BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter?

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter?"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter. 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter? Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws); dan hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Geneva Laws). 3. Bagaimana pula pemisahan hukum humaniter menurut Mochtar Kusumaatmadja? Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; dan Jus in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang. Dimana hukum ini dibagi lagi dalam dua hal yaitu hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war) yang biasa disebut The Hague Laws; dan hukum yang mengatur perlindungan orangorang yang menjadi korban perang, yang biasanya disebut The Geneva Laws. 1

2 4. Darimana asalnya hukum humaniter internasional? Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dalam sejarahnya hukum perikemanusiaan internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum tersebut dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, berdasarkan pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum itu mewakili suatu keseimbangan antara tuntutan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum perikemanusiaan internasional. Dewasa ini hukum perikemanusiaan internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benarbenar universal. 5. Bagaimana pengertian hukum humaniter yang diberikan oleh Panitia Tetap Hukum Humaniter? Menurut Panitia Tetap Hukum Humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang. 6. Apa yang dimaksud dengan Hukum Perikemanusiaan Internasional? Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian 2

3 bersenjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian dan membatasi cara-cara dan metode peperangan. Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah istilah yang digunakan oleh Palang Merah Indonesia untuk Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Istilah lain dari Hukum Humaniter Internasional ini adalah "Hukum Perang" (Law of War) dan "Hukum Konflik Bersenjata" (Law of Armed Conflict). 7. Jelaskan tiga asas yang dikenal dalam hukum humaniter! Dalam hukum humaniter dikenal tiga asas utama, yaitu asas kepentingan militer (military necessity) dimana pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang; asas perikemanusiaan (humanity) yang mengharuskan pihak yang bersengketa untuk memperhatikan perikemanusiaan dan dilarang menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu; dan asas ksatriaan (chivalry) yaitu asas yang mengandung arti bahwa di dalam peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu daya dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. 8. Apakah yang menjadi tujuan hukum humaniter? Hukum humaniter tidak bermaksud untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Tujuan hukum humaniter diantaranya adalah memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu; menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh; mencegah dilakukannya perang secara 3

4 kejam tanpa mengenal batas. Yang terpenting adalah adanya asas perikemanusiaan. 9. Jelaskan sejarah hukum humaniter pada zaman kuno! Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan biasanya para pihak bersepakat memperlakukan tawanan perang dengan baik. Sebelum perang dimulai pihak musuh akan diberi peringatan terlebih dulu. Untuk menghindari luka yang berlebihan maka ujung panah tidak diarahkan ke hati musuh dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka pertempuran dihentikan hingga 15 hari. Praktek-praktek hukum humaniter yang pernah dilakukan oleh Bangsa Sumeria, Mesir Kuno, Bangsa Hittite dan India pada masa kepahlawanan Mahabarata. 10. Jelaskan sejarah hukum humaniter pada abad pertengahan! Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Kristen, Islam dan Prinsip Kesatriaan. Ajaran agama Kristen memberikan sumbangan penting dalam konsep perang adil. Agama Islam bisa dilihat dalam Surat Al Baqarah, Al Anfaal, Attaubah dan Al Hajj, yang memandang perang sebagai saran pembelaan diri, dan menghapuskan kemungkaran. Prinsip Kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini mengajarkan pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senjata tertentu. 11. Jelaskan perkembangan hukum humaniter pada zaman modern! Salah satu tonggak sejarah yang paling penting dalam perkembangan hukum humaniter adalah didirikannya Palang Merah dan ditandatanganinya Konvensi 4

5 Jenewa tahun Pada waktu itu, Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln meminta Lieber, seorang pakar hukum imigran Jerman, untuk menyusun aturan perang. Hingga akhirnya dikeluarkan Lieber Code yang dipublikasikan pada tahun Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok orang-orang tertentu seperti tawanan perang, yang luka dan sebagainya. Pada masa ini sudah dikembangkannya aturan hukum humaniter dalam bentuk traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara setelah tahun

6 BAB II SUMBER HUKUM HUMANITER 12. Apa saja yang menjadi sumber hukum internasional menurut Pasal 38 ayat(1) Statuta Mahkamah Internasional? Menurut Pasal 38 (1) yang menjadi sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun yang khusus; kebiasaan internasional; prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara-negara beradab; dan keputusan pengadilan dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya sebagai sumber hukum tambahan. 13. Jelaskan sumber hukum humaniter berdasarkan hukum Den Haag! Sumber hukum humaniter menurut hukum Den Haag ada beberapa, namun yang terpenting adalah hasil dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II tahun Pada Konferensi Perdamaian I tahun 1899 ada tiga konvensi yang dihasilkan yaitu Konvensi tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional; Konvensi tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; dan Konvensi tentang Adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut. Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan pada Konferensi Perdamaian I adalah melarang penggunaan peluru dum-dum; peluncuran proyektil dan bahan peledak dari balon; dan melarang penggunaan proyektil yang menyebabkan gas cekik dan beracun. Adapun Konferensi Perdamaian II menghasilkan 13 buah konvensi. 14. Bagaimana isi Kalusula SiOmnes yang ada dalam Konvensi IV Den Haag 1907? Dalam konvensi ini menghasilkan klausula yang dianggap penting yaitu Klausula SiOmnes yang isinya menyatakan bahwa Konvensi hanya berlaku 6

7 apabila kedua belah pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku. Hal ini dicantumkan dalam pasal 2 Konvensi IV Den Haag Jelaskan sumber Hukum humaniter menurut hukum Jenewa! Sumber hukum humaniter menurut Konvensi Jenewa ada 4 yaitu keempat Konvensi Jenewa 1949 yaitu Konvensi tentang Perbaikan kondisi lukua dan sakit di dalam Angkatan bersenjata di medan perang; Konvensi tentang perbaikan kondisi bagi yang luka, sakit, dan korban kecelakaan kapal bagi Angkatan Bersenjata di laut; Konvensi yang berhubungan dengan perlakuan terhadap tawanan perang; dan Konvensi yang berhubungan dengan Perlindungan Orang Sipil pada saat peperangan. Selain itu juga dihasilkan 2 protokol tambahan. Baik Konvensi-Konvensi Jenewa maupun protocol tambahannya merupakan sumber utama hukum humaniter. 16. Apakah yang dimaksud dengan common articles? Dalam konvensi Jenewa, beberapa pasal diantaranya dipandang sangat penting dan mendasar sehingga perlu dicantumkan di setiap konvensi, baik diletakkan pada nomor pasal yang sama, maupun dirumuskan dengan redaksi atau isi yang sama atau hampir sama. Pasal-pasal inilah yang lazim disebut sebagai common articles. Common articles ini meliputi beberapa hal penting seperti ketentuan umum, ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan, dan ketentuan mengenai pelaksanaan dan ketentuan penutup. 17. Menurut Pasal 2 Konvensi Jenewa, Konvensi itu berlaku dalam keadaan apa saja? Pasal 2 menyebutkan bahwa Konvensi Jenewa berlaku dalam keadaan perang yang diumumkan; pertikaian bersenjata sekalipun keadaan perang tidak diakui; 7

8 dalam hal pendudukan sebagian atau seluruhnya, sekalipun pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan. 18. Bagaimana hubungan Pasal 2 Konvensi Den Haag mengenai Klausula SiOmnes dengan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949? Dalam Pasal 2 Konvensi Den Haag IV 1907 dicantumkan tentang Klausula SiOmnes yang menyebutkan bahwa Konvensi Jenewa hanya berlaku bila kedua pihak yang bertikai merupakan peserta konvensi, bila salah satu pihak bukan peserta konvensi maka dengan sendirinya konvensi tersebut tidak berlaku bagi pertikaian tersebut. Namun dengan adanya Pasal 2 Konvensi Jenewa, maka telah menghapuskan ketentuan Pasal 2 Konvensi Den Haag Artinya konvensi Jenewa tetap berlaku pada para pihak yang bersengketa walaupun salah satu pihak tersebut itu tidak menjadi peserta pada Konvensi Jenewa. 19. Siapakah yang dimaksud dengan negara pelindung menurut Konvensi Jenewa? Ketentuan mengenai keharusan adanya suatu negara pelindung dalam sengketa bersenjata internasional, diatur dalam pasal 8 Konvensi Jenewa I, II, III dan pasal 9 Konvensi IV. Walaupun demikian, dalam keadaan tersebut tidak tertutup kemungkinan bagi organisasi kemanusiaan lainnya untuk melaksanakan tugas-tugas sosialnya, asalkan ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersengketa itu sendiri. Apabila dalam keadaan tersebut tidak terpilih suatu Negara Pelindung yang dapat disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa, maka negara-negara yang bersengketa dapat menentukan apa yang disebut dengan Substitute atau pengganti. Pengganti ini tidak lagi berupa negara, namun biasanya suatu organisasi internasional yang bersifat netral (tidak memihak). 8

9 20. Apa yang dimaksud dengan negara pelindung? Menurut Pasal 2 (c) Protokol I yang dimaksud dengan Negara Pelindung adalah suatu negara netral atau negara lainnya yang bukan menjadi pihak dalam pertikaian, yang telah ditunjuk oleh suatu pihak dalam pertikaian dan disetujui oleh pihak lainnya, dan negara tersebut telah menyetujui untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang dibebankan kepadanya berdasarkan Konvensi dan Protokolnya. 21. Bagaimanakah mekanisme penunjukan Substitute menurut Pasal 5 Protokol? Sejak permulaan pertikaian, pihak yang bertikai wajib menjamin pengawasan dan pelaksanaan konvensi dan protokolnya dengan menerapkan system negara pelindung; Sejak permulaan itu, para pihak yang bertikai tanpa menundanunda menunjuk negara pelindung untuk melaksanakan ketentuan konvensi dan protokolnya serta mengijinkan negara pelindung melaksanakan kegiatannya dan diterima oleh pihak lawan; Jika belum dapat ditentukan negara pelindung pada permulaan situasi, maka dapat ditunjuk negara pelindung, seperti ICRC atau badan lain sejenis untuk memberikan jasa-jasa baiknya kepada pihak dalam konflik untuk secepat mungkin menunjuk negara pelindung yang disetujui para pihak bertikai; Mediator dalam hal ini meminta para pihak untuk menyerahkan sekurang-kurangnya lima negara yang diusulkan sebagai negara pelindung dirinya sendiri dan sebagai pelindung pihak lawan, demikian juga dengan pihak lawan harus menyerahkan dua daftar negara pelindung. Berdasarkan daftar tersebut diharapkan mediator dapat mengusulkan satu negara sebagai negara pelindung yang dapat disetujui oleh kedua belah pihak. Jika tidak dapat disetujui juga, maka dengan secepatnya 9

10 kedua pihak harus memperbolehkan ICRC atau organisasi internasional lainnya yang tidak berpihak untuk bertindak sebagai Substitute. 22. Apakah kewajiban utama dari Pihak Peserta mengenai pelanggaran berat (grave breaches)? Kewajiban utama yang berkaitan dengan pelanggaran berat yang harus dilakukan oleh pihak peserta konvensi adalah membuat undang-undang di tingkat nasional yang mengatur mengenai pelanggaran berat; mencari orang yang diduga melakukan pelanggaran berat; dan mengadili pelaku pelanggaran berat. 23. Apa saja yang termasuk dalam kategori Pelanggaran Berat menurut Konvensi I Jenewa? Menurut Konvensi I Jenewa pasal 50, yang termasuk pelanggaran berat adalah pembunuhan yang disengaja; penganiayaan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan, termasuk percobaan biologis; menyebabkan dengan sengaja, penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan; dan pembinasaan yang luas dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan dengan melawan hukum dan semena-mena. 24. Selain hukum Den Haag dan hukum Jenewa, apalagi yang menjadi sumber hukum humaniter? Selain kedua sumber utama tersebut, hukum humaniter juga mengenal sumber hukum lainnya seperti Protokol tambahan 1977 yang sering disebut sebagai hukum campuran karena selain mengatur perlindungan terhadap korban perang ada juga mengatur mengenai cara dan alat berperang. Selain itu ada juga beberapa asas umum yang diterima dalam hukum humaniter yaitu asas 10

11 bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus; bendera netral melindungi barang-barang musuh; berang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita; dan supaya mengikat, blokade harus efektif, artinya dilakukan oleh sesuatu kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar mencegah mendekatnya kapal ke pantai musuh. 25. Apakah yang dimaksud dengan Klausula Martens? Klausula ini menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipakai harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara yang beradab; dari hukum kemanusiaan; serta dari pendapat publik. 11

12 BAB III SARANA DAN METODE PERANG 26. Bagaimana perbedaan Lieber Code dengan Deklarasi St. Petersburg? Dokumen Lieber mengatur secara rinci mengenai aspek-aspek hukum dan kebiasaan perang di darat, mulai dari bagaimana perang seharusnya dilaksanakan sampai dengan bagaimana perlakuan yang harus diberikan kepada penduduk sipil; termasuk penduduk dalam kategori khusus seperti tawanan perang, yang terluka, dan sebagainya. Adapaun Deklarasi St. Petersburg merupakan suatu perjanjian internasional yang hanya mengatur mengenai suatu aspek saja dari peperangan, yakni mengatur mengenai persenjataan khususnya perkembangan proyektil-proyektil yang dapat meledak. 27. Apakah maksud dari Deklarasi St. Petersburg? Maksud utama dari deklarasi ini adalah membatasi penggunaan terhadap perkembangan persenjataan yang bersifat mudah menyala dan meledak. Hal ini disebabkan apabila penggunaan senjata tersebut ditujukan pada bangunanbangunan militer, maka akibat yang akan ditimbulkan akan cukup memberi arti. 28. Apakah yang menjadi peraturan dasar tentang metode dan sarana berperang? Ketentuan utama tentang metode dan sarana berperang terdapat dalam Konvensi Den Haag IV (1907), terutama Lampirannya yang berjudul Regulations respecting the Laws and customs of war on land atau sering disebut Hague Regulations. Peraturan ini mengatur mengenai hukum dan 12

13 kebiasaan perang di darat, termasuk ketentuan-ketentuan mengenai metode dan sarana berperang. 29. Bagaimanakah peraturan mengenai sarana berperang menurut Peraturan Den Haag? Peraturan dasar yang paling utama dalam menggunakan alat untuk melakukan peperangan dalam suatu sengketa bersenjata adalah keterbatasan dalam memilih dan menggunakan sarana atau alat berperang 30. Bagaimanakah peraturan Den Haag mengenai metode berperang? Peraturan Hague Regulations (HR) melarang membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau khianat; melarang melakukan perang dengan kejam, seperti melarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau melarang dilakukan pemboman terhadap kota, desa, daerahdaerah berpenduduk atau daerah yang tidak dipertahankan. 31. Bagaimana pula metode berperang menurut Protokol Tambahan I? Secara garis besar ketentuan mengenai alat dan cara berperang dalam Protokol ini disempurnakan lagi, diantaranya dengan adanya penambahan aturan dasar, ketentuan mengenai senjata-senjata baru, adanya penambahan lambinglambang internasional yang harus dihormati selama masa peperangan, dan perluasan kategori orang-orang yang dapat terlibat dalam sengketa bersenjata. 32. Bagaimana konsep khianat (perfidy) di dalam Protokol I? Dalam Protokol I terdapat perluasan penerapan konsep khianat. Walaupun sebelumnya sudah diperkenalkan konsep ini dalam Konvensi Den Haag, ada perbedaan konsep diantara keduanya. Perbedaannya, dalam konsep Den Haag, larangan melakukan khianat hanya diterapkan dalam kaitannya dengan 13

14 pembunuhan, melukai atau menangkap musuh saja, sedangkan dalam Protokol larangan tersebut diperluas dengan tidak hanya diterapkan di dalam suatu operasi-operasi pertempuran saja, diterapkan juga pada penghormatan terhadap bendera gencatan senjata, tanda kebangsaan, penduduk sipil dan lambang-lambang internasional lainnya. 14

15 BAB IV PRINSIP PEMBEDAAN 33. Apakah yang dimaksud dengan Prinsip Pembedaan? Prinsip atau asas pembedaan merupakan suatu asas penting dalam Hukum Humaniter, yaitu suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan yaitu Kombatan dan Penduduk Sipil. Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. 34. Bagaimana pendapat Jean Pictet mengenai asal prinsip pembedaan? Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan bahwa penduduk dan individu sipil seharusnya mendapatkan perlindungan dari bahaya yang timbul akibat operasi militer. Adapun penjabaran dari asas ini dapat dilihat bahwa pihak yang bersengketa harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil; penduduk sipil dan individu sipil tidak boleh dijadikan objek serangan; Tidak boleh dilakukannya tindakan terror terhadap penduduk sipil; pihak yang bersengketa harus mencegah dan menyelamatkan penduduk sipil dari kerugian akibat perang atau permusuhan; dan hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh. 35. Apakah tujuan prinsip pembedaan? Prinsip pembedaan lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata, secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para kombatan atau anggota angkatan bersenjata dari 15

16 pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik bersenjata. Secara normative, prinsip ini dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya pelanggarn yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil, yang akan memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. 36. Bagaimanakah aturan mengenai prinsip pembedaan dalam Bagian Pertama, Bab I HR, Pasal 1 (Konvensi Den Haag 1907)? Yang diatur di dalam Konvensi Den Haag adalah penegasan bahwa hukum, hak, dan kewajiban perang bukan hanya berlaku bagi tentara, melainkan juga bagi milisi dan korps sukarelawan, sepanjang memenuhi persyaratan tertentu. Ditegaskan juga bahwa di negara-negara yang milisi dan korps sukarelawan merupakan tentara atau merupakan bagian dari tentara, maka milisi dan korps sukarelawan itu dimasukkan dalam sebutan tentara. Maksudnya bagi milisi dan korps sukarelawan itu hukum, hak dan kewajiban mereka tidak berbeda dengan hukum, hak dan kewajiban tentara. 37. Bagaimana pula yang dimaksud dengan levee en masse dalam Pasal 2 HR? Levee en masse adalah penduduk di sebuah daerah yang tidak dikuasai, yang dalam pendekatan musuh, secara sontan mengangkata senjata untuk melawan musuh tanpa mempunyai waktu yang cukup untuk menyusun dan mengorganisir diri mereka, dianggap sebagai belligerent jika mereka membawa senjata secara terbuka dan mereka menghormati ketentuan dan kebiasaan perang. Mereka dapat dikategorikan sebagai belligerent dengan syarat bahwa penduduk dari wilayah yang belum diduduki; secara spontan mengangkat senjata; tidak memiliki waktu untuk mengatur diri; menghormati hukum dan kebiasaan perang; dan membawa senjata secara terbuka. Karena mereka tidak sempat mempersiapkan diri maka levee en masse ini juga bersifat 16

17 temporal artinya mereka harus mengorganisir diri bila ingin melanjutkan perlawanannya. Dalam hal ini mereka akan dikategorikan sebagai milisi atau sukarelawan yang termasuk dalam kategori kombatan. 38. Siapa saja yang tergolong dalam pihak-pihak yang boleh turut secara aktif dalam pertempuran atau kombatan menurut Konvensi Den Haag 1907? Yang digolongkan sebagai pihak-pihak yang boleh turut serta secara aktif dalam pertempuran atau kombatan menurut Konvensi Den Haag 1907, khususnya HR, adalah Armies (Tentara); Militia and Volunteer Corps (Milisi dan Korps Sukarelawan) dengan memenuhi persyaratan tertentu; dan Leeve on Masse. 39. Apakah yang dimaksud dengan istilah non-combatan dalam Pasal 3 HR? Istilah non-combatan dalam pasal 3 HR ini bukanlah dalam arti civilians atau penduduk sipil, melainkan bagian dari angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur (seperti dokter militer dan rohaniawan). Meskipun mereka tidak turut bertempur, kalau mereka tertangkap oleh musush, mereka juga berhak memperoleh status sebagai tawanan perang. 40. Bagaimana ketentuan mengenai kombatan dalam Konvensi Jenewa 1949? Ketentuan mengenai kombatan dalam Konvensi Jenewa berbeda dengan ketentuan dalam Konvensi Den Haag 1907, khususnya HR. Dalam Konvensi Jenewa 1949, mulai dari Konvensi I sampai Konvensi IV, tidak menyebutkan istilah kombatan, melainkan hanya menentukan yang berhak mendapatkan perlindungan dan yang berhak mendapatkan perlakuan sebagai tawanan perang bila jatuh ke tangan musuh. Mereka yang harus disebutkan di atas harus dibedakan dengan penduduk sipil. Meskipun tidak disebutkan dengan 17

18 tegas adanya penggolongan Combatans dengan Civilians, namun ketentuan dalam Konvensi Jenewa jelas maksudnya adalah untuk memberlakukannya kepada kombatan. 41. Siapakah yang disebut dengan Organized Resistance Movement dalam Konvensi Jenewa? Organized Resistance Movement atau Gerakan Perlawanan yang Terorganisasi adalah penduduk yang merupakan bagian dari pihak-pihak yang bertikai, yang melakukan operasinya baik di dalam maupun di luar wilayah mereka walaupun wilayah tersebut telah diduduki. Mereka dapat dimasukkan dalam golongan kombatan jika memiliki pemimpin yang bertanggung jawab atas bawahannya; mengenakan tanda-tanda tertentu yang dapat dikenali dari jarak tertentu; membawa senjata secara terbuka; beroperasi dengan mematuhi hukum dan kebiasaan perang. 42. Bagaimana istilah Kombatan di dalam Protokol Tambahan tahun 1977? Dalam Protokol Tambahan Pasal 43 ditegaskan bahwa yang digolongkan dalam kombatan adalah mereka yang termasuk dalam pengertian armed forces (angkatan bersenjata) suatu negara, dan mereka yang termasuk kedalam pengertian angkatan bersenjata itu adalah mereka yang memiliki hak untuk berperan serta secara langsung dalam permusuhan. Mereka terdiri atas angkatan bersenjata yang terorganisasi, kelompok-kelompok atau unit-unit yang berada di bawah suatu komando yang bertanggung jawab atas tingkah laku bawahannya kepada pihak yang bersangkutan, meskipun pihak tersebut diwakili oleh suatu Penguasa yang tidak diakui oleh Pihak yang menjadi lawannya, dengan ketentuan bahwa angkatan bersenjata itu harus tunduk kepada suatu disiplin internal. 18

19 BAB V MATA-MATA, TENTARA BAYARAN & KOMBATAN YANG TIDAK SAH 43. Apakah tujuan dari kegiatan mata-mata? Kegiatan mata-mata dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi penting, yang biasanya tidak mudah didapatkan melalui jalur-jalur komunikasi resmi. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui alat-alat telekomunikasi yang canggih seperti satelit mata-mata, yang umumnya dipergunakan untuk mendapatkan informasi mengenai foto udara (aerial photography), eksplorasi permukaan bumi (surface exploration), dan sebagainya. Namun demikian adapula kegiatan untuk mendapatkan informasi tersebut tanpa menggunakan alat berteknologi tinggi, melainkan dengan menggunakan agen rahasia (secret agent). Disinilah kegiatan mata-mata dimulai. Kegiatan tersebut tidak dilarang berdasarkan hukum kebiasaan internasional. 44. Apakah perbedaan kegiatan mata-mata dengan pengkhianatan? Kegiatan mata-mata berbeda dengan yang disebut pengkhianatan (war treason). Pengkhianatan adalah apabila penduduk sipil di wilayah yang diduduki memberikan keterangan kepada pasukan yang menduduki wilayah tersebut. Pengkhianatan ini dianggap melanggar hukum dari pihak yang menduduki wilayah tersebut, karena sebagai penduduk sipil seharusnya ia melakukan hak dan kewajibannya untuk tidak terlibat dalam pertikaian, dan melakukan aktivitas sebagai mana biasanya. 19

20 45. Jelaskan macam-macam istilah dari mata-mata? Terdapat berbagai istilah yang dipergunakan untuk mengatakan kegiatan seseorang sebagai mata-mata, diantaranya Espionage, Spies, Clandestine, dan Intellegence. Espionage adalah perbuatan pidana yang bertujuan untuk mengumpulkan, memindahkan atau pun menghilangkan keterangan yang berkaitan dengan pertahanan nasional dengan maksud keterangan itu dapat dipergunakan utnuk merugikan negara atau untuk keuntungan bangsa lain. Spies adalah seseorang yang karena pekerjaannya dikirim ke kamp musuh untuk memastikan kekuatan, kehendak, dan gerakan-gerakan musuh, untuk kemudian menyampaikan informasi itu secara rahasia kepada pejabat yang berwenang, maka berdasarkan hukum internasional, orang tersebut dapat dijatuhi hukuman mati. Clandestine maksudnya adalah kegiatan yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi demi mencapai tujuan yang tidak sah. Sedangkan Intellegence adalah kegiatan untuk mendapatkan berita atau informasi mengenai hal-hal penting atau keterangan-keterangan rahasia. 46. Sebutkan definisi mata-mata! Ada beberapa macam definisi mengenai mata-mata. Menurut Pietro Verri, seseorang dianggap mata-mata apabila melakukan perbuatan secara diam-diam atau berpura-pura bohong, untuk mendapatkan atau mencoba untuk mendapatkan informasi militer di wilayah yang dikuasai oleh musuh; seorang mata-mata yang tertangkap oleh musuh tidak dapat dihukum tanpa proses peradilan terlebih dahulu; seorang mata-mata, setelah kembali menjadi serdadu di tempat asalnya, jika tertangkap oleh musuh akan diperlakukan sebagai tawanan perang dan dia tidak bertanggung jawab atas perbuatan matamata yang dilakukan sebelumnya; seorang angkatan bersenjata yang mengenakan pakaian seragam dan sedang mengumpulkan atau mencoba untuk 20

21 mengumpulkan informasi di wilayah yang dikuasai oleh musuh tidak dianggap sebagai melakukan kegiatan mata-mata. 47. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk Tentara Bayaran! Ada beberapa istilah yang telah dikenal untuk menyebut tentara bayaran. Misalnya pada awal Kekaisaran Romawi dikenal istilah Balearic Slingers dan Aegean Bowmen. Di Jerman (pada abad pertengahan) disebut dengan Landsknechts, sementara pada masa revolusi di Amerika disebut Hessian, dan di Itali disebut Condottieri. Pada masa kini istilah yang sering digunakan adalah Mercenary, bahkan masyarakat umum terkadang menyebutnya sebagai Soldier of Fortune. 48. Bagaimana pendapat para ahli terhadap tentara bayaran? Banyak pendapat dan persepsi mengenai tentara bayaran. Diantaranya oleh Ayala yang berpendapat bahwa sebaiknya suatu negara yang akan berperang menggunakan warga negaranya sendiri, karena tentara asing yang mengabdi pada negara hanyalah karena kepentingan pribadi. Jadi tidak perlu adanya tentara bayaran. Sedangkan menurut Vitoria dan Grotius, tentara bayaran dapat ikut serta dalam suatu peperangan asalkan peperangan tersebut adil (just war). 49. Jelaskan pengaturan tentang tentara bayaran menurut Hukum Humaniter! Pengertian tentara bayaran secara eksplisit baru ada dalam Protokol Tambahan I Namun sebenarnya ketentuan yang menyerupai tentara bayaran, yaitu ketentuan tentang perekrutan orang asing dalam perang, sudah diatur dalam Konvensi Den Haag Pada hakekatnya, berdasarkan Konvensi Den Haag, merupakan kewajiban negara-negara untuk tetap berstatus sebagai negara 21

22 netral atau tidak ikut terlibat pada pertikaian antara negara-negara yang bersengketa dengan memberikan bantuan tentara bayaran. Namun bila dilakukan oleh individu suatu negara netral, maka negara tersebut tidak kehilangan kenetralannya. Sedangkan orang atau tentara bayaran tersebut akan diterapkan hukum dan kebiasaan perang apabila menjadi tawanan perang. 50. Apakah yang menjadi syarat agar dapat dikatakan tentara bayaran yang sah? Menurut Pasal 4 Konvensi III Jenewa, seorang tentara bayaran dianggap sah bila memenuhi persyaratan bahwa ia menjadi anggota angkatan perang, milisi atau barisan sukarela yang menjadi bagian angkatan perang tersebut; menjadi anggota milisi atau barisan sukarela, serta anggota perlawanan yang terorganisir dibawah pimpinan yang bertanggung jawab terhadap bawahannya, memakai tanda pengenal yang dapat dikenal dari jauh, membawa senjata secara terbuka, dan melakukan operasi sesuai dengan hukum dan kebiasaan berperang. 51. Bagaimana pengaturan tentang tentara bayaran dalam Protokol Tambahan I tahun 1977? Dalam Protokol Tambahan I 1977 diatur mengenai tentara bayaran yang menyebutkan bahwa seorang tentara bayaran tidak berhak atas status kombatan atau tawanan perang; dan yang dimaksud dengan tentara bayaran adalah tentara yang secara khusus direkrut di dalam negeri atau di luar negeri dalam rangka untuk berperang dalam suatu sengketa bersenjata; secara nyata ikut serta langsung dalam permusuhan; motivasinya adalah untuk mencari keuntungan pribadi, dijanjikan kompensasi materi, atau jabatan dalam angkatan bersenjata; bukan warga negara dari negara yang bersengketa, dan bukan pula orang yang berdiam di wilayah sengketa; bukan anggota dari 22

23 angkatan bersenjata dari salah satu pihak yang bersengketa; dan tidak dikirim oleh negara-negara diluar pihak yang bersengketa. 52. Jelaskan pembagian kelompok penduduk dalam suatu wilayah yang bertikai! Dalam suatu konflik bersenjata, penduduk pihak yang bertikai dibagi dalam dua kelompok atau status yaitu sebagai kombatan dan sipil. Kombatan berhak untuk ikut serta secara langsung dalam permusuhan, boleh membunuh dan dibunuh dan apabila tertangkap diperlakukan sebagai tawanan perang. Sedangkan kelompok sipil tidak boleh turut serta dalam permusuhan, harus dilindungi dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan. 53. Siapakah yang disebutkan sebagai kombatan? Kombatan adalah orang yang mempunyai hak untuk turut serta secara langsung dalam peperangan dan apabila tertangkap oleh pihak lawan harus diperlakukan sebagai tawanan perang. Mereka adalah anggota angkatan bersenjata dari pihak yang bertikai, tidak termasuk tenaga kesehatan dan rohaniawan. Kombatan terbagi dalam dua golongan yaitu kombatan sah (lawful combatant) dan kombatan tidak sah (unlawful combatant). 54. Apakah yang dimaksud dengan kombatan yang tidak sah? Kombatan yang tidak sah (unlawful combatant) adalah mereka yang tidak memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam Konvensi-konvensi hukum humaniter untuk dapat disebut sebagai kombatan, tetapi ikut serta secara langsung dalam permusuhan. 23

24 BAB VI KETENTUAN-KETENTUAN YANG BERSAMAAN 55. Apakah yang dimaksud dengan ketentuan yang bersamaan? Ketentuan yang bersamaan atau pasal-pasal yang bersamaan adalah ketentuanketentuan yang karena pentingnya dimuat pada keempat Konvensi Jenewa 1949 dengan bunyi yang sama atau dengan sedikit modifikasi. Ketentuanketentuan yang bersamaan ini ada yang dimuat dalam pasal-pasal yang sama pada keempat konvensi dan ada pula pada pasal-pasal yang berlainan 56. Jelaskan beberapa penggolongan ketentuan yang bersamaan! Ketentuan yang bersamaan terbagi ke dalam tiga golonan yaitu ketentuanketentuan umum; ketentuan-ketentuan mengenai hukuman terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan konvensi; dan ketentuan-ketentuan pelaksanaan dan penutup (akhir). 57. Bagaimana pengaturan mengenai penghormatan terhadap konvensi? Penghormatan konvensi ini ditegaskan dalam Pasal 1 yang menyatakan bahwa para pihak Peserta berjanji untuk menghormati dan menjamin penghormatan konvensi-konvensi dalam segala keadaan. Penempatannya dalam Pasal 1 menunjukkan bahwa para peserta konferensi hendak menekankan pentingnya kewajiban para peserta untuk menghormati ketentuan-ketentuan konvensi. Menurut Haryomataram, kata menjamin penghormatan dalam Pasal 1 harus diartikan sebagai negara harus memerintahkan kepada petugas militer dan sipil untuk mentaati konvensi-konvensi ini; negara harus mengawasi pelaksanaan dari perintah tersebut; serta negara harus mengambil tindakan apabila ada petugas melanggar konvensi tersebut. Sedangkan kata dalam segala hal diartikan sebagai konvensi harus tetap dihormati tanpa memandang apakah 24

25 perang itu sah atau tidak, agresi atau bukan, konvensi ini tetap berlaku asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu. 58. Bagaimana pengaturan mengenai ruang lingkup berlakunya konvensi? Menurut Pasal 2, Konvensi ini akan berlaku dalam hal perang yang dinyatakan ataupun konflik bersenjata lainnya yang timbul di antara dua pihak peserta atau lebih, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Ketentuan ini merupakan perubahan yang sangat significan terhadap prinsip yang membatasi berlakunya Konvensi Perlindungan Korban Perang hanya pada perang dalam arti hukum saja. Ketentuan ini sangat memperluas berlakunya Konvensi karena tidak hanya berlaku pada perang dalam arti hukum tetapi juga perang dalam arti teknis. 59. Bagaimana pengaturan mengenai sengketa bersenjata Non- Internasional? Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1929 hanya mengatur perang atau konflik bersenjata antar negara. Dalam kedua konvensi tersebut tidak dimuat ketentuan tentang perang saudara (civil war) dan pemberontakan (insurgence). Ketentuan tentang perang/konflik yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, baru diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa. Pasal ini biasa disebut Konvensi Mini atau Konvensi Kecil. Di dalam Pasal 3 itu menegaskan larangan untuk kekerasan terhadap jiwa orang; penyanderaan; merendahkan martabat pribadi, khususnya perlakuan yang bersifat menghina dan merendahkan martabat; penghukuman dan pelaksanaan pututsan tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang dilakukan secara lazim yang memberikan jaminan hukum yang diakui karena sangat dibutuhkan oleh semua bangsa yang beradab. 25

26 60. Jelaskan ketentuan yang bersamaan dalam hal orang-orang yang dilindungi! Pasal atau ketentuan yang bersamaan dalam Konvensi yang mengatur tentang orang-orang yang dilindungi adalah Pasal 13 Konvensi I, II, dan III dan Pasal 41 Konvensi. Orang-orang yang dilindungi dalam ketentuan yang bersamaan ini adalah dalam pengertian sempit yaitu terbatas pada orang-orang yang turut serta dalam perang atau sengketa bersenjata yang telah menjadi korban perang karena sakit dan tertawan. 61. Bagaimana ketentuan yang bersamaan mengenai persetujuan khusus? Menurut Pasal 6 Konvensi, pihak-pihak peserta Konvensi dapat mengadakan persetujuan khusus tentang segala hal selain dari yang ditentukan dalam Pasal 10, 15, 23, 28, 31, 36, 37 dan 52. Ketentuan ini hanya menetapkan bahwa persetujuan tersebut tidak boleh mengurangi atau membatasi hak-hak yang diberikan Konvensi kepada orang-orang tersebut. 62. Jelaskan ketentuan yang bersamaan dalam hal larangan pelepasan hak! Larangan pelepasan hak ditegaskan dalam Pasal 7 Konvensi I, II, III dan Pasal 8 Konvensi IV. Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa yang luka dan sakit, demikian juga anggota dinas kesehatan serta rohaniawan sekali-kali tidak boleh menolak sebagian atau seluruh hak yang diberikan kepada mereka oleh konvensi-konvensi ini serta oleh persetujuan-persetujuan khusus seperti tersebut dalam pasal terdahulu, bila ada. Asas larangan pelepasan hak ini berlaku untuk semua hak yang melindungi korban perang. Larangan ini bersifat mutlak, termasuk juga penolakan hak yang dilakukan secara sukarela atau atas kemauan sendiri. Berdasarkan ketentuan ini, maka negara penahan tidak mungkin mengelakkan kewajibannya memberikan perlindungan terhadap 26

27 orang-orang yang berada dalam kekuasaannya dengan alasan bahwa orangorang tersebut dengan sukarela atau atas kemauan sendiri menolak hak-hak dan jaminan yang diberikan oleh konvensi-konvensi kepada mereka. 63. Jelaskan pengaturan tentang pengawasan pelaksanaan konvensi! Gagasan bahwa pelaksanaan hukum humaniter berada di bawah pengawasan internasional telah berkembang terutama dalam kerangka hukum Jenewa. Dalam keadaan normal negara-negara sudah biasa melindungi warganegara mereka di negara asing. Juga sudah merupakan kebiasaan bagi suatu negara untuk meminta bantuan negara ketiga untuk melindungi kepentingannya di negara lain. Ini berkembang menjadi praktek kebiasaan dalam abad ke-19, dan diabadikan dalam Konvensi Jenewa 1929 dan Konvensi 1949 sebagai suatu system negara pelindung. System negara pelindung diatur dalam Pasal 8 Konvensi I, II, III dan Pasal 9 Konvensi yang terdiri atas 3 ayat. Selain system negara pelindung, pengawasan juga dapat dilakukan oleh Palang Merah Internasional dan organisasi kemanusiaan lainnya. Pasal 9 Konvensi I, II, III dan Pasal 10 Konvensi IV menyatakan secara tegas bahwa Komite Palang Merah Internasional atau organisasi kemanusiaan lainnya berhak melindungi dan menolong yang luka dan sakit, anggota dinas kesehatan dan para rohaniawan selama kegiatan-kegiatan tersebut mendapat persetujuan pihakpihak yang bersengketa tersebut. 64. Bagaimana ketentuan yang bersamaan dalam hal larangan melakukan pembalasan? Tindakan pembalasan tidak boleh dilakukan untuk segala keadaan. Dalam keadaan-keadaan tertentu tindakan ini tidak diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 46 Konvensi I, 47 Konvensi II, 13 Konvensi III, dan 33 Konvensi IV. Menurut ketentuan di atas, pembalasan dilarang dilakukan 27

28 terhadap orang yang luka, sakit, korban karam, para pegawai, gedung-gedung atau perlengkapan yang dilindungi, dinas dan personil kesehatan, dinas dan personil tahanan sipil, tawanan perang, orang-orang sipil, hak milik sipil dan budaya. Larangan ini diperluas oleh Protokol I 1977 sampai kepada larangan pembalasan terhadap lingkungan alam dan bangunan-bangunan serta instalasiinstalasi yang berbahaya. 65. Jelaskan penyebarluasan konvensi yang diatur secara bersamaan dalam konvensi hukum humaniter! Berdasarkan ketentuan Pasal 47 Konvensi I ditegaskan bahwa para Pihak Peserta Agung berjanji untuk menyebarluaskan naskah Konvensi di negara mereka masing-masing. Penyebarluasan ini meliputi pula pemasukan pengajarannya di dalam program-program pendidikan militer dan jika mungkin dalam program pendidikan sipil, baik di masa damai maupun masa perang. 66. Bagaimana pengaturan sanksi dalam hukum humaniter? Pasal 49, 50, 129, dan 146 Konvensi I, II, III dan IV berturut-turut meletakkan kewajiban kepada pemerintah untuk membuat peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk memberikan sanksi yang efektif bagi orang-orang yang melakukan atau memerintahkan melakukan pelanggaran berat atau kejahatan perang; keharusan mencari orang-orang yang didakwa melakukan atau memerintahkan tindakan pelanggaran berat tersebut termasuk mereka yang menyebabkan kegagalan untuk bertindak manakala mereka berkewajiban melakukan hal tersebut. Pasal-pasal ini juga mengharuskan komandan militer untuk mencegah pelanggaran atas Konvensi dan Protokol, menindak mereka dan bila perlu melaporkan mereka kepada penguasa yang berwenang. 28

29 67. Jelaskan ketentuan mengenai mulai dan berakhirnya konvensi! Konvensi-konvensi mulai berlaku bagi setiap peserta enam bulan setelah penyimpanan dokumen ratifikasi pada Dewan Federal Swiss (Pasal 58). Apabila ada negara yang turut serta dengan jalan penyertaan (accession), konvensi juga akan mulai berlaku enam bulan sesudah tanggal penerimaan pemberitahuan tersebut (Pasal 61). Sedangkan untuk pernyataan tidak terikat lagi pada ketentuan konvensi mulai berlaku satu tahun setelah pemberitahuannya kepada Dewan Federasi. 29

30 BAB VII PROTOKOL TAMBAHAN Apa alasannya sehingga dibentuk Protokol Tambahan? Protokol Tambahan 1977 merupakan ketentuan baru yang menambah dan melengkapi Konvensi-Konvensi Jenewa Protokol tambahan tersebut terdiri dari Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II. Protokol Tambahan I dibentuk disebabkan metode peperangan yang digunakan oleh negara-negara telah berkembang; demikian pula aturan-aturan mengenai tata cara berperang. Sedangkan Protokol Tambahan II terbentuk karena pada kenyataannya konflik-konflik yang terjadi sesudah Perang Dunia II adalah konflik yang bersifat non-internasional. Prinsip-prinsip kemanusiaan yang telah dicantumkan sebelumnya dalam Pasal 3 Konvensi ditegaskan kembali dalam Protokol Tambahan II. 69. Apa saja yang ditentukan dalam Protokol I? Protokol Imenentukan beberapa hal pokok diantaranya melarang serangan yang membabi buta dan tindakan pembalasan terhadap penduduk dan orangorang sipil, objek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup penduduk sipil, benda budaya dan religius, bangunan dan instalasi berbahaya, lingkungan alam; memperluas perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa; menentukan kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk mencari orang-orang yang hilang; menegaskan ketentuan mengenai suplai bantuan kepada penduduk sipil; memberikan perlindungan terhadap kegiatan organisasi pertahanan sipil; dan mengkhususkan adanya tindakan yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter. 30

31 70. Bagaimana ketentuan yang terdapat dalam Protokol Tambahan II? Ketentuan-ketentuan pokok yang diatur dalam Protokol II adalah mengatur jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang; menentukan hak-hak bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil; memberikan perlindungan penduduk sipil dan objek-objek perlindungan; serta melarang dilakukannya tindakan starvasi secara sengaja. 71. Apakah yang dimaksud dengan konflik yang bersifat internasional menurut Protokol I? Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (3) dan (4) Protokol I dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan konflik yang bersifat internasional adalah konflik bersenjata antar negara; dan konflik bersenjata antara sekelompok orang atau individu (peoples) melawan colonial domination, alien occupation dan racist regimes yang lazim disebut dengan war of national liberation. 72. Bagaimana perbedaan antara sengketa bersenjata internasional (international armed conflict) dengan sengketa bersenjata noninternasional (non-international armed conflict)? Perbedaan pokok antara sengketa bersenjata non-internasional dengan sengketa bersenjata internasional dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam sengketa bersenjata internasional, kedua pihak memiliki status hukum yang sama karena keduanya adalah negara. Sedangkan dalam sengketa bersenjata non-internasional, status kedua pihak tidak sama karena pihak yang satu berstatus negara, sedangkan pihak yang lainnya adalah satuan bukan negara (non-state entity). Pada sengketa bersenjata noninternasional merupakan suatu situasi dimana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata dengan kelompok bersenjata yang terorganisis (organized 31

32 armed group) di dalam wilayah suatu negara. Sengketa non-internasional juga dapat berupa suatu peristiwa dimana faksi-faksi bersenjata saling bertempur satu sama lain tanpa suatu intervensi dari angkatan bersenjata Pemerintah yang sah. 73. Bagaimana pengertian konflik bersenjata dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977? Pasal 3 Konvensi Jenewa menggunakan istilah armed conflict not of an international character untuk setiap jenis konflik yang bukan konflik bersenjata internasional. Karena Konvensi Jenewa sendiri tidak memberikan defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan armed conflict not of an international character, maka penafsiran pasal 3 ini sangat luas. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah batasan pengertian dari sengketa bersenjata internasional itu sendiri. Selebihnya merupakan sengketa bersenjata non internasional. 74. Apa saja syarat untuk adanya suatu sengketa bersenjata? Syarat untuk adanya suatu sengketa bersenjata bahwa pihak yang memberontak terhadap pemerintah de jure memiliki kekuatan militer terorganisir, dipimpin oleh seorang Komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melakukan aksi dalam wilayah tertentu dan memiliki sarana untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap konvensi; bahwa pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakkan kekuatan militer reguler untuk menghadapi pemberontak yang terorganisir secara militer dan menguasai sebagian wilayah nasional; bahwa pemerintah de jure telah mengakui pemberontak sebagai belligerent; bahwa pemerintah telah mengklaim bagi dirinya hak sebagai belligerent; bahwa pemerintah telah mengakui pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi 32

33 Jenewa ini saja; bahwa perselisihan tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi; bahwa pemberontak mempunyai organisasi yang bersifat sebagai negara; bahwa penguasa sipil melaksanakan kekuasaannya terhadap orangorang dalam wilayah tertentu; bahwa kekuatan bersenjata bertindak di bawah kekuasaan penguasa sipil yang terorganisir; bahwa penguasa sipil pemberontak setuju terikat pada ketentuan Konvensi. 33

34 BAB VIII ORANG-ORANG YANG DILINDUNGI PADA SAAT SENGKETA BERSENJATA 75. Siapakah yang dimaksud orang-orang yang dilindungi berdasarkan Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya? Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang dilindungi meliputi kombatan dan penduduk sipil. Kombatan harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan perang. Perlindungan dan hak-hak sebagai seorang tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa III. Sedangkan penduduk sipil berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan Siapakah yang berhak mendapat status sebagai tawanan perang? Berdasarkan Pasal 4A Konvensi III, yang berhak mendapatkan status sebagai tawanan perang adalah para anggota angkatan perang dari pihak yang bersengketa, anggota-anggota milisi atau korps sukarelawan yang merupakan bagian dari angkatan perang itu; para anggota milisi lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang terorganisir (organized resistence movement) yang tergolong pada satu pihak yang bersengketa dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki; para aggota angkatan perang reguler yang menyatakan kesetiaannya pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan; orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa menjadi anggota dari angkatan perang itu; awak kapal niaga termasuk nakhoda, pandu laut, dan taruna serta awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang lebih 34

35 baik menurut ketentuan apapun dalam hukum internasional; penduduk wilayah yang belum diduduki, yang karena serangan musuh, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan musuh, tanpa memilik waktu yang cukup untuk membentuk kesatuan bersenjata secara teratur, asal mereka menggunakan senjata secara terbuka dan menghormati hukum dan kebiasaan perang. 77. Apa saja yang harus dilakukan oleh para pihak yang bersengketa terhadap orang-orang yang dilindungi? Pada prinsipnya, pihak-pihak yang bersengketa harus melakukan tindakan terhadap orang-orang yang dilindungi dengan menjamin penghormatan yang artinya mereka harus diperlakukan secara manusiawi; menjamin perlindungan yang artinya mereka harus dilindungi dari ketidakadilan dan bahaya yang mungkin timbul dari suatu peperangan; dan memberikan perawatan kesehatan yang artinya mereka berhak atas perawatan kesehatan yang setara dan tidak boleh diabaikan, walaupun ia pihak musuh. 78. Bagaimanakah proses pemulangan tawanan perang yang harus dilakukan oleh negara penawan? Proses pemulangan tawanan perang yang diatur dalam Pasal Konvensi III adalah segera setelah mampu berjalan, orang yang luka dan sakit parah harus langsung dikembalikan tanpa penangguhan. Komisi kesehatan bersama akan memutuskan siapa saja yang akan dipulangkan; setelah peperangan berakhir, semua tawanan harus dibebaskan dan sipulangkan setiap saat tanpa penundaan; tanpa menunggu barakhirnya perang, para pihak yang bersengketa hendaknya memulangkan para tawanan atas dasar kemanusiaan dan sedapat mungkin bersifat timbal balik yaitu dengan cara melakukan 35

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap sengketa bersenjata,

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 :

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 : Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Makalah Hukum Humaniter Internasional) Oleh : PRISCA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata

Lebih terperinci

KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT

KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT Yang Mulia Kaisar Jerman, Raja Prussia dan Menimbang bahwa, pencarian cara untuk memelihara perdamaian dan mencegah konflik bersenjata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari

Lebih terperinci

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum Catatan : Naskah ini adalah terjemahan yang dikerjakan oleh Tim TNI AL dan ICRC (Perbanyakan dan penggandaan hanya dapat dilakukan atas ijin team penterjemah) SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau International Humanitarian Law (IHL) atau sering disebut

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut. 1. Pandangan Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari pada peperangan. Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN BERSENJATA INTERNASIONAL (PROTOKOL I) DAN BUKAN INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population). 2. PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928.

BAB I PENDAHULUAN. tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population). 2. PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Tujuan dari

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana militer yang paling banyak dilakukan oleh anggota TNI, padahal anggota TNI sudah mengetahui mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Hukum Humaniter Internasional a. Definisi Hukum Humaniter Internasional Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Levina Yustitianingtyas Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya Email : firman.yusticia86@gmail.com ABSTRAK Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter

BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Pengertian Hukum Humaniter Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter merupakan istilah yang dianggap

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kegiatan kemanusiaan berupaya untuk

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2018 KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6180) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perang adalah suatu kondisi dimana terjadinya pertikaian antara para pihak yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu untuk

Lebih terperinci

Sumber : Perpustakaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan

Sumber : Perpustakaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan 1 UU 7/1950, PERUBAHAN KONSTITUSI SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT MENJADI UNDANG UNDANG DASAR SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:7 TAHUN 1950 (7/1950) Tanggal:15 AGUSTUS

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang adalah suatu istilah yang tidak asing lagi bagi manusia yang ada di dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan sejarah umat

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA LEGAL PROTECTION FOR CHILDREN IN THE MIDST OF ARMED CONFLICTS Enny Narwati, Lina Hastuti 1 ABSTRACT The purposes of the research are to understand

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA Oleh : I Gede Bagus Wicaksana Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi arab. Perang ini diawali oleh unjuk rasa di Benghazi pada 15 Februari 2011,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859.

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palang Merah terbentuk dari situasi sulit di dunia seperti peperangan dan bencana alam. Awal mula terbentuknya Palang Merah yaitu pada abad ke-19, atas prakarsa seorang

Lebih terperinci

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA 1 K 29 - Kerja Paksa atau Wajib Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN A. Pengertian Relawan Kemanusiaan Realitas menunjukkan bahwa hampir di semua komunitas masyarakat, aktivitas tolong-menolong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kewajiban negara adalah melindungi, memajukan, dan mensejahterakan warga negara. Tanggung jawab negara untuk memenuhi kewajiban negara menciptakan suatu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diajukan oleh pihak yang menang, karena itu banyak upaya-upaya yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. diajukan oleh pihak yang menang, karena itu banyak upaya-upaya yang digunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perang merupakan suatu penyelesaian sengketa antar negara dengan menggunakan kekerasaan bersenjata yang bertujuan untuk mengalahkan pihak lawan, sehingga pihak

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tujuan utama pembentukan Konvensi Jenewa 1949 adalah untuk memberikan perlindungan bagi korban perang terutama kepada penduduk sipil. Perlindungan ini berlaku dalam setiap

Lebih terperinci

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA)

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) Tentang: MOBILISASI DAN DEMOBILISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL

Lebih terperinci

KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH

KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH BAB III KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH A. Pengertian Warga Sipil dan Obyek Sipil 1. Pengertiaan Warga Sipil Warga Sipil merupakan orang yang bukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM PANJA RUU KUHP KOMISI III DPR-RI DENGAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC)

LAPORAN SINGKAT RAPAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM PANJA RUU KUHP KOMISI III DPR-RI DENGAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) LAPORAN SINGKAT RAPAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM PANJA RUU KUHP KOMISI III DPR-RI DENGAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM,

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59 REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA: Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

BAB IX HUKUM HUMANITER

BAB IX HUKUM HUMANITER BAB IX HUKUM HUMANITER A. Pengantar: Antara Hukum Hak Asasi Manusai, Hukum Humaniter dan Hukum Pidana Internasional. Pada bagian-bagian sebelumnya telah banyak dibahas hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BUKU KEDUA TINDAK PIDANA BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA Bagian Kesatu Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara Paragraf 1 Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme Pasal 212 (1) Setiap

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a. bahwa pertahanan negara

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG Oleh: Ivan Donald Girsang Pembimbing : I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika Program

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak hal mengalami perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan teknologi akan mempengaruhi cara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP. Annex I KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT Bagian 1. Ketentuan Umum BAB VII LAUT LEPAS Pasal 89 Tidak sahnya tuntutan kedaulatan laut lepas Tidak ada suatu negarapun yang dapat secara

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Pada tanggal 25 Mei 2000 Negara-negara Pihak

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak :

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak : PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH ROMANIA TENTANG KERJASAMA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL, TERORISME DAN JENIS KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad PELATIHAN HAM DASAR DOSEN HUKUM HAM SE-INDONESIA Singgasana Hotel Surabaya, 10 13 Oktober 2011 MAKALAH Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh : IKANINGTYAS, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1 Pengertian Hk. Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci