PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN DALAM SENGKETA BERSENJATA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN DALAM SENGKETA BERSENJATA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL SKRIPSI"

Transkripsi

1 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN DALAM SENGKETA BERSENJATA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum OLEH NAMA : JEFFRY NIM : DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

2 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN DALAM SENGKETA BERSENJATA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum OLEH NAMA : JEFFRY NIM : DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh, Ketua Departemen Hukum Internasional, Sutiarnoto MS, SH, M.Hum NIP Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II, Prof.Dr. Suhaidi, SH, M.H. Chairul Bariah, SH, M.Hum NIP NIP UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM MEDAN 2009

3 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Penulisan skripsi ini adalah tugas wajib mahasiswa dalam rangka melengkapi tugastugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini diberi judul PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN DALAM SENGKETA BERSENJATA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Skripsi yang telah diselesaikan dengan segenap hati dan pemikiran ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan dan disadari akan adanya kekurangan-kekurangan dalam penyajian maupun dalam materi pembahasan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan diterima dengan baik demi kesempurnaan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan rasa hormat yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang banyak memberikan masukan bagi penulis.

4 3. Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, DFM, M.H, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak Sutiarnoto MS, SH, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak memberikan masukan dan semangat bagi penulis. 6. Bapak Arif, SH, M.H, selaku Sekretaris Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak memberikan masukan dan semangat bagi penulis. 7. Ibu Chairul Bariah, SH, M.Hum, selaku Dosen Wali selama perkuliahan, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang banyak memberikan masukan dan semangat bagi penulis. 8. Bapak Deni Purba, SH, LLM, yang banyak memberikan masukan dan semangat bagi penulis. 9. Seluruh Staff Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan pengetahuan hukum kepada penulis. 10. Ayah dan Ibu tercinta, Ke Kai Cuan dan Siaw Hui Tjokro Adymulya yang telah membesarkan dan menyayangi serta adik tersayang, Jennifer yang banyak memberikan dorongan agar penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat waktu. 11. Dokter muda Fran Efendy, S.Ked, yang senantiasa memberikan semangat bagi penulis. Semangat buat koas nya dok. 12. Ahmad Almaududy Amri, SH, yang banyak memberikan masukan masukan walaupun beda pulau via messenger. Nih..sudah dimasukkin namanya ya. Haha..

5 13. Teman - teman seperjuangan yang banyak membantu penulis dari awal perkuliahan sampai akhir : Darwin, H.C, Kukuh, Jupenris, Anoph & Heru (cepat tamat kalian. jangan habisin uang Negara.hahaha), Defri, Anissa, Yunita, Linawaty, Felicia, Mustika dkk. Tetap semangat semua dan maju terus! 14. Teman teman ILSA USU yang banyak membantu penulis (Leslie, Rendie, Rentha, Deborah, Jessica, Meci, Reyvand, dkk) tetap berkarya! 15. Teman Teman Delegasi USU di MCC UII Yogjakarta (Witra, Maria, Inggrid, Wina, Tere, Iva, Rahmat, Ucup, Brando, Satra, Gading, Boin) atas kerja samanya dan pengalaman tak terlupakan. 16. Sahabat-sahabat penulis tercinta lainnya yang tidak data disebutkan satu persatu yang telah memberikan banyak dukungan moril. Akhir kata penulis mengucapkan selamat membaca dan mengkaji skripsi ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum. Medan, 04 Desember 2009 Hormat Penulis, Jeffry NIM

6 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI... iv ABSTRAKSI... vii BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Perumusan Masalah... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 5 D. Keaslian Penulisan... 6 E. Tinjauan Kepustakaan... 6 F. Metode Penelitian... 9 G. Sistematika BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI SENGKETA BERSENJATA BERDASARKAN HUKUM HUMANITER 13 A. Jenis jenis Sengketa Bersenjata. 13 B. Sengketa bersenjata Internasional C. Sengketa bersenjata non-internasional D. Relevansi Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional dengan

7 Pembagian Jenis Sengketa Bersenjata E. Orang orang yang dilindungi saat Sengketa Bersenjata BAB III. STATUS TENTARA BAYARAN DALAM SENGKETA BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Keberlakuan Hukum dalam Perang B. Private Military Companies/Tentara Bayaran yang Terorganisir.. 41 C. Status Hukum Tentara Bayaran dalam Konflik Bersenjata C.1 Status Tentara Bayaran Menurut Hukum Humaniter Internasional 42 C.2 Status Private Military Companies D. Perkembangan Private Military Companies / Tentara Bayaran yang Terorganisir dalam Perang Modern D.1 Keterlibatan PMCs dalam Berbagai Perang 58 BAB IV. PENEGAKAN HUKUM ATAS TINDAKAN PELANGGARAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH TENTARA BAYARAN

8 DALAM SENGKETA BERSENJATA.. 62 A. Pelanggaran Hukum oleh Tentara Bayaran B. Penegakan Hukum atas pelanggaran yang dilakukan Tentara Bayaran B.1 Penegakan hukum berdasarkan Hukum Humaniter Internasional 65 B.2 Studi kasus B.3 Penegakan hukum terhadap Tentara Bayaran berdasarkan kasus yang terjadi BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA... 83

9 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN DALAM SENGKETA BERSENJATA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL *) Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH **) Chairul Bariah, SH.M.Hum ***) Jeffry ABSTRAKSI Tentara bayaran atau mercenary, juga populer dengan istilah soldier of fortune adalah tentara yang bertempur dan melakukan berbagai operasi militer lainnya dalam sebuah pertempuran demi uang, dan biasanya tidak terlalu memperdulikan ideologi, kebangsaan atau paham politik atas peperangan yang dilakukannya. Dewasa ini berkembang suatu bisnis tentara bayaran. Tentara bayaran tersebut tergabung dalam suatu organisasi yang berbentuk perusahaan yang dikenal sebagai Private Military Companies (PMCs).Keberadaan PMCs sebagai tentara bayaran yang terorganisir, tentunya tak lepas dari hukum dan peraturan. Kebiasaan yang pada umumnya berlaku ketika terjadi perang adalah ketentuan bahwa mereka secara internasional tidak bisa dengan sengaja dijadikan sasaran serangan militer kemudian juga ketentuan bahwa PMCs tidak boleh dilibatkan dalam operasi militer meskipun hanya sebagai pendukung. Adapun masalah yang diangkat dalam penulisan skripsi ini antara lain adalah Bagaimana sengketa bersenjata diatur berdasarkan Hukum Humaniter; Bagaimana status hukum tentara bayaran dalam sengketa bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional dan bagaimana penegakan hukum yang bisa dilakukan atas tindakan pelanggaran hukum berupa kejahatan biasa maupun kejahatan perang yang dilakukan oleh para tentara bayaran dalam peperangan/konflik bersenjata. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud tujuan dari pada penyusunan karya ilmiah ini. Berdasarkan uraian singkat di atas, diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang Hukum Humaniter Internasional. Kata kunci : Tentara Bayaran Sengketa Bersenjata *) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II ***) Mahasiswa Fakultas Hukum

10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tentara bayaran atau Mercenaries, sering juga disebut masyarakat umum dengan istilah soldier of fortune 1. Pada awalnya, kebutuhan terhadap tentara bayaran ini timbul karena kesulitan untuk membentuk atau memiliki suatu angkatan bersenjata yang besar dan tangguh, dan dengan biaya yang tinggi. Oleh karena itu pada waktu dahulu, raja raja di Eropa berkeputusan untuk memiliki suatu pasukan yang kecil namun tangguh. Hal ini dilakukan oleh Raja Charles VII dari Perancis (akhir abad ke- 15), di Itali dan Belanda (abad ke- 16) serta di Inggris. Di Swiss, tentara bayaran Swiss bertugas di Perancis atas permintaan Raja Louis XI, dan mereka tetap setia pada keluaraga kerajaan sampai meletusnya Revolusi Perancis. Keberadaan mereka juga tidak pernah terlepas dari setiap konflik maupun peperangan bahkan sejak peradaban ribuan tahun silam. Tercatat dalam sejarah, Karthago misalnya, menempatkan tentara-tentara bayaran dalam jajaran resmi militernya dalam menghadapi ancaman hegemoni Romawi, tak terkecuali para firaun, raja-raja, shogun memanfaatkan keberadaan mereka dalam perang. Pengertian dari Tentara Bayaran itu sendiri adalah tentara yang bertempur dan melakukan berbagai operasi militer lainnya dalam sebuah pertempuran demi uang, dan biasanya tidak terlalu memperdulikan ideologi, kebangsaan atau paham politik atas 1 Lihat Charles B.MacDonald, The Mighty Endeavor, Encyclopedia Ameriana, Vol. 1, hlm ; lihat juga Herbert H. Rowen, Rutgers The State University, Encyclopedia Americana, Vol. 26, hlm

11 peperangan yang dilakukannya (is a soldier who fights, or engages in warfare primarily for money, usually with little regard for ideological, national or political considerations). 2 Munculnya tentara bayaran umumnya karena adanya konflik-konflik terutama di negara dunia ketiga yang biasanya selalu berkaitan dalam masalah politik, kekuasaan, sumber daya alam dan kepentingan ekonomi, serta masalah agama dan etnis, sehingga menyebabkan penguasa atau pihak-pihak yang terlibat didalamnya meminta bantuan negara-negara lain terutama negara-negara maju. Dewasa ini permintaan atas tentara bayaran tidak hanya demi kepentingan negara-negara yang sedang berkonflik, melainkan juga karena adanya kepentingan rahasia dari negara maju atau negara adikuasa serta untuk kepentingan operasioperasi intelijen sehingga kemudian dikenal dengan istilah perang kotor (dirty war). 3 Tentara bayaran pada umumnya adalah mantan anggota tentara atau anggota tentara yang telah habis masa dinasnya atau tentara yang terpaksa dikeluarkan dari dinas militer baik karena sanksi personel ataupun karena pengurangan personel dalam tubuh angkatan bersenjata. Salah satunya adalah negara Amerika Serikat (untuk selanjutnya akan disingkat penulisannya menjadi AS), yang melakukan banyak pengurangan terhadap personel militernya seiring berakhirnya perang dingin dengan Blok Timur yang ditandai dengan pecahnya Uni Soviet pada akhir tahun 80 an. Pengurangan jumlah personel militer ini kemudian menimbulkan suatu permasalahan sosial dimana banyak mantan tentara yang membutuhkan pekerjaan. Untuk menghindari gejolak sosial, khususnya di negara - negara maju maka dibentuklah suatu perusahaan atau badan usaha yang bersifat swasta yang bergerak dalam jasa keamanan swasta yang dikenal dengan Perusahaan militer swasta (Private Military Contractors atau Private Military Company) untuk menampung mantan 2 Tentara Bayaran, diakses pada tanggal 20 September Ibid.

12 tentara tersebut. Hal ini mengakibatkan AS memiliki personel Private Military Company(ies) (untuk selanjutnya akan disingkat menjadi PMCs) terbesar di dunia saat ini. PMCs umumnya bergerak dalam bidang jasa suplai dan logistik militer serta pelatihan dan pengamanan. Dalam aktifitasnya, ternyata PMCs juga sering terlibat dalam konflik bersenjata dan operasi militer. Pengguna jasa PMCs ini berasal dari berbagai pihak, seperti pemerintah suatu negara atau bahkan pihak swasta dan pihak asing lainnya yang memiliki kepentingan dalam suatu konflik bersenjata. Personel Private Militery Company pada umumnya adalah mereka yang masih dianggap layak untuk berdinas di dalam kemiliteran, juga memiliki keahlian khusus dalam dunia ketentaraan misalnya mantan anggota pasukan khusus yang umumnya disukai karena keterampilannya dan kebiasaan berada dalam unit unit tempur kecil yang mandiri, atau karena keinginan atau jiwa militer yang masih melekat dalam diri para mantan anggota militer, atau karena bayaran yang diperoleh bisa lebih tinggi daripada ketika masih berdinas dalam institusi militer. Kemampuan mereka terkadang lebih dibandingkan tentara reguler bahkan anggota pasukan khusus, dengan perlengkapan dan senjata yang lebih lengkap dan canggih, mereka justru mampu menembus garis depan pertempuran dan menyelesaikan misi dengan sukses. Keberadaan tentara bayaran yang terlibat dalam suatu konflik, mengundang opini negatif bahkan kecaman dari organisasi-organisasi hak asasi manusia. Sering kali keberadaan mereka justru terlibat dalam dunia kriminalitas seperti mafia dan triad yang umumnya terlibat kejahatan lintas negara seperti kasus mafia obat bius atau narkotika. Sedangkan keberadaan tentara bayaran yang tergabung dalam suatu PMCs yang secara hukum diakui di dalam negara tempat perusahaan tersebut didaftarkan, semakin berkembang seiring makin

13 dibutuhkannya mereka dalam peperangan oleh negara-negara yang terlibat konflik bersenjata, maupun pihak ketiga yang memiliki kepentingan atas perang tersebut. Selain itu yang menjadi penyebab berkembangnya bisnis tentara bayaran adalah keuntungan yang besar yang diperoleh tentara bayaran atas jasa mereka dalam peperangan. Eksistensi tentara bayaran yang berbentuk PMCs, ditengah kontroversi benar tidaknya penggunaan tentara bayaran dalam perang, tidak menyurutkan perkembangannya, malah sebaliknya, organisasi tentara bayaran semakin berkembang dengan kompleksitasnya. Dimana ada perang, akan selalu menciptakan peluang bagi tentara bayaran, selama adanya permintaan atas jasa mereka. B. Perumusan Masalah Adapun permasalahan yang akan dibahas pada bab berikutnya adalah : 1. Bagaimana Sengketa Bersenjata diatur berdasarkan Hukum Humaniter? 2. Bagaimana status hukum tentara bayaran dalam sengketa bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional? 3. Bagaimana penegakan hukum yang bisa dilakukan atas tindakan pelanggaran hukum berupa kejahatan biasa maupun kejahatan perang yang dilakukan oleh para tentara bayaran dalam sengketa bersenjata? C. Tujuan dan manfaat penulisan Tujuan tulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui lebih jelas pengaturan Sengketa Bersenjata berdasarkan Hukum Humaniter Internasional.

14 2. Untuk mengetahui status hukum dari tentara bayaran dalam konflik bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional. 3. Untuk mengetahui penegakan hukum yang bisa dilakukan atas tindakan pelanggaran hukum berupa kejahatan biasa maupun kejahatan perang yang dilakukan oleh para tentara bayaran dalam peperangan. Manfaat yang diperoleh dari penulisan ilmiah ini adalah : 1. Secara Teoritis Secara Teoritis, pembahasan mengenai Penegakan hukum terhadap Tentara Bayaran dalam Sengketa Bersenjata ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional adalah dikarenakan pada saat ini sudah banyak berkembang Perusahaan perusahaan yang menawarkan jasa militer swasta berupa tentara bayaran, sehingga melalui pembahasan ini dapat memberikan informasi tentang bagaimana sebenarnya status dari Tentara Bayaran dalam Sengketa Bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional. 2. Secara Praktis Melalui pembahasan ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis berupa pengetahuan bagi institusi-institusi pendidikan seperti fakultas hukum maupun institusi-institusi yang bergerak di bidang hukum humaniter. D. Keaslian Penulisan Skripsi yang berjudul Penegakan Hukum terhadap Tentara Bayaran dalam Sengketa Bersenjata ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional ini tidak pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Skripsi ini merupakan hasil karya penulis sendiri.

15 E. Tinjauan Kepustakaan Penulisan skripsi yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah berkisar di bidang Hukum Humaniter Internasional. Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter. 1. Pengertian Hukum Humaniter. Beberapa definisi Hukum Humaniter menurut para Ahli : a. Menurut Jean Pictet : International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being. 4 b. Menurut Mochtar Kusumaatmadja : bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dari segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. c. Menurut Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, departemen Hukum dan Perundang-undangan merumuskan sebagai berikut : 5 4 Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, hlm.15 5 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, 1980, hlm.5

16 hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang. 2. Asas Hukum Humaniter Dalam hukum humaniter dikenal ada tiga asas utama yaitu : a. Asas kepentingan militer (military necessary) : Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. b. Asas Perikemanusiaan (humanity) : Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan peri kemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. c. Asas Kesatriaan (chivalry) : Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara cara yang bersifat khianat dilarang. 3. TUJUAN HUKUM HUMANITER Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam beberapa kepustakaan, antara lain sebagai berikut:

17 a. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu. b. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebgai tawanan perang. c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini, yang terpenting adalah asas perikemanusiaan. 6 F. Metode Penelitian a. Pendekatan Masalah Berkenaan dengan penelitian hukum ini maka pendekatan masalah yang akan digunakan untuk mengkaji permasalahan yaitu menggunakan pendekatan masalah : 1. Statute approach, yaitu metode pengkajian permasalahan hukum melalui pendekatan perundang-undangan. Undang-undang yang menjadi rujukan / acuan dalam penelitian ini adalah Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949, beserta Protokol Tambahan I 1977 ; 2. Case approach, yaitu metode pengkajian permasalahan hukum melalui pendekatan studi kasus yang terjadi di berbagai negara di Afrika. Kasus yang menjadi bahan penelitian ini adalah kasus keterlibatan Private Military Company sebagai kontraktor yang terlibat dalam konflik bersenjata sebagai bahan perbandingan. 6 Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of the war for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987, hlm. 2, yang menyatakan bahwa : The Law of War aims at limiting and alleviating as much s possible the calamities of war. Therefore, the law of consoliates military needs and requirements of humanity.

18 3. Historical approach, yaitu pengkajian permasalahan hukum melalui pendekatan sejarah. Dalam hal ini sejarah perkembangan tentara bayaran, mulai dari masa dimana masih belum terdapat Hukum Internasional, hingga masa sekarang dimana terdapat pengaturan terhadap tentara bayaran. b. Bahan Hukum Bahan hukum dalam penelitian ini diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam skripsi ini merupakan bahan hukum yang bersifat normatif yang terdiri dari ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berkaitan dengan pengaturan tentara bayaran, khususnya Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 yang mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan tentara bayaran. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berupa studi kepustakaan yaitu dengan membaca buku-buku, media cetak atau media elektronik, termasuk informasi yang didapatkan dari media internet yang terkait dengan tentara bayaran dan perusahaan militer swasta yang bisa dikatakan sebagai tentara bayaran modern. c. Teknik Pengumpulan Bahan Penulisan Berkenaan dengan penelitian hukum yang dilakukan, maka dalam mengumpulkan bahan-bahan hukum, teknik yang dipakai adalah :

19 1. Teknik pengumpulan bahan penulisan melalui studi undang-undang dan peraturan yang terkait dengan pengaturan mengenai tentara bayaran. 2. Teknik pengumpulan bahan penulisan melalui studi literatur yaitu bahan penulisan yang didapat dari buku-buku maupun jurnal yang membahas mengenai tentara bayaran dimana didalamnya terdapat pendapat hukum para pakar hukum. G. Sistematika Penulisan Pada dasarnya, sistematika adalah gambaran-gambaran umum dari keseluruhan isi penulisan ini, sehingga mudah dicari hubungan antara satu pembahasan dengan yang lain secara teratur menurut sistem. Skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang disesuaikan dengan kebutuhan jangkauan penulisan dan pembahasan bab yang dimaksud. Berikut ini garis besar / sistematika dari penulisan ini, yaitu: Bab I merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang segala hal yang umum dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang bagian dari Sengketa Bersenjata dan pengaturannya menurut Hukum Humaniter Internasional. Bab III membahas tentang status hukum tentara bayaran dalam konflik bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional

20 Bab IV ini membahas sanksi sanksi yang bisa dikenakan atas tindakan pelanggaran hukum berupa kejahatan biasa maupun kejahatan perang yang dilakukan oleh para tentara bayaran dalam peperangan / konflik bersenjata. Bab V merupakan merupakan bab yang membahas mengenai kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dari seluruh penulisan yang telah diuraikan dalam bab-bab yang sebelumnya sekaligus memberikan saran-saran terhadap data yang ada. BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP SENGKETA BERSENJATA BERDASARKAN HUKUM HUMANITER A. Jenis Jenis Sengketa Bersenjata Pada dasarnya, jenis jenis perang atau sengketa bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional, dibedakan menjadi 2 yaitu sengketa bersenjata internasional dan

21 sengketa bersenjata non internasional. Perbedaan antara sengketa bersenjata internasional dengan sengketa bersenjata non internasional menurut HHI adalah terletak pada sifat dan jumlah negara yang menjadi pihak dalam sengketa bersenjata tersebut. Sengketa bersenjata internasional digambarkan sebagai perang antara dua negara atau lebih, sedangkan sengketa bersenjata non internasional adalah pertempuran atau perang yang melibatkan negara yang sedang melawan kelompok bersenjata bukan negara. Dengan demikian, apabila negara bertempur dengan kelompok pemberontak, situasi tersebut tetap dianggap sebagai sengketa bersenjata non internasional meskipun pertempuran terjadi sampai di luar teritori negara tersebut. 7 Sementara itu, berbeda dengan yang dimaksud oleh Hukum Humaniter Internasional, masyarakat umum sering memandang sengketa yang melibatkan dua wilayah negara sebagai perang internasional. Sebagai contoh, ketika tentara Israel bertempur dengan pasukan Hezbullah yang sudah bergerak ke wilayah Libanon, masyarakat umum kadang menyebut peristiwa tersebut sebagai perang Internasional. Padahal, menurut Hukum Humaniter Internasional, pertempuran tersebut baru dapat dikatakan sebagai perang internasional apabila yang berperang adalah tentara angkatan bersenjata negara Israel melawan tentara Libanon. Adapun pertempuran antara tentara negara Israel dengan pasukan Hezbullah, dari sudut pandang Hukum Humaniter Internasional, tidak langsung dikategorikan sebagai perang Internasional, kecuali pasukan Hezbullah tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian pasukan angkatan bersenjata resmi negara Libanon atau negara lain selain Israel. 8 7 Ambarwati, Denny Ramdhany dan Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta :PT RajaGrafindo Persada, 2009, hlm Ambarwati, Denny Ramdhany dan Rina Rusman, ibid., hlm. 54

22 Perbedaan penyebutan dan penilaian atas suatu perang dalam negeri kadang kala muncul pula ketika para pihak dalam suatu perang dalam negeri melakukan perjanjian untuk gencatan senjata atau perlindungan rakyat sipil dengan melibatkan pihak negara asing atau organisasi internasional, beberapa kali dilakukan diantara para pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata seperti di Yugoslavia tahun 1994, di Aceh tahun dan di Sudan tahun Masyarakat umum kadangkala mengambil kesimpulan bahwa perjanjian tersebut telah menjadikan perang tersebut menjadi perang internasional, sedangkan Hukum Humaniter Internasional tidak memuat klausula bahwa perhatian masyarakat internasional dapat langsung mengubah status para pihak yang berperang. Dengan kata lain, perjanjian mengenai masalah gencatan senjata dan perlindungan kemanusiaan tidak merupakan pengakuan perolehan status neara pada pihak yang melawan negara. 9 Dari contoh contoh sengketa bersenjata yang disebut di atas, ternyata tidak sedikit sengketa bersenjata non internasional yang terlihat seperti sengketa bersenjata internasional dalam pandangan masyarakat umum. Namun demikian, dapat pula ditemui situasi tertentu yang semula tampak seperti konflik bersenjata non internasional, tetapi kemudian dianggap sengketa bersenjata internasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara antara angkatan bersenjata negara tersebut dengan pasukan pemberontak yang melawan atas dasar kendali dari negara ketiga. Contohnya adalah sengketa bersenjata yang terjadi diantara awal tahun 1992 sampai dengan 19 Mei 1992, di bagian wilayah Bosnia dan Herzegovina antara pasukan Republik Bosnia dan Herzegovina dengan pasukan Federal 9 Ibid.

23 Republik Yugoslavia ( Serbia dan Montenegro ). Dalam hal ini, Republik Federal Yugoslavia mengirim JNA untuk bekerja dengan sundry paramiliary dan pasukan Serbia Bosnia. 10 Di samping itu, terdapat juga situasi yang mirip sengketa bersenjata non internasional, tetapi menurut HHI harus diberlakukan hukum (Hukum Humaniter Internasional) yang berlaku untuk perang internasional. Contohnya adalah penegasan Majelis Umum PBB dalam Resolusi ES/10-14 dan pernyataan ICJ dalam Advisory Opinion 9 July 2004 berkenaan dengan pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional yang termuat dalam seluruh Konvensi Jenewa IV/1949 di wilayah penduduka n Israel atas tanah Palestina. 11 Pemberlakuan seluruh isi ketentuan KJ IV di wilayah pendudukan Israel atas tanah Palestina berarti pertempuran yang dilakukan oleh tentara Israel di wilaya tersebut dianggap sebagai tindakan perang internasional menurut Hukum Humaniter Internasional. Padahal, ada kalangan yang berpendapat bahwa tindakan bersenjata yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap kelompok penduduk bersenjata yang melawannya adalah tindakan perang dalam negeri, karena tergolong sebagai urusan dalam negeri. Adapun menurut Hukum Humaniter Internasional, sebagaimana diindikasikan dalam Advisory Opinion ICJ PBB, tindakan tindakan penguasa dan tentara Israel harus berpedoman kepada Hukum Humaniter Internasional yang berlaku bagi situasi sengketa bersenjata internasional dan situasi pendudukan. Dalam hal ini, ICJ mengemukakan bahwa salah satu yang menjadi faktor penentu bahwa tanah Palestina merupakan wilayah penduduka n Israel adalah kenyataan bahwa tanah Palestina tersebut berada di luar kekuasaan Israel sebelum terjadi konflik bersenjata antara Israel dengan penguasa tanah tersebut. Oleh karena itu, mengingat aturan yang menetapkan bahwa Hukum 10 Keputusan Appeal Chamber (2 Oktober 1995) ICTY pada kasus The Prosecutor vs Tadic, dalam Marco Sassoli dan Antoine A.Bouvier, How Does Law Protect in War?, Geneva: ICRC, 2006, hlm Lihat : ICJ Advisory Opinion 9 July 2004 sebagaimana termuat dalam Marco Sasoli, Geneva 2006, hlm 1152 & 1162.

24 Humaniter Internasional yang berlaku pada waktu bersengkata internasional, maka tindakan perang Israel terhadap kelompok bersenjata penduduk Palestina merupakan tindakan perang Internasional. B. Sengketa Bersenjata Internasional Sengketa bersenjata internasional dinyatakan dalam ketentuan yang bersamaan dari pasal 2 Konvensi Konvensi Jenewa 1949 sebagai sengketa bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih, baik sebagai perang yang diumumkan maupun apabila pernyataan perang tersebut tidak diakui oleh salah satu dari mereka. Penggunaan istilah sengketa bersenjata, dalam ketentuan tersebut, berguna untuk mengurangi kemungkinan argumentasi bagi negara yang berkeinginan menolak pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional dengan alasan tindakan yang dilakukannya belum termasuk dalam tindakan perang. Sebab, rumusan dalam Pasal 2 Konvensi tersebut menunjukkan, setiap perbedaan yang muncul antara dua negara dan menyebabkan intervensi angkatan bersenjata adalah sengketa bersenjata, sekalipun salah satu pihak tidak mengakui keberadaan keadaan perang. Hukum Humaniter Internasional untuk sengketa bersenjata internasional juga berlaku di wilayah yang sebagian atau keseluruhannya sedang mengalami pendudukan oleh pasukan asing. Hukum Humaniter Internasional tersebut berlaku waaupun pasukan pendudukan tidak mengalami perlawanan dari rakyat setempat. 12 Berkenaan dengan pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional, Protokol Tambahan 1 menetapkan jenis situasi sengketa bersenjata internasional atau situasi yang 12 Pasal 2 paragraf 2 Konvensi Jenewa 1949

25 disamakan dengan sengketa bersenjata internasional, yang sebelumnya, tidak ditegaskan dalam Konvensi-konvensi Jenewa Dalam hal ini, ditetapkan bahwa situasi yang menurut Hukum Humaniter Internasional disamakan dengan perang internasional tersebut adalah sengketa sengketa bersenjata, dimana suku bangsa (peoples) sedang bertempur melawan dominasi kolonial dan pendudukan asing dan melawan sistem pemerintahan rasialis dalam rangka memenuhi haknya untuk menentukan nasibnya, sebagaimana disebut dalam Piagam PBB dan Deklarasi Prinsip prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan baik dan kerja sama Antar negara sesuai dengan Piagam PBB. Sengketa demikian sering disebut dengan istilah perang pembebasan (war of national liberation). Penetapan aturan Hukum Humaniter Internasional yang demikian, terhadap wars of national liberation ini, sebab menyebabkan perdebatan panas dalam pembentukan Protokol Tambahan I. Namun demikian, aturan tersebut ditetapkan sebagai penyesuaian terhadap perkembangan yang terjadi di PBB semenjak tahun 1960, yaitu diakuinya the right of all peoples and all nations to self-determination, including Non-Self-Governing and Trust Territories (hak semua suku bangsa dan semua bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk juga teritori-teritori yang tidak berpemerintah sendiri dan di bawah perwalian). 14 Masih berkenaan dengan pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional, kelompok bersenjata bukan negara yang menjadi pihak dalam perang pembebasan nasional (war of national liberation) ternyata juga mempunyai kesempatan untuk menyatakan keterikatannya. Dalam hal ini, pihak penguasa yang mewakili kelompok tersebut dapat menyatakan 13 Pasal 1 paragraf 4 Protokol Tambahan I/ Lihat Resolusi-resolusi Majelis Umum PBB, a.l, no. 545 (VI), no. 637 (VIII), 1514 (xv), 2125 (XX) sebagaimana disebut dalam Yves Sandoz, Christophe Swinarski, Bruno Zimmerman (eds), Commentary on the Additional Protocols of 8 June 1977 to the Geneva Conventions of 12 August 1949, ICRC Martinus Nijhoff Publisers, Geneva 1987.

26 kemampuannya menghormati dan melaksanakan Hukum Humanter Internasional. 15 Namun demikian, kesempatan tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai cara bagi kelompok tersebut untuk memperoleh pengakuan sebagai negara. Sebagai contoh, adalah pernyataan Komite Eksekutif PLO yang disampaikan oleh Observer Tetap Palestina untuk PBB kepada pihak Negara Swiss. Selanjutnya pada tanggal 13 September 1989, Negara Swiss, sebagai negara penyimpan dokumen pernyataan pengesahan negara terhadap beberapa perjanjian Hukum Humaniter Internasional, menyampaikan kepada negara negara bahwa pernyataan tersebut tidak menempatkan Swiss pada posisi untuk menentukan status kenegaraan Palestina. Hal itu ditetapkan juga oleh ICJ PBB (Mahkamah Keadilan Internasional PBB), walaupun ICJ PBB menegaskan keharusan pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional, termasuk khususnya Hukum Humaniter Internasional untuk wilayah yang berada dalam pendudukan pasukan asing, terhadap wilayah pendudukan Palestina. 16 C. Sengketa Bersenjata Non Internasional Pasal 3 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menentukan aturan aturan Hukum Humaniter Internasional dan kewajiban para pihak yang berkonflik untuk melindungi korban perang dalam perang yang tidak bersifat internasional. Namun pasal tersebut tidak memberikan kriteria atau defenisi sengketa bersenjata non internasional. Kriteria tentang sengketa bersenjata non internasional dimuat dalam Protokol Tambahan II/1977 tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Non Internasional. Disebutkan, sengketa 15 Pasal 96 paragraf 3 Protokol Tambahan I/ ICJ Advisory Opinion tertanggal 9 juli 2004 tentang Konsekuensi Hukum atas Pembangunan Dinding di Wilayah Palestina yang Diduduki sebagaimana dimuat dalam Marco Sasoli, Geneva 2006, hlm 1152 & 1162.

27 bersenjata non internasional yang dimaksud dalam Protokol Tambahan II/1977 adalah sengketa bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang terorganisasi dibawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan kendali yang sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan aturan hukum humaniter internasional yang termuat dalam Protokol Tambahan II/1977. Dari perjanjian yang disebut di atas, aturan Hukum Humaniter Internasional yang termuat dalam pasal 3 Konvensi Jenewa dapat langsung berlaku pada setiap sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Adapun aturan dalam Protokol Tambahan II/1977 baru mengikat negra apabila pihak pemberontak telah memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata lain, untuk menentukan pemberlakuan aturan Protokol Tambahan II/1997, perlu dilihat bahwa yang dihadapi oleh pasukan bersenjata negara tertentu adalah pasukan pemberontak yang mempunyai unsur atau kriteria sebagai berikut : 1. Merupakan kelompok bersenjata terorganisasi; 2. Berada di bawah komando yang bertanggung jawab; 3. Melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayah; 4. Mampu melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan; 5. Mampu menerapkan aturan aturan hukum humaniter Internasional yang termuat dalam Protokol Tambahan II/1977.

28 Dalam perkembangannya, khususnya dalam kesepakatan yang termuat dalam Statuta Roma 1998, pemberlakuan aturan Hukum Humaniter Internasional untuk sengketa bersenjata non internasional tidak lagi memerlukan syarat bahwa pasukan pemberontak tersebut telah melakukan kendali atas sebagian wilayah dan berada di bawah komando yang bertanggung jawab. Asalkan konflik berkelanjutan dan pemberontak yang dihadapi adalah kelompok terorganisasi, maka negara dan pihak pemberontak terikat untuk mematuhi Hukum Humaniter Internasional. D. Relevansi Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional dengan pembagian Jenis Sengketa Bersenjata Dalam berbagai kesepakatan atau perjanjian internasional berkenaan dengan Hukum Humaniter Internasional, jelas bahwa sedikitnya ada dua jenis perang atau sengketa bersenjata yang sering disebut dan dibedakan satu sama lainnya, yaitu sengketa bersenjata internasional dan sengketa bersenjata non internasional. Umumnya pembagian itu dilakukan untuk membedakan atau menetapkan aturan dari hukum humaniter internasional yang seharusnya diberlakukan pada masing masing situasi tersebut. Aturan aturan Hukum Humaniter Internasional yang merupakan bagian dari hukum Internasional, lebih banyak ditujukan untuk diberlakukan pada situasi sengketa bersenjata internasional. Hal ini dapat dipahami, mengingat situasi sengketa bersenjata internasional, atau perang sipil biasanya dianggap sebagai persoalan dalam negeri oleh pemerintah negara yang menghadapinya. Oleh karena itu, keinginan pemerintah negara untuk melepaskan

29 kedaulatannya kepada hukum internasional berkenaan dengan perang dalam negeri agak terbatas jika dibandingkan dengan perang melawan negara lainnya atau perang internasional. Ketegasan bahwa aturan Hukum Humaniter Internasional ditujukan untuk diberlakukan pada situasi sengketa bersenjata internasional jelas termuat dalam Konvensikonvensi Jenewa Adapun ketentuan-ketentuan dalam konvensi Jenewa 1949, yang dengan tegas mengatakan wajib berlaku untuk sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional adalah ketentuan yang termuat dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, yang dikenal sebagai aturan Hukum Humaniter Internasional yang paling utama atau disebut sebagai standard minimum humaniter. Aturan ini berlaku pada semua jenis konflik bersenjata, antara lain mengatur kewajiban para pihak yang berkonflik untuk memberikan perlakuan yang manusiawi kepada para korban serta memberikan kesempatan kepada para korban untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk dengan memungkinkan mereka memperoleh bantuan kemanusiaan yang diperlukan dari pihak pihak netral yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Ketika aturan aturan Hukum Humaniter dilengkapi dengan dua Protokol Tambahan 1977, aturan tambahan dalam situasi sengketa bersenjata Internasional masih lebih lengkap dibandingkan dengan aturan untuk sengketa bersenjata non internasional. Sebagaimana dapat dilihat, Protokol Tambahan 1/1977 Tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Internasional terdiri dari 102 pasal sedangkan Protokol Tambahan II/1977 Tentang Perlindungan Korban Sengketa non internasional terdiri dari 28 pasal. Saat ini, perkembangan sistem Hukum Humaniter Internasional menunjukkan ada beberapa aturan yang semula hanya untuk diberlakukan pada situasi sengketa bersenjata internasional, tetapi kemudian dinyatakan juga berlaku untuk situasi bersengketa non-

30 internasional. Sebagai contoh, aturan-aturan Hukum Humaniter Internasional yang termuat dalam konvensi PBB 1980 tentang Senjata konvensional tertentu telah diamandemen pada tahun 2001 sehingga aturan Hukum Humaniter Internasional tentang Larangan dan Pembatasan Penggunaan Senjata Konvensional yang termuat dalam konvensi 1980 tersebut, juga diperluas berlakunya dari sekedar untuk sengketa bersenjata internasional. Dengan demikian, aturan aturan Hukum Humaniter Internasional yang semula untuk sengketa bersenjata internasional menjadi berlaku juga untuk situasi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional atau sengketa bersenjata non internasional. Perluasan pemberlakuan ini juga telah disepakati berkenaan dengan aturan aturan hukum Humaniter Internasional yang termuat dalam Perjanjian Ottawa tentang Larangan Penggunaan, Penimbunan Produksi dan Pengiriman Ranjau Anti Personal serta tentang Penghancurannya yang termuat dalam Konvensi-konvensi Tentang Perlidungan Benda-benda Budaya. Kecenderungan Hukum Internasional meluas ke wilayah sengketa bersenjata non internasional, dapat pula dilihat dari perhatian masyarakat internasional terhadap pelanggaran pelanggaran hukum humaniter internasional yang terjadi dalam perang dalam negeri. Sebagai contoh, perhatian masyarakat internasional untuk menyelenggarakan peradilan atau penegakan hukum terhadap pelanggaran pelanggaran hukum yang terjadi semasa konflik di Rwanda maupun Yugoslavia. Bahkan, dalam Statuta Roma 1998 yang memuat dasar-dasar pembentukan dan penyelenggaraan Mahkamah Pidana Internasional, ditegaskan pula bahwa Mahkamah Pidana Internasional mempunyai Yurisdiksi terhadap pelanggaran Hukum Humaniter Internasional semasa perang yang tidak bersifat internasional atau sengketa bersenjata non internasional. Padahal, Konvensi Konvensi Jenewa 1949 dan

31 Protokol Tambahan 1977 menekankan perlunya kerja sama internasional dalam penegakan hukum hanya terhadap pelaku pelanggaran berat yang terjadi semasa perang internasional. Sejauh ini, memang telah terdapat aturan aturan serupa bagi kedua jenis konflik berkenaan perilaku terhadap korban perang dan tentang penggunaan alat dan cara perang. Namun demikian, keabsahan status kombatan bagi anggota angkatan perang internasional belum dapat diakui oleh negara atas pemberontak yang dihadapinya dalam konteks perang dalam negeri. Begitu juga, hak atas status tawanan yang ditahan oleh pihak negara lawan belum dapat diakui oleh pemerintah negara terhadap anggota pemberontak yang ditahannya. Oleh karena itu, pembedaan sengketa bersenjata internasional dengan sengketa bersenjata non internasional masih relevan. E. Orang Orang Yang Dilindungi Saat Sengketa Bersenjata Dalam Hukum Perang, sering terdengar istilah hors de combat. Istilah tersebut merupakan istilah dari bahasa Perancis yang ditujukan terhadap kombatan yang luka-luka, sakit, korban karam, atau yang menyerah dan tidak mempunyai daya atau kemampuan lagi untuk memberikan perlawanan kepada musuhnya, maka disebut sebagai hors de combat ( out of combat ). Apabila terdapat seorang kombatan yang berada dalam keadaan hors de combat, dan jatuh ke tangan pihak musuh, maka ia harus dikumpulkan dan dirawat, dan mendapatkan status sebagai tawanan perang (prisoner of war). Dalam ketentuan pasal 4A Konvensi III menyatakan mereka yang berhak mendapatkan status sebagai tawanan perang yang termasuk dalam kategori kombatan adalah :

32 1. Para anggota angkatan perang dari pihak yang bersengketa, anggota-anggota misili atau korps sukarela yang merupakan dari angkatan perang itu; 2. Para anggota milisi lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisasikan (organized resistance movement) yang tergolong pada satu pihak yang bersengketa dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun tempat itu diduduki; 3. Para anggota angkatan perang reguler yang menyatakan kesetiaannya pada satu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan; 4. Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang tatkala musuh mendekat, atas kemauannya sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang datang menyerbu, tanpa memiliki waktu yang cukup untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata secara teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terbuka dan menghormati hukum dan kebiasaan berperang. 17 adalah : Sedangkan yang termasuk dalam kategori penduduk sipil dalam Pasal 4 Konvensi ini 1. orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dalam angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, leveransir, anggota kesatuan-kesatuan kerja atau dinasdinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang yang disertainya dan dilengkapi diri mereka dengan sebuah kartu pengenal. 17 Arlina. Dasar-dasar Hukum Humaniter Internasional. Bab 9 Orang-orang yang dilindungi pada saat sengketa bersenjata. Hal

33 2. awak kapal niaga termasuk nahkoda, pandu laut, dan taruna serta awak pesawat tebang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang lebih baik menurut ketentuan-ketentuan apapun dalam hukum internasional. Menurut Gasser, mereka inilah yang disebut sebagai defenceless person (orang-orang yang kurang mendapatkan perlindungan). Pada prinsipnya, terhadap mereka, pihak-pihak yang bersengketa harus melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut : Menjamin penghormatan, artinya mereka harus diperlakukan secara manusiawi; 2. Menjamin perlindungan, artinya mereka harus dilindungi dari ketidakadilan dan bahaya yang mungkin timbul dari suatu peperangan, dan terhadap kemungkinan atas perkosaan integritas kepribadian mereka. Harus ada tindakan-tindakan yang perlu untuk menjamin hal ini; 3. Memberikan perawatan kesehatan, artinya mereka berhak atas perawartan kesehatan yang setara dan tidak boleh diabaikan, walaupun ia pihak musuh. Gasser meringkas perlakuan yang diberikan kepada tawanan perang sebagaimana diatur dalam Konvensi III sebagai berikut: Pada waktu tertangkap, para tawanan diwajibkan memberikan keterangan mengenai nama, pangkat, tanggal lahir dan nomor anggotanya. Mereka tidak boleh dipaksa memberikan keterangan lebih jauh dalam keadaan apapun. Penyiksaan dan perlakuan kejamterhadap mereka dipandang sebagai kejahatan perang; 18 Arlina., op. cit, hlm Arlina, op.cit, hlm

34 2. Segera setelah tertangkap, tawanan perang berhak dilengkapi kartu penangkapan. Kartu penangkapan ini selanjutnya dikirim ke Biro Penerangan Resmi di negara asal tawanan perang melalui Badan Pusat Pencarian ICRC. Badan Pusat Pencarian ini memiliki tugas memberikan keterangan kepada keluarga para tawanan. Dengan cara ini maka hubungan tawanan dengan keluarga mereka dapat tetap dijalin; 3. Secepatnya para tawanan perang harus dipindahkan dari kawasan berbahaya ke tempat yang aman. Kondisi kehidupan mereka harus setara dengan kondisi kehidupan dari anggota angkatan perang negara penawan yang tinggal ditempat itu; 4. Sedapat mungkin kondisi penawanan mempertimbangkan adat dan kebiasaankebiasaan yang dilakukan para tawanan; 5. Para tawanan yang sehat, dapat diminta untuk bekerja, tetapi mereka dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya, apabila mereka menyetujuinya. Contohnya dalam hal ini adalah pekerjaan membersihkan ranjau; 6. Tawanan perang boleh melakukan korespondensi dengan keluarganya. Mereka juga boleh menerima bantuan dalam bentuk bingkisan perorangan; 7. Tawanan perang tunduk kepada hukum negara penahan, khususnya hukum yang berlaku untuk angkatan bersenjata; 8. Tawanan yang dihukum berhak mendapatkan jaminan peradilan yang wajar dan bila terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman, maka ia tetap berstatus sebagai tawanan perang. Artinya setelah menjalani hukumannya, ia berhak untuk dipulangkan kembali ke negara asalnya; 9. Dilarang melakukan tindakan pembalasan (reprisal) terhadap tawanan perang.

35 Tindakan berikut ini dengan hormat tidak boleh dilakukan kepada tawanan perang dan kombatan : 1. Kekerasan terhadap hidup seseorang terutama segala bentuk pembunuhan, mutilasi, perlakuan kejam dan penganiayaan; 2. Penyanderaan; 3. Menghina martabat seseorang, terutama perlakuan yang tidak manusiawi dan bersifat merendahkan; 4. Mendahului hukum dan melakukan eksekusi tanpa keputuan hukum tetap dari pengadilan, memberikan semua jaminan pengadilan yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang beradab. Hak mendasar yang diperoleh kombatan dan tawanan perang antara lain : 1. Mendapatkan makanan sehingga kesehatan mereka terjamin; 2. Mendapatkan pakaian yang layak (seragam tawanan); 3. Para kombatan dan tawanan perang harus dilindungi dari kekerasan atau intimidasi, penghinaan dan dipertontonkan kepada public; 4. Para kombatan dan tawanan perang itu harus dibebaskan dan dikembalikan segera setelah terjadi gencatan senjata; Setiap perlakuan yang menyimpang dari pihak penahan adalah dilarang keras dan dikategorikan sebagai pelanggaran yang amat serius terhadap Konvensi Jenewa. Sehingga untuk memberikan pemahaman tentang peran Hukum Humaniter Internasional dalam upaya Harmonisasi Hukum Nasional terutama dalam mengiplementasikan Konvensi Jenewa Tahun 1949 mengenai Perlindungan Perang (International Conventions for the Protection of Victims

36 of War) kedalam Sistem Hukum Nasional. Misalnya Indonesia, yang menyatakan ikut dalam Konvensi tersebut dengan cara aksesi berdasarkan Undang-undang No. 59 tahun 1958 yang mencakup Konvensi Jenewa mengenai : (1) Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat. (2) Perbaikan Keadaan Anggota Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam. (3) Perlakuan Tawanan Perang. (4) Mengenai Perlindungan Sipil di Waktu Perang. Selain itu, Indonesia sendiri masih ditunggu untuk meratifikasi Protokol Tambahan I dan II untuk Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 yang menyangkut: Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional (Protokol I) dan mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-Internasional (Protokol II). HHI adalah seperangkat aturan yang membatasi penggunaan senjata dan cara berperang. Aturan ini menjadi penting untuk diterapkan dan perlu terus di diseminasikan mengingat kecendrungan korban sipil dalam perang terus meningkat. Hukum Humaniter Internasional ini adalah salah satu instrumen terkuat yang dimiliki oleh masyarakat Internasional untuk memastikan keselamatan dan martabat manusia di masa perang. Dari sinilah muncul peran Hukum Humaniter Internasional yang pada pokoknya berupaya memelihara kemanusiaan, dengan berpedoman pada prinsip bahwa perang pun ada batas-batasnya. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang sering disebut juga Konvensi Palang Merah, mencakup empat buah konvensi salah satunya adalah Konvensi

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 :

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 : Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS PENGGUNAAN SENJATA KIMIA OLEH SURIAH S K R I P S I

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS PENGGUNAAN SENJATA KIMIA OLEH SURIAH S K R I P S I TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS PENGGUNAAN SENJATA KIMIA OLEH SURIAH S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : STEFFY 100200092

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perang adalah suatu kondisi dimana terjadinya pertikaian antara para pihak yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu untuk

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Makalah Hukum Humaniter Internasional) Oleh : PRISCA

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA Oleh : I Gede Bagus Wicaksana Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap sengketa bersenjata,

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG Oleh: Ivan Donald Girsang Pembimbing : I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dalam hal ini negara yang dimaksud yaitu negara yang berdaulat. 1 Sebagai subjek hukum internasional,

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL SKRIPSI

PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL SKRIPSI PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum DISUSUN OLEH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini negara-negara enggan mendeklarasikan keterlibatannya secara terus terang dalam situasi konflik bersenjata sehingga sulit mendefinisikan negara tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat syarat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut. 1. Pandangan Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

KEGIATAN EKSPOR IMPOR DAN CARA PEMBAYARAN YANG DITERIMA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

KEGIATAN EKSPOR IMPOR DAN CARA PEMBAYARAN YANG DITERIMA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL KEGIATAN EKSPOR IMPOR DAN CARA PEMBAYARAN YANG DITERIMA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum OLEH

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter?

BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter? BAB I PENDAHULUAN 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tujuan utama pembentukan Konvensi Jenewa 1949 adalah untuk memberikan perlindungan bagi korban perang terutama kepada penduduk sipil. Perlindungan ini berlaku dalam setiap

Lebih terperinci

PERUBAHAN ENTITAS PALESTINA OLEH PBB DAN EKSISTENSINYA SEBAGAI NEGARA PEMANTAU NON ANGGOTA SKRIPSI. Di susun dan Diajukan untuk memenuhi

PERUBAHAN ENTITAS PALESTINA OLEH PBB DAN EKSISTENSINYA SEBAGAI NEGARA PEMANTAU NON ANGGOTA SKRIPSI. Di susun dan Diajukan untuk memenuhi PERUBAHAN ENTITAS PALESTINA OLEH PBB DAN EKSISTENSINYA SEBAGAI NEGARA PEMANTAU NON ANGGOTA SKRIPSI Di susun dan Diajukan untuk memenuhi Syarat-syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas

Lebih terperinci

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERHADAP NEGARA-NEGARA BERKONFLIK (KASUS INVASI IRAK KE KUWAIT 1990 DAN PERANG KOREA 1958 DITINJAU DARI SEGI HUKUM INTERNASIONAL) S K R I P S I Disusun

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL S K R I P S I

PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL S K R I P S I PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL S K R I P S I Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DARI TINDAK PERKOSAAN DI WAKTU PERANG

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DARI TINDAK PERKOSAAN DI WAKTU PERANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DARI TINDAK PERKOSAAN DI WAKTU PERANG SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : YULIA INDRIANI 060200218

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Skripsi Disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Skripsi Disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara PERAN PBB SEBAGAI ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA YURISDIKSI NEGARA ANGGOTANYA DALAM KASUS STATE IMMUNITY ANTARA JERMAN v. ITALIA TERKAIT KEJAHATAN PERANG NAZI Skripsi Disusun dan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah 59 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Menurut ketentuan dalam Hukum Humaniter Internasional tentang prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army (FSA) berhak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL SKRIPSI. Oleh: LI PEI JUNG NIM:

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL SKRIPSI. Oleh: LI PEI JUNG NIM: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Oleh:

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Levina Yustitianingtyas Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya Email : firman.yusticia86@gmail.com ABSTRAK Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi arab. Perang ini diawali oleh unjuk rasa di Benghazi pada 15 Februari 2011,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA LEGAL PROTECTION FOR CHILDREN IN THE MIDST OF ARMED CONFLICTS Enny Narwati, Lina Hastuti 1 ABSTRACT The purposes of the research are to understand

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA DALAM PERJANJIAN ANGKUTAN KARGO MELALUI PENGANGKUTAN UDARA

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA DALAM PERJANJIAN ANGKUTAN KARGO MELALUI PENGANGKUTAN UDARA TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA DALAM PERJANJIAN ANGKUTAN KARGO MELALUI PENGANGKUTAN UDARA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KONFLIK BERSENJATA. William Wijaya NIM : DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KONFLIK BERSENJATA. William Wijaya NIM : DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KONFLIK BERSENJATA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari pada peperangan. Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL TERHADAP KERUGIAN YANG TIMBUL BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL TERHADAP KERUGIAN YANG TIMBUL BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 SKRIPSI TINJAUAN HUKUM TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL TERHADAP KERUGIAN YANG TIMBUL BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak hal mengalami perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan teknologi akan mempengaruhi cara

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DUTA BESAR ITALIA YANG DITAHAN DI INDIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI

PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DUTA BESAR ITALIA YANG DITAHAN DI INDIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DUTA BESAR ITALIA YANG DITAHAN DI INDIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar baik

Lebih terperinci

PENULISAN HUKUM (Skripsi)

PENULISAN HUKUM (Skripsi) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENDUDUK SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA ANTARA GERAKAN ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA (ISIS) DENGAN PEMERINTAH IRAK DAN SURIAH PENULISAN HUKUM (Skripsi) Disusun dan Diajukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (ICONOCLAST) SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Oleh: Made Panji Wilimantara Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S Pembimbing II: I Made Budi Arsika, S.H.,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014 RESTRUKTURISASI DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM RANGKA MEMELIHARA DAN MENJAGA PERDAMAIAN DAN KEAMANAN INTERNASIONAL DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sangat menonjol. Hal ini memerlukan perhatian yang bersungguh-sungguh, karena sangat

PENDAHULUAN. yang sangat menonjol. Hal ini memerlukan perhatian yang bersungguh-sungguh, karena sangat PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah hak asasi manusia merupakan isu internasional dan menjadi bahan perbincangan yang sangat menonjol. Hal ini memerlukan perhatian yang bersungguh-sungguh, karena sangat

Lebih terperinci

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum TINJAUAN YURIDIS PENDIRIAN YAYASAN OLEH ORANG ASING BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NO 63 TAHUN 2008 SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang adalah suatu istilah yang tidak asing lagi bagi manusia yang ada di dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan sejarah umat

Lebih terperinci

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad PELATIHAN HAM DASAR DOSEN HUKUM HAM SE-INDONESIA Singgasana Hotel Surabaya, 10 13 Oktober 2011 MAKALAH Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

Lebih terperinci

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Hukum Humaniter Internasional a. Definisi Hukum Humaniter Internasional Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG TANGGUNGJAWAB NEGARA DALAM PENCEMARAN UDARA LINTAS BATAS

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG TANGGUNGJAWAB NEGARA DALAM PENCEMARAN UDARA LINTAS BATAS PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG TANGGUNGJAWAB NEGARA DALAM PENCEMARAN UDARA LINTAS BATAS (STUDI KASUS:KABUT ASAP KEBAKARAN HUTAN DI PROVINSI RIAU DAMPAKNYA TERHADAP MALAYSIA-SINGAPURA) SKRIPSI Diajukan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 PERANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT DI MYANMAR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERDAMAIAN DUNIA SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN. (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan) SKRIPSI

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN. (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan) SKRIPSI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Lebih terperinci

STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) NEGARA NEGARA KEPULAUAN BERDATARAN RENDAH (LOW-LYING ISLAND NATIONS) YANG SELURUH WILAYAHNYA TERENDAM AIR LAUT SKRIPSI

STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) NEGARA NEGARA KEPULAUAN BERDATARAN RENDAH (LOW-LYING ISLAND NATIONS) YANG SELURUH WILAYAHNYA TERENDAM AIR LAUT SKRIPSI STATUS KENEGARAAN (STATEHOOD) NEGARA NEGARA KEPULAUAN BERDATARAN RENDAH (LOW-LYING ISLAND NATIONS) YANG SELURUH WILAYAHNYA TERENDAM AIR LAUT SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH. A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH. A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak korban Perang. Konflik bersenjata di Suriah diawali dengan adanya pemberontakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konflik Hizbullah-Israel dimulai dari persoalan keamanan di Libanon dan Israel yang telah

I. PENDAHULUAN. Konflik Hizbullah-Israel dimulai dari persoalan keamanan di Libanon dan Israel yang telah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik Hizbullah-Israel dimulai dari persoalan keamanan di Libanon dan Israel yang telah terjadi atau mempunyai riwayat yang cukup panjang. Keamanan di wilayah Libanon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan. Manusia diciptakan bersuku suku dan berbangsa bangsa untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan. Manusia diciptakan bersuku suku dan berbangsa bangsa untuk saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya semua manusia mendambakan untuk hidup dalam suasana damai, tenteram, dan sejahtera, bahkan tak satupun makhluk hidup ini yang suka akan penderitaan.

Lebih terperinci

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN BERSENJATA INTERNASIONAL (PROTOKOL I) DAN BUKAN INTERNASIONAL

Lebih terperinci

KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI PELANGGARAN HAM BERAT TERHADAP PENDUDUK SIPIL DI REPUBLIK AFRIKA TENGAH DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI

KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI PELANGGARAN HAM BERAT TERHADAP PENDUDUK SIPIL DI REPUBLIK AFRIKA TENGAH DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI PELANGGARAN HAM BERAT TERHADAP PENDUDUK SIPIL DI REPUBLIK AFRIKA TENGAH DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Palestina merupakan daerah yang seolah tidak pernah aman, senantiasa bergejolak dan terjadi pertumpahan darah akibat dari perebutan kekuasaan. 1 Sengketa

Lebih terperinci

PELANGGARAN PESAWAT F-18 HORNET MILIK AMERIKA SERIKAT DIWILAYAH KEDAULATAN INDONESIA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 S K R I P S I

PELANGGARAN PESAWAT F-18 HORNET MILIK AMERIKA SERIKAT DIWILAYAH KEDAULATAN INDONESIA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 S K R I P S I PELANGGARAN PESAWAT F-18 HORNET MILIK AMERIKA SERIKAT DIWILAYAH KEDAULATAN INDONESIA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 S K R I P S I Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga BAB I PENDAHULUAN Permasalahan penyalahgunaan narkoba mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, dari sudut medik psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psiko sosial (ekonomi politik, sosial budaya, kriminalitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penerbangan MH-17 Malaysia Airlines merupakan penerbangan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang dari berbagai negara, pesawat

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN ATAS PENEMUAN HARTA KARUN DI WILAYAH PERAIRAN INTERNASIONAL SKRIPSI

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN ATAS PENEMUAN HARTA KARUN DI WILAYAH PERAIRAN INTERNASIONAL SKRIPSI PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN ATAS PENEMUAN HARTA KARUN DI WILAYAH PERAIRAN INTERNASIONAL SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci