diikuti oleh marketing (15%), peralatan/perlengkapan 15%, produksi suku cadang 10%, retailing 10%, cat dll 8%, perakitan 7%, teknologi 5%, desain 5% dan wholesaling 5%.

65 Kelembagaan dan Analisis Pola Kemitraan dalam Rantai nilai 48 Petani dan pedagang kayu Penjualan dan penebangan kayu mahoni ditingkat petani rata-rata dilakukan pada umur 15 tahun. Petani tidak memiliki banyak pilihan kepada siapa akan menjual karena jumlah pedagang kayu relatif sedikit, walaupun pada kasus tertentu ditemukan petani menawarkan kayu pada beberapa orang pedagang, dan akhirnya menjualnya pada pedagang yang berani membeli kayu dengan harga paling tinggi. Petani memperoleh informasi pembeli kayu dari petani yang pernah menjual kayu atau pembeli yang datang sendiri mencari kayu. Penjualan kayu oleh petani sebagai principal kepada pembeli/pedagang kayu sebagai agent umumnya dilakukan dalam bentuk pohon berdiri, sehingga biaya untuk penebangan dan pengurusan surat ijin tebang menjadi tanggung jawab pembeli/pedagang. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan ijin tebang ini sekitar Rp untuk kayu dengan volume sekitar 20 m 3, termasuk retribusi penebangan kayu milik sebesar Rp /pohon. Sedangkan bentuk pembayaran dari pembeli kepada petani ada yang langsung dibayar tunai dan ada juga yang memberi uang muka terlebih dahulu dan sisanya setelah kayu ditebang. Pada kasus tertentu terdapat juga pedagang yang belum membayar lunas padahal kayunya sudah ditebang satu tahun yang lalu. Dalam hal ini, langkah yang diambil oleh responden adalah melakukan penagihan ke pedagang dan tidak akan menjual kayunya lagi ke pedagang yang sama. Harga jual dari kayu mahoni dalam bentuk pohon berdiri rata-rata Rp per pohon dengan ukuran diameter antara cm (ukuran OD). Walaupun pada saat transaksi terjadi proses negosiasi, namun harga kayu lebih ditentukan oleh agent. Beberapa penyebab antara lain karena: (1) Tidak adanya keseimbangan informasi mengenai pasar kayu, dimana yang menguasai informasi mengenai harga jual kayu log adalah agent. Hal ini rentan terhadap pengambilan keuntungan yang lebih besar oleh agent (pedagang kayu)

66 49 (2) Informasi mengenai kualitas kayu yang akan dijual lebih dipahami oleh pedagang sehingga pedagang lebih memiliki posisi tawar (3) Ketidakseimbangan informasi tidak hanya terjadi pada kualitas kayu, tetapi juga pada faktor-faktor lain yang membentuk perbedaan harga dari pohon berdiri. Perbedaan harga pohon berdiri tidak hanya ditentukan oleh ukuran diameter pohon, tetapi juga ditentukan oleh aksesibilitas dan kondisi lokasi. Informasi tersebut lebih dipahami oleh pedagang kayu. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Stenzel (1985), diacu dalam Nugroho (2002), dimana nilai dari suatu tegakan dipengaruhi oleh jenis, ukuran, kualitas tegakan, volume per ha, aksesibilitas dan topografi, pasar dan tipe penjualan. (4) Hal lain yang berpengaruh terhadap rendahnya harga pohon berdiri adalah proses dan biaya perijinan serta penebangan yang seluruhnya ditanggung oleh pedagang, membuat harga pohon berdiri semakin rendah. (5) Umumnya petani bersifat subsisten, sehingga petani berada dalam posisi tawar yang lebih rendah karena didesak oleh kebutuhan. Pedagang kayu Sumedang dengan pedagang kayu Jepara Penjualan kayu antara pedagang kayu Sumedang (principal) dan pedagang kayu Jepara (agent) berupa kayu log yang sudah diklasifikasikan berdasarkan kualitas dan ukuran dari kayu. Pedagang kayu dari Jepara umumnya datang ke Sumedang untuk mencari kayu yang sesuai kemudian melakukan transaksi. Pembelian bisa dilakukan dengan cabutan (pembeli memilih kayu sendiri) atau campuran. Harga kayu dengan cara cabutan memiliki harga yang lebih tinggi dibanding dengan cara campuran. Penjualan umumnya dilakukan setelah kayu naik di atas truk, sehingga pengurusan surat angkutan berupa Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) menjadi tanggung jawab pedagang kayu di Sumedang. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan surat angkutan ini sekitar Rp per angkutan dengan jumlah kayu yang diangkut sebanyak 20 m 3, termasuk retribusi surat angkutan kayu milik sebesar Rp /m 3. Sedangkan

67 50 alat transportasi dapat berasal dari pedagang Sumedang atau dapat juga berasal dari pedagang Jepara sesuai dengan kesepakatan. Informasi mengenai kualitas dan harga kayu yang dimiliki oleh principal dan agent ini bisa dikatakan seimbang, sehingga masing-masing memiliki posisi tawar yang sama. Dari lima responden pedagang kayu di Sumedang, 4 responden menyatakan bahwa pembayaran yang dilakukan dalam bertransaksi dengan pedagang kayu dari Jepara dilakukan secara tunai, sedangkan 1 responden melakukan transaksi berupa pembayaran dengan giro yang bisa dicairkan 1 minggu sampai 2 bulan ke depan. Alasan yang dikemukakan adalah jauhnya lokasi dari pembeli sehingga akan kesulitan dalam penagihan apabila terjadi pembayaran yang tidak lancar. Pembayaran kayu dengan sistem giro umumnya diberikan pada pembeli yang lokasinya dekat seperti Bandung dan Cirebon. Persetujuan pembayaran giro dilakukan apabila pembeli sudah menjadi langganan minimal 1 2 tahun, sedangkan untuk pembeli baru, pembayaran dilakukan secara tunai. Pada kasus terjadinya pembayaran yang terlambat dari jadwal yang ditentukan, pedagang kayu di Sumedang melakukan penagihan, dan hanya 1 responden yang menyatakan terus memberikan pasokan pada pembeli yang bersangkutan. Sedangkan 3 responden menyatakan tidak memberi pasokan kembali kecuali pembayaran dilakukan secara tunai. Kerjasama antar pedagang ini terus dilakukan selama harga pembelian kayu oleh pembeli bisa mengikuti harga kayu di pasaran. Perhutani dengan pedagang kayu Penjualan kayu antara Perhutani dengan pembeli termasuk pembeli yang merupakan pedagang kayu dapat melalui perjanjian kontrak, penjualan langsung, penjualan lelang dan penjualan melalui warung kayu. Penjualan kayu dilakukan secara kavling. Harga kayu yang dikenakan termasuk harga jual dasar, surcharge dan diferensiasi. Pengenaan surcharge ditetapkan oleh direksi, sedangkan differensiasi ditetapkan oleh general manager.

68 Pedagang kayu Jepara dengan pengrajin dan jasa penggergajian 51 Penjualan kayu yang dilakukan di Jepara biasanya pengrajin (agent) mendatangi tempat penimbunan atau penjualan kayu milik pedagang (principal). Pengrajin memiliki kebebasan untuk membeli di tempat-tempat yang dinilai sesuai baik dari segi harga, ukuran, jenis dan jarak dari lokasi pengrajin. Pembelian kayu bisa dilakukan dalam satuan batang atau m 3. Pembelian per m 3 dapat dilakukan dengan cara pemilihan sendiri atau dengan cara pembelian kavling. Perbedaan dalam cara pembelian berimplikasi terhadap harga beli dari kayu. Untuk pembelian dengan cara pemilihan sendiri harganya jauh lebih tinggi, namun informasi mengenai kualitas kayu bisa disepadankan. Sedangkan untuk cara kavling harga kayu lebih rendah, namun pedagang kayu lebih memiliki informasi mengenai kualitas dari kayu yang dijual dibandingkan dengan pengrajin. Pembayaran untuk transportasi ditanggung oleh pembeli, demikian juga biaya muat kayu. Pada beberapa tempat, harga kayu sudah termasuk biaya untuk muat. Pembelian kayu dilakukan secara tunai, atau dapat juga dengan tempo. Pembelian dengan cara tempo ini hanya diberikan pada pelanggan (pengrajin) yang sudah lama dan dinilai dapat dipercaya. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan pembayaran, maka pada transaksi berikutnya pembeli baru dilayani apabila pembayaran kayu dilakukan secara tunai. Pengrajin dengan jasa penggergajian dan jasa finishing Hubungan antara pengrajin dengan penggergajian hanya berupa pelayanan jasa gergaji yang dihitung berdasarkan kubikasi kayu yang digergaji. Pemilik ini dapat berupa perorangan, dapat pula milik koperasi dari pengrajin. Disamping pemilik yang khusus melayani jasa penggergajian, ada juga pemilik usaha penggergajian sekaligus menjual kayu log. Semua biaya yang ditimbulkan dari kegiatan penggergajian menjadi beban dari pemilik penggergajian. Dengan demikian, setelah log dibeli, langsung digergaji di tempat sehingga dapat menghemat biaya transportasi. Seperti halnya pada hubungan antara pengrajin dan jasa penggergajian, hubungan antara pengrajin dan jasa finishing hanya berupa pelayanan jasa

69 52 finishing yang dihitung berdasarkan satuan (pieces) atau set dari mebel. Semua biaya yang dikeluarkan untuk finishing menjadi tanggung jawab dari penyedia jasa finishing. Untuk pembayaran ada yang dilakukan secara tunai, ada juga yang dilakukan pembayaran melalui transfer setelah barang yang difinishing sampai tujuan. Pengrajin dengan eksportir dan pengecer domestik atau toko Untuk produksi mebel dengan tujuan ekspor, umumnya eksportirlah yang memiliki hubungan langsung dengan pembeli dari luar negeri, selanjutnya eksportir (perusahaan besar) mensubkontrakkan sebagian dari pekerjaannya kepada pengrajin atau industri kecil dan menengah. Para pengrajin ini umumnya tidak berhubungan langsung dengan pembeli luar negeri, dan hanya berhubungan langsung dengan eksportir. Dengan men-subkontrakkan pembuatan mebel ke pengrajin, maka dalam hubungan principal-agent terdapat hubungan dua tingkat. Pertama antara pembeli luar negeri dengan eksportir dan kedua antara eksportir dengan pengrajin. Pada hubungan tingkat pertama, pembeli luar negeri bertindak sebagai principal yang memberikan order mebel dengan spesifikasi yang telah ditentukan, sedangkan eksportir bertindak sebagai agent yang menerima order. Pada hubungan tingkat kedua, eksportir sebagai principal memberikan sebagain wewenangnya dalam penyelesaian order mebel kepada pengrajin (agent). Dalam memberikan order ke pengrajin, eksportir umumnya melibatkan pengrajin yang sudah menjadi langganannya karena dari segi kualitas pekerjaan sudah diketahui. Perekrutan atau pemberian order kepada pengrajin yang baru hanya diberikan ketika order yang ada dalam jumlah besar dan tidak dapat diproduksi oleh pengrajin langganan. Atau produksi mebel yang tidak bisa dikerjakan oleh pengrajin dikerjakan oleh eksportir sendiri dengan merekrut tenaga kerja. Pemberian order kepada pengrajin diberikan dalam bentuk Surat Perintah Kerja (SPK) yang selanjutnya dijadikan dasar oleh pengrajin untuk memproduksi mebel. Adapun jenis pembayaran kepada pengrajin berbeda-beda. Pembayaran ada yang dilakukan dengan memberikan uang muka terlebih dahulu (30% - 50%)

70 53 dan sisanya antara 1 minggu sampai 2 bulan setelah barang diterima dengan bentuk pembayaran berupa cek, atau ada juga pembayaran ke pengrajin dilakukan seluruhnya setelah barang diterima. Pada beberapa kasus, terdapat cek mundur yaitu cek tidak bisa dicairkan sesuai dengan waktu yang telah disepakati (cek kosong) dan baru bisa dicairkan lebih dari batas waktu yang telah disepakati. Pembayaran eksportir ke pengrajin biasanya dilakukan pada hari kamis, demikian juga pembayaran pengrajin ke pekerja dilakukan pada hari kamis. Pembayaran setiap hari kamis tersebut dilakukan karena pada hari jumat seluruh pekerja mebel di Jepara libur. Apabila terjadi cek mundur, sementara pada saat yang sama pengrajin memerlukan dana untuk membayar upah pekerja, hal yang biasa dilakukan adalah penjualan cek kepada pihak lain dengan harga 5% lebih rendah dari jumlah yang tertera. Keperluan dana yang mendesak dari para pengrajin untuk membayar pekerja, juga sering dimanfaatkan oleh pengumpul mebel untuk memperoleh barang dengan harga yang murah. Mebel yang biasa dibeli oleh para pengumpul ini adalah mebel dengan desain yang umum. Kondisi ini mengakibatkan ketidakseragaman harga produk dan memperlemah posisi jual pengrajin. Asosiasi pengrajin yang belum lama terbentuk perlu diperkuat peranannya antara lain dalam mengendalikan harga jual mebel. Pada saat pengiriman barang ke gudang (eksportir), mebel terlebih dahulu diperiksa oleh checker (quality control atau QC). Apabila terdapat barang yang tidak sesuai atau rusak, maka pengrajin diminta untuk memperbaikinya, baru kemudian barang tersebut diterima. Pada saat pengecekan, umumnya pengrajin mengeluarkan uang antara Rp Rp (tergantung dari banyaknya barang yang dikirim) untuk QC pada setiap pengiriman. Dari sisi eksportir, apabila terdapat pengrajin yang produksinya banyak tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan oleh eksportir, atau melewati batas waktu yang telah ditentukan, maka jumlah order berikutnya dikurangi, pembayaran ditahan atau bahkan pindah ke pengrajin baru. Akan tetapi pemberian order kepada pengrajin baru bukan merupakan hal yang mudah, karena dari sisi kualitas mebel dan pekerjaan belum banyak diketahui oleh eksportir. Sedangkan dari sisi pengrajin, apabila pembayaran dari eksportir melewati batas yang dijanjikan, pengrajin tetap memproduksi barang yang

71 54 dipesan berikutnya dengan harapan akan memudahkan penarikan pembayaran order sebelumnya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya interlocked transaction dimana pengrajin sulit untuk berpindah kepada eksportir baru karena perlu adanya kepastian pasar, sedangkan eksportir perlu adanya kepastian pasokan mebel setengah jadi. Untuk mebel dengan tujuan pasar domestik, terjadi hal yang sama dimana pengrajin (agent) memproduksi mebel dengan spesifikasi produk telah ditentukan oleh pembeli (principal) atau membuat mebel dengan desain umum. Pembayaran oleh pembeli diberikan setelah barang dikirim dengan sistem pembayaran mundur. Secara ringkas, hubungan yang terjadi antar pelaku di dalam rantai nilai mebel mahoni disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 Hubungan antar pelaku yang terjadi dalam rantai nilai mebel mahoni Pelaku Sistem Penjualan Sistem Pembayaran Petani Pedagang kayu Pedagang ky Sumedang Pedagang kayu Jepara Perhutani Pedagang kayu Pedagang kayu - Pengrajin Pengrajin Jasa Penggergajian Pengrajin Jasa finishing Pengrajin Pengecer (Toko) Pengrajin - Eksportir Bentuk pohon berdiri, satuan penjualan per pohon Bentuk log, satuan penjualan m 3 Bentuk log, satuan penjualan m 3 (penj kontrak, langsung, lelang, warung kayu) Bentuk log, satuan penjualan kavling (m 3 ) atau batang Layanan jasa per m 3 Layanan jasa per pcs Mebel mentah, satuan penjualan per set, per pcs Mebel mentah, satuan penjualan per set, per pcs tunai, uang muka tunai, uang muka tunai tunai, uang muka tunai, uang muka tunai, uang muka tunai, uang muka tunai, uang muka Keterangan Informasi asimetris (asymetric information), biaya tebang dan pengurusan ijin tanggung jawab pedagang kayu Surat angkutan tanggung jawab penjual, biaya transportasi sesuai kesepakatan Penjualan secara kavling Penjualan secara kavling: harga leih murah, terjadi informasi asimetris. Penjualan per batang: harga lebih mahal Ukuran sesuai permintaan Jenis finishing sesuai pesanan Desain sesuai pesanan, pembuatan mebel berdasarkan SPK, terjadi interlocked transaction Desain sesuai pesanan, pembuatan mebel berdasarkan SPK, terjadi interlocked transaction

72 Analisis Manfaat dan Biaya (Benefit Cost Analysis) 55 Analisis manfaat dan biaya dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi nilai tambah yang diterima oleh masing-masing pelaku di sepanjang rantai nilai sesuai dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya. Analisis tersebut meliputi nilai kini manfaat bersih (Net Present Value NPV), rasio manfaat dan biaya (Benefit Cost Ratio BCR), dan tingkat pengembalian internal (Internal rate of return IRR). Periode analisis yang dilakukan didasarkan pada umur panen ratarata (untuk tingkat petani yaitu 15 tahun dan 30 tahun untuk Perhutani KPH Pati). Sedangkan untuk tingkat pedagang kayu, penggergajian, pengrajin, jasa finishing, eksportir dan pengecer domestik didasarkan pada umur teknis dari peralatan atau bangunan yaitu diasumsikan 10 tahun. Hasil perhitungan masing-masing parameter di tingkat petani, Perhutani, dan pedagang kayu disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil analisis NPV, BCR dan IRR petani, Perhutani dan pedagang kayu Parameter Petani Perhutani Pedagang ky Pedagang ky Sumedang KPH Pati Sumedang Jepara NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,14 1,08 1,09 1,16 IRR 24% 20% 69% 126% Dengan hasil seperti tersebut di atas, terlihat bahwa petani, Perhutani, pedagang kayu baik di Sumedang maupun di Jepara, penggergajian secara finansial menguntungkan. Hal tersebut terlihat dari besarnya NPV > 0, BCR > 1, dan IRR i%. Besarnya nilai NPV yang bervariasi antar pelaku berkaitan dengan besarnya skala usaha atau luasan dari usaha yang dijalankan. Sebagai contoh, NPV yang diterima oleh Perhutani lebih besar dibandingkan dengan NPV yang diterima oleh petani. Hal ini berkaitan dengan luasan usaha hutan rakyat hanya sebesar 0,23 ha, sedangkan luasan usaha Perhutani yang dianalisis adalah 79,2 ha (dengan asumsi luas tersebut merupakan pembagian dari luas lahan yang ditanami mahoni keseluruhan 2.376,2 ha dibagi dengan daur 30 tahun). Dengan demikian, maka perbandingan yang dilakukan terhadap setiap kegiatan dalam rantai nilai mebel adalah perbandingan dari nilai BCR dan IRR.

73 Besarnya nilai BCR di tingkat petani, Perhutani, pedagang kayu di Sumedang dan pedagang kayu di Jepara menunjukkan nilai yang sedikit bervariasi, walaupun perbedaan tersebut tidak terlalu tinggi. Dari Tabel 8 di atas terlihat bahwa usaha di bidang perdagangan kayu lebih memberikan keuntungan (BCR 1,09 1,16) dibandingkan dengan usaha penanaman pohon (BCR 1,08 1,14). Namun usaha di bidang perdagangan kayu tersebut membutuhkan modal yang cukup besar yaitu sekitar Rp juta per tahun. Apabila dilihat dari kriteria IRR, maka tingkat bunga pengembalian atas seluruh investasi yang tertanam dari seluruh kegiatan di atas lebih besar dari tingkat suku bunga yang dipersyaratkan (18%). Dari kriteria BCR dan IRR menunjukkan bahwa usaha hutan rakyat memberikan keragaan yang lebih baik dibandingkan dengan kegiatan pengusahaan hutan yang dilakukan oleh Perhutani. Pada Tabel 9 berikut memperlihatkan hasil analisis NPV, BCR dan IRR untuk perusahaan jasa penggergajian, pengrajin pasar domestik pengrajin pasar ekspor dan perusahaan jasa finishing. Tabel 9 Hasil analisis NPV, BCR dan IRR pada penggergajian, pengrajin pasar domestik, pengrajin pasar ekspor dan jasa finishing Parameter Penggergajian Pengrajin dmtk Pengrajin eksp Jasa finishing NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,73 1,19 1,25 1,59 IRR 117% 61% 120% 471% 56 Berdasarkan tabel di atas, secara finansial usaha penggergajian, pengrajin mebel dan usaha jasa finishing merupakan usaha yang menguntungkan, dimana nilai NPV > 0, BCR > 1 dan IRR > i%. Seperti halnya pada kegiatan penanaman kayu dan perdagangan kayu, pada kegiatan penggergajian, pembuatan mebel dan jasa finishing juga menghasilkan nilai NPV yang bervariasi yang disebabkan oleh skala usaha setiap kegiatan berbeda (Lampiran 6,7,8 dan 9). Jika dilihat dari nilai BCR, usaha yang paling menguntungkan adalah penggergajian (BCR 1,73), berikutnya adalah jasa finishing (BCR 1,59), pengrajin untuk pasar ekspor (BCR 1,25) dan pengrajin untuk pasar ekspor (BCR 1,19). Hal tersebut terjadi karena rasio antara pendapatan dan biaya yang dikeluarkan pada investasi awal untuk penggergajian lebih besar dibandingkan dengan usaha

74 pada kegiatan yang lain. 57 Namun demikian, besarnya investasi awal (Rp ) pada usaha penggergajian berimplikasi terhadap tingkat pengembalian modal yang lebih lama dibanding pada kegiatan pembuatan mebel (pengrajin) dan jasa finishing. Sedangkan apabila dilihat dari nilai IRR, industri jasa finishing memiliki nilai IRR yang lebih tinggi dibanding kegiatan yang lain, hal ini menunjukkan usaha jasa finishing memiliki tingkat bunga pengembalian atas seluruh investasi lebih tinggi dibandingkan kegiatan lainnya. Hasil analisis pada tingkat eksportir dan pengecer domestik seperti tersaji pada Tabel 10. Pada tabel tersebut terlihat bahwa NPV paling besar diterima oleh eksportir. Apabila dilihat dari indikator IRR menunjukkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda, sedangkan nilai BCR pengecer lebih tinggi dibanding eksportir. Besarnya nilai NPV yang diterima oleh eksportir berkaitan dengan skala usaha eksportir yang lebih besar dibandingkan dengan skala usaha pengecer domestik, sehingga berimplikasi terhadap tingginya penerimaan yang diperoleh eksportir. Sedangkan dilihat dari parameter rasio antara pendapatan dan investasi awal (BCR) yang diperoleh pengecer jauh lebih besar dibandingkan dengan eksportir. Hal ini berhubungan dengan besarnya investasi awal yang diperlukan oleh eksportir jauh lebih tinggi. Tabel 10 Hasil analisis NPV, BCR dan IRR pada eksportir dan pengecer domestik Parameter Eksportir Pengecer domestik NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,15 1,21 IRR 183% 182% Dari hasil perhitungan seperti di atas, terlihat bahwa semua kegiatan dalam rantai nilai mebel menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Hal tersebut dapat dilihat dari terpenuhinya kriteria kelayakan finansial yaitu NPV>0, BCR>1 dan IRR > dari tingkat suku bunga yang diharapkan. Karena besarnya nilai NPV yang diterima oleh para pelaku berkaitan dengan skala usaha yang dijalankan, maka untuk membandingkan setiap kegiatan dalam rantai nilai mebel menggunakan kriteria BCR dan IRR. Apabila dilihat dari parameter BCR, kegiatan usaha jasa penggergajian lebih menguntungkan karena rasio pendapatan

75 58 yang diperoleh terhadap investasi awal jauh lebih tinggi dibanding kegiatan pada pelaku yang lain. Sedangkan parameter tingkat bunga pengembalian atas investasi (IRR) menunjukkan bahwa kegiatan jasa finishing paling tinggi dibandingkan kegiatan lain. Dengan berdasarkan kriteria NPV, BCR dan IRR tersebut di atas, maka pola kemitraan yang terjadi saat ini sudah efektif karena dari sudut pandang finansial usaha-usaha dalam rantai nilai mebel layak untuk dilaksanakan. Demikian juga dari hasil simulasi yang dilakukan terhadap kegiatan pembuatan mebel di tingkat pengrajin apabila terjadi penjualan cek 5% lebih rendah dari nilai yang tertera (Lampiran 12 dan 13), menunjukkan nilai NPV, BCR dan IRR yang masih layak untuk diusahakan. Untuk pengrajin yang membuat mebel dengan tujuan pasar domestik, besarnya nilai NPV adalah , nilai BCR 1,13 dan nilai IRR 48%. Sedangkan nilai nilai NPV untuk pengrajin yang membuat mebel dengan tujuan pasar ekspor adalah , nilai BCR 1,19 dan IRR 94%. Namun demikian, kenyataan di lapangan terdapat eksportir dan pengrajin yang gulung tikar. Hal ini disebabkan tidak adanya pembayaran dari pembeli ke eksportir atau pengrajin atas mebel yang sudah mereka kirimkan kecuali uang muka pada saat pemesanan. Analisis Perusahaan Pemimpin Perusahaan pemimpin adalah perusahaan atau aktor yang mengendalikan suatu rantai nilai. Menurut Kaplinsky dan Morris (2000), perusahaan pemimpin dalam sebuah rantai nilai berhubungan dengan ukuran dari perusahaan itu sendiri. Indikator yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi perusahaan pemimpin antara lain dilihat dari bagian nilai tambah yang diperoleh dalam rantai. Sedangkan Haris dan Gonarsyah (1999) menggunakan ukuran Indeks Herfindahl untuk mengetahui struktur pasar dan kekuatan rebut tawar antara pembeli dan penjual. Dari hasil studi diperoleh bahwa pertambahan nilai terbesar dari mebel kayu mahoni untuk pasar domestik diperoleh oleh pengecer domestik (49,83%), sedangkan yang terkecil diperoleh pemilik jasa penggergajian (2,23%). Dengan demikian, maka pengendali dari rantai mebel kayu mahoni Jepara adalah pengecer domestik, dengan kata lain bersifat buyer driven. Hal ini sesuai dengan

76 59 yang dikemukakan oleh Kaplinsky dan Morris (2000) bahwa bisnis di bidang mebel bersifat buyer driven. Selain spesifikasi dari produk yang akan dibuat sesuai dengan pesanan pembeli, seringkali harga jual dari produk mebel juga telah ditentukan oleh pembeli (pengecer). Hal tersebut terjadi karena adanya informasi asimetris yaitu penguasaan informasi pasar oleh pengecer. Untuk mebel dengan tujuan pasar ekspor juga terjadi hal yang sama, dimana yang menguasai bagian terbesar dari nilai tambah adalah pembeli luar negeri. Untuk produksi mebel dengan tujuan ekspor, umumnya eksportirlah yang memiliki hubungan langsung dengan pembeli dari luar negeri, selanjutnya eksportir (perusahaan besar) mensubkontrakkan sebagian dari pekerjaannya kepada pengrajin atau industri kecil dan menengah. Dengan demikian terjadi hubungan dua tingkat. Hal yang juga berpengaruh terhadap tingginya nilai tambah/keuntungan yang diperoleh pembeli adalah adanya penguasaan informasi pasar, sehingga mengakibatkan adanya informasi asimetris yang rentan terhadap pengambilan keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pembeli. Untuk memenuhi pesanan mebel, pengrajin menghadapi kendala bukan saja harga jual mebel yang cenderung stabil, juga mendapat tekanan akibat dari kenaikan harga bahan baku berupa kayu log dan harga bahan pembantu seperti lem, dempul, sekrup dan lain-lain. Kondisi ini tentu saja sangat menyulitkan pengrajin. Dalam hal ini, pengrajin bersifat price taker baik terhadap harga jual mebel maupun terhadap harga beli bahan baku kayu dan bahan pembantu. Untuk mengerjakan pesanan mebel, pengrajin menerapkan strategi menekan biaya yang bisa dikendalikan seperti penggunaan bahan baku kombinasi antara kayu rakyat dan kayu Perhutani. Strategi tersebut juga dilakukan pada produksi mebel untuk tujuan pasar domestik. Mebel dengan tujuan domestik ini umumnya memiliki grade yang lebih rendah (umumnya grade B dan C) dibanding mebel dengan tujuan pasar ekspor (umumnya grade A dan B). Untuk menekan biaya produksi, pengrajin menggunakan bahan baku berupa kayu kepelan (kayu limbah yang sudah digergaji) yang masih bisa digunakan, sehingga tidak ada lagi biaya untuk penggergajian. Kayu kepelan ini biasanya dijual dalam satuan colt (± berisi 2 m 3 ).

77 60 Hubungan principal agent yang efisien menjadi sesuatu yang kompleks untuk dipecahkan karena munculnya ketidaksepadanan informasi dan sangat ditentukan oleh derajat penolakan terhadap resiko (risk aversion) diantara pelaku (Nugroho 2003). Sehubungan dengan derajat penolakan terhadap resiko, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 1 orang responden dari 15 responden pengrajin yang mencoba memproduksi mebel dengan desain sendiri disamping membuat mebel dengan desain yang sudah umum. Sedangkan responden lainnya memproduksi mebel sesuai dengan pesanan pembeli (eksportir atau pengecer domestik) atau apabila tidak ada pesanan mereka memproduksi mebel dengan desain yang sudah umum. Pengrajin berpendapat bahwa mebel dengan desain umum kemungkinan besar laku karena banyak yang mencari, sedangkan mebel dengan desain sendiri walaupun harganya lebih tinggi namun belum tentu laku. Hubungan principal agent antara pembeli dan pengrajin juga menjadi kompleks karena adanya interlocked transaction yaitu pada kasus tertentu adanya pemberian bantuan dana berupa bahan baku atau uang muka dari pembeli kepada pengrajin yang mengikat principal dan agent-nya. Pembayaran yang diberikan oleh pembeli berupa cek mundur juga mengikat pengrajin untuk tetap memasok pada pembelinya dengan alasan kemudahan untuk pengambilan pembayaran serta sulitnya memperoleh kepercayaan dari pembeli lain. Sedangkan dari sisi pembeli, pemberian uang muka kepada pengrajin memberikan kepastian bagi pasokan mebel yang dibutuhkannya sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Apabila dilihat dari struktur pasar untuk ekspor (dengan asumsi tidak ada pengkategorian lain selain mebel kayu), maka besarnya nilai Indeks herfindahl yang dianalisis berdasarkan data ekspor mebel jadi dari Kabupaten Jepara selama periode Januari 2007 September 2007 adalah sebesar 0,0139. Angka tersebut menunjukkan bahwa pasar ekspor mebel jadi dari Jepara cenderung ke pasar persaingan. Selama periode tersebut tercatat jumlah volume ekspor mencapai ,79 kg, dengan jumlah eksportir sebanyak 244 eksportir. (Lampiran 15). Namun demikian, pengrajin hampir tidak memiliki kebebasan untuk menjual mebelnya secara bebas ke ekportir apabila pengrajin tersebut bukan merupakan rekan dan belum memiliki kepercayaan dari eksportir itu sendiri. Kemampuan pengrajin untuk menjual secara bebas kepada pihak lain selain rekanan masih

78 61 sangat terbatas, sehingga membuat pengrajin lebih tergantung pada eksportir rekanan. Analisis Sistem dan Skenario Kebijakan Bisnis di bidang mebel merupakan bisnis yang besar dan melibatkan banyak pekerja (Kaplinsky et al. 2003), sebagai contoh jumlah industri mebel di Kabupaten Jepara, sebagai salah satu sentra industri mebel, pada tahun 2005 paling sedikit terdapat unit industri dengan menyerap orang tenaga kerja (Roda et al. 2007). Selain melibatkan banyak pekerja, rantai nilai mebel juga melibatkan banyak pelaku antara lain produsen kayu (petani pemilik pohon dan Perhutani), pedagang kayu, pemilik penggergajian, pengrajin, pemilik jasa finishing, eksportir dan pengecer domestik. Purnomo (2006) mengemukakan bahwa terjadi distribusi pendapatan yang tidak seimbang di sepanjang rantai nilai mebel (jati) dan adanya tekanan pada kelestarian tanaman. Keberlangsungan industri mebel kayu saat ini mengalami tekanan (Purnomo 2006), dimana pertumbuhan pendapatan yang diperoleh dengan masuknya mebel dalam pasar global tidak memberikan pendapatan yang lestari (Loebis dan Schmitz 2005), disamping juga adanya indikasi terjadinya penurunan ekspor mebel (Ewasechko 2005). Dalam produksi, industri mebel lebih dikendalikan oleh pembeli (buyer driven chain) dimana jenis produk yang akan diproduksi telah ditentukan disain dan spesifikasinya. Dalam hal bahan baku, industri ini juga mengalami tekanan karena kenaikan harga bahan baku. Selain industri, petani mahoni juga mengalami tekanan dari pedagang kayu. Hal ini tidak terlepas dari adanya informasi yang tidak seimbang (informasi asimetris) yang membentuk aturan-aturan yang berlaku yang berimplikasi terhadap distribusi pendapatan yang tidak seimbang di sepanjang rantai nilai dari mebel. Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian, maka penyusunan model ditujukan untuk mendorong upaya mempertahankan kelangsungan industri mebel. Gambar 14 merupakan diagram sebab akibat dari usaha mebel mahoni Jepara, yang meliputi pelaku, peran pelaku dan aliran fisik dari kayu. Perhutani dan rakyat memproduksi kayu, dan memperoleh pendapatan dari hasil penjualan

79 62 kayu. Aktor selanjutnya adalah pedagang kayu. Pedagang kayu baik yang berada di daerah asal kayu maupun pedagang kayu di Jepara, berperan dalam proses aliran kayu log dari produsen (Perhutani dan masyarakat) ke penggergajian, dan memperoleh pendapatan dari penjualan kayu tersebut. Selanjutnnya kayu log melewati beberapa tahap produksi mulai dari penggergajian, pembuatan mebel dan proses finishing, sehingga mempertinggi nilai tambah kayu. Para pelaku yang berperan dalam proses produksi ini meliputi perusahaan penggergajian, pengrajin, perusahaan jasa finishing dan eksportir, dimana masing-masing pelaku memperoleh pendapatan dari hasil penjualan produksinya. Untuk sampai ke konsumen di pasar dalam negeri maupun luar negeri, mebel yang telah mengalami proses finishing melewati berbagai saluran pemasaran yang berbeda yang melibatkan pembeli global dan pengecer (retailer) domestik Tanam Perhutani Kegiatan illegal Tanam rakyat + Pertumbuhan Perhutani Mahoni Perhutani + Pemanenan Perhutani Panen rakyat Mahoni rakyat - + Pertumbuhan rakyat + Log mahoni Perhutani Log mahoni rakyat + Pedagang kayu asal + + Pedagang kayu Jepara + penggergajian ++ + Eksportir+finishing + Pengrajin mebel + Global buyer + Finishing + Retailer domestik + Pasar luar negri + Pasar domestik + + Pasar Gambar 14 Diagram sebab akibat usaha mebel kayu mahoni

80 63 Untuk mencapai tujuan dari pembuatan model rantai nilai mebel mahoni Jepara, maka dibuat beberapa sub model seperti yang tersaji pada Lampiran 14 yaitu: (a) sub model luas hutan mahoni Perhutani KPH Pati yang menggambarkan dinamika perubahan luas hutan akibat berbagai pilihan jangka waktu penebangan; (b) sub model struktur tegakan mahoni Perhutani KPH Pati yang menggambarkan dinamika perubahan jumlah tegakan yang dipengaruhi oleh pertambahan dan pengurangan jumlah pohon dalam kelas umur tertentu.; (c) sub model produksi mahoni Perhutani KPH Pati yang menggambarkan hubungan antara etat luas dengan potensi volume per ha pada kelas umur V, VI dan masak tebang (MT); (d) sub model luas mahoni rakyat di Kabupaten Sumedang menggambarkan dinamika perkembangan luas hutan rakyat yang dipengaruhi oleh luas hutan yang ditanam kembali setelah dilakukan penebangan, dan pertambahan luas karena penanaman lahan kritis; (e) sub model produksi mahoni rakyat di Kabupaten Sumedang menggambarkan dinamika perubahan produksi kayu mahoni rakyat yang dipengaruhi oleh jumlah produksi kayu, dan penjualan kayu mahoni rakyat; (f) sub model luas mahoni total menggambarkan dinamika perubahan luas lahan yang ditanami mahoni baik yang berasal dari lahan hutan milik Perhutani KPH Pati maupun luas lahan mahoni rakyat di Kabupaten Sumedang; (g) sub model produksi mahoni total merupakan gambaran dinamika perubahan produksi kayu, yang dipengaruhi volume produksi mahoni rakyat, dan volume produksi Perhutani; (h) sub model nilai tambah pasar domestik menggambarkan aliran perpindahan kayu mahoni secara fisik mulai dari hutan sampai ke pengecer domestik sebelum akhirnya sampai kepada konsumen akhir. Selain aliran kayu secara fisik, dalam sub model ini juga digambarkan besarnya nilai tambah yang diterima oleh masing-masing pelaku (aktor) yang terlibat, dan nilai tambah total dari seluruh aktor; dan

81 64 (i) sub model nilai tambah pasar ekspor menggambarkan aliran perpindahan kayu mahoni secara fisik mulai dari hutan sampai ke eksportir, juga menggambarkan besarnya nilai tambah total dan nilai tambah yang diterima oleh masing-masing pelaku (aktor) yang terlibat.. Dalam penelitian ini, evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkannya dengan model andal serupa. Hal tersebut dilakukan karena KPH Pati merupakan KPH dengan kelas perusahaan jati, sehingga tegakan mahoni yang ada bukan merupakan tegakan utama, dan hanya ditanam pada kelas hutan tanaman kayu lain (TKL) dan tanaman jenis kayu lain (TJKL). Kondisi ini mengakibatkan belum adanya pengaturan hasil baik berupa etat luas ataupun etat volume secara khusus untuk tegakan mahoni. Namun demikian, dalam penelitian ini dicoba untuk melakukan pembuatan model pengaturan hasil data tegakan mahoni yang ada. Sesuai dengan tujuan dari pembuatan model, pembuatan skenario dimaksudkan untuk mempertahankan kelangsungan industri mebel. Purnomo (2006), mengemukakan bahwa untuk mengelola kelangsungan bisnis mebel paling tidak terdapat dua langkah yang diperlukan yaitu memberikan nilai tambah yang lebih tinggi kepada penanam kayu dan industri mebel skala kecil dan menengah, serta melakukan investasi penanaman pohon. Sedangkan menurut Kaplinsky dan Readman (2001); Kaplinsky dan Morris (2000) untuk mempertahankan kelangsungan pendapatan terletak pada kemampuan upgrading yaitu upgrading proses (meningkatkan efisiensi dalam proses internal), upgrading produk (mengenalkan produk baru atau meningkatkan produk lama lebih baik), upgrading fungsi (mengubah kegiatan yang dikerjakan dalam perusahaan) dan upgrading rantai (chain) dengan berpindah dari satu rantai nilai ke rantai nilai yang lain. Dalam penelitian ini, beberapa skenario yang dibuat adalah: 1. peningkatan efisiensi produksi pada proses penggergajian dan proses pembuatan mebel di tingkat pengrajin 2. peningkatan volume tebang kayu Perhutani melalui penanaman lahan kosong milik Perhutani 3. penerapan fair trade melalui pengurangan biaya transaksi

82 65 Peningkatan efisiensi produksi Skenario pertama merupakan simulasi dengan meningkatkan efisiensi produksi pada proses penggergajian sebesar 70% dan proses pembuatan mebel di tingkat pengrajin sebesar 70%, dengan mengasumsikan efisiensi pada proses produksi yang lain tetap. Apabila merujuk pada Kaplinsky dan Morris (2000) serta Kaplinsky dan Readman (2001), skenario ini termasuk dalam upgrading proses. Selama tahun simulasi menunjukkan terjadinya peningkatan pertambahan nilai baik pada pasar ekspor maupun pada pasar domestik (Gambar 15 dan 16). 1: NT OD Ptn SMD 2: NT OD pedg SMD 3: NT perhutani 4: NT mhn Pedg J 5: NT grgj 1: e+010 2: 3: 4: 5: 1: NT pengrjn eksp 2: NT reksportir 1: e+010 2: 1: 2: 3: e+010 4: 5: : e+010 2: : 2: 3: : : Page 1 Years 3:09 01 Des 2009 Untitled (a) 1: NT OD Ptn SMD 2: NT OD pedg SMD 3: NT perhutani 4: NT mhn Pedg J 5: NT grgj 1: e+010 2: 3 3: 4: 5: 1: 2: Page 1 Years 3:09 01 Des 2009 Untitled (b) 1: NT pengrjn eksp 2: NT reksportir 1: e+010 2: 1 1 1: 2: 3: e+010 4: 5: : e+010 2: : 2: : : 4: Page 1 Years 3:09 01 Des 2009 Untitled (c) 2 1: 2: Page 1 Years 3:09 01 Des 2009 Untitled (d) Gambar 15 Dinamika distribusi nilai tambah pasar ekspor (a) dan (b) simulasi dasar, (c) dan (d) skenario efisiensi produksi.

83 66 1: NT OP Ptn SMD 2: NT OP pedg SMD 3: NT rak pedg JPR 4: NT pengrjn dmstk 5: NT retl dmstk 1: e+009 2: : 4: 5: 1: NT OP Ptn SMD 2: NT OP pedg SMD 3: NT rak pedg JPR 4: NT pengrjn dmstk 5: NT retl dmstk 1: e+009 2: 3: 4: 5: : 2: 3: 4: 5: e : 2: 3: 4: 5: e+009 1: : : 4: : Page 1 Years 3:09 01 Des 2009 Untitled (a) 1: 2: 3: 4: 5: Page Years 3:09 01 Des 2009 (b) Untitled Gambar 16 Dinamika distribusi nilai tambah pasar domestik (a) simulasi dasar, (b) skenario efisiensi produksi. Pertambahan nilai pada pasar domestik untuk penggergajian meningkat sebesar Rp 39,57 juta atau meningkat sebesar 43,31% dibanding pada simulasi dasar. Peningkatan pertambahan nilai juga terjadi di tingkat pengrajin yaitu sebesar 148,20% dari simulasi dasar, dengan nilai tambah pada akhir simulasi sebesar Rp. 2,76 milyar (Tabel 11 dan 12). Besarnya nilai tambah kumulatif pada akhir simulasi untuk seluruh pelaku pada pasar domestik sebesar Rp 6,69 milyar (terjadi peningkatan sebesar 65,89%). Pelaku yang paling banyak menikmati nilai tambah adalah pengecer domestik yaitu sebesar 44,53% diikuti dengan pengrajin 41,27%, pedagang kayu Jepara 5,54%, petani 4,45%, pedagang kayu di Sumedang 2,26% dan penggergajian sebesar 1,95%. Tabel 11 Distribusi nilai tambah pasar domestik pada simulasi dasar Tahun ke 0 (Rp x 1 juta) Tahun ke 10 (Rp x 1 juta) Tahun ke 25 (Rp x 1 juta) Tahun ke 50 (Rp x 1 juta) Tahun ke 100 (Rp x 1 juta) Petani 135,38 276, ,47 298,24 298,24 Pedg ky Sumedang 68,64 137,35 150,72 151,21 151,21 Pedg ky Jepara 168,32 328,35 369,32 370,81 370,82 Penggergajian 41,47 78,28 90,90 91,36 91,36 Pengrajin dmstk 505,49 914, , , ,59 Pengecer dmstk 913, , , , ,31

84 Tabel 12 Distribusi nilai tambah pasar domestik pada skenario efisiensi produksi 67 Tahun ke 0 (Rp x 1 juta) Tahun ke 10 (Rp x 1 juta) Tahun ke 25 (Rp x 1 juta) Tahun ke 50 (Rp x 1 juta) Tahun ke 100 (Rp x 1 juta) Petani 135,38 276,38 297,47 298,24 298,24 Pedg ky Sumedang 68,64 137,35 150,72 151,21 151,21 Pedg ky Jepara 168,32 328,35 369,32 370,81 370,82 Penggergajian 59,43 112,19 130,27 130,93 130,93 Pengrajin dmstk 1.254, , , , ,95 Pengecer dmstk 1.353, , , , ,56 Selama tahun simulasi pada skenario efisiensi pasar ekspor, masih terjadi penurunan nilai tambah hampir di seluruh pelaku kecuali petani dan pedagang kayu di Sumedang. Namun demikian, nilai tambah kumulatif pada akhir simulasi untuk skenario efisiensi mengalami peningkatan sebesar 52,15% dibandingkan dengan simulasi dasar. Nilai tambah kumulatif akhir tahun simulasi untuk pasar ekspor adalah sebesar Rp 73,21 milyar. Nilai tambah pada akhir tahun simulasi untuk pasar ekspor pada skenario ini menjadi lebih banyak dinikmati oleh pengrajin yaitu sebesar 40,19%. Pelaku berikutnya adalah eksportir sebesar 32,28%, Perhutani sebesar 12,34%, pedagang kayu di Jepara 10,17%, petani 2,44%, penggergajian 1,46% dan pedagang kayu di Sumedang 1,10% dan (Tabel 13 dan 14). Tabel 13 Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada simulasi dasar Tahun ke 0 (Rp x 1 juta) Tahun ke 10 (Rp x 1 juta) Tahun ke 25 (Rp x 1 juta) Tahun ke 50 (Rp x 1 juta) Tahun ke 100 (Rp x 1 juta) Petani 812, , , , ,45 Perhutani , , , , ,41 Pedg ky Sumedang 366,07 732,57 803,85 806,44 806,45 Pedg ky Jepara 9.286, , , , ,50 Penggergajian 932, , ,25 784,31 747,74 Pengrajin ekspr , , , , ,67 Eksportir , , , , ,43

85 Tabel 14 Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada skenario efisiensi produksi Tahun ke 0 Tahun ke 10 Tahun ke 25 Tahun ke 50 Tahun ke 100 (Rp x 1 juta) (Rp x 1 juta) (Rp x 1 juta) (Rp x 1 juta) (Rp x 1 juta) Petani 812, , , , ,456 Perhutani , , , , ,41 Pedg ky Sumedang 366,07 732,57 803,85 806,44 806,45 Pedg ky Jepara 9.286, , , , ,50 Penggergajian 1.335, , , , ,60 Pengrajin ekspr , , , , ,54 Eksportir , , , , ,07 68 Peningkatan volume produksi dengan penanaman lahan kosong Skenario kedua merupakan upaya peningkatan volume kayu yang ditebang melalui penanaman lahan kosong. Pada skenario ini, simulasi penanaman lahan kosong hanya dilakukan di areal Perhutani KPH Pati yaitu sebesar 25% dari lahan kosong yang diperuntukkan untuk tanaman mahoni. Sedangkan simulasi penanaman lahan kosong di hutan rakyat tidak dilakukan karena produksi kayu dari hutan rakyat selama ini sudah meningkat. Dengan skenario ini, terjadi penambahan luas areal tanaman mahoni di Perhutani KPH Pati pada akhir tahun simulasi sebesar 103,15% dibandingkan dengan simulasi dasar. Luas lahan yang ditanami oleh mahoni pada akhir simulasi skenario penanaman lahan kosong adalah 2.125,11 ha (Tabel 15). Sejalan dengan meningkatnya areal yang ditanami mahoni, maka volume produksi kayu Perhutani juga meningkat (Gambar 17). Volume produksi yang dihasilkan oleh Perhutani baik yang berasal dari tebangan penjarangan maupun tebangan akhir daur menjadi ,22 m 3 atau meningkat sebesar 103,29% dibandingkan dengan produksi pada simulasi dasar yaitu sebesar ,27 m 3.

86 Tabel 15 Luas lahan yang ditanami mahoni pada skenario penanaman lahan kosong Tahun ke Luas tanaman mahoni Perhutani KPH Pati (ha) Luas hutan rakyat di Kabupaten Sumedang (ha) 69 Luas lahan mahoni total (ha) , , , , , , , , , , , ,11 1: 2: 3: 1: Vol prod Perhutani 2: Vol Prod Mhn Rak 3: Vol prod mahoni total : 2: 3: 1: Vol prod Perhutani 2: Vol Prod Mhn Rak 3: Vol prod mahoni total : 2: 3: : 2: 3: : 2: 3: Page Years 3:09 01 Des 2009 Untitled 1: 2: 3: Page Years 5:24 02 Des 2009 Untitled (a) (b) Gambar 17 Dinamika volume produksi kayu mahoni pada (a) simulasi dasar, (b) skenario penanaman lahan kosong. Asumsi penggunaan kayu Perhutani dalam penelitian ini adalah khusus dipakai untuk pembuatan mebel dengan tujuan pasar ekspor. Dengan demikian, peningkatan volume produksi dengan upaya penanaman lahan kosong di areal Perhutani hanya akan berpengaruh terhadap peningkatan nilai tambah untuk para pelaku yang terlibat dalam pasar ekspor. Nilai tambah yang diterima para pelaku pasar ekspor masih tetap mengalami penurunan (Gambar 18), namun penurunan tersebut tidak sebesar yang terjadi pada simulasi dasar.

87 70 1: NT OD Ptn SMD 2: NT OD pedg SMD 3: NT perhutani 4: NT mhn Pedg J 5: NT grgj 1: e+010 2: 3: 4: 5: 1: NT pengrjn eksp 2: NT reksportir 1: e+010 2: 1: 2: 3: e+010 4: 5: : e+010 2: : 2: 3: : : Page 1 Years 3:09 01 Des 2009 Untitled (a) 1: NT OD Ptn SMD 2: NT OD pedg SMD 3: NT perhutani 4: NT mhn Pedg J 5: NT grgj 1: e+010 2: 3: 4: 5: 3 1: : 3: e+010 4: 4 5: : 2: Page 1 Years 3:09 01 Des 2009 Untitled (b) 1: NT pengrjn eksp 2: NT reksportir 1: e+010 2: : e : 1: 2: 3: 4: : Page 1 Years 5:24 02 Des 2009 Untitled (c) 2 1: 2: Page 1 Years 5:24 02 Des 2009 Untitled (d) Gambar 18 Dinamika distribusi nilai tambah pasar ekspor (a) dan (b) simulasi dasar, (c) dan (d) skenario penanaman lahan kosong. Nilai tambah kumulatif pada akhir simulasi yang diterima para pelaku pasar ekspor meningkat dari Rp 49,01 milyar pada simulasi dasar menjadi Rp 81,20 milyar ada skenario penanaman lahan kosong. Adapun besarnya distribusi nilai tambah para pelaku pada akhir tahun simulasi adalah 32,44% eksportir, 25,11% pengrajin, 22,58% Perhutani, 15,15% pedagang kayu Jepara, 2,20% petani, 1,52% industri penggergajian dan 0,99% pedagang kayu Sumedang (Tabel 16).

88 Tabel 16 Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada skenario penanaman lahan kosong Tahun ke 0 Tahun ke 10 Tahun ke 25 Tahun ke 50 Tahun ke 100 (Rp x 1 juta) (Rp x 1 juta) (Rp x 1 juta) (Rp x 1 juta) (Rp x 1 juta) Petani 812, , , , ,45 Perhutani , , , , ,36 Pedg ky Sumedang 366,07 732,57 803,85 806,44 806,45 Pedg ky Jepara 9.286, , , , ,54 Penggergajian 932, , , , ,33 Pengrajin ekspr , , , , ,53 Eksportir , , , , ,83 71 Penerapan fair trade melalui pengurangan biaya transaksi Skenario ke tiga adalah simulasi fair trade dengan mengurangkan (menghilangkan) biaya transaksi berupa biaya koordinasi, informasi dan strategis. Biaya transaksi yang dapat teridentifikasi di pedagang kayu Sumedang berupa biaya informasi dan strategis rata-rata Rp per m 3, pedagang kayu Jepara berupa biaya koordinasi rata-rata Rp per m 3, pengrajin berupa biaya informasi (biaya quality control) rata-rata Rp per m 3, biaya koordinasi pengecer rata-rata Rp per m 3 dan eksportir rata-rata Rp per m 3. Biaya transaksi tersebut dapat dikategorikan dalam dua kelompok yaitu yang bersifat tetap seperti yang terjadi di tingkat pedagang kayu dan yang bersifat biaya variabel (tergantung dari jumlah unit yang dipertukarkan) seperti yang terjadi di tingkat pengrajin. Nilai tambah yang diterima oleh pedagang kayu di Sumedang dan Jepara serta pengrajin pasar domestik dan pengecer (toko) pada pasar domestik selama tahun simulasi menunjukkan terjadinya peningkatan (Gambar 19). Pada akhir tahun simulasi, peningkatan nilai tambah yang diterima oleh pedagang kayu di Sumedang, pedagang kayu di Jepara, pengrajin pasar domestik dan pengecer (toko) masing-masing sebesar 12,21%, 0,56%, 4,91% dan 7,24%. Sedangkan besarnya nilai tambah yang diterima oleh masing-masing pelaku pada akhir tahun simulasi seperti tersaji dalam Tabel 17 dengan distribusi nilai tambah untuk skenario ini menjadi 50,68% pengecer domestik, 27,43% pengrajin, 8,76%

89 pedagang kayu Jepara, 7% petani, 3,98% pedagang kayu di Sumedang dan 2,15% penggergajian. 72 1: NT OP Ptn SMD 2: NT OP pedg SMD 3: NT rak pedg JPR 4: NT pengrjn dmstk 5: NT retl dmstk 1: e+009 2: : 4: 5: 1: NT OP Ptn SMD 2: NT OP pedg SMD 3: NT rak pedg JPR 4: NT pengrjn dmstk 5: NT retl dmstk 1: e : 3: 4: 5: 1: 2: 3: 4: 5: e : 2: 3: e+009 4: 5: : : : 4: : Page 1 Years 3:09 01 Des 2009 Untitled (a) 1: 2: 3: 4: 5: Page Years 3:09 01 Des 2009 (b) Untitled Gambar 19 Dinamika distribusi nilai tambah pasar domestik (a) simulasi dasar, (b) skenario fair trade. Tabel 17 Distribusi nilai tambah pasar domestik pada skenario fair trade Tahun ke 0 (Rp x 1 juta) Tahun ke 10 (Rp x 1 juta) Tahun ke 25 (Rp x 1 juta) Tahun ke 50 (Rp x 1 juta) Tahun ke 100 (Rp x 1 juta) Petani 135,38 276,38 297,47 298,24 298,24 Pedg ky Sumedang 77,02 154,13 169,12 169,67 169,67 Pedg ky Jepara 169,25 330,16 371,36 372,86 372,86 Penggergajian 41,47 78,28 90,90 91,36 91,36 Pengrajin dmstk 530,30 959, , , ,23 Pengecer dmstk 979, , , , ,04 Peningkatan nilai tambah yang diterima oleh pedagang kayu di Sumedang, pedagang kayu di Jepara, pengrajin untuk pasar ekspor dan eksportir pada akhir tahun simulasi masing-masing sebesar 12,21%, 0,46%, 2,85% dan 2,40%, dengan nilai tambah pada akhir simulasi masing-masing tersaji pada Tabel 18. Pada simulasi ini, pelaku yang paling banyak menikmati nilai tambah adalah eksportir sebesar 33,34% diikuti pengrajin 25,92%, Perhutani 18,44%, pedagang kayu Jepara 15,28%, petani 3,65%, pedagang kayu di Sumedang 1,85% dan penggergajian 1,53%.

90 73 Tabel 18 Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada skenario fair trade Tahun ke 0 (Rp x 1 juta) Tahun ke 10 (Rp x 1 juta) Tahun ke 25 (Rp x 1 juta) Tahun ke 50 (Rp x 1 juta) Tahun ke 100 (Rp x 1 juta) Petani 812, , , , ,45 Perhutani , , , , ,41 Pedg ky Sumedang 410,78 822,02 902,01 904,92 904,93 Pedg ky Jepara 9.329, , , , ,09 Penggergajian 932, , ,25 784,31 747,74 Pengrajin ekspr , , , , ,90 Eksportir , , , , ,85 Skenario fair trade ini telah meningkatkan nilai tambah kumulatif untuk pasar domestik pada akhir simulasi sebesar 5,47% dengan nilai tambah yang diterima menjadi Rp 4,25 milyar. Peningkatan nilai tambah kumulatif juga terjadi pada akhir simulasi untuk pasar ekspor. Besarnya peningkatan tersebut adalah 1,81% dengan nilai tambah yang diterima menjadi Rp 48,98 milyar (Tabel 19) Tabel 19 Nilai tambah total pasar domestik dan pasar ekspor pada skenario fair trade Tahun ke NT total domestik (Rp x 1 juta) NT total ekspor (Rp x 1 juta) , , , , , , , , , ,40 Implementasi skenario Skenario yang paling besar memberikan nilai tambah pada akhir tahun simulasi untuk pasar domestik adalah meningkatkan efisiensi produksi, diikuti dengan fair trade. Sedangkan untuk pasar ekspor, skenario yang paling besar memberikan nilai tambah pada akhir tahun simulasi secara berturut-turut adalah

91 penanaman lahan kosong di areal Perhutani, peningkatan efisiensi dan fair trade (Tabel 20). 74 Tabel 20 Nilai tambah pada akhir tahun simulasi dengan berbagai skenario Skenario NT total domestik (Rp x 1 juta) NT total ekspor (Rp x 1 juta) Simulasi dasar 4.037, ,691 Peningkatan efisiensi produksi 6.697, ,057 Peningkatan vol produksi (penanaman lahan kosong) Fair trade (penghilangan biaya transaksi) 4.037, , , ,407 Untuk mengimplementasikan berbagai alternatif skenario di atas, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah. (1) Penerapan skenario pertama yaitu peningkatan efisiensi pada proses penggergajian dan proses pembuatan mebel di tingkat pengrajin (upgrading proses). Tingkat efisiensi penggergajian antara lain tergantung dari kualitas log, ukuran kayu gergajian yang diinginkan serta kualitas dari mesin gergajinya sendiri. Dengan pengamatan secara kualitatif, efisiensi penggergajian dari segi kualitas kayu dan ukuran kayu gergajian untuk saat ini sudah diterapkan. Pengrajin umumnya mengawasi sendiri proses penggergajian agar memperoleh hasil yang maksimal dan sesuai dengan kualitas mebel yang akan diproduksi. Sedangkan penerapan efisiensi melalui pembaruan mesin gergaji akan sedikit sulit diimplementasikan karena memerlukan modal yang cukup banyak untuk membeli mesin gergaji yang lebih efisien. Efisiensi dari proses pembuatan mebel dapat ditempuh melalui diversifikasi produk baik dari segi desain maupun kualitas mebel yang disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku yang ada. Efisiensi dari proses pembuatan mebel ini sudah dilakukan oleh beberapa pengrajin di Jepara antara lain dengan pemanfaatan kayu yang sudah tidak terpakai pada mebel outdoor kualitas ekspor, dimanfaatkan kembali oleh pengrajin lain

92 75 yang membuat mebel indoor untuk pasar domestik. Namun demikian, proses efisiensi pembuatan tersebut terjadi lintas pengrajin, sehingga nilai tambah yang diperoleh untuk pengrajin tertentu tetap rendah. Dengan demikian, untuk proses efisiensi melalui diversifikasi produk sebaiknya dilakukan dalam satu unit manajemen pengrajin. Tantangan yang dihadapi dengan penerapan efisiensi ini adalah perlunya mencari peluang pasar baru selain pasar yang sudah ada, dimana pasar baru tersebut sesuai untuk produk hasil diversifikasi. Fokus strategi penciptaan produk baru dengan pasar baru ini apabila mengacu pada matrix Ansoff termasuk dalam fokus strategi diversifikasi (Barclay et al. 2000). Upaya pencarian pasar baru tersebut perlu diimbangi dengan peningkatan kemampuan pengrajin di bidang pemasaran, sehingga pengrajin tidak hanya berperan sebagai produsen mebel bagi eksportir, pengecer atau pengumpul mebel saja, tetapi pengrajin juga berperan sebagai pemasar bagi produknya. (2) Skenario kedua adalah peningkatan volume produksi sebagai bahan baku mebel melalui penanaman lahan kosong. Pada skenario ini, simulasi hanya dilakukan pada lahan kosong di areal Perhutani karena hasil simulasi dasar untuk produksi kayu mahoni rakyat selama ini telah mengalami peningkatan. Yang perlu menjadi perhatian dalam sektor usaha hutan rakyat adalah bagaimana upaya mempercepat proses peningkatan produksi kayu rakyat serta meningkatkan bagian yang diterima oleh petani. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat insentif terhadap keberadaan hutan rakyat dan peningkatan faktor endowment petani berupa peningkatan kapasitas menahan stock. Kebijakan yang dapat ditempuh antara lain kebijakan kredit tunda tebang. Dengan kebijakan ini petani tetap memiliki dana untuk kebutuhan yang mendesak, sementara daur dari pohon yang ditanam menjadi lebih panjang untuk menghasilkan kualitas kayu yang lebih baik dengan harga yang lebih tinggi. Hasil simulasi pada skenario penanaman lahan kosong di Perhutani KPH Pati masih menunjukkan kecenderungan turunnya volume produksi kayu mahoni. Agar penerapan skenario ini dapat berhasil, maka perlu adanya dukungan dana yang lebih besar untuk penanaman, dan hal terpenting adalah penerapan kebijakan yang

93 76 tepat untuk pengelolaan hutan Perhutani sebagai sumberdaya yang cenderung bersifat open acces sehingga tekanan terhadap kelestarian hutan dapat dikurangi. Besarnya kebutuhan bahan baku industri mebel seharusnya menjadi peluang bagi pertumbuhan hutan baik hutan rakyat maupun bagi Perhutani. (3) Skenario ketiga adalah penerapan fair trade melalui penghilangan biaya transaksi. Tantangan yang dihadapi dalam implementasi skenario ini adalah membangun kesepahaman melalui aksi kolektif (collective action) dan aturan main yang dapat menekan adanya biaya transaksi. Aksi kolektif dan kerjasama diantara para pelaku baik yang terlibat langsung dalam proses pembuatan mebel maupun pihak pendukung seperti pemerintahan perlu dilakukan untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu kelestarian usaha mebel mahoni. Aksi kolektif ini antara lain dapat diterapkan dalam memanfaatkan pasar mebel yang memberikan harga premium. Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan adalah terbatasnya pasar yang mau memberikan harga premium, sehingga kemungkinan besar tidak semua produk mebel Jepara dapat diserap oleh pasar ini. Aksi kolektif juga dapat diterapkan untuk memperkuat posisi jual pengrajin melalui penguatan peran asosiasi pengrajin yang sudah terbentuk. Asosiasi ini dapat berperan antara lain dalam pengendalian harga jual mebel. Dengan adanya pengendalian harga tersebut, pengrajin akan memperoleh bagian keuntungan yang lebih tinggi. Aksi kolektif ini akan sangat rentan terhadap perilaku oportunis apalagi dengan karakteristik produk mebel yang mudah untuk ditiru oleh orang lain. Dengan demikian, perlu adanya penerapan aturan yang mengikat terhadap anggotanya disertai dengan peranan pemerintah sebagai pengendali. Upaya lain yang dapat ditempuh untuk meningkatkan posisi jual pengrajin adalah meningkatkan kapasitas menahan stock melalui penguatan modal.

94 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Bisnis di bidang pengusahaan mebel mahoni baik pasar domestik maupun pasar ekspor melibatkan banyak pelaku mulai dari penanam kayu sampai kepada retailer. Dalam bisnis tersebut setiap pelaku memperoleh nilai tambah, dimana nilai tambah tersebut tidak terdistribusi secara merata. Pelaku yang paling banyak memperoleh nilai tambah per m 3 bahan baku pada pasar domestik adalah pengecer (+fiishing) 49,83% diikuti dengan pengrajin 27,62%, pedagang kayu Jepara 9,21%, petani 7,38%, pedagang kayu Sumedang 3,72% dan penggergajian 2,23%. Pasar ekspor untuk bahan baku yang berasal dari kayu rakyat yang paling banyak menerima nilai tambah adalah eksportir (+finishing) 36,79% selanjutnya pengrajin 28,48%, pedagang kayu Jepara 16,67%, petani 11,30%, pedagang kayu Sumedang 5,06% dan penggergajian 1,70%. Sedangkan untuk pasar ekspor dengan bahan baku yang berasal dari Perhutani, eksportir masih menikmati bagian nilai tambah paling besar yaitu 31%. Selanjutnya diikuti oleh Perhutani 27,74%, pengrajin 24%, pedagang kayu Jepara 15,83% dan penggergajian 1,43%. Pada kedua pasar tersebut, yang paling sedikit memperoleh nilai tambah adalah pemberi jasa penggergajian. Banyaknya pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara telah menempatkan pengrajin dan petani pada posisi sebagai price taker. Produk mebel yang dihasilkan oleh pengrajin sebagai agent lebih didasarkan pada order dimana spesifikasi produk dan harganya lebih banyak ditentukan oleh principal, dalam hal ini principalnya adalah pembeli yaitu retailer domestik atau eksportir. Pengrajin sebagai price taker tidak hanya terjadi dalam penjualan produk, tetapi juga terjadi pada pembelian bahan baku dan bahan penolong lainnya. Informasi asimetris yang terjadi antara pedagang kayu dan petani juga telah mengakibatkan posisi petani sebagai price taker. Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa semua kegiatan dalam rantai nilai mebel menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Hal tersebut dapat dilihat dari terpenuhinya kriteria kelayakan finansial yaitu NPV>0, BCR>1 dan IRR > dari tingkat suku bunga yang diharapkan. Apabila dilihat dari parameter

95 78 BCR, kegiatan usaha jasa penggergajian lebih menguntungkan, sedangkan parameter tingkat bunga pengembalian atas investasi (IRR) menunjukkan bahwa kegiatan jasa finishing paling tinggi dibandingkan kegiatan lain. Dengan kriteria NPV, BCR dan IRR tersebut, maka pola kemitraan yang terjadi antar pelaku dalam rantai nilai mebel mahoni saat ini sudah efektif karena dari sudut pandang finansial usaha-usaha dalam rantai nilai mebel layak untuk dilaksanakan. Simulasi dasar terhadap model menunjukkan bahwa nilai tambah total pada pasar domestik mengalami peningkatan, sementara nilai tambah total pada pasar ekspor mengalami penurunan. Peningkatan nilai tambah pada pasar domestik terjadi karena peningkatan volume produksi kayu mahoni yang berasal dari hutan rakyat sebagai bahan baku mebel untuk pasar domestik. Sedangkan penurunan yang terjadi pada pasar ekspor disebabkan adanya penurunan volume produksi kayu mahoni yang berasal dari Perhutani, dimana kayu yang berasal dari Perhutani tersebut diasumsikan seluruhnya dipakai untuk bahan baku mebel pasar ekspor. Saran Banyaknya pelaku yang terlibat dalam bisnis mebel telah menempatkan sektor usaha ini dalam posisi yang penting terutama di Jepara. Distribusi nilai tambah yang tidak seimbang dan posisi pengrajin serta petani sebagai price taker perlu diperbaiki agar kelangsungan usaha mebel dapat dipertahankan. Disamping itu perlu peningkatan kerjasama yang sudah terjadi selama ini ke arah yang lebih baik lagi. Beberapa skenario kebijakan yang dapat diterapkan adalah: (1) Efisiensi pada proses pembuatan mebel melalui diversifikasi produk dan perlunya mencari peluang pasar baru. Skenario ini perlu disertai dengan peningkatan kemampuan pengrajin di bidang pemasaran, sehingga pengrajin tidak hanya berperan sebagai produsen tetapi juga sebagai pemasar bagi produknya. (2) Peningkatan volume produksi kayu melalui penanaman lahan kosong di Perhutani disertai dengan penerapan kebijakan pengelolaan yang tepat sehingga tekanan terhadap hutan dapat dikurangi. Untuk usaha hutan rakyat, perlu kebijakan yang bersifat insentif serta dapat meningkatkan faktor endowment berupa peningkatan kapasitas menahan stock. Kebijakan yang

96 79 dapat ditempuh antara lain kebijakan kredit tunda tebang sehingga share keuntungan yang diterima petani dapat meningkat. (3) Penerapan fair trade melalui aksi kolektif dan kerjasama diantara para pelaku dapat dilakukan untuk memanfaatkan pasar mebel dengan harga premium. Aksi kolektif juga dapat diterapkan untuk memperkuat posisi jual pengrajin melalui pengendalian harga jual mebel oleh asosiasi pengrajin yang telah terbentuk, sehingga dapat memperoleh bagian keuntungan yang lebih baik. Dengan demikian maka perlu penguatan peran dari asosiasi tersebut. Dalam hal ini perlu peranan yang intensif dari pemerintah karena aksi kolektif sangat rentan terhadap perilaku oportunis. Peningkatkan posisi jual pengrajin juga dapat ditempuh melalui penguatan modal, sehingga kapasitas menahan stock meningkat.

97 DAFTAR PUSTAKA [ASMINDO] Komda Jepara Menuju Tata Niaga Industri Furniture Berdaya Saing Global (5 Tahun Membangun Industri Furniture Jepara). Jepara: Asmindo Komda Jepara Avdasheva S Russian Furniture Industry: Enterprises Upgrading from the Value-Chain Theory Perspectives. [3 Pebruari 2009] [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan [BPS] Biro Pusat Statistik Kabupaten Jepara Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Jepara Jepara: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan [BPS] Biro Pusat Statistik Kabupaten Sumedang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sumedang Menurut Lapangan Usaha Tahun Sumedang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang Barclay I, Dann Z, Holroyd P New Product Development: A Practical Workbook for Improving Performance. Butterworth Heinemann: Oxford. [BPS] Biro Pusat Statistik Statistik Indonesia 2005/2006. Jakarta: BPS [BPS] Biro Pusat Statistik. Kabupaten Jepara Jepara Dalam Angka Jepara: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara. [BPS] Biro Pusat Statistik. Kabupaten Sumedang Kabupaten Sumedang dalam Angka 2006/2007. Sumedang: BPS Kabupaten Sumedang. Burley JJ. Evans dan Youngquist JA Enclyclopedia of Forest Science Volume Four. Spain: Elsevier Academic Press. Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE Forest Management: To Sustain Ecological, Economic, and Social Values [Forth Edition]. Boston: Mc Graw Hill. [DEPERIN] Departemen Perindustrian Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Furniture Melalui Pendekatan Klaster. Jakarta. Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah Departemen Perindustrian. Departemen Kehutanan Potensi Hutan Rakyat Indonesia Jakarta: Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara Kondisi Hutan Rakyat dan Potensi Tegakan Kabupaten Jepara Tahun 2005/2006/2007. Jepara: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara

98 Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah Produksi Kayu Bulat Asal Hutan Rakyat Jawa Tengah s/d Desember Semarang: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi Kabupaten Sumedang Data Produksi Hasil hutan (Kayu Bulat) Berdasarkan Penerbitan Dokumen Angkutan Pada Hutan Hak/Rakyat. Sumedang: Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan energi. Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi Laporan Akhir Tahun - Tahun Anggaran Sumedang: Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi Eriyatno Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Ewasechko AC Upgrading the Central Java Wood Furniture Industry: A Value Chain Approach. Philippines: International Labour Organization. Gereffi G, Humprey J, Kaplinsky R, Sturgeon TJ Introduction: globalisation, value chains and development. IDS Bulletin 32(3): 1 8 Grant E, Ellen KP, Sandra SL Ecology and Natural Resource Management, System Analysis and Simulation. Toronto: John Willey & Son, Inc. Grogan J, Barreto P Big-leaf mahogany on CITES appendix II: big challenge, big oakpportunity. Conservation Biology 19(3): Haris U, Gonarsyah I Struktur pasar dan kinerja kelembagaan tataniaga bahan olah karet rakyat (BOKAR). Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 12 (2): Hudaya F Analisis optimalitas pengadaan bahan baku industri furniture PT. Kota Jati Furindo di Jepara Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. [IRG] International Resources Group Frame Philippines Rattan Value Chain Study. Washington: United States Agency International Development (USAID). 81 [ITTO] International Tropical Timber Organization. Market Report 11 (15). Yokohama: ITTO Tropical Timber Kaplinsky R dan Morris M A Handbook for Value Chain Research. [3 September 2007] Kaplinsky R, Memedovic O, Morris M, Readman J The Global Wood Furniture Value Chain: What Prospects for Upgrading by Developing Countries. Viena: United Nations Industrial Development Organization.

99 Kaplinsky R, Readman J Integrating SMEs in Global Value Chains towards Partnership for Development. Viena: United Nations Industrial Development Organization. Loebis L dan Schmitz H Java Furniture Makers: Globalisation winners or losers? Development and Practice 15(3&4): Munro LT A Principal-Agent Analysis of the Family: Implication for Welfare State. American Journal of Economics and Sociology 60 (4): North DC Institutions, Institutional Change and Economic Performance. New York: Cambridge University Press. Nugroho, B Analisis Biaya Proyek Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Nugroho B Kajian institusi pelibatan usaha kecil-menengah industri pemanenan hutan untuk mendukung pengelolaan hutan produksi lestari [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ostrom E, Schroeder L, Wynne S Institutional Incentives and Sustainable Development. Colorado: Westview Press. Pasaribu RA, Roliadi H Kajian Potensi Kayu Pertukangan dari Hutan Rakyat pada Beberapa Kabupaten di Jawa Barat. Di dalam: Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan; Bogor, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. hlm Perhutani Statistik Tahun Jakarta. Direksi Perum Perhutani Perhutani Unit I Jawa Tengah Buku Saku Statistik Tahun Semarang. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Perhutani Unit I Jawa Tengah. 2007b. Laporan Gangguan Keamanan Hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, Bulan Desember Semarang: Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Porter ME Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. New York: The Free Press. Purnomo H Teori Sistem Kompleks, Pemodelan dan Manajemen Sumberdaya Adaptif. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Purnomo H Teak furniture and business responsibility: a global value chain dynamics approach. Economics and Finance in Indonesia 54 (3): Roda JM, Cadène P, Guizol P, Santoso L, Fauzan AU Atlas Industri Mebel Kayu di Jepara, Indonesia. Bogor: CIRAD dan CIFOR. 82

100 Semua Tentang Kayu Konversi Kayu Gergajian terhadap Ukuran Jadi.. [20 Pebruari 2009] Simatupang TM Teori Sistem Suatu Perspektif Teknik Industri. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset Yogyakarta. Soerianegara I, Lemmens RHMJ (Editor) Plant Resources of South East Asia 5 (1) Timber Trees: Major Commercial Timbers. Bogor: PROSEA. [SPH] Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang Suplement (Risalah Kilat) Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan, Kelas Perusahaan Jati Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati, Jangka Perusahaan 1 Januari 2004 s/d 31 Desember Rembang: Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Sumaryuwono T Strategi peningkatan nilai tambah industri kayu jati Perum Perhutani (studi kasus PGM-KIPKJ Cepu & PGM Brumbung) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Susanty SL Strategi peningkatan produktivitas berdasarkan analisis nilai tambah pabrik minyak goreng sawit [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Sturgeon TJ How do we define value chains and productio networks?. IDS Bulletin 32 (3): Tambunan TTH Industrialisasi Di Negara Sedang Berkembang: Kasus Indonesia. Jakarta. Ghalia Indonesia. USAID-SENADA Tinjauan Rantai Nilai Industri (RNI) Mebel: Mekanisme Operasi dan Antar Hubungan Perusahaan dalam RNI Mebel. USAID SENADA. Whynes DK Can performance monitoring solve the public service principal-agent problem?. Scottish Journal of Political Economy 40(4):

101 LAMPIRAN 84

102 Lampiran 1. Susunan kelas hutan KPH Pati 85 No Kelas Hutan Awal jangka Risalah kilat 2003 Luas % Luas % I Untuk produksi kayu jati 1 Baik untuk perusahaan tebang habis A. Produktif KU I 3.368,50 8, ,70 28,63 KU II 5.414,80 14,05 256,90 0,67 KU III 3.521,50 9,13 286,00 0,74 KU IV 2.019,30 5,24 230,50 0,60 KU V 525,80 1,36 3,70 0,01 KU VI 210,30 0,55 KU VII 53,60 0,14 KU VIII 31,20 0,08 KU IX 16,90 0,04 KU X 1,60 0,00 MT 11,70 0,03 MR 337,80 0,88 Jumlah produktif ,00 40, ,80 30,65 B Tidak produktif LTJL 131,50 0, ,80 19,56 TK 2.725,10 7, ,70 2,76 TJBK 2.560,80 6, ,40 3,65 TKL 949,30 2,46 30,70 0,08 HAKL 135,60 0,35 HAJBK - 0,00 Jumlah tidak produktif 6.502,30 16, ,60 26,05 2 Tidak baik untuk perusahaan tebang habis 50,10 0,13 691,30 1,79 JUMLAH I ,40 57, ,70 58,49 II Bukan untuk produksi kayu jati TKTBJ 657,70 1, ,00 7,27 TKLTBJ 392,00 1, ,70 3,30 HAKLTBJ 5.247,90 13, ,30 9,72 TJM 179,80 0,47 12,00 0,03 TJKL 5.057,00 13, ,30 6,92 HPT ,70 4,14 JUMLAH II ,50 32, ,00 31,39 III Bukan untuk produksi TBP 81,80 0,21 57,70 0,15 LDTI 756,39 1,96 717,69 1,86 SA/HW 71,60 0, ,00 7,92 HL 3.055,00 7,92 71,60 0,19 JUMLAH III 3.964,79 10, ,99 10,12 JUMLAH I+II+III ,69 100, ,69 100,00 Sumber: [SPH] Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang Suplement (Risalah Kilat) Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan, Kelas Perusahaan Jati Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati, Jangka Perusahaan 1 Januari 2004 s/d 31 Desember Rembang. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Data Tegakan Mahoni di KPH Pati Kelas hutan KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII KU IX Jumlah 2003 luas (ha) 776, ,5 163,5 12,6-44,7 1,0 35,3 5, ,2 Sumber: Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Buku Saku Statistik Tahun Semarang.

103 Lampiran 2. Analisis finansial petani penanam pohon mahoni 86 Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada umur tebang rata-rata 15 tahun 2 Luas lahan yang dianalisis 0,23 Ha 3 Investasi alat utama (cangkul, linggis, parang) 4 Jumlah pohon per luas lahan 226 pohon Jumlah pohon mahoni per luas lahan 96 pohon 5 Persen hidup 90 persen 6 Volume pohon saat tebang 0,26 m 3 /pohon 7 Sewa lahan Rp/tahun 8 suku bunga 18 persen/tahun 9 Kenaikan harga input 0 persen 10 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan kebutuhan investasi alat utama selama periode analisis Jenis alat satuan (unit) harga satuan Kebutuhan Unit Rp Cangkul unit linggis unit parang unit Jumlah Perhitungan biaya penanaman dan pemeliharaan mahoni per 0,23 Ha selama periode analisis Komponen/kegiatan satuan Harga satuan Kebutuhan unit Rp Persiapan lahan Tenaga kerja Rp/hari/orang Bibit mahoni Rp/batang Penanaman Tenaga Kerja Rp/hari/orang Pupuk urea Rp/kg , Herbisida (polaris) Rp/lt , Pemeliharaan tahun ke-1 sampai ke-14 Tenaga kerja Rp/hari/orang Perhitungan pendapatan selama periode analisis Jumlah pohon hidup Umur tebang Volume per pohon Volume total Harga per pohon Pendapatan ,26 22,

104 87 Lampiran 2. (lanjutan) Analisis Aliran Kas Berdiskonto Uraian Tahun ke Kas keluar Investasi Sewa lahan Persiapan lahan Bibit Penanaman Pemeliharaan jumlah Kas masuk Penjualan pohon Aliran kas netto (38.938) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) Aliran kas kumulatif (38.938) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 0,162 0,137 0,116 0,099 0,084 Aliran kas netto terdiskonto (38.938) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (91.225) (65.516) (55.522) (47.053) (39.875) Aliran kas kumulatif terdiskonto (38.938) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,1410 IRR 24%

105 Lampiran 3. Analisis finansial Perhutani 88 Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada daur tanaman jati 30 tahun 2 Luas lahan yang dianalisis (luas penanaman rata-rata per tahun) 79,2 Ha 3 Jumlah pohon per Ha (jarak tanam 3 x 2) pohon 4 Volume per ha (tabel tegakan: umur 30, bonita 1,5) 385,50 m 3 5 KBD rata-rata 0,88 6 suku bunga 18 persen/tahun 8 Kenaikan harga input 0 persen 9 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan biaya penanaman, pemeliharaan, IHH, pemanenan Komponen/kegiatan satuan Harga satuan Kebutuhan unit Rp Persemaian mahoni Rp/btg Penanaman Rp/ha , Pemeliharaan dan pembinaan hutan Rp/ha/tahun , Pengendalian kebakaran & pengamanan hutan Rp/ha/tahun , Pemungutan hasil hutan Rp/m , Pemenuhan kewajiban pada negara (PSDH) Bundar kecil (AI/ s.d Ø 19) Rp/m , Bundar sedang (AII/ Ø 21-29) Rp/m , Bundar besar (AIII/ Ø 30 up) Rp/m , Biaya sarana dan prasarana Rp/m Biaya pendidikan, penyuluhan Rp/m Biaya umum dan administrasi Rp/m Perhitungan pendapatan selama periode analisis Penebangan Volume penj per ha Volume kayu HJD mahoni Pendapatan diameter HJD mahoni 2008 Penjarangan II 12, ,68 11, Penjarangan III 23, ,11 16, Penjarangan IV 31, ,28 22, Penjarangan V 37, ,34 27, Panen 231, ,52 31,

106 Lampiran 3. (lanjutan) 89 Analisis Aliran Kas Berdiskonto Tahun ke Uraian Kas keluar Persemaian mahoni Penanaman Pemeliharaan dan pembinaan hutan Pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan Pemungutan hasil hutan PSDH Sarana dan prasarana Pendidikan, penyuluhan, dll Umum dan administrasi jumlah Kas masuk Penjualan kayu penjarangan Penjualan kayu akhir daur Jumlah kas masuk Aliran kas netto ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) Aliran kas kumulatif ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 0,162 0,137 0,116 0,099 0,084 Aliran kas netto terdiskonto ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) Tahun ke Uraian Kas keluar Persemaian mahoni Penanaman Pemeliharaan dan pembinaan hutan Pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan Pemungutan hasil hutan PSDH Sarana dan prasarana Pendidikan, penyuluhan, dll Umum dan administrasi jumlah Kas masuk Penjarangan Penjualan pohon Jumlah kas masuk Aliran kas netto ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) Aliran kas kumulatif ( ) ( ) ( ) ( ) Faktor diskonto 0,071 0,060 0,051 0,043 0,037 0,031 0,026 0,022 0,019 0,016 0,014 0,011 0,010 0,008 0,007 Aliran kas netto terdiskonto ( ) ( ) ( ) ( ) (96.302) (81.612) (69.163) (58.612) (42.094) (35.673) (30.232) (25.620) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,0879 IRR 20%

107 Lampiran 4. Analisis finansial pedagang kayu Sumedang 90 Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada umur teknis alat utama 10 tahun 2 Investasi alat utama (chainsaw) Rp/unit 3 Volume penebangan/penjualan per bulan 172 m 3 /bulan Volume penebangan/penjualan mahoni per bulan Stok kayu mahoni per bulan 129 m 3 /bulan 65 m 3 /bulan 4 Volume per pohon 0,26 m 3 /pohon 5 Jumlah tenaga kerja 7 orang 6 Hari kerja per bulan 25 hari 7 Bulan kerja per tahun 12 bulan 8 Penebangan diborongkan (tenaga kerja, bahan bakar) 9 Ijin usaha (SIUP, TDP, dll) Rp/paket 10 Sewa lahan (luas 0,34 ha) Rp/tahun 11 suku bunga 18 persen/tahun 12 Kenaikan harga input 0 persen 13 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan kebutuhan investasi alat utama selama periode analisis Jenis alat Satuan (unit) Harga satuan Kebutuhan Unit Rp Chainsaw unit Bangunan unit Jumlah Perhitungan biaya penebangan, penimbunan dan pemasaran per tahun Komponen/kegiatan Satuan Harga satuan Kebutuhan unit Rp Penebangan Bahan baku mahoni Rp/phn Retribusi ijin tebang mahoni Rp/phn Borongan tebang mahoni Rp/m /colt mahoni Rp/colt Biaya transaksi mahoni Rp/m Penimbunan dll Sewa lahan Rp/tahun Listrik Rp/bulan Retribusi chainsaw Rp/tahun Pemasaran Retribusi angkutan kayu mahoni Rp/m Tenaga kerja Rp/m Biaya transaksi mahoni Rp/m Perhitungan pendapatan per tahun Vol produksi Volume penjualan Kelas log Persentase Volume Harga jual per m 3 Pendapatan OD 75% OP 25% Jumlah

108 Lampiran 4. (lanjutan) 91 Analisis Aliran Kas Berdiskonto Uraian Tahun ke Kas keluar Investasi alat + bangunan* Ijin usaha* Penebangan Penimbunan* Pemasaran jumlah Kas masuk Penjualan log Jumlah Aliran kas netto ( ) ( ) Aliran kas kumulatif ( ) ( ) ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 Aliran kas netto terdiskonto ( ) ( ) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) ( ) ( ) catatan: * biaya yang dibebankan pada kayu Mahoni sebesar 0,6265, berdasarkan share pendapatan dari penjualan mahoni terhadap pendapatan total NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,0967 IRR 69%

109 Lampiran 5. Analisis finansial pedagang kayu Jepara 92 Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada umur teknis bangunan 10 tahun 2 Volume penjualan per bulan total 150 m 3 /bulan Volume penjualan per bulan mahoni 80 m 3 /bulan Stok kayu mahoni per bulan 41 m 3 /bulan 3 Total tenaga kerja 7 orang Jumlah tenaga kerja borongan 6 orang Jumlah tenaga kerja bulanan 1 orang 4 Hari kerja per bulan 25 hari 5 Bulan kerja per tahun 12 bulan 6 Ijin usaha (SIUP, TDP, dll) Rp/paket 7 Sewa lahan (luas 0,04 ha) Rp/tahun 8 suku bunga 18 persen/tahun 9 Kenaikan harga input 0 persen 10 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan kebutuhan investasi alat utama selama periode analisis Jenis alat Satuan (unit) harga satuan Kebutuhan Unit Rp Bangunan unit Jumlah Perhitungan biaya pembelian, penimbunan dan pemasaran kayu mahoni per tahun Pembelian Log (Perhutani) Rp/m Log (Rakyat OP) Rp/m Log (Rakyat OD) Rp/m Transportasi termasuk biaya m 3 /truk Rp/truk Biaya bongkar Rp/m Penimbunan, dll Sewa lahan Rp/tahun Listrik Rp/bulan Tenaga kerja bulanan Rp/orang/bulan Biaya komunikasi Rp/bulan Pemasaran Komponen/kegiatan Satuan Harga satuan Biaya muat Rp/m unit Kebutuhan Rp Perhitungan pendapatan per tahun Vol penjualan Volume penjualan Kelas log Persentase Volume Harga jual per m 3 Pendapatan 960 Perhutani 20% Rakyat OP 20% Rakyat OD 60% Jumlah

110 Lampiran 5. (lanjutan) 93 Analisis Aliran Kas Berdiskonto Uraian Tahun ke Kas keluar Investasi bangunan* Ijin usaha/perpanjangan ijin usaha* Pembelian bahan baku Penimbunan* Pemasaran jumlah Kas masuk Penjualan log Aliran kas netto ( ) ( ) Aliran kas kumulatif ( ) ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 Aliran kas netto terdiskonto ( ) ( ) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) ( ) catatan: * biaya yang dibebankan pada kayu Mahoni sebesar 0,4163, berdasarkan share pendapatan dari penjualan mahoni terhadap pendapatan total NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,1618 IRR 126%

111 Lampiran 6. Analisis finansial industri gergaji 94 Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada umur teknis alat utama 10 tahun 2 Investasi utama (mesin gergaji) 3 Kapasitas produksi riil 264 m 3 /bulan/unit mesin 4 Jumlah tenaga kerja 8 orang tenaga kerja borongan 3 orang/unit mesin tenaga kerja harian (adm+service) 2 orang 5 Hari kerja per bulan 25 hari 6 Bulan kerja per tahun 12 bulan 7 Ijin usaha (SIUP, TDP, dll) Rp/paket 8 suku bunga 18 persen/tahun 9 Kenaikan harga input 0 persen 10 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan kebutuhan investasi alat utama selama periode analisis Jenis alat Satuan (unit) Harga satuan Kebutuhan Unit Rp Bangunan unit mesin gergaji unit Jumlah Perhitungan biaya proses produksi per tahun Produksi Komponen/kegiatan Satuan Harga satuan Tenaga kerja borongan Rp/m Tenaga kerja harian Rp/hari Bahan bakar Rp/liter Pemeliharaan alat (oli, las, baja, dll) Rp/bulan Listrik Rp/bulan Mata gergaji Rp/gergaji unit Kebutuhan Rp Perhitungan pendapatan per tahun Kapasitas 2 mesin Jasa gergaji per m 3 Total pendapatan

112 Lampiran 6. (lanjutan) 95 Analisis Aliran Kas Berdiskonto Uraian Tahun ke Kas keluar Investasi bangunan + alat Ijin usaha Produksi jumlah Kas masuk Penjualan jasa gergaji Aliran kas netto ( ) Aliran kas kumulatif ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 Aliran kas netto terdiskonto ( ) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) ( ) NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,7335 IRR 117%

113 Lampiran 7. Analisis finansial pengrajin (domestik) 96 Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada umur teknis alat utama 10 tahun 2 Investasi utama (mesin sugu, amplas, potong dan diesel) 3 Konsumsi kayu per bulan 6 m 3 /bulan 4 Jml pcs per m3 16 pcs/m3 (kursi teras) 5 Total tenaga kerja 6 orang tenaga kerja borongan 4 orang tenaga kerja harian 2 orang 6 Hari kerja per bulan 25 hari 7 Bulan kerja per tahun 6 bulan 8 Ijin usaha (SIUP, TDP, dll) Rp/paket 9 suku bunga 18 persen/tahun 10 Kenaikan harga input 0 persen 11 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan kebutuhan investasi alat utama selama periode analisis Jenis alat Satuan (unit) Harga satuan Kebutuhan Unit Rp Bangunan unit Peralatan paket Jumlah Perhitungan biaya persiapan, produksi dan pemasaran per tahun Persiapan Komponen/kegiatan Satuan Harga satuan Bahan baku log (Ø 16-19/OP) Rp/m Transportasi log dan 2 m 3 Rp/colt Biaya gergaji Rp/m Biaya bongkar/muat Rp/m Produksi Tenaga kerja borongan Rp/pcs Tenaga kerja harian Rp/hari/orang amplas Rp/m lem Rp/set sekrup Rp/bungkus alteco Rp/pcs listrik Rp/bulan bahan bakar Rp/liter pemeliharaan alat Rp/bulan Pemasaran Biaya pcs/colt Rp/colt Biaya transaksi Rp/colt Perhitungan pendapatan per tahun Vol penjualan (pcs) Harga jual per pcs Total pendapatan unit Kebutuhan Rp

114 Lampiran 7. (lanjutan) 97 Analisis Aliran Kas Berdiskonto Uraian Tahun ke Kas keluar Investasi bangunan + alat Ijin usaha Persiapan* Produksi* Pemasaran jumlah Kas masuk Penjualan mebel Aliran kas netto ( ) Aliran kas kumulatif ( ) ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 Aliran kas netto terdiskonto ( ) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) ( ) ( ) catatan:* persiapan dan produksi mebel awal 5% lebih banyak dari order yang diterima NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,1937 IRR 61%

115 Lampiran 8. Analisis finansial pengrajin (ekspor) 98 Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada umur teknis alat utama 10 tahun 2 Investasi utama (mesin sugu, amplas, potong dan diesel) 3 Konsumsi kayu per bulan 17 m 3 /bulan 4 Jml pcs per m 3 12 pcs/m 3 (kursi) 5 Total tenaga kerja 11 orang tenaga kerja borongan 8 orang tenaga kerja harian 3 orang 6 Hari kerja per bulan 25 hari 7 Bulan kerja per tahun 6 bulan 8 Ijin usaha (SIUP, TDP, dll) Rp/paket 9 suku bunga 18 persen/tahun 10 Kenaikan harga input 0 persen 11 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan kebutuhan investasi alat utama selama periode analisis Jenis alat satuan (unit) harga satuan Kebutuhan Unit Rp Bangunan unit Peralatan paket Jumlah Perhitungan biaya persiapan, produksi dan pemasaran per tahun Persiapan Komponen/kegiatan satuan Harga satuan Bahan baku log (OD) Rp/m Transportasi log dan 2 m 3 Rp/colt Biaya gergaji Rp/m Biaya bongkar/muat Rp/m Produksi Tenaga kerja borongan Rp/pcs Tenaga kerja harian Rp/hari/orang amplas Rp/m lem Rp/set sekrup Rp/bungkus alteco Rp/pcs listrik Rp/bulan bahan bakar Rp/liter pemeliharaan alat Rp/bulan Pemasaran Biaya pcs/colt Rp/colt Biaya transaksi per kirim Rp/colt unit Kebutuhan Rp Perhitungan pendapatan per tahun Vol penjualan (pcs) Harga jual per pcs Total pendapatan

116 Lampiran 8. (lanjutan) 99 Analisis Aliran Kas Berdiskonto Uraian Tahun ke Kas keluar Investasi bangunan + alat Ijin usaha Persiapan* Produksi* Pemasaran jumlah Kas masuk Penjualan mebel Aliran kas netto ( ) Aliran kas kumulatif ( ) ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 Aliran kas netto terdiskonto ( ) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) ( ) catatan:* persiapan dan produksi mebel awal 5% lebih banyak dari order yang diterima NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,2540 IRR 120%

117 Lampiran 9. Analisis finansial industri finishing 100 Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada umur teknis alat utama 10 tahun 2 Investasi utama (mesin diesel, amplas, semprot, dll) 3 Kapasitas produksi riil 250 pcs/bulan (kursi tamu) 4 Jumlah tenaga kerja 14 orang tenaga kerja harian (semprot/warna) 4 orang tenaga kerja harian (amplas) 10 orang 5 Hari kerja per bulan 25 hari 6 Bulan kerja per tahun 6 bulan 7 Ijin usaha (SIUP, TDP, dll) Rp/paket 8 sewa lahan dan bangunan Rp/tahun 9 suku bunga 18 persen/tahun 10 Kenaikan harga input 0 persen 11 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan kebutuhan investasi alat utama selama periode analisis Jenis alat Satuan (unit) Harga satuan Kebutuhan Unit Rp mesin diesel, amplas, semprot, dll unit Jumlah Perhitungan biaya finishing per tahun Kebutuhan Komponen/kegiatan Satuan Harga satuan unit Rp sewa bangunan Rp/tahun Proses Finishing Tenaga kerja harian (warna) Rp/hari/orang Tenaga kerja harian (amplas) Rp/hari/orang Tinner Rp/liter Melamin Rp/set sending Rp/set dempul Rp/kg amplas Rp/m Bahan bakar Rp/liter listrik Rp/bulan Perhitungan pendapatan per tahun Kapasitas per tahun (pcs) rga jasa finishing per Total pendapatan

118 Lampiran 9. (lanjutan) 101 Analisis Aliran Kas Berdiskonto Uraian Tahun ke Kas keluar Investasi peralatan Ijin usaha sewa bangunan proses finishing jumlah Kas masuk Jasa finishing Aliran kas netto ( ) Aliran kas kumulatif ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 Aliran kas netto terdiskonto ( ) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,5966 IRR 471%

119 Lampiran 10. Analisis finansial eksportir 102 Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada umur teknis alat utama 10 tahun 2 Investasi utama (mesin diesel, amplas, semprot, dll) 3 Kapasitas produksi 5 kontainer/bulan (@350 pcs/kontainer) 4 Jumlah tenaga kerja 106 orang tenaga kerja harian 60 orang tenaga kerja borongan 40 orang tenaga kerja bulanan 6 orang 5 Hari kerja per bulan 25 hari 6 Bulan kerja per tahun 6 bulan 7 Ijin usaha (SIUP, TDP, dll) Rp/paket 8 Bangunan Rp/tahun 9 suku bunga 18 persen/tahun 10 Kenaikan harga input 0 persen 11 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan kebutuhan investasi alat utama selama periode analisis Jenis alat Satuan (unit) Harga satuan Kebutuhan Unit Rp mesin diesel, amplas, semprot, dll) unit Jumlah Perhitungan biaya finishing per tahun Kebutuhan Komponen/kegiatan Satuan Harga satuan unit Rp investasi bangunan Rp/tahun Bahan baku mebel stgh jadi Rp/pcs Proses Finishing Tenaga kerja harian Rp/hari/orang Tenaga kerja borongan Rp/pcs/orang Tenaga kerja bulanan Rp/bulan/orang Minyak tanah Rp/liter Tinner Rp/drum Melamin Rp/set sending Rp/set warna Rp/set dempul Rp/kg amplas Rp/m listrik Rp/bulan Pemasaran Kontainer Rp/kontainer Biaya pameran, website, dll Rp/bulan Perhitungan pendapatan per tahun Kapasitas per tahun (pcs) Harga jual per pcs Total pendapatan

120 Lampiran 10. (lanjutan) 103 Analisis Aliran Kas Berdiskonto Uraian Tahun ke Kas keluar Investasi peralatan Ijin usaha investasi bangunan Bahan baku* proses finishing* Pemasaran jumlah Kas masuk Penjualan mebel** Aliran kas netto ( ) Aliran kas kumulatif ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 Aliran kas netto terdiskonto ( ) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) catatan: * pembelian bahan baku dan proses finishing 5% lebih banyak dari jumlah order tiap tahun ** penjualan mebel sisa ekspor tahun lalu sebesar 5% dari order, dijual di dalam negeri dengan harga 80% dari harga ekspor NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,1517 IRR 183%

121 Lampiran 11. Analisis finansial toko/pengecer domestik 104 Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada umur teknis alat utama 10 tahun 2 Investasi utama (mesin diesel, amplas, semprot, dll) 3 Kapasitas penjualan 300 pcs/bulan (kursi tamu) 4 Jumlah tenaga kerja harian 8 orang 5 Hari kerja per bulan 25 hari 6 Bulan kerja efektif per tahun 6 bulan 7 Ijin usaha (SIUP, TDP, dll) Rp/paket 8 investasi bangunan Rp/tahun 9 suku bunga 18 persen/tahun 10 Kenaikan harga input 0 persen 11 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan kebutuhan investasi alat utama selama periode analisis Jenis alat Satuan (unit) Harga satuan Kebutuhan Unit Rp mesin diesel, amplas, semprot, dll) unit Jumlah Perhitungan biaya finishing per tahun Kebutuhan Komponen/kegiatan Satuan Harga satuan unit Rp sewa bangunan Rp/tahun Bahan baku Mebel setengah jadi Rp/pcs Proses Finishing Tenaga kerja harian Rp/hari/orang Listrik Rp/bulan Tinner Rp/liter sending Rp/liter dempul Rp/kg amplas Rp/rol Bahan bakar Rp/liter Pemasaran Telpon Rp/tahun Transportasi Rp/bulan Perhitungan pendapatan per tahun Kapasitas per tahun (pcs) Harga jual per pcs Total pendapatan

122 Lampiran 11. (lanjutan) 105 Analisis Aliran Kas Berdiskonto Uraian Tahun ke Kas keluar Investasi peralatan Ijin usaha sewa bangunan Bahan baku* proses finishing* Pemasaran jumlah Kas masuk Penjualan mebel Aliran kas netto ( ) Aliran kas kumulatif ( ) ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 Aliran kas netto terdiskonto ( ) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) ( ) catatan: * pembelian bahan baku dan proses finishing awal 30% lebih banyak dari jumlah order NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,2124 IRR 182%

123 Lampiran 12. Simulasi analisis finansial pengrajin (domestik) Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada umur teknis alat utama 10 tahun 2 Investasi utama (mesin sugu, amplas, potong dan diesel) 3 Konsumsi kayu per bulan 6 m 3 /bulan 4 Jml pcs per m3 16 pcs/m3 (kursi teras) 5 Total tenaga kerja 6 orang tenaga kerja borongan 4 orang tenaga kerja harian 2 orang 6 Hari kerja per bulan 25 hari 7 Bulan kerja per tahun 6 bulan 8 Ijin usaha (SIUP, TDP, dll) Rp/paket 9 suku bunga 18 persen/tahun 10 Kenaikan harga input 0 persen 11 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan kebutuhan investasi alat utama selama periode analisis 106 Jenis alat Satuan (unit) Harga satuan Kebutuhan Unit Rp Bangunan unit Peralatan paket Jumlah Perhitungan biaya persiapan, produksi dan pemasaran per tahun Persiapan Komponen/kegiatan Satuan Harga satuan Bahan baku log (Ø 16-19/OP) Rp/m Transportasi log dan 2 m 3 Rp/colt Biaya gergaji Rp/m Biaya bongkar/muat Rp/m Produksi Tenaga kerja borongan Rp/pcs Tenaga kerja harian Rp/hari/orang amplas Rp/m lem Rp/set sekrup Rp/bungkus alteco Rp/pcs listrik Rp/bulan bahan bakar Rp/liter pemeliharaan alat Rp/bulan Pemasaran Biaya pcs/colt Rp/colt Biaya transaksi Rp/colt Perhitungan pendapatan per tahun Vol penjualan (pcs) Harga jual per pcs Total pendapatan unit Kebutuhan Rp

124 Lampiran 12. (lanjutan) Analisis Aliran Kas Berdiskonto 107 Uraian Tahun ke Kas keluar Investasi bangunan + alat Ijin usaha Persiapan* Produksi* Pemasaran jumlah Kas masuk Penjualan mebel Aliran kas netto ( ) Aliran kas kumulatif ( ) ( ) ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 Aliran kas netto terdiskonto ( ) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) ( ) ( ) ( ) catatan:* persiapan dan produksi mebel awal 5% lebih banyak dari order yang diterima NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,1340 IRR 48%

125 Lampiran 13. Simulasi analisis finansial pengrajin (ekspor) Dasar-dasar perhitungan 1 Periode analisis didasarkan pada umur teknis alat utama 10 tahun 2 Investasi utama (mesin sugu, amplas, potong dan diesel) 3 Konsumsi kayu per bulan 17 m 3 /bulan 4 Jml pcs per m 3 12 pcs/m 3 (kursi) 5 Total tenaga kerja 11 orang tenaga kerja borongan 8 orang tenaga kerja harian 3 orang 6 Hari kerja per bulan 25 hari 7 Bulan kerja per tahun 6 bulan 8 Ijin usaha (SIUP, TDP, dll) Rp/paket 9 suku bunga 18 persen/tahun 10 Kenaikan harga input 0 persen 11 Kenaikan harga output 0 persen Perhitungan kebutuhan investasi alat utama selama periode analisis 108 Jenis alat satuan (unit) harga satuan Kebutuhan Unit Rp Bangunan unit Peralatan paket Jumlah Perhitungan biaya persiapan, produksi dan pemasaran per tahun Persiapan Komponen/kegiatan satuan Harga satuan Bahan baku log (OD) Rp/m Transportasi log dan 2 m 3 Rp/colt Biaya gergaji Rp/m Biaya bongkar/muat Rp/m Produksi Tenaga kerja borongan Rp/pcs Tenaga kerja harian Rp/hari/orang amplas Rp/m lem Rp/set sekrup Rp/bungkus alteco Rp/pcs listrik Rp/bulan bahan bakar Rp/liter pemeliharaan alat Rp/bulan Pemasaran Biaya pcs/colt Rp/colt Biaya transaksi per kirim Rp/colt unit Kebutuhan Rp Perhitungan pendapatan per tahun Vol penjualan (pcs) Harga jual per pcs Total pendapatan

126 Lampiran 13. (lanjutan) Analisis Aliran Kas Berdiskonto 109 Uraian Tahun ke Kas keluar Investasi bangunan + alat Ijin usaha Persiapan* Produksi* Pemasaran jumlah Kas masuk Penjualan mebel Aliran kas netto ( ) Aliran kas kumulatif ( ) ( ) Faktor diskonto 1,000 0,847 0,718 0,609 0,516 0,437 0,370 0,314 0,266 0,225 0,191 Aliran kas netto terdiskonto ( ) Aliran kas kumulatif terdiskonto ( ) ( ) catatan:* persiapan dan produksi mebel awal 5% lebih banyak dari order yang diterima NPV (i=18%) BCR (i=18%) 1,1913 IRR 94%

127 110 Lampiran 14. Analisis nilai tambah pengecer luar negeri Jenis pengeluaran Satuan (unit) Harga satuan Kebutuhan per tahun Unit US$ Rp (1US$ = Rp ) Pengeluaran Harga barang FOB (12.720,5 kg)* US$/kontainer , Ocean freight 20 feet ke USA ** US$/kontainer , Investasi (10 tahun) *** Total investment US$/retailer , , Personal capital US$/retailer , , Total pengeluaran , Pendapatan Harga jual US$/pcs 19, , Keuntungan total US$/tahun , Keuntungan per kontainer US$/kontainer 8.036, Keuntungan per m3 bahan baku US$/m 3 267, Keterangan : *) Disperindagkop Jepara (2007) **) Pebruari 2009] ***) [3 pebruari 2009] Asumsi: 1 kontainer 20 feet ~1260 pcs kursi lipat ~ 30 m3 kayu log Biaya investasi retailer furniture sama dengan biaya investasi untuk retailer furniture "More Space Place" dengan masa kontrak 10 tahun Penjualan per tahun 6 kontainer

128 Lampiran 15. Analisis Indeks Herfindal untuk pasar ekspor mebel Jepara (Berdasarkan data ekspor periode Januari September 2007) No. Eksportir Volume (Kg) pangsa pasar S i No. Eksportir Volume (Kg) pangsa pasar S i 1 ABAD 21 FURNITURE, PT ,46 0, , JEPRO MEUBEL ANTIK, PT ,00 0, , ADHITYA PRAYOGO, CV ,00 0, , JOULLY ANTIQUE, CV ,00 0, , AGR INDONESIA, PT ,00 0, , KAISAR REPROFURNI, CV ,00 0, , AGUST FURNITURE, UD ,50 0, , KALINGGA JATI, CV ,50 0, , AJEG, PT ,00 0, , KALINGGA PUTRA, CV ,46 0, , ALAM AGUNG ABADI, PT ,00 0, , KALINYAMAT, CV ,00 0, , ALAM BARU FURNITURE, UD ,50 0, , KARUNIA MAS JATI, CV ,70 0, , ALAM JATI FURNITURE 5.000,00 0, , KARYA MANDIRI NUSA CITRA, UD ,00 0, , AMIN, UD ,00 0, , KASA EKAPRATAMA 6.525,00 0, , ANDIL KARYA FURNITURE, CV ,90 0, , KELVINDO, CV ,00 0, , ANG FURNITURE, CV ,00 0, , KENCANG MAJU BAROKAH, CV ,00 0, , ANGGRAINI INTERNATIONAL TRADING, CV ,00 0, , KHAREEM FURNITURE, UD 6.070,00 0, , ANNA MODERN, CV ,00 0, , KOBEKS, PT ,00 0, , ANTEX FURNITURE, CV ,50 0, , KONSEP FABRIKA, CV ,22 0, , ANTGECO INDO, UD ,00 0, , KOTA JATI FURINDO, PT ,00 0, , ANTIK JAGA FURNITURE, CV ,00 0, , KRISNA JATI, PT ,00 0, , ANUGERAH ALAM', CV ,00 0, , LAKSANA ,77 0, , APA KABAR, PT ,00 0, , LILIN PANAS MEUBEL, PT ,00 0, , ARJUNA JATI, UD ,00 0, , LINGGARJATI MULIA ABADI, PT ,00 0, , ARSACO ,00 0, , M SULAIMAN, UD 3.125,00 0, , ASCOT JATI, PT ,00 0, , MAESTRO ANTIQUES ,00 0, , ASIA CONCEPT, PT ,40 0, , MAHKOTA FURNITURE ,00 0, , ASRI, CV ,00 0, , MAHKOTA JAYA MANDIRI, PT ,00 0, , ATLANTIS ANTIQUE ,00 0, , MAHOGANY INDO, CV ,30 0, , AULIA JATI INDOFURNI, CV 285,00 0, , MAJAWANA, CV ,00 0, , AULIA YASMIN, UD ,00 0, , MANDIRI ABADI, CV ,20 0, , BAROBA, PT ,00 0, , MANUNGGAL SENTOSA INTERTRADA, PT ,00 0, , BB FURNITURE ,00 0, , MARLENY, PT ,00 0, , BELLA INTERIORS, CV ,00 0, , MARYANTO, CV ,00 0, , BERDIKARI GROUP, CV ,00 0, , MARZUQI FURNITURE, CV ,00 0, , BINA ANTIEK FURNITURE ,00 0, , MASRI FURNITURE, PT ,00 0, , BON MARCHETECK, CV ,00 0, , MAURI INDOFURNI, CV ,80 0, , BONDAN SARI PUTRI ,34 0, , MAXIM INDOWOOD, PT ,94 0, , BRINGIN JATI INDAH, PT 6.782,00 0, , MEBEL ASRI JAYA, UD ,00 0, , BUANA MITRA FURNITURE ,00 0, , MEBELKOE ,50 0, , BUANA MULTI PRATAMA, PT ,00 0, , MEKAR JATI ,68 0, , CAMBIUM FURNITURE, CV ,50 0, , MITA FURNITURE ,50 0, , CANDI BARU ,80 0, , MITRA JAYA, CV ,00 0, , CEPPELLE FURNITURE ,92 0, , MITRA TRADA, UD ,00 0, , CHAKRA NAGA FURNITURE, CV ,50 0, , MONALISA GARDEN FURNITURE, CV ,00 0, , CHIA JIANN INDONESIA FUR, PT ,00 0, , MONDI MEUBLES, CV ,57 0, , CHODY ART GALERY ,00 0, , MUJI JAYA CITRA MANDIRI ,00 0, , CIPTA NUANSA NUSANTARA, CV ,00 0, , MUJI JAYA PUTERA, UD ,90 0, , CITRA BUANA, PT ,73 0, , MULIA FURNITURE INTERNA.., PT ,50 0, , CITRA JATI FURNITURE, CV ,00 0, , MUSTIKA JATI JEPARA FURNITURE 8.000,00 0, , CLASSIC FURNITURE INDO, PT ,25 0, , MUTIARA JEPARA INDOFU.., CV ,00 0, , CRISTA FURNITURE, CV ,00 0, , MUTIARA PERMAI FURNITUR, CV 6.000,00 0, , CUMAFORPASA, CV ,00 0, , NGABUL ANTIQUE, UD ,00 0, , DAE DAE MEBEL INDONESIA, PT ,00 0, , NOBILITA INDONESIA, CV ,00 0, , DANDY FURNITURE, CV ,21 0, , NOVA JATI FURNITURE ,00 0, , DARI HUTAN HOME INTER, PT ,00 0, , OCTO AGUNG, CV ,00 0, , DECORABBANI FURNITURE ,00 0, , OKEY FURNITURE&HANDYCRAFT, CV ,00 0, , DEWI FURNITURE, UD 6.515,00 0, , PANCURAN JATI MAS ,00 0, , DIAN ABADI FURNITURE 8.948,00 0, , PELATUK FURNITURE, CV ,00 0, , DIAN ADI FURNI, PT 4.907,00 0, , PIJAR SUKMA, PT ,00 0, , DIAN MEUBEL, UD ,00 0, , PONDOK JATI, CV ,00 0, , DINALYUS, CV 9.403,20 0, , POSTIQUE OLD TABLE ,00 0, , DINAR AJI, CV ,00 0, , PRESIDENT FURNITURE, CV ,00 0, , DIRAJA SURYA FURNITUR, PT ,00 0, , PRIMA DUTA KENCANA, PT ,70 0, , DUTA JEPARA, CV ,00 0, , PRIMA PUTRA, CV ,00 0, , DUTA MAJU LANCAR, CV ,00 0, , PUNCAK JAYA SEJATI, CV ,00 0, , EDIKA PERMAI FURNITURE, UD ,00 0, , PURI CITRA INDONESIA, CV ,00 0, , EKSOTIKA ABADI, PT ,00 0, , PURI JEPARA FURNITURE, CV ,00 0, , ELS ARTISINDO, CV ,00 0, , PUSPITA INDO PERDANA, CV ,00 0, , ENDIKA PRIMA FURINDO, CV ,00 0, , PUTRA AULIA 2.477,00 0, , EPOS MODERN INDONESIA, PT ,00 0, , RACHMAT, CV ,00 0, , EVER WOOD, PT ,00 0, , RAGIL MANDIRI, UD ,00 0, , EXOTIC INDONESIA, CV ,00 0, , RAISA HOUSE OF EXCELLENT ,00 0, , FURINDO KENCANA, CV 2.408,60 0, , RAMA FURNITURE ,00 0, , FURNESSE, PT ,00 0, , RENDY FURNITURE, CV ,22 0, , FURNINDO INTERNATIONAL, PT ,21 0, , RICO GALLERY, CV ,12 0, , FURNITURE WORLD, PT ,00 0, , RIMBA GARDEN FURNITURE, UD ,00 0, , FURNITURINDO, CV ,00 0, , RIMBA LESTARI, UD ,00 0, , FURNIWELL SINAR JAYA, PT ,00 0, , RINAMAS HAKIKI, CV ,00 0, , GABE INTERNATIONAL, PT ,00 0, , RISH ADI JATI PRATAMA, CV ,00 0, , GAMPING SONO, CV ,00 0, , ROHMAN JAVA, CV ,00 0, , GELAR USAHA CEMERLANG ,12 0, , ROYCE INDONESIA ,00 0, , GEROMAR JEPARA, PT ,00 0, , RUMAH MASA DEPAN, PT ,22 0, , GERSTHA MULIA, PT ,15 0, , SATIN ABADI, PT ,00 0, , GOLD AND SEA INTERNAT, CV ,00 0, , SATU DUA SATU, CV ,00 0, , GRAHA INDAH FURNITURE, CV ,00 0, , SAUDAGAR JEPARA RAYA, PT ,00 0, , GRIYA ADIT TIA, UD ,00 0, , SHAAN NIAGA INDONUSA, PT ,00 0, , HADI FURNITURE, PT ,00 0, , SINAR ABADI, CV ,00 0, , HAMBA JAYA, CV 3.685,00 0, , SIPRA FURNITURE ,50 0, , HANNA MEKAR JATI, CV ,00 0, , SONE FRANSESCO NIAGA, PT 8.890,00 0, , HANSE GARDEN INDONESIA, CV ,00 0, , SRIKANDI RATU FURNITURE ,00 0, , HARAPAN KITA ,00 0, , STARWOOD FURNITURE IN, PT ,00 0, , HASIBUAN DESIGNS, CV ,50 0, , STONE WOOD INDONESIA, PT ,00 0, , HERITAGE MAHONI INDAH, PT 5.300,00 0, , SUI-TIN, CV ,00 0, , HIH, CV ,00 0, , SULAIMAN, UD ,00 0, , IE RUSTICA FURNITURE, CV 3.604,70 0, , SUMBER SARI REJOMULYO, PT ,50 0, , INDO FURNITURE, PT ,45 0, , TALENTA JAVA DESIGN, PT ,75 0, , INDO PACIFIK, CV ,10 0, , TAMAN JATI FURNITURE, UD ,00 0, , INDO WOODEN FURNITURE, CV ,90 0, , TEAK LINE COLLECTION, PT ,55 0, , INNOVASI ARTISTIKA, PT ,00 0, , TECK LINE INDAH, PT 5.391,00 0, , INOVASI FURNITURE, PT ,00 0, , TERATAI FURNITURE, UD ,00 0, , INTACT ANTIQUE ,00 0, , THE HOME MECHANT, CV ,00 0, , INTAN JATI MANUNGGAL, UD 9.200,00 0, , TIPOTA, PT ,00 0, , IRAWAN JATI, CV ,50 0, , TITA INTERNATIONAL, CV ,00 0, , ISTANA MEBEL ,00 0, , TOELOES FURNITURE ,00 0, , ISTANA PERABOT ,00 0, , TRI ER TEAK GARDEN FURNITURE, UD ,00 0, , JANAH FURNITURE, CV 8.395,00 0, , TRI GANESHA FURNITURE, PT ,00 0, , JATI MAKMUR FURNITURE ,00 0, , TRI KUSUMA JATI, UD ,00 0, , JATI MULYA FURNITURE, CV ,40 0, , TROPICAL EXPORT INTER, PT ,00 0, , JATI PRIMA ,00 0, , USAHA JATI, UD ,00 0, , JATI SEMI FURNITURE ,00 0, , V GUL ANTIQUE FURNITURE ,00 0, , JATIROTO EKSPORT IMPORT, CV 4.143,90 0, , VANEA FURNITURE ,00 0, , JAVA NEW NATURAL, CV ,00 0, , VIA EKSPORT, CV ,00 0, , JAWA DIPA, CV ,18 0, , WANA PENGGUNG TRADING, CV ,50 0, , JAWA GOOD WOOD, CV ,00 0, , WARNA CITRASANI, PT ,00 0, , JAYA INDAH FURNITURE, PT 3.377,00 0, , WARWICK PERSADA TUNGGAL, PT 3.267,00 0, , JAYA INDAH FURNITURE, PT ,75 0, , WIHARDJA FURNISHING, CV ,00 0, , JEPARA CARVINDO PRIMA, PT ,00 0, , WING JATI FURNITURE ,86 0, , JEPARA INDOFURNI, PT ,16 0, , WIRASWASTA MUDA MEBEL, CV 8.100,00 0, , JEPARA INTERNATIONAL FURNITURE 5.629,00 0, , ZAMRUD KREASI SELARAS, PT 8.368,00 0, , JEPARA KOBO ,00 0, , TOTAL Volume (Kg) Indeks Herfindahl (H) ,79 0, Catatan: Indeks Herfindahl (H) = (S 1 ) 2 + (S 2 ) (S N ) 2 Dimana: H = Indeks Herfindahl N = Jumlah pedagang (eksportir) yang ada pada satu wilayah S i = Pangsa pembelian mebel dari pedagang (eksportir) ke i (i=1,2,,n)

129 Lampiran 16. Model utama rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara 112

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Industri kecil dan menengah, termasuk industri mebel merupakan hal yang penting bagi Indonesia karena selain memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa, juga menciptakan lapangan

Lebih terperinci

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Mebel

TINJAUAN PUSTAKA Mebel TINJAUAN PUSTAKA Mebel Mebel merupakan salah satu komoditi yang diproduksi dan diperdagangkan secara global. Menurut ITTO (2006), nilai produksi mebel dunia pada tahun 2005 berdasarkan pada data statistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri kecil dan menengah, termasuk industri furniture merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. Industri kecil dan menengah, termasuk industri furniture merupakan hal BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Industri kecil dan menengah, termasuk industri furniture merupakan hal yang penting bagi Indonesia. Furniture merupakan salah satu komoditi yang diproduksi dan diperdagangkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri perkayuan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap perolehan devisa dan pembangunan ekonomi negara. Perkembangan industri kayu di Indonesia dimulai pada

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Perusahaan Mebel Ekspor dengan Benchmarking Rantai Nilai (Studi Kasus PT. X dan PT. Y)

Peningkatan Daya Saing Perusahaan Mebel Ekspor dengan Benchmarking Rantai Nilai (Studi Kasus PT. X dan PT. Y) Petunjuk Sitasi: Putri, L. K., Liquiddanu, E., & Suletra, I. W. (2017). Peningkatan Daya Saing Perusahaan Mebel Ekspor dengan Benchmarking Rantai Nilai. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. F104-110).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT Oleh: Ridwan A. Pasaribu & Han Roliadi 1) ABSTRAK Departemen Kehutanan telah menetapkan salah satu kebijakan yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri

I. PENDAHULUAN. (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha furniture sudah lama dikenal masyarakat Indonesia, bahkan dibeberapa daerah tertentu sudah menjadi budaya turun temurun. Sentra-sentra industri furniture berkembang

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR MEBEL DAN KERAJINAN ROTAN INDONESIA KE JEPANG OLEH IKA VIRNARISTANTI H

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR MEBEL DAN KERAJINAN ROTAN INDONESIA KE JEPANG OLEH IKA VIRNARISTANTI H FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR MEBEL DAN KERAJINAN ROTAN INDONESIA KE JEPANG OLEH IKA VIRNARISTANTI H14084011 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian METODE PENELITIAN 36 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah : Peta-peta tematik (curah hujan, tanah, peta penggunaan lahan, lereng, administrasi dan RTRW), data-data

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA DAN KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KOPERASI HUTAN JAYA LESTARI KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROPINSI SULAWESI TENGGARA

ANALISIS KELAYAKAN USAHA DAN KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KOPERASI HUTAN JAYA LESTARI KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROPINSI SULAWESI TENGGARA ANALISIS KELAYAKAN USAHA DAN KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KOPERASI HUTAN JAYA LESTARI KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROPINSI SULAWESI TENGGARA L. BINTANG SETYADI B. DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ini adalah industri pulp dan kertas. Ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi

I. PENDAHULUAN. ini adalah industri pulp dan kertas. Ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Salah satu subsektor agroindustri yang berkembang pesat di Indonesia pada saat ini adalah industri pulp dan kertas. Ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi pentingnya

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara, meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber

BAB I PENDAHULUAN. negara, meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan merupakan faktor penting untuk merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Perdagangan akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara, meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Indonesia 2,3 & 5 Agustus, 2010 LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Kebijakan dan Konvensi Internasional yang berdampak pada Perdagangan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kajian Penelitian Peranan Ekonomi Kehutanan Peranan ekonomi kehutanan antara lain dapat ditunjukkan oleh kontribusi manfaat pengusahaan hutan alam dalam peningkatan devisa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) merupakan unit usaha yang potensial untuk menopang perekonomian nasional. Usaha Kecil Menengah telah memberikan sumbangan yang nyata

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka dimana lalu lintas perekonomian internasional sangat penting dalam perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok di Indonesia. Beras bagi masyarakat Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik di negara ini. Gejolak

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus

Lebih terperinci

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR Oleh : SURYO PRATOMO L2D 004 354 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

PENETAPAN HARGA JAMINAN POLIS ASURANSI JIWA DENGAN PREMI TAHUNAN DAN OPSI SURRENDER WELLI SYAHRIZA

PENETAPAN HARGA JAMINAN POLIS ASURANSI JIWA DENGAN PREMI TAHUNAN DAN OPSI SURRENDER WELLI SYAHRIZA PENETAPAN HARGA JAMINAN POLIS ASURANSI JIWA DENGAN PREMI TAHUNAN DAN OPSI SURRENDER WELLI SYAHRIZA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KONSEP EKO EFISIENSI DALAM PEMANFAATAN KELUARAN BUKAN PRODUK DI KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU BULAKAN SUKOHARJO TUGAS AKHIR

KONSEP EKO EFISIENSI DALAM PEMANFAATAN KELUARAN BUKAN PRODUK DI KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU BULAKAN SUKOHARJO TUGAS AKHIR KONSEP EKO EFISIENSI DALAM PEMANFAATAN KELUARAN BUKAN PRODUK DI KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU BULAKAN SUKOHARJO TUGAS AKHIR Oleh: HEPILIA KORNILASARI L2D 004 319 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

NILAI WAJAR ASURANSI ENDOWMEN MURNI DENGAN PARTISIPASI UNTUK TIGA SKEMA PEMBERIAN BONUS YUSUF

NILAI WAJAR ASURANSI ENDOWMEN MURNI DENGAN PARTISIPASI UNTUK TIGA SKEMA PEMBERIAN BONUS YUSUF NILAI WAJAR ASURANSI ENDOWMEN MURNI DENGAN PARTISIPASI UNTUK TIGA SKEMA PEMBERIAN BONUS YUSUF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual III. METODE PENELITIAN Nilai tambah yang tinggi yang diperoleh melalui pengolahan cokelat menjadi berbagai produk cokelat, seperti cokelat batangan merupakan suatu peluang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi

I. PENDAHULUAN. Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki banyak peran di Provinsi Bali, salah satunya adalah sebagai sektor pembentuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Lebih terperinci

IDQAN FAHMI BUDI SUHARDJO

IDQAN FAHMI BUDI SUHARDJO RINGKASAN EKSEKUTIF WISHNU TIRTA, 2006. Analisis Strategi Penggunaan Bahan Baku Kayu Bersertifikat Ekolabel Di Indonesia. Di bawah bimbingan IDQAN FAHMI dan BUDI SUHARDJO Laju kerusakan hutan di Indonesia

Lebih terperinci

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Ringkasan Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak sangat ketatnya persaingan, dan cepatnya terjadi perubahan lingkungan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STRATEGI IMPLEMENTASI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (SVLK) PADA INDUSTRI FURNITURE DI INDONESIA. Oleh: Indrawan

STRATEGI IMPLEMENTASI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (SVLK) PADA INDUSTRI FURNITURE DI INDONESIA. Oleh: Indrawan STRATEGI IMPLEMENTASI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (SVLK) PADA INDUSTRI FURNITURE DI INDONESIA Oleh: Indrawan PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Usaha Kecil Menengah Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI Antung Deddy Radiansyah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii RINGKASAN H. Antung Deddy R. Analisis Keberlanjutan Usaha

Lebih terperinci

VALUE CHAIN ANALYSIS (ANALISIS RANTAI PASOK) UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI KOPI PADA INDUSTRI KOPI BIJI RAKYAT DI KABUPATEN JEMBER ABSTRAK

VALUE CHAIN ANALYSIS (ANALISIS RANTAI PASOK) UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI KOPI PADA INDUSTRI KOPI BIJI RAKYAT DI KABUPATEN JEMBER ABSTRAK VALUE CHAIN ANALYSIS (ANALISIS RANTAI PASOK) UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI KOPI PADA INDUSTRI KOPI BIJI RAKYAT DI KABUPATEN JEMBER ABSTRAK Peneliti : Dewi Prihatini 1) mahasiswa yang terlibat : -

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dan termasuk dalam kelompok

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dan termasuk dalam kelompok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dan termasuk dalam kelompok komoditas ekspor unggulan di Indonesia. Komoditas kopi berperan dalam meningkatkan devisa negara

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

RINGKASAN. masyarakat dalam berkesehatan. Instansi ini berfungsi sebagai lembaga

RINGKASAN. masyarakat dalam berkesehatan. Instansi ini berfungsi sebagai lembaga RINGKASAN EJEN MUHAMADJEN. Analisis Kelayakan Usaha Rumah Jamu di Taman Sringanis, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh Ir. Netty Tinaprilla,MM Taman Sringanis merupakan wujud kepedulian terhadap

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berbasis pada sektor pertanian, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi

Lebih terperinci

ANALISIS DETERMINAN EKSPOR KARET INDONESIA DENGAN PENDEKATAN GRAVITY MODEL TESIS. Oleh. Baida Soraya /MAG

ANALISIS DETERMINAN EKSPOR KARET INDONESIA DENGAN PENDEKATAN GRAVITY MODEL TESIS. Oleh. Baida Soraya /MAG 1 ANALISIS DETERMINAN EKSPOR KARET INDONESIA DENGAN PENDEKATAN GRAVITY MODEL TESIS Oleh Baida Soraya 117039030/MAG PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENENTUAN PELUANG BERTAHAN DALAM MODEL RISIKO KLASIK DENGAN MENGGUNAKAN TRANSFORMASI LAPLACE AMIRUDDIN

PENENTUAN PELUANG BERTAHAN DALAM MODEL RISIKO KLASIK DENGAN MENGGUNAKAN TRANSFORMASI LAPLACE AMIRUDDIN PENENTUAN PELUANG BERTAHAN DALAM MODEL RISIKO KLASIK DENGAN MENGGUNAKAN TRANSFORMASI LAPLACE AMIRUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Sehubungan dengan rencana Departemen Kehutanan untuk membuka keran ekspor kayu bulat di tengah

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Oleh : AYU LESTARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Oleh : AYU LESTARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA Oleh : AYU LESTARI A14102659 PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Lebih terperinci

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya &an. hektar terdiri dari hutan permanen, yang menghasilkan pepohonan seperti teak,

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya &an. hektar terdiri dari hutan permanen, yang menghasilkan pepohonan seperti teak, 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya &an hutan tropis dan keanegaraman tumbuhan. Sekitar 60 % dari luas lahan Indonesia seluas 195 juta hektar terdiri dari hutan permanen, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mengandalkan sektor migas dan non migas sebagai penghasil devisa. Salah satu sektor non migas yang mampu memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jabodetabek, dan lain-lain. kayu diantaranya dowel, moulding, pintu, jendela, wood-flooring,

BAB I PENDAHULUAN. Jabodetabek, dan lain-lain. kayu diantaranya dowel, moulding, pintu, jendela, wood-flooring, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri Furniture adalah industri yang mengolah bahan baku atau bahan setengah jadi dari kayu, rotan, dan bahan baku alami lainnya menjadi produk barang jadi furniture

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional adalah melalui perdagangan internasional. Menurut Mankiw. (2003), pendapatan nasional yang dikategorikan dalam PDB (Produk

BAB I PENDAHULUAN. nasional adalah melalui perdagangan internasional. Menurut Mankiw. (2003), pendapatan nasional yang dikategorikan dalam PDB (Produk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nasional adalah melalui perdagangan internasional. Menurut Mankiw (2003), pendapatan nasional yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun,

I. PENDAHULUAN. di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun, komoditas ini juga memberikan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005 penerimaan dari sektor kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SISTEM

BAB IV ANALISA SISTEM 71 BAB IV ANALISA SISTEM 4.1. Analisa Situasional Agroindustri Sutera Agroindustri sutera merupakan industri pengolahan yang menghasilkan sutera dengan menggunakan bahan baku kokon yaitu kepompong dari

Lebih terperinci

DAYA SAING PRODUK-PRODUK INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (KELOMPOK BARANG KAYU DAN HASIL HUTAN) DI KOTA TARAKAN

DAYA SAING PRODUK-PRODUK INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (KELOMPOK BARANG KAYU DAN HASIL HUTAN) DI KOTA TARAKAN Jurnal AGRIFOR Volume XV Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 1412 6885 DAYA SAING PRODUK-PRODUK INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (KELOMPOK BARANG KAYU DAN HASIL HUTAN) DI KOTA TARAKAN Karmini 1 1 Dosen Jurusan Agribisnis,

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA PEMBUKAAN INTERNATIONAL FURNITURE & CRAFT FAIR INDONESIA (IFFINA

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA PEMBUKAAN INTERNATIONAL FURNITURE & CRAFT FAIR INDONESIA (IFFINA SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA PEMBUKAAN INTERNATIONAL FURNITURE & CRAFT FAIR INDONESIA (IFFINA 2016) Jakarta, 10 Maret 2016 Yang terhormat Sdr. Menteri Perdagangan; Sdr. Menteri Lingkungan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEKONVERGENAN BEBERAPA MODEL BINOMIAL UNTUK PENENTUAN HARGA OPSI EROPA PONCO BUDI SUSILO

PERBANDINGAN KEKONVERGENAN BEBERAPA MODEL BINOMIAL UNTUK PENENTUAN HARGA OPSI EROPA PONCO BUDI SUSILO PERBANDINGAN KEKONVERGENAN BEBERAPA MODEL BINOMIAL UNTUK PENENTUAN HARGA OPSI EROPA PONCO BUDI SUSILO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat dinyatakan bahwa perekonomian Indonesia pada tahun 1997 telah mengalami kontraksi dari tahun sebelumnya,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan lokasi penelitian berdasarkan pada potensi hutan rakyat yang terdapat di desa/kelurahan yang bermitra dengan PT. Bina Kayu Lestari Group.

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

MODEL PERDAGANGAN ANTARNEGARA BERDASARKAN AKUMULASI MODAL D A Y A T

MODEL PERDAGANGAN ANTARNEGARA BERDASARKAN AKUMULASI MODAL D A Y A T MODEL PERDAGANGAN ANTARNEGARA BERDASARKAN AKUMULASI MODAL D A Y A T SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi salah satunya fungsi ekonomi. Fungsi hutan

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi salah satunya fungsi ekonomi. Fungsi hutan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas wilayah 750 juta hektar (ha) dengan luas daratan sekitar 187.91 juta ha. Sebesar 70 persen dari daratan tersebut merupakan kawasan hutan. Berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO.

RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO. RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO. 2005. Membangun Keunggulan Kompetitif Melalui Value Chain dalam Perusahaan Hutan Tanaman (Studi Kasus di PT. Musi Hutan Persada). Di bawah bimbingan BUNASOR SANIM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian memegang peranan

I. PENDAHULUAN. pertanian. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian memegang peranan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara pertanian (agraris) yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani atau bergerak di bidang pertanian. Tidak dapat dipungkiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terhadap dunia investasi di Indonesia. Di samping itu, pemerintah juga. internasional adalah Cina dan Mexico (Deperindag, 2002).

I. PENDAHULUAN. terhadap dunia investasi di Indonesia. Di samping itu, pemerintah juga. internasional adalah Cina dan Mexico (Deperindag, 2002). I. PENDAHULUAN A. DESKRIPSI UMUM Pertumbuhan ekonomi nasional berdasarkan proyeksi pemerintah pada tahun 2004, berada pada kisaran angka 4,5%-5% (BPS, 2003). Harapan yang optimis ini dibarengi dengan kebijakan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, pertama, sektor pertanian merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Proposal Usaha Kerajinan Rotan

Proposal Usaha Kerajinan Rotan Proposal Usaha Kerajinan Rotan DISUSUN OLEH ASEP SOPYAN, SP.,M.Si Penata Tk.I Nip. 19650720 199303 1 007 No. Hp 081321782532 1 A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang dengan

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci